• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksplorasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens Pengendali Larva Boktor Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tanaman Tebu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Eksplorasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens Pengendali Larva Boktor Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tanaman Tebu"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

SEBAGAI AGENS PENGENDALI LARVA BOKTOR

Dorysthenes sp. (COLEOPTERA: CERAMBYCIDAE)

PADA TANAMAN TEBU

DENDI JULIADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

DAN SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Eksplorasi Bakteri Kitinolitik

Sebagai Agens Pengendali Larva Boktor Dorysthenes sp. (Coleoptera:

Ceramby-cidae) pada Tanaman Tebu adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbit-kan maupun tidak diterbitditerbit-kan dari penulis lain telah disebutditerbit-kan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada akhir bagian tesis ini.

Bogor, Februari 2010

Dendi Juliadi

(3)

DENDI JULIADI. Exploration of Chitinolytic Bacteria as Biocontrol Agent Against Sugarcane Borer Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae). Under direction of TEGUH SANTOSO, ENDANG SRI RATNA, and GIYANTO.

Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) was reported as a main pest on sugarcane plantation. The larvae bored inside the base of sugarcane stem and could reduce the yield production. Some chitinolytic bacteria are often found as a source of a potent biological agent that are useful in contributing on an IPM techniques. The aims of this research were to explore the chitinolytic bacteria and to asses their potential in controlling this pest. Chitinolytic bacteria were iso-lated from sugarcane rhizosphere, extracted boktor larvae, and fresh water that were collected from Subang sugarcane plantation and Cikabayan farm plot. The bacteria were selected using CCA and NA media plus milk. Chitinolytic and pro-teolytic activity, morphological characters, LOPAT test, and bioassay against larvae were studied. The results showed that 105 different colonies of bacteria were isolated from 14 samples. Twenty two colonies of these bacterias had chiti-nolytic and proteolytic activities. Four isolates coded JANr-09, JANr-15, CKBr-06, and CDBw-05 were chosen as candidate bacterias based on their highest acitivities. The colony of CDBw-05 was capable to kill up to 48,75% tested larvae and was not pathogenic to plant bacteria. Chitynolytic bacteria also altered the structure and rigidity of integument, and degraded fat body of larvae. Moreover, the isolated bacteria CDBw-05 produced potent chitinase and protease to control

Dorysthenes larvae and was recomended as potential biocontrol agent.

(4)

RINGKASAN

DENDI JULIADI. Eksplorasi Bakteri Kitinolitik Sebagai Agens Pengendali Larva Boktor Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tanaman Tebu. Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO, ENDANG SRI RATNA, dan GIYANTO.

Kebutuhan gula nasional meningkat setiap tahun dengan laju konsumsi sekitar 3,3% per tahun. Produksi gula nasional dilaporkan belum mampu meme-nuhi kebutuhan tersebut sehingga diperlukan impor dengan laju sekitar 11,94% per tahun.

Tanaman utama penghasil gula di Indonesia adalah tebu. Serangan hama merupakan salah satu penyebab produktivitas tebu menurun. Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) dikenal sebagai hama boktor merupakan hama baru pada perkebunan tebu yang berpotensi menurunkan produksi gula. Saat ini pe-ngendalian boktor telah dilakukan secara terpadu (PHT), namun masih terdapat kendala dalam penerapan komponen-komponen PHT tersebut di lapangan. Oleh sebab itu, komponen PHT hama boktor masih perlu diperkaya dengan menggu-nakan teknik lain yang lebih sesuai agar lebih efektif dan efisien. Salah satu kiat pengendalian yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan bakteri kitinolitik yang memiliki kemampuan proteolitik. Bakteri tersebut dilaporkan potensial untuk me-ngendalikan beberapa serangga hama.

Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi isolat bakteri kitinolitik (IBK) dari rhizosfer tebu, larva boktor, dan air lebung, serta menguji potensi IBK kandidat (IBKK) dalam menghidrolisis integumen dan mematikan larva boktor. Percobaan ini juga bertujuan mengobservasi karakter morfologi dan fisiologi IBKK, serta me-neliti pengaruh kitinase dan protease yang diproduksi oleh bakteri kitinolitik tersebut pada integumen dan jaringan di dalam tubuh larva boktor. Percobaan ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2008 sampai dengan Oktober 2009.

Rhizosfer tebu dan air lebung contoh diambil dari areal perkebunan tebu pabrik gula (PG) Subang dan Kebun Cikabayan IPB, sedangkan larva boktor di-kumpulkan dari PG Subang. Bakteri dari ketiga bahan contoh tersebut diisolasi melalui teknik pengenceran berseri, lalu diseleksi sifat kitinolitik dengan menggu-nakan media coloidal chitin agar (CCA) dan proteolitik dengan nutrient agar yang mengandung susu bubuk skim (NA+susu). Pengukuran aktivitas kedua sifat ter-sebut pada IBK dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan media tumbuh yang sama. Diameter koloni serta zona kitinolisis dan proteolisis diamati dan diu-kur setiap hari berturut-turut mulai 1–14 hari setelah inokulasi (HSI) dan 1–7 HSI. Indeks kitinolitik (IK) dan indeks proteolitik (IP) ditentukan berdasarkan hasil pe-ngurangan diameter zona hidrolisis dengan diameter koloni, lalu dibagi dengan diameter koloni bakteri. Isolat bakteri kitinolitik kandidat terpilih jika memiliki nilai kedua indeks tersebut lebih dari satu dan cenderung naik selama inkubasi.

Potensi IBKK dalam menghidrolisis integumen larva dilakukan pada media

(5)

mati yang telah dipasteurisasi dalam kultur cair IBKK selama 16 hari. Pengama-tan dilakukan interval 4 hari terhadap perubahan warna dan bau media; warna, struktur, dan rigiditas integumen, serta degradasi jaringan di dalam tubuh larva. Isolat bakteri kitinolitik kandidat dikarakterisasi secara morfologi meliputi bentuk, warna, elevasi, dan tepian koloni; bentuk dan tipe Gram sel; serta secara fisiologi melalui uji LOPAT (levan formation, oxidase activity, potato soft rot, arginine hy-drolysis, tobacco hypersensitivity).

Pada penelitian eksplorasi dan seleksi bakteri kitinolitik diperoleh 23 IBK dari ketiga kelompok bahan contoh yang sebagian besar berasal dari rhizosfer tebu. Dua puluh dua isolat dari IBK tersebut juga memiliki aktivitas proteolitik. Empat IBK yaitu isolat JANr-09, JANr-15, CKBr-06, dan CDBw-05 ditetapkan sebagai IBKK karena memiliki nilai IK dan IP lebih dari satu, serta aktivitas kitino-litik dan proteokitino-litik IBKK tersebut cenderung naik selama inkubasi.

Hasil uji potensi IBKK dalam menghidrolisis integumen larva boktor menun-jukkan bahwa isolat CKBr-06 konsisten memiliki nilai IH paling tinggi setiap hari (1,21–2,70) dibandingkan ketiga IBKK lainnya. Nilai IH isolat CDBw-05 (0,82) pada hari pertama lebih tinggi daripada JANr-09 (0,14) dan JANr-15 (0,00). Pa-da hari kedua, nilai IH isolat CDBw-05 (1,14) tiPa-dak berbePa-da nyata dengan JANr-09 (0,96), kemudian pada hari ketiga nilai IH isolat ini (1,22) tidak berbeda nyata baik dengan JANr-09 (1,43) maupun JANr-15 (1,35). Nilai IH isolat CDBw-05 pada 4–7 HSI (1,19–1,44) lebih rendah daripada 15 (1,67–2,06) dan JANr-09 (1,58–1,98). Nilai IH tertinggi pada hari ketujuh berturut-turut terjadi pada iso-lat CKBr-06 sebesar 2,70; JANr-15 (2,06), JANr-15 (1,98), dan CDBw-05 (1,44).

Jumlah larva boktor mati pada semua perlakuan IBKK kurang 50% dari larva uji. Larva boktor mengalami kematian paling banyak pada perlakuan CKBr-06 (46,25%) ketika 7 HSA. Pada waktu 14 HSA, kematian tertinggi larva terjadi pada perlakuan CDBw-05 (48,75%) namun tidak berbeda nyata dengan CKBr-06 (46,25%). Larva boktor yang tidak aktif makan banyak terdapat pada perlakuan JANr-15 saat 7 HSA (63,75%). Pada waktu 14 HSA, larva seperti ini banyak ter-jadi pada perlakuan 09 (60,00%) tetapi tidak berbeda nyata dengan JANr-15 (48,75%) dan CDBw-05 (47,50%). Perlakuan isolat JANr-JANr-15 mampu mene-kan kehilangan bobot batang tebu paling rendah pada waktu 7 HSA (19,06 g) dan 14 HSA (41,94 g) tetapi tidak berbeda nyata dengan CDBw-05 (20,81 & 44,09 g) dan CKBr-06 (21,49 & 44,20 g). Integumen larva boktor yang mati pada perlakuan isolat JANr-09, CKBr-06, dan CDBw-05 menjadi hitam, berbeda de-ngan warna integumen pada perlakuan isolat JANr-15, kontrol, dan larva hidup.

Berdasarkan hasil pengamatan preparat makrokospis sediaan utuh nunjukkan bahwa media uji serta integumen dan jaringan tubuh larva boktor me-ngalami perubahan akibat aktivitas kitinolitik dan proteolitik isolat CKBr-06 dan CDBw-05 yang terjadi antara 8–16 HSA. Media uji dan integumen larva menjadi hitam dan mengeluarkan bau busuk menyengat. Integumen tersebut menjadi hancur dan lunak, serta jaringan lemak dan jaringan lain di dalam tubuh larva boktor terdegradasi.

