• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DIAN PERMANA PUTRA. Contamination of Staphylococcus aureus in Chicken Meat Sold in Markets in South Tangerang. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

The aim of this study was to observe the total of Staphylococcus aureus in chicken meat sold in markets in South Tangerang City. This study was conducted using survey method by interviewing the vendors of chicken meat as respondents and observation the condition of marketplaces using questionnaires and sampling the chicken meat for laboratory examination. Total of 24 chicken meat samples was obtained purposively from 3 traditional markets, i.e., Pasar Modern, Pasar Bukit, and Pasar Jombang, and was examined with the spread plate method (the plate count method). The result of observation showed that Pasar Modern had the best criteria of general hygienic practices. Nevertheless, the laboratory result found that the chicken meat samples from Pasar Modern showed the highest amount of S. aureus (1116.0 + 1461.0 cfu/gram) and it was followed by Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram) and Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram), with the mean of 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Compared to the maximum limit of microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 7688:2009), 80% of chicken samples from Pasar Modern were higher than the standard (maximum limit = 100 cfu/gram), and then 66.7% of samples from Pasar Jombang and 54.5% of samples from Pasar Bukit were higher than the standard. The high number of S. aureus contamination in chicken meat was supposed in relation with inadequate personal hygiene practices and lack of cold chain from poultry processing plant until marketplace. This condition should be considered as a risk of food intoxication for the consumers since the presence of S. aureus in food in high number could produce the toxin which is heat-stable.

(2)

DIAN PERMANA PUTRA. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan produk olahannya semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan.

Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut untuk menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya ditemukan pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988 menunjukkan bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus.

S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun. Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg.

Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala klinis dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada saluran pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare.

(3)

kepada pedagang daging ayam sebagai responden dan observasi kondisi tempat penjualan daging ayam menggunakan kuesioner, serta pengambilan sampel daging ayam. Sebanyak 24 sampel daging ayam diambil secara purposif dari tiga pasar tradisional (Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang) dan diuji terhadap jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan (plate count method) dengan cara sebar (spread plate method) menggunakan agar Baird-Parker yang ditambah egg yolk tellurite berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008.

Berdasarkan observasi, pasar yang mempunyai kriteria yang paling baik dari aspek higiene adalah Pasar Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang (66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik higiene personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah potong unggas sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat keberadaan S. aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin yang tahan panas dapat berisiko menyebabkan keracunan makanan pada konsumen.

(4)

CEMARAN

Staphylococcus aureus

PADA DAGING AYAM

YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR

DI TANGERANG SELATAN

DIAN PERMANA PUTRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

(6)

DIAN PERMANA PUTRA. Contamination of Staphylococcus aureus in Chicken Meat Sold in Markets in South Tangerang. Under direction of DENNY WIDAYA LUKMAN.

The aim of this study was to observe the total of Staphylococcus aureus in chicken meat sold in markets in South Tangerang City. This study was conducted using survey method by interviewing the vendors of chicken meat as respondents and observation the condition of marketplaces using questionnaires and sampling the chicken meat for laboratory examination. Total of 24 chicken meat samples was obtained purposively from 3 traditional markets, i.e., Pasar Modern, Pasar Bukit, and Pasar Jombang, and was examined with the spread plate method (the plate count method). The result of observation showed that Pasar Modern had the best criteria of general hygienic practices. Nevertheless, the laboratory result found that the chicken meat samples from Pasar Modern showed the highest amount of S. aureus (1116.0 + 1461.0 cfu/gram) and it was followed by Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram) and Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram), with the mean of 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Compared to the maximum limit of microbial contamination according to the Indonesia National Standard (SNI 7688:2009), 80% of chicken samples from Pasar Modern were higher than the standard (maximum limit = 100 cfu/gram), and then 66.7% of samples from Pasar Jombang and 54.5% of samples from Pasar Bukit were higher than the standard. The high number of S. aureus contamination in chicken meat was supposed in relation with inadequate personal hygiene practices and lack of cold chain from poultry processing plant until marketplace. This condition should be considered as a risk of food intoxication for the consumers since the presence of S. aureus in food in high number could produce the toxin which is heat-stable.

(7)

DIAN PERMANA PUTRA. Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan. Dibimbing oleh DENNY WIDAYA LUKMAN.

Daging ayam adalah pangan asal hewan yang banyak dikonsumsi masyarakat. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan produk olahannya semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya. Pangan asal hewan segar termasuk kategori pangan yang mudah rusak dan dikenal sebagai pangan yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan konsumen (potentially hazardous food). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan.

Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin dalam makanan merupakan ancaman terhadap kesehatan masyarakat karena kemampuan bakteri tersebut untuk menimbulkan gejala klinis. S. aureus penghasil enterotoksin biasanya ditemukan pada daging, daging unggas dan produknya. Laporan tahun 1988 menunjukkan bahwa terdapat 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari daging ayam (chicken dishes). Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus.

S. aureus adalah bakteri yang bersifat gram positif dan tidak motil, hidup di kulit dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah. S. aureus sering ditemukan pula di ayam hidup dan kalkun. Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen. Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas (heat resistant). Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah tersebut cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg.

Makanan yang terkontaminasi oleh S. aureus akan menimbulkan gejala klinis dalam rentang waktu 1 sampai 6 jam atau rata-rata sekitar 3 jam pada saluran pencernaan. Gejala klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare.

(8)

kepada pedagang daging ayam sebagai responden dan observasi kondisi tempat penjualan daging ayam menggunakan kuesioner, serta pengambilan sampel daging ayam. Sebanyak 24 sampel daging ayam diambil secara purposif dari tiga pasar tradisional (Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang) dan diuji terhadap jumlah S. aureus dengan metode hitungan cawan (plate count method) dengan cara sebar (spread plate method) menggunakan agar Baird-Parker yang ditambah egg yolk tellurite berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008.

Berdasarkan observasi, pasar yang mempunyai kriteria yang paling baik dari aspek higiene adalah Pasar Modern. Hasil pengujian laboratorium menunjukkan bahwa jumlah S. aureus pada daging ayam berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Dibandingkan dengan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam SNI Nomor 7388 Tahun 2009, maka sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang (66.7%). Tingginya jumlah S. aureus ini berkaitan dengan praktik higiene personal dan tidak adanya penerapan rantai dingin dari rumah potong unggas sampai di pasar. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat keberadaan S. aureus pada daging ayam yang dapat menghasilkan toksin yang tahan panas dapat berisiko menyebabkan keracunan makanan pada konsumen.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(10)

CEMARAN

Staphylococcus aureus

PADA DAGING AYAM

YANG DIJUAL DI PASAR-PASAR

DI TANGERANG SELATAN

DIAN PERMANA PUTRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan

Nama : Dian Permana Putra

NIM : B04080084

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. Ketua

Diketahui

drh. H. Agus Setiyono, MS., PhD., APVet. Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(12)

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa kekuatan lahir batin sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian yang diambil adalah Cemaran Staphylococcus aureus pada Daging Ayam yang Dijual di Pasar-Pasar di Tangerang Selatan.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah tanpa lelah dan penuh kesabaran membimbing penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Tidak lupa juga penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak drh Suparno, M.Si. sebagai Kepala Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP) Bogor yang telah memberikan ijin dan dukungannya dalam penelitian ini. Kepada Bapak drh. Imron Suandy, MVPH, Bapak drh. Eko, Ibu Tuti, Ibu drh. Eri, Ibu drh. Ika, serta seluruh staf dan laboran di BPMPP yang telah banyak membantu kelancaran penelitian ini disampaikan ucapan terima kasih.

Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Papa, Mama, dan adik tersayang (Iswandi, Eva Lindra, dan Gina Permata Sari), dan Om, Tante, kakak, dan adik (Yulizar, Harnelli Hevi, Kemala Meilinda Putri, dan Deka Permana Putra), serta keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang selalu diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan selama penelitian dan skripsi (Meriza dan Kiki). Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan Avenzoar 45, serta keluarga besar Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Minang (IPMM) Bogor dan teman-teman Ikatan Keluarga Mahasiswa Payakumbuh (IKMP) yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Penulis menyadari penulisan karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(13)

Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 28 November 1989 dari ayah Iswandi dan ibu Eva Lindra. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD 01 Tanjung Jati, Kabupaten Lima Puluh Kota dan lulus pada tahun 2002, yang kemudian dilanjutkan ke MTsN Padang Japang, Kabupaten 50 Kota dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA N 1 Suliki, Kabupaten 50 Kota dan lulus pada tahun 2008, kemudian melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor. Mayor yang dipilih penulis adalah kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).

