• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancang bangun model proses penerimaan pesanan pada industri kemasan karton

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rancang bangun model proses penerimaan pesanan pada industri kemasan karton"

Copied!
453
0
0

Teks penuh

(1)

PADA INDUSTRI KEMASAN KARTON

NORA AZMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul RANCANG

BANGUN MODEL PROSES PENERIMAAN PESANAN PADA INDUSTRI

KEMASAN KARTON adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi

pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

(4)
(5)

NORA AZMI. Design of Model for Order Inquiry Process at Carton

Packaging Industry.Supervised by IRAWADI JAMARAN, DJUMALI

MANGUNWIDJAJA and YANDRA ARKEMAN.

Most of carton packaging products, especially corrugated box and folding carton are designed for particular consumers in large quantity, therefore carton packaging industries (CPI) are classified as make to order (MTO) and mass customization (MC). MTO and MC industries have a high level of uncertainty and complexity in production planning process. The uncertainty and complexity is caused by the great variation of type and design of carton box, the amount of order, time of order, production process, and delivery time required by the customers. This big uncertainty will cause the difficulty for the carton packaging industries in giving accurate information in relating to time delivery and cost of order. If this information can be given, frequently this information is not accurate, that lead to the next problems such as delay of delivery, as well as inaccurate of design and cost of order as previously predicted.This research was intended to produce a model for for order inquiry process at carton packaging industries. It is hoped that this model may quicken the process of order, and giving the consumers the persistence of status of order, time delivery and cost of order.The proposed model consists of three main model, those are design model for sheet calculation, order evaluation model, and cost calculation model. Design model for sheet calculation utilized FEFCO/ESBO standart and mathematical formulation. Sub model of feasible process evaluation in order evaluation model used rule base from the knowledge of experts and the result of observation. Sub model of order delivery calculation in the second model used job scheduling model, called Genetics Algorithm for hybrid and flexible flowshop with machine eligibility and subcontract. Sub model of order cost calculation was developed by using Activity Based Costing (ABC) approach, while the unit cost of order was based on the total cost of order after calculating profit and taxes.The result of model verification and validation indicated that the proposed model was successful in achieving the objective of proposing model, those were to improve the efficiency of order process and giving accurate information about the status of order to the consumers.Model prototype for Order Inquiry Process was presented in internet software prototype, called SIPEMESAN KEMASTON. In the presence of media websites as liason, this model will give access to speedy, interactive and effective communication between customers and carton packaging industries.

(6)
(7)

NORA AZMI. Rancang Bangun Model Proses Penerimaan Pesanan Pada

Industri Kemasan Karton.Dibimbing oleh IRAWADI JAMARAN, DJUMALI

MANGUNWIDJAJA, dan YANDRA ARKEMAN.

Pertumbuhan industri pangan, farmasi dan barang barang kebutuhan konsumen yang cukup pesat telah mendorong terjadinya peningkatan permintaan terhadap kemasan.Dari berbagai jenis produk kemasan yang ada, kemasan yang terbuat dari karton merupakan jenis yang banyak diminati dan digunakan oleh konsumen.Hal ini terjadi karena kemasan karton merupakan kemasan yang cukup aman untuk digunakan beragam produk, termasuk bagi produk pangan.Kemasan karton memiliki nilai promosi dengan adanya desain printing yang berisi informasi mengenai produk dan perusahaan sekaligus berfungsi sebagai daya tarik produk.

Sebagian besar industri kemasan karton berproduksi berdasarkan pesanan (make-to-order/MTO). Pesanan juga seringkali dibuat secara spesifik dalam jumlah besar (mass customization/MC) untuk tiap konsumen, sehinggavariasi produk yang harus diproduksi oleh industri kemasan karton cukup banyak. Variasi produk yang banyak, waktu kedatangan pesanan yang tidak dapat diduga, dan jumlah pesanan yang besar membuat industri kemasan karton seringkali mengalami kesulitan untuk menjawab keingintahuan konsumen yang biasa diajukan pada tahap pemesanan secara akurat. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain mengenai jenis produk, kemampuan perusahaan untuk membuat produk dengan pesanan khusus. lamanya proses dan berapa perkiraan harga. Hal ini seringkali menyebabkan lamanya proses penerimaan pesanan mulai dari pesanan diterima atau penawaran dilakukan hingga akhirnya dapat disetujui kedua belah pihak.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model proses penerimaan pesanan pada industri kemasan karton sehingga dapat meningkatkan efisiensi proses penerimaan pesanan dan memberikan akurasi yang lebih baik mengenai status pesanan, waktu penyelesaian serta harga pesanan.Industri kemasan karton yang diteliti adalah industri yang memproduksi kotak karton bergelombang (corrugated box) dan kotak karton lipat (folding carton). Model proses penerimaan pesanan yang dirancang dilengkapi dengan sistem penunjang keputusan yang membantu menjawab keingintahuan konsumen mengenai produk

(order enquiry), sertamembantu perusahaan dalam mengevaluasi dan menyeleksi

pesanan (order selection). Proses penerimaan pesanan dimulai sejak pesanan diajukan oleh konsumen sampai informasi mengenai pesanan berkaitan dengan desain, spesifikasi, waktu penyelesaian dan harga produk untuk ditawarkan kepada konsumen.

Model yang dirancang dkelompokkan menjadi tiga model, yaitu Model Desain dan Perhitungan Sheet, Model Evaluasi Pesanan dan Model Kalkulasi Harga Pesanan.

(8)

dan Penentuan Jenis Sheet, serta Sub Model Perhitungan Kebutuhan lembaran karton (sheet). Dengan adanya model ini dihasilkan output berupa kode produk, kode pesanan, jenis sheet dan kebutuhan jumlah sheet yang dihitung dengan menggunakan persamaan matematik yang dikembangkan untuk membantu menerjemahkan aspek desain menjadi kebutuhan bahan baku utama.

Model Evaluasi Pesanan bertujuan untuk menyaring dan mengevaluasi pesanan berdasarkan tiga kriteria yang diwujudkan dalam bentuk tiga sub model yaitu :evaluasi kelayakan jumlah pesanan, evaluasi kemampuan proses produksi, dan kalkulasi waktu penyerahan pesanan. Sub Model Evaluasi Kelayakan Jumlah Pesanan dan Kemampuan Proses dibangun dengan menggunakan pendekatan Sistem Pakar (Expert System) yang formalisasikan dalam bentuk Pohon Keputusan (Decision Tree) dan direpresentasikan dalam serangkaian aturan (rulebase). Dari submodel ini dihasilkan output berupa urutan proses produksi, mesin-mesin yang digunakan serta estimasi waktu proses setiap pesanan pada setiap tahapan proses. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, perusahaan bisa memberikan keputusan mengenai status produksi suatu pesanan, apakah akan diterima, ditolak atau perlu disubkontrakkan. Sub model Kalkulasi Waktu Penyelesaian Pesanan diselesaikan dengan menggunakan proses penjadwalan pesanan (job). Kebaruan pada penelitian ini adalah dihasilkannya suatu algoritma proses penjadwalan job menggunakan kecerdasan buatan algoritma genetika pada tipe lantai produksi yang cukup kompleks dengan karakteristik :hybrid dan

flexible flowshop, mesin-mesin tidak identik, adanya peruntukan mesin untuk job tertentu (machine eligibility) dan mengakomodasi kasus subkontrak.

Model ketiga bertujuan untuk menghasilkan perhitungan harga pesanan berdasarkan data-data yang diperoleh dari dua model sebelumnya. Model Kalkulasi harga pesanan dibuat dengan terlebih dahulu memperhitungkan biaya pesanan dengan sistem perhitungan biaya berdasarkan aktivitas (Activity Based Costing/ABC). Harga pesanan perunit kemudian ditetapkan berdasarkan total biaya pesanan setelah memperhitungkan margin keuntungan dan pajak. Berdasarkan harga yang ditawarkan ini kemudian konsumen dan produsen bisa membuat kesepakatan mengenai pesanan.

