I.1 Latar Belakang
Sebagai suatu ekosistem, hutan memiliki peranan penting dalam menjaga
keseimbangan lingkungan. Saat ini, fungsi tersebut menjadi semakin penting tatkala
dunia dihadapkan pada masalah perubahan iklim global (
global climate change
). Seperti
dikemukan Murray et al (2000), ekosistem hutan dapat berfungsi sebagai penyerap
gas-gas rumah kaca dengan cara mentransformasi karbondioksida (CO
2) dari udara menjadi
simpanan karbon (C) yang tersimpan dalam komponen-komponen ekosistem hutan
seperti pohon, tumbuhan bawah dan tanah.
Isu tentang emisi karbon (
carbon emission
) yang semakin mengemuka membuat
para pengelola hutan harus lebih bijaksana didalam mengelola hutan. Salah satu
sumberdaya hutan yang dapat diandalkan sebagai sumber penyerap karbon adalah hutan
tanaman mangium (
Acacia mangium
Willd), karena jenis ini merupakan jenis cepat
tumbuh (
fast growing spesies
), memiliki daur pendek (6-8 tahun) dan banyak ditanam
sebagai tanaman pokok di beberapa wilayah Perum Perhutani di pulau Jawa dan sebagai
hutan tanaman indutri (HTI) di luar Pulau Jawa.
Pengelolaan sumber daya hutan yang tidak lestari, perubahan penutupan lahan
dan penggunaan lahan, laju deforestasi yang tinggi, praktek-praktek pembalakan tidak
terkendali, dan kebakaran hutan, telah banyak mengakibatkan penurunan biomassa di
hutan secara terus-menerus. Biomassa yang keluar dari hutan sering tidak seimbang
dengan penambahan biomassa hutan di dalam hutan. Biomassa hutan memiliki
kandungan karbon yang cukup potensial yaitu hampir 50 % dari biomassa vegetasi hutan
tersusun atas unsur karbon.
Kesuburan tanah dan unsur hara yang semakin menurun akibat eksploitasi
biomassa yang berlebihan didalam kegiatan pemanenan hutan merupakan ancaman serius
bagi kelestarian ekosistem hutan. Kegiatan pemanenan yang kurang efektif dan efisien
serta tanpa memperhatikan kelestarian hutan akan mengakibatkan limbah eksploitasi
kayu-kayu yang ditebang ditinggalkan di dalam hutan sebagai limbah akibat pemanenan kayu-kayu
dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keadaan ini cukup memprihatinkan, karena di satu
pihak kebutuhan kayu terus meningkat dan dilain pihak terjadi pemborosan kayu yang
cukup besar.
Dari semua kegiatan yang terdapat dalam pemanenan hutan, kegiatan penebangan
merupakan kegiatan yang paling banyak menghasilkan limbah. Menurut Rishadi (2004),
besarnya persentase limbah pemanenan kayu di HTI Pulp adalah sebesar 3,87% dari total
potensi kayu yang dipanen, terdiri dari kegiatan penebangan sebesar 2,54%, penyaradan
sebesar 0,30%, limbah tempat penimbunan kayu (TPn) sebesar 0,89% dan limbah pada
kegiatan pengangkutan sebesar 0,14%.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa
limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan di PT. INHUTANI II, Sub-Unit HTI
kayu pulp Semaras untuk jenis
Acacia mangium
adalah sebesar 23,268 %.
Limbah ini
terdiri atas limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah
potongan pendek. Limbah ini tidak dimanfaatkan kembali tetapi dibiarkan di lokasi
penebangan kayu. Limbah ini tidak dikeluarkan oleh perusahaan yang mengelola hutan
dengan alasan memerlukan biaya yang cukup tinggi.
Berdasarkan informasi tersebut di muka, perlu dilakukan penelitian tentang
potensi volume pemanenan, volume limbah dan potensi karbon agar dapat diketahui
potensi limbah kayu dan potensi kandungan karbon hutan tanaman
Acacia mangium
.