(14)

x

DAFTAR TABEL ………...………... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ………...………... 1

Tujuan ………...…………... 3

Manfaat ………... 3

TINJAUAN PUSTAKA ………... 4

Karakteristik Staphylococcus aureus ... 4

Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus 6

Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan ... 9

BAHAN DAN METODE ………...……... 15

Waktu dan Tempat Penelitian ………... 15

Desain Penelitian ... 15

Pengambilan dan Besaran Sampel ………... 15

Bahan dan Alat ………... 15

Pengujian Staphylococcus aureus ... 16

Analisis Data ………... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 18

Karakteristik Tempat Penjualan Ayam ... 18

Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam ... 21

Jumlah Staphylococcusaureus pada Daging Ayam ... 24

Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan ... 28

SIMPULAN DAN SARAN ………... 31

Simpulan ... 31

Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ………..……... 33

(15)

xi

Halaman

1 Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin ... 6 2 Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara 10 3 Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan ... 10 4 Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta,

Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 ... 11 5 Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di Pasar Cina 11 6 Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi

Staphylococcus aureus ... 13 7 Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media

isolasi ... 13 8 Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai

responden di Kota Tangerang Selatan ... 18 9 Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang

diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan ... 22 10 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi

batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di

(16)

xii

Halaman

1 Skema pengujian jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di

(17)

xiii

Halaman

1 Jumlah Staphylococcus aureus pada sampel daging ayam di

pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan ... 40 2 Kuesioner tentang karakteristik pedagang dan tempat penjualan

(18)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang mempunyai penduduk terbesar keempat di dunia (Hutapea 2011). Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia yaitu sebesar 237.6 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2011 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia bertambah menjadi 241 juta jiwa lebih (Alimoeso 2011). Hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan pangan, terutama pangan asal hewan. Jumlah kebutuhan pangan asal hewan terutama daging sangat tinggi, namun jumlah yang dapat diproduksi tiap tahunnya masih rendah. Oleh karena itu, pada tahun 2014 pemerintah mencanangkan program swasembada daging untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Daging ayam adalah produk dari peternakan unggas yang sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan juga produk olahan semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya (Álvarez-Astorga et al. 2002). Kondisi tersebut sesuai dengan laporan dari Pemerintah Kabupaten Tangerang bahwa populasi ayam ras pada tahun 2000 berjumlah 3020500 ekor, sedangkan produksi daging ayam petelur berjumlah 953.18 ton. Sementara itu, pada tahun 2002 produksi daging ayam meningkat menjadi 1140.98 ton, sedangkan untuk produksi ayam ras pedaging pada tahun 2001 berjumlah 12199.27 ton. Pada tahun 2002 terjadi kenaikan produksi daging ayam menjadi 15421.65 ton(Anonim 2008).

(19)

50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan (Beier dan Pillai 2007).

Tingginya produksi daging ayam harus diikuti dengan peningkatan kualitas daging ayam. Keberadaan mikroorganisme pada daging ayam biasanya berasal dari rumah potong atau tempat pemotongan, tempat pengolahan (proses), penyimpanan, dan pendistribusian. Secara umum, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kontaminasi adalah higiene personal, peralatan yang digunakan, cara penjualan, serta lingkungan sekitar. Mikroorganisme yang umum mengontaminasi daging ayam antara lain Salmonella, Staphylococcus aureus, dan Campylobacter (Bhunia 2008).

Staphylococcus aureus yang menghasilkan enterotoksin berperan sebagai mikroorganisme penyebab intoksikasi makanan (Atanassova et al. 2001; Bhunia 2008). Keberadaan S. aureus enterotoksigenik dalam pangan merupakan masalah (ancaman) dalam kesehatan masyarakat karena terkait dengan kemampuan bakteri tersebut untuk menimbulkan gejala klinis pada konsumen. S. aureus menghasilkan toksin jika populasinya telah melebihi 105 cfu/gram (Gorman et al. 2002). Keberadaan S. aureus penghasil enterotoksin biasanya dihubungkan dengan daging, daging unggas, dan produknya (Wieneke et al. 1993). Walaupun sumber utama S. aureus adalah manusia, produk unggas telah banyak terlibat dalam wabah intoksikasi makanan (Cunningham 1988). Bryan (1988) menunjukkan bahwa dari 175 wabah intoksikasi makanan yang disebabkan oleh S. aureus, 9% diantaranya terkait dengan daging kalkun dan 8% terkait dengan hidangan dari daging ayam. Setiap tahun di Amerika Serikat tercatat sebanyak 400000 pasien rumah sakit keracunan oleh S. aureus (Cook dan Cook 2006). Pada kasus keracunan makanan yang disebabkan oleh S. aureus tidak ditemukan infeksi di tubuh konsumen secara menyeluruh dan orang yang mengonsumsi bakteri S. aureus hidup tidak harus menimbulkan gejala klinis atau sakit. Dengan demikian, pemanasan makanan tidak mampu mencegah intoksikasi makanan oleh S. aureus karena toksinnya tahan terhadap panas atau heat stable (Cook dan Cook 2006).

(20)

mengenai S. aureus pada daging ayam di Tangerang Selatan melalui pemeriksaan sampel daging secara acak dari pasar-pasar tradisional yang tersebar di Tangerang Selatan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengobservasi keberadaan dan jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar tradisional Tangerang Selatan.

Manfaat

(21)

Karakteristik Staphylococcus aureus

Bakteri Staphylococcus pertama kali ditemukan oleh ahli bedah berkebangsaan Skotlandia sebagai akibat banyaknya infeksi piogenik (terbentuknya pus) pada manusia (Martin dan Landolo 1999; Adams dan Moss 2008). Staphylococcus aureus adalah salah satu spesies dari 32 spesies dalam genus Staphylococcus. Spesies yang lain pada umumya tidak menginfeksi manusia tetapi hanya ditemukan di mamalia. Nama Staphylococcus sendiri berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata “staphyle” dan “kokkos”, yang berarti seperti kelompok anggur dan berbentuk kokus atau bulat (Martin dan Landolo 1999); sedangkan nama aureus berasal dari bahasa Latin yaitu “gold” yang berarti bakteri ini tumbuh dalam koloni besar yang berwarna kuning (Cook dan Cook 2006; Bhunia 2008).

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang bersifat Gram positif dan tidak motil (Holt 1994 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002; Bhunia 2008). S. aureus hidup di kulit (Meggitt 2003) dan membran mukosa dari hewan berdarah panas. Manusia adalah salah satu pembawa utama bakteri ini, yang memiliki habitat di membran hidung karena hangat dan basah (Genigeorgis 1989, Jablonski dan Bohach 1997 yang dikutip oleh Soriano et al. 2002 ). S. aureus dapat ditemukan di hidung pada 10-40% manusia dewasa (Meggitt 2003). Selain itu S. aureus juga ditemukan pada habitat lain, seperti di dalam air, bahan yang busuk, dan di berbagai permukaaan (Cook dan Cook 2006).

Bakteri S. aureus sering juga ditemukan di ayam hidup dan kalkun. Bakteri ini masuk ke kulit atau lubang hidung berbagai burung dan sesudah itu dapat ditemukan pada seluruh bagian tubuh dengan jumlah yang sedikit (Mead 1989; ICMSF 1998). S. aureus bersifat aerob atau anaerob fakultatif serta memiliki metabolisme melalui respirasi atau fermentasi. S. aureus memiliki sifat katalase positif dan mampu memecah sebagian besar karbohidrat (Harvey dan Gilmour 2000).