Hasil karakterisiasi koloni bakteri menunjukkan bahwa isolat 09, JANr-15, dan CKBr-06 terindikasi sebagai patogen tanaman, sedangkan CDBw-05 konsisten bukan patogen tanaman berdasarkan lima sub uji pada LOPAT. De-ngan demikian, isolat CDBw-05 merupakan isolat potensial untuk dikaji lebih mendalam sebagai agens pengendali larva boktor.

(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tin-jauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

SEBAGAI AGENS PENGENDALI LARVA BOKTOR

Dorysthenes sp. (COLEOPTERA: CERAMBYCIDAE)

PADA TANAMAN TEBU

DENDI JULIADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains pada

Program Studi Entomologi-Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Boktor Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tanaman Tebu

Nama Mahasiwa : Dendi Juliadi

NIM : A351070091

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA. Ketua

Dr. Endang Sri Ratna Dr. Ir. Giyanto, M.Si.

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan

Entomologi Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2008 ini ialah hama boktor, dengan judul Eksplorasi Bakteri Kitinolitik sebagai Agens Pengen-dali Larva Dorysthenes sp. (Coleoptera: Cerambycidae) pada Tanaman Tebu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA, Dr. En-dang Sri Ratna, dan Dr. Ir. Giyanto, M.Si, selaku pembimbing; Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi, serta Dr. Ir. Aris Toharisman, M.Sc., dan Ir. Djoko Pramono, M.S. yang telah banyak memberi saran. Disamping itu, peng-hargaan penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian yang telah mendanai tugas belajar ini. Ungkapan terima kasih juga disam-paikan kepada Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan, PT PG Rajawali II Cirebon, dan PG Subang yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan dan melakukan penelitian di instan-si tersebut. Demikian pula rasa terima kainstan-sih penulis tujukan kepada Bapak Moel-jani (Alm) dan Ibu Metha (Almh); Bapak H. Santoso Martodirjo, SKM. dan Ibu Hj. Asiah Ma’in; serta Mama Dian Nugrahaningsih dan anak-anak kami atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2010

(12)

Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 25 Juli 1972 dari Bapak Moeljani (Alm) dan Ibu Metha (Almh). Penulis merupakan putra kedelapan dari sembilan bersaudara. Pada tahun 2001, penulis menikah dengan Dian Nugra-haningsih dan saat ini telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Aziizah Diandi Putri (28-5-2002), Muhammad Rizqi Diandi Putra (30-10-2006), dan Zahra Agustine Diandi Putri (15-8-2008).

Tahun 1991 penulis lulus dari SMA Negeri I Tuban dan pada tahun yang sama diterima masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pendidikan sarjana di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan diselesaikan oleh penulis pada tahun 1996. Penulis melanjutkan S2 di tempat yang sama pada ta-hun 2007 yang didanai dari beasiswa Badan Penelitian dan Pengembangan Per-tanian. Mayor yang dipilih oleh penulis adalah Entomologi.

(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ……….... 3

Manfaat Penelitian ... . 3

Hipotesis ... . 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Hama Boktor ... ... 4

Kitin dan Kitinase . ... 6

Bakteri Kitinolitik ... 7

BAHAN DAN METODE ... 9

Waktu dan Tempat ... 9

Persiapan penelitian ... 9

Penanaman Tebu ... 9

Pengumpulan, Pemeliharaan, dan Karantina Larva Boktor .. 9

Pembuatan Media Tumbuh Bakteri ... 10

Metode Penelitian ... 11

Eksplorasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik dan Proteolitik... 11

Eksplorasi Bakteri Kitinolitik ... 11

Seleksi Sifat Kitinolitik dan Proteolitik ... 12

Pengukuran Aktivitas Kitinolitik dan Proteolitik ... 12

Uji Potensi IBKK pada Integumen dan Larva Boktor ... 13

Uji Potensi IBKK dalam Menghidrolisis Integumen Larva Boktor ... 13

Uji Potensi IBKK dalam Mematikan Larva Boktor ... 13

Pengamatan Makroskospis Preparat Sediaan Utuh Larva Boktor... 15

Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi IBKK ... 15

Karakterisasi Morfologi ... 15

(14)

Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Hasil ... 17

Eksplorasi dan Seleksi IBK ... 17

Potensi IBKK dalam Menghidrolis dan Mematikan Larva Boktor ... 21

Potensi IBKK dalam Menghidrolisis Integumen Larva Boktor ... 21

Potensi IBKK dalam Mematikan Larva Boktor ... 22

Pengaruh Kultur IBKK pada Integumen dan Jaringan Larva Boktor ... 24

Karakter IBKK ... 26

Pembahasan ... 27

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Derajat keasaman dan kepadatan bakteri dalam bahan contoh ... 17

2 Komposisi jumlah koloni bakteri dari bahan contoh berdasarkan aktivitas hidrolisisnya ... 18

3 Aktivitas hidrolisis IBKK pada integumen larva boktor ... 23

4 Kondisi larva boktor yang dipaparkan pada pasta IBKK dalam batang tebu ... 23

5 Pengaruh aktivitas makan larva boktor pada bobot batang tebu ... 24

6 Karakter morfologi IBKK ... 26

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Siklus hidup hama boktor ... 5

2 Aktivitas kitinolitik IBK rhizosfer, air lebung dan kadaver larva

boktor ... 19

3 Aktivitas proteolitik IBK rhizosfer, air lebung dan kadaver larva

boktor ... 20

4 Aktivitas kitinolitik koloni isolat JANr-09, CDBw-05, CKBr-06, JANr-15,

dan kontrol pada CCA saat 7 HSI ... 21

5 Pengaruh perlakuan isolat JANr-09, JANr-15, CKBr-06, CDBw-05 dan kontrol, terhadap perubahan warna tubuh larva boktor yang mati

saat 14 HSA ... 24

6 Pengaruh kultur IBKK pada larva boktor saat 12 HSA . ... 25

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir pembuatan media CIJA larva boktor ... 43

2 Bagan alir uji potensi IBKK dalam mematikan larva boktor ... 44 3 Bagan alir pengamatan makroskopis preparat sediaan utuh larva

boktor ... 45

4 Karakter morfologi serta kemampuan kitinolitik dan proteolitik IB

yang diisolasi dari rhizosfer, kadaver larva boktor, dan air lebung ... 46

5 Perubahan struktur integumen larva boktor pada uji whole mount ... 48

6 Perubahan rigiditas integumen larva boktor pada uji whole mount ... 49

7 Perubahan jaringan dalam tubuh larva boktor pada uji whole mount . 50

8 Aktivitas hidrolisis IBK dari rhizosfer, kadaver larva boktor, dan

(18)

Latar Belakang

Kebutuhan gula nasional meningkat setiap tahun akibat pertambahan

pen-duduk, perbaikan pendapatan masyarakat, serta perkembangan industri

maka-nan dan minuman. Laju peningkatan konsumsi gula diperkirakan sekitar 3,3%

per tahun (Mardianto et al. 2005). Pada tahun 2009, produksi gula mencapai

se-kitar 3 juta ton (P3GI 2007; BPS 2008), padahal kebutuhan gula nasional

diperki-rakan lebih dari 4 juta ton sehingga diperlukan impor dengan laju 11,94% per

tahun (Hartono 2002).

Tebu merupakan bahan baku utama pembuatan gula. Salah satu

penye-bab produktivitas tebu menurun adalah serangan hama. Dorysthenes sp.

(Co-leoptera: Cerambycidae) dikenal sebagai hama boktor, dilaporkan sebagai hama

baru yang berpotensi menurunkan kuantitas dan kualitas batang tebu (Pramono

et al. 2000b; 2001a). Kehilangan bobot batang akibat gerekan larva hama ini

mencapai 14%–16% pada saat panen. Batang tebu yang dipanen dapat

tercam-pur bagian pangkal terserang, serbuk gerek, dan tanah sehingga menghambat

proses konversi nira tebu menjadi gula (Pramono et al. 2000a; 2001a).

Hama boktor juga berpotensi menyebar cepat ke perkebunan tebu lain.

Hama ini bersifat polifag dengan preferensi tinggi pada tebu. Larva mampu

hi-dup dalam batang tebu yang ditanam di berbagai jenis lahan. Kedua hal tersebut

menyebabkan larva boktor dapat terbawa ke tempat lain melalui persebaran

batang tebu yang dijadikan bibit (Pramono & Rifal 2001). Serangan hama ini

telah meluas dari delapan hektar pada tahun 1989 (Rifal 1997) menjadi sekitar

6000 hektar tahun 1999 di perkebunan tebu pabrik gula (PG) Subang (Pramono

et al. 2000b) dan menyebar ke tanaman tebu di PG Jatitujuh Cirebon seluas 24

hektar pada tahun 2000 (Pramono 2005).

Usaha pengendalian hama boktor telah dilakukan melalui penerapan paket

pengendalian hama terpadu (PHT) sejak tahun 2000 di PG Subang. Paket

terse-but meliputi pengolahan tanah intensif, pengumpulan larva, penangkapan imago,

sanitasi tunggul tebu, dan aplikasi cendawan entomopatogen Metarrhizium

flavo-viridae Sorokin. Aplikasi insektisida pernah dicoba tetapi mengalami beberapa

hambatan di lapangan. Butiran insektisida dapat ditaburkan di lubang tanam

te-tapi keefektifannya rendah karena persistensi insektisida tersebut pendek.

(19)

lebih dari dua bulan. Ragam insektisida sistemik yang tersedia juga sangat

batas (Pramono & Purwantara 2000). Hasil evaluasi penerapan paket PHT

ter-sebut menunjukkan terjadi penekanan 73%–89% populasi larva boktor dan 20%–

31% bobot batang yang hilang (Pramono et al. 2001b; Pramono et al. 2002).

Namun keberhasilan paket PHT ini lebih didominasi oleh peranan pengolahan

tanah intensif, pengambilan larva, dan sanitasi tunggul tebu (Pramono & Rifal

2001).