Verifikasi pada penelitian ini dilakukan dengan memeriksa logika operasional dari model serta algoritma yang dihasilkan dengan menggunakan data sebelas tipe kemasan yang diinput ke dalam model. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa logika, jalannya model dan keluaran yang dihasilkan masuk akal dan dapat diterima.Hasil validasi konseptual dan operasional terhadap model menunjukkan bahwa model yang dirancang cukup valid, telah sesuai dengan yang tujuan perancangan model dan cukup dapat mewakili sistem nyata pada industri kemasan karton.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(10)
(11)

PROSES PENERIMAAN PESANAN

PADA INDUSTRI KEMASAN KARTON

NORA AZMI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Sukardi

2. Dr. Indah Yuliasih, STP, Msi

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Com

2. Dr. Ir. Aris Purwanto

(13)

Pesanan Pada Industri Kemasan Karton

Nama

:

Nora Azmi

NIM

:

F361040081

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Ketua

Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA Dr. Ir. Yandra Arkeman, M. Eng

Anggota anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Teknologi Industri Pertanian Insitut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(14)
(15)

Penulis dilahirkan di Padang, Sumatera Barat, pada tanggal 14 Juni 1969, sebagai anak sulung dari pasangan Prof. Drs. Azmi, MA, Ph.D dan Dra. Wasni Haji. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, lulus pada tahun 1991. Gelar Magister Teknik dan Manajemen Industri diperoleh dari Institut Teknologi Bandung pada tahun 1996. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S3 pada sekolah Pascasarjana program studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Saat ini penulis bekerja sebagai Dosen Tetap di jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Trisakti dan mata kuliah yang diampu adalah Perancangan dan Pengembangan Produk, Perencanaan dan Pengendalian Produksi serta Ergonomi. Selama menempuh studi S3 penulis tercatat sebagai pengurus Perhimpunan Ergonomi Indonesia (2006-2009), anggota Perhimpunan Ergonomi Indonesia dan International Ergonomic Association (2009-sekarang), serta anggota Ikatan Sarjana Teknik dan Manajemen Industri.

Karya ilmiah yang berjudul “Perancangan Model Penerimaan dan Evaluasi

Pesanan pada Industri Kemasan Karton yang Berbasiskan Make-to-Order” akan

diterbitkan pada Jurnal Teknik Industri, Vol. 2 No. 1 Maret 2012, ISSN

1411-6340. Karya ilmiah lain yang dihasilkan berjudul “Penjadwalan Pesanan

(16)

Dengan menyampaikan rasa syukur yang mendalam dan segala puji

kepada Allah SWT atas segala kemudahan dan kekuatan yang diberikan kepada

penulis, disertasi yang berjudul “Rancang Bangun Model Proses Penerimaan

Pesanan Pada Industri Kemasan Karton” ini akhirnya dapat diselesaikan sesuai

dengan harapan dan waktu yang tersedia. Disertasi ini adalah hasil penelitian yang

prosesnya dilakukan pada tahun 2009 sampai dengan 2011 dengan tujuan untuk

membantu industri kemasan karton memperoleh suatu solusi yang dapat

mempercepat dan meningkatkan efisiensi proses penerimaan pesanan.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan rasa terima

kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr. Ir. Irawadi Jamaran sebagai ketua Komisi Pembimbing,

bapak Prof. Dr. Ir. Djumali Mangunwidjaja, DEA dan Dr. Ir. Yandra

Arkeman, M.Eng. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah

memberikan ilmu, bimbingan, motivasi dan arahan sehingga disertasi ini

dapat diselesaikan.

2. Rektor Universitas Trisakti yang telah memberikan izin belajar dan bantuan

moril sertamateril kepada penulis.

3. Pimpinan Sekolah Pasca Sarjana, Pimpinan Fakultas Teknologi Pertanian,

Pimpinan, staf pengajar, staf administrasi Program Studi Teknologi Industri

Pertanian Institut Pertanian Bogor yang dengan ikhlas dan tulus membagi

ilmu dan pengalaman serta layanan kepada penulis.

4. Bapak Riza Wibowo (CV. Mitra Selaras), Ibu Rossa (CV. Mitra Selaras),

Bapak Firmansyah (PT. Atha Abadi), Ibu Dra. Kitty Gayatri (UPT Percetakan

Usakti), Eri Setyawati (UPT Percetakan Usakti) atas bantuan yang diberikan

selama penulis melakukan penelitian.

5. Pimpinan Fakultas Teknologi Industri Universitas Trisakti, Pimpinan, staf

pengajar dan staf administrasi Jurusan Teknik Industri Universitas Trisakti

atas dukungan dan pengertian serta kerjasama yang baik sehingga penulis

(17)

tertutup.

7. Teman-teman seperjuangan pada program S3 TIP Institut Pertanian Bogor,

dan teman-teman grup diskusi ACT atas segala diskusi dan persahabatan

selama penulis menempuh studi S3.

8. Yang tercinta Drs. Muhammad Saturdaya, Prof. Drs. Azmi, MA, Ph.D, Dra.

Wasni Haji, Alia Azmi, keluarga Hadji dan keluarga Drs. Sjamsurizal (alm)

atas segala motivasi, dorongan, pengorbanan dan kesabaran yang diberikan

sehingga akhirnya penulis berhasil menyelesaikan studi ini.

9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

memberikan kontribusi hingga studi ini dapat diselesaikan.

Semoga disertasi ini akan bemanfaat bagi semua fihak yang

memerlukannya dan dapat menjadi sumbangan kecil bagi ilmu pengetahuan yang

sangat luas ini.

Bogor, Februari 2012

(18)

I . PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemasan mempunyai peranan penting untuk menunjang operasional suatu

industri manufaktur maupun industri jasa. Produk kemasan disamping berfungsi

untuk mewadahi dan melindungi produk yang dihasilkan oleh industri manufaktur

atau industri jasa lain, juga berfungsi sebagai alat untuk mengkomunikasikan

produk kepada pelanggan. Kemasan yang baik dapat meningkatkan nilai tambah

suatu produk.

Pertumbuhan industri pangan, farmasi, dan barang barang kebutuhan

konsumen yang pesat telah mendorong peningkatan permintaan terhadap industri

kemasan. Peningkatan ini juga didorong oleh tumbuhnya sektor ritel berbagai

macam produk, sehingga meningkatkan kebutuhan akan produk kemasan.

Berdasarkan bahan baku yang digunakan, industri kemasan dapat

diklasifikasikan menjadi lima sektor, yaitu : 1) industri kemasan kertas dan karton,

2) industri kemasan plastik kaku, 3) industri kemasan plastik fleksibel, 4) industri

kemasan bahan baku kaleng, dan 5) industri kemasan bahan baku kaca (WPO,

2008).

Dari berbagai variasi bahan baku kemasan, kemasan yang terbuat dari

kertas dan karton merupakan jenis yang banyak diminati dan digunakan oleh

konsumen. Di Indonesia, konsumsi kemasan yang terbuat dari kertas dan karton

menempati urutan kedua setelah kemasan yang terbuat dari plastik (Gambar 1).

Didunia, konsumsi kemasan dari kertas dan karton menempati urutan pertama

dengan persentase sebesar 38%, diikuti berturut-turut oleh kemasan plastik kaku

21%, kemasan plastik fleksibel 13%, kemasan kaleng 16%, kemasan dari kaca 6%,

dan kemasan lainnya 6% (WPO, 2008).

Konsumsi atau penggunaan kemasan yang terbuat dari kertas dan karton

terus meningkat. Pertumbuhan tingkat penggunaan kemasan dari kertas dan

karton terlihat dari pertambahan nilai kotor produk industri kertas dan karton yang

dihasilkan pada periode 2003 sampai 2008 (Tabel 1). Pertumbuhan konsumsi

(19)

dan karton di Indonesia berada pada urutan keempat tertinggi di dunia pada

periode 2004 sampai 2009, yaitu sebesar 9,5%. (WPO, 2008).

Gambar 1. Perbandingan Konsumsi Berbagai Sektor Kemasan di Indonesia

(IPF, 2009).

Pada tahun 2010, nilai penjualan industri kemasan kertas dan karton

mencapai US$1,85 milyar (kurang lebih Rp. 16,65 trilyun), yang merupakan 25%

dari total penjualan seluruh industri kemasan di Indonesia. Konsumsi kemasan

tertinggi terdapat pada jenis kemasan plastik kaku dengan nilai sebesar US$ 1,88

milyar pada tahun 2011 (Bharat Book Bureau, 2012).

Tabel 1 Data industri kemasan kertas dan karton (DIS, 2010)

Data Statistik 2004 2005 2006 2007 2008 Keterangan

Nilai Produk

Industri (gross) 7,016 6,784 8,560 10,276 10,995 Rp.triliun Jumlah perusahaan

terdaftar 110 120 130 130 130 Units

Tingginya konsumsi kemasan kertas dan karton terjadi karena kemasan

kertas dan karton merupakan kemasan yang cukup aman untuk digunakan

berbagai jenis produk, termasuk bagi produk pangan. Sektor pangan adalah

pengguna terbesar dari industri kemasan (mencapai sekitar 50 persen). Disamping

itu kemasan karton bersifat mudah diuraikan sehingga tidak merusak lingkungan, 24%

53% 17%

6%

Kertas & karton plastik

kaleng (metal)

(20)

dapat didaur ulang sebagai bahan baku untuk kemasan berikutnya, dan dapat

digunakan sebagai sumber energi atau kompos (Coles, McDowell dan Kirwan,

2003).

