ANTON VIVALDY
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Diarrhea among Children Under Five Years. Supervised by M. RIZAL M. DAMANIK and MIRA DEWI.
Diarrhea is a major health problem in many developing countries resulting in the deaths of about 3 million people every year. Tempe is one of diet that could be use in treatment of diarrhea. The objective of this study was to investigate the effect of tempe intervention in the treatment of diarrhea in children under five years of age. The design of this study was experimental study. The number of study participant was 30 children with diarrhea symptoms. Study participants were divided into three treatments group: a) 25 gram, receiving tempe 25 gram for two days; b) 50 gram, receiving tempe 50 gram for two days; c) control, receiving no tempe during five days study period. During the study period, defecation and food habit of the study participants were observed. The result of the study showed that there was no correlation between characteristic of family, eating habit, sanitation and higiene with diarrhea symptoms (P>0,05). However, there was correlation between nutritional status of children with diarrhea symptoms (P<0,05). The duncan test results showed that the average frequency of defecation during five days of study period in children who consumed 50 grams tempe significantly lower (α = 0.05) than the control group. This implies that consumption of tempe have positive effect on the treatment of diarrhea.
Penyembuhan Diare pada Anak Balita. Dibimbing oleh M. Rizal M. Damanik dan
Mira Dewi
Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair. Pengobatan diare yang paling tepat pada anak balita adalah dengan menggantikan cairan yang hilang dan tidak menghentikan pemberian ASI maupun makanan lainnya. Makanan yang diberikan harus mudah dicerna dan cepat diserap zat-zat gizinya. Salah satu makanan yang telah diketahui mudah dicerna walaupun oleh orang yang menderita penyakit pada saluran pencernaannya adalah tempe. Dengan berbagai keunggulannya, tempe dapat digunakan sebagai alternatif dalam manajemen penanganan penyakit diare secara tiba-tiba pada anak balita. Sehingga perlu dilakukan uji klinis dari tempe yang berpengaruh terhadap kesembuhan diare pada anak balita.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh intervensi tempe untuk mempercepat penyembuhan diare pada anak balita. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menjelaskan karekteristik anak dan keluarga anak, 2) Menjelaskan status gizi dan konsumsi anak, 3) Menjelaskan kebiasaan makan anak, 4) Menjelaskan sanitasi lingkungan anak, 5) Menjelaskan perilaku higiene anak, 6) Analisis hubungan karakteristik keluarga, status gizi, kebiasaan makan, sanitasi, higiene dan pengaruhnya terhadap diare anak, 7) Analisis pengaruh intervensi tempe terhadap diare anak.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah experimental study yaitu percobaan lapang (field experiment) dengan menggunakan rancangan
randomized treatment trial design karena adanya intervensi yang diberikan. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dimulai dari bulan Mei 2010 – Juli 2010 di Puskesmas Kampung Manggis, Kecamatan Dramaga dan di Puskesmas Ciampea, Kecamatan Ciampea yang terletak di wilayah Kabupaten Bogor.
Pengambilan anak secara purposive dibagi ke dalam tiga kelompok masing-masing 10 orang. Kelompok kontrol tanpa intervensi tempe, sedangkan dua kelompok lainnya mendapat perlakuan tempe 25 gram/hari dan 50 gram/hari, sehingga anak yang digunakan yaitu sebesar 30 orang. Orang tua anak diberikan tempe mentah (25 gram atau 50 gram) dan diminta memberikan tempe tersebut kepada anak dengan diare selama dua hari. Selain itu, orang tua anak diminta mengisi kuisioner perkembangan penyakit dan konsumsi anak selama 5 hari pengamatan.
Analisis data berdasarkan analisis normalitas data menggunakan uji
Kolmogorov-Smirnov. Variabel yang terdistribusi normal (Umur ibu, status gizi, konsumsi energi dan protein, kebiasaan makan, sanitasi, dan higiene) menggunakan uji beda ANOVA. Sedangkan variabel yang tidak terdistribusi normal (besar keluarga, pendapatan dan lama diare) menggunakan uji beda
Mann-Whitney. Analisis data yang dilakukan untuk menghubungkan antara variabel karakteristik keluarga, status gizi, kebiasaan makan, sanitasi lingkungan, higiene anak dengan frekuensi BAB menggunakan korelasi Rank Spearman. Analisis pengaruh pemberian tempe terhadap diare menggunakan uji duncan yang merupakan hasil lanjut dari uji ANOVA.
konsumsi protein anak tergolong baik sebanyak 73% dari tingkat kecukupan. Berdasarkan uji beda ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata z-skor status gizi menurut indeks BB/TB tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan kontrol, tempe 25 gram, dan tempe 50 gram (P>0,05). Sedangkan berdasarkan uji beda
ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi dan protein anak tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan kontrol, tempe 25 gram, dan tempe 50 gram (P>0,05).
Pada penelitian ini sebesar 83% kebiasaan makan anak dalam katagori cukup baik. Sanitasi lingkungan keluarga anak secara umum dalam katagori cukup baik (90%). Sedangkan higiene anak secara umum termasuk dalam katagori cukup baik (100%). Hasil uji beda ANOVA menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada kebiasaan makan, sanitasi lingkungan dan higiene antara ketiga kelompok perlakuan (P>0,05).
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa besar keluarga, pendapatan, dan umur ibu tidak berpengaruh terhadap frekuensi BAB anak (P>0,05). Status gizi menurut pengukuran antropometri (BB/TB) berhubungan dengan frekuensi BAB anak (P<0,05), sedangkan status gizi menurut konsumsi energi dan protein tidak berhubungan dengan frekuensi BAB pada diare anak balita (P>0,05).
Hasil uji korelasi Rank Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan makan, sanitasi lingkungan, dan perilaku higiene dengan frekuensi BAB anak (P>0,05). Hal ini dapat disebabkan karena kebiasaan makan, sanitasi lingkungan, dan perilaku higiene sebagian besar dalam katagori cukup baik.
Hasil uji korelasi Rank Spearman memaparkan bahwa ada hubungan negatif antara kebiasaan konsumsi sayuran dengan frekuensi BAB anak (Rs=-0,407,P=0,026). Semakin baik kebiasaan konsumsi sayuran, semakin rendah frekuensi BAB anak.
Hasil uji korelasi Rank Spearman memaparkan bahwa ada hubungan antara jarak sumber air dengan pembuangan limbah/selokan terhadap lama diare anak (P<0,05). Dalam hal ini semakin dekat jarak sumber air dengan pembungan limbah/selokan akan memudahkan kontaminasi sumber air sehingga penyakit diare akan lebih lama terjadi.