Saat ini beberapa teknik pengendalian terhadap hama boktor telah

diupa-yakan. Sanitasi tunggul tebu dan pengolahan tanah dilakukan secara intensif,

namun pada akhirnya ditiadakan karena masalah hambatan teknis dan biaya,

se-baliknya aplikasi M. flavoviridae dan penangkapan imago masih dilakukan

mes-kipun memerlukan biaya tinggi serta pengawasan yang lebih ketat. Oleh sebab

itu, komponen PHT hama ini masih perlu diperkaya dengan menggunakan teknik

lain yang lebih sesuai agar pengendalian yang dilakukan lebih efektif dan efisien.

Salah satu kiat yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan bakteri kitinolitik

yang memiliki kemampuan proteolitik untuk menekan populasi larva boktor.

Bakteri kitinolitik dan proteolitik banyak terdapat di alam. Bakteri ini

mem-produksi kitinase dan protease yang dapat menghidrolisis kitin dan protein,

pe-nyusun sebagian besar kutikula serangga. Kitin dan protein ini tidak hanya

di-jumpai pada integumen, tetapi juga terdapat pada membran peritrofik yang

memiliki peran vital bagi kehidupan serangga (Mordue & Goldsworthy 1980;

Hepburn 1985; Chapman 1998; Nation 2002; Merzendorfer & Zimoch 2003).

Bakteri tersebut dapat dijumpai di rhizosfer (Kamil et al. 2007), larva serangga

(El-Tarabily et al. 2005; Meca et al. 2009), dan air (Suryanto & Munir 2006;

Pujiyanto et al. 2008).

Kultur bakteri kitinolitik dilaporkan berpotensi mengendalikan serangga

hama. Menurut El-Tarabily et al. (2005), bakteri genus Bacillus dan

Pseudomo-nas dilaporkan dapat mematikan telur dan larva Rhynchophorus ferruginesus

(Coleoptera: Curculionidae) pada tanaman palem di Uni Emirat Arab. Kombinasi

Actinoplanes philippinensis, A. missouriensis, dan Streptomyces clavuligerus

di-laporkan menghambat pembentukan pupa Drosophila melanogaster (Diptera:

Drosophilidae) di Mesir (Galdehak et al. 2005). Meca et al. (2009) melaporkan

bahwa bakteri Serratia sp., Pseudomonas sp., dan Enterobacter aerogenes

(20)

tana-man jeruk di Peru. Di Indonesia, isolat bakteri kitinolitik yang berasal dari air

dilaporkan mampu mematikan 86% larva Aedes aegypti Linnaeus (Diptera:

Culicidae) dalam waktu 7 hari (Pujiyanto et al. 2008), sedangkan isolat bakteri

yang berasal dari rhizosfer tanaman cabai dapat mendegradasi integumen imago

Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) (Mahagiani 2008). Pengujian

peman-faatan bakteri kitinolitik dan proteolitik untuk mengendalikan serangga hama

be-lum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya dari famili Cerambycidae pada

tanaman tebu.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi bakteri kitinolitik (IBK) dari

rhi-zosfer tebu, larva boktor, dan air lebung di sekitar pertanaman tebu, serta

me-nguji potensi IBK kandidat (IBKK) dalam menghidrolisis integumen dan

memati-kan larva boktor. Percobaan ini juga bertujuan mengobservasi karakter morfologi

dan fisiologi IBKK, serta mempelajari pengaruh kitinase dan protease yang

dipro-duksi oleh bakteri kitinolitik tersebut pada integumen dan jaringan di dalam tubuh

larva boktor.

Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh IBK unggulan yang

te-lah ditetapkan karakter morfologi, fisiologi, dan potensinya dalam mematikan

lar-va boktor, serta diketahui dampak kitinase dan protease yang diproduksi oleh

IBK tersebut pada integumen dan jaringan di dalam tubuh larva boktor. Isolat

bakteri potensial ini diharapkan dapat diteliti lebih mendalam sebagai agens

pengendali hama boktor pada tanaman tebu.

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah bakteri kitinolitik banyak terdapat di rhizosfer

tebu, larva boktor, dan air lebung, serta terdapat IBK yang berpotensi sebagai

(21)

Hama Boktor

Hama boktor pertama kali ditemukan hanya menyerang delapan hektar

ta-naman tebu di PG Subang pada tahun 1989. Namun pada tahun 1995,

serang-an hama ini meningkat hingga 100 hektar (Rifal 1997), bahkserang-an pada tahun 1999

mencapai 6000 hektar (Pramono et al. 2000b). Setahun kemudian, hama boktor

telah menyebar ke PG Jatitujuh Cirebon (Pramono 2005).

Hama boktor telah ditetapkan sebagai genus Dorysthenes berdasarkan

ha-sil identifikasi dari International Institute of Entomology (Brown 1997). Boktor

me-rupakan serangga polifag dengan preferensi tinggi pada tebu. Dua tipe

kerusak-an tkerusak-anamkerusak-an tebu ykerusak-ang diakibatkkerusak-an oleh larva boktor yaitu kerusakkerusak-an primer

berupa lubang gerek pada pangkal batang dan kerusakan sekunder berupa

bekas gerekan awal oleh larva yang diikuti serangan rayap dan infeksi patogen

(Pramono et al. 2000a; 2001a). Serangan hama ini dapat menyebabkan

keru-sakan berat sehingga mengakibatkan bobot tebu menurun 16% saat panen,

kandungan nira dalam batang sedikit, dan kontaminan bahan baku gula berupa

kotoran larva yang terbawa batang meningkat (Pramono 1997; Pramono et al.

2000b).

Tanaman tebu yang diserang hama boktor menunjukkan gejala seperti

da-un mengda-uning lalu mengering, batang pendek dan roboh, kemudian tanaman

mati. Seringkali dijumpai banyak larva atau kokon di sekitar tanaman bergejala

yang digali serta dalam batang dan tunggul tebu yang dibelah (Pramono 1997;

Pramono et al. 2000a).

Siklus hidup hama boktor terdiri atas telur, larva, pupa, dan imago (Gambar

1). Imago betina meletakkan telur di sekitar perakaran tanaman tebu dalam

wak-tu 3–4 hari. Telur berbenwak-tuk oval dan pipih, kedua ujungnya meruncing, dan

pan-jang telur sekitar 4–5 mm (Gambar 1a). Rata-rata stadia telur adalah 20 hari.

Telur menetas menjadi larva (boktor) yang merusak tanaman tebu. Bentuk larva

silindris, tanpa tungkai, dan terdiri atas 12 ruas tubuh (Gambar 1b) (Pramono et

al. 2001a). Daur hidup larva antara 20–21 bulan, terbagi dalam 10 instar. Larva

yang berada di dalam tanah menggerek pangkal batang tebu memanjang menuju

ke atas hingga jarak 20–30 cm dari permukaan tanah, kemudian berbalik arah

menuju ke tanah kembali melalui lubang gerek yang sama untuk menggerek

(22)

hui mampu hidup pada pangkal batang tebu yang ditanam di berbagai tipe tanah

(Pramono & Rifal 2001). Larva selanjutnya berubah menjadi pupa berbentuk

eksarata (Gambar 1d) dan dilindungi oleh kokon yang terbuat dari campuran

serasah dan tanah (Gambar 1e). Lama hidup pupa rata-rata 20,32 hari.

Kum-bang keluar dari kokon pada awal musim penghujan. KumKum-bang jantan dan

betina memiliki panjang dan lebar tubuh berturut-turut 37,6 mm dan 14,6 mm,

serta 39,4 mm dan 15,6 mm. Antena kumbang jantan dan betina berbentuk

benang dengan panjang melebihi setengah ukuran tubuhnya (Gambar 1f).

Rata-rata lama hidup imago mencapai 53,3 hari (Pramono 2005).

Gambar 1 Siklus hidup hama boktor. Telur (a), larva (b), larva menggerek bibit dan pangkal batang tebu (c), pupa (d), kokon (e), dan imago (f) (Pramo-no et al. 2001; Pramono 2005)

Beberapa teknik pengendalian dalam bentuk paket PHT telah diterapkan

untuk mengendalikan hama boktor. Menurut Pramono & Purwantara (2000)

paket tersebut meliputi pengolahan tanah secara intensif, sanitasi tunggul,

re-planting, pengumpulan larva dan imago, serta aplikasi cendawan entomopatogen

M. flavoviridae Sorokin isolat Subang. Replanting adalah pembongkaran bekas

rumpun tebu yang dilanjutkan dengan pengolahan tanah dan penanaman tebu

kembali. Aplikasi insektisida pernah dicoba tetapi mengalami beberapa hambat-d

c c e

e

b

(23)

keefektifannya rendah karena persistensi insektisida tersebut pendek. Butiran

insektisida sulit diaplikasikan di rhizosfer jika tanaman tebu telah berumur lebih

dari dua bulan. Ragam insektisida sistemik yang tersedia untuk mengendalikan

larva boktor juga sangat terbatas. Aplikasi paket PHT berhasil mengendalikan

larva boktor, namun keberhasilan ini lebih didominasi oleh peranan pengolahan

tanah secara intensif, pengambilan larva boktor, dan sanitasi tunggul tebu

(Pramono & Rifal 2001). Hasil evaluasi penerapan paket PHT tersebut

menun-jukkan terjadi peningkatan 8% larva terinfeksi M. flavoviridae, penekanan 73%–

89% populasi larva boktor, dan penurunan 20%–31% bobot batang tebu yang

hilang (Pramono et al. 2001b; Pramono et al.2002).