Di Indonesia terdapat sekitar 130 industri kemasan kertas dan karton di

mana sebagian besarnya merupakan usaha kecil dan menengah. Sebagian besar

pelaku industri kertas dan karton memproduksi produk yang terbuat dari bahan

baku karton solid dan karton gelombang untuk menghasilkan kemasan karton lipat

(folding carton) dan kotak karton gelombang (corrugated box). Banyaknya

pelaku industri menyebabkan tingginya tingkat persaingan dan meningkatnya

daya tawar konsumen untuk memperoleh produk kemasan sesuai dengan harga

dan spesifikasi yang mereka inginkan. Hal ini menyebabkan turunnya margin

keuntungan yang diperoleh industri kemasan karton dalam tahun-tahun terakhir.

Bagi industri kecil dan menengah tantangan ini ditambah dengan permasalahan

sulitnya memperoleh akses bahan baku yang murah, rendahnya kemampuan

teknologi produksi dan kurangnya kemampuan untuk melakukan perencanaan dan

pengelolaan produksi yang efisien untuk memenuhi tuntutan konsumen.

Sebagian besar industri kemasan karton beroperasi berdasarkan pesanan

(make-to-order/MTO). Disamping itu banyak produk kemasan yang didesain

secara khusus dan diproduksi dalam jumlah besar untuk konsumen tertentu (Mass

Customization/MC). Proses operasi yang berdasarkan pesanan menyebabkan

produsen tidak mengetahui produk apa yang akan dibuat, seperti apa

spesifikasinya dan berapa jumlahnya, hingga pesanan tersebut datang. Di sisi lain

karakteristik MC menyebabkan banyaknya variasi desain struktur, desain grafis

dan jmlah pesanan produk kemasan karton sehingga menambah kompleksitas

proses perencanaan dan pengendalian produksi. Kompleksitas proses

perencanaan produksi memberikan kesulitan yang lebih tinggi pada industri MTO

dan MC dalam memberikan informasi yang akurat kepada pelanggan mengenai

kemampuan perusahaan untuk memproduksi suatu pesanan dan kapan waktu

penyelesaian pesanan.

Tingkat persaingan yang tinggi dengan margin keuntungan yang semakin

berkurang, serta adanya kompleksitas proses perencanaan dan pengendalian

(21)

memproses pesanan secara lebih efisien. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini

adalah dengan membuat sistem penerimaan pesanan yang terintegrasi dengan

perencanaan produksi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dalam proses

produksi sekaligus dapat meningkatkan kepuasan pelanggan melalui pemberian

informasi yang lebih akurat mengenai status pesanan mereka.

Proses perencanaan produksi pada industri MTO dan MC memiliki

struktur yang berbeda dengan proses perencanaan produksi pada industri yang

berproduksi berdasarkan stock (Make-to-Stock/MTS). Banyaknya variasi produk,

adanya kemungkinan penambahan desain produk baru setiap saat, dan proses

produksi yang baru bisa dilaksanakan setelah pesanan datang, membuat industri

berbasiskan MTO memerlukan suatu tahapan khusus yang dapat menjembatani

kebutuhan konsumen dengan tahap perencanaan produksi. Henry dan Kingsman

(1989) untuk pertama kalinya menambahkan tahap penerimaan pesanan (order

entry stage) di dalam struktur perencanaan produksi pada perusahaan MTO.

Tahap penerimaan pesanan pada industri yang bersifat MTO merupakan suatu

tahapan yang merupakan irisan dari dua aktivitas atau sistem utama pada suatu

perusahaan, yaitu sistem pengelolaan pesanan dan sistem perencanaan dan

pengendalian produksi.

Stock dan Lambert (2001) menyatakan bahwa sistem pengelolaan pesanan

(order processing system) merupakan alat penting yang dapat digunakan untuk

memperbaiki komunikasi dengan pelanggan, meningkatkan kinerja fungsi-fungsi

logistik dan meningkatkan efisiensi proses. Dengan semakin majunya teknologi

informasi, sistem informasi pemesanan memainkan peran kunci untuk

meningkatkan pelayanan kepada pelanggan dengan biaya yang kompetitif.

Krajewski et al (2010) menjelaskan bahwa penggunaan sistem informasi

berbasis internet pada proses penerimaan pesanan akan memberikan beberapa

manfaat bagi perusahaan, antara lain : 1) menghemat biaya dan waktu pemrosesan

pesanan karena mendorong partisipasi pelanggan yang lebih besar dalam

pemilihan produk, 2) memungkinkan proses penerimaan pesanan berlangsung 24

jam sehari dengan akses yang lebih luas dan global, dan 3) meningkatkan

fleksibilitas harga dan kemampuan untuk mengontrol keuntungan ataupun

(22)

Berbagai penelitian tentang model atau sistem penerimaan pesanan telah

dihasilkan. Namun sebagian besar merupakan sistem informasi pemesanan

berbetuk DMS (Database Management System) yang dirancang untuk industri

dengan karakteristik make-to-stock/MTS atau Assembly to Order (ATO)

(Supriyanto dan Kirana,2008). Penelitian yang berisikan pengembangan model

proses penerimaan pemesanan pada industri MTO dengan tingkat ketidakpastian

lebih tinggi belum banyak dilakukan. Dua di antaranya adalah yang

dikembangkan oleh Ebadian, et al (2008) dan Kirche, Kadipasaouglu dan

Khumawala (2005). Walaupun model ini disusun untuk industri dengan kriteria

MTO, namun tidak sesuai untuk industri kemasan karton yang memiliki

karakteristik MC dan belum sepenuhnya bisa menjawab efisiensi pemesanan yang

dibutuhkan oleh industri yang bersifat MTO.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model proses penerimaan

pesanan pada industri kemasan karton. Model ini mencakup tahapan untuk

menentukan desain struktur dan bahan baku utama kemasan, mengevaluasi proses

produksi dan menentukan harga kemasan. Model diwujudkan dalam bentuk

perangkat lunak Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision

Support System/IDSS) Proses Penerimaan Pesanan pada Industri kemasan karton

yang berbasis internet.

Model ini diharapkan dapat memberikan kemudahan, meningkatkan

efisiensi dan akurasi proses penerimaan pesanan sehingga konsumen dapat

memperoleh kepastian mengenai status pesanan, waktu penyelesaian serta harga

pesanan tanpa harus berhadapan langsung dengan pihak produsen.

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup model proses penerimaan pesanan dibatasi pada industri

kemasan karton yang memproduksi kotak karton gelombang (corrugated box) dan

kemasan karton lipat (folding carton). Jenis-jenis kemasan karton gelombang dan

karton lipat merujuk kepada standar desain struktur kemasan yang dikeluarkan

(23)

ESBO (The European Solid Board Organization) pada tahun 2007, beseerta

kombinasi atau modifikasi desain struktur yang dihasilkan dari model standar

yang telah ada. Parameter keputusan yang dipertimbangkan dalam menentukan

desain kemasan adalah dimensi, bentuk dan jenis kertas pada desain struktur serta

warna pada desain grafis.

Tahapan proses produksi mencakup proses pembuatan karton gelombang

(corrugating) sampai proses konversi menjadi produk kemasan (converting).

Proses converting terdiri dari tahapan pencetakan (printing), pemotongan (die

cuting), pengeleman atau penjahitan (finishing) dan perlakuan tambahan

(additional treatment). Tahapan converting dilakukan secara terputus-putus

(24)

2.1 Industri Kemasan Kertas

Industri Kemasan Kertas merupakan industri hilir dari industri pulp dan

kertas. Rantai industri pulp dan kertas dimulai dari industri pengolahan kayu

menjadi pulp, dilanjutkan dengan pengolahan pulp menjadi kertas, dan akhirnya

pengolahan kertas menjadi bermacam-macam produk hilir, termasuk kemasan

yang terbuat dari karton.

Seiring dengan peningkatan permintaan terhadap produk-produk kertas

baik dari dalam negeri maupun luar negeri, Departemen Perindustrian Republik

Indonesia telah menjadikan upaya untuk mendorong perkembangan industri hilir

kertas sebagai salah satu rencana aksi pada tahun 2010 sampai 2014. Adanya

tekanan internasional di bidang lingkungan hidup telah mendorong tumbuhnya

upaya untuk memanfatkan kertas bekas sebagai bahan baku industri kertas hilir.

