Besar keluarga
Besar keluarga akan mempengaruhi status kesehatan seseorang atau keluarga. Besar keluarga akan berpengaruh terhadap pola konsumsi zat gizi anggota keluarga dan mempengaruhi luas per penghuni di dalam suatu bangunan rumah yang berpengaruh pada kesehatan anak-anak dan kesehatan ibu. Jumlah anggota keluarga yang banyak menyebabkan perhatian ibu terhadap anak-anaknya dan anggota keluarga yang lain berkurang, demikian pula dengan perhatian ibu terhadap dirinya sendiri (Sukarni 1994).
Menurut Suhardjo (1989), hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi sangat nyata pada masing-masing keluarga. Terutama pada keluarga yang sangat miskin, pemenuhan kebutuhan makanan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Jumlah anak yang lebih sedikit dalam suatu keluarga akan mengurangi resiko ibu-ibu terhadap terjadinya gizi kurang.
Pendapatan keluarga
Pendapatan merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Hal ini menyangkut daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makan (Rokhana 2005). Menurut Suhardjo 1989, faktor penghasilan merupakan faktor kedua yang juga dominan dalam menentukan gaya hidup keluarga maupun masyarakat suatu wilayah. Dalam rangka penganekaragaman pola konsumsi pangan ialah bahwa daya beli harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi, baik kuantitas maupun kualitasnya, terutama bila konsumsi dengan pangan itu banyak tergantung pada apa yang dibelinya. Keluarga dan masyarakat yang penghasilannya rendah mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, dan semakin tinggi penghasilan itu, semakin menurun bagian penghasilan yang dipakai untuk membeli makanan. Penghasilan keluarga terendah yang dibawah tingkat tidak mungkin membeli jumlah makanan dan bahan makanan yang cukup untuk kesehatan seluruh keluarga disebut garis kemiskinan.
Dengan meningkatnya pendapatan perorangan terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan.
Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan ialah pangan yang dimakan lebih mahal (Suhardjo 1989).
Umur ibu
Umur orang tua terutama ibu yang relatif masih muda cenderung memiliki sedikit sekali pengetahuan tentang gizi dan pengalaman dalam mengasuh anak. Umumnya mereka mengasuh anak berdasarkan pengalaman orang tuanya dahulu. Ibu yang masih berusia muda cenderung untuk mendahulukan kepentingannya sendiri, sehingga waktu pengasuhan menjadi sangat singkat dan tidak menyenangkan. Sebaliknya pada ibu yang lebih berumur cenderung akan menerima dengan senang hati tugasnya sebagai ibu, sehingga akan mempengaruhi pula terhadap kuantitas dan kualitas pengasuhan anak (Hurlock 1998).
Tempe
Tempe merupakan produk olahan kedelai yang terbentuk atas jasa kapang jenis Rhizopus sp melalui proses fermentasi. Banyak perubahan yang terjadi selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe, baik yang menyangkut perubahan fisik, biokimia maupun mikrobiologi, yang semuanya berdampak sangat menguntungkan terhadap sumbangan gizi dan kesehatan. Kerja
Rhizopus sp mampu mengubah kedelai menjadi tempe yang berasa lebih enak, lebih bergizi dan berfungsi sebagai makanan sehat (Astawan 2009).
Terdapat beberapa jenis tempe di Indonesia, antara lain: tempe gembus (dibuat dari ampas tahu), tempe lamtoro (dari biji lamtoro), tempe benguk (dari biji koro benguk), tempe koro (dari biji koro), tempe bongkrek (dari ampas kelapa), tempe gude (dari kacang gude), tempe bungkil (dari ampas pembuatan minyak kapang) dan tempe kedelai (dibuat dari biji kedelai). Dari berbagai jenis tempe tersebut, yang paling banyak dikonsumsi dan digemari masyarakat adalah tempe kedelai (Astawan 2009).