Kitin dan Kitinase

Kitin merupakan polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Bahan

ini disusun oleh monomer N-asetilglukosamin dan dapat didegradasi oleh

kom-plek enzim. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang,

kepiting, dan hewan arthropoda lainnya (Skjak-Braek & Sanford 1989). Kitin

menyusun 20%–50% prokutikula yaitu komponen utama kutikula serangga. Di

bagian prokutikula juga mengandung 50% molekul protein yang terletak di antara

serabut kitin. Kitin tidak hanya dijumpai pada integumen, tetapi juga terdapat

pada membran peritrofik yang terletak di saluran pencernaan bagian tengah

(mesenteron) serangga. Bahan ini memiliki peran yang sangat vital bagi

keber-langsungan kehidupan serangga. Fungsi kitin pada integumen antara lain adalah

sebagai kulit pembungkus tubuh serangga, penyangga dan kerangka tubuh;

perlindungan dari penguapan, lingkungan ekstrim, serta serangan patogen dan

predator; sebagai tempat alat indera dan sel kelenjar; serta berperan dalam

proses ganti kulit. Kitin pada membran peritrofik berperan melindungi mikrovili

dari abrasi, infeksi patogen, dan hidrolisis enzim pencernaan (Mordue &

Gold-sworthy 1980; Chapman 1998; Nation 2002; Merzendorfer & Zimoch 2003).

Kitinase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis polimer kitin

men-jadi kitin oligosakarida dan N-asetilglukosamin (Chernin et. al. 1996), sedangkan

protease memecah ikatan peptida pada protein (Akhdiya 2003). Kedua enzim ini

diproduksi oleh serangga pada waktu ganti kulit untuk mendegradasi kitin pada

(24)

Fenomena ini mengindikasikan kitinase dan protease dapat bersifat mematikan

(detrimental) terhadap serangga itu sendiri sehingga membuka peluang

diguna-kan sebagai agens pengendali hama (Osman et al. 2003; Toharisman 2007).

Bakteri Kitinolitik

Tanah merupakan habitat yang baik bagi kehidupan bakteri sehingga

popu-lasi bakteri tanah cukup berlimpah. Jumlah bakteri berkisar antara 107–1010 sel

per gram berat kering tanah (van Elsas et al. 2003). Sebagian besar mikrob

tanah merupakan pengurai kitin yang baik dan dilaporkan mengandung sekitar

106 mikrob kitinolitik per gram tanah. Bakteri kitinolitik biasanya juga memiliki

kemampuan proteolitik sehingga memproduksi enzim ganda yaitu kitinase dan

protease. Genus bakteri kitinolitik yang sudah banyak dilaporkan antara lain

adalah Aeromonas (Brzezinska & Donderski 2001), Alteromonas,

Chromo-bacterium, Enterobacter, Ewingella, Psudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia,

Vibrio (Chernin et al. 1995 & 1996), Bacillus, Stenotrophomonas (Kamil et al.

2007), dan Pyrococcus (Gao et al. 2003).

Kitinase dan protease yang diproduksi oleh bakteri dapat dimanfaatkan

untuk mengendalikan hama melalui teknik kloning, aplikasi ekstrak enzim, atau

penggunaan kultur bakteri. Kajian pemanfaatan kultur bakteri kitinolitik pada

hama menunjukkan hasil yang prospektif. Doust & Gunner 1979 dalam Tanada

& Kaya (1993) pernah mengisolasi bakteri kitinolitik dari larva Limantria dispar

(Lepidoptera: Limantriidae) yang sehat. Kombinasi antara bakteri kitinolitik

tersebut dan bakteri non patogenik dilaporkan mampu meningkatkan kematian

larva serangga tersebut. El-Tarabily et al. (2005) melaporkan bahwa kitinase

yang dihasilkan oleh genus Bacillus dan Pseudomonas dapat mematikan telur,

larva, dan imago Rhynchophorus ferrugineus secara in vitro dan in vivo. Tiga

bakteri kitinolitik dari kelompok aktinomiset, yaitu Actinoplanes philippinensis, A.

missouriensis, atau Streptomyces clavuligerus, dilaporkan mempengaruhi

pembentukan pupa Drosophila melanogaster baik secara aplikasi tunggal atau

kombinasi (Galdehak et al. 2005). Pujiyanto et al. (2008) juga melaporkan

bah-wa isolat bakteri kitinolitik LMB1-5 mampu mematikan 86% larva nyamuk Aedes

aegypty dalam waktu 7 hari. Bakteri kitinolitik yang diisolasi dari rhizosfer

(25)

laboratorium (Mahagiani 2008). Bakteri Serratia sp., Pseudomonas sp., dan

Enterobacter aerogenes mampu mematikan 74,1% larva hama jeruk Phyllocnistis

citrella (Meca et al. 2009).

Karakter morfologi dan fisiologi bakteri kitinolitik yang berpotensi sebagai

agens pengendali hama perlu diobservasi untuk menelusuri hubungan dengan

aktivitas kitinolitik dan patogenisitas terhadap tanaman. Karakterisasi morfologi

meliputi tipe Gram dan bentuk sel, serta bentuk, warna, tepian, dan elevasi

kolo-ni. Uji LOPAT terhadap koloni bakteri kitinolitik dilakukan untuk membuktikan

ketiadaan sifat patogenisitas bakteri pada tanaman (Lelliot & Stead 1987)

(26)

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2008 sampai dengan

Oktober 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga dan

Laboratorium Bakteri Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Per-tanian, Institut Pertanian Bogor.

Persiapan Penelitian

Penanaman Tebu

Tebu varietas PA 177 yang dominan di PG Subang ditanam di kebun

Cikabayan pada lahan seluas 200 m2, menggunakan metode teknik budidaya

tebu lahan kering (Arsana 1997) pada bulan Desember 2008. Pemeliharaan

tanaman terutama penyiraman dan pengendalian gulma dilakukan secara rutin.

Perbanyakan tanaman tebu ini digunakan sebagai pakan boktor harian dan

bahan pendukung dalam uji berikutnya di laboratorium.

Pengumpulan, Pemeliharaan, dan Karantina Larva Boktor

Pengumpulan larva boktor dilakukan di areal perkebunan tebu PG Subang

dalam dua tahap, yaitu sebelum dan saat replanting tanaman tebu. Sebelum

re-planting (Maret–Juni), larva dikoleksi dari pangkal batang yang terserang dan

bekas tunggul tebu. Pangkal batang dan bekas tunggul tebu dibelah, kemudian

larva hidup yang ditemukan dimasukkan dalam kotak koleksi (Pramono & Rifal

2001). Pada saat replanting (Juli–September), larva boktor yang terangkat ke

permukaan tanah sewaktu pengolahan lahan dikumpulkan dalam kotak koleksi.

Intensitas pengumpulan larva boktor ini dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan

kegiatan di laboratorium.

Larva boktor hasil pengambilan dari lapang dipelihara dan dikarantina di

laboratorium minimal satu bulan dengan mengacu pada metode Pramono et al.

(2001a). Larva dipelihara per individu di dalam wadah plastik berdiameter 5–10

cm yang berisi tanah steril dan batang tebu. Kelembaban tanah dijaga dengan

cara menyemprotkan air steril secara periodik, sedangkan pakan diganti secara

rutin. Larva boktor yang dipelihara dan dikarantina di laboratoirum didominasi

(27)

Pembuatan Media Tumbuh Bakteri.

Penelitian ini menggunakan beberapa kelompok media tumbuh bakteri,

yai-tu media isolasi, seleksi, induksi, dan produksi (MP). Media isolasi digunakan

untuk menumbuhkan bakteri dari bahan contoh yang terdiri atas nutrient agar

(NA) (3,0 g beef extract; 5,0 g peptone; 2,5 g glucose; 15,0 g agar; 1000,0 ml

akuades), trypticase soy agar (TSA) (15,0 g pancreatic digest of casein; 5,0 g

pancreatic digest of soybean meal; 5,0 g NaCl; 15,0 g agar; 1000,0 ml akuades),

dan Kings’B (20,0 g protease peptone no. 3; 1,5 g K2HPO4; 1,5 gMgSO47H2O,

15,0 ml Glycerol, 15,0 g agar, 1000,0 ml akuades) (Atlas 2005). Media seleksi

dipakai untuk mendeteksi kemampuan kitinolitik dan proteolitik bakteri yang

ter-isolasi yang meliputi coloidal chitin agar (CCA) (5,0 g coloidal chitin; 2,0 g

(NH4)2SO4; 1,1 g Na2HPO4; 0,7 g KH2PO4; 0,2 MgSO47H2O; 1,0 g FeSO4; 1,0 g

MnSO4; 1000,0 ml akuades), crude integumen juice agar (CIJA) (70,0 g jus

integumen; 2,0 g (NH4)2SO4; 1,1 g Na2HPO4; 0,7 g KH2PO4; 0,2 MgSO47H2O; 1,0

g FeSO4; 1,0 g MnSO4; 1000,0 ml akuades), dan NA+susu (NA dicampur 10,0 g

susu bubuk skim) (Akhdiya 2003). Media induksi digunakan untuk

menumbuh-kan dan menstimulasi bakteri kitinolitik memproduksi kitinase sebelum

diinoku-lasikan ke MP yaitu media LB pada konsentrasi 10% diberi 1% crab chitin.

Me-dia produksi dipakai untuk memperbanyak sel bakteri kitinolitik yang terdiri atas

MP (1,0 MgSO47H2O; 10,0 KH2PO4; 10,0 NaCl; 70,0 yeast extract; 30,0 g

coloidal chitin; 1000,0 akuades) (Mahagiani 2008) dan water yeast extract (WYE)

(0,25 g yeast extract; 0,5 g KH2PO4; 1000,0 ml akuades) (Crawford et al. 1992).

Media produksi yang pertama digunakan untuk bakteri yang diduga selain dari

kelompok aktinomiset, sedangkan media produksi yang kedua digunakan untuk

bakteri dari yang diduga dari kelompok aktinomiset.