I.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui kadar karbon dalam biomassa pohon pada tegakan
Acacia
mangium
.
2.
Untuk mengetahui besar potensi volume limbah pemanenan kayu pada tegakan
Acacia mangium.
2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya
Saat ini, kondisi hutan alam tropis di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang
disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980-1990 laju
kerusakan hutan mencapai 1,7 hektar per tahun yang kemudian meningkat menjadi 2
hektar pertahun setelah tahun 1996 (FWI/GFW,2002). Hal ini membawa konsekuensi
akan perlunya upaya rehabilitasi hutan. Selain itu, diperlukan paradigma baru dalam
pengelolaan hutan yang tidak hanya berorientasi pada kayu sebagai produk utama,
melainkan juga pada produk-produk non kayu seperti potensi simpanan karbon.
Seperti yang dikemukan Suhendang (2002), sumberdaya hutan di Indonesia
memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati (
biodiversity
) dan potensi
penyerapan karbon. Menurut Suhendang (2002) memperkirakan bahwa hutan Indonesia
yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sekitar
15,05 milyar ton karbon. Besarnya potensi hutan sebagai penyerap dan penyimpanan
karbon tersebut, memberikan peluang besar kepada Indonesia untuk terlibat dalam
mekanisme perdagangan karbon yang digagas dunia Internasional sejak disetujuinya
Protokol Kyoto pada tahun 1997.
2.2 Hutan
Acacia mangium
Acacia mangium
ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653
sewaktu mempelajari tumbuh-tumbuhan di kepulauan Maluku. Hasilnya baru
duplikasikan pada tahun 1750 (Adisubroto
et.al
1985).
Acacia mangium
merupakan salah
satu famili
Leguminosae
yang sebagian perawakannya berupa pohon atau perdu. Pohon
Acacia mangium
bisa mencapai tinggi 30 m dan diameter 90 cm dengan batang bebas
cabang antara 0-15 m (Departemen Kehutanan 1992).
Acacia mangium
memiliki berat
jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III.(Mandang dan
Pandit 2002).
terpilih untuk dikembangkan, mempunyai kemampuan tumbuh cepat pada lahan yang
tersedia dan manfaat yang diberikan jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang
menguntungkan. Sebagai salah satu jenis yang terpilih untuk dikembangkan dalam
kegiatan reboisasi dan pembangunan HTI, keberhasilan tegakan ini untuk dapat tumbuh
baik di lapangan sangat ditentukan oleh mutu bibit yang dihasilkan dari persemaian. Oleh
karena itu pengelolaan persemaian sekaligus pencegahan hama dan penyakit haruslah
sangat diperhatikan. Hal ini disebabkan semakin meluas hutan tanaman
Acacia mangium
yang cenderung bersifat monokultur dapat berisiko tinggi terserang penyakit. Jenis
tegakan
Acacia mangium
ini mudah terserang rayap, penyakit
dumping-off
dan penyakit
embun tepung (
Downy mildew
) (Departemen Kehutanan 2001).
2.3 Pemanenan Kayu
Pemanenan kayu dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan
yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke
lokasi lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat ( Suparto 1979).
Conway (1982) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian
kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan
atau pengolahan kayu.
Kegiatan pemanenan kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:
1.
Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta memotong
kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.
2.
Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ketepi
jalan angkutan.
3.
Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ketempat
penimbunan atau pengolahan kayu.