Proses pembuatan tempe umumnya masih dilakukan secara tradisional dalam skala industri kecil. Secara garis besar, tahap-tahapan penting dalam pembuatan tempe adalah: pembersihan biji kedelai, perebusan/pengukusan dan fermentasi. Proses fermentasi adalah tahap terpenting pada pembuatan tempe, dimana pada tahap ini dilakukan pemeraman kedelai selama beberapa hari (umumnya 36 – 48 jam) menggunakan laru (kapang tempe). Selama proses fermentasi tempe terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak, sehingga asam lemak tidak jenuh majemuk (Polyunsaturated
fatty acids=PUFA) meningkat jumlahnya. Asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikkan terjadi pada asam lemak oleat dan linolenat (Astawan 2009).
Dibandingkan kedelai, kadar protein, lemak dan karbohidrat tempe tidak banyak berubah. Akan tetapi, karena adanya enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe, protein, lemak, dan karbohidrat pada tempe menjadi lebih mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Dua kelompok vitamin yang terdapat pada tempe, yaitu vitamin larut air (vitamin B kompleks) dan vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K).
Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial. Jenis vitamin yang terkadung dalam tempe antara lain; vitamin B1 (thiamin), vitamin B2
(riboflavin), asam pantotenat, asam nikotinat (niasin), vitamin B6 (piridoksin) dan vitamin B12 (sianokobalamin). Vitamin B12 aktivitasnya meningkat sampai 33 kali selama fermentasi, riboflavin naik sekitar 8-47 kali, piridoksin 4-14 kali, niasin 2-5 kali, asam folat 4-5 kali, dan asam pantotenat meningkat 2 kali lipat (Astawan 2009). Tabel 1 di bawah ini menunjukkan komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering.
Tabel 1 Komposisi zat gizi kedelai dan tempe dalam 100 gram bahan kering
Zat Gizi Kedelai Tempe
Abu (g) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Serat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Riboflavin (mg) Niasin (mg) Asam pantotenat (mkg) Piridoksin (mkg) Vitamin B12 (mkg) Biotin (mkg)
Asam amino esensial (g)
6,1 46,2 19,1 28,2 3,7 254 781 11 0,48 0,15 0,67 430 180 0,2 35 17,7 3,6 46,5 19,7 30,2 7,2 347 724 9 0,28 0,65 2,52 520 100 3,9 53 18,9 Sumber: Hermana et al (1996) diacu dalam Astawan (2009)
Dibandingkan kedelai, terjadi beberapa hal yang menguntungkan pada tempe. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan
terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein serta skor proteinnya.
Tabel 2 Komposisi dan nilai gizi kedelai dan tempe (per 100 gram)
Faktor Mutu Gizi Kedelai rebus Tempe
Padatan terlarut (%) Nitrogen terlarut (%) Asam amino bebas (%) Asam lemak bebas (%) Nilai cerna (%)
Nilai efisiensi protein Skor kimia 14 6,5 0,5 0,5 75 1,6 75 34 39 7,3-12 21 83 2,1 78 Sumber: Hermana et al (1996) diacu dalam Astawan (2009)
Selain zat-zat di atas, kedelai dan tempe sebagai hasil olahannya juga mengandung senyawa aktif dari golongan isoflavon. Isoflavon utama yang ditemukan di dalam kedelai dan produk fermentasinya diantaranya daidzein (7,4’-dihidroksi isoflavon), genistein trihidroksi isoflavon) dan faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001).
Selama proses fermentasi terjadi sintesa antioksidan di tempe yang diketahui sebagai faktor II (5,7,4’-trihidroksi isoflavon) (Brata-Arbai 2001). Selama fermentasi juga terjadi peningkatan kandungan mineral tempe, seperti meningkatnya kandungan kalsium dan zink. Selain mengandung mineral, tempe sebagai bahan makanan yang dapat menurunkan kolesterol juga mengandung alpha dan gamma tocopherol (vitamin E) sebagai antioksidan yang menjaga sel dari kerusakan akibat proses oksidasi. Antioksidan dapat didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, mencegah dan memperlambat proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi oleh radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochhar & Rossell 1990).