Media CIJA dibuat dengan menggunakan bahan-bahan dengan komposisi

yang sama dengan media CCA tetapi koloidal kitin diganti dengan jus integumen

larva boktor (Lampiran 1). Bahan integumen diperoleh dengan cara membuang

bagian kapsul kepala larva boktor secara melintang, lalu sisa tubuhnya dibedah

dengan arah membujur di bagian ventral mulai dari anterior menuju posterior.

Integumen larva selanjutnya dibentang di atas alas parafin atau spon dengan

bantuan jarum, lalu isi abdomen dibuang dan jaringan yang menempel pada

(28)

integumen larva yang tersisa digunakan sebagai sumber media uji pada uji

potensi IBKK dalam proses hidrolisis integumen larva boktor.

Tujuh puluh gram (sekitar 10 lembar) integumen larva boktor dicuci dengan

larutan Ringer (Osman et al. 2005), kemudian dimasukkan dalam homogenizer

dan diputar pada kecepatan 20.000 rpm selama 5 menit. Jus integumen disaring

dengan menggunakan saringan plastik dan dicampur dengan bahan-bahan lain

pembentuk media CIJA, kemudian dipanaskan dan diaduk di atas stir hot plate

hingga homogen.

Metode Penelitian

Eksplorasi dan Seleksi Bakteri Kitinolitik

Eksplorasi Bakteri Kitinolitik. Pengumpulan rhizosfer tebu, larva boktor, dan air lebung contoh dilakukan di tujuh areal perkebunan tebu PG Subang dan

satu areal kebun Cikabayan Bogor. Lebung merupakan kolam buatan untuk

me-nampung air hujan. Rhizosfer dimasukkan dalam kantong plastik, larva

dikum-pulkan dalam kotak koleksi, dan air lebung contoh ditampung dalam botol plastik,

lalu dibawa ke laboratorium. Semua bahan contoh tersebut diukur pH-nya

de-ngan menggunakan kertas lakmus pH universal.

Ketiga bahan contoh dipersiapkan di laboratorium sebelum pelaksanaan

isolasi. Setiap rhizosfer contoh dicampur merata dan dibersihkan dari kotoran

yang terbawa (El-Tarabily et al. 2005), kemudian dimasukkan kembali dalam

kantong plastik dan disimpan dalam lemari es. Larva boktor dipelihara per

individu dalam toples plastik. Satu ekor larva sehat dan bugar dimatikan, lalu

dibenamkan pada rhizosfer contoh dan dibiarkan selama 2–4 minggu (larva

umpan). Suspensi tanah contoh dan larva umpan dibuat dengan cara

mencam-pur 10 gram rhizosfer atau kadaver larva boktor dalam 100 ml phospat buffer

salin (PBS), sedangkan air lebung contoh diambil 100 ml dan dimasukkan dalam

labu erlemneyer steril. Semua larutan dikocok dengan menggunakan rotary

shaker pada kecepatan 150 rpm dan suhu kamar selama 120 menit.

Isolasi bakteri dilakukan pada setiap bahan contoh dengan menggunakan

teknik pengenceran berseri (Sunatmo 2007). Setiap suspensi pada

masing-masing seri pengenceran disebar pada ketiga media NA, TSA, dan King’s B

(29)

yang tumbuh di setiap seri pengenceran dilakukan setiap hari. Kepadatan

bak-teri pada setiap bahan contoh ditentukan dengan menggunakan metode total

plate count.

Semua koloni bakteri yang yang telah diidentifikasi berdasarkan pembeda

karakter morfologi (bentuk, warna, elevasi, dan tepian koloni), serta asal bahan

contoh diisolasi dan dimurnikan pada media NA dengan teknik totol dan gores

kuadran. Setiap koloni bakteri yang telah murni tersebut diberi kode yang

mere-presentasikan habitat, lokasi pengambilan bahan contoh, dan urutan isolasi.

Setiap koloni bakteri yang telah berkode selanjutnya diremajakan pada

me-dia NA secara berkala sebagai koleksi kerja dan me-diawetkan pada cryotube yang

berisi larutan gliserol 20%, lalu disimpan pada suhu -20 ºC sebagai koleksi

jangka panjang (Lacey 1997).

Seleksi Sifat Kitinolitik dan Proteolitik. Seleksi sifat kitinolitik dan proteo-litik semua isolat bakteri (IB) di atas dilakukan pada media selektif. Seleksi

kitinolitik menggunakan metode El-Tarabily et al. (2004) dan Mahagiani (2008)

pada media CCA, sedangkan seleksi proteolitik menggunakan metode Akhdiya

(2003) pada media NA+susu.

Setiap IB diinokulasikan pada media 10% LB dan LB, lalu dikocok dengan

menggunakan rotary shaker pada kecepatan 150 rpm dan suhu kamar selama

24 jam. Selanjutnya, 5 µl kultur cair pada media 10% LB diinokulasikan pada

media CCA dan diinkubasi selama 21 hari, sedangkan pada LB diinokulasikan

pada media NA+susu dan diinkubasi hingga 7 hari. Isolat bakteri yang bersifat

kitinolitik dan proteolitik akan membentuk zona bening (zona hidrolisis) di sekitar

koloni yang tumbuh pada kedua media selektif tersebut. Semua koloni yang

membentuk zona bening tersebut ditetapkan sebagai IBK dan IBP, kemudian

isolat bakteri kitinolitik dan proteolitik ini dimurnikan dan diawetkan kembali pada

media NA.

Pengukuran Aktivitas Kitinolitik dan Proteolitik IBK. Isolat bakteri kiti-nolitik dan IBP diukur aktivitas kitikiti-nolitik dan proteolitik secara kualitatif. Tingkat

kedua aktivitas tersebut diketahui melalui nilai indeks kitinolitik (IK) dan proteolitik

(IP) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Mahagiani (2008)

Diameter zona hidrolisis – diameter koloni bakteri IK atau IP =

(30)

Cara kerja pengukuran aktivitas kitinolitik dan proteolitik seperti pada

kegi-atan seleksi sifat kitinolitik dan proteolitik, namun masa inkubasi pada media

CCA hanya 14 hari. Pengamatan dilakukan setiap hari terhadap diameter zona

hidrolisis dan koloni yang yang dibentuk oleh IBK atau IBP secara duplo. Koloni

bakteri yang memiliki nilai IK dan IP lebih dari satu dan aktivitas kitinolitik dan

proteolitik cenderung naik selama inkubasi ditetapkan sebagai IBKK.

Uji Potensi IBKK pada Integumen dan Larva Boktor

Uji Potensi IBKK dalam Menghidrolis Integumen Larva Boktor. Pengu-jian ini dimaksudkan untuk meneliti kemampuan IBKK dalam menghidrolisis

inte-gumen larva boktor yang terdapat pada media CIJA. Satu lup setiap kultur padat

IBKK yang berumur 24–48 jam diinokulasikan dalam 10 ml LB atau WYE. Kultur

cair ini kemudian dikocok dengan menggunakan rotary shaker pada kecepatan

150 rpm dan suhu kamar selama 24 jam. Setiap 5 µl kultur cair IBKK tersebut

diinokulasikan ke 20 titik pada media CIJA.

Rancangan acak lengkap (RAL) digunakan dalam percobaan ini dengan

lima perlakuan yang diulang empat kali. Perlakuan tersebut adalah 1) kultur

isolat JANr-09 diinokulasikan ke media CIJA, 2) kultur isolat JANr-15

diinokulasi-kan ke media CIJA, 3) kultur isolat CKBr-06 diinokulasidiinokulasi-kan ke media CIJA, 4)

kultur isolat CDBw-05 diinokulasikan ke media CIJA, dan 5) kultur isolat KPCr-06

diinokulasikan ke media CIJA (kontrol).

Pengamatan dilakukan setiap hari sampai dengan 7 hari setelah inokulasi

(HSI) terhadap diameter koloni dan zona hidrolisis yang terbentuk. Berdasarkan

kedua diemeter ini selanjutnya dilakukan penghitungan indeks hidrolisis (IH)

seti-ap perlakuan dengan menggunakan rumus seperti pada pengukuran aktivitas

kitinolitik dan proteolitik. Data dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan

dengan uji Duncan’S Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5% (SAS

1996).

Uji Potensi IBKK dalam Mematikan Larva Boktor. Pengujian ini me-nggunakan metode El-Tarabily et al. (2005) yang dimodifikasi (Lampiran 2).

Batang tebu dan kultur bakteri perlakuan dipersiapkan terlebih dahulu sebelum

pengujian tersebut dilakukan. Batang tebu yang digunakan dalam percobaan

(31)

diberi alkohol 70%. Batang tebu kemudian dibelah secara membujur,

selanjut-nya kedua sisiselanjut-nya dibuat lubang gerek buatan dengan mengorek bagian dalam

batang pada kedalaman 1,00–1,25 cm dari permukaan batang dan panjang

10,00 cm. Bila kedua belahan batang tebu disatukan maka akan terbentuk

lu-bang gerek buatan dengan panjang 10,00 cm dengan diameter 2,00–2,50 cm

yang terletak 10,00 cm dari pangkal batang. Dua lup koloni setiap IBKK

diino-kulasikan dalam 200 ml MP atau WYE steril dan dikocok dengan menggunakan

rotary shaker pada kecepatan 150 rpm dan suhu kamar selama 24 jam. Sel

hidup bakteri uji dihitung kepadatannya dengan menggunakan metode total plate

count. Kepadatan bakteri yang digunakan dalam percobaan ini di atas 1010 CFU

per ml suspensi kultur.

