• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb ) Dan Perbanyakan Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma Aeruginosa Roxb ) Dan Perbanyakan Secara In Vitro"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG

(Curcuma aeruginosa

Roxb.) DAN PERBANYAKAN SECARA

IN VITRO

ADI SETIADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Perbanyakan Secara In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

(4)
(5)

RINGKASAN

ADI SETIADI. Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Perbanyakan Secara In Vitro. Dibimbing oleh NURUL KHUMAIDA dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.

Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu ireng termasuk ke dalam famili Zingiberaceae merupakan salah satu tanaman obat yang tersebar luas di Asia Tenggara termasuk di Indonesia. Tanaman ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya sebagai bahan baku obat dan industri kosmetik, namun pengembangan temu ireng di Indonesia masih terkendala oleh terbatasnya koleksi plasma nutfah dan ketersediaan varietas unggul.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil beberapa aksesi temu ireng, informasi kekerabatan beberapa aksesi temu ireng, dan komposisi media multiplikasi temu ireng secara in vitro. Percobaan karakterisasi rimpang temu ireng hasil eksplorasi dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan 3 pada bulan Juni hingga September 2013. Percobaan analisis keragaman beberapa aksesi temu ireng dilaksanakan di Kebun Percobaan Sukamantri dari bulan April hingga Desember 2014. Percobaan induksi multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan 3 AGH-IPB pada bulan September 2013 hingga Desember 2014.

Percobaan karakterisasi koleksi rimpang temu ireng hasil eksplorasi dilakukan secara deskriptif terhadap rimpang meliputi pengamatan terhadap karakter kualitatif dan kuantitatif rimpang, yang meliputi ukuran rimpang induk dan rimpang primer, pengamatan warna daging rimpang pada rimpang primer serta pengamatan terhadap mata tunas rimpang. Berdasarkan karakter panjang dan diameter rimpang induk, aksesi Cianjur memiliki ukuran diameter dan panjang rimpang induk serta panjang rimpang primer yang lebih panjang bila dibandingkan dengan aksesi lainnya. Berdasarkan pengamatan terhadap warna daging rimpang terdapat dua warna rimpang yaitu kuning keabuan dan putih keabuan pada koleksi rimpang temu ireng hasil eksplorasi.

(6)

Percobaan induksi multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal secara in vitro disusun berdasarkan rancangan percobaan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor dan 5 ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi BAP dengan 5 taraf (0, 2 4, 6, 8) mg L-1 dan faktor kedua adalah konsentrasi IAA dengan 3 taraf (0, 0.5, 1) mg L-1. Terdapat pengaruh interaksi antara zat pengatur tumbuh IAA dengan BAP terhadap jumlah daun, dan tinggi planlet. Media kultur dengan penambahan 0 mg L-1 IAA dikombinasikan dengan 6 mg L-1 BAP menghasilkan jumlah tunas dan tinggi planlet tertinggi yaitu masing-masing 3.4 tunas eksplan-1 dan 2.5 cm, sedangkan jumlah daun terbanyak terdapat pada media dengan penambahan 0.5 mg L-1 IAA + 6 mg L-1 BAP sebesar 6.3 daun tanaman-1. Planlet temu ireng telah berhasil diaklimatisasi dan menghasilkan rimpang yang bisa tumbuh menjadi tanaman yang lengkap.

(7)

SUMMARY

ADI SETIADI. Characterization of Several Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) Accessions and Its In Vitro Propagation. Supervised by NURUL KHUMAIDA and SINTHO WAHYUNING ARDIE.

Curcuma aeruginosa Roxb. (Zingiberaceae) or temu ireng is a medicinal plant that is widely distributed in Southeast Asia, including in Indonesia. This plant has been used as a raw material for medicine and cosmetics industries. However, the development of temu ireng in Indonesia is still constrained by two main problems: 1. the limited availability of germplasm collections and superior varieties, and 2. the discontinuity of true-to-type seedling supply. Collection and characterization of germplasm of temu ireng accessions are therefore of great importance to support the superior variety development. Furthermore, the in vitro propagation is expected to support the continuity of true-to-type seedling supply of temu ireng. The objectives of this study were to obtain information on morphological characters, yield, and yield components of several temu ireng accessions collected from several locations in Indonesia, to develop phylogenetic information of temu ireng accession, and to obtain the best media composition of temu ireng in in vitro multiplication.

Temu ireng accessions collected from several locations in Sumatera and Java were characterized in June to September 2013. Rhizomes of temu ireng accessions collected from different locations showed that the size and the flesh color of the mother rhizome, primary rhizome, and secondary rhizome varied between accessions. Based on the length and diameter of mother rhizome, Cianjur accession has the biggest mother rhizome size compared to other accessions.

The rhizomes of ten temu ireng accessions were planted at Sukamantri Experimental Field (540 m asl) in September 2013 to January 2014. Morphological characterization based on descriptor of ginger (UPOV, BPPP) and Curcuma (PPV&FRA) and observation on yield and yield components were conducted on those temu ireng accessions. Three other species e.g. Curcuma longa, Curcuma xanthorrhiza, and Curcuma zedoaria were included as comparison. Cluster analysis based on the morphological characters and quantitative characters resulted in three major groups. Group 1 consisted of Cianjur, Malang, Rimbo, and Kendal accessions; Group 2 consisted of Bogor, Natar, and Liwa accessions and the three other species; Group 3 consisted of Cirebon, Kuningan 1, and Kuningan 2 accessions. Principal component analysis resulted in three main components with the proportion of 73.94% diversity. Phytochemical analysis of temu ireng rhizome accession and comparative plant contains chemical compounds saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, and quinone.

(8)

IAA + 6 mg L-1 BAP resulted in the highest number of leaf (6.3 leaves eksplan-1). Seedlings produced from the in vitro culture could be successfully acclimatized. Keywords : Curcuma, qualitative character, phytochemical, multiplication,

rhizome

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

KARAKTERISASI BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG

(

Curcuma aeruginosa

Roxb.) DAN PERBANYAKAN SECARA

IN VITRO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis yang berjudul Karakterisasi Beberapa Aksesi Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan Perbanyakan Secara In Vitro telah diselesaikan. Shalawat dan salam atas Muhammad Rasulullah salallahu’alaihi wassalam atas sunnahnya. Ucapan terima kasih tak terhingga penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Dr Ir Nurul Khumaida, MSi selaku ketua komisi pembimbing, yang telah memberikan arahan, bimbingan, nasihat serta motivasinya selama penulis menyusun rencana dan melaksanakan penelitian, pembimbingan dalam menyusun tesis dan naskah publikasi, serta atas kesempatan yang diberikan hingga penulis dapat berpartisipasi di berbagai kegiatan diantaranya The Third International Symposium on Temulawak and Potential Plants for Jamu (IST3) 2015, Seminar Nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2014, Seminar Sehari Dies Natalis PSB ke-16 tahun 2014, dan Workshop on Herbal Quality Control tahun 2014.

2. Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan nasihat baik saat perencanaan penelitian maupun proses pengerjaan tesis serta naskah publikasi.

3. Ibu Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman, yang telah banyak memberi saran.

4. Ibu Dr Ani Kurniawati, SP, MSi selaku dosen penguji luar komisi pada sidang tesis yang telah memberikan saran.

5. Staf pengajar/dosen Departemen Agronomi Hortikultura, Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman IPB atas ilmu yang telah diberikan. 6. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset dan Teknologi Republik

Indonesia atas Beasiswa Pendidikan Unggulan Tahun Ajaran 2012/2013 hingga 2014/2015.

7. Pusat Studi Biofarmaka atas bantuan dana penelitian dan pelayanan pengujian senyawa fitokimia.

8. Seluruh staf dan peneliti di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Laboratorium Pasca Panen, dan Mikroteknik AGH IPB atas kebersamaan dan pelayanan yang diberikan.

9. Rekan-rekan Pascasarjana Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2012/2013 atas kebersamaan dan persahabatannya.