Antioksidan yang telah berhasil diisolasi dari kedelai dan olahannya salah satunya adalah isoflavon dari senyawa flavonoid. Isoflavon lain dari kedelai adalah trihidroksi isoflavon yang hanya terdapat pada produk kedelai terfermentasi (Pratt 1992). Selain isoflavon, kedelai dan produk olahannya merupakan sumber berbagai macam senyawa antioksidan yang termasuk kedalam golongan dari turunan asam sianat, fosfolipida, tokoferol, asam amino dan peptida (Shahidi & Naczk 1995). Isoflavon adalah senyawa bioaktif, banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kedelai sampai 3099 mikrogram/g
(Klump et al 2001). Isoflavon yang berasal dari tempe diketahui bersifat hipolipidemik, antidiare dan anti infeksi terhadap E.Coli (Karyadi 2000).
Aktivitas antibakterial untuk pertama kali dikemukakan oleh Wang et al (1969) diacu dalam Karyadi (1985). Beberapa jenis bakteri gram positif seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus cremoris, Bacillus subtilis, Clostridium perfringens, dan Clostridium sporogenes terhambat pertumbuhannya. Mahmud
et al (1982) diacu dalam Karyadi (1985) mengamati aktivitas antibakterial dalam beberapa jenis tempe. Dalam tempe yang dibuat dengan biakan murni Rhizopus oligosporus terdapat aktivitas antibakterial yang menghambat pertumbuhan
Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Salmonella typhii dan Shigella flexneri. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap dan dimanfaatkan tubuh dibandingkan yang ada dalam kedelai. Ini telah dibuktikan pada bayi dan anak balita penderita gizi buruk dan diare kronis. Dengan pemberian tempe, pertumbuhan berat badan penderita gizi buruk akan meningkat dan diare menjadi sembuh dalam waktu singkat. Pengolahan kedelai menjadi tempe akan menurunkan kadar reffinosa dan stakiosa, yaitu senyawa penyebab timbulnya gejala flatulensi (Astawan 2009).
Manfaat tempe terhadap daya tahan tubuh, pertama kali dinyatakan oleh Van Veen (1950), berdasarkan hasil pengamatannya terhadap tahanan perang perang dunia II di Pulau Jawa. Mereka yang setiap hari makan tempe, ternyata tidak terkena disentri ketika wabah disentri berkecamuk. Dari pengamatan tersebut dapat disimpulkan bahwa pemakan tempe mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menolak infeksi amuba dibandingkan mereka yang bukan pemakan tempe.
Selama fermentasi, kapang tempe juga mampu memproduksi senyawa antibiotika yang bermanfaat untuk menghambat atau memperkecil kejadian infeksi. Kasus diare di Indonesia merupakan penyebab utama kematian bayi (1 – 11 bulan), yaitu mencapai 36,9%, yang kemudian diikuti oleh kematian akibat radang pada saluran pernapasan sebesar 28,8%. Penyebab terjadinya diare adalah air yang tercemar dan melalui makanan yang diolah tidak higienis. Bakteri penyebab diare adalah Eschericia coli, Vibrio cholerae, Shigella sp, dan
Entamoeba histolyca.
Pengobatan diare yang paling tepat adalah dengan mengganti cairan yang hilang dan tidak menghentikan pemberian ASI maupun makanan lainnya. Makanan yang diberikan harus mudah dicerna dan cepat diserap zat-zat gizinya.
Salah satu makanan yang telah diketahui mudah dicerna walaupun oleh orang yang menderita penyakit saluran pencernaannya adalah tempe. Kemampuan tempe dalam menyembuhkan diare disebabkan oleh dua hal, yaitu akibat zat anti diare dan akibat sifat protein tempe yang mudah tercerna dan diserap, walupun oleh usus yang terluka (Astawan 2009).