Pelaksanaan setiap perlakuan diawali dengan membuat pasta kultur

bakte-ri uji. Pasta IBKK dibuat dengan cara mencampurkan setiap kultur cair IBKK

dengan 30 g tepung crystalin methyl cellulose (CMC) steril, lalu diaduk hingga

homogen (El-Tarabily et al. 2005). Pasta tersebut selanjutnya dimasukkan dalam

syringe steril tanpa jarum, 10 ml pasta diinokulasikan pada setiap ujung dan

pangkal lubang gerek pada kedua belah batang tebu. Pasta diratakan dengan

menggunakan skalpel steril. Larva boktor ditempatkan di tengah lubang gerek,

lalu kedua belah batang tebu tersebut disatukan kembali. Batang tebu ini

ditim-bang bobot awalnya lalu ditancapkan pada paku yang terdapat di papan kayu.

Papan tersebut ditempatkan pada bak plastik dan direndam air setinggi 1–2 cm.

Air pada bak dimaksudkan untuk menjaga kesegaran batang tebu dan mencegah

larva keluar dari bagian bawah pangkal batang.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah RAL dengan lima perlakuan

yang diulang empat kali. Setiap perlakuan diaplikasikan pada 20 ekor larva

bok-tor. Perlakuan-perlakuan tersebut adalah 1) larva dipelihara dalam lubang gerek

berisi pasta isolat JANr-09, 2) larva dipelihara dalam lubang gerek berisi pasta

isolat JANr-15, 3) larva dipelihara dalam lubang gerek berisi pasta isolat

CKBr-06, 4) larva dipelihara dalam lubang gerek berisi pasta isolat CDBw-05, dan 5)

larva dipelihara dalam lubang gerek berisi pasta tanpa bakteri (kontrol).

Pengamatan dilakukan saat 7 dan 14 hari setelah aplikasi (HSA). Peubah

yang diamati adalah bobot batang tebu setelah serbuk gerek dibersihkan dan

jumlah larva yang mati, tidak aktif makan, dan aktif makan. Konfirmasi ulang

(32)

IBKK yang terdapat pada larva mati (Meca et al. 2009), selanjutnya dilakukan uji

postulat Koch. Data dianalisis dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji

DMRT pada taraf nyata 5% (SAS 1996).

Pengamatan Makroskospis Preparat Sediaan Utuh Larva Boktor. Ke-giatan ini bertujuan untuk meneliti pengaruh kitinase dan protease yang

diproduk-si oleh IBKK pada integumen dan jaringan tubuh larva boktor. Pengamatan

preparat sediaan utuh larva boktor mengacu pada Mahagiani (2008) yang

dimo-difikasi (Lampiran 3). Persiapan kultur IBKK dan pasteurisasi larva boktor

dila-kukan sebelum dipaparkan ke kultur cair setiap bakteri perlakuan. Satu lup kultur

IBKK padat yang berumur 24–48 jam diinokulasikan ke dalam 20 ml MP atau

WYE di gelas kaca, lalu dikocok dengan menggunakan rotary shaker pada

kecepatan 150 rpm dan suhu kamar selama 24 jam. Lima puluh ekor larva

bok-tor instar kelima dimasukkan dalam freezer hingga mati. Kemudian larva

terse-but dikeluarkan dan diaklimatisasi sampai mencapai suhu kamar. Larva boktor

selanjutnya dimasukkan dalam gelas kaca steril yang berisi akuades steril, lalu

ditutup alumunium foil. Larva ini dipasteurisasi tiga kali pada suhu 61 ºC selama

30 menit dalam bak pemanas untuk mengeliminasi mikrob yang berasosiasi

dengan larva.

Pelaksanaan percobaan dilakukan dengan cara memasukkan satu ekor

larva yang telah dipasteurisasi dalam MP yang telah ditumbuhi oleh bakteri

kitinolitik perlakuan, lalu diinkubasi selama 16 hari pada suhu kamar. Larva juga

dipaparkan pada media tanpa IBKK sebagai kontrol. Percobaaan ini dilakukan

secara duplo.

Pengamatan dilakukan interval empat hari sampai dengan 16 HSA secara

destruktif (Juliadi et al. 2005). Dua larva boktor pada setiap perlakuan

dikeluar-kan dari MP, kemudian diamati dan dibedah. Peubah yang diamati adalah

peru-bahan warna serta bau media dan larva, struktur dan rigiditas integumen, serta

degradasi jaringan tubuh larva boktor. Larva dan media tumbuh yang telah

di-amati dibuang. Pengamatan berikutnya dilakukan empat hari kemudian dengan

membongkar media tumbuh dan larva lainnya.

Karakterisasi Morfologi dan Fisiologi IBKK

(33)

terba-NA dengan teknik gores kuadran, lalu diinkubasi selama 24–48 jam. Bakteri

tersebut kemudian dikarakterisasi bentuk, warna, tepian, dan elevasi koloninya

(Poinar & Thomas 1978; Sunatmo 2007). Uji Gram pada setiap IBKK

menggu-nakan larutan KOH 3% dan dikonfirmasi ulang dengan pewarnaan Gram. Koloni

bakteri Gram positif akan terpisah dari larutan KOH bila jarum ose diangkat dan

selnya berwarna biru pada uji pewarnaan Gram (Lacey 1997).

Karakterisasi Fisiologi. Karakterisasi fisiologi dilakukan dengan menggu-nakan uji LOPAT untuk mengetahui sifat patogenisitas IBKK pada tanaman. Uji

ini terdiri atas lima sub uji, yaitu pembentukan levan, aktivitas oksidase, aktivitas

pembusukan pada kentang, hidrolisis arginin, dan tembakau hipersensitif (Lelliot

& Stead 1987).

Setiap IBKK ditumbuhkan pada media Levan, digoreskan pada larutan

p-aminodimetilanilin oksalat, ditusukkan ke media arginin, diinfiltrasikan pada irisan

kentang, dan disuntikkan pada daun tembakau. Bakteri tersebut terindikasi

sebagai patogen tanaman bila membentuk koloni dengan elevasi cembung dan

berlendir pada media Levan, warna koloni menjadi ungu gelap dalam waktu

kurang dari 60 detik pada larutan p-aminodimetilanilin oksalat, merubah warna

media arginin menjadi pink, menyebabkan busuk pada kentang dan nekrosis

(34)

Hasil Eksplorasi dan Seleksi IBK

Bakteri diisolasi dari bahan contoh yang terdiri atas enam rhizosfer, empat

kadaver larva boktor, dan empat air lebung. Setiap bahan contoh ini memiliki

de-rajat keasaman dan kepadatan bakteri yang berbeda. Nilai pH pada kadaver

larva boktor relatif mendekati netral dengan kepadatan bakteri paling tinggi,

se-dangkan rhizosfer memiliki nilai pH relatif asam dengan populasi bakteri lebih

rendah daripada kadaver larva boktor. Air lebung bersifat asam hingga netral.

Air lebung yang diambil dari areal perkebunan tebu PG Subang bersifat netral,

sedangkan air lebung dari areal kebun Cikabayan bersifat asam. Kepadatan

[image:34.595.111.504.363.435.2]

bakteri yang terkandung di dalam air lebung relatif paling rendah (Tabel 1).

Tabel 1 Derajat keasaman dan kepadatan bakteri dalam bahan contoh

Bahan contoh pH Rata-rata kepadatan bakteri

Rhizosfer tebu 4–5 1,65 x 105 CFU/g Kadaver larva boktor 6–7 3,25 x 105 CFU/g

Air lebung 5–7 6,76 x 104 CFU/ml

Bakteri yang tumbuh pada media NA, TSA, dan King’s B pada tahap isolasi

memiliki perbedaan morfologi koloni. Bakteri tersebut juga mempunyai

perbe-daan aktivitas hidrolisis terhadap koloidal kitin yang terdapat pada media CCA

atau protein pada media NA+susu. Dari 14 bahan contoh di atas diperoleh 105

koloni bakteri yang berbeda berdasarkan bentuk, warna, tepian, dan elevasi

koloni, serta lokasi dan jenis bahan contoh. Sebagian besar bakteri yang

teriso-lasi tersebut merupakan IBP yang mampu menghidrolisis protein yang terdapat

pada media NA+susu pada waktu 1–7 HSI dan sebagian kecil adalah IBK yang

mampu menghidrolisis koloidal kitin pada media CCA dalam masa inkubasi 1–21

hari. Dua puluh dua koloni dari kelompok IBK tersebut juga memiliki kemampuan

proteolitik. Bakteri proteolitik dan kitinolitik relatif banyak berasal dari rhizosfer.

Koloni yang tidak membentuk zona hidrolisis pada kedua media selektif tersebut

tidak termasuk kelompok bakteri proteolitik maupun kitinolitik (Tabel 2) (Lampiran

4).

(35)

kitinoli-Tabel 2 Komposisi jumlah koloni bakteri dari bahan contoh berdasarkan aktivitas hidrolisisnya

Aktivitas hidrolisis (koloni)

Bahan contoh

Proteolitik Kitinolitik Kitinolitik & proteolitik

Non kitinolitik & proteolitik

Rhizosfer tebu 37 0 15 14

Kadaver larva boktor 14 1 2 6

Air lebung 6 0 5 5

Jumlah 57 1 22 25

menghidrolis koloidal kitin saat 1–14 HSI, seperti isolat KPCr-06 dan JANl-05

(Gambar 2). Satu IBK dari rhizosfer yaitu isolat CKBr-06 dan satu IBK dari air

lebung yaitu CDBw-05 merupakan IBK unggulan dengan nilai IK di atas satu dan

aktivitas kitinolitiknya cenderung naik selama inkubasi. Isolat CKBr-06 memiliki

nilai IK paling tinggi dan dapat mencapai nilai 6,96 pada 14 HSI. Nilai indeks

kiti-nolitik isolat CDBw-05 adalah 2,56 pada 7 HSI, kemudian aktivitas kitikiti-nolitik isolat

ini tidak dapat diukur sejak 8 HSI karena zona hidrolisis yang terbentuk telah

mencapai tepi cawan petri. Dua IBK lain dari rhizosfer yaitu isolat JANr-09 dan

JANr-15 memiliki nilai IK lebih tinggi dari satu sejak 8 HSI dan aktivitas

kitinolitik-nya cenderung naik selama inkubasi. Nilai IK kedua IBK ini adalah 2,50 dan 1,30

saat 14 HSI (Gambar 2a & 2b). Semua IBK dari kadaver larva boktor memiliki

ni-lai IK di bawah satu dengan kecenderungan aktivitas kitinolitik yang naik sejak 8

HSI (Gambar 2c).