Menurut Elias (2002), sistem pemanenan kayu dapat dikelompokkan :
a. Berdasarkan energi yang dipakai :
- sistem manual
- sistem semi mekanis
- sistem mekanis
b. Berdasarkan peralatan yang dipakai :
- sistem traktor
- sistem kabel
- sistem aerial (balon dan helikopter)
- sistem gravitasi
- sistem penarikan dan pemikulan kayu oleh manusia
- sistem penarikan dengan tenaga hewan
c. Berdasarkan bentuk dan ukuran kayu yang dihasilkan :
-
Full tree system
-
Tree length system
-
Long wood system
-
Short wood system
-
Pulp wood system
-
Chips wood system
-
Cut to length system
d. Berdasarkan sistem silvikultur yang dipakai :
- Sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI)
- Sistem Tebang Pilih Tanaman Jalur (TPTJ)
- Sistem Tebang Habis Pemudaan Alam (THPA)
- Sistem Tebang Habis Pemudaan Buatan (THPB)
e. Berdasarkan mobilitas peralatan pemanenan.
Sistem pemanenan hasil hutan ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi tiga macam :
1. Sistem manual
2. Sistem semi-mekanis
Dalam sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian
batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis.
3. Sistem mekanis penuh
Sistem mekanis penuh berarti sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan
ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara
mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar
seperti HTI, dimana target produksi pemanenan kayu sebagai pemasok bahan baku
setiap industri pulp and paper dapat mencapai jutaan meter kubik pertahunnya. Dalam
merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu di HTI selain aspek teknis,
sosial-ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan
lapangan kerja baru (Elias 2002).
2.4 Limbah
Menurut Massijaya (1998), limbah kayu dapat dibedakan menjadi dua
berdasarkan lokasi terjadinya limbah, limbah pemanenan kayu yang berada di hutan dan
limbah pengolahan kayu yang berada di lokasi industri pengolahan kayu. Limbah
pemanenan kayu merupakan massa kayu yang tidak dimanfaatkan sebagai akibat dari
kegiatan pemanenan di hutan alam, dapat berupa jenis – jenis kayu non komersil/ tidak
termasuk kayu mewah, kayu dekoratif dengan penggunaan tertentu, kayu bulat dengan
diameter kurang dari 30 cm tanpa batasan panjang, dan kayu bulat dengan panjang
kurang dari 2 meter tanpa batasan diameter.
Meulenhoff (1972) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan limbah eksploitasi
adalah sisa primer yang ditinggalkan dalam hutan sebagai akibat kegiatan eksploitasi.
Limbah ini bisa terdiri dari:
a.
Tunggak – tunggak yang berbanir atau tidak berbanir.
b.
Ujung pohon atau bagian pohon di atas batang bebas cabang termasuk cabang atau
ranting.
d.
Kayu bulat yang tidak memenuhi syarat pengujian kayu karena cacat, bengkok, dan
pecah.
e.
Pohon-pohon belum dikenal atau belum ada pemasarannya (non komersil).
f.
Pohon-pohon lain yang rusak akibat kegiatan penebangan.
Kegiatan penebangan ini meninggalkan banyak limbah yang meliputi limbah
tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah potongan pendek
.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa limbah
yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan adalah sebesar 23,268%.
Jika ditinjau dari asal
limbah maka untuk limbah cabang dan ranting merupakan asal limbah yang paling besar
(13,115%) sedangkan asal limbah paling kecil adalah potongan pendek (1,493%).
Menurut
Darusman
(1989),
telah
banyak ditelaah hal-hal yang dapat
menyebabkan terjadinya limbah. Beberapa pakar eksploitasi mengemukakan bahwa
limbah kayu di areal penebangan terutama terjadi karena cara pengerjaan yang kurang
memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang
baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Disamping itu ada
faktor-faktor alami yang dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya limbah kayu di areal
penebangan, yakni topografi berat, musim hujan dan lain-lain.
2.5 Biomassa
Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan
organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama
yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari
biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk
respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah
pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon
dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida (CO
2)
apabila hutan tersebut dibakar.
waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan
hutan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa vegetasi dapat menyediakan informasi
tentang simpanan karbon dan nutrisi di dalam vegetasi.