ANTON VIVALDY
Skripsi:
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Skripsi : Studi Pengaruh Intervensi untuk Mempercepat Penyembuhan Diare pada Anak Balita
Nama : Anton Vivaldy NIM : I14060670
Disetujui:
Dosen Pembimbing I
drh.M.Rizal M. Damanik, MRepSc,PhD NIP. 19640731 199003 1 001
Dosen Pembimbing II
dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si NIP. 19761116 200501 2 001
Diketahui,
Ketua Departemen Gizi Masyarakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Pengaruh Intervensi Tempe untuk Mempercepat Kesembuhan Diare Anak Balita”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Gizi pada departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD dan dr. Mira Dewi, S.Ked, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, saran, arahan, dan dukungan kepada penulis 2. Ir. Eddy S. Mudjadjanto sebagai dosen pembimbing akademik selama
penulis menjalankan aktivitas perkuliahan di kampus yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis
3. Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar MSc sebagai dosen pemandu seminar dan dosen penguji yang telah mengevaluasi hasil penelitian penulis dan memberikan saran dalam penulisan skripsi ini
4. Keluarga saya yang telah memberikan doa, dukungan, semangat dan kasih sayang yang tidak terkira kepada penulis
5. dr. Yoseph, dr. Budi dan dr. Anna Mei sebagai dokter puskesmas yang telah membantu dalam mencari responden untuk penelitian ini
6. Mr. Leonard Joannes Bijnens sebagai orang tua asuh yang telah memberikan beasiswa, dukungan dan semangat selama kuliah sehingga skripsi ini selesai
7. Nur Faizah, Sri Nur Amalia, Novita Sari, Daniel Furqon dan Wulandari yang telah membantu selama proses penelitian penulis
8. Teman-teman Gizi Masyarakat angkatan 43 yang telah memberikan keceriaan, pengalaman dan persahabatan yang tak terlupakan
9. Seluruh pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu per satu
Dan akhirnya semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama lengkap Anton Vivaldy dilahirkan pada tanggal 25 Mei 1988 di Jakarta. Penulis merupakan anak ke-2 dari empat bersaudara dari pasangan Suaib Senen dan Delwati. Penulis mengawali pendidikan di TK Al-Islam di Depok tahun 1994. Sekolah dasar tamatan SDN 007 Tj. Pinang, Kepulauan Riau tahun 2000, sekolah menengah pertama tamatan SLTP Negeri 3 Depok tahun 2003, sekolah menengah atas tamatan SMA Negeri 2 Depok jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tahun 2006. Penulis melanjutkan pendidikan Perguruan Tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur USMI.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Kegunaan Penelitian ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Karakteristik Keluarga ... 4
Tempe ... 5
Diare ... 9
Status Gizi Balita ... 11
Kebiasaan Makan ... 13
Higiene dan Sanitasi ... 14
KERANGKA PEMIKIRAN ... 16
METODOLOGI ... 17
Desain, Waktu dan Tempat ... 17
Jumlah dan Cara Pemilihan Anak ... 17
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 19
Pengolahan dan Analisis Data ... 19
Definisi Operasional ... 21
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Keadaan Umum Lokasi ... 23
Karakteristik Keluarga ... 24
Karakteristik Anak ... 28
Status Gizi Anak ... 30
Kebiasaan Makan ... 36
Sanitasi Lingkungan ... 38
Higiene Anak ... 40
Penyakit Diare Anak ... 42
Analisis Hubungan Karakteristik Keluarga, Status Gizi, Kebiasaan Ma kan, Sanitasi Lingkungan, dan Higiene dengan Penyakit Diare Anak .. 43
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering ... 6
2. Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram) ... 7
3. Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks antropometri ... 13
4. Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB standar ba ku antropometri WHO-NCHS ... 13
5. Variabel dan cara pengumpulan data penelitian ... 19
6. Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO-NCHS ... 20
7. Sebaran besar keluarga anak berdasarkan kelompok perlakuan ... 25
8. Sebaran pendapatan keluarga anak berdasarkan kelompok perlakuan ... 26
9. Sebaran umur ibu anak berdasarkan kelompok perlakuan ... 28
10. Sebaran umur anak berdasarkan kelompok perlakuan ... 29
11. Sebaran jenis kelamin anak berdasarkan kelompok perlakuan ... 30
12. Sebaran jenis kelamin anak berdasarkan kelompok umur ... 30
13. Sebaran status gizi anak (BB/TB) berdasarkan kelompok perlakuan ... 31
14. Sebaran status gizi anak (BB/U) berdasarkan kelompok perlakuan ... 32
15. Sebaran status gizi anak (TB/U) berdasarkan kelompok perlakuan ... 32
16. Sebaran konsumsi energi berdasarkan kelompok perlakuan ... 35
17. Sebaran konsumsi protein berdasarkan kelompok perlakuan ... 36
18. Sebaran kebiasaan makan berdasarkan kelompok perlakuan ... 37
19. Sebaran anak berdasarkan kebiasaan makan ... 37
20. Sebaran sanitasi lingkungan berdasarkan kelompok perlakuan ... 39
21. Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan ... 39
22. Sebaran higiene berdasarkan kelompok perlakuan ... 41
23. Sebaran anak berdasarkan higiene ... 41
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Sebaran anak berdasarkan besar keluarga ... 24
2. Sebaran anak berdasarkan pendapatan ... 26
3. Sebaran anak berdasarkan umur ibu ... 27
4. Sebaran anak berdasarkan kelompok umur ... 29
5. Sebaran konsumsi energi anak berdasarkan kelompok umur ... 34
6. Sebaran konsumsi protein anak berdasarkan kelompok umur ... 35
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner penelitian ... 60
2. Sebaran anak berdasarkan variabel penelitian ... 67
3. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov Z ... 68
4. Hasil uji One-Way ANOVA ... 68
5. Hasil uji Mann-Whitney ... 69
6. Hasil uji deskriptif variabel ... 69
7. Hasil uji Duncan... 70
8. Hasil uji korelasi rank spearman antar variabel ... 71
9. Hasil uji korelasi rank spearman pada kebiasaan makan ... 72
10. Hasil uji korelasi rank spearman pada higiene ... 73
Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal
(meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair (Suharyono 1986).
Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3
kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir dan
darah (Zein et al 2004). Sebagian besar diare terjadi karena infeksi virus, bakteri, dan parasit. Kejadian diare dipengaruhi beberapa faktor misalnya faktor gizi,
makanan, kebiasaan atau perilaku, lingkungan dan sebagainya.
Diare sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan, tidak hanya di
negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih sering
menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak dalam
waktu singkat. Di negara maju walaupun sudah terjadi perbaikan kesehatan dan
ekonomi masyarakat tetapi insiden diare infeksi tetap tinggi dan masih menjadi
masalah kesehatan. Di Inggris 1 dari 5 orang menderita diare infeksi setiap
tahunnya dan 1 dari 6 orang pasien yang berobat ke praktek umum menderita
diare infeksi. Tingginya kejadian diare di negara Barat ini oleh karena foodborne infections dan waterborne infections yang disebabkan bakteri Salmonella sp, Campylobacter jejuni, Stafilococcus aureus, Bacillus cereus, Clostridium perfringens dan Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) (Zein et al 2004).
Di negara berkembang, diare infeksi menyebabkan kematian sekitar 3
juta penduduk setiap tahun. Angka kejadian diare di sebagian besar wilayah
Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Setiap anak di Indonesia mengalami
episode diare sebanyak 1,6 – 2 kali per tahun. Hal tersebut, terutama disebabkan
rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan perilaku hidup tidak sehat
(Anonim 2009). Menurut Riskesdas (2007), penyebab kematian anak balita
terbesar di Indonesia adalah diare dengan proporsi 25,2%.
Pengobatan diare yang paling tepat pada anak balita adalah dengan
menggantikan cairan yang hilang dan tidak menghentikan pemberian ASI
maupun makanan lainnya. Makanan yang diberikan harus mudah dicerna dan
cepat diserap zat-zat gizinya. Salah satu makanan yang telah diketahui mudah
dicerna walaupun oleh orang yang menderita penyakit pada saluran
pencernaannya adalah tempe (Astawan 2009).
Tempe merupakan produk olahan kedelai yang terbentuk atas jasa
terjadi selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut
perubahan fisik, biokimia maupun mikrobiologi, yang semuanya berdampak
sangat menguntungkan terhadap gizi dan kesehatan. Kerja Rhizopus sp mampu
mengubah kedelai menjadi tempe yang berasa lebih enak, lebih bergizi dan
berfungsi sebagai makanan kesehatan. Tempe memiliki kandungan protein yang
tinggi dan memberikan 8 asam amino esensial. Tempe juga sebagai sumber
vitamin B12 dan rendah lemak jenuh serta kolesterol. Tempe mudah dicerna dan
diserap serta memilik zat anti-bakteri sehingga mampu menyembuhkan diare
terutama pada anak balita (Sudigbia 2001).
Bahan makanan campuran yang menggunakan tempe sebagai
komponennya terbukti bermanfaat bagi penanggulangan diare kronis pada
hewan dan diare kronis yang disertai gizi kurang pada anak. Menurut Mahmud
(1987) anak balita penderita diare kronik yang disertai KKP, setelah mendapat
makanan bayi formula tempe, tidak menjadi lebih parah bahkan diare berhenti
lebih cepat. Pada penelitian lain oleh Sibarini (1991) memaparkan bahwa
mengkonsumsi tempe dapat mencegah diare dengan meningkatkan
bioavaibilitas Fe dan Zn serta meningkatkan berat badan pada kelinci.