(22)

mesofilik. Derajat keasaman (pH) yang memungkinkan bakteri ini tumbuh adalah pada interval antara 4.5 dan 9.3, dengan pH optimum antara 7.0 dan 7.5 (Martin dan Landolo 1999). S. aureus adalah bakteri yang dapat tumbuh dengan aktivitas air (aw) yang rendah, yaitu minimum 0.86 (ICMSF 1980; Reichart dan Fung 1976

yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Selain itu, S. aureus dapat tumbuh pada konsentrasi garam yang tinggi sehingga disebut osmotoleran (Anonim 2011). Hanya sekitar 30% dari galur S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin, yang dilepaskan ke makanan sehingga berisiko menyebabkan keracunan makanan (food intoxication) pada konsumen (Halpin-Dohnalek dan Marth 1989 yang dikutip oleh Forsythe dan Hayes 1998). Keenam enterotoksin tersebut adalah A, B, C1, C2, D, dan E (SEA, SEB, dan lain-lain), yang mana tipe A dan D banyak ditemukan di makanan. Enterotoksin S. aureus berbentuk protein rantai tunggal yang bersifat antigenik dengan berat molekul 26-29 kDa (Normanno et al. 2005). Enterotoksin yang dihasilkan oleh S. aureus memiliki sifat resisten terhadap panas atau heat resistant (Meggitt 2003). Kebanyakan enterotoksin tersebut mampu bertahan pada suhu didih dalam makanan sampai 30 menit dan enterotoksin tipe B menunjukkan stabilitas paling tinggi. Enterotoksin tipe B akan kehilangan 60-70% aktivitasnya dalam beberapa menit pada suhu di atas 80 °C. Pengaktifan kembali dapat terjadi selama penyimpanan yang lama pada suhu kamar atau pemanasan pada suhu lebih tinggi (Forsythe dan Hayes 1998). Toksin ini bersifat neutral-base protein dengan titik isoelektrik 7.0-8.6. Toksin ini sangat resisten terhadap enzim proteolitik seperti tripsin, kimotripsin, renin, dan papain (Bergdoll dan Wong 2006). Secara rinci, pertumbuhan S. aureus dan produksi enterotoksinnya dapat dilihat pada Tabel 1.

(23)

Tabel 1 Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian keracunan makanan oleh enterotoksin S. aureus adalah: (1) galur S. aureus penghasil enterotoksin berada pada makanan selama produksi, pengolahan, atau penyiapan makanan; (2) bakteri dipindahkan dari sumber ke makanan; (3) makanan harus tercemar dengan jumlah ribuan S. aureus per gram atau biasanya lebih dan makanan sudah dipanaskan sebelum tercemar S. aureus, atau makanan mengandung banyak garam atau gula; (4) bakteri harus dapat bertahan hidup di makanan, tidak tumbuh berlebihan atau dihambat oleh mikroorganisme lain, atau dimatikan oleh pemanasan, pH rendah, atau kondisi yang tidak buruk sebelum S. aureus menghasilkan enterotoksin; (5) makanan, setelah tercemar oleh S. aureus, kondisi makanan mendukung pertumbuhan bakteri tersebut; (6) makanan yang tercemar disimpan pada rentang suhu yang sesuai untuk pertumbuhan dan perbanyakan S. aureus sampai menghasilkan cukup enterotoksin; (7) jumlah enterotoksin dalam makanan yang dikonsumsi harus melebihi ambang batas individu sehingga menghasilkan keracunan makanan (Forsythe dan Hayes 1998).

Pencemaran dan Intoksikasi Makanan oleh Staphylococcus aureus

(24)

dikenali secara sensoris, melainkan memerlukan pengujian laboratorium. Mikroorganisme patogen itu dapat menyebabkan infeksi pangan (food infection), toksiko-infeksi pangan (food-toxico infection), dan intoksikasi pangan (food intoxication) (Lukman 2009). S. aureus merupakan penyebab foodborne illness terpenting ketiga di dunia. Beberapa dekade sebelumnya, S. aureus sebagai penyebab 25% wabah foodborne illness di Amerika Serikat, namun pada tahun 1988 sampai 1992 persentase peran bakteri tersebut dalam wabah foodborne illness menurun, yaitu 1.8% (1988), 2.8% (1989), 2.4% (1990), 1.7% (1991) dan 1.5% (1992). Selama periode 5 tahun tersebut, S. aureus menyebabkan 5.1% wabah keracunan makanan di Eropa dan di Italia menyebabkan 4 dari 233 wabah yang dilaporkan (Normanno et al. 2005).

Kontaminasi S. aureus pada makanan mentah, khususnya yang berasal dari hewan, biasanya tidak berhubungan dengan kontaminasi dari manusia. Kontaminasi S. aureus pada karkas/daging berasal dari kulit hewan, bulu, dan kulit yang berasal dari lesio atau kerusakan jaringan. Kontaminasi S. aureus dari kulit pada karkas sering tidak dapat dihindarkan (Lancette dan Bennet 2001). Sejumlah besar S. aureus pada makanan dibutuhkan untuk menyebabkan kejadian keracunan makanan agar menghasilkan jumlah enterotoksin yang cukup, namun jumlahnya tidak pasti. Jumlah S. aureus penghasil enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan makanan diduga jika melebihi 1 juta per gram, yang diperkirakan menghasilkan enterotoksin sebanyak 1 µg. Jumlah 1 µg enterotoksin cukup untuk menyebabkan gejala klinis pada orang dewasa, sedangkan pada anak-anak cukup dibutuhkan 0.2 µg (Forsythe dan Hayes 1998).

Masalah utama dalam mengidentifikasi enterotoksin pada makanan adalah kadar enterotoksin pada makanan yang sangat kecil. Enterotoksin dapat teridentifikasi di dalam makanan apabila jumlah Staphylococcus >106 sel/g (Lancette dan Bennet 2001), sedangkan menurut Bremer et al. (2004) yang dikutip oleh Malheiros et al. (2010), jumlah S. aureus harus sudah mencapai minimum 1000 cfu/g atau ml untuk menyebabkan keracunan pada manusia.

(25)

klinis utamanya adalah muntah yang didahului oleh rasa mual. Frekuensi muntah dapat meningkat sesuai dengan rasa mual yang muncul. Gejala klinis lain yang muncul biasanya adalah kram perut dan diare (Forsythe dan Hayes 1998; Meggitt 2003). Respon muntah terjadi karena adanya enterotoksin dari S. aureus yang sering dikategorikan ke dalam neurotoksin berbahaya. Enterotoksin tersebut dapat menimbulkan respon muntah karena dapat mengaktifkan reseptor yang ada di usus yang akan menstimulasi pusat muntah di otak melalui nervus vagus dan simpatis (Adams dan Moss 2008).

Pada manusia S. aureus menyebabkan berbagai infeksi yang sebagian besarnya terdapat di kulit, namun tidak menyebabkan kematian. Bakteri ini membuat lesio di permukaan kulit, seperti infeksi pada folikel rambut, jerawat, sties atau peradangan kelenjar di kelopak mata, serta menyebabkan abses di kulit dan di dasar jaringan. Pada kondisi lain, S. aureus juga dapat menimbulkan penyakit swimmer’s ear, infeksi di bagian tengah telinga, dan gangguan di saluran kemih. S. aureus juga dapat mengakibatkan peradangan yang serius, seperti pneumonia. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada meningen dan medulla spinalis), artritis, osteomielitis, dan endokarditis (Cook dan Cook 2006).

Keberadaan S. aureus dalam makanan harus diinterpretasikan secara hati-hati. Adanya bakteri tersebut dalam jumlah besar di makanan tidak cukup untuk menjadikan makanan tersebut sebagai wahana keracunan makanan karena tidak semua galur S. aureus memproduksi enterotoksin. Potensi intoksikasi oleh S. aureus tidak dapat dipastikan tanpa pengujian enterotoksigenisitas dari isolat S. aureus atau membuktikan keberadaan enterotoksin S. aureus dalam makanan. Ketidak-beradaan S. aureus dan/atau jumlah S. aureus yang sedikit menjamin makanan aman (Lancette dan Bennet 2001).

(26)

aureus koagulasi-positif, 7 galur bersifat enterotoksigenik. Hanya 1.6% dari sampel hati unggas mengandung galur S. aureus koagulase-negatif (Genigeorgis dan Sadler 1966 yang dikutip oleh Cunningham 1988).