Hal ini menjadi salah satu faktor pendorong semakin bertumbuhnya industri

kertas hilir yang memproduksi karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang.

Karton gelombang dan kertas-kertas daur ulang merupakan bahan baku yang

cukup penting untuk industri kemasan kertas (Direktorat Jenderal Industri Agro

dan Kimia, 2009).

Industri kemasan kertas menggunakan bahan baku berbagai macam jenis

kertas, antara lain papan kertas (cardboard), karton gelombang (corrugated

board), kertas kraft, kertas medium dan karton seni (art carton). Kertas dan

papan kertas adalah lembaran material yag dibuat dari jalinan serat selulosa yang

dihasilkan dari kayu. Material ini dapat dicetak dan memiliki karakteristik fisik

yang memungkinkan untuk dijadikan kemasan kaku atau fleksibel dengan cara

memotong, melipat, membentuk, mengelem dan sebagainya. Dewasa ini terdapat

banyak tipe kertas dan papan kertas, dimana perbedaannya terletak dalam hal

tampilan (appearance), kekuatan dan beberapa karakteristik lainnya, tergantung

kepada jumlah serat yang digunakan dan bagaimana serat tersebut diproses

menjadi kertas dan papan kertas. Appearance berkaitan dengan penampakan

visual kemasan dan diekspresikan dalam kriteria warna, kehalusan dan kilap pada

(25)

Jenis kemasan kertas sangat banyak, mulai dari kertas tissu sebagai

pembungkus teh dan kopi celup hingga kemasan karton tebal yang digunakan

dalam proses distribusi dan pengangkutan. Menurut Kirwan (2005) kertas dan

papan kertas ini antara lain digunakan untuk mengemas : 1) produk-produk

makanan kering, seperti sereal, produk-produk roti, teh, kopi, gula, tepung, dan

makanan kering, 2) produk makanan beku, chilled food dan es krim, 3) makanan

dan minuman cair seperti juice, susu dan produk-produk turunan dari susu, 4)

produk makanan yang mengandung coklat dan gula, 5) makanan cepat saji (

fast-foods), dan 6) makanan segar seperti buah-buahan, sayuran, daging dan ikan, 7)

produk-produk farmasi dan kesehatan, 7) produk-produk untuk keperluan olah

raga dan bersantai, 8) mesin-mesin dan alat-alat elektronik, 9) produk-produk

untuk keperluan pertanian dan perkebunan, dan 10) alat-alat militer.

Dalam memilih suatu kemasan, perlu dipertimbangkan kesesuaian antara

produk yang dikemas dengan kemasannya. Faktor-faktor yang menentukan

kesesuaian ini adalah tampilan (appearance) dan performansi. Faktor performansi

berkaitan dengan tingkat efisiensi proses manufaktur yang terdiri dari proses

printing, pemotongan (cutting), pelipatan, pengeleman dan pengepakan.

Kemasan kertas dan papan kertas diklasifikasikan berdasarkan desain

bagian permukaan (desain grafis) dan desain struktural. Desain grafis dilihat dari

warna, teks, gambar, dekorasi dan tekstur permukaan. Desain tersebut diwujudkan

dengan memberikan perlakuan terhadap bahan dasar kertas dan papan kertas

berupa proses laminasi, pelapisan (coating), penempelan kertas timah (hot foil

stamping), desain atau hiasan timbul (embossing), pencetakan (printing) dan

pengkilapan (varnishing). Desain struktural antara lain menyangkut bentuk

kemasan dan desain bukaan kemasan. Kemasan kertas dan papan kertas memiliki

banyak sekali variasi karena faktor-faktor : 1) banyaknya alternatif warna dan

finishing kertas yang tersedia, 2) banyaknya pilihan kekuatan kemasan kertas,

tergantung kepada tipe serat, ketebalan, dan cara produksi, 3) banyaknya alternatif

cara coating, laminating, dekorasi dan printing, 4) kemudahan konversi desain

kemasan melalui proses pemotongan, tekukan, pelipatan, pengeleman, cara

mengunci (locking) dan cara menutup/merapatkan (sealing), dan 5) banyaknya

(26)

Menurut Kirwan (2005) jenis-jenis kemasan kertas yang banyak

digunakan saat ini adalah : 1) kantong kertas celup dari bahan tissue (untuk teh

dan kopi), 2) kantong kertas dan kertas pembungkus (paper bags dan wrapping

papers), 3) kemasan fleksibel yang mengkombinasikan kertas, plastik dan

alumunium foil, 4) kantong kertas multi lapis (multiwall paper sacks), 5) kotak

karton lipat (folding carton), 6) kemasan karton untuk makanan cair, 7) kotak

karton kaku (rigid boxes), 8) tabung dari kertas komposit (tube & composite

containers), 9) drum kertas (fibre drum), 10) kemasan karton gelombang

(corrugated boxes), dan 11) kontainer pulp yang dicetak (moulded pulp

containers).

Menurut Dirjen Industri Menengah dan Kecil (2007), secara umum

kemasan yang terbuat dari kertas dan karton dapat diklasifikasikan menjadi tiga,

yaitu:

1. Kemasan fleksibel (Flexible packaging). Kemasan jenis ini bersifat lentur

dan fleksibel, biasanya digunakan untuk kemasan makanan, dan snack food.

2. Kemasan kaku (Rigid packaging). Kemasan ini bersifat kaku dan lebih

tebal. Biasanya digunakan sebagai kontainer (kemasan bagian luar) untuk

produk-produk makanan.

3. Kemasan kotak (Box packaging) yang terbuat dari karton gelombang dan

karton duplex. Biasanya digunakan sebagai wadah untuk memindahkan

produk (carried box), tempat pajangan produk (display box), dan tempat

makanan (food box).

2.2 Kemasan Karton Lipat

Kemasan karton lipat terbuat dari papan kertas yang dikirimkan ke mesin

pengepakan berbentuk lembaran (sheet). Pilihan papan kertas yang digunakan

untuk karton lipat tergantung kepada kebutuhan produk selama pengepakan,

distribusi, penyimpanan dan penggunaan. Juga tergantung kepada desain grafis

dan desain struktural yang diinginkan. Jenis papan kertas yang digunakan antara

lain solid bleached board (SBB), solid unbleached board (SUB), folding box

(27)

Sebagian besar karton lipat berbentuk persegi empat. Jenis produk yang

akan dikemas, metode pengisian dan cara karton didistribusikan, dipajang dan

digunakan akan mempengaruhi dimensi dan rancangan karton. Karton lipat

dibuat dengan tahapan: pertama, desain permukaan karton diprint pada lembaran

papan kertas, selanjutnya setiap karton dipotong dan ditekuk menurut pola yang

sudah dibuat. Kemasan karton yang sudah dipotong dan berbentuk lembaran bisa

dikirim langsung ke pengepakan, atau sebagian dari lembaran dilipat (pada bagian

sisinya) dan dikirimkan dalam bentuk lipatan. Terdapat proses tambahan yang

digunakan dalam membuat karton lipat, tergantung kepada desain kemasan.

Proses tambahan ini antara lain pengkilapan (varnishing), pelapisan dengan panas

(heat seal coating), embossing, pembubuhan timah panas (hot foil stamping) dan

pembuatan jendela pada kemasan (window patching) (Coles et al, 2003).

2.3 Kotak Karton Gelombang (Corrugated Box)

Jenis kemasan ini adalah kemasan kertas yang berukuran paling besar dan

biasanya digunakan untuk proses pengangkutan dan penyimpanan. Pada sektor

retail, kotak atau landasan (tray) yang terbuat dari karton gelombang digunakan

sebagai kemasan kedua (yang mewadahi kemasan pertama). Demikian juga pada

industri makanan, jenis kemasan ini digunakan untuk mewadahi kemasan pertama

yang terdiri dari 6 atau 12 unit. Katon gelombang bisa terbuat dari kertas kraft asli

yang tidak mengalami proses pemutihan (unbleached virgin kraft liner), 100%

terbuat dari kertas/serat daur ulang atau campuran antara keduanya. Berat

kemasan berkisar antara 115 sampai 400 g/m2. Proses manufaktur kemasan karton gelombang memiliki model matematik yang didasarkan kepada material

standar, tipe gelombang, dimensi dan berat kandungan yang dapat memprediksi

kekuatan tekan kemasan (Coles, Dowell dan Kirwan, 2003).