Sedangkan menurut Sudigbia (1985) tempe berpotensi besar untuk digunakan
sebagai salah satu bahan makanan dalam manajemen diit anak penderita diare
kronis.
Dengan berbagai keunggulannya, tempe dapat digunakan sebagai
alternatif dalam manajemen penanganan penyakit diare yang terjadi secara
tiba-tiba pada anak balita. Sehingga perlu dilakukan uji klinis dari tempe yang
berpengaruh terhadap kesembuhan diare pada anak balita.
Tujuan Penelitian Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh intervensi tempe
untuk mempercepat penyembuhan diare pada anak balita.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan karekteristik balita dan keluarga balita
2. Menjelaskan status gizi dan konsumsi balita
3. Menjelaskan kebiasaan makan balita
5. Menjelaskan perilaku higiene balita
6. Analisis hubungan karakteristik keluarga, status gizi, kebiasaan makan,
sanitasi, higiene dan pengaruhnya terhadap diare balita
7. Analisis pengaruh intervensi tempe terhadap diare balita
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu mengurangi morbiditas dan
mortalitas pada anak yang menderita diare. Selain itu juga meningkatkan nilai
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Keluarga Besar keluarga
Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan seseorang atau
keluarga. Besar keluarga akan berpengaruh terhadap pola konsumsi zat gizi
anggota keluarga dan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu
bangunan rumah yang berpengaruh pada kesehatan anak-anak dan kesehatan
ibu. Jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan perhatian ibu terhadap
anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan
perhatian ibu terhadap dirinya sendiri (Sukarni 1994).
Menurut Suhardjo (1989), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan
kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Terutama pada keluarga
yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika
yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu
keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah
dari keluarga tersebut. Jumlah anak yang lebih sedikit dalam suatu keluarga
akan mengurangi resiko ibu-ibu terhadap terjadinya gizi kurang.
Pendapatan keluarga
Pendapatan merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi
status gizi. Hal ini menyangkut daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi makan (Rokhana 2005). Menurut Suhardjo 1989, faktor penghasilan
merupakan faktor kedua yang juga dominan dalam menentukan gaya hidup
keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Dalam rangka penganekaragaman
pola konsumsi pangan ialah bahwa daya beli harus sanggup membeli bahan
makanan yang mencukupi, baik kuantitas maupun kualitasnya, terutama bila
konsumsi dengan pangan itu banyak tergantung pada apa yang dibelinya.
Keluarga dan masyarakat yang penghasilannya rendah mempergunakan
sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan,
dan semakin tinggi penghasilan itu, semakin menurun bagian penghasilan yang
dipakai untuk membeli makanan. Penghasilan keluarga terendah yang dibawah
tingkat tidak mungkin membeli jumlah makanan dan bahan makanan yang cukup
untuk kesehatan seluruh keluarga disebut garis kemiskinan.
Dengan meningkatnya pendapatan perorangan terjadilah
perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi pengeluaran uang yang lebih
Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah
pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989).
Umur ibu
Umur orang tua terutama ibu yang relatif masih muda cenderung memiliki
sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak.
Umumnya mereka mengasuh anak berdasarkan pengalaman orang tuanya
dahulu. Ibu yang masih berusia muda cenderung untuk mendahulukan
kepentingannya sendiri, sehingga waktu pengasuhan menjadi sangat singkat dan
tidak menyenangkan. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan
menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu, sehingga akan
mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock
1998).
Tempe
Tempe merupakan produk olahan kedelai yang terbentuk atas jasa
kapang jenis Rhizopus sp melalui proses fermentasi. Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut
perubahan fisik, biokimia maupun mikrobiologi, yang semuanya berdampak
sangat menguntungkan terhadap sumbangan gizi dan kesehatan. Kerja
Rhizopus sp mampu mengubah kedelai menjadi tempe yang berasa lebih enak, lebih bergizi dan berfungsi sebagai makanan sehat (Astawan 2009).
Terdapat beberapa jenis tempe di Indonesia, antara lain: tempe gembus
(dibuat dari ampas tahu), tempe lamtoro (dari biji lamtoro), tempe benguk (dari
biji koro benguk), tempe koro (dari biji koro), tempe bongkrek (dari ampas
kelapa), tempe gude (dari kacang gude), tempe bungkil (dari ampas pembuatan
minyak kapang) dan tempe kedelai (dibuat dari biji kedelai). Dari berbagai jenis
tempe tersebut, yang paling banyak dikonsumsi dan digemari masyarakat adalah
tempe kedelai (Astawan 2009).
Proses pembuatan tempe umumnya masih dilakukan secara tradisional
dalam skala industri kecil. Secara garis besar, tahap-tahapan penting dalam
pembuatan tempe adalah: pembersihan biji kedelai, perebusan/pengukusan dan
fermentasi. Proses fermentasi adalah tahap terpenting pada pembuatan tempe,
dimana pada tahap ini dilakukan pemeraman kedelai selama beberapa hari
(umumnya 36 – 48 jam) menggunakan laru (kapang tempe). Selama proses
fermentasi tempe terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan
fatty acids=PUFA) meningkat jumlahnya. Asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikkan terjadi pada asam lemak oleat dan
linolenat (Astawan 2009).
Dibandingkan kedelai, kadar protein, lemak dan karbohidrat tempe tidak
banyak berubah. Akan tetapi, karena adanya enzim-enzim pencernaan yang
dihasilkan oleh kapang tempe, protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe
menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam
kedelai. Dua kelompok vitamin yang terdapat pada tempe, yaitu vitamin larut air
(vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K).
Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin
yang terkadung dalam tempe antara lain; vitamin B1 (thiamin), vitamin B2
(riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin) dan
vitamin B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33 kali
selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5
kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2 kali lipat (Astawan
2009). Tabel 1 di bawah ini menunjukkan komposisi zat gizi kedelai dan tempe
dalam 100 gram bahan kering.
Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering
Zat Gizi Kedelai Tempe
Asam amino esensial (g)
6,1 Sumber: Hermana et al (1996) diacu dalam Astawan (2009)
Dibandingkan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada
terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai
efisiensi protein serta skor proteinnya.
Tabel 2 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram)
Faktor Mutu Gizi Kedelai rebus Tempe
Padatan terlarut (%) Sumber: Hermana et al (1996) diacu dalam Astawan (2009)
Selain zat-zat di atas, kedelai dan tempe sebagai hasil olahannya juga
mengandung senyawa aktif dari golongan isoflavon. Isoflavon utama yang
ditemukan di dalam kedelai dan produk fermentasinya diantaranya daidzein
(7,4’-dihidroksi isoflavon), genistein trihidroksi isoflavon) dan faktor II
(5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001).
Selama proses fermentasi terjadi sintesa antioksidan di tempe yang
diketahui sebagai faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001). Selama
fermentasi juga terjadi peningkatan kandungan mineral tempe, seperti
meningkatnya kandungan kalsium dan zink. Selain mengandung mineral, tempe
sebagai bahan makanan yang dapat menurunkan kolesterol juga mengandung
alpha dan gamma tocopherol (vitamin E) sebagai antioksidan yang menjaga sel
dari kerusakan akibat proses oksidasi. Antioksidan dapat didefinisikan sebagai
senyawa yang dapat menunda, mencegah dan memperlambat proses oksidasi
lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau
mencegah terjadinya reaksi oksidasi oleh radikal bebas dalam oksidasi lipid
(Kochhar & Rossell 1990).
Antioksidan yang telah berhasil diisolasi dari kedelai dan olahannya salah
satunya adalah isoflavon dari senyawa flavonoid. Isoflavon lain dari kedelai
adalah trihidroksi isoflavon yang hanya terdapat pada produk kedelai
terfermentasi (Pratt 1992). Selain isoflavon, kedelai dan produk olahannya
merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang termasuk
kedalam golongan dari turunan asam sianat, fosfolipida, tokoferol, asam amino
dan peptida (Shahidi & Naczk 1995). Isoflavon adalah senyawa bioaktif, banyak
(Klump et al 2001). Isoflavon yang berasal dari tempe diketahui bersifat hipolipidemik, antidiare dan anti infeksi terhadap E.Coli (Karyadi 2000).