10.Ayahanda Didi Sukardi dan S.Triatmadji, ibunda Iis Aisyah dan Budiwati, Istri tercinta Fitri Syaputri dan ananda tersayang Faiz Fathyan Syadi serta seluruh keluarga atas semangat, cinta, doa, dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(15)

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) 5

Manfaat Temu Ireng 7

Karakterisasi Morfologi 7

Pembiakan Tanaman Secara Vegetatif 7

Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif 8

Fitokimia Curcuma sp. 8

Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro 9

3 KARAKTERISASI RIMPANG TEMU IRENG (Curcuma aeruginosa

Roxb.) HASIL EKSPLORASI 13

Abstrak 13

Abstract 13

Pendahuluan 14

Bahan dan Metode 14

Analisis Data 16

Hasil dan Pembahasan 16

Simpulan 21

4 ANALISIS KERAGAMAN BEBERAPA AKSESI TEMU IRENG

(Curcuma aeruginosa Roxb.) 22

Abstrak 22

Abstract 22

Pendahuluan 23

Hasil dan Pembahasan 30

Simpulan 48

5 INDUKSI MULTIPLIKASI TUNAS TEMU IRENG (Curcuma

aeruginosa Roxb.) AKSESI KENDAL SECARA IN VITRO 49

Abstrak 49

(16)

Pendahuluan 50

Bahan dan Metode 50

Analisis Data 52

Hasil dan Pembahasan 53

Simpulan 60

6 PEMBAHASAN UMUM 61

7 KESIMPULAN DAN SARAN 63

Kesimpulan 63

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

(17)

DAFTAR TABEL

1. Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat

pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP) 10

2. Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat

pengatur tumbuh benzil adenin (BA) 11

3. Aksesi temu ireng hasil eksplorasi 17

4. Karakter kualitatif rimpang temu ireng hasil eksplorasi 19 5. Karakter rimpang induk, rimpang primer dan jumlah mata tunas aksesi

temu ireng hasil eksplorasi 19

6. Aksesi temu ireng dan tanaman pembanding koleksi Bagian

Bioteknologi Tanaman AGH IPB 24

7. Karakter kualitatif daun dan batang semu temu ireng, kunyit,

temulawak, dan temu putih. 33

8. Karakter kualitatif rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu

putih. 34

9. Pertumbuhan beberapa aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu

putih pada 6 BST 39

10.Karakter rimpang aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih 40

11.Produksi dan potensi hasil temu ireng 41

12.Peubah pengamatan tiga komponen utama aksesi temu ireng, kunyit,

temulawak, dan temu putih 43

13.Korelasi antar peubah pengamatan karakter morfologi aksesi temu

ireng 45

14.Uji fitokimia rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih 47 15.Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh kotnsentrasi IAA dan BAP

terhadap jumlah tunas, jumlah daun, dan tinggi planlet. 54 16.Pengaruh konsentrasi IAA dan BAP terhadap jumlah daun tinggi

planlet temu ireng. 57

17.Rataan jumlah daun dan tinggi tanaman hasil aklimatisasi planlet temu

ireng pada 2 MSA 58

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir penelitian karakterisasi beberapa aksesi temu ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan perbanyakan secara in vitro 4

2. Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma 6

3. Morfologi bunga genus Curcuma, malai bunga (a), bunga dengan braktea dan brakteolus (b), ovary (c), bunga (d), bractea (e), bractea (f), braktea (g), bunga (h), pistil (i), stamen (j), dan anther (k) 6 4. Rimpang temu ireng, diameter rimpang induk (a), panjang rimpang

induk (b), panjang rimpang primer (c), diameter rimpang primer (d). Rimpang induk (1), rimpang primer (2), dan rimpang sekunder (3) 15 5. Rimpang temu ireng aksesi Cianjur, rimpang induk (a), rimpang primer

(18)

6. Fleshy root pada rimpang temu ireng aksesi Natar (a), Liwa (b). Lingkaran merah menunjukkan bagian fleshy root 17 7. Warna keabuan pada rimpang induk temu ireng aksesi Kendal (a),

rimpang primer aksesi Kendal (b), tidak ditemukan warna keabuan pada fleshy root aksesi Natar (c), skala : 5 cm 18 8. Keragaan rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih hasil

eksplorasi 20

9. Habitus batang semu temu ireng; rapat (a), terbuka (b) 25 10.Kategori panjang daun temu ireng pendek (a), sedang (b), dan panjang

(c) 26

11.Kategori lebar daun temu ireng, sempit (a), sedang (b), dan luas (c) 26 12.Kategori bentuk tepi daun temu ireng, rata (a) dan bergelombang (b) 26 13.Kategori posisi daun tegak temu ireng (a), semi tegak (b), dan

horizontal (c) 27

14.Kategori tipe rimpang temu ireng tipe I (a), tipe II (b), tipe III (c) 27 15.Arsitektur rimpang temu ireng, panjang rimpang (a), lebar rimpang (b) 28 16.Kategori jumlah rimpang induk temu ireng, satu (a) dua-tiga (b) lebih

dari tiga (c) 28

17.Kategori jarak antar buku rimpang temu ireng,<1 cm (a) dan > 1 (b) 28 18.Serangan hama pada tanaman temu ireng di KP Sukamantri, ulat (a),

dan belalang (b) 31

19.Keragaan aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih di

Kebun Percobaan Sukamantri IPB 31

20.Morfologi daun beberapa aksesi temu ireng dan tanaman pembanding 33 21.Morfologi rimpang aksesi temu ireng dan tanaman pembanding 35 22.Penampang melintang tanaman temu ireng, kunyit, temulawak, dan

temu putih 35

23.Bunga tanaman temu ireng aksesi Kuningan 1 setelah mekar (11 BST) 36 24.Bunga majemuk tanaman temu ireng aksesi Kuningan 1 yang sedang

mekar (a), bunga yang belum mekar (b), bunga yang telah mekar (c),

korola (d), dan braktea (e) 37

25.Temu ireng aksesi Kuningan 1 dalam braktea mekar secara bergantian (a), bunga yang sedang mekar (b)bunga yang belum mekar (c), bunga yang telah layu (d), bunga mekar dilihat dari depan (e) 37 26.Morfologi bunga temu ireng aksesi Kuningan 1, bunga (a), bunga

dengan brakteolus terbuka (b), bunga dengan brakteolus terbuka dilihat dari depan (c), dan stamen (d), tanda panah menunjukkan stamen 38 27.Rimpang temu ireng dengan fleshy root aksesi Cirebon (a) dan Kendal

(b), tanpa fleshy root aksesi Cirebon (c) dan Kendal (d). Skala = 5 cm,

lingkaran merah menunjukkan fleshy root 40

28.Dendogram beberapa aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu

putih berdasarkan karakter morfologi 42

29.Diagram pencar KU 1 dan KU 2 aksesi temu ireng, kunyit, temulawak,

dan temu putih 44

30.Dendogram aksesi temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih 47 31.Sterilisasi eksplan tunas temu ireng, tunas pada rimpang temu ireng (a)

(19)

perendaman dengan larutan NaOCl (d), perendaman dengan povidone iodine (e), penanaman eksplan pada media prakondisi (f) 51 32.Planlet hasil perbanyakan in vitro dibersihkan dari media agar unuk

dipindahkan ke net house (a), penggunaan sungkup untuk mengurangi

transpirasi planlet 52

33.Kontaminasi planlet temu ireng yang disebabkan oleh bakteri (a) dan

cendawan (b) 53

34.Waktu muncul tunas pertama eksplan temu ireng 55 35.Jumlah tunas temu ireng pada beberapa konsentrasi BAP dan IAA pada

12 MSK 56

36.Keragaan planlet temu ireng pada berbagai kombinasi penambahan

konsentrasi IAA dan BAP pada 8 BST 57

37.Keragaan tanaman temu ireng aksesi Kendal hasil aklimatisasi, media 1.0 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP (a), 0.5 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP (b), 0.5 mg L-1 IAA + 2 mg L-1 BAP (c), 0 mg L-1 IAA + 6 mg L-1 BAP

(d) pada umur 3 BST 59

38.Rimpang temu ireng hasil perbanyakan in vitro setelah diaklimatisasi selama 6 BST. Penampang melintang rimpang induk (a), fleshy root (b) keragaan rimpang temu ireng hasil perbanyakan secara in vitro (c),

skala = 2 cm 59

39.Keragaan tanaman temu ireng yang ditanam dari rimpang in vitro 60

DAFTAR LAMPIRAN

1. Petunjuk pelaksanakaan karakerisasi tanaman Curcuma 2. Hasil uji fitokimia rimpang temu ireng dan tanaman pembanding 3. Metode uji senyawa alkaloid rimpang temu ireng dan tanaman

pembanding 4. Metode uji flavonoid, tannin, dan saponin tanaman temu ireng dan

tanaman pembanding 5. Metode uji steroid dan triterpenoid rimpang temu ireng dan tanaman

pembanding 6. Data curah hujan BMKG tahun 2013

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Famili Zingiberaceae merupakan kelompok tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional (Kress et al. 2002; Harit et al. 2013), bumbu dan rempah (Gowda et al.2012), pewarna makanan dan kain (Behura et al. 2002; Velayudhan et al. 2012), industri makanan (Jan et al. 2012) dan sebagai insektisida (Damalas 2011; Tavares et al. 2013). Genus Curcuma tersebar secara alami di daerah tropis maupun sub tropis, mulai dari India sampai Thailand, Indocina, Malaysia, Indonesia, hingga Australia bagian Utara (Apavatjrut et al. 1999; Maknoi et al. 2005; Ding et al. 2011). Lebih dari 80 spesies dari genus Curcuma berasal dari wilayah Indomalayan (Syamkumar dan Sasikumar 2007; Cousin et al. 2007).

Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu ireng tersebar luas di Asia bagian Tenggara (Srivilai et al. 2011) memiliki nama lokal temu erang (Sumatra), temu ireng (Jawa Tengah dan Jawa Timur), temu ereng (Madura), koneng hideung (Jawa Barat), temu lotong (Sulawesi dan Nusa Tenggara) merupakan salah satu dari sekian banyak tanaman obat yang tumbuh di Indonesia (Djauharia dan Sufiani 2007). Tanaman ini sudah dikenal dan dibudidayakan secara besar-besaran di negara Asia lainnya seperti Malaysia, Kamboja, dan Myanmar (Pribadi 2009). Rimpang temu ireng telah digunakan sebagai bahan baku jamu gendong dengan nama ramuan cabe puyang di Indonesia. Rimpang temu ireng digunakan sebagai obat tradisional karena mengandung senyawa-senyawa aktif saponin, flavonoid, polifenol, guaiane (Takano et al. 1995), dan glukan (Ranjini dan Vijayan 2005). Srivastava et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat kandungan minyak yang diidentifikasi sebagai α-pinene, sabinene, α-terpine, camphor dan tumerone. Selain itu menurut Nugrahaningtyas et al. (2005) minyak atsiri di dalam temu ireng juga mengandung 1.8 sineol. Penelitian fitokimia pada rimpang temu ireng menghasilkan tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007), curcumin (Srivastava et al 2006), aeruginon dan curcuminon telah diidentifikasi sebagai senyawa penciri temu ireng (Atun et al. 2012). Rimpang temu ireng digunakan untuk ramuan galian dan anti rematik/inflamasi (Reanmongkol et al. 2006), penyakit kulit (Djauharia dan Sufiani 2007), batuk dan asma (Nasrullah et al. 2010), anti mikroba (Angel et al. 2012a), anti cendawan (Srivastava et al. 2006), anti oksidan (Choudhury et al. 2013; Nurcholis et al. 2015) dan anti androgenik (Srivilai et al. 2011).

(22)

dan 13 varietas yang didaftarkan. Akan tetapi, hingga saat ini belum terdapat varietas baru temu ireng.

Usaha pengembangan tanaman temu ireng sebagai bahan baku produk biofarmaka memerlukan kegiatan pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas unggul. Ketersediaan bahan tanaman yang cukup dengan sumber keragaman yang luas adalah syarat utama perbaikan varietas tanaman. Keragaman yang luas dari suatu sifat atau kombinasi sifat merupakan modal awal bagi kegiatan pemuliaan. Keragaman genetik yang dimiliki oleh tanaman akan memberikan kontribusi positif terhadap proses seleksi sehingga tanggap terhadap perubahan lingkungan, penyakit, dan kebutuhan pasar. Oleh karena itu perlu dilakukan kegiatan eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah temu ireng untuk memperoleh sumber keragaman genetik dalam kegiatan pemuliaan tanaman.

Tanaman temu ireng ditanam dengan menggunakan rimpang, akan tetapi penggunaan rimpang dihadapkan pada masalah waktu yang diperlukan cukup lama khususnya untuk produksi tanaman dalam jumlah yang cukup besar/massal. Kultur jaringan adalah suatu teknik mengisolasi bagian dari tanaman baik berupa sel, jaringan maupun organ yang ditumbuhkan secara aseptik dengan lingkungan dan unsur hara yang terkendali hingga terbentuk individu baru (Hussain et al. 2012). Teknologi kultur jaringan telah diaplikasikan dalam skala penggunaan yang cukup luas meliputi perbanyakan tanaman, konservasi serta preservasi tanaman.Teknologi kultur jaringan yang memiliki keunggulan diantaranya lebih efisien, produksi propagula dengan jumlah yang besar dan bermutu (Sama et al. 2015), serta sifat tanaman sama (true to type) (Gunawan 1992; Mohanty et al. 2011; Hussain et al. 2012). Respon pertumbuhan dan laju multiplikasi in vitro berbeda antar spesies tanaman, bahkan antar genotipe dalam spesies (Parthasarathy dan Sasikumar 2006). Beberapa protokol multiplikasi in vitro telah dilaporkan pada beberapa spesies anggota famili Zingiberaceae akan tetapi perkembangan protokol multiplikasi in vitro pada temu ireng masih sangat terbatas. Oleh karena itu dibutuhkan media multiplikasi temu ireng terbaik dalam memproduksi tanaman temu ireng secara in vitro sebagai salah satu aternatif untuk menghasilkan propagula bermutu dengan kejelasan varietas.

.

Perumusan Masalah

Temu ireng merupakan salah satu jenis tanaman obat yang mulai diminati oleh masyarakat, ditandai dengan meningkatnya permintaan tanaman tersebut dari tahun ke tahun. Peningkatan produksi tanaman salah satunya dapat dilakukan dengan penyediaan varietas unggul. Plasma nutfah adalah bahan genetik yang digunakan oleh pemulia tanaman untuk membentuk idiotipe tanaman. Pemanfaatan plasma nutfah tidak akan optimal apabila tidak didukung oleh ragam genetik yang luas. Eksplorasi merupakan salah satu upaya dalam pengkayaan ragam genetik.

(23)

fitokimia pada rimpang temu ireng. Pengadaan propagula temu ireng dengan kejelasan varietas sangat diperlukan untuk memenuhi persediaan bibit untuk budidaya. Penelitian dilanjutkan dengan dilakukannya sterilisasi dan induksi multiplikasi tunas secara in vitro. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Tujuan Penelitian

Penelitianini bertujuan untuk :

1. Memperoleh informasi karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil rimpang temu ireng hasil eksplorasi,

2. Memperoleh informasi kekerabatan aksesi temu ireng melalui karakterisasi morfologi bagian vegetatif dan rimpang beberapa aksesi hasil eksplorasi, 3. Memperoleh komposisi media multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal

secara in vitro.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil beberapa aksesi temu ireng hasil eksplorasi di berbagai wilayah di Indonesia, sebagai tahapan koleksi plasma nutfah temu ireng untuk kegiatan pemuliaan. Selain itu penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi kekerabatan aksesi temu ireng melalui karakterisasi morfologi bagian vegetatif dan rimpang beberapa aksesi hasil eksplorasi dan senyawa bioaktif yang terkandung dalam rimpang temu ireng secara kualitatif. Informasi tersebut sangat penting sebagai tahap awal dalam kegiatan pemuliaan tanaman khususnya perakitan varietas unggul. Perbanyakan temu ireng secara in vitro dengan penambahan zat pengatur tumbuh dilakukan untuk memperoleh bibit tanaman temu ireng yang bermutu.

Ruang Lingkup Penelitian

(24)

3. Induksi

multiplikasi tunas temu ireng aksesi Kendal secara in vitro

2. Analisis keragamanan beberapa aksesi temu ireng Koleksi rimpang temu ireng

hasil eksplorasi

Komposisi media multiplikasi tunas temu ireng in vitro • Karakter morfologi, hasil, dan komponen hasil

beberapa aksesi temu ireng

• Informasi kekerabatan beberapa aksesi temu ireng • Karakter fitokimia (kualitatif)

Koleksi in vitro Koleksi in vivo

1. Karakterisasi rimpang hasil eksplorasi

(25)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Temu Ireng (Curcuma aeruginosa Roxb.)

Genus Curcuma merupakan anggota famili Zingiberaceae terdiri atas 80 sampai 100 spesies yang telah digunakan sebagai obat tradisional sejak lama (Paisooksantivatana et al. 2001; Syamkumar dan Sasikumar 2007; Angel et al. 2012b; Khan et al. 2013). Beberapa diantaranya belum dikenal dengan baik. Nama Curcuma untuk pertama kali diberikan oleh Linnaeus pada bukunya yang

berjudul “Species Plantarum” tahun 1753. Kata curcuma diadaptasi dari bahasa

Arab “kurkum”, yang artinya berwarna kuning. Secara taksonomi curcuma adalah genus yang memiliki susunan yang rumit dan spesies tanaman baru dan belum semuanya dipublikasikan (Paisooksantivatana et al. 2001). Banyak spesies yang termasuk ke dalam genus Curcuma dikenal sebagai tanaman komersial atau memiliki nilai obat (Velayudhan et al.2012). Tanaman curcuma baik rimpang maupun daunnya memiliki aroma yang khas dan mengandung senyawa fungsional seperti volatil oil (Angel et al. 2012b; Wan et al. 2000), terpen, fenol, dan flavanoid, yang merupakan antioksidan yang sangat kuat (Kayser dan Quax 2007; Tsai et al. 2011).

Curcuma aeruginosa atau dikenal sebagai temu ireng di Indonesia termasuk ke dalam tanaman monokotil. Temu ireng dikenal pula di negara lain khususnya negara-negara di Asia Tenggara seperti temu erang (Malaysia), wan ma-haamek (Thailand), dan ngh[eej]ten d[oof]ng (Vietnam) (de Padua et al. 1999). Berdasarkan sistem taksonomi (IPNI 2013) temu ireng termasuk dalam :

Divisi : Spermatophyta

Spesies : Curcuma aeruginosa Roxb.