Model persamaan allometrik penduga biomassa tegakan telah dikembangkan oleh
Brown (1997) dalam berbagai jenis hutan yang dikelompokkan berdasarkan curah hujan
(Tabel 1). Persamaan yang dikembangkan menggunakan parameter diameter yang diukur
setinggi dada orang normal atau dbh (1,3 m) dan tinggi total. Penyusunan model
allometrik biomassa tegakan juga telah dilakukan Ogawa
et al
(1965) yang menghasilkan
persamaan: Ws = 0,0396 ( D²H)
0, 6326yang berlaku untuk Ws = biomassa batang, D =
diameter dan H = tinggi
Tabel 1. Persamaan allometrik penduga biomassa tegakan
Sumber : Brown (1997)
Menurut Chapman (1976) dalam Sumanti (2003), secara garis besar metode
pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara,
yaitu :
a. Metode Pendugaan Langsung
1. Metode Pemanenan Suatu Tegakan
Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas
dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa yang diperoleh dengan menjumlahkan
biomassa seluruh tegakan dalam suatu unit area sampel
2. Metode Pemanenan Kuadrat.
No
Tempat tumbuh
Curah Hujan
(mm/th)
Persamaan
Range
DBH
(cm)
Jumlah
sampel
pohon
R
21
Kering
(< 1500 )
Y = 0,1329D²·³²
5 - 40
28
0,89
Y = 42,69 – 12,8D + 1,242D
25-
148
170 0,84
2
Lembab
(1500 - 4000)
Y = 0,118D²·³¹
5- 148
170
0,97
Metode ini mengharuskan memanen semua tegakan dalam suatu unit area sampel dan
menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan
organik tegakan yang dipanen di dalam suatu unit area sampel.
3. Metode Pemanenan Tegakan yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Rata-rata.
Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran seragam. Dalam metode untuk
tegakan yang ditebang ditentukan rata-rata diameternya lalu ditimbang beratnya. Nilai
total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari semua
tegakan sampel.
b. Metode Pendugaan Tidak Langsung
1. Metode hubungan allometrik
Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi
pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon
yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditumbangkan. Nilai total
biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit
area tertentu.
2. Metode Crop Meter
Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan
elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak
tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan
memperhatikan
alectrical capacitance
yang dihasilkan alat tersebut.
Adinugroho dan Sidiyasa (2006) mengelompokkan komponen-komponen
penyusun biomassa pohon di atas permukaan tanah sebagai berikut :
a.
biomassa batang utama + kulit
b.
biomassa cabang
c.
biomassa ranting
d.
biomassa daun
e.
biomassa tunggak
Untuk pengukuran biomassa daun, ranting dan cabang tidak beraturan dilakukan dengan
cara penimbangan secara langsung.
2.6 Kerapatan Kayu (
Wood Density
)
Kerapatan
kayu
merupakan
perbandingan massa kayu kering oven (gr) dengan
volumenya (cm
3) (Haygreen dan Bowyer 1996). Brown (1997) juga menegaskan bahwa
kerapatan kayu merupakan massa kayu kering oven per satuan volume (ton/m
3atau
gram/cm
3). Sedangkan berat jenis erat kaitannya dengan kerapatan kayu, dimana berat
jenis diperoleh dengan membagi nilai kerapatan kayu dengan kerapatan air ( 1 gr/cm
3)
sehingga berat jenis tidak mempuyai satuan (Haygreen dan Bowyer 1996).
Berat jenis kering udara bagi suatu tempat tertentu bersifat agak tetap. Di
Indonesia umumnya kayu yang diperdagangkan bersifat sangat basah. Pada keadaan
pengarangan yang sama kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih tinggi akan memberi
arang kayu yang lebih keras dan lebih berat pada tiap kesatuan isi dari pada kayu-kayu
dengan berat jenis yang lebih rendah (Seng 1990).