Aktivitas antibakterial untuk pertama kali dikemukakan oleh Wang et al
(1969) diacu dalam Karyadi (1985). Beberapa jenis bakteri gram positif seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus cremoris, Bacillus subtilis, Clostridium perfringens, dan Clostridium sporogenes terhambat pertumbuhannya. Mahmud
et al (1982) diacu dalam Karyadi (1985) mengamati aktivitas antibakterial dalam beberapa jenis tempe. Dalam tempe yang dibuat dengan biakan murni Rhizopus oligosporus terdapat aktivitas antibakterial yang menghambat pertumbuhan
Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Salmonella typhii dan Shigella flexneri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih
mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan yang ada dalam
kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan
diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi
buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat.
Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar reffinosa dan
stakiosa, yaitu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Astawan 2009).
Manfaat tempe terhadap daya tahan tubuh, pertama kali dinyatakan oleh
Van Veen (1950), berdasarkan hasil pengamatannya terhadap tahanan perang
perang dunia II di Pulau Jawa. Mereka yang setiap hari makan tempe, ternyata
tidak terkena disentri ketika wabah disentri berkecamuk. Dari pengamatan
tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakan tempe mempunyai kemampuan
lebih tinggi dalam menolak infeksi amuba dibandingkan mereka yang bukan
pemakan tempe.
Selama fermentasi, kapang tempe juga mampu memproduksi senyawa
antibiotika yang bermanfaat untuk menghambat atau memperkecil kejadian
infeksi. Kasus diare di Indonesia merupakan penyebab utama kematian bayi (1 –
11 bulan), yaitu mencapai 36,9%, yang kemudian diikuti oleh kematian akibat
radang pada saluran pernapasan sebesar 28,8%. Penyebab terjadinya diare
adalah air yang tercemar dan melalui makanan yang diolah tidak higienis. Bakteri
penyebab diare adalah Eschericia coli, Vibrio cholerae, Shigella sp, dan
Entamoeba histolyca.
Pengobatan diare yang paling tepat adalah dengan mengganti cairan
yang hilang dan tidak menghentikan pemberian ASI maupun makanan lainnya.
Salah satu makanan yang telah diketahui mudah dicerna walaupun oleh orang
yang menderita penyakit saluran pencernaannya adalah tempe. Kemampuan
tempe dalam menyembuhkan diare disebabkan oleh dua hal, yaitu akibat zat anti
diare dan akibat sifat protein tempe yang mudah tercerna dan diserap, walupun
oleh usus yang terluka (Astawan 2009).
Diare
Menurut Latifah et al (2002), diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer, bahkan dapat berupa air saja,
yang tejadi lebih sering dari biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari. Penyebab
diare diantaranya yaitu virus, bakteri, parasit (jamur, cacing, protozoa),
keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan
kimia, alergi terhadap susu, kurang gizi dan daya tahan tubuh rendah (Saroso
2007).
Diare ada dua jenis yaitu diare akut dan diare kronis. Diare kronis adalah
diare yang berlangsung lebih dari tiga minggu yang disebabkan oleh makanan
tercemar atau penyebab lainnya. Sedangkan diare akut adalah diare yang timbul
dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari. Diare akut lebih sering terjadi
pada anak bayi dan anak kecil daripada anak yang lebih besar (Suharyono
1986).
Menurut Suharyono (1986) penyebab prevalensi yang tinggi dari penyakit
diare di negara yang sedang berkembang yaitu kombinasi dari sumber air yang
tercemar dan defisiensi zat gizi yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh.
Kuman yang paling sering menjadi penyebab diare akut pada anak yaitu
rotavirus (30,4 – 36,6%), E.Coli (20 – 30%), salmonella (5 – 18%), Vibro cholera
(5%), dan Shigella (2 – 5%). Kuman-kuman tersebut ditularkan secara faecal –
oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Ditinjau dari sudut
patofisiologi, penyebab diare akut yaitu:
1. Diare sekresi (Secretory diarrhea) yang disebabkan oleh:
- Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen
- Hiperperistaltik usus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia,
makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas,
makanan yang terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup),
- Defisiensi imun terutama Sig A (Secretory Immunoglobulin A) yang
mengakibatkan terjadinya pelipatgandaan bakteri atau flora usus dan
jamur terutama Candida.
2. Diare osmotic (Osmotic diarrhea) yang disebabkan oleh:
- Malabsorpsi makanan
- Kekurangan kalori protein dan mineral
- BBLR dan bayi baru lahir
Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh
banyak kehilangan air dan garam yang terlarut yang disebut dengan dehidrasi.
Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang mengalami gizi buruk, karena gizi
yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan orang tuanya tidak
segera memberikan makanan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang
(Harianto 2004 diacu dalam Ulfah 2008). Kematian diare akibat dehidrasi
(kehilangan banyak cairan tubuh) dapat dicegah dengan Oral Rehydration
Therapy (ORT). ORT dapat dilakukan dengan memberikan cairan (air) melalui
mulut selama anak mengalami diare (Santrock 2002).
Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap air
dan elektrolit pada saluran cerna. Meknisme gangguan tersebut ada 5
kemungkinan:
1. Osmolaritas intraluminar yang meninggi, disebut diare osmotik.
2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik.
3. Absorbsi elektrolit berkurang.
4. Motilitas usus yang meninggi/hiper-peristalsis, atau waktu transit yang
pendek.
5. Sekresi eksudat disebut diare eksudatif.
Gejala klinik diare pada umumnya dibagi menjadi 3 fase yaitu fase
prodromal, fase diare, dan fase penyembuhan. Fase prodromal yang dapat juga
disebut sebagai sindrom pradiare dengan gejala perut terasa penuh, mual bisa
sampai muntah, keringat dingin, dan pusing. Fase diare dengan gejala dehidrasi,
asidosis, syok, mules, dapat sampai kejang, dengan atau tanpa panas dan
pusing. Fase penyembuhan ditandai dengan gejala diare makin jarang, mules
berkurang dan penderita rasa lemas dan lesu (Daldiyono 1990).
Menurut Daldiyono (1990), sebagian besar diare di Indonesia disebabkan
oleh bakteri dan parasit. Etiologi diare akut oleh bakteri dan parasit sebagai
• Bakteri penyebab diare akut: Shigella dysentriae, Shigella Flexneri,
Salmonella typhi dan Salmonella para typhi A, B, C.
• Vibro cholera, Vibro eltor, Vibro parahemolitikus, Escherechia coli,
Campilobacter dan Yersinia intestinal.
• Keracunan makanan: Staphylococcus dan Clostridium perfringens.
• Diare akut oleh parasit: Entamuba histolytica, Giardia lamblia, dan
Trichomonas intestinalis/hominis.
Menurut Sudigbia (2001), konsep dasar untuk manajemen diare adalah
rehidrasi awal, yang harus dimulai saat dirumah dan dilanjutkan dengan
perbaikan gizi. Oral-rehidrasi dilakukan berdasarkan keadaan berikut:
1. Mengganti cairan yang hilang
2. Fakta bahwa mukosa intestin masih mampu menyerap air dan elektrolit
3. Afinitas antara ion natrium dan glukosa dapat membantu penyerapan
elektrolit. Pada oral rehidrasi, larutan yang dibutuhkan mengandung
natrium klorida, kalium klorida, natrium bikarbonat, dan glukosa dengan
total konsentrasi natrium 90 – 110 meq/l dalam 4% larutan glukosa.
Awal pemberian makan dengan makanan yang ditambahkan zat gizi
seperti asam amino esensial untuk fortifikasi formula rehidrasi secara oral
menjadi lebih baik, dan ini bisa disebut larutan ‘super oralit’. Asam amino glisin
dan lisin telah ditambahkan dalam membuat larutan ‘super oralit’ secara
fortifikasi, tetapi pada level komunitas tertentu tidak mungkin ditambahkan asam
amino murni karena biaya yang sangat mahal. Sebagai alternatif, tempe dengan
asam amino esensial diberikan sebagai subtitusi yang baik (Sudigbia 2001).
Status Gizi Balita
Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana anak
memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya.