Kotak karton gelombang sejauh ini merupakan kemasan kertas yang

terbanyak digunakan dihitung dari tonase pemakaiannya. Berdasarkan susunan

(konstruksinya), menurut TAPPI (2001) terdapat 4 (empat) jenis lembaran (sheet)

yang merupakan bahan baku dari karton gelombang, yaitu :

Single face. Single face merupakan lembaran kertas gelombang yang dilapisi

(28)

bentuk gulungan dan kadang-kadang digunakan sebagai bantalan bagi produk

yangmudah pecah seperti bola lampu.

Single wall. Single wall terdiri tiga lapis kertas dimana satu lapis kertas

gelombang dilapisi oleh dua lembar kertas pada kedua sisinya.

Double wall. Jenis sheet ini memiliki lima lapis kertas yang terdiri dari dua

lembar kertas gelombang yang dilapisi oleh tiga lembar kertas pada bagian

luar dan diantara kedua kertas gelombang.

Triple wall. Terdiri dari tujuh lapis kertas, yang terdiri dari tiga lembar kertas

gelombang yang dilapisi oleh empat lembar kertas flat.

Jenis kertas yang biasa digunakan sebagai bahan baku karton gelombang

adalah kertas kraft dan kertas medium. Kertas kraft digunakan sebagai kertas

pelapis bagian luar dan di antara kertas yang bergelombang, sedangkan kertas

medium digunakan sebagai bahan dasar untuk membuat lembaran bergelombang.

Kertas kraft atau biasa disebut liners terdiri dari beberapa macam warna, yaitu

kertas kraft coklat, putih atau lurik. Kertas kraft bisa terbuat dari 100 persen pulp

(serat asli), campuran antara pulp dengan kertas daur ulang, atau 100 persen kertas

daur ulang. Kertas kraft yang paling banyak digunakan adalah kertas kraft coklat.

Kertas kraft coklat merupakan kertas kraft yang belum mengalami proses

pemucatan (unbleached) untuk menghilangkan warna, sedangkan kertas kraft

putih adalah kertas kraft yang mengalami proses pemucatan (bleached). Kertas

kraft lurik merupakan campuran antara kertas kraft yang mengalami proses

pemucatan dengan yang tidak (Kirwan, 2005; TAPPI, 2001).

Kertas medium sebagai bahan dasar karton gelombang terbuat dari serat

kertas hasil daur ulang yang melalui proses mekanikal dan kimia. Karakteristik

karton gelombang ditentukan oleh konfigurasi gelombang yang terdiri dari tinggi

gelombang dan jumlah gelombang per satuan panjang kertas (flute). Di samping

jenis kertas dan jumlah lapisan, faktor lain yang tidak kalah penting dalam

menentukan karakteristik karton gelombang adalah profil atau konfigurasi

gelombang yang terdapat pada karton tersebut. Jenis-jenis flute yang terdapat

pada karton gelombang diklasifikasikan berdasarkan huruf. Flute A, B dan C

merupakan jenis flute yang umum terdapat pada karton gelombang dan memiliki

(29)

merupakan flute yang biasa terdapat pada karton gelombang yang lebih tipis

dengan tinggi flute berkisar antara 0,3 sampai 1,8 mm (ICG, 2003). Di Indonesia

jenis flute yang lazim digunakan adalah flute jenis B, C dan E.

Proses pembuatan karton gelombang dilakukan pada mesin yang disebut

corrugator. Suatu lini mesin corrugator yang modern mampu menghasilkan

karton gelombang dengan kecepatan 1000 ft/menit.

2.4 Sistem Pemrosesan Pesanan

Pemrosesan pesanan adalah suatu aktivitas pertukaran informasi yang

dibutuhkan di antara para anggota dari suatu rantai pasok (supply chain) yang

terlibat dalam distribusi atau jual beli suatu produk. Aktivitas utama dari

manajemen pemesanan adalah meneliti dan menentukan kualifikasi dari setiap

pesanan yang masuk (Bowersox et al. 2002).

Sistem pemrosesan pesanan merupakan salah satu bagian penting dari

sistem logistik. Pesanan yang datang dari konsumen akan menggerakkan seluruh

bagian dalam perusahaan untuk dapat memenuhi pesanan tersebut dalam waktu

yang tepat dengan spesifikasi dan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan

konsumen. Untuk bisa memenuhi permintaan konsumen, dibutuhkan suatu sistem

komunikasi dan informasi yang efisien. Sistem informasi dan pemrosesan

pesanan yang efisien memainkan peranan penting dalam upaya memenuhi dan

melayani kebutuhan konsumen dengan biaya yang kompetitif.

Menurut Stock dan Lambert (2001), siklus proses pemesanan dimulai

sejak diberikannya pesanan (order) dan berakhir ketika diterimanya pesanan oleh

konsumen. Siklus pemesanan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan dan

penawaran pesanan, (2) Penerimaan dan input pesanan, (3) pemrosesan pesanan,

(4) pengambilan dan pengepakan di gudang, (5) pengiriman pesanan, dan (6)

penerimaan dan pembongkaran (unloading) pesanan oleh konsumen (Gambar 2).

Ketika suatu perusahaan menerima pesanan dan menginputnya ke dalam

sistem pemrosesan pesanan, sistem harus mampu membuat beberapa pengecekan

untuk menentukan : (1) apakah produk yang diminta tersedia dalam jumlah yang

(30)

yang diminta, dan (3) apakah jadwal produksi memungkinkan untuk memenuhi

pesanan, jika inventory tidak tersedia.

Siklus pemrosesan dan pengiriman pesanan konsumen juga merupakan

faktor yang menentukan performansi dari proses distribusi pemasaran. Bowersox

et al. (2002) menyatakan performansi proses distribusi pemasaran ditentukan oleh

aktivitas-aktivitas : (1) penyampaian pesanan (order trasmission), (2) pemrosesan

pesanan (order processing), (3) seleksi pesanan (order selection), (4) pemrosesan

pesanan, dan (5) pengiriman pesanan.

Pesanan

Gambar 2 Siklus Proses Pemesanan (Stock dan Lambert, 2001)

Autri et al. (2008) dalam penelitiannya yang merumuskan suatu taxonomi

dari strategi logistik mengklasifikasikan sistem pemrosesan pesanan menjadi:

pengecekan kredit (credit checking), penomoran (pelabelan) pesanan, pengecekan

pesanan secara internal (order checking), menginput order (order entry),

pelaksanaan pesanan (order picking/assembly) dan pengepakan pesanan untuk

dikirim (palletization).

Dari uraian dan gambaran mengenai aktivitas-aktivitas proses pemesanan

di atas dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaannya, proses pemesanan tidak bisa

(31)

Gambar 1 terlihat bahwa agar bisa memproses suatu pesanan yang masuk, perlu

adanya informasi dan jaminan mengenai ketersediaan bahan baku dan

kemampuan memenuhi jadwal produksi yang merupakan wewenang bagian

produksi. Di sisi lain, agar perusahaan mampu memproses pesanan yang masuk,

perlu adanya informasi dan jaminan dari bagian keuangan mengenai batas kredit

modal kerja yang dibutuhkan untuk memproduksi pesanan tersebut. Proses

pengiriman pesanan yang merupakan bagian dari aktivitas pemrosesan pesanan

juga tidak bisa dilepaskan dari peran bagian produksi serta bagian-bagian lain

dalam perusahaan yang menjamin pesanan dapat dikirimkan pada waktunya. Hal

ini menyebabkan perlu adanya suatu sistem pemrosesan pesanan yang handal dan

dapat meningkatkan kepuasan konsumen.

Sistem pemrosesan pesanan tidak bisa terlepas dari karakteristik dan tipe

industri dimana sistem pemrosesan pesanan tersebut diimplementasikan. Secara

umum, terdapat dua kelompok utama dalam suatu sistem manufaktur, yaitu sistem

manufaktur yang berbasiskan pesanan (make-to-order/MTO) dan sistem

manufaktur yang berbasiskan stok atau persediaan (make-to-stock/MTS).

Kingsman (1996) menjelaskan bahwa perbedaan utama antara kedua kelompok

perusahaan manufaktur tersebut terletak pada waktu penerimaan pesanan dan

waktu produksi dilakukan. Pada perusahaan MTS, produksi sudah selesai

dilakukan ketika permintaan dari konsumen datang dan permintaan konsumen

tersebut dipenuhi dari stok yang tersedia. Pada perusahaan MTO, pesanan tidak

bisa diketahui kapan waktu kedatangannya, dan seringkali produksi baru

dilakukan setelah pesanan datang. Hal ini membuat perusahaan MTO memiliki

karakteristik pemrosesan pesanan yang sedikit berbeda dengan perusahaan MTS.