Penelitian Aydin et al. (2011) di Turki mendapatkan bahwa dari 1070 sampel makanan ditemukan 147 galur (13.8%) S. aureus, yang mana 92 galur (62.6%) diisolasi dari daging (13/13), produk olahan daging (6/6), susu segar (31/63), perusahaan susu (36/54), perusahaan roti (5/9), dan makanan siap saji (1/2). Galur ini diisolasi dari sampel yang diambil dari Istanbul (n=42), Edirne (n=15), Balikesir (n=13), Tekirdag (n=7), Kirklareli (n=7), Bursa (n=6), dan Canakkale (n=2).

Penelitian Crago et al. (2012) di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 mendapatkan bahwa dari 693 sampel makanan ditemukan 73 sampel (10.5%) yang positif terkontaminasi S. aureus, yang mana (29/73) sampel berasal dari daging (dimasak atau tidak dimasak; daging unggas n=9, daging sapi n=7, daging babi n=6, dan tidak diketahui 5), (20/73) sampel dari makanan yang mengandung daging (daging sapi n=8, daging unggas n=4, seafood n=3, daging babi n=1, dan tidak diketahui 4), (11/73) diisolasi dari makanan yang tidak mengandung daging, (10/73) diisolasi dari perusahaan susu (susu n=8, keju n=1, es krim n=1), dan tiga makanan olahan. Pada penelitian ini ditemukan 81% (59/73) sampel positif terkontaminasi S. aureus yang mana berasal dari daging, makanan yang berasal dari daging, dan perusahaan susu. Prevalensi S. aureus pada makanan di beberapa negara dan pada beberapa makanan dapat dilihat pada Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4, dan Tabel 5.

Pengujian Jumlah Staphylococcus aureus pada Makanan

(27)

Tabel 2 Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanandi beberapa negara

Tempat Jenis sampel Prevalensi Pustaka

León, Barat Daya Spanyol

Potongan ayam (kaki, sayap, giblet); n = 30

Sayap dan giblet 60% (jumlah rata-rata log10 2.47 cfu/g atau log10 1.65

cfu/cm2)

Kaki 40% (jumlah rata-rata log10

3.48 cfu/g atau log10 2.66 cfu/cm2)

Álvarez-Astorga et al. (2002)

Central Anatolia,

Turki Sampel makanan, n = 413 Diisolasi sebanyak 138 galur dan 83 (60.1%) galur menghasilkan satu atau dua enterotoksin.

Guven et al. (2010)

Portugal Bermacam sampel

makanan, n = 148

Diobservasi sebanyak 101 (68.2%) Pereira et al. (2009)

Tidak diketahui Hati kalkun, n = 360

Sebelum dicuci berjumlah 62 (17%); setelah dicuci berjumlah 3 (<1%)

Salzer et al. (1964)

Tidak diketahui Karkas kalkun mentah, n = 24

Ditemukan 20% Bryan dan

McKinley (1974)

Italia Susu dan produk

olahan daging Diisolasi sebanyak 59.8% Normanno et al. (2007)

Nigeria barat Daging, ikan dan

sayur Diisolasi sebanyak 48% Sokari (1991)

Ankara, di

supermarket Potongan ayam (giblets dan karkas) n = 60

Giblets diisolasi sebanyak 9 sampel; karkas diisolasi sebanyak 17 sampel

Gundogan et al. (2005)

(28)

Tabel 4 Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di Alberta, Kanada dari tahun 2007 sampai 2010 (Crago et al. 2012)

Produk 2007 2008 2009 2010 Total

Makanan berisi daging 6 6 3 5 20

Makanan tidak berisi daging 6 1 1 3 11

Daging 8 6 8 7 29

Perusahaan susu 2 1 6 1 10

Makanan olahan 0 1 2 0 3

Total 22 15 19 17 73

Tabel 5 Prevalensi Staphylococcus aureus pada daging mentah di pasar Cina (Wang et al. 2012)

Provinsi/Ibukota Jumlah sampel Jumlah sampel terkontaminasi (%)

Beijing 144 28 (19.4)

Provinsi Henan 144 20 (13.9)

Provinsi Shaanxi 144 57 (39.6)

Provinsi Sichuan 144 38 (26.4)

Provinsi Guangxi 144 19 (13.2)

Provinsi Guangdong 144 38 (26.4)

Provinsi Fujian 144 45 (31.3)

Shanghai 144 34 (23.6)

Total 1152 279 (24.2)

sehingga tidak dibutuhkan pengujian dengan sensitifitas tinggi. Uji dengan sensitifitas tinggi diperlukan untuk menguji proses yang tidak bersih atau kontaminasi setelah proses pengolahan, mengingat jumlah S. aureus dalam keadaan tersebut sangat kecil. Biasanya S. aureus bukan merupakan spesies di dalam makanan sehingga dalam isolasi dan penghitungan S. aureus secara umum menggunakan media penghambat (Lancette dan Bennet 2001).

(29)

untuk deteksi dan penghitungan S. aureus pada makanan. Prosedur pengayaan dapat bersifat selektif atau non-selektif. Pengayaan non-selektif bermanfaat untuk memulihkan sel-sel yang rusak (injured cells), yang mana pertumbuhan sel-sel tersebut dihambat oleh bahan-bahan toksik dalam media pengaya selektif (selective enrichment media). Penghitungan dengan cara enrichment isolation atau selective enrichment isolation dapat dilakukan melalui penentuan jumlah atau most probable number (MPN). Prosedur MPN dapat menggunakan tiga tabung atau lima tabung untuk setiap pengenceran (Lancette dan Bennet 2001).

Dalam penghitungan menggunakan prosedur direct plating, sampel dipupuk pada suatu media selektif dengan dua cara, yatu cara sebar permukaan (surface spreading) dan penuangan (pour plates). Metode cara sebar permukaan memiliki keuntungan bahwa bentuk dan tampak koloni pada permukaan media lebih jelas dibandingkan dengan koloni dalam media pada pengujian cara pour plate. Sedangkan keuntungan cara pour plate dapat menggunakan volume sampel lebih banyak (Lancette dan Bennet 2001). Parbandingan media-media yang dipakai dalam penghitungan S. aureus dapat dilihat pada Tabel 6.

Media selektif yang berhasil dan biasa digunakan untuk menghitung S.

aureus dibuat oleh Baird Parker pada awal tahun 1960-an, yang

(30)

Tabel 6 Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi Staphylococcus aureus (Rosamund dan Lee 1995)

Media cawan petri Selektivitas sistem Sistem diagnosa

Mannitol salt agar (MSA) Sodium klorida Mannitol-phenol red Lipovitellin salt mannitol

agar (LSMA)

Sodium klorida Mannitol-phenol red kuning

telur Vogel Johnson agar (VJA) Potassium tellurite, litium

klorida, glisin Potassium tellurite manitol- phenol red Modified Vogel Johnson

(PCVJ) dengan phosphatidyl choline

Potassium tellurite, litium

klorida, glisin Potassium tellurite manitol-phenol red, DNA

Baird-Parker agar (BPA) Potassium tellurite, litium

klorida, glisin Potassium tellurite , telur kuning Baird-Parker with pig plasma

(BPP)

Potassium tellurite, litium klorida, glisin

Potassium tellurite, pig plasma

Baird-Parker with fibrinogen

(BPF) Potassium telluriteklorida, glisin , lithium Potassium tellurite , pig plasma, bovine fibrinogen

Tabel 7 Penampakan Staphylococcus aureus pada beberapa jenis media isolasi (Rosamund dan Lee 1995)

Media pemupukan pada cawan

petri Penampakan koloni

Baird Parker agar (BPA) Hitam, berkilau, konveks berukuran 1.0-1.5 mm dengan tepi

putih dan dikelilingi zona luar yang jelas dengan luas 2-5 mm ke media opaque.

Mannitol saltagar (MSA) Koloni dikelilingi zona kuning cerah

Vogel Johnson agar (VJA) Hitam, konveks, berkilau dan dikelilingi zona berwarna

kuning

Modified Vogel Johnson (PCVJ)

dengan phospatidyl choline

Hitam, konveks, berkilau dengan zona berwarna kuning yang jelas

Media agar selain mengandung bahan selektif, juga ditambahkan bahan lain untuk meningkatkan produktivitas. Piruvat dan katalase ditambahkan untuk memperbaiki sel bakteri yang stres pada kedua media isolasi baik padat maupun cair. Piruvat dan katalase mencegah kematian sel dari akumulasi H2O2 selama

(31)

diantaranya manitol, egg yolk, DNA (Andrew dan Martin 1978 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), dan plasma babi (Stadhouders et al. 1976 yang dikutip oleh Rosamund dan Lee 1995), serta fibrinogen (hauschild) digunakan untuk melapisi media.