Disamping itu, anak balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar proses
pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang
paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies 2004).
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya
manusia dan kualitas hidup. Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai
keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan (absorbtion) dan penggunaan (utilization) zat gizi. Pada dasarnya, status gizi merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan
Santoso dan Lies (2004) mengungkapkan bahwa keadaan gizi kurang
pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan
perkembangannya yang sulit disembuhkan. Anak-anak yang mengalami kurang
gizi akan menderita diare selama 3 hari, batuk selama 4 hari dan demam selama
3 hari setiap bulan, sehingga dalam sebulan anak akan sakit selama 10 hari.
Kurang gizi pada anak balita berhubungan dengan peningkatan 10 – 45 %
kejadian diare dan 30 – 35 % persen lamanya diare (McGuire & Austin 1987,
diacu dalam Ariefiani 2009).
Komponen penilaian status gizi meliputi konsumsi pangan, pemeriksaan
biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat kesehatan, pemeriksaan antropometri,
serta data psikososial. Pengukuran antropometri erat kaitannya dengan status
gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan (Briawan & Herawati 2005).
Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi, antara lain
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil.
Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak,
misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau
berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Tinggi badan merupakan
antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada
keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur
(Supariasa et al 2002).
Indeks BB/U menggambarkan status gizi masa kini. Indeks ini dapat
digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Defisit TB/U menunjukkan
ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara komulatif dalam jangka panjang
(Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini biasanya digunakan bila
Tabel 3 Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks antropometri
Status gizi Indeks
BB/U TB/U BB/TB
Penilaian status gizi balita berdasarkan standard baku WHO-NCHS dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB standar baku antropometeri WHO-NCHS
Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi BB/U < -3 SD Gizi buruk
Sumber : Depkes RI 2008.
Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia
dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan
dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif
atau negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada
nilai-nilai “affective” yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, ekonomi) di
mana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan
kepercayaan (belief) terhadap makanan, hanya saja wilayah kejiwaannya adalah
nilai-nilai “cognitive” yang berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik
atau tidak menarik. Dan pemilihan adalah proses “psychomotor” untuk memilih
makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya.
Kebiasaan makan dalam kelompok memberikan dampak pada distribusi
makanan antar anggota kelompok. Dan mutu serta jumlah bagian tiap anggota
hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota, bukan atas dasar
Koentjaraningrat (1984) diacu dalam Khumaidi (1989) mengembangkan
model untuk mempelajari faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi
kebiasaan makan dan pola konsumsi makanan keluarga.
Kebiasaan makan individu, keluarga dan mesyarakat dipengaruhi oleh:
1. Faktor budaya, termasuk faktor ini adalah: cara-cara seseorang
berfikir/berpengetahuan, berperasaan dan berpandangan tentang
makanan. Apa yang ada dalam fikiran, perasaan dan pandangan itu
kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih
makanan. Jika mekanisme ini terjadi berulang-ulang maka tindakan
(perilaku konsumsi) itu menjadi kebiasaan makan yang dapat di ukur
dengan ‘pola konsumsi’ yang dapat diamati dan diukur.
2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, strata dan
sifat-sifatnya.
3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan dan
sebagainya.
4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, sistem usaha
tani, sistem pasar, dsb.
5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
yang bersifat hasil karya manusia (man-made) seperti sistem pertanian,
sarana dan prasarana kehidupan, perundang-undangan dan pelayanan
pemerintah.
6. Faktor perkembangan teknologi.
Higiene dan Sanitasi
Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada
kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang
tersebut berada. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik
beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Menurut
Widyati dan Yuliarsih (2002) kesehatan masyarakat dibagi menjadi dua yaitu
kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit) dan preventif (pencegahan penyakit).
Usaha higiene sanitasi adalah usaha preventif (mencegah supaya tidak sakit).
Usaha kesehatan preventif dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Usaha pengebalan atau imunisasi, diberikan saat balita (BCG, MMR,
hepatitis dan folio) untuk mencegah datangnya penyakit.
2. Usaha kesehatan perorangan (personal Hygiene) yaitu mandi minimal 2 kali
3. Usaha kesehatan lingkungan hidup (lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan kerja). Cara menjaga lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan
cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak
mampet, menjaga kerja bakti dengan masyarakat setempat untuk
membersihkan lingkungan.
Higiene dan sanitasi lingkungan merupakan pengawasan lingkungan fisik,
biologi, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana
lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan lingkungan
yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang 1985).
Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih,
ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada
setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, makin
kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman 2000).
Menurut Yulianti (2002), praktek-praktek personal higiene dapat dilakukan
dengan cara:
• Pencucian tangan
Tangan merupakan bagian tubuh yang paling utama bersinggungan dengan
makanan, untuk itu kebersihannya perlu dijaga. Pencucian tangan dengan
sabun dan diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan banyak mikroba
yang terdapat pada tangan. • Perilaku
Pada umumnya para food handler tahu prinsip higiene dan sanitasi, tetapi dalam mempraktekannya mereka merasa kurang nyaman karena tidak
terbiasa. Beberapa kebiasaan yang harus dilakukan pada saat mengolah
makanan antara lain: penggunaan sarung tangan plastik, penggunaan
pakaian kerja dan tidak menggunakan perhiasan • Kebersihan diri
Mandi, menggosok gigi, menjaga kebersihan rambut merupakan cara
membersihkan diri dari kotoran yang menempel di badan sehingga
mencegah kontaminasi pada makanan • Kesehatan
Food handler makanan harus sehat dan tidak membawa bibit penyakit.
Penyakit tersebut dapat dipindahkan kepada orang lain melalui makanan
KERANGKA PEMIKIRAN
Perilaku hidup bersih seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan
dan sesudah buang air besar juga ikut mempengaruhi penularan atau
penyebaran penyakit diare (Suririnah 2007). Selain itu, menurut Dinkes (2003)
penyakit diare juga dapat ditularkan melalui beberapa cara diantaranya
pemakaian botol susu yang tidak bersih, menggunakan sumber air yang
tercemar, buang air besar bukan pada tempatnya dan pencemaran makanan
oleh serangga (kecoa, lalat) atau oleh tangan yang kotor.
Menurut Saroso (2007) penyebab diare diantaranya yaitu virus, bakteri,
parasit (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan atau minuman yang
disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia, alergi terhadap susu, kurang gizi
dan daya tahan tubuh rendah. Menurut Suharyono (1986) faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya diare seperti; faktor gizi, faktor makanan yang
terkontaminasi pada masa sapih, faktor sosial-ekonomi dan faktor lingkungan.
Kesembuhan penyakit diare pada anak dapat dilakukan dengan
pengobatan (rehidrasi dan antibiotik) dan penatalaksanaan diet yang baik. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat kesembuhan diare adalah
dengan pemberian tempe.
Variabel tidak diteliti Hubungan yang tidak dianalisis
Variabel yang diteliti Hubungan yang dianalisis Diare Pada Anak
Virus,bakteri, parasit
Status Gizi
Daya tahan tubuh Higiene
Pengobatan Intervensi Tempe
Sanitasi Lingkungan
Orang tua dan anak yang berkunjung ke Puskesmas Kampung Manggis
dan Puskesmas Ciampea yang masuk kriteria inklusi diberikan kesempatan
untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian dan dijelaskan. Setelah mendapat
penjelasan tentang penelitian dan orang tua anak menandatangani informed consent, maka anak diikutsertakan sebagai unit percobaan penelitian. Penentuan jumlah anak minimal dilakukan dengan menggunakan minimum sample size for estimating difference mean between groups (Lameshow et al. 1997). Dengan rumus sebagai berikut:
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian utama oleh Dewi et al
(2010) yang berjudul “Intervensi Bubuk Susu Tempe untuk Mempercepat
Penyembuhan Penderita Diare”. Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia 2
– 5 tahun yang menderita penyakit diare. Sedangkan anak penelitian adalah
anak usia 2 – 5 tahun yang datang ke Puskesmas Kampung Manggis dan
Puskesmas Ciampea yang ditentukan dalam kurun waktu penelitian dan dipilih
dengan kriteria inklusi: 1) laki-laki atau perempuan usia 2 – 5 tahun; 2)
didiagnosa menderita diare oleh dokter yang memeriksa; 3) orang tua anak
bersedia ikut penelitian dan menandatangani informed consent. Adapun kriteria eksklusinya adalah 1) balita menderita penyakit berat dan dalam kondisi
dehidrasi berat menurut pemeriksaan dokter; 2) orang tua tidak bersedia
mengikuti penelitian; 3) pengisian kuisioner yang tidak lengkap.
Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah experimental study
yaitu percobaan lapang (field experiment) dengan menggunakan rancangan
randomized treatment trial design karena adanya intervensi yang diberikan. Disain penelitian tersebut digunakan untuk melihat pengaruh pemberian tempe
terhadap gejala klinis diare pada anak balita. Penelitian dilaksanakan selama 3
bulan, dimulai dari bulan Mei 2010 – Juli 2010 di Puskesmas Kampung Manggis,
Kecamatan Dramaga dan di Puskesmas Ciampea, Kecamatan Ciampea yang
terletak di wilayah Kabupaten Bogor.
Jumlah dan Cara Pemilihan Anak Desain, Waktu dan Tempat
n = 2 (σ2) (Zα + Zβ)
METODOLOGI
Keterangan:
α = salah jenis pertama
β = salah jenis kedua
Zα = nilai peubah acak normal baku sehingga P(Z> Zα) = α Zβ = nilai peubah acak normal baku sehingga P(Z> Zβ) = β
σ2 = ragam dari frekuensi BAB
Jika menggunakan α = 0,05, power test = 1 – β = 0,8, diasumsikan σ = 1,75 dan δ = 3, maka diperoleh nilai n = 10 artinya jumlah anak minimal untuk setiap perlakuan adalah sebanyak 10 orang. Dalam penelitian ini dilakukan tiga
pelakuan yaitu perlakuan intervensi tempe (25 gram), intervensi tempe (50 gram)
dan kontrol, sehingga anak yang digunakan yaitu sebesar 30 orang.
Pada penelitian ini anak balita diberikan intervensi berupa tempe mentah
oleh peneliti dan diolah sesuai keadaan selera anak. Tempe yang diberikan
sebanyak 25 gram/potong dan 50 gram/potong setiap kelompok. Penentuan
dosis ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Sudigbia (2001),
bahwa formula makanan yang menggunakan tempe kedelai sebanyak 40-50
gram, lebih efektif mempercepat penyembuhan diare. Sementara itu, pada
penelitian utama yang ditetapkan bubuk tempe maksimum digunakan 25 gram
dan setengah dari dosis maksimum. Sehingga dosis yang ditentukan adalah 25
gram tempe dan 50 gram tempe.
Pengambilan anak secara purposive dibagi ke dalam tiga perlakuan masing-masing 10 orang. Perlakuan kontrol tanpa intervensi tempe, sedangkan
dua perlakuan lainnya mendapatkan tempe 25 gram/hari dan 50 gram/hari yang
diberikan selama 2 hari, sehingga jumlah tempe yang diberikan menjadi 50 gram
dan 100 gram kepada masing-masing kelompok perlakuan. Ketiga kelompok
perlakuan tersebut mendapatkan pengobatan rawat jalan standar untuk diare.
Orang tua anak diberikan tempe mentah (25 gram atau 50 gram) yang diperoleh
dari Agromart, Kelurahan Dramaga, Kabupaten Bogor dan diminta memberikan
tempe tersebut kepada anak dengan diare selama dua hari yang diolah sesuai
selera anak. Hari pertama tempe diberikan di puskesmas dan hari kedua tempe
diberikan di rumah pasien. Selain itu, pada hari pertama orang tua anak
diberikan dan diminta mengisi kuisioner perkembangan penyakit dan food record
yang harus diisi setiap hari selama 5 hari pengamatan sampai gejala klinis
selama 2 kali, pada hari ke-2 pemberian tempe dan hari ke-6 setelah 5 hari
pengamatan. Pada hari ke-6 dilakukan wawancara dengan orang tua pasien.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis-jenis data yang pada penelitian ini diantaranya data karakteristik
anak dan keluarga, status gizi, pola konsumsi, kebiasaan makanan, sanitasi
lingkungan, higiene anak. Cara pengumpulan data dilihat pada tabel 5.
Tabel 5 Variabel dan cara pengumpulan data penelitian
No Data Cara Pengumpulan Data
1 Karakteristik anak (umur dan jenis kelamin) dan keluarga anak (besar keluarga, pendapatan, umur ibu)
Wawancara dengan anak atau orang tua anak
2 Status Gizi (BB/TB, BB/U, TB/U) Pemeriksaan fisik (TB, BB, dan Umur) oleh peneliti
3 Konsumsi pangan anak (Energi dan protein)
Pengisian formulir food record oleh orang tua pasien
4 Kebiasaan makanan Wawancara dengan anak atau orang tua anak
5 Sanitasi lingkungan Wawancara dengan anak atau orang tua anak dan observasi langsung
6 Higiene anak Wawancara dengan sampel atau orang tua sampel
7 Perkembangan diare anak (Lama diare dan frekuensi BAB)
Pengisian formulir oleh orang tua pasien
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data primer dilakukan dengan beberapa tahapan meliputi
entry data, editing dan coding untuk mengecek konsistensi informasi. Data yang telah diverifikasi diolah menggunakan software Microsoft Excell dan dianalisis dengan menggunakan software SPSS v.16.0 for Windows.
Besar kelurga dikelompokkan menjadi keluarga kecil (≤ 4 orang), keluarga sedang (5 – 7 orang) dan keluarga besar (≥ 8 orang) (Hurlock 1998).
Pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita keluarga dikategorikan menjadi dua yaitu keluarga miskin dan tidak miskin berdasarkan garis kemiskinan
Jawa Barat tahun 2009 yaitu Rp 191.985,00 (BPS 2009).
Umur Ibu dikelompokkan menjadi remaja (<20 tahun), dewasa awal (20 – 40 tahun), dewasa tengah (41 – 65 tahun) dan dewasa akhir (≥ 65 tahun) (Papalia & Old 1986).
kelompok umur dalam penggolongan umur pada angka kecukupan gizi yaitu 1 –
3 tahun dan 4 – 6 tahun.
Status gizi anak. Status gizi anak dinilai berdasarkan indeks berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan berat
badan terhadap umur (BB/U) dengan menggunakan software antropometri 2005. Status gizi anak berdasarkan indeks BB/TB, TB/U dan BB/U dikategorikan
menjadi empat menurut standar baku Depkes RI 2008, yaitu:
Tabel 6 Klasifikasi status gizi berdasarkan WHO-NCHS
Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi BB/U < -3 SD Gizi buruk - 3 s/d <-2 SD Gizi kurang - 2 s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Tinggi BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
- 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Gemuk
Sumber : Depkes RI 2008
Konsumsi energi dan protein dibandingkan dengan angka kecukupan rata-rata yang dianjurkan oleh Departemen Kesehatan tahun 2004 untuk orang
indonesia. Angka kecukupan energi dan protein anak umur 1 – 3 tahun yaitu
1000 Kal dan 25 gram, sedangkan angka kecukupan energi dan protein anak
umur 4 – 6 tahun yaitu 1550 Kal dan 39 gram. Menurut Gibson (1993) konsumsi
energi digolongkan kedalam empat katagori, yaitu; lebih (≥ 100% kecukupan), baik (85% - 100% kecukupan), cukup (70% - 84,9% kecukupan) dan kurang
(<70% kecukupan). Sedangkan tingkat konsumsi protein digolongkan menjadi
dua katagori, yaitu; baik (≥ 75% kecukupan) dan kurang (<75% kecukupan).
Kebiasaan makan. Data kebiasaan makan diukur berdasarkan skor jawaban, kemudian diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu; baik (> 80%),
cukup (60% - 80%) dan kurang (<60%) berdasarkan total skor maksimum dari 9
pertanyaan.
cukup (60% - 80%) dan kurang (<60%) berdasarkan total skor maksimum dari 18
pertanyaan.