Temu ireng merupakan tanaman semak, memiliki rimpang, berbatang semu, dan tingginya kurang lebih 50 cm. Rimpangnya terletak dalam tanah dengan ukuran yang cukup besar dan bercabang merata. Daun alternate, entire, tunggal, tegak, warna hijau dengan semburat ungu pada masing-masing sisi ibu tulang daun. Temu ireng akan mengalami dorman, seluruh daun akan mengering dan luruh pada musim kemarau sehingga akan memudahkan untuk panen karena sudah cukup tua untuk dipanen (Syukur dan Hemani 2001).

(26)

luar rimpang kuning dan berkilat ujungnya berwarna merah muda. Bagian dalam rimpang muda berwarna biru pucat dengan batang berwarna hijau. Tanaman ini dibudidayakan sebagai apotek hidup dan tumbuh liar di hutan-hutan jati dan padang rumput pada ketinggian 400-750 m dari permukaan laut (Darwis et al. 1991). Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma ditampilkan pada Gambar 2, sedangkan morfologi bunga ditampilkan pada Gambar 3.

Gambar 2 Morfologi tanaman dan rimpang genus Curcuma Sumber: PPV & FRA (2007)

Gambar 3 Morfologi bunga genus Curcuma, malai bunga (a), bunga dengan braktea dan brakteolus (b), ovary (c), bunga (d), bractea (e), bractea (f), braktea (g), bunga (h), pistil (i), stamen (j), dan anther (k)

(27)

Manfaat Temu Ireng

Rimpang temu ireng berkhasiat untuk menambah nafsu makan, menyembuhkan cacingan. Secara empiris digunakan sebagai obat tradisional untuk rematik, batuk, asma dan antelmentik. Selain itu temu ireng juga bisa digunakan sebagai obat perut kembung, obat luka, memperlancar keluarnya darah nifas (Sangat 2007), obat batuk, asma (Nasrullah et al. 2010), encok, dan menurunkan berat badan (Darwis et al. 1991).

Minyak esensial dari rimpang berpotensi sebagai sumber anti mikroba yang mengandung campuran monoterpen, sesquiterpen, dan berbagai jenis senyawa hidrokarbon alifatik (Burt 2004). Temu ireng digunakan sebagai obat tradisional untuk mengobati inflamasi, postpartum uterine, dan perimanopousal bleeding dengan kandungan kimia antara lain �-pinene (7.71%), 1.8 cineol (9.64%), curzerenone (41.63%) (Jarikasem et al. 2005). Penelitian fitokimia pada rimpang temu ireng menghasilkan tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007).

Karakterisasi Morfologi

Pengetahuan mengenai karakter morfologi tanaman dapat dilakukan dengan melakukan karakterisasi morfologi berbagai sifat tanamanan, baik kualitatif maupun kuantitatif. Perbedaan karakteryang dimiliki oleh setiap aksesi merupakan bekal awal dalam melakukan kegiatan seleksi tanaman dalam kegiatan pemuliaan. Dibandingkan dengan penandaan molekuler, penandaan dengan menggunakan karakter morfologi lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan, namun lebih banyak memberikan manfaat dalam kegiatan pembentukan varietas unggul (Susantidiana et al. 2009).

Pengamatan karakter morfologi juga merupakan determinasi yang paling akurat untuk menilai sifat agronomi dan pengelompokan secara taksonomi berbagai tanaman. Pengamatan karakter morfologi dapat digunakan untuk mengkaji keragaman genetik dan korelasi antara sifat morfologi dengan sifat penting agronomi lainnya. Karakterisasi pada tingkat morfologi diperlukan terutama untuk mengenali fenotipe dan perubahan terkait dengan ekotipenya. Keragaman genetik antar individu dapat diduga dengan menggunakan penanda morfologi. Identifikasi keragaman dengan cara karakterisasi akan menghasilkan data berisi informasi tentang sifat-sifat morfologi seperti bentuk daun, panen, tinggi tanaman, dan daya hasil (Surahman et al. 2009).

Karakterisasi secara morfologi mudah dilakukan dan nampak dengan jelas parameternya pada tanaman. Karakter morfologi yang diamati merupakan penanda yang didasarkan pada pewarisan Mendel yang sederhana seperti bentuk, warna ukuran, dan bobot. Karakter morfologi dapat digunakan sebagai petunjuk nyata karena sifatnya dapat diturunkan. Penanda morfologi telah banyak digunakan pada tanaman seperti jagung, tomat, dan ubi jalar (Hallauer 2011).

Pembiakan Tanaman Secara Vegetatif

(28)

memperbanyak secara aseksual karena organ seksualnya tidak berfungsi atau tidak lengkap dan vegetatif fakultatif yang masih mampu melakukan perbanyakan secara seksual namun perbanyakan aseksual menjadi lebih baik dan sering dilakukan (Syukur et al. 2012) .

Pembiakan vegetatif dilakukan apabila genotipe tersebut memiliki permasalahan dalam proses pembentukan biji seperti tingginya sterilitas, homozigositas, tingkat ploidi, dan rendahnya viabilitas benih. Lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu siklus pertumbuhan juga menjadi sebuah permasalahan pada tanaman membiak vegetatif (Ghosh et al. 2011). Keturunan dari satu tanaman tunggal atau sekelompok tanaman hasil perbanyakan vegetatif dikenal sebagai klon. Klon sebagai hasil pembelahan mitosis memiliki sifat yaitu susunan genetik yang identik, susunan genetik heterozigot, dan karakternya stabil (Brown dan Caligari 2008).

Pemuliaan Tanaman Membiak Vegetatif

Plasma nutfah adalah bahan genetik dari suatu organisme. Pemulia tanaman menggunakan plasma nutfah untuk membentuk tanaman pertanian (Barnum 2007). Plasma nutfah merupakan sumber genetik yang dapat dimanfaatkan tidak hanya sebagai modal dasar dalam program perbaikan bahan tanam tetapi juga untuk kebutuhan industri. Pemanfaatan plasma nutfah tidak akan optimal apabila tidak didukung oleh ragam genetik yang luas, bahkan keberhasilan program perakitan varietas unggul sangat ditentukan oleh tersedianya keragaman genetik plasma nutfah yang luas (Pribadi 2009).

Teknik seleksi klonal digunakan pada tanaman mengembang biak secara vegetatif, yaitu menyeleksi klon-klon terbaik yang diterapkan untuk meningkatkan kemampuan genetik tanaman membiak vegetatif. Seleksi klonal tidak memfasilitasi munculnya keragaman genetik. Melalui perbanyakan vegetatif, klon-klonnya akan menghilangkan pengaruh dari segregasi gen dan keturunannya. Pada tanaman membiak vegetatif obligat keragaman tidak bisa dilakukan melalui hibridisasi, pembentukan keragaman bisa dilakukan dengan induksi mutasi atau rekayasa genetika. Pada tanaman mengembang biak vegetatif fakultatif pembentukan keragaman bisa dilakukan melalui pemuliaan konvensional melalui hibridisasi sehingga karakter terbaik pada F1 langsung bisa dipertahankan melalui pembentukan populasi vegetatif secara langsung (Syukur et al. 2012).

Fitokimia Curcuma sp.

(29)

golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007).

Alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering bersifat optis aktif kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar. Secara kimiawi alkaloid merupakan suatu golongan heterogen (Harborne 1987).

Steroid/triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karbosilat. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa, yaitu triterpenoid, steroid saponin dan glikosida. Triterpenoid tertentu terkenal karena rasanya terutama kepahitannya (Harborne 1987).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon lebih dari 21 seperti sterol, sapogenin, glikosida, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia triterpena yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat. Semua plavonoid menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon berupa tepung putih pada tumbuhan dan sebagian besar terlarut dalam air. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang akan berubah warnanya bila ditambah basa atau amonia (Harborne 1987).

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang terdeteksi dalam lebih dari 90 jenis tumbuhan. Glikosida adalah suatu senyawa kompleks antara gula pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Quinon adalah senyawa berwarna yang memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzoquinon yang terdiri atas dua buah gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon (Harborne 1997).

Perbanyakan Tanaman Secara In Vitro

Teknologi kultur jaringan mengacu kepada kemampuan tanaman beregenerasi atau dikenal dengan teori totipotensi. Kultur jaringan dalam kondisi aseptik sering juga disebut sebagai kultur in vitro yang berarti kultur yang ditumbuhkan di dalam gelas (Gunawan 1992). Peneliti di bidang hortikultura telah menggunakan pembiakan secara in vitro secara besar-besaran yang berasal dari satu tanaman (Barnum 2007).

(30)

untuk perbanyakan yang dilakukan pada tanaman heterozigot, sexual incompatibility, dan untuk genotipe yang steril (Dahleen dan Bregitzer 2002).