Baird dan van Doorne (1982) yang dikutip oleh Rosamund dan Lee (1995) membandingkan tingkat perbaikan sel bakteri dari sampel makanan yang terkontaminasi secara alami dengan menggunakan teknik pelapisan langsung ke dalam BPA dan agar VJA, serta teknik enrichment yaitu triptone soya broth (TSB) dan liquid Baird Parker (LBP) diikuti dengan pelapisan ke dalam BPA. Hasil terbaik diperlihatkan oleh kombinasi LBP (liquid Baird Parker) untuk enrichment dan BPA untuk pemupukan pada cawan petri (plating). LBP digunakan untuk perbaikan sel stres (stress cell) dalam jumlah yang sedikit. Hasil percobaan dengan menggunakan media isolasi yang berbeda menunjukkan bahwa enrichment selektif di LBP diikuti subkultur pada BPA memberikan tingkat perbaikan sel (cell recovery) yang sangat tinggi.

(32)

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2011 sampai dengan Agustus 2011. Sampel daging ayam diambil di tiga pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan, yaitu Pasar Modern, Pasar Bukit, dan Pasar Jombang. Pengujian presumtif Staphylococcus aureus dilakukan di Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan (BPMPP), Bogor.

Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan cara wawancara dan observasi praktik higiene sanitasi tempat penjualan menggunakan kuesioner kepada pedagang daging ayam di pasar sebagai responden dan pengambilan sampel daging ayam yang dijualnya untuk pengujian di laboratorium. Data yang dijaring oleh kuesioner mencakup keterangan responden, kondisi umum tempat penjualan, sarana/fasilitas, penjualan produk, kebersihan, dan higiene personal. Pertanyaan selain keterangan responden dirancang dengan menggunakan pertanyaan tertutup.

Pengambilan dan Besaran Sampel

Jumlah sampel ditentukan secara purposif di pasar-pasar tradisional di Kota Tangerang Selatan, dengan jumlah kesuluruhan sampel yang diperiksa sebanyak 24 sampel daging ayam. Sampel daging ayam yang diambil adalah setengah karkas (bagian dada). Setiap sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik steril, kemudian kantong plastik diberi label dan disimpan dalam cool box berisi es. Sampel diuji maksimum 24 jam setelah pengambilan.

Bahan dan Alat

(33)

Alat yang digunakan adalah cawan petri (Normax, diameter 10 cm); tabung reaksi (Iwaki Pyrex volume 15 ml) dan sumbat tabung reaksi; pipet ukuran 1 ml, 2 ml, 5 ml, dan 10 ml (Iwaki Pyrex); bulb karet (Marienfeld Germany); botol media (Schott Duran GL 45, volume 1000 ml); batang gelas bengkok (hockey stick), gunting, pinset, jarum inokulasi (ose); ice box (Igloo); stomacher (Pbi International Anno 2000 043557); plastik; pembakar bunsen; pH meter (Thermo Orion); timbangan analitik (Lucky scale FEH series); magnetic stirer; tube shaker (Vortex mixer VM-1000); inkubator (Memmert INB 500); penangas air (DSB-1000D); autoklaf (Alfa ANNO200); lemari steril (clean bench); refrigerator (Sharp superior 00491) dan freezer (Sansio Tropicalized Model 411-407-10 K).

Pengujian Staphylococcus aureus

Metode yang digunakan adalah dengan cara hitung cawan secara sebar pada permukaan media berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 2897 Tahun 2008 tentang Metode Pengujian Cemaran Mikroba dalam Daging, Telur, dan Susu, serta Hasil Olahannya. Pengujian selalu disertai dengan menggunakan kontrol positif. Untuk mendapatkan pengenceran 10-1 dipindahkan 1 ml contoh dari 100 ke dalam larutan 9 ml BPW dan selanjutnya dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-2, dan 10-3. Sebelumnya disiapkan media agar dalam cawan petri, yaitu BPA (15-20 ml) yang ditambahkan dengan egg yolk tellurite (5 ml dalam 95 ml BPA). Untuk pengujian, sebanyak 1 ml darí setiap pengenceran 10-1, 10-2, dan 10-3 dipipet dan diinokulasikan pada 4 cawan petri berisi media BPA+egg yolk tellurite, masing-masing sebanyak 0.25 ml (Gambar 1). Suspensi contoh diratakan di atas permukaan media agar dengan menggunakan hockey stick dan biarkan sampai suspensi terserap. Kemudian diinkubasikan pada suhu 35ºC selama 45 jam sampai dengan 48 jam pada posisi terbalik.

(34)

Gambar 1 Skema pengujian jumlah S. aureus pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan.

dilanjutkan pada cawan petri dengan pengenceran yang lebih tinggi. Koloni S. aureus mempunyai ciri khas bundar, licin dan halus, cembung, diameter 2 mm sampai dengan 3 mm, berwarna abu-abu sampai hitam pekat, dikelilingi zona opak, dengan atau tanpa zona luar yang terang (clear zone), tepi koloni putih dan dikelilingi daerah yang terang. Konsistensi koloni seperti mentega atau lemak jika disentuh oleh ose. Galur non-lipolitik memiliki sifat koloni sama seperti di atas, tetapi tidak dikelilingi zona opak dan zona luar yang terang. Koloni yang mempunyai ciri seperti di atas dicatat dan diambil satu atau lebih koloni dari masing-masing bentuk yang tumbuh dan dilakukan uji identifikasi dengan pewarnaan Gram dan uji koagulase (coagulase test).

Analisis Data

(35)

Karakteristik Tempat Penjualan Ayam

Sampel daging ayam diperoleh dari tiga pasar di Kota Tangerang Selatan, yaitu Pasar Bukit, Pasar Jombang, dan Pasar Modern. Sebagian besar pedagang daging ayam yang menjadi responden berjenis kelamin laki-laki (66.7%). Seluruh responden (100%) menjual karkas utuh dan hampir semua (95.8%) responden menjual karkas potongan, namun tidak ada responden yang menjual jeroan ayam. Sebagian besar responden memperoleh karkas ayam dari pemotongan sendiri (66.7%), sedangkan beberapa responden (29.1%) memperoleh karkas dari tempat potong unggas (TPU) atau rumah potong unggas (RPU) dan 4.2% responden memperoleh karkas dari TPU/RPU dan pemotongan sendiri. Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Karakteristik tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan

Karakteristik Tempat Penjualan

(36)

kondisi pasar yang bersih, aman, nyaman, dan sehat yang terwujud melalui kerja sama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) terkait dalam penyediaan bahan pangan yang aman dan bergizi bagi masyarakat, sedangkan pasar tradisional adalah pasar yang berlokasi permanen, ada pengelola, sebagian besar barang yang diperjual-belikan adalah kebutuhan dasar sehari-hari dengan praktik perdagangan dan fasilitas infrastruktur yang sederhana, serta ada interaksi langsung antara penjual dan pembeli.

Persyaratan kesehatan lingkungan pasar menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaraan Pasar Sehat, tempat penjualan daging, karkas unggas, ikan harus berlokasi (ditempatkan) di tempat khusus yang didasarkan pada penataan ruang dagang. Selain itu, jarak tempat penampungan dan pemotongan unggas dengan bangunan pasar utama minimal 10 m atau dibatasi tembok pembatas dengan ketinggian minimal 1.5 m. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri tersebut, tempat penjualan bahan pangan basah mempunyai kriteria sebagai berikut:

1. Mempunyai meja tempat penjualan dengan permukaan yang rata dengan kemiringan yang cukup sehingga tidak menimbulkan genangan air dan tersedia lubang pembuangan air, setiap sisi memiliki sekat pembatas dan mudah dibersihkan, dengan tinggi minimal 60 cm dari lantai dan terbuat dari bahan tahan karat bukan dari kayu.