Higiene. Data higiene diukur berdasarkan skor jawaban, kemudian diklasifikasikan menjadi 3 kelompok, yaitu; baik (> 80%), cukup (60% - 80%) dan
kurang (<60%) berdasarkan total skor maksimum dari 5 pertanyaan.
Penentuan analisis data berdasarkan analisis normalitas data
menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Variabel yang terdistribusi normal (Umur ibu, status gizi, konsumsi energi dan protein, kebiasaan makan, sanitasi, dan
higiene) menggunakan uji beda One-Way ANOVA. Sedangkan variabel yang tidak terdistribusi normal (besar keluarga, pendapatan dan lama diare)
menggunakan uji beda Mann-Whitney. Analisis data yang dilakukan untuk menghubungkan antara variabel karakteristik keluarga, status gizi, kebiasaan
makan, sanitasi lingkungan, higiene anak dengan frekuensi BAB menggunakan
korelasi Rank Spearman. Analisis pengaruh pemberian tempe terhadap diare menggunakan uji duncan yang merupakan hasil lanjut dari uji ANOVA.
Definisi Operasional Tempe adalah pangan olahan kedelai yang difermentasi
Anak adalah anak usia 2–5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi yang berpartisipasi dalam penelitian
Besar keluarga adalah banyaknya orang yang hidup dalam satu bangunan rumah dan makan pendapatan yang sama. Besar keluarga
diklasifikasikan menjadi tiga kategori: yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang)
Pendapatan keluarga adalah jumlah penerimaan perkapita perbulan yang diperoleh ayah, ibu, atau anggota keluarga lain yang dinilai dalam bentuk
uang (rupiah) setiap satu bulan
Diare adalah kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer, bahkan dapat berupa air saja, yang terjadi lebih sering dari
biasanya
Penyakit diare anak adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi yang lebih lembek atau cair
Lama diare adalah periode diare anak sebelum melakukan pemeriksaan ke puskesmas
Status gizi anak adalah tingkat kesehatan balita yang diukur dengan menggunakan BB/TB, BB/U, dan TB/U
Tingkat konsumsi energi dan protein adalah perbandingan antara konsumsi energi dan protein rata-rata selama 5 hari dengan kecukupan yang
dianjurkan dan dinyatakan dalam bentuk persentase
Kebiasaan makan anak adalah tingkah laku anak dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang melalui sikap, kepercayaan dan
pemilihan makanan
Sanitasi lingkungan adalah pengamatan tentang kondisi yang berkenaan dengan sumber air minum, tempat buang air besar, sampah rumah
tangga dan jarak sumber air dengan tempat pembuangan limbah
Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitik beratkan pada kesehatan perorangan meliputi kebiasaan mencuci tangan,
membersihkan diri (mandi, sikat gigi, potong kuku) dan kebersihan
Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang berada di
wilayah Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kecamatan ini memiliki luas
wilayah seluas 53,6 kilometer persegi. Kecamatan Ciampea terbagi menjadi 13
desa seperti: Bojong Jengkol, Bojong Rangkas, Benteng, Ciampea Udik,
Ciampea, Cibadak, Cibanteng, Cibuntu, Cicadas, Cihideung Ilir, Cihideung Udik,
Cinangka dan Tegal Waru. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca
Bungur dan Kemang, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya,
sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Cibungbulang dan sebelah timur
berbatasan dengan Kecamatan Dramaga.
Kecamatan Dramaga memiliki 10 desa yaitu Babakan, Ciherang,
Cikarawang, Dramaga, Neglasari, Petir, Purwasari, Sinar Sari, Suka Damai dan
Sukawening dengan jumlah keluarga sebesar 22.143 KK atau 310 Rukun
Tetangga. Berdasarkan karakteristik wilayah desa, desa dibagi menjadi kota dan
desa. Kecamatan Dramaga memiliki perbandingan desa dan kota yang sama
yaitu 5 desa termasuk kota dan 5 desa yang termasuk desa. Penelitian ini
dilakukan di Puskesmas Kampung Manggis yang terletak di desa Dramaga. Kecamatan Dramaga merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bogor
dengan luas wilayah 2.437.636 ha. Sebagian besar tanah yaitu 972 ha
digunakan untuk sawah, 1.145 ha untuk lahan kering (pemukiman, pekarangan,
kebun), 49,79 ha lahan basah (rawa, danau, tambak, situ), 20,30 ha lapangan
olahraga dan pemakaman umum. Kecamatan Dramaga mempunyai batas
wilayah sebelah utara dengan Kecamatan Rancabungur, sebelah selatan
dengan Kecamatan Tamansari/Ciomas, sebelah barat dengan Kecamatan
Ciampea dan sebelah timur dengan Kecamatan Bogor Barat. Curah hujan di
Kecamatan Dramaga 1000 – 1500 mm/tahun, dengan ketinggian 500 m dari
permukaan laut. Jarak Kecamatan Dramaga dari ibukota Kabupaten Bogor
adalah 12 km, dari ibukota Propinsi Jawa Barat adalah 180 km. Jumlah
penduduk sebanyak 100.652 jiwa dengan jumlah laki-laki sebesar 50.995 jiwa
dan perempuan 49.657 jiwa (BPS 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Kecamatan Ciampea terletak sekitar 300 meter diatas permukaan laut
(dpl) dengan kontur tanah berupa dataran dan perbukitan, perbukitan di
kecamatan Ciampea sekitar 55% dari keseluruhan luas wilayah. Dengan suhu
Besar keluarga dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu keluarga
kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang) dan keluarga besar (≥8 orang) (Hurlock 1998). Sebanyak 63% anak termasuk dalam kelompok keluarga kecil
(≤4 orang). Sedangkan hanya 3% anak termasuk dalam keluarga besar (≥8 orang). Jumlah anggota keluarga secara langsung dan tidak langsung sangat
mempengaruhi status gizi balita. Karena jumlah keluarga ini akan mempengaruhi
seberapa banyak pembagian bahan makanan dalam satu keluarga apalagi bagi
keluarga dengan pendapatan orang tua yang rendah. Gambar 1 di bawah ini
menggambarkan sebaran anak berdasarkan besar keluarga.
Besar Keluarga
tahun. Jumlah penduduk total berdasarkan Laporan Kependudukan Kecamatan
Ciampea tahun 2010 adalah 146.608 jiwa dengan laki-laki sebanyak 75.527 jiwa
dan perempuan 71.081 jiwa (BPS 2010). Kecamatan Ciampea memiliki sarana
dan prasarana kesehatan sebanyak 145 sarana dan prasarana meliputi
puskesmas, puskesmas pembantu, posyandu, apotek dan toko obat serta balai
pengobatan. Selain itu kecamatan Ciampea memiliki tenaga pelayanan
kesehatan sebanyak 54 orang yang terdiri dari dokter umum, bidan desa, bidan
praktek dan dukun bayi.
Gambar 1 Sebaran anak berdasarkan besar keluarga
Sebesar 70% anak pada kelompok tempe (25 gram) termasuk keluarga
kecil (≤4 orang). Sedangkan 10% anak pada kelompok tempe (25 gram) termasuk keluarga besar (≥8 orang). Pada kelompok tempe (50 gram) dan kelompok kontrol, sebanyak 60% termasuk keluarga kecil dan sisanya termasuk
keluarga sedang (40%). Tabel 7 di bawah ini menggambarkan sebaran keluarga
anak berdasarkan kelompok perlakuan.