Aktivitas proteolitik semua IBK cenderung berfluktuasi selama inkubasi

de-ngan nilai IP kurang dari 5,00 dan sebagian besar IBK mempunyai nilai IP

ber-kisar 0,00–1,00 (Gambar 3). Isolat CKBr-06 dan JANr-15 memiliki nilai IP di atas

satu saat 3–6 HSI dan masing-masing aktivitas proteolitiknya cenderung naik

berturut-turut hingga mencapai nilai IP 3,27 dan 2,79 saat 6 HSI. Nilai IP isolat

JANr-22 di atas satu pada waktu 2–4 HSI tetapi aktivitasnya cenderung turun

sejak 5 HSI, sedangkan nilai IP isolat JANr-09 lebih tinggi dari satu terjadi sejak 3

HSI dan cenderung naik sampai dengan 7 HSI (Gambar 3a). Isolat CDBw-05

merupakan IBK yang memiliki nilai IP paling tinggi diantara semua IBK dari air

lebung. Isolat ini mempunyai aktivitas proteolitik yang stabil di kisaran 1,50–2,00

[image:35.595.109.509.148.285.2]
(36)

Gambar 2 Aktivitas kitinolitik IBK rhizosfer (a), air lebung (b), dan kadaver larva boktor (c)

yang berasal dari kadaver larva boktor dan kedua bahan contoh lainnya.

Aktivi-tas proteolitik isolat ini cenderung naik sejak 1–7 HSI dan dapat mencapai nilai IP

(37)
[image:37.595.102.506.93.590.2]

Gambar 3 Aktivitas proteolitik IBK rhizosfer (a), air lebung (b), dan kadaver larva boktor (c)

Berdasarkan hasil pengukuran aktivitas kitinolitik dan proteolitik di atas

dite-tapkan empat IBK, yaitu isolat JANr-09, JANr-15, CKBr-06, dan CDBw-05

seba-gai IBKK karena memiliki nilai IK dan IP di atas satu serta aktivitas kitinolitik dan

proteolitiknya cenderung naik selama inkubasi (Gambar 4). Empat IBKK tersebut

terdiri atas tiga isolat bakteri kitinolitik berasal dari rhizosfer tebu dan satu isolat

dari air lebung. Isolat JANr-09 dan JANr-15 diisolasi dari rhizosfer tebu kebun

(38)

Cikaba-yan Bogor. Isolat CDBw-05 berasal dari air lebung Cidangdeur Barat PG

Su-bang. Keempat isolat tersebut kemudian diuji potensinya dalam menghidrolisis

integumen dan mematikan larva boktor.

Gambar 4 Aktivitas kitinolitik koloni isolat JANr-09 (a), CDBw-05 (b), CKBr-06 (c), JANr-15 (d), dan kontrol (e) pada CCA saat 7 HSI. Zona bening (f) di sekitar koloni bakteri menunjukkan tingkat aktivitas bakteri dalam menghidrolisis koloidal kitin

Potensi IBKK dalam Menghidrolis Integumen dan Mematikan Larva Boktor Potensi IBKK dalam Menghidrolis Integumen Larva Boktor. Semua IBKK memiliki nilai IH berbeda nyata dengan kontrol sejak 2–7 HSI. Nilai indeks

hidrolisis semua IBKK tersebut mengalami peningkatan setiap hari selama

inku-basi kecuali pada isolat CKBr-06 saat 7 HSI dan CDBw-05 ketika 4 HSI. Isolat

CKBr-06 konsisten memiliki nilai IH paling tinggi setiap hari dibandingkan ketiga

IBKK lainnya (1,21–2,70). Pada hari pertama, nilai IH isolat CDBw-05 (0,82)

lebih tinggi daripada JANr-09 (0,14) dan JANr-15 (0,00). Namun pada hari kedua

nilai IH isolat CDBw-05 (1,14) tidak berbeda nyata dengan JANr-09 (0,96), serta

pada hari ketiga nilai IH isolat ini (1,22) juga tidak berbeda nyata dengan JANr-15

(1,35) dan JANr-09 (1,43). Kemudian nilai IH isolat ini lebih rendah daripada

JANr-09 dan JANr-15 pada hari-hari berikutnya. Nilai IH tertinggi pada hari

ketu-juh berturut-turut terjadi pada isolat CKBr-06 (2,70), JANr-15 (2,06), JANr-15

(1,98), dan CDBw-05 (1,44) (Tabel 3).

a

b

c

d

e

f

[image:38.595.198.426.181.396.2]
(39)

Potensi IBKK dalam Mematikan Larva Boktor. Semua IBKK menga-kibatkan larva boktor mati dan tidak aktif makan lebih banyak daripada kontrol

ketika 7 dan 14 HSI. Sebaliknya, jumlah larva yang masih aktif makan pada

kontrol lebih banyak daripada IBKK. Jumlah larva boktor mati pada semua IBKK

kurang 50% dari larva uji. Larva boktor mengalami kematian paling banyak pada

perlakuan isolat CKBr-06 (46,25%) ketika 7 HSA. Pada waktu 14 HSA, kematian

larva tertinggi terjadi pada perlakuan isolat CDBw-05 (48,75%) namun tidak

ber-beda nyata dengan CKBr-06 (46,25%). Larva boktor yang tidak aktif makan

ba-nyak terdapat pada perlakuan isolat JANr-15 saat 7 HSA. Pada waktu 14 HSA,

larva dalam kondisi seperti ini banyak terjadi pada perlakuan isolat JANr-09

(60,00%) tetapi tidak berbeda nyata dengan JANr-15 (48,75%) dan CDBw-05

(48,75%) (Tabel 4).

Semua perlakuan IBKK mampu menekan kehilangan bobot batang tebu

lebih rendah daripada kontrol kecuali pada isolat JANr-09 pada waktu 7 dan 14

HSA. Perlakuan isolat JANr-15 mampu menekan kehilangan bobot batang tebu

paling rendah pada waktu 7 HSA (19,06 g) dan 14 HSA (41,94 g) tetapi tidak

berbeda nyata dengan CDBw-05 (20,81 & 44,09 g) dan CKBr-06 (21,49 & 44,20

g) (Tabel 5).

Tubuh larva boktor yang mati pada semua perlakuan mengalami

peruba-han warna yang relatif berbeda dengan larva yang masih hidup. Perubaperuba-han

war-na tubuh larva tersebut terlihat lebih mencolok pada 14 HSA. Seluruh bagian

tu-buh larva boktor yang mati pada perlakuan isolat JANr-09, CKBr-06, dan

CDBw-05 berwarna hitam, sedangkan bagian posterior tubuh larva boktor yang mati

pada perlakuan JANr-15 berwarna lebih gelap. Tubuh larva boktor yang mati

pa-da kontrol berwarna kusam, sepa-dangkan tubuh larva boktor yang masih hidup

ber-warna cerah (Gambar 5).

Isolasi ulang bakteri kitinolitik perlakuan dari larva boktor yang mati

dipero-leh bakteri dengan karakter koloni yang sama dengan IBKK. Koloni bakteri hasil

(40)
[image:40.842.115.761.146.258.2]

Tabel 3 Aktivitas hidrolisis IBKK pada integumen larva boktor

Nilai indeks hidrolisis pada hari ke- Perlakuan

1 2 3 4 5 6 7

JANr-09 0,14 ± 0,19 c 0,96 ± 0,19 cb 1,43 ± 0,17 b 1,58 ± 0,09 b 1,66 ± 0,14 b 1,89 ± 0,48 c 1,98 ± 1,71 b JANr-15 0,00 ± 0,00 c 0,91 ± 0,13 c 1,35 ± 0,11 b 1,67 ± 0,22 b 1,88 ± 0,20 b 1,90 ± 0,09 b 2,06 ± 2,01 b CKBr-06 1,21 ± 0,12 a 1,89 ± 0,17 a 2,48 ± 0,52 a 2,55 ± 0,16 a 2,73 ± 0,20 a 2,87 ± 0,27 a 2,70 ± 2,92 a CDBw-05 0,82 ± 0,14 b 1,14 ± 0,10 b 1,22 ± 0,07 b 1,19 ± 0,07 c 1,25 ± 0,14 c 1,28 ± 0,2 d 1,44 ± 1,23 c Kontrol 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 d 0,00 ± 0,00 c 0,00 ± 0,00 d 0,00 ± 0,00 d 0,00 ± 0,00 e 0,00 ± 0,00 d

Ket: Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α=0,05)

Tabel 4 Kondisi larva boktor yang dipaparkan pada pasta IBKK dalam batang tebu

Jumlah larva (%) pada hari ke-

7 14

Perlakuan

Mati Tidak aktif makan Aktif makan Mati Tidak aktif makan Aktif makan

JANr-09 21,25 ± 4,79 c 45,00 ± 8,16 b 33,75 ± 4,79 b 25,00 ± 4,08 c 60,00 ± 17,32 a 21,25 ± 2,50 b JANr-15 15,00 ± 4,08 c 63,75 ± 4,79 a 21,25 ± 4,79 c 36,25 ± 4,79 b 48,75 ± 13,15 ab 13,75 ± 4,79 c CKBr-06 46,25 ± 6,29 a 46,25 ± 4,79 b 3,75 ± 2,50 e 46,25 ± 6,29 a 37,50 ± 13,23 b 0,00 ± 0,00 d CDBw-05 38,75 ± 4,79 b 51,25 ± 6,29 b 11,25 ± 2,50 d 48,75 ± 8,54 a 47,50 ± 6,45 ab 11,25 ± 2,50 c Kontrol 1,25 ± 2,50 d 0,00 ± 0,00 c 98,75 ± 2,50 a 1,25 ± 2,50 d 6,25 ± 4,79 c 93,33 ± 5,00 a