2. Penyajian karkas harus digantung.

3. Alas pemotong (talenan) tidak terbuat dari bahan kayu, tidak mengandung bahan beracun, kedap air, dan mudah dibersihkan.

4. Pisau untuk memotong bahan mentah harus berbeda dan tidak berkarat. 5. Tersedia tempat penyimpanan bahan pangan, seperti: ikan dan daging

menggunakan rantai dingin (cold chain) atau bersuhu rendah (4-10 °C). 6. Tersedia tempat untuk pencucian bahan pangan dan peralatan.

7. Tersedia tempat cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan air yang mengalir.

(37)

9. Tersedia tempat sampah basah dan kering, kedap air, tertutup dan mudah diangkat.

10. Tempat penjualan bebas vektor penular penyakit dan tempat perindukannya, seperti: lalat, kecoa, tikus, dan nyamuk.

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 519/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman Penyelanggaran Pasar Sehat juga memberikan pedoman tentang pencahayaan, yaitu intensitas pencahayaan setiap ruangan harus cukup untuk melakukan pekerjaan pengelolaan bahan makanan secara efektif dan kegiatan pembersihan makanan, serta pencahayaan cukup terang dan dapat melihat barang dagangan dengan jelas minimal 100 luks. Selanjutnya menurut pedoman tersebut, sanitasi juga harus diperhatikan. Ketersediaan air bersih dengan jumlah yang cukup setiap hari secara berkesinambungan, minimal 40 liter/pedagang. Kualitas air bersih yang tersedia memenuhi persyaratan. Jarak sumber air bersih dengan pembuangan limbah minimal 10 meter. Selain itu, pengelolaan sampah juga sangat penting. Setiap kios/los/lorong tersedia tempat sampah basah dan kering, yang terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah berkarat, kuat, tertutup dan mudah dibersihkan. Pasar juga harus memiliki tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dengan persyaratan antara lain harus kedap air, kuat, mudah dibersihkan dan mudah dijangkau petugas pengangkut sampah. Sementara itu TPS tidak menjadi tempat perindukan insekta penular penyakit (vektor).

Pasar memiliki posisi yang sangat penting untuk menyediakan pangan yang aman. Pasar sangat dipengaruhi oleh keberadaan produsen hulu (penyedia bahan segar), pemasok, penjual, konsumen, manajer pasar, petugas yang berhubungan dengan kesehatan, dan tokoh masyarakat. Bangunan tempat penjualan daging ayam dapat berupa los yang merupakan suatu bangunan yang panjang terbuka dan tidak berdinding. Selain itu, tempat penjualan daging ayam dapat berupa suatu bangunan kecil-kecil berbentuk kamar yang tertutup dan dapat dan dapat dikunci yang dikenal dengan sebutan kios, serta dapat berupa bangunan khusus tempat penjualan daging (Hernady 1988 yang dikutip oleh Ristanti 2009).

(38)

desain yang memenuhi persyaratan sebagai tempat menyembelih hewan, antara lain, sapi, kerbau, kambing, domba, babi, dan unggas bagi konsumsi masyarakat.

Kondisi Higiene Sanitasi Tempat Penjualan Daging Ayam

Secara umum tempat penjualan daging ayam berbentuk kios permanen (95.8%) dan keseluruhannya memiliki atap yang dapat melindungi dari hujan dan panas. Sebagian dari tempat penjualan daging ayam (kios) bercampur dengan komoditas lain (58.3%) dan seluruh tempat penjualan daging ayam memiliki penerangan yang cukup. Dilihat dari segi sarana atau fasilitas, pada umumnya (79.2%) setiap kios memiliki permukaan yang kontak dengan daging terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah karat, dan mudah dibersihkan. Seluruh kios menggunakan kayu sebagai talenan dan sebagian besar kios (58.3%) tidak menggunakan pisau yang terbuat dari bahan antikarat. Semua kios tempat penjualan daging ayam yang diambil sebagai responden tidak memiliki fasilitas pembeku (freezer), fasilitas pendingin (refrigerator/chiller), dan fasilitas cuci tangan. Sedangkan untuk fasilitas pencuci peralatan (bak air, wastafel, atau yang lain), hampir sebagian besar (45.8%) kios tidak memilikinya (Tabel 7).

Produk yang dijual pada tempat penjualan daging ayam, karkas yang dijajakan umumnya (95.8%) tidak terlindung atau dapat disentuh pembeli. Seluruh kios menjual karkas terpisah dari jeroan, namun ada juga sebagian kecil kios (16.7%) yang mencampur ayam hidup bersamaan dengan karkas. Apabila diperhatikan dari aspek kebersihan, maka hanya sebagian kecil kios (20.8%) yang bebas dari serangga, rodensia, dan hewan lain. Lebih dari sebagian kios (58.3%) yang kebersihannya tidak terjaga atau ada genangan air dan sampah yang bertebaran, serta lebih dari sebagian kios (62.5%) tidak memiliki tempat sampah basah atau kering (Tabel 7).

(39)

Tabel 9 Kondisi higiene sanitasi tempat penjualan daging ayam (kios) yang diambil sebagai responden di Kota Tangerang Selatan

(40)

Kontaminasi berarti keberadaan sesuatu yang berbahaya atau tidak diharapkan dalam makanan atau minuman yang akan berisiko menimbulkan penyakit atau perasaan tidak nyaman atau kerusakan makanan. Kontaminasi silang adalah perpindahan bakteri berbahaya atau pembusuk dari suatu makanan atau tempat ke makanan. Bakteri dapat dipindahkan baik dari makanan ke makanan atau tangan ke makanan. Kontaminasi silang merupakan salah satu penyebab keracunan makanan. Hal tersebut terjadi ketika mikroorganisme patogen berpindah diantara makanan, permukaan atau lingkungan. Sumber-sumber dari mikroorganisme yang dapat mengontaminasi makanan adalah makanan mentah, insekta dan rodensia, manusia, debu, kotoran, udara, sisa makanan, dan hewan peliharaan. Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Kontaminasi makanan dapat juga disebabkan oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk (Meggitt 2003).

Kontaminasi bakteri terhadap makanan dapat terjadi melalui tangan, talenan, pisau, dan alat masak lainnya, serta lingkungan. Selain itu, kontaminasi makanan dapat disebabkan juga oleh kontak antara makanan dengan permukaan, pakaian, dan handuk. Kontaminasi silang sering terjadi ketika makanan mentah bersentuhan dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi (kontaminasi langsung), cairan atau jus dari makanan mentah yang kontak dengan makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung, bakteri yang terbawa oleh tangan atau peralatan dari makanan mentah ke makanan yang mempunyai risiko tinggi atau kontaminasi tidak langsung (Meggitt 2003).

(41)

Pekerja dapat menularkan bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Kenyataannya manusia merupakan sumber utama pencemaran pangan. Tangan, nafas, rambut, dan keringat dapat mencemari pangan. Kebiasaan pekerja seperti batuk dan bersin yang tidak ditutup dapat memindahkan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Karyawan yang sakit tidak diperkenankan kontak dengan pangan, peralatan, dan fasilitas. Kata higiene digunakan untuk menggambarkan penerapan prinsip-prinsip kebersihan untuk perlindungan kesehatan manusia. Higiene personal mengacu kepada kebersihan tubuh perseorangan. Manusia merupakan sumber potensial mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia (Marriott 1999).

Fasilitas cuci tangan merupakan parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan S. aureus. Mencuci tangan bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan mikroorganisme. Dengan mencuci tangan, penyebaran mikroorganisme melalui tangan dapat dikurangi atau bahkan diputus, oleh karena itu metode mencuci tangan sangat penting agar cuci tangan tidak menjadi sia-sia. Waktu yang digunakan untuk mencuci tangan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang dihilangkan. Waktu lima detik pada aktifitas penggosokan sabun pada tangan mempunyai pengaruh yang kecil dalam menurunkan jumlah mikroorganisme pada tangan (Marriott 1999). Dalam Minnesota Department of Health Fact Sheet (2010), mencuci tangan terdiri dari enam tahap, yaitu: (1) membasahi tangan, (2) memberi sabun, (3) menggosokkan busa ke seluruh bagian tangan dan sela-sela jari, (4) menyikat minimal 20 detik, (5) membilas dengan air yang mengalir, dan (6) pengeringan.