Penelitian kultur jaringan pada genus Curcuma telah dilakukan untuk memperoleh protokol standar untuk pembiakan tanaman secara in vitro dan suspensi sel digunakan untuk mengoleksi sifat-sifat yang diinginkan dan untuk konservasi. Diantara eksplan yang digunakan tunas rimpang merupakan bahan tanaman yang paling banyak digunakan pada perbanyakan in vitro Curcuma. Media Murashige and Skoog (MS) telah digunakan secara luas dengan penambahan zat pengatur tumbuh dari golongan sitokinin seperti benzil adenin (BA) dan benzil amino purin (BAP) untuk meningkatkan proliferasi tunas. Penggunaan kinetin dan BA digunakan untuk menginduksi tunas dan akar secara bersamaan. Pengaruh positif BA yang dikombinasikan dengan zat pengatur tumbuh golongan auksin diantaranya 1-naphthaleneacetic acid (NAA), kinetin, 2.4-diclorophenoxyaceticacid (2.4-D), dan indoleacetic acid (IAA) mampu menginduksi kalus dan multiplikasi tunas pada beberapa jenis Curcuma baik menggunakan zat pengatur tumbuh benzil amino purin (Tabel 1) maupun benzil amino (Tabel 2).

Perbanyakan temu ireng dengan menggunakan rimpang sangat lambat, sehingga metode kultur jaringan tanaman secara in vitro bisa digunakan sebagai solusi alternatif dalam pembiakan tanaman. Dalam metode ini terpelihara bentuk dan konsistensi produksi tanaman yang true to type dalam waktu yang relatif lebih singkat (Selvakkumar et al. 2007).

Tabel 1 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP)

(31)

Tabel 1 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat pengatur tumbuh benzil amino purin (BAP) (lanjutan)

Spesies/Pustaka Persiapan eksplan Komposisi media + ZPT Hasil penelitian Curcuma longa L / pengatur tumbuh benzil adenin (BA)

(32)

Tabel 2 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat pengatur tumbuh benzil adenin (BA) (lanjutan).

(33)

3

KARAKTERISASI RIMPANG TEMU IRENG (

Curcuma

aeruginosa

Roxb

.

) HASIL EKSPLORASI

Abstrak

Temu ireng atau Curcuma aeruginosa Roxb. merupakan salah satu tumbuhan obat penting di Asia bagian Selatan dan Tenggara, khususnya India, Indonesia, Myanmar, Thailand, dan Vietnam. Keragaman genetik tanaman merupakan hal yang penting bagi program pemuliaan yang dapat diperoleh melalui eksplorasi ataupun introduksi. Penelitian ini bertujuan unuk memperoleh karakter rimpang dan tanaman temu ireng hasil eksplorasi sebagai sumber keragaman genetik untuk kegiatan pemuliaan tanaman. Pengamatan karakter rimpang dilakukan dengan mengacu kepada descriptor Curcuma. Dari penelitian diperoleh hasil bahwa rimpang temu ireng hasil eksplorasi memiliki ukuran yang berbeda pada setiap aksesi. Rimpang temu ireng terdiri atas rimpang induk, primer, sekunder, dan fleshy root. Rimpang induk temu ireng memiliki panjang antara 3.9 cm (aksesi Natar) hingga 8.0 cm (aksesi Cianjur), diameter rimpang induk antara 3.4 cm (aksesi Rimbo ) hingga 5.1 cm (aksesi Cianjur). Ukuran panjang rimpang primer berkisar antara 3.1 cm (aksesi Natar) hingga 11.9 cm (aksesi Cianjur) dengan ukuran diameter terbesar 2.4 (aksesi Kendal) dan diameter terkecil 0.9 (aksesi Rimbo). Pengamatan terhadap warna daging rimpangdiperoleh dua warna rimpang yaitu kuning keabuan dan putih keabuan.

Kata kunci: aksesi, rimpang, rimpang induk, fleshy root

Abstract

Temu ireng or Curcuma aeruginosa Roxb. is an important medicinal plant in South and Southeast Asia, including Indonesia. Exploration, collection and characterization of temu ireng from various places in Indonesia would strongly support the breeding program of the species. Rhizomes of temu ireng were collected from several locations in Sumatera and Java were characterized based on the Curcuma Descriptor. Our results showed that the size and the flesh colour of the mother rhizome, primary rhizome, and secondary rhizome varied between accessions. The length of the mother rhizome varied between 3.9 cm (Natar accession) to 8.0 cm (Cianjur accession), while the diameter of the mother rhizome varied between 3.4 cm (Rimbo accession) to 5.1 cm (Cianjur accession). The length of the primary rhizome ranged from 3.1 cm (Natar accession) to 11.9 cm (Cianjur accession), while the diameter of the primary rhizome ranged from 0.9 cm (Rimbo accession) to 2.4 cm (Kendal accession). Based on the length and diameter of mother rhizome, Cianjur accession has the biggest mother rhizome size compared to other accessions. The flesh colour of rhizomes was divided into two main colours, i.e. yellowish gray and greyish white.

(34)

Pendahuluan

Curcuma aeruginosa Roxb. atau temu ireng tersebar luas di Asia Tenggara (Srivilai et al. 2011) merupakan salah satu dari sekian banyak tanaman obat yang tumbuh di Indonesia (Djauharia dan Sufiani 2007). Rimpang temu ireng telah digunakan sebagai bahan baku jamu gendong dengan nama ramuan jamu cekok dan cabe puyang di Indonesia. Rimpang temu ireng digunakan untuk ramuan galian dan anti inflamasi (Reanmongkol et al. 2006), penyakit kulit (Djauharia dan Sufiani 2007), batuk dan asma (Nasrullah et al. 2010), anti mikroba (Angel et al. 2012a; Kamazeri et al. 2012), anti cendawan (Srivastava et al. 2006), anti kanker (Elfahmi et al. 2014), anti oksidan (Nurcholis et al.2015), dan anti androgenik (Srivilai et al. 2011).

Rimpang temu ireng digunakan sebagai obat tradisional karena mengandung bahan bioaktif seperti saponin, flavonoid, polifenol, guaiane (Takano et al. 1995), dan glukan (Ranjini dan Vijayan 2005). Srivastava et al. (2006) melaporkan bahwa terdapat kandungan minyak yang diidentifikasi sebagai α-pinene, sabinene,

α-terpine, camphor dan tumerone. Selain itu menurut Nugrahaningtyas et al. (2005) minyak atsiri yang terkandung di dalam temu ireng mengandung pula 1.8 sineol. Penelitian fitokimia pada rimpang temu ireng menyebutkan bahwa terdapat tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, isocurcumenol (Sukari et al. 2007), dan curcumin (Srivastava et al. 2006). Aeruginon dan curcuminon telah diidentifikasi sebagai senyawa penciri temu ireng (Atun et al. 2012).

Pemuliaan tanaman merupakan sebuah metode yang secara sistematik merakit keragaman genetik tanaman menjadi bentuk yang lebih bermanfaat sesuai dengan idiotipe yang diinginkan. Pemuliaan tanaman terdiri atas serangkaian kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan diantaranya adalah koleksi atau pengumpulan plasma nutfah dengan cara eksplorasi atau introduksi. Keberhasilan kegiatan pemuliaan tanaman bergantung pada tersedianya keragaman genetik tanaman koleksi.

Tanaman koleksi hasil eksplorasi selanjutnya digunakan sebagai bahan tanaman pada kegiatan seleksi berdasarkan karakter yang diinginkan untuk mendapatkan varietas tanaman baru. Oleh karena belum adanya tanaman temu ireng dengan kejelasan varietas dengan produktivitas dan kandungan bahan bioaktif yang tinggi mendorong perlu dilakukannya kegiatan koleksi dan karakterisasi temu ireng yang terdapat di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter kualitatif dan kuantitatif rimpang temu ireng hasil eksplorasi dari beberapa wilayah di Indonesia .

Bahan dan Metode

(35)

Pengamatan karakter morfologi diperoleh melalui survei, wawancara dan pengamatan langsung pada tanaman contoh di lapangan berdasarkan deskriptor Curcuma yang mengacu pada BPPP (2005) dan PPV & FRA (2007). Karakter yang diamati meliputi karakter kuantitatif yaitu :

1. Diameter rimpang induk dilakukan dengan mengukur bagian tengah rimpang induk dengan menggunakan caliper yang ditunjukkan oleh Gambar 4a. 2. Panjang rimpang induk dilakukan dengan mengukur panjang dari pangkal

hingga ke ujung rimpang induk (cm) yang ditunjukkan oleh Gambar 4b. 3. Panjang rimpang primer dilakukan dengan mengukur panjang rimpang primer

dari pangkal hingga ujung rimpang yang ditunjukkan oleh Gambar 4c.