Diare
Menurut Latifah et al (2002), diare adalah suatu kondisi buang air besar dengan konsistensi yang lembek sampai encer, bahkan dapat berupa air saja, yang tejadi lebih sering dari biasanya 3 kali atau lebih dalam sehari. Penyebab diare diantaranya yaitu virus, bakteri, parasit (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia, alergi terhadap susu, kurang gizi dan daya tahan tubuh rendah (Saroso 2007).
Diare ada dua jenis yaitu diare akut dan diare kronis. Diare kronis adalah diare yang berlangsung lebih dari tiga minggu yang disebabkan oleh makanan tercemar atau penyebab lainnya. Sedangkan diare akut adalah diare yang timbul dengan tiba-tiba dan berlangsung beberapa hari. Diare akut lebih sering terjadi pada anak bayi dan anak kecil daripada anak yang lebih besar (Suharyono 1986).
Menurut Suharyono (1986) penyebab prevalensi yang tinggi dari penyakit diare di negara yang sedang berkembang yaitu kombinasi dari sumber air yang tercemar dan defisiensi zat gizi yang menyebabkan turunnya daya tahan tubuh. Kuman yang paling sering menjadi penyebab diare akut pada anak yaitu rotavirus (30,4 – 36,6%), E.Coli (20 – 30%), salmonella (5 – 18%), Vibro cholera (5%), dan Shigella (2 – 5%). Kuman-kuman tersebut ditularkan secara faecal – oral melalui makanan dan minuman yang tercemar. Ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut yaitu:
1. Diare sekresi (Secretory diarrhea) yang disebabkan oleh: - Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen
- Hiperperistaltik usus yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan kimia, makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, makanan yang terlalu asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan syaraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
- Defisiensi imun terutama Sig A (Secretory Immunoglobulin A) yang mengakibatkan terjadinya pelipatgandaan bakteri atau flora usus dan jamur terutama Candida.
2. Diare osmotic (Osmotic diarrhea) yang disebabkan oleh: - Malabsorpsi makanan
- Kekurangan kalori protein dan mineral - BBLR dan bayi baru lahir
Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut yang disebut dengan dehidrasi. Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang mengalami gizi buruk, karena gizi yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan orang tuanya tidak segera memberikan makanan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang (Harianto 2004 diacu dalam Ulfah 2008). Kematian diare akibat dehidrasi (kehilangan banyak cairan tubuh) dapat dicegah dengan Oral Rehydration Therapy (ORT). ORT dapat dilakukan dengan memberikan cairan (air) melalui mulut selama anak mengalami diare (Santrock 2002).
Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap air dan elektrolit pada saluran cerna. Meknisme gangguan tersebut ada 5 kemungkinan:
1. Osmolaritas intraluminar yang meninggi, disebut diare osmotik. 2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik. 3. Absorbsi elektrolit berkurang.
4. Motilitas usus yang meninggi/hiper-peristalsis, atau waktu transit yang pendek.
5. Sekresi eksudat disebut diare eksudatif.
Gejala klinik diare pada umumnya dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal, fase diare, dan fase penyembuhan. Fase prodromal yang dapat juga disebut sebagai sindrom pradiare dengan gejala perut terasa penuh, mual bisa sampai muntah, keringat dingin, dan pusing. Fase diare dengan gejala dehidrasi, asidosis, syok, mules, dapat sampai kejang, dengan atau tanpa panas dan pusing. Fase penyembuhan ditandai dengan gejala diare makin jarang, mules berkurang dan penderita rasa lemas dan lesu (Daldiyono 1990).
Menurut Daldiyono (1990), sebagian besar diare di Indonesia disebabkan oleh bakteri dan parasit. Etiologi diare akut oleh bakteri dan parasit sebagai berikut:
• Bakteri penyebab diare akut: Shigella dysentriae, Shigella Flexneri,
Salmonella typhi dan Salmonella para typhi A, B, C.
• Vibro cholera, Vibro eltor, Vibro parahemolitikus, Escherechia coli,
Campilobacter dan Yersinia intestinal.
• Keracunan makanan: Staphylococcus dan Clostridium perfringens.