2.7 Karbon
Umumnya kandungan karbon dalam hutan berkisar antara 45-50% dari biomassa
dari vegetasi hutan (Brown, 1997). Sehingga untuk perhitungan karbon dari hasil
perhitungan biomassa tersebut dikonversi bentuk C (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan
faktor konversi sebesar 0,5 (Handayani, 2002). Kandungan karbon dalam hutan dapat
diduga dengan menggunakan rumus C=B X 0,5
Dimana : C= Jumlah stok karbon (ton/ha)
B= Biomassa diatas tanah
Tahapan penentuan kandungan karbon dari sampel tegakan adalah sebagai berikut :
1. Menghitung kandungan karbon per pohon dengan mengunakan rumus: C= B
X0,5
2. Hasil dari perhitugan kandungan karbon perpohon dikalikan dengan jumlah individu
per ha maka diperoleh kandungan karbon per ha.
CO
2= C
X3,67
Dimana : CO
2= Kandungan karbondioksida (ton/ha)
C = Kandungan karbon (ton/ha)
2.8 Kadar Abu
Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang
tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium
dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium,
kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan
oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak
sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi,1990).
Menurut Haygreen& Bowyer (1982) kayu mengandung senyawa organik yang tetap
tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu
semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak
terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium ,kalium ,magnesium ,mangan dan
silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung
terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu.
2.9 Kadar Zat Terbang
3.1 Waktu dan tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 di petak 37 f RPH Maribaya, BKPH
Parungpanjang, KPH Bogor. Dan selanjutnya pengujian sampel dilakukan di
Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan,
Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan bahan
Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, tally sheet, haga
hypsometer, alat tulis, cat warna (penanda pohon), timbangan, karung, kalkulator, cawan
porselen oven tanur listrik, alat penggiling (
willey mill
), alat saring (
mesh screen
) ukuran
40-60 mesh dan kamera. Sedangkan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini berupa
tegakan mangium (
Acacia mangium
willd) yang sedang dipanen dan kayu hasil tebangan
pada blok tebangan tersebut.
3.3 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu: .
1. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh dari perusahaan
a.
Peta lokasi penelitian.
b.
Keadaaan lapangan yang meliputi topografi, tanah, geologi dan iklim.
c.
Keadaan hutan yang meliputi tipe hutan dan potensi hutan.
d.
Pengusahaan hutan yang meliputi sistem pemanenan, volume produksi dan jenis
pohon yang dipanen.
2. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di
lapangan yang terdiri dari:
a.
Pengambilan data di lakukan dari 4 sample plot seluas masing – masing 50x50
m². Penentuan sample plot di lakukan dengan cara random.
3.4 Metoda Pengumpulan Data
Untuk pohon yang ditebang/rebah pengumpulan data sebagai berikut :
a.
Batang dan cabang beraturan dibagi kedalam seksi-seksi, diukur diameter pangkal
dan ujung.
b.
Menimbang berat basah daun.
c.
Menimbang ranting, cabang, dan batang yang tidak beraturan.
d.
Bagian tunggak diukur keliling pangkal, ujung dan tinggi tunggak dengan
menggunakan pita ukur.
e.
Untuk menentukan kerapatan kayu diambil contoh pada :
1. Bagian batang
2. Bagian cabang beraturan
3. Bagian tunggak
Pengambilan contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm masing – masing
sebanyak 4 ulangan pada pohon yang berbeda sehingga jumlah sampel (n) 12
buah. Setiap contoh uji di oven (105 °C ) kemudian diukur volume dan
beratnya pada saat kering tanur
f.
Untuk menentukan perhitungan berat kering dan kandungan karbon pada
1.
daun
2.
cabang tidak beraturan
3.
cabang beraturan
4.
batang utama
5.
tunggak
Diambil contoh pada setiap komponen pohon masing-masing sebanyak 4 ulangan
pada pohon yang berbeda, sehingga jumlah seluruhnya ada 20 buah.
3.5 Pengolahan Data
1.
Perhitungan potensi volume pemanenan dilakukan dengan menggunakan rumus
Brereton :
V = ¼
π
{( Du+Dp) / 2 }/100 }² x L
Du = Diameter ujung (cm)
L = Panjang (m)
2.