4. Diameter rimpang primer dilakukan dengan mengukur bagian tengah rimpang primer dengan menggunakan caliper. Seluruh rimpang primer dalam satu cluster diukur, yang ditunjukkan oleh Gambar 4d

Gambar 4 Rimpang temu ireng, diameter rimpang induk (a), panjang rimpang induk (b), panjang rimpang primer (c), diameter rimpang primer (d). Rimpang induk (1), rimpang primer (2), dan rimpang sekunder (3) 5. Jumlah mata tunas per kluster dilakukan dengan menghitung calon mata tunas

setiap rimpang, baik rimpang induk, rimpang primer, maupun rimpang sekunder.

6. Warna kulit rimpang diamati pada kulit rimpang yang telah dibersihkan dan kering udara.

7. Warna daging rimpang diamati dengan melakukan pemotongan rimpang primer secara cross section.

8. Kekasaran permukaan rimpang dilakukan dengan melakukan pengamatan permukaan rimpang.

(36)

Analisis Data

Data hasil pengamatan karakter kuantitatif diolah dengan menghitung rataan dan standar deviasi dari setiap peubah yang diamati, sedangkan data hasil pengamatan karakter kualitatif dijelaskan secara deskriptif.

Hasil dan Pembahasan

Tanaman dan rimpang temu ireng hasil eksplorasi dilakukan di pulau Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Rimpang temu ireng diperoleh dengan pengumpulan tanaman utuh atau pengumpulan rimpang. Rimpang hasil koleksi terdiri atas 10 aksesi, yang terdiri atas 5 aksesi yang berasal dari Jawa Barat (aksesi Cianjur, Bogor, Cirebon, Kuningan 1, dan Kuningan 2), 3 aksesi berasal dari pulau Sumatera dan kepulauan Riau (aksesi Liwa, Natar dan Riau), 1 aksesi dari Jawa Tengah (aksesi Kendal), dan 1 aksesi dari Jawa Timur (aksesi Malang). Aksesi Cianjur, Bogor, Cirebon, dan Kuningan 2 diperoleh dari pasar tradisional, sedangkan aksesi lainnya diperoleh dari petani dan warga yang menanam di ladang atau pekarangan (Tabel 3).

Karakterisasi rimpang dilakukan untuk memastikan rimpang hasil eksplorasi merupakan jenis temu ireng. Rimpang temu ireng utuh terdiri atas rimpang induk, rimpang primer, dan rimpang sekunder (Gambar 5), namun tidak semua aksesi temu ireng hasil ekplorasi memiliki bagian rimpang yang lengkap. Rimpang induk berukuran lebih besar mengerucut tempat menempelnya rimpang primer, sedangkan rimpang sekunder menempel pada rimpang primer. Pada aksesi Liwa dan Natar ditemukan sejumlah fleshy root pada rimpang (Gambar 6). Fleshy root adalah akar tanaman dari genus Curcuma yang mengalami pertambahan ukuran menjadi lebih besar yang memiliki fungsi penyerapan dan penyimpan cadangan makanan (Ravindran et al. 2007).

(37)

Gambar 6 Fleshy root pada rimpang temu ireng aksesi Natar (a), Liwa (b). Lingkaran merah menunjukkan bagian fleshy root

Tabel 3 Aksesi temu ireng hasil eksplorasi

Kode aksesi Asal aksesi Letak geografis Tipe iklim

Kuningan 1 Desa Cileuleuy Kec. Cigugur Kab. Kuningan

Malang Desa Turirejo Kec. Lawang Kab. Malang Jawa Timur

Cirebon Pasar Kanoman Kota Cirebon Jawa Barat 6°30’-7°00’ LS/

108°48’ BT

C

Kuningan 2 Pasar Kepuh Kab. Kuningan Jawa Barat 6°30’-7°00’ LS/

108°48’ BT

C

Kendal Desa Sukokarang Kec.Weleri Kab.Kendal Jawa Tengah

Keterangan : Tipe iklim mengacu kepada Schmidt dan Ferguson (1951)

(38)

Selain warna abu di dalam pengamatan rimpang temu ireng ditemukan warna kuning muda pada bagian innerside rimpang, sehingga pada pengamatan daging rimpang diketahui terdapat dua kombinasi warna daging rimpang temu ireng yaitu putih keabuan dan kuning keabuan (Gambar 7).

Gambar 7 Warna keabuan pada rimpang induk temu ireng aksesi Kendal (a), rimpang primer aksesi Kendal (b), tidak ditemukan warna keabuan pada fleshy root aksesi Natar (c), skala : 5 cm

Warna kulit rimpang temu ireng hasil eksplorasi memiliki warna yang berbeda, rimpang dengan warna kulit rimpang cokelat kekuningan meliputi aksesi Kuningan 1, Bogor, Liwa, Natar, kunyit, temulawak, dan temu putih. Warna kulit rimpang cokelat keabuan meliputi aksesi Cianjur, Malang, Cirebon, Kuningan 2, Kendal, dan Rimbo. Potongan melintang rimpang primer pada setiap aksesi temu ireng menunjukkan bahwa terdapat warna abu pada setiap rimpang dengan kekuatan warna abu yang berbeda-beda. Aksesi Kuningan 1, Bogor, Malang, Liwa dan Kendal menunjukkan warna keabuan yang begitu jelas dibandingkan dengan aksesi lainnya. Warna kuning pada bagian tengah diameter dapat dilihat pula pada aksesi Cianjur, Bogor, Malang, Liwa, Kendal, Cirebon, dan Rimbo, untuk aksesi Kuningan 2 dan Natar tidak terlihat begitu jelas (Tabel 4).

(39)

Tabel 4 Karakter kualitatif rimpang temu ireng hasil eksplorasi Aksesi Warna kulit rimpang Warna daging

rimpang Temulawak Cokelat kekuningan Kuning kecokelatan Halus Rapat Temu putih Cokelat kekuningan Putih kekuningan Halus Rapat

Rimpang temu ireng memiliki ukuran panjang rimpang induk berkisar antara 3.9 cm (aksesi Natar) hingga 8.0 cm (aksesi Cianjur) dengan ukuran diameter berkisar antara 3.4 cm (aksesi Rimbo) hingga 5.1 cm (aksesi Cianjur). Rimpang primer terpanjang sebesar 11.9 cm (aksesi Cianjur) sedangkan rimpang primer terpendek sebesar cm (aksesi). Jumlah mata tunas temu ireng terbanyak sebesar 40 mata tunas (aksesi Natar), sedangkan terendah sebanyak 10 mata tunas (aksesi Kuningan 1, Liwa, dan Rimbo) (Tabel 5).

(40)
(41)

Simpulan

(42)

4

ANALISIS KERAGAMAN BEBERAPA AKSESI TEMU

IRENG

( Curcuma aeruginosa

Roxb.)

Abstrak

Keberhasilan kegiatan pemuliaan tanaman ditentukan oleh sumber daya genetik yang dimiliki. Tanaman temu ireng hasil ekplorasi berasal dari tempat tumbuh yang berbeda, sehingga memiliki karakter fenotipik yang berbeda pula. Analisis keragaman diperlukan untuk mengetahui tingkat keragaman aksesi temu ireng hasil eksplorasi baik karakter morfologi, hasil, komponen hasil, dan kandungan senyawa fitokimia rimpang temu ireng. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi kekerabatan berdasarkan karakter morfologi bagian vegetatif, rimpang, dan kandungan senyawa fitokimia temu ireng. Percobaan disusun menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak dengan faktor tunggal, yaitu asal aksesi temu ireng dengan tiga ulangan. Karakterisasi aksesi temu ireng didasarkan pada deskriptor zingiber (UPOV), dan curcuma (BPPP, dan PV & FRA). Terdapat tiga kelompok besar aksesi temu ireng yaitu kelompok 1 terdiri atas aksesi Cianjur, Malang, Rimbo, Kendal; kelompok 2 terdiri atas aksesi Bogor, temulawak, kunyit, Natar, Liwa, dan temu putih; kelompok 3 terdiri atas aksesi Cirebon, Kuningan 1, dan Kuningan 2. Analisis komponen utama menghasilkan tiga komponen utama dengan proporsi keragaman sebesar 73.94%. Hasil pengujian fitokimia rimpang temu ireng mengandung senyawa kimia saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan quinon.

Kata kunci : karakter kualiatif, fiokimia, morfologi, dendogram.

Abstract

(43)

contained chemical compounds saponin, flavonoid, triterpenoid, steroid, and quinone.

Keywords : qualitative characters, phytochemistry, morphology, dendogram

Pendahuluan

Keragaman genetik antar individu dapat diduga dengan menggunakan penanda morfologi (Surahman et al. 2009). Pengamatan karakter morfologi tanaman merupakan determinasi yang sering digunakan untuk menilai sifat agronomi dan pengelompokan secara taksonomi berbagai tanaman (Ahmadi et al. 2015). Selain untuk pendugaan keragaman genetik penggunaan karakter morfologi juga dapat digunakan untuk mengkaji korelasi antara sifat morfologi dengan sifat penting agronomi lainnya (Talebi et al. 2008).