• Diare akut oleh parasit: Entamuba histolytica, Giardia lamblia, dan
Trichomonas intestinalis/hominis.
Menurut Sudigbia (2001), konsep dasar untuk manajemen diare adalah rehidrasi awal, yang harus dimulai saat dirumah dan dilanjutkan dengan perbaikan gizi. Oral-rehidrasi dilakukan berdasarkan keadaan berikut:
1. Mengganti cairan yang hilang
2. Fakta bahwa mukosa intestin masih mampu menyerap air dan elektrolit 3. Afinitas antara ion natrium dan glukosa dapat membantu penyerapan
elektrolit. Pada oral rehidrasi, larutan yang dibutuhkan mengandung natrium klorida, kalium klorida, natrium bikarbonat, dan glukosa dengan total konsentrasi natrium 90 – 110 meq/l dalam 4% larutan glukosa.
Awal pemberian makan dengan makanan yang ditambahkan zat gizi seperti asam amino esensial untuk fortifikasi formula rehidrasi secara oral menjadi lebih baik, dan ini bisa disebut larutan ‘super oralit’. Asam amino glisin dan lisin telah ditambahkan dalam membuat larutan ‘super oralit’ secara fortifikasi, tetapi pada level komunitas tertentu tidak mungkin ditambahkan asam amino murni karena biaya yang sangat mahal. Sebagai alternatif, tempe dengan asam amino esensial diberikan sebagai subtitusi yang baik (Sudigbia 2001).
Status Gizi Balita
Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana anak memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungannya. Disamping itu, anak balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso & Lies 2004).
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan sumberdaya manusia dan kualitas hidup. Riyadi (2001) mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau kelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbtion) dan penggunaan (utilization) zat gizi. Pada dasarnya, status gizi merupakan refleksi dari makanan yang dikonsumsi dan dimonitori dari pertumbuhan fisik anak.
Santoso dan Lies (2004) mengungkapkan bahwa keadaan gizi kurang pada anak-anak mempunyai dampak pada kelambatan pertumbuhan dan perkembangannya yang sulit disembuhkan. Anak-anak yang mengalami kurang gizi akan menderita diare selama 3 hari, batuk selama 4 hari dan demam selama 3 hari setiap bulan, sehingga dalam sebulan anak akan sakit selama 10 hari. Kurang gizi pada anak balita berhubungan dengan peningkatan 10 – 45 % kejadian diare dan 30 – 35 % persen lamanya diare (McGuire & Austin 1987, diacu dalam Ariefiani 2009).
Komponen penilaian status gizi meliputi konsumsi pangan, pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis dan riwayat kesehatan, pemeriksaan antropometri, serta data psikososial. Pengukuran antropometri erat kaitannya dengan status gizi seseorang, terutama pada masa pertumbuhan (Briawan & Herawati 2005). Indeks antropometri yang umum digunakan untuk menilai status gizi, antara lain berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh (tulang, otot dan lemak) dan merupakan indikator yang sangat labil. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau berkurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur (Supariasa et al 2002).