Jumlah Staphylococcusaureus pada Daging Ayam

(42)

pasar adalah 802.5 + 1194.2 cfu/gram, sedangkan berdasarkan lokasi pasar, maka jumlah rata-rata tertinggi sampai terendah berturut-turut adalah Pasar Modern (1116.0 + 1461.0 cfu/gram), Pasar Bukit (618.2 + 1045.8 cfu/gram), dan Pasar Jombang (433.3 + 665.8 cfu/gram). Jumlah rataan S. aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada sampel daging ayam dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah rataan Staphylococcus aureus dan persentase yang melebihi batas maksimum cemaran mikroba pada daging ayam yang dijual di pasar-pasar di Kota Tangerang Selatan

Pasar Rataan + simpangan baku (cfu/gram) Jumlah sampel yang melebihi BMCM

Pasar Modern (n=10) 1116.0 + 1461.0 8 (80.0%)

Pasar Bukit (n=11) 618.2 + 1045.8 6 (54.5%)

Pasar Jombang (n=3) 433.3 + 665.8 2 (66.7%)

Total (n=24) 802.5 + 1194.2 16 (66.7%)

BMCM = batas maksimum cemaran mikroba menurut SNI Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan

BMCM Staphylococcus aureus daging ayam segar = 100 koloni/gram

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa jumlah cemaran S. aureus dan persentase sampel daging yang melebihi BMCM tertinggi ditemukan pada sampel daging ayam dari Pasar Modern. Secara umum, hal ini dapat disebabkan oleh banyaknya (60%) karkas yang dijual di Pasar Modern dipasok dari RPU, yang mana karkas dipotong pada pukul 04.00 pagi sehingga umur karkas ayam sudah sekitar 5 jam pada saat pengambilan sampel. Pada umumnya karkas yang dijual di Pasar Bukit (100%) dan Pasar Jombang (66.7%) dipotong di tempat (di kios) sehingga waktu antara pemotongan dan pengambilan sampel relatif pendek. Selain itu, tidak adanya penerapan rantai dingin dari RPU sampai ke pasar, sehingga bakteri yang mencemari karkas dapat berkembang-biak relatif lebih banyak dibandingkan dengan karkas yang berasal dari kedua pasar lain. Tingginya jumlah S. aureus pada sampel daging mengindikasikan buruknya pelaksanaan higiene personal.

(43)

optimum pada suhu 37 °C, serta mampu bertahan pada suhu rendah. Umumya bakteri mesofilik mempunyai waktu generasi (generation time) 20 menit atau kurang pada medium yang disukai serta pada suhu optimum. Oleh karena itu, sel bakteri dapat memperbanyak diri lebih dari 16 juta selama 8 jam, serta hampir mencapi 70 juta setelah 12 jam (Forsythe dan Hayes 1998). Menurut Gill (1986) yang dikutip dalam Mead (2005), penurunan suhu di bawah suhu optimum dapat meningkatkan waktu generasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk membelah diri. Bersamaan dengan itu, bakteri akan tumbuh dua kali lipat setiap peningkatan suhu sebesar 10 °C.

Menurut Herbert (1989) yang dikutip oleh Walker et al. (2000) pengaruh penurunan suhu adalah penurunan risiko kerusakan pada pangan. Metode ini bukan hanya untuk mengurangi perubahan kimiawi atau biologis, akan tetapi juga mengurangi aktivitas dari mikroorganisme. Pada ruangan yang bersuhu rendah, periode lag phase (waktu sebelum meningkatnya jumlah mikroorganisme) menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan. Dari aspek selular, pengaruh suhu terhadap pertumbuhan merupakan hal yang kompleks yang melibatkan struktur membran, pengambilan substrat, respirasi, dan aktivitas enzim.

Pengujian jumlah mikroorganisme pada bahan pangan merupakan salah satu pengujian yang umum dan rutin diterapkan dalam rangka pengawasan dan pengendalian mutu dan keamanan bahan pangan. Jumlah mikroorganisme atau jumlah total mikroorganisme selalu dimasukkan dalam suatu standar atau spesifikasi suatu produk bahan pangan. Pengujian jumlah mikroorganisme tersebut bertujuan untuk: (1) mengetahui kualitas mikrobiologik bahan baku (bahan mentah) dan produk akhir, (2) mengetahui kondisi higiene selama proses produksi, (3) menentukan apakah bahan pangan ditangani atau disimpan pada suhu yang tidak sesuai selama proses produksi, transportasi dan penyimpanan, (4) menentukan masa simpan produk, (5) menentukan apakah produk telah sesuai dengan kriteria, spesifikasi atau standar produk, (6) menentukan tingkat pencemaran lingkungan produksi (Lukman 2005).

(44)

media agar dan kondisi inkubasi yang diterapkan, karena setiap mikroorganisme membutuhkan kondisi hidup atau pertumbuhan yang berberbeda. Jumlah mikroorganisme yang tumbuh (membentuk koloni) hanya berasal dari mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kondisi yang ditetapkan (misalnya jenis media, ketersediaan oksigen, suhu dan lama inkubasi), karena mikroorganisme lain yang terdapat pada contoh tidak dapat tumbuh atau bahkan menjadi mati. Selain itu, sebuah koloni yang nampak pada biakan tidak selalu berasal dari satu sel mikroorganisme saja, tetapi dapat berasal dari sekelompok mikroorganisme (mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan sering membentuk kelompok atau clump). Oleh sebab itu, jumlah mikroorganisme yang diperoleh dengan metode ini hanya merupakan jumlah prakiraan (estimasi) saja dan terdapat kemungkinan bahwa jumlah mikroorganisme yang diperoleh lebih banyak dibandingkan dengan mikroorganisme sesungguhnya. Dengan demikian, hasil pemeriksaan perlu diinterpretasi secara hati-hati. Namun metode ini merupakan metode yang sangat berguna dan dianjurkan dalam pemeriksaan rutin (Lukman 2005).

Jumlah koloni yang diperoleh dinyatakan dengan colony forming unit (cfu) per gram atau per ml atau per cm2 (luasan tertentu dari contoh). Ketepatan (accurancy) metode ini dipengaruhi beberapa faktor, antara lain: (1) media dan kondisi inkubasi (ketersediaan oksigen, suhu dan waktu inkubasi), (2) kondisi sel mikroorganisme (cedera atau injured cell), (3) adanya zat penghambat pada peralatan atau media yang dipakai, atau yang diproduksi oleh mikroorganisme lainnya, (4) kemampuan pemeriksa untuk mengenal koloni, (5) lelah (fatigue), (6) peralatan, pelarut dan media yang kurang steril, ruang kerja atau bench yang tercemar, (7) pengocokan pada saat pengenceran yang kurang sempurna, (8) adanya artifak yang sulit dibedakan dengan koloni, (9) kesalahan menghitung koloni dan penghitungan yang kurang tepat terhadap koloni yang menyebar atau yang sangat kecil (Lukman 2005).

(45)

hanya sedikit pekerja yang menerapkan higiene personal sehingga terjadinya kontaminasi silang (Ehiri dan Morris 1996 yang dikutip oleh Başet al. 2006).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pekerja yang menangani makanan berkontribusi terhadap terjadinya 97% dari foodborne illness pada usaha jasa boga dan rumah (Howes et al. 1996 yang dikutip oleh Ansari-Lari et al. 2010). Keracunan makanan terjadi akibat ingesti mikroorganisme yang telah ada pada makanan yang terkontaminasi, yang dapat disebabkan oleh teknik pengawetan pangan yang tidak memadai atau praktik penanganan makanan yang tidak aman, atau akibat kontaminasi silang dari permukaan, peralatan, atau orang yang membawa Staphylococcus yang bersifat enterotoksigenik pada hidung atau kulitnya (Jay et al. 1999 yang dikutip oleh Başet al. 2006).