Pada perusahaan MTO, setiap pesanan yang masuk tidak bisa langsung dipenuhi

seperti pada perusahaan MTS, melainkan memerlukan penelaahan atau evaluasi

lebih lanjut apakah pesanan tersebut akan dipenuhi dan perusahaan memiliki

kemampuan untuk memenuhinya.

2.5 Model Operasional Pada Industri Make to Order dan Mass Customization

Industri atau perusahaan yang berproduksi berdasarkan pesanan (MTO)

(32)

kebutuhan manusia seperti pakaian dan sepatu secara tradisional dibuat setelah

pesanan diterima. Akan tetapi produksi pada waktu itu sebagian besar dilakukan

secara manual dan dalam jumlah terbatas sehingga lebih tepat diistilahkan sebagai

sistem operasi berdasarkan keahlian manual (craft production) (Nicholas, 1998).

Adanya revolusi industri dan kemajuan teknologi, lambat laun merubah sistem

produksi berdasarkan pesanan ini menjadi sistem produksi massal (

make-to-stock/MTS) yang sebagian besar proses produksinya telah menggunakan bantuan

teknologi. Selama hampir dua abad sistem produksi massal telah mampu

memenuhi produk-produk kebutuhan manusia dalam jumlah besar dan kapanpun

diperlukan tanpa perlu melalui proses pemesanan dan waktu menunggu selama

produk diproduksi.

Paradigma yang terjadi dalam dua dekade terakhir telah memunculkan

adanya pergeseran kebutuhan manusia. Sistem produksi MTS untuk

produk-produk tertentu dipandang tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan spesifik dari

manusia. Sekarang, dengan semakin banyaknya produk membanjiri pasaran,

pembeli dihadapkan dengan banyak sekali pilihan sehingga mereka mempunyai

posisi tawar yang semakin tinggi. Tingkat persaingan di antara perusahaan sejenis

telah mendorong terjadinya proses jual beli yang berorientasi pelanggan

(customer-driven-market). Dengan semakin banyaknya keinginan spesifik

pembeli yang harus dipenuhi oleh produsen, dalam beberapa tahun terakhir,

sistem produksi dengan karakteristik MTO mulai banyak diaplikasikan pada

beberapa jenis produk. Namun karakteristik sistem produksi MTO dewasa ini

sedikit berbeda dengan sistem MTO pada masa sebelumnya, dimana sistem

produksi MTO yang berkembang dewasa ini juga mengakomodasi kemampuan

untuk tetap berproduksi secara massal dengan tidak lagi mengandalkan produksi

manual. Sistem produksi dengan karakteristik seperti ini juga disebut sebagai

sistem produksi mass customization (MC).

Sistem Produksi MC secara singkat diartikan sebagai produksi massal

barang-barang atau jasa yang dibuat secara khusus (spesifik) untuk satu

pelanggan (Anderson, 1998). Dalam kenyataannya suatu perusahaan seringkali

mengadaptasi lebih dari satu sistem produksi dalam proses produksinya. Di

(33)

bisa saja menghasilkan variasi produk lainnya yang diproduksi berdasarkan sistem

MTS.

Industri kemasan karton adalah salah satu industri yang menerapkan

prinsip MTO dalam proses produksinya. Seringkali pembeli industri kemasan

karton merupakan pembeli perorangan atau perusahaan yang ingin memesan

kemasan dengan desain khusus untuk produk mereka yang dijual secara massal,

sehingga produk kemasan karton juga dikategorikan sebagai produk mass

customization. Pada beberapa industri kemasan besar, pendekatan MTO maupun

MTS bisa digunakan secara bersamaan. Pendekatan MTS digunakan untuk proses

pembuatan karton gelombang tanpa cetak dengan bentuk yang standar, sedangkan

pendekatan MTO digunakan untuk mengerjakan pesanan produk-produk dengan

desain spesifik yang berasal dari konsumen.

Walaupun cukup banyak perusahaan menjalankan sistem produksi yang

berorientasi MTO, namun belum banyak tulisan yang mengulas secara lengkap

model dan sistem pengambilan keputusan untuk industri MTO ini.

Olvera (2009) membuat model referensi untuk operasi manufaktur pada

industri yang berorientasi MTO (Gambar 3). Model ini mengklasifikasikan

aktivitas manufaktur menjadi empat aktivitas, yaitu mempersiapkan order yang

akan diproduksi (A1), mengirimkan dan menjadwalkan order yang akan

diproduksi ke lantai produksi (A2), pelaksanaan produksi (A3) dan menutup order

(A4). Setiap aktivitas kemudian didekomposisi menjadi aktivitas -

sub-aktivitas. Model juga menggambarkan input dan output dari masing-masing

aktivitas serta aliran informasi yang dibutuhkan dan diolah pada setiap aktivitas

maupun sub-aktivitas. Informasi ataupun data yang dipertimbangkan dalam

pelaksanaan aktivitas manufaktur pada model ini antara lain daftar bahan baku

(Bill of Material, BOM), urutan proses, kebutuhan dan ketersediaan kapasitas,

ketersediaan material, produk yang selesai diproduksi, dan kendala waktu

penyelesaian. Hasil validasi menunjukkan bahwa model ini cukup valid dalam

menggambarkan aktivitas manufaktur dan aliran informasi pada industri yang

berbasiskan MTO.

Kekurangan dari model ini adalah pada strukturnya yang masih bersifat

(34)

proses adaptasi untuk diaplikasikan/dikembangkan pada suatu industri.

Kekurangan lainnya adalah bahwa model ini terlalu menekankan pada aktivitas

manufaktur (setelah order diterima) dan tidak ada suatu prosedur untuk

mengevaluasi dan menguji kelayakan order yang akan diproduksi. Model juga

tidak menguraikan bagaimana cara mengorganisasikan order yang cukup

bervariasi sehingga bisa menimbulkan kesulitan dalam proses penjadwalan dan

pengaturan sumberdaya untuk proses produksinya.

Gambar 3 Model Referensi Operasi Manufaktur Pada Perusahaan MTO (Olvera, 2009).

Egri et al. (2004) mengusulkan model sistem produksi yang terdiri dari

dua tahapan, yaitu tahap perencanaan produksi dan tahap penjadwalan pada

industri manufaktur MTO. Pada model ini setiap order produk dianggap sebagai

suatu proyek, di mana setiap proyek memiliki batas waktu kapan harus mulai dan

selesai. Setiap order pekerjaan memerlukan satu atau lebih sumberdaya, akan

tetapi intensitas pelaksanaan aktivitas bisa bervariasi sepanjang waktu dan

pelaksanaan suatu aktivitas dapat disisipi aktivitas lain (preemptive).

Input dari tahap perencanaan produksi adalah daftar pesanan pelanggan

dalam bentuk master production schedule (MPS), BOM, routing (urutan proses,

(35)

detail ketersediaan sumberdaya. Output yang dihasilkan pada tahap ini adalah

rencana produksi mingguan, rencana kebutuhan kapasitas mingguan dan rencana

kebutuhan material tiap minggu. Pada tahap penjadwalan dilakukan penjabaran

rencana produksi menjadi jadwal detail yang siap dilaksanakan. Jadwal ini harus

mampu menentukan urutan operasi dan alokasi sumberdaya dengan

mempertimbangkan keterbatasan teknologi, kecepatan dan kapasitas.

Model Egri et al. (2004) secara lebih detil menjelaskan bagaimana setiap

tahapan dapat dijalankan dan pendekatan (metode) yang digunakan untuk setiap

aktivitas. Sayangnya model ini juga memulai tahapan sistem produksi dari daftar

pesanan yang sudah tersusun dalam bentuk MPS tanpa menjelaskan bagaimana

MPS tersebut bisa terbentuk. Hal ini membuat model sistem produksi MTO yang

dibuat tidak terlalu berbeda dari segi struktur, urutan aktivitas maupun aliran

informasinya. Ciri sistem MTO mungkin hanya bisa diidentifikasi dari horizon

waktu perencanaan dan penjadwalan yang lebih pendek dibandingkan sistem

MTS dan adanya proses penentuan routing (urutan proses) untuk setiap order

yang diterima.