Pengamatan karakter morfologi merupakan upaya yang cukup efektif baik untuk pengelompokan secara taksonomi maupun penilaian sifat agronomi tanaman. Kajian keragaman genetik suatu tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan penanda morfologi yang meliputi karakter kualitatif dan kuantitatif. Dalam kegiatan identifikasi tanaman kegiatan karakterisasi pada tingkat morfologi juga diperlukan terutama untuk mengenali fenotipe dan perubahan terkait dengan lingkungannya sehingga akan dihasilkan informasi baik dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif yang akan digunakan dalam seleksi untuk menghasilkan varietas unggul (Kristamtini et al. 2014).

Seleksi tanaman obat tidak hanya dilakukan terhadap karakter morfologi maupun hasil saja, informasi kandungan bioaktif merupakan hal yang penting untuk dapat mengeksplorasi lebih lanjut senyawa bahan aktif tanaman obat (Ahmadi et al. 2015). Analisis fitokimia merupakan analisis yang digunakan untuk menduga secara kualitatif senyawa bioaktif hasil metabolisme sekunder pada tanaman. Penelitian fitokimia pada rimpang temu ireng menghasilkan tiga golongan sesquiterpen, yang diidentifikasi sebagai zedoarol, curcumenol, dan isocurcumenol (Sukari et al. 2007). Pengembangan varietas temu ireng masih terkendala kurangnya informasi baik karakter morfologi, hasil maupun komponen hasil. Oleh karena itu diperlukan penelitian analisis keragaman tanaman temu ireng yang dilakukan melalui karakterisasi morfologi dan senyawa fitokimia rimpang temu ireng sebagai langkah awal kegiatan seleksi tanaman temu ireng di Indonesia.

Bahan dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Desember 2014. Analisis pertumbuhan dan karakterisasi tanaman dilakukan di Kebun Percobaan Sukamantri (±540 m dpl) Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Analisis fitokimia dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB.

(44)

pembanding genus Curcuma (Tabel 6). Bahan yang digunakan meliputi pupuk kandang kambing, pupuk buatan (Urea, SP-36, dan KCl), bambu, polibag, dan bahan untuk uji fitokimia. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan tanam, jangka sorong, timbangan digital, meteran, kamera digital, dan alat tulis.

Tabel 6 Aksesi temu ireng dan tanaman pembanding koleksi Bagian Bioteknologi Tanaman AGH IPB

Nama aksesi Kode Asal aksesi

Curcuma aeruginosa

Kuningan 1 KNG1-JB Desa Cileuleuy Kec.Cigugur Kab. Kuningan Jawa Barat

Cianjur CNJ-JB Pasar Ramayana Kota Cianjur Jawa Barat Bogor BGR-JB Pasar Anyar Kota Bogor Jawa Barat

Malang MLG-JT Desa Turirejo Kec. Lawang Kab. Malang Jawa Timur Liwa LWA-LP Desa Sebarus Kec. Bukit Tinggi Kab. Liwa Lampung Cirebon CRB-JB Pasar Kanoman Kota Cirebon Jawa Barat

Kuningan 2 KNG2-JB Pasar Kepuh Kab. Kuningan Jawa Barat

Kendal KDL-JT Desa Sukokarang Kec. Weleri Kab. Kendal Jawa Tengah

Natar NTR-LP Desa Karang Sari Kec. Natar Kab. Lampung Selatan Lampung

Rimbo RMB-JM Desa. Karangdadi Kec. Rimbo Ilir Kab. Tebo Jambi

Tanaman pembanding Curcuma

Kunyit (C. longa) KYT-JB Kec. Nagrek Kabupaten Bandung Jawa Barat Temulawak

(C. xanthoriza) TML-SU Kota Tomohon Sulawesi Utara Temu putih

(C. zedoaria) TMP-JB Sukamantri Bogor Jawa Barat

Persiapan Bibit

Bibit (rimpang bertunas) yang digunakan adalah bibit yang berasal dari 10 aksesi yaitu Kuningan 1, Cianjur, Bogor, Malang, Liwa, Cirebon, Kuningan 2, Kendal, Natar, dan Rimbo. Digunakan pula tanaman pembanding yaitu kunyit (Curcuma longa L.) dari Bandung, temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.) dari Tomohon, dan temu putih (Curcuma zedoaria Roscoe.) dari Sukamantri. Persiapan propagula/bahan tanaman yang dilakukan adalah sortasi rimpang untuk memilih rimpang yang terbebas dari hama dan penyakit. Rimpang yang akan ditanam direndam dengan menggunakan larutan 2% (b/v) streptomisin sulfat dan 8% (b/v) mankozeb selama 12 jam, selanjutnya dilakukan penunasan rimpang yaitu dengan menyimpan rimpang di tempat yang gelap dengan media arang sekam sampai rimpang bertunas. Tunas yang telah bertunas dimasukan ke dalam polybag dengan media campuran tanah : pupuk kandang 1:1 (v/v). Penanaman temu ireng dapat menggunakan propagula yang berasal dari rimpang induk, rimpang primer ataupun rimpang sekunder.

Pengolahan dan Persiapan Lahan

(45)

tinggi 0.25-0.30 m (Djauharia dan Sufiani 2007). Sebanyak lima bibit ditanam dalam tiap bedengan dengan jarak tanam 0.5 m x 0.5 m dan jarak antar bedengan 0.5 m. Pupuk kandang kambing dengan dosis 20 ton/Ha disebarkan secara merata pada bedengan. Sebelum penanaman diberikan pupuk dasar anorganik dengan dosis 200 kg/ha urea, 200 kg/ha SP-36, dan 200 kg/ha KCl.

Pemeliharaan dan Pemupukan

Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, pembumbunan, dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan dengan membuang gulma. Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai dengan keperluan dengan cara menyemprot tanaman di lapang menggunakan pestisida. Pembumbunan tanah dilakukan bila terdapat banyak rimpang yang tumbuh tersumbul dari tanah. Saluran air diperdalam bila sudah dangkal agar tidak terjadi genangan air yang akan mengakibatkan busuk rimpang. Pemupukan dilakukan dengan memberikan pupuk urea pada saat tanaman berumur 1, 2, dan 3 bulan setelah tanam (BST) dengan dosis masing-masing sebesar 200 kg/ha. Dosis total pemupukan sebanyak 600 kg/ha.

Panen

Panen dilakukan setelah tanaman berumur 7-10 bulan setelah tanam. Panen dilakukan saat daun telah mengering dan luruh. Pada saat panen rimpang dibersihkan dari tanah. Setelah bersih rimpang disimpan/dihamparkan di atas rak dan disusun per aksesi.

Karakterisasi Tanaman

Karakterisasi mengacu pada Descriptor Zingiber (UPOV 1999) dan Curcuma (BPPP 2005; PPV & FRA 2007). Pengamatan yang dilakukan meliputi karakter kualitatif dan kuantitatif tanaman, kemudian dilakukan skoring untuk setiap peubah (Lampiran 1). Pengamatan dilakukan pada 5 BST dengan mengambil 5 tanaman pada setiap unit percobaan, meliputi :

1. Habitus batang semudibedakan menjadi rapat dan terbuka seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

2. Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah hingga daun tertinggi (cm). 3. Jumlah batang semu dihitung setiap bulan hingga perumbuhan maksimum. 4. Diameter batang semudiukur 5 cm diatas permukaan tanah (cm).

(46)

6. Warna antosianin batang semu diamati pada setiap batang semu per tanaman dilakukan pada ketinggian 15 cm di atas permukaan tanah. 7. Warna semburat ungu daun diamati pada ibu tulang daun pada setiap

aksesi yang dibedakan menjadi sangat jelas, jelas, kurang jelas, dan tidak jelas.

8. Panjang daun dihitung dari pangkal daun hingga ujung daun, daun pendek (< 30 cm), sedang (30-40 cm) dan panjang (>40 cm) seperti ditunjukkan pada Gambar 10.

9. Lebar daun diukur pada daun terlebar dibedakan menjadi daun sempit (<10 cm), sedang (10-15 cm), dan luas (>15 cm) seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

10.Bentuk tepi daun dilakukan pada daun terluas temu ireng, dapat dibedakan menjadi rata dan bergelombang seperti ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 10 Kategori panjang daun temu ireng pendek (a), sedang (b), dan panjang (c)

Gambar 11 Kategori lebar daun temu ireng, sempit (a), sedang (b), dan luas (c)

(47)

11.Intensitas hijau daun dibedakan menjadi hijau terang, sedang, dan gelap. 12.Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang telah terbuka sempurna pada

setiap tanaman dilakukan setiap satu bulan hingga pertumbuhan maksimum.

13.Posisi daun adalah sudut yang dibentuk antara daun dengan batang semu temu ireng dapat dibedakan menjadi tegak (<45o), semi tegak (45o-85o), dan horizontal (> 85o) seperti ditunjukkan pada Gambar 13.

14.Panjang petiole daun diukur pada daun yang telah terbuka (cm).