Indeks BB/U menggambarkan status gizi masa kini. Indeks ini dapat digunakan untuk mendeteksi underweight dan overweight. Indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Defisit TB/U menunjukkan ketidakcukupan gizi dan kesehatan secara komulatif dalam jangka panjang (Riyadi 2001). Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini biasanya digunakan bila umur sulit diperoleh (Supariasa et al 2002). Status gizi berdasarkan indeks antropometri dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 3 Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks antropometri
Status gizi Indeks
BB/U TB/U BB/TB Gizi baik > 80% > 90% > 90% Gizi sedang 71 % - 80 % 81 % - 90 % 81 % - 90 % Gizi kurang 61 % - 70 % 71 % - 80 % 71 % - 80 % Gizi buruk < 60 % < 70 % < 70% Sumber: Supariasa et al 2002
Penilaian status gizi balita berdasarkan standard baku WHO-NCHS dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U,TB/U, BB/TB standar baku antropometeri WHO-NCHS
Indeks yang dipakai Batas Pengelompokan Sebutan Status Gizi BB/U < -3 SD Gizi buruk
- 3 s/d <-2 SD Gizi kurang - 2 s/d +2 SD Gizi baik > +2 SD Gizi lebih TB/U < -3 SD Sangat Pendek
- 3 s/d <-2 SD Pendek - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Tinggi BB/TB < -3 SD Sangat Kurus - 3 s/d <-2 SD Kurus - 2 s/d +2 SD Normal > +2 SD Gemuk Sumber : Depkes RI 2008. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan ialah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif atau negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai “affective” yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial, ekonomi) di mana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan (belief) terhadap makanan, hanya saja wilayah kejiwaannya adalah nilai-nilai “cognitive” yang berkaitan dengan kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik. Dan pemilihan adalah proses “psychomotor” untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya.
Kebiasaan makan dalam kelompok memberikan dampak pada distribusi makanan antar anggota kelompok. Dan mutu serta jumlah bagian tiap anggota hampir selalu didasarkan pada status hubungan antar anggota, bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan gizi (Khumaidi 1989).
Koentjaraningrat (1984) diacu dalam Khumaidi (1989) mengembangkan model untuk mempelajari faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi kebiasaan makan dan pola konsumsi makanan keluarga.
Kebiasaan makan individu, keluarga dan mesyarakat dipengaruhi oleh: 1. Faktor budaya, termasuk faktor ini adalah: cara-cara seseorang
berfikir/berpengetahuan, berperasaan dan berpandangan tentang makanan. Apa yang ada dalam fikiran, perasaan dan pandangan itu kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Jika mekanisme ini terjadi berulang-ulang maka tindakan (perilaku konsumsi) itu menjadi kebiasaan makan yang dapat di ukur dengan ‘pola konsumsi’ yang dapat diamati dan diukur.
2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, strata dan sifat-sifatnya.
3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan dan sebagainya.
4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, sistem usaha tani, sistem pasar, dsb.
5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia (man-made) seperti sistem pertanian, sarana dan prasarana kehidupan, perundang-undangan dan pelayanan pemerintah.
6. Faktor perkembangan teknologi.
Higiene dan Sanitasi
Higiene adalah suatu pencegahan penyakit yang menitikberatkan pada kesehatan perseorangan atau manusia beserta lingkungan tempat orang tersebut berada. Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitik beratkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia. Menurut Widyati dan Yuliarsih (2002) kesehatan masyarakat dibagi menjadi dua yaitu kesehatan kuratif (penyembuhan penyakit) dan preventif (pencegahan penyakit). Usaha higiene sanitasi adalah usaha preventif (mencegah supaya tidak sakit). Usaha kesehatan preventif dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1. Usaha pengebalan atau imunisasi, diberikan saat balita (BCG, MMR, hepatitis dan folio) untuk mencegah datangnya penyakit.
2. Usaha kesehatan perorangan (personal Hygiene) yaitu mandi minimal 2 kali sehari, menyikat gigi, pakaian bersih, olahraga dan lain-lain.
3. Usaha kesehatan lingkungan hidup (lingkungan tempat tinggal atau lingkungan kerja). Cara menjaga lingkungan hidup yang sehat yaitu dengan cara tidak membuang sampah sembarangan, menjaga saluran air agar tidak mampet, menjaga kerja bakti dengan masyarakat setempat untuk membersihkan lingkungan.
Higiene dan sanitasi lingkungan merupakan pengawasan lingkungan fisik, biologi, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan lingkungan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan (Entjang 1985).
Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman 2000).
Menurut Yulianti (2002), praktek-praktek personal higiene dapat dilakukan dengan cara:
• Pencucian tangan
Tangan merupakan bagian tubuh yang paling utama bersinggungan dengan makanan, untuk itu kebersihannya perlu dijaga. Pencucian tangan dengan sabun dan diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan banyak mikroba