Ket: Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α=0,05)

[image:40.842.113.782.308.459.2]
(41)
[image:41.595.89.514.304.758.2]

Tabel 5 Pengaruh aktivitas makan larva boktor terhadap bobot batang tebu

Bobot batang tebu yang hilang (g) pada hari ke- Perlakuan

7 14

JANr-09 24,49 ± 3,30 ab 46,07 ± 0,56 ab JANr-15 19,06 ± 3,11 c 41,94 ± 2,25 b CKBr-06 21,49 ± 2,64 bc 44,20 ± 3,32 b CDBw-05 20,81 ± 0,98 bc 44,09 ± 3,15 b Kontrol 25,95 ± 3,09 a 50,32 ± 6,14 a

Ket: Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT (α=0,05)

Gambar 5 Pengaruh perlakuan isolat JANr-09 (a), JANr-15 (b), CKBr-06 (c), CDBw-05 (d), dan kontrol (e) terhadap perubahan warna tubuh larva boktor yang mati saat 14 HSA. Tubuh larva boktor yang masih hidup berwarna cerah (f)

Pengaruh Kultur IBKK pada Integumen dan Jaringan Larva Boktor.

Dua kultur IBKK mempengaruhi struktur dan rigiditas integumen, serta jaringan

tubuh larva boktor. Kultur isolat CKBr-06 dan CDBw-05 menyebabkan

integu-men larva boktor integu-menjadi hancur sejak 12 HSA, sedangkan kultur isolat JANr-09,

JANr-15, dan kontrol tidak berpengaruh terhadap integumen tersebut. Kultur

iso-lat CDBw-05 mengakibatkan integumen larva boktor menjadi lunak sejak 8 HSA,

sedangkan kultur JANr-09 dan CKBr-06 dapat melunakkan integumen mulai 12

HSA. Baik kultur isolat JANr-15 dan kontrol tidak dapat melunakkan integumen

10

mm

[image:41.595.101.509.311.521.2]
(42)

larva boktor selama inkubasi. Kultur isolat CDBw-05 mampu mendegradasi

tubuh lemak dan jaringan lain dalam tubuh larva sejak 12 HSA, sedangkan kultur

CKBr-06 menghancurkan tubuh lemak dan jaringan tersebut sejak 16 HSA

[image:42.595.170.453.195.534.2]

(Gambar 6 & Lampiran 5–7).

Gambar 6 Pengaruh kultur IBKK pada larva boktor saat 12 HSA. Larva boktor dipaparkan pada kultur isolat JANr-09 (a1–a3), JANr-15 (b1–b3), CKBr-06 (c1–c3), CDBw-05 (d1–d3), dan kontrol (e1–e3). Struktur in-tegumen (gambar baris atas), rigiditas inin-tegumen (gambar baris te-ngah), dan tubuh larva dibedah secara membujur (gambar baris ba-wah). Integumen hancur (c1 & d1) dan lunak (c2 & d2), serta jaringan tubuh larva terdegradasi (c3 & d3)

Berdasarkan tingkat aktivitas hidrolisis terhadap integumen, kemampuan

dalam mematikan larva, serta pengaruh kultur IBKK pada larva boktor maka

isolat CKBr-06 dan CDBw-05 merupakan IBKK unggulan. Kedua bakteri ini

mampu menghidrolisis dan menghancurkan integumen, jaringan dalam tubuh

lar-va, serta mematikan hampir 50% larva boktor uji.

a1

d2 c2

b2 a2

e1 d1

c1 b1

c3 b3

a3

e2

(43)

Karakter IBKK

Semua IBKK memiliki morfologi koloni yang berbeda dan merupakan

bak-teri Gram positif atau negatif. Dua bakbak-teri dari rhizosfer memiliki bentuk sel

ba-tang dan merupakan bakteri Gram positif, sedangkan satu bakteri dari rhizosfer

lainnya merupakan bakteri Gram negatif yang mempunyai bentuk sel batang.

Satu IBKK dari air merupakan bakteri Gram negatif, sedangkan bentuk sel

bakteri ini cenderung batang. Koloni semua IBKK berbentuk sirkular atau

iregu-lar dengan warna putih yang bervariasi; tepian berlekuk (undulate), berfilamen

(filamentus) atau rata (entire); serta elevasi datar (raised) atau cembung (convex)

(Tabel 6 & Gambar 7).

Tabel 6 Karakter morfologi IBKK

Koloni Kode isolat Tipe Gram Bentuk sel

Bentuk Warna Tepian Elevasi

JANr-09 + Batang Iregular Putih susu Undulate Raised

JANr-15 + Batang Sirkular Putih susu Filamentus Raised

CKBr-06 - Batang Sirkular Putih kusam Undulate Raised

CDBw-05 - Cenderung

batang Sirkular kekuningan Putih Entire Convex

Uji LOPAT pada semua IBKK menunjukkan hasil yang bervariasi antar sub

uji yang dilakukan. Tiga IBKK, yaitu JANr-09, JANr-15, dan CKBr-06 terindikasi

menyebabkan penyakit pada tanaman, sedangkan CDBw-05 konsisten bereaksi

negatif pada semua sub uji (Tabel 7). Isolat CDBw-05 bukan sebagai bakteri

patogen tanaman berdasarkan uji tersebut.

Tabel 7 Karakter LOPAT IBKK

LOPAT Kode

isolat Levan

formation Oxydase activity Potato soft rot Arginin hydrolisis Tobacco hypersensitivity

JANr-09 + + + - +

JANr-15 - + + - -

CKBr-06 - + + + +

(44)
[image:44.595.166.439.110.370.2]

Gambar 7 Karakter morfologi isolat CDBw-05 (gambar baris atas) dan CKBr-06 (gambar baris bawah). Pertumbuhan koloni pada NA (a & c) dan koloni terlihat pada perbesaran 40 kali (b & d) saat 4 HSI.

Pembahasan

Kepadatan bakteri berbeda antara setiap kelompok bahan contoh.

Kepa-datan bakteri dari yang paling tinggi berturut-turut dijumpai pada kadaver larva

boktor, rhizosfer, dan air lebung. Kadaver larva boktor merupakan subtrat yang

dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi dan energi bagi pertumbuhan bakteri

yang mengkolonisasi larva tersebut. Pertumbuhan bakteri pada larva juga

didu-kung oleh kondisi kadaver yang memiliki pH mendekati netral dan proses

degra-dasi berlangsung dalam rhizosfer. Paul (2007) menyatakan bahwa bakteri

mam-pu tumbuh pada kisaran pH 4,0–9,0 dan pertumbuhannya optimum pada pH 6,5–

7,5. Bakteri mendominasi daerah rhizosfer karena pertumbuhannya didukung

oleh nutrisi yang dilepaskan jaringan tanaman. Sebagian besar bakteri yang

ber-asal dari perairan sulit ditumbuhkan pada media umum yang ada di laboratorium

(Lay & Hastowo 1992). Hasil yang relatif sama untuk bakteri dari air juga

dilapor-kan oleh Pujiyanto et al. (2008).

Seratus lima IB yang berbeda karakter morfologi koloninya berhasil

diisola-si dari 14 bahan contoh. Hadiisola-sil isoladiisola-si tersebut diduga belum merepresentadiisola-sikan

a

c

b

(45)

ragam bakteri yang ada dalam bahan contoh. Hal ini disebabkan variasi media

isolasi yang digunakan terbatas dan diduga banyak bakte

Gambar

Gambar 1  Siklus hidup hama boktor.  Telur (a), larva (b), larva menggerek  bibit
Tabel 1  Derajat keasaman dan kepadatan bakteri dalam bahan contoh
Tabel 2  Komposisi jumlah koloni bakteri dari bahan contoh berdasarkan aktivitas
Gambar 3  Aktivitas proteolitik IBK rhizosfer (a), air lebung (b), dan kadaver larva
+7

Referensi

Dokumen terkait

S naglaskom na sigurnost pacijenata, nova ICH smjernica, koja bi uključivala listu metala s odgovarajućim dozvoljenim granicama postavljenim na temelju toksikoloških

Sebelum pelaksanaan tindakan siklus I, peneliti memper- siapkan dan melakukan beberapa hal yaitu: (1) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang

Studi ini telah berhasil mengkonseptualisasikan peubah luaran perilaku berbagi-pengetahuan terpilih terpersepsi individu pada aras individual, yaitu pemerekan diri; pada aras

Persaingan merek: terjadi apabila suatu perusahaan para pesaingnya adalah perusahaaan lain yang menawarkan produk dan jas yang serupa pada pelanggan yang sama dengan harga yang

Oleh karena itu apabila dalam pelaksanaan pembangunan, hukum diartikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan negara, maka politik hukum nasional, dalam konteks ini politik hukum

penyakit infeksi karena bakteri maupun jamur, maka perlu upaya pemberian informasi agar menambah pengetahuan dan wawasan siswi sehingga dapat memperbaiki

Pembelajaran ritmis dengan menggunakan metode latihan dan media audio , diharapkan siswa akan merasa senang dan lebih aktif dalam menerima pelajaran, karena dalam praktik

Penelitian ini juga didukung oleh peneliti terdahulu dari Chirstopher Richie Rahardjo (2016:35) dalam jurnalnya “Faktor-faktor yang menjadi preferensi konsumen dalam