Penelitian de Boer et al. (2009) pada perdagangan ritel di Belanda terhadap keberadaan S. aureus yang resisten terhadap metisilin (methicillin-resistant Staphylococcus aureus/MRSA) pada daging sapi, babi, sapi muda, domba/domba muda, ayam, kalkun, unggas air, dan unggas liar mendapatkan MRSA 264 (11.9%) dari 2217 sampel dan persentase tertinggi ditemukan pada daging ayam (16.0%). Kitai et al. (2005) mendapatkan hanya 2 galur (0.5%) MRSA dari 444 sampel daging ayam yang dijual di supermarket di Jepang. Daging segar dapat mengandung MRSA akibat pencemaran selama proses pemotongan. Walaupun bakteri tersebut memiliki tempat utama untuk koloni pada saluran hidung, S. aureus terdapat juga dalam saluran pencernaan (Bhalla et al. 2007). Selama proses pemotongan, karkas ayam dapat tercemar S. aureus dari saluran pencernaan, lingkungan pemotongan, atau bahkan dari pekerja yang terinfeksi (de Boer et al. 2009).

Peran Kesmavet dalam Keamanan Pangan Asal Hewan

(46)

kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh perdagangan hewan dan produk yang berasal dari hewan.

Kesehatan masyarakat veteriner didefinisikan sebagai seluruh kontribusi dari fisik, mental dan sosial yang akan membawa pada pengertian dan pengaplikasian ilmu kedokteran hewan (WHO 2011); sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia.

Istilah kesehatan masyarakat veteriner sudah diperbincangkan setelah Perang Dunia Kedua oleh administrator kesehatan masyarakat pada pelayanan kesehatan masyarakat di Amerika Serikat untuk memilih bidang yang dapat dikerjakan oleh dokter hewan (Schwabe 1984 yang dikutip oleh Steele 2008). WHO (2011) menggambarkan kesehatan masyarakat veteriner sebagai bagian dari aktivitas kesehatan masyarakat yang berdedikasi untuk menerapkan kemampuan kedokteran hewan, pengetahuan dan pelayanan untuk melindungi serta meningkatkan kesehatan manusia. Kesehatan masyarakat veteriner adalah bentuk tanggung jawab dari dokter hewan yang mana aktivitas tersebut tidak hanya terbatas untuk dokter hewan. Akan tetapi kesehatan masyarakat veteriner juga berlaku untuk disiplin ilmu yang lain (psikolog, perawat, ahli sanitasi, dan lain-lain) untuk bekerja bersama dalam menangani masalah tentang issue kesehatan manusia dan hewan (WHO 2011).

(47)

1. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis.

2. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan.

3. Penjaminan higiene dan sanitasi

4. Pengembangan kedokteran perbandingan; dan 5. Penanganan.

Pemantauan (monitoring) penyakit menggambarkan usaha-usaha yang sedang dilaksanakan sesuai dengan penilaian kesehatan dan status penyakit dari sebuah populasi. Pengambilan sampel individu dari sebuah populasi untuk penilaian penyakit atau status kesehatan yang mungkin sedang berlangsung atau terjadi berulang. Monitoring penyakit ditujukan untuk penyakit infeksius yang spesifik, sesuatu yang spesifik yang menimbulkan penyakit atau kesehatan pada umumnya. Populasi mungkin bisa ditentukan berdasarkan negara, daerah, atau daerah yang rawan (Salman 2003).

(48)

Simpulan

1. Berdasarkan kuesioner didapatkan hasil bahwa pasar yang mempunyai kriteria paling baik adalah Pasar Modern.

2. Dari hasil pengujian laboratorium ditemukan S. aureus di setiap pasar dengan jumlah berturut-turut dari yang tertinggi adalah Pasar Modern 1116.0 + 1461.0 cfu/gram, kemudian diikuti Pasar Bukit 618.2 + 1045.8 cfu/gram dan Pasar Jombang 433.3 + 665.8 cfu/gram, dengan rataan yaitu 802.5 + 1194.2 cfu/gram. Tingginya cemaran S. aureus terkait dengan praktik higiene personal yang kurang baik, khususnya yang menangani unggas.

3. Berdasarkan batas maksimum cemaran mikroba (BMCM) yang ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia Nomor 7388 Tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Mikroba dalam Pangan, sampel daging ayam yang tidak memenuhi BMCM paling tinggi diperoleh dari Pasar Modern (80.0%), kemudian diikuti Pasar Bukit (54.5%) dan Pasar Jombang (66.7%). Tingginya cemaran S. aureus pada karkas di Pasar Modern terkait dengan rentang waktu pemotongan dengan pengambilan sampel dan tidak adanya penerapan rantai dingin.

Saran

1. Diharapkan Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Tangerang Selatan melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pedagang-pedagang tentang pentingnya menerapkan higiene sanitasi pada tempat pejualan, peralatan, dan pekerja.

2. Diharapkan Program Monitoring dan Surveilans Residu dan Cemaran Mikroba (PMSR) merencanakan besaran sampel yang memadai dan mengembangkan kuesioner untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko. 3. Perlu dilakukan studi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktik

(49)
(50)

Adams MR, Moss MO. 2008. Food Microbiology 3rd Edition. Cambridge: RSC Pub.

Alimoeso S. 2011. Prediksi BKKBN: 2011, penduduk Indonesia 241 juta jiwa.

[terhubung berkala]. http://m. republika.co.id/berita/nasional/ umum/11/07/05. [5 Juli 2011].

Álvarez-Astorga M, Capita R, Alonso-Calleja J, Moreno B, García-Fernández MC. 2002. Microbiological quality of retail chicken by-products in Spain. Meat Sci 62: 45-50.

Al-Tarazi YH, Albetar MA, Alaboudi AR. 2009. Biotyping and enterotoxigenicity of staphylococci isolated from fresh and frozen meat marketed in Jordan. Food Res Int 42: 374-379.

[Anonim]. 2008. Ayam Ras. [terhubung berkala]. http://www.tangerangkab. go.id/?pilih=hal&id=45. [11 November 2011].

Ansari-Lari M, Soodbakhsh S, Lakzadeh L. 2010. Knowledge, attitudes and practices of workers on food hygienic practices plants in Fars, Iran. Food Control 21: 260-263.

Arambulo III P. 2008. International programs and veterinary public health in the Americas - success, challenges, and possibilities. Prev Vet Med 86: 208-215.

Atanassova V, Meindl A, Ring C. 2001. Prevalence of Staphylococcus aureus and staphylococcal enterotoxins in raw pork and uncooked smoked ham a comparison of classical culturing detection and RFLP-PCR. Int J Food Microbiol 68:105-103.

Aydin A, Sudagidan M, Muratoglu K. 2011. Prevalence of staphylococcal enterotoxins, toxin genes and genetic-relatedness of foodborne Staphylococcus aureus strains isolated in the Marmara Region of Turkey. Int J Food Microbiol. Doi: 10.1016/j.ijfoodmicro.2011.05.007.

Baş M, Ersun AS, Kivanç G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge, attitudes, and practices of food handlers in food business in Turkey. Food Control 17: 317-322.

Beier RC, Pillai SD. 2007. Future Directions in Food Safety. Dalam Simjee S, editor, Foodborne Disease. New Jersey: Humana Pr.

Gambar

Tabel 1 Pertumbuhan Staphylococcus aureus dan produksi enterotoksin
Tabel 2 Prevalensi Staphylococcus aureus pada makanan di beberapa negara
Tabel 4 Prevalensi Staphylococcus aureus pada berbagai makanan di
Tabel 6 Selektivitas dan sistem diagnosa yang digunakan untuk mengisolasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Widagdo (2002), melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut

[r]

Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa dalam model pembelajaran. quantum teaching siswa kelas VIIC MTsN Aryojeding

200 To correct capital accounts for error in loss allocation computed as follows:. Alvin Benny

Akurasi waktu penyinaran pesawat sinar-X tersebut memiliki penyimpangan terbesar pada titik 100 ms sebesar 1 % sedangkan nilai lolos uji yaitu &lt;10 % berarti

It is important for an auditor to consider audit and business risk when planning, carrying out and coming to an opinion on the financial statements of a company..

Berikut ini hasil pengolahan peramalan untuk supplier A berdasarkan metode peramalan yang dipilih dengan melihat nilai MAD terkecil dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai

Langkah selanjutnya yaitu setelah melihat keterkaitan antara visi dan misi serta strategi perusahaan yang digunakan sebagai alat untuk mencapai visi dan misi perusahaan dimasa