15.Tipe rimpang dibedakan menjadi tiga tipe yaitu tipe I, II, III, dan IV. Tipe IV merupakan penambahan tipe rimpang dengan bentuk rimpang primer yang memanjang seperti tipe III. Perbedaan antara tipe III dan IV adalah apabila tipe III arah rimpang primer memanjang secara horizontal, tipe IV arah rimpang primer memanjang secara vertikal seperti ditunjukkan pada Gambar 14.

16.Bobot panen rimpang adalah bobot rimpang yang diukur saat panen (g) 17.Bobot basah rimpang temu ireng adalah bobot rimpang yang diukur

setelah fleshy root dipisahkan (g).

18.Bobot kering simplisia adalah bobot rimpang yang telah dibuat simplisia dengan mengoven rimpang basah pada suhu 40-60 °C selama 3-4 hari (g). 19.Lebar arsitektur rimpang adalah ukuran lebar rimpang yang dihitung

secara vertikal (cm) seperti ditunjukkan pada Gambar 15a.

20.Panjang arsitektur rimpang adalah ukuran panjang rimpang yang dihitung secara horizontal (cm) seperti ditunjukkan pada Gambar 15b.

Gambar 13 Kategori posisi daun tegak temu ireng (a), semi tegak (b), dan horizontal (c)

(48)

Gambar 15 Arsitektur rimpang temu ireng, panjang rimpang (a), lebar rimpang (b)

21.Kekasaran permukaan rimpang dilakukan dengan melakukan pengamatan permukaan rimpang.

22.Jumlah rimpang induk dihitung pada setiap rimpang panen, dibedakan menjadi satu, dua-tiga dan lebih dari tiga seperti ditunjukkan pada Gambar 16.

23.Jarak antar buku rimpang dapat dibedakan menjadi rapat (< 1 cm) dan renggang (> 1 cm) seperti ditunjukkan pada Gambar 17.

24.Warna kulit rimpang dapat dibedakan menjadi cokelat kekuningan dan cokelat keabuan.

25.Keberadaan rimpang tersier dibedakan menjadi ada dan tidak ada.

Gambar 16 Kategori jumlah rimpang induk temu ireng, satu (a) dua-tiga (b) lebih dari tiga (c)

(49)

26.Warna daging rimpang rimpang dibedakan menjadi putih kekuningan, putih keabuan, kuning keabuan, kuning kecokelatan, dan kuning kemerahan.

27.Jumlah fleshy root rimpang dihitung saat panen dibedakan menjadi sedikit, sedang, dan banyak.

28.Potensi hasil diperoleh dengan cara mengalikan bobot per tanaman dengan populasi tanaman per hektar dikali 80% (ton/Ha).

29.Prediksi hasil diperoleh dengan cara mengalikan bobot hasil panen tanaman per plot dikalikan dengan luas lahan 1 Ha berbanding dengan luas lahan plot (ton/Ha).

Analisis Fitokimia Rimpang Temu Ireng

Rimpang temu ireng, kunyit, temulawak, dan temu putih hasil panen dibersihkan kemudian dikeringudarakan. Rimpang kering diiris dan ditumbuk dengan menggunakan alu kemudian ditambahkan larutan uji fitokimia. Uji fitokimia dilakukan di Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. Analsis fitokimia dilakukan mengacu pada Wagner et al.(1984) dan Harborne (1987) yang telah menggunakan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendroff, Meyer dan Wegner. Hasil positif apabila terbentuk endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer, endapan kecokelatan dengan pereaksi Wagner, dan endapan mereh dengan menggunakan pereaksi Dragendroff. Sebagai standar digunakan sampel daun tapak dara (Lampiran 3).

2. Flavonoid, saponin, dan tanin

Sebanyak 5 g serbuk rimpang ditambahkan aquades dan dipanaskan selama 5 menit kemudian disaring. Filtrat hasil saringan digunakan sebagai bahan uji pada senyawa flavonoid, saponin, dan tanin. Pengujian flavonoid dilakukan dengan menambahkan serbuk Mg, HCl : etanol (1:1) v/v, dan amil alkohol. Senyawa flavonoid dapat teridentifikasi positif apabila terdapat warna jingga. Pengujian senyawa saponin dilakukan dengan mengocok filtrat dan dilakukan pengamatan terhadap buih sabun. Apabila buih sabun muncul setelah pengocokan maka dapat teridentifikasi positif senyawa saponin pada sampel. Pengujian tanin dilakukan dengan menambahkan filtrat dengan 3 tetes FeCl3 10% (b/v), senyawa tanin dapat teridentifikasi apabila terdapat warna hitam kehijauan (Lampiran 4). 3. Triterpenoid dan steroid

(50)

senyawa steroid dapat teridentifikasi dengan penampakan warna hijau/biru (Lampiran 5).

Analisis Data

Percobaan ini disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan faktor tunggal yaitu asal aksesi temu ireng. Terdapat sejumlah 10 aksesi temu ireng dan 3 tanaman pembanding yang digunakan dengan ulangan sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 39 satuan percobaan. Setiap ulangan terdiri atas 5 tanaman, jumlah tanaman yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 195 tanaman. Model matematika disajikan di bawah ini (Gomez dan Gomez 2007) :

Yij = µ + αi+ εik, dimana i : 1, 2, ...,13. Yij : Nilai pengamatan pada aksesi ke-i kelompok ke-j µ : Nilai rataan pengamatan

αi : Pengaruh asalaksesi ke-i

εij, : Pengaruh acak dari aksesi ke-i, dan ulangan ke-k.

Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) untuk mengetahui pengaruh antar pelakuan. Perlakuan yang berpengaruh nyata kemudian diuji lanjut menggunakan Duncan’s multiple range test (DMRT) dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis data menggunakan program SAS versi 9.1. Analisis Kruskall Wallis dilakukan untuk menganalisis pengaruh aksesi terhadap karakter kualitatif tanaman, sedangkan analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui tingkat kontribusi parameter yang digunakan. Hasil analisis disajikan dalam bentuk dendogram. Data analisis fitokimia dilakukan dengan metode kualitatif.

Hasil dan Pembahasan

Kondisi Umum

(51)

Gambar 18 Serangan hama pada tanaman temu ireng di KP Sukamantri, ulat (a), dan belalang (b)

Karakter Morfologi Tanaman Temu Ireng

Setiap aksesi temu ireng memiliki karakter yang berbeda-beda, baik dari karakter kualitatif maupun kuantitatif yang dapat diamati melalui keragaan tanaman temu ireng (Gambar 19). Selain menggunakan 10 aksesi temu ireng, ditanam pula tanaman pembanding genus Curcuma yaitu temulawak, kunyit, dan temu putih. Analisis keragaman plasma nutfah dilakukan dengan penanda morfologis, biokimia dan molekuler (Surahman et al. 2009). Walaupun karakter morfologi tidak selalu mencerminkan sifat genetik sesungguhnya karena ditentukan pula oleh faktor lingkungan dan interaksinya, namun telah banyak menghasilkan kultivar unggul bagi masyarakat (Kristamtini et al. 2014). Perbedaan karakter morfologi yang dimiliki oleh setiap aksesi merupakan bekal awal dalam melakukan kegiatan seleksi tanaman dalam kegiatan pemuliaan (Surahman et al. 2009).

Gambar

Tabel 1 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
Tabel 2 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat
Tabel 2 Penelitian kultur in vitro genus Curcuma dengan penambahan zat pengatur tumbuh  benzil adenin (BA) (lanjutan)
Tabel 3 Aksesi temu ireng hasil eksplorasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peserta didik mendengarkan dan menanggapi cerita guru tentang manfaat belajar menentukan jarak dua buah titik dalam bidang kartesius dalam kehidupan sehari-hari;..

Setelah mengalami proses internalisasi dan objektifikasi, barulah subjek berada pada taham eksternalisasi yakni tahap di mana subjek keluar dari pemahaman awal

Allah memerintahkan kepada kita dalam setiap rakaat shalat untuk selalu memohon kepada- Nya hidayah ke jalan yang lurus di dalam surah al-Fatihah yang merupakan surah yang paling

Melalui cara dengan mengintegrasikan kemampuan teknik personal , formalisasi pengembangan sistem informasi, program pelatihan dan pendidikan, dukungan manajemen

Persentase jumlah ikan dengan ukuran panjang yang lebih kecil dari panjang saat pertama kali memijah ( length at first maturity ) untuk jenis ikan yang tertangkap

Konsep Islam berbeda secara mendasar dengan ajaran welfare state , dimana sistem Islam dalam tujuannya adalah untuk mengemplementasikan kesejahteraan material dan spritual

Posebno je opisan utjecaj provođenja topline kroz tijelo termometra, utjecaj izmjene topline termometra konvekcijom i utjecaj izmjene topline zračenjem termometra s okolinom na

Untuk data-data curah hujan, salju, debit sungai, dan suhu termasuk sebagai data spasial yang merupakan data multivariat karena diamati pada beberapa lokasi, oleh