McCarthy et al. (2003) mengemukakan suatu konsep model operasi untuk

industri dengan karakteristik MC (Gambar 4). Model ini menjelaskan bahwa

terdapat enam proses operasi yang mendasar untuk industri dengan karakteristik

MC, yaitu :

1. Penerimaan pesanan dan koordinasi

Ini meliputi kegiatan mengelola komunikasi dengan konsumen, menerima

dan menterjemahkan keinginan konsumen, menemukan solusi produk dan

membuat detail pesanan untuk konsumen.

2. Perancangan dan pengembangan produk

Kegiatan ini mencakup proses perancangan produk dan menyesuaikan dengan

standar internal maupun eksternal yang berlaku untuk produk tersebut.

3. Validasi produk dan rekayasa manufaktur

Yakni mengkonfirmasi kemampuan manufaktur untuk desain yang dibuat dan

menterjemahkan desain tersebut menjadi serangkaian proses dan aturan

manufaktur. Tahap ini mencakup pembuatan daftar bahan baku/BOM untuk

(36)

4. Manajemen Pemenuhan Pesanan

Mengelola pesanan dan rantai pasoknya, melakukan koordinasi proses,

menginformasikan kapan pesanan dapat diselesaikan dan mengontrol

aktivitas pemenuhan pesanan.

5. Realisasi pemenuhan / pelaksanaan pesanan

Melaksanakan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk menyelesaikan

pesanan, termasuk aktivitas pemasok, proses manufaktur internal dan

aktivitas pengiriman.

6. Proses setelah pesanan selesai

Aktivitas yang dilakukan setelah pesanan dikirimkan, mencakup service dan

pemeliharaan, menerima klaim, memberikan petunjuk teknis dan sebagainya.

Penerimaan Pesanan / koordinasi

Dengan konsumen

Perancangan / pengembangan

produk

Post order process

Manajemen Pemenuhan / pelaksanaan

pesanan

Validasi produk / Rekayasa manufaktur

Realisasi pemenuhan / pelaksanaan

pesanan Konsumen

Bahan baku

Gambar 4 Model Operasional pada Sistem Produksi Mass Customization (MacCharty et al. 2003).

Soman et al (2004) menyatakan bahwa issue operasional yang penting

bagi perusahaan MTO adalah perencanaan kapasitas, penerimaan atau penolakan

pesanan dan kemampuan untuk memenuhi batas waktu pengiriman pesanan (

due-date).

Menurut Stevenson et al. (2005) terdapat beberapa kriteria yang

dibutuhkan bagi sistem perencanaan dan pengendalian produksi pada industri

(37)

1. Adanya tahap evaluasi permintaan pelanggan untuk kepentingan penentuan

waktu penyerahan pesanan dan perencanaan kapasitas.

2. Adanya tahap masuknya suatu pesanan (job entry stages) dan tahap pelepasan

pesanan untuk diproduksi (job release stages) yang difokuskan terhadap

upaya pemenuhan batas waktu pengiriman pesanan.

3. Kemampuan untuk menerima dan memproduksi produksi yang tidak berulang

(untuk produk-produk yang sangat customized).

4. Kemampuan untuk melakukan proses perencanaan dan kontrol ketika urutan

proses di lantai produksi sangat bervariasi, seperti pada lantai produksi

dengan tipe general flow dan job shops.

5. Dapat diaplikasikan pada perusahaan skala kecil dan menengah.

McCarthy et al. (2003), Stevenson et al. (2005), dan Olvera (2009),

menyiratkan pentingnya memberikan perhatian khusus terhadap tahapan

penerimaan dan evaluasi suatu pesanan yang masuk pada suatu perusahaan MTO

dan MC, karena pada tahap inilah akan terjadi kesepakatan antara perusahaan

dengan konsumen yang menentukan tingkat produksi dan keberhasilan suatu

perusahaan selanjutnya.

2.6 Model Penerimaan Pesanan Pada Industri Berbasis MTO dan MC

Kingsman et al (1996) menguraikan empat tahapan yang dilalui oleh

perusahaan berbasis MTO pada saat menerima permintaan pesanan dan

pertanyaan dari konsumen, yaitu : 1) evaluasi awal untuk menentukan apakah

perusahaan mampu mengerjakan suatu pesanan, 2) mendefinisikan bagaimana

estimasi biaya akan dilakukan, 3) mempersiapkan estimasi biaya dan bagaimana

pesanan akan dikerjakan, dan 4) menetapkan harga serta waktu penyelesaian

pekerjaan (lead time) untuk ditawarkan kepada konsumen. Secara lengkap

(38)

1. Evaluasi awal

Gambar 5 Proses Penerimaan Pesanan dari Konsumen (Kingsman et al, 1996).

Lebih lanjut Xiong at al (2006) mengemukakan suatu Sistem Penunjang

Keputusan (Decision Support System/DSS) untuk merespon permintaan

konsumen pada tahap penerimaan pesanan (customer enquiry stage) dalam ruang

lingkup perusahaan berskala kecil dan menengah. Model yang diberi catatan oleh

Framinan dan Leisten (2007) ini difokuskan pada proses evaluasi kemampuan

perusahaan untuk memenuhi batas waktu pengiriman (delivery date/DD) yang

diinginkan konsumen. Jika suatu pesanan lolos dari evaluasi DD maka

selanjutnya dilakukan perhitungan waktu DD yang sebenarnya dengan

menggunakan suatu model heuristik dan model optimasi. Evaluasi kemampuan

(39)

untuk memproduksi dan memenuhi pesanan dalam jangka waktu satu minggu

(available to promise).

Odouza dan Xiong (2009) memperbaiki model sebelumnya dengan

menambahkan klasifikasi pesanan dalam perumusan model evaluasi DD. Pada

model ini pesanan diklasifikasikan menjadi pesanan dengan DD yang fleksibel

dan tidak fleksibel, sehingga kemungkinan untuk menolak pesanan lebih kecil. Di

samping batasan DD yang dihitung menggunakan kriteria ATP, tiga kriteria

lainnya yang dipertimbangkan dalam menerima atau menolak pesanan adalah

kapasitas dan material yang tersedia, dan profit yang dihasilkan dari pesanan

tersebut.

Dua penelitian terakhir telah menggunakan kerangka pemikiran dan

diagram alir yang sesuai untuk mengevaluasi pesanan pada perusahaan dengan

karakteristik MTO, namun penggunaan variabel ATP sebagai dasar untuk

mengevaluasi DD tidak selalu sesuai untuk semua karakteristik perusahaan.

Model evaluasi ATP ini kurang sesuai untuk diterapkan pada industri kemasan

karton yang beroperasi berdasarkan MC. Hal ini karena variasi bahan baku utama

(lembaran karton) sangat banyak, kondisi harga kertas yang berfluktuasi dan sifat

bahan yang mudah rusak menyebabkan sebagian besar industri kemasan karton

tidak menyimpan stok bahan baku dalam jumlah besar. Penelitian ini juga belum

mengusulkan suatu model untuk mengestimasi biaya pesanan yang diterima.

Cakravastia dan Nakamura (2002) mengembangkan suatu model

penentuan harga dan negosiasi mengenai batas waktu penyerahan antara produsen

dengan beberapa pemasoknya dalam upaya untuk memenuhi suatu pesanan

tunggal dari pelanggan dalam suatu ligkungan industri yang bersifat MTO. Model

ini lebih menekankan kepada penentuan harga dan tanggal penyerahan antara

perusahaan dengan pemasoknya, dan bukan model negosiasi waktu penyerahan

dan harga antara perusahaan dengan pelanggan, walaupun model ini tetap

memiliki tujuan akhir untuk dapat memenuhi batas waktu penyerahan yang telah

ditetapkan pelanggan.

Model yang menekankan pada evaluasi pesanan yang datang dari

konsumen secara lebih lengkap dikemukakan oleh Ebadian et al. (2008). Tujuan

(40)

MTO hanya memproses pesanan yang layak dan menguntungkan bagi sistem.

Keputusan untuk menerima atau menolak pesanan ditentukan berdasarkan dua

kriteria, yaitu batas waktu penyerahan produk dan kendala kapasitas. Sistem

pemesanan ini terdiri dari beberapa tahapan. Pada dua tahap pertama, keputusan

penerimaan atau penolakan pesanan didasarkan pada batas waktu pengiriman

yang ditentukan pembeli. Batas waktu pengiriman ini bisa juga dinegosiasikan.

Pada tahap ketiga, harga optimal untuk pesanan yang diterima ditentukan dengan

menggunakan model mixed integer. Pada tahap berikutnya, setelah pembeli

menyetujui harga yang ditawarkan, dilakukan pemilihan supplier dan

sub-kontraktor yang sanggup menyediakan bahan baku atau menerima limpahan

pesanan dengan menggunakan model mixed integer yang lain.