Tabe 7 Sebaran besar keluarga anak berdasarkan kelompok perlakuan
Besar Keluarga Tempe (25 gram) Tempe (50 gram) Kontrol Total
n % n % n % n % Keluarga kecil 7 70 6 60 6 60 19 63 Keluarga sedang 2 20 4 40 4 40 10 33 Keluarga besar 1 10 0 0 0 0 1 3 Total 10 100 10 100 10 100 30 100
Besarnya keluarga dapat mempengaruhi kepatuhan orang tua anak
dalam berpartisipasi pada penelitian ini. Anak yang termasuk keluarga kecil (≤4 orang) memungkinkan orang tua dapat melaksanakan kegiatan yang disarankan
peneliti untuk memperhatikan makanan dan perkembangan penyakit diare pada
anak. Selain itu menurut Sukarni (1994) menyatakan bahwa besar keluarga akan
mempengaruhi status kesehatan seseorang atau keluarga. Besar keluarga akan
berpengaruh terhadap pola konsumsi zat gizi anggota keluarga dan
mempengaruhi luas per penghuni didalam suatu bangunan rumah yang
berpengaruh pada kesehatan anak-anak dan kesehatan ibu. Jumlah anggota
keluarga yang banyak, menyebabkan perhatian ibu terhadap anak-anaknya dan
anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan perhatian ibu
terhadap dirinya sendiri.
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa rata-rata besar keluarga antara kelompok perlakuan kontrol, tempe 25 gram dan tempe 50 gram tidak
berbeda nyata (P>0,05). Hal ini bisa terjadi karena sebaran besar keluarga antar
kelompok perlakuan tidak berbeda signifikan.
Pendapatan per kapita keluarga
Pendapatan per kapita perbulan keluarga digunakan sebagai pendekatan
terhadap pengeluaran per kapita keluarga anak. Digunakan garis kemiskinan
Propinsi Jawa Barat tahun 2009 sebagai acuan yaitu sebesar Rp 191.985,00
pendapatan per kapita diatas garis kemiskinan dengan pendapatan per kapita
terendah keluarga anak sebesar Rp 100.000,00 dan pendapatan per kapita
tertinggi keluarga anak sebesar Rp 1.000.000,00. Sedangkan rata-rata
pendapatan per kapita keluarga anak sebesar Rp 294.000,00 dengan standar
deviasi sebesar Rp 212.779,89. Gambar 2 di bawah menggambarkan sebaran
anak berdasarkan pendapatan per kapita keluarga.
Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan pendapatan
Berdasarkan kelompok perlakuan, sebanyak 50% keluarga anak pada
kelompok perlakuan tempe 25 gram, tempe 50 gram dan kontrol yang memiliki
pendapatan perkapita dalam katagori miskin maupun tidak miskin. Tabel 8 di
bawah menggambarkan sebaran pendapatan keluarga anak berdasarkan
kelompok perlakuan.
Tabel 8 Sebaran pendapatan keluarga anak berdasarkan kelompok perlakuan
Pendapatan Tempe (25 gram) Tempe (50 gram) Kontrol Total
n % n % n % n % Miskin 5 50 5 50 5 50 15 50 Tidak miskin 5 50 5 50 5 50 15 50 Total 10 100 10 100 10 100 30 100
Sebanyak 50% jumlah pendapatan keluarga di atas garis kemiskinan
sehingga keluarga anak yang berpartisipasi pada penelitian ini dalam kondisi
Pengelompokan umur ibu berdasarkan pada pengkategorian menurut
Papalia & Old (1986). Umur ibu dikategorikan menjadi kategori umur remaja (<20
tahun), dewasa awal (20-40 tahun), dewasa tengah (41-65 tahun) dan dewasa
akhir (≥65 tahun). Pada penelitian ini diketahui bahwa umur ibu minimum yaitu 20 tahun dan umur ibu maksimum yaitu 44 tahun. Sedangkan rata-rata umur ibu
yaitu 28,8 tahun dengan standar deviasi 7,15. Berdasarkan umur ibu yang
diketahui, umur ibu anak dikatagorikan menjadi 20 - 40 tahun dan 41 - 65 tahun.
Sebesar 97% umur ibu anak berkisar 20 - 40 tahun, dengan demikian hampir
semua ibu yang berpartisipasi dalam penelitian ini merupakan ibu-ibu yang
termasuk dalam katagori dewasa awal. Gambar 3 di bawah menggambarkan
sebaran anak berdasarkan umur ibu.
Umur Ibu
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan bahwa besar pendapatan keluarga anak tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan kontrol, tempe 25 gram
dan tempe 50 gram (P>0,05). Hal ini dapat terjadi karena sebaran pendapatan
keluarga anak tidak berbeda signifikan antara kelompok perlakuan.
merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Hal ini
menyangkut daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makan.
Sedangkan menurut Suhardjo (1989) menyebutkan bahwa keluarga dan
masyarakat yang penghasilannya rendah, mempergunakan sebagian besar dari
keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, dan semakin tinggi
penghasilan itu, semakin menurun bagian penghasilan yang dipakai untuk
membeli makanan. Dengan meningkatnya pendapatan perorangan, terjadilah
perubahan-perubahan dalam susunan makanan.
Berdasarkan kelompok perlakuan, umur ibu yang termasuk katagori umur
41-65 tahun hanya terdapat pada kelompok perlakuan tempe 50 gram yaitu
sebesar 10% dari jumlah ibu anak pada kelompok perlakuan tempe 50 gram.
Tabel 9 di bawah ini menggambarkan sebaran umur ibu anak berdasarkan
kelompok perlakuan.
Tabel 9 Sebaran umur ibu anak berdasarkan kelompok perlakuan
Umur Ibu anak Tempe (25 gram) Tempe (50 gram) Kontrol Total
n % n % n % n % 20-40 tahun 10 100 9 90 10 100 29 97 41-65 tahun 0 0 1 10 0 0 1 3 Total 10 100 10 100 10 100 30 100
Berdasarkan data umur ibu anak termasuk kedalam katagori dewasa
awal yang dapat dikatakan telah cukup dan siap dalam mengasuh anak. Menurut
Hurlock (1998) ibu yang masih berusia muda cenderung untuk mendahulukan
kepentingannya sendiri, sehingga waktu pengasuhan menjadi sangat singkat dan
tidak menyenangkan. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan
menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu, sehingga akan
mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak.
Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa rata-rata umur ibu tidak berbeda nyata antara kelompok perlakuan kontrol, tempe 25 gram dan tempe 50 gram
(P>0,05). Hal ini bisa disebabkan oleh sebaran umur ibu anak pada setiap
kelompok perlakuan tidak berbeda signifikan.
Karakteristik Anak Umur Anak
Pada penelitian ini umur anak minimum 2 tahun dan maksimum 5 tahun.
Rata-rata usia anak sebesar 3,1 tahun dengan standar deviasi sebesar 0,92.
Berdasarkan nilai angka kecukupan gizi anak balita 1-6 tahun di golongkan
menjadi 1-3 tahun dan 4-6 tahun, maka pada penelitian ini umur anak
dikelompokkan menjadi 2-3 tahun dan 4-5 tahun. Sebesar 73% anak memiliki
umur 2-3 tahun dan 27% anak memiliki umur 4-5 tahun. Gambar 4 di bawah
Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan kelompok umur
Berdasarkan kelompok perlakuan, sebesar 60% anak kelompok
perlakuan tempe 25 gram memiliki umur 2 - 3 tahun dan 80% anak kelompok
perlakuan tempe 50 gram dan kontrol. Sebesar 40% anak kelompok perlakuan
tempe 25 gram memiliki umur 4 – 5 tahun. Sedangkan kelompok perlakuan
tempe 50 gram dan kontrol masing-masing sebesar 20% yang memiliki umur 4 –
5 tahun. Sebagian besar anak memiliki umur 2 - 3 tahun sebesar 73% dan
sekitar 27% anak memiliki umur 4 – 5 tahun. Tabel 10 di bawah menggambarkan
sebaran umur anak berdasarkan kelompok perlakuan.
Tabel 10 Sebaran umur anak berdasarkan kelompok perlakuan
Umur anak Tempe (25 gram) Tempe (50 gram) Kontrol Total
n % n % n % n % 2-3 tahun 6 60 8 80 8 80 22 73 4-5 tahun 4 40 2 20 2 20 8 27 Total 10 100 10 100 10 100 30 100
Pada penelitian ini diikuti oleh anak laki-laki dan perempuan dalam jumlah
yang sama yaitu masing-masing sebesar 50%. Berdasarkan perlakuan anak,
kelompok perlakuan tempe 50 gram dan kontrol diikuti oleh 40% anak laki-laki
dan 60% anak perempuan, sedangkan kelompok perlakuan tempe 25 gram