2.7 Sistem Penunjang Keputusan Cerdas

Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Intelligent Decision Support

System/IDSS) adalah suatu sistem penunjang keputusan (SPK) yang telah

diintegrasikan dengan basis pengetahuan yang berasal dari pakar atau

diintegrasikan dengan teknik-teknik kecerdasan buatan (artificial intelligent).

Dengan adanya integrasi ini, maka suatu SPK menjadi meningkat kemampuannya

atau menjadi lebih cerdas (Turban, Aronson dan Liang, 2005).

Wren et al. (2006) menguraikan beberapa karakteristik dari sistem

penunjang keputusan cerdas (Intelligent Decision Making Support System

/i-DMSS) sebagai berikut : 1) mencakup beberapa tipe pengetahuan yang

merupakan bagian terpilih dari disiplin si pembuat keputusan, 2) memiliki

kemampuan untuk menangkap dan menyimpan pengetahuan deskriptif dan

pengetahuan lainnya, 3) mampu memproduksi dan menampilkan pengetahuan

tersebut dalam berbagai cara, 4) dapat memilih pengetahuan untuk ditampilkan

atau menghasilkan pengetahuan baru, dan 5) dapat berinteraksi langsung secara

cerdas dengan pengambil keputusan. i-DMSS merupakan pengembangan dari

SPK tradisional dengan menggabungkan teknik-teknik untuk mengaplikasikan

cara berpikir cerdas dan menggunakan kemampuan teknologi komputer modern

untuk membantu proses pengambilan keputusan.

(41)

Gambar 6 Arsitektur Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Forgionne et al, 2006).

Forgionne et al (2006) menggambarkan arsitektur dan komponen

penyusun i-DMSS yang dapat dilihat pada pada Gambar 6. Komponen input dari

i-DMSS dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu basis data (database), basis

pengetahuan (knowledge base), dan basis model (model base).

2.7.1 Sistem Penunjang Keputusan

Sistem Penunjang Keputusan (SPK) adalah salah satu bangunan utama

dari sistem penunjang keputusan cerdas. Turban, Aronson dan Liang (2005)

menyatakan bahwa SPK adalah suatu pendekatan (metodologi) untuk mendukung

(42)

komputer yang interaktif, fleksibel dan adaptatif untuk mencari solusi dari suatu

masalah manajemen tertentu (spesifik) yang tidak terstruktur.

Turban, Aronson dan Liang (2005) mendefinisikan SPK sebagai sistem

berbasis komputer yang terdiri dari interaksi tiga komponen, yaitu: sistem bahasa

(mekanisme untuk membantu komunikasi antara pengguna dan komponen lain

dalam SPK), sistem pengetahuan (tempat penyimpanan pengetahuan yang

dibutuhkan untuk pengambilan keputusan), dan sistem pemrosesan masalah

(penghubung antara dua komponen terdahulu yang memiliki kemampuan untuk

memanipulasi masalah untuk keperluan pengambilan keputusan).

Suryadi dan Ramdhani (2002) menguraikan sepuluh karakteristik dasar

SPK yang efektif, yaitu : 1) mendukung proses pengambilan keputusan dan

menitikberatkan pada management by perception, 2) adanya interface

manusia/mesin dimana manusia tetap mengontrol pengambilan keputusan, 3)

mendukung pengambilan keputusan untuk membahas masalah-masalah

terstruktur, semi terstruktur dan tidak terstruktur, 4) menggunakan model-model

matematis dan statistik yang sesuai, 5) memiliki kapabilitas dialog untuk m

emperoleh informasi sesuai dengan kebutuhan (model interaktif), 6) output

ditujukan untuk personil organisasi dalam semua tingkatan, 7) memiliki

subsistem-subsistem yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga dapat berfungsi

sebagai kesatuan sistem, 8) membutuhkan struktur data komprehensif yang dapat

melayani kebutuhan informasi seluruh tingkatan manajemen, 9) mudah untuk

digunakan, dan 10) memiliki kemampuan untuk beradaptasi secara cepat.

Pengembangan suatu Sistem Pendukung Keputusan memerlukan

persyaratan awal, yaitu adanya pemahaman terhadap sistem yang akan

dikembangkan. Pemahaman terhadap sistem ini dapat dicapai melalui suatu

upaya yang sistematis untuk melakukan identifikasi dan analisa terhadap sistem

melalui praktek berpikir sistem, yang disebut dengan pendekatan sistem (sistem

approach).

Pendekatan sistem diperlukan karena semakin lama makin dirasakan

saling ketergantungan antara berbagai bagian dalam suatu organisasi atau

komunitas dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi saat

(43)

tetapi memerlukan perangkat yang lebih komprehensif, yang dapat memahami

berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan solusi suatu

masalah secara menyeluruh (Marimin, 2004).

Penyelesaian persoalan melalui pendekatan sistem dilakukan melalui lima

tahapan, yaitu: 1) analisa sistem, 2) rekayasa model, 3) rancang bangun

implementasi, 4) implementasi rancangan, dan 5) operasi sistem (Eriyatno, 2003

dan Marimin, 2005).

Selanjutnya Suryadi dan Ramdhani (2002) mengemukakan tiga tahapan

dalam merancang bangun suatu sistem penunjang keputusan, yaitu : 1) identifikasi

tujuan rancang bangun untuk menentukan arah dan sasaran yang hendak dicapai,

2) perancangan pendahuluan, guna merumuskan kerangka dan ruang lingkup

SPK, dan 3) perancangan sistem, yang diawali dengan analisis sistem guna

merumuskan spesifikasi SPK, dilanjutkan dengan perancangan konfigurasi SPK

beserta tiga komponen (subsistem) pendukungnya.

Lebih lanjut Suryadi dan Ramdhani (2002) menyatakan bahwa tiga

subsistem (komponen) utama pendukung dan yang menentukan kapabilitas teknik

SPK, yaitu: subsistem manajemen basis data, subsistem manajemen basis model

dan subsistem perangkat lunak penyelenggara dialog.

2.7.2 Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligent)

Kecerdasan buatan (AI) merupakan salah satu bagian ilmu komputer yang

membuat agar mesin (komputer) dapat melakukan pekerjaan seperti dan sebaik

yang dilakukan oleh manusia (Kusumadewi, 2003; Turban et al. 2005).

Kecerdasan buatan adalah cabang dari ilmu komputer yang dihubungkan

dengan metode pengambilan keputusan yang bersifat simbolik dan non

algoritmik. Walaupun pemrosesan simbolik adalah inti dari bidang kecerdasan

buatan, tidaklah berarti bahwa kecerdasan buatan tidak menggunakan ilmu

matematik, tapi penekanan kecerdasan buatan adalah pada manipulasi

simbol-simbol.

Metoda non algoritmik yang digunakan pada AI lebih banyak bersifat

heuristik. Pendekatan heuristik terdiri dari pengetahuan intuitif atau aturan-aturan

Gambar

Gambar 5   Proses Penerimaan Pesanan dari Konsumen (Kingsman et al, 1996).
Gambar 6   Arsitektur Sistem Penunjang Keputusan Cerdas (Forgionne et al,
Gambar 11  Tahapan penelitian.
Gambar 13  Tahapan proses pembuatan kemasan karton.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gemah Ripah Loh Jinawi Industri, maka dapat diambil kesimpulan bahwa sistem ini layak menjadi aplikasi dalam proses pemesanan online sehingga dalam melakukan

Sesuai dengan kerangka konseptual pada Gambar 6, model ini ditujukan untuk dapat mensimulasikan proses peningkatan keuntungan pada industri pembesaran kerapu melalui

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model persediaan yang terintegrasi antara produk dan bahan kemasan dengan total biaya persediaan minimaldengan

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model persediaan yang terintegrasi antara produk dan bahan kemasan dengan total biaya persediaan minimaldengan

INDUSTRI KEMASAN SEMEN GERSIK dalam kegiatan pengendalian persediaan bahan baku perusahaan ini menggunakan menggunakan proses pengendalian yang terdiri dari

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DISTRIBUSI AIR MINUM DALAM KEMASAN DENGAN MODEL ARUS JARINGAN PADA CV. SUMBER NADI

Perancangan Database Hasil Analisa Swapantau Instalasi Pengolahan Air Limbah pada industri pembuatan kemasan kaleng ini bertujuan untuk membuat suatu prosedur baru dalam

3.3.2 Menjana idea dan menghasilkan model dalam proses penghasilan reka bentuk industri berdasarkan: (i) penentuan idea (ii) konsep (iii) media (iv) teknik (v) kemasan