Volume limbah pemanenan kayu
Untuk menentukan volume kayu limbah pemanenan akan di pergunakan rumus
Brereton.Volume limbah pemanenan kayu adalah jumlah volume semua batang
atau pohon yang menjadi limbah dalam petak tebangan tersebut. Volume limbah
kayu per hektar merupakan jumlah volume limbah dari kayu di tebang (berupa
tunggak, batang bebas cabang, batang dari cabang dengan diameter 10 cm keatas).
3.
Perhitungan kerapatan kayu
Kerapatan kayu (R) pada bagian batang, cabang beraturan dan tunggak diperoleh
dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Haygreen dan Bowyer,1989).
R= massa / volume (gr/cm³)
4.
Perhitungan biomassa dengan pendekatan volume
Perhitungan biomassa yang menggunakan pendekatan volume diperoleh dengan
mengalikan setiap bagian pohon (cabang beraturan, batang, tunggak) dengan nilai
kerapatan kayu pada bagian pohon tersebut.
5.
Perhitungan Kadar Air
Kadar air diperoleh dari nilai rata-rata KA contoh sebanyak 4 ulangan. Pada
setiap bagian pohon yang diambil dihitung dengan rumus (Haygreen dan
Bowyer,1989).
KA = BBc – BKc x 100%
BKc
Dimana :
KA = Persen kadar air (%)
6.
Menghitung Berat kering
Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), berat kering yang dihasilkan dari
pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke
kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa diatas permukaan tanah. Berat
kering setiap bagian pohon (batang utama, daun, cabang tidak beraturan, cabang
beraturan dan tunggak) dapat juga diketahui setelah pegovenan. Apabla berat
basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji maka berat
kering dari masing-masing sample dapat diketahui dengan rumus :
Dimana :
BK = Berat kering (kg)
BB = Berat basah (kg)
KA = Persen kadar air (%)
Berat kering yang dihasilkan dari pengovenan dinyatakan dalam satuan gram
yang kemudian dikonversi ke kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa
diatas permukaan tanah
Nilai kerapatan kayu yang diperoleh bila dibandingkan dengan kerapatan air akan
menghasilkan berat jenis kayu tersebut. Adapun besar kerapatan air adalah 1
gr/cm³.
Berat jenis kayu = Kerapatan kayu
Kerapatan air
7.
Penentuan Kadar Zat Terbang
Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk
air dengan menggunakan energi panas. Prosedur penentuan zat terbang yang
digunakan adalah
American Socety for Testing Material
(ASTM.1990b) D 5832-98
adalah sebagai berikut :
1. Cawan porselen diisi contoh uji berupa serbuk sebanyak ± 2 gr, kemudian cawan
ditutup rapat dengan penutupnya.
2. Contoh uji dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 950°C selama 2 menit.
Kemudian cawan berisi contoh uji tersebut didinginkan dalam desikator dan
selanjutnya ditimbang.
Kadar zar terbang dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut:
Kadar Zat Terbang = Kehilangan Berat Contoh X 100 %
Berat Contoh Uji Bebas Air
8.
Penentuan Kadar Abu
Prinsip penentapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal dengan
membakar serbuk menjadi abu dengan mengunakan energi panas. Prosedur yang
digunakan berdasarkan ASTM.1990a D 2866-94 adalah sebagai berikut :
1.
Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan kedalam tanur listrik
bersuhu 750 °C selama 6 jam.
2.
Selanjutnya didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang untuk
diketahui beratnya.
Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :
Kadar Abu = Berat Sisa Contoh Uji X 100%
Berat Contoh Uji Bebas Air
9.
Penentuan Kadar Karbon
Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah kadar karbon tetap bahan yang telah
diarangkan. Penentuan kadar karbon tetap yang digunakan adalah berdasarkan
Standar Nasional Indonesia. (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut :
10.
Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah :
1.
Analisis statistik deskriptif atau penyajian dalam bentuk gambar (histogram,
diagram batang dan lain-lain). Menurut Hasan (2001) statistik deskriptif adalah
bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data serta
menguraikan keterangan-keterangan mengenai suatu sumber data sehingga mudah
dipahami.
2.
Untuk mengetahui perbedaan kadar karbon tetap (
fixed carbon
) antar bagian
pohon dilakukan analisis statistik yaitu uji beda nilai tengah menggunakan uji t.
Adapun parameter yang diuji adalah :
a.
Perbedaan kadar karbon tetap rata-rata setiap bagian pohon yaitu pada bagian
batang, cabang beraturan, cabang tidak beraturan, ranting dan daun.
b.
Perbedaan kadar karbon pada tiap jenis pohon berdasarkan berat jenisnya (BJ).
Rumus yang digunakan adalah (Walpole 1995) :
t hitung =
dimana :
t hitung =
Beda nilai tengah
=
Rataan kadar karbon bagian pohon ke-1
=
Rataan kadar karbon bagian pohon ke-2
d°
=
Selisih nilai beda tengah populasi = 0
S²1
=
Ragam bagian pohon ke-1
S²2
=
Ragam bagian pohon ke-2
n
¹
=
Jumlah contoh bagian pohon ke-1
4.1. Letak Geografis dan Keadaan Umum
Wilayah BKPH Parungpanjang terbagi dalam tiga Resort Pemangkuan Hutan
(RPH), secara administratif kawasan hutan tersebar di tiga wilayah kecamatan yaitu
Kecamatan Tenjo, Parungpanjang dan Jasinga.
Secara geografis BKPH Parungpanjang terletak di
106°13’25’’-106°22’23’’BT dan 06°21’00’’-06°26’59’’LS, dengan ketinggian berkisar antara 75–
323 m dpl, jenis tanahnya adalah Podsolik haplik, tingkat kesuburan tanah sampai
dengan sangat rendah, Curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun, Suhu antara 18°-
25,5°C. Secara fisiografis termasuk dataran dengan kelerengan bervariasi antara 0-8
%.
Wilayah BKPH Parungpanjang memiliki luas 5. 397, 24 ha yang terbagi ke
dalam tiga Resort dengan luas masing-masing :
-
RPH Tenjo
: 1. 532, 83 ha
-
RPH Maribaya
: 2. 104, 44 ha
-
RPH Jagabaya
: 1. 705, 63 ha
Secara keseluruhan ketiga resort tersebut berbatasan dengan :
-
Sebelah Utara dengan Kabupaten Tangerang
-
Sebelah Selatan dengan Kecamatan Jasinga
-
Sebelah Barat dengan Kabupaten Tangerang
-
Sebelah Timur dengan Kecamatan Leuwiliang
Wilayah KPH Bogor termasuk ke dalam wilayah DAS Ciliwung-Cisadane,
sedangkan kawasan Kelas Perusahaan
Acacia mangium
di KPH Bogor termasuk
dalam wilayah DAS Cidurian.
4.2 Potensi Sumberdaya Hutan
Tabel 1. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005 -2010
No Kelas Hutan Luas (ha)
I PRODUKTIF KU X KU IX KU VIII KU VII KU VI KU V KU IV KU III KU II KU I 107.15 241.35 400.09 261.51 127.33 425.48 212.24 311.69 414.73 403.86
Jumlah KU 2.905,45
Masak Tebang Miskin Riap
5.84 8.32
Jumlah MT + MR 14.16
Jumlah Produktif 2.919,58
II TIDAK PRODUKTIF
LTJL(Lapangan Tebang Jangka Lampau) TK (Tanah Kosong)
TKL(Tanaman Kayu Lain) HAKL (Hutan Alam Kayu Lain) TAMBK HAMBK 287.19 666.36 104.78 2.96 674.68 -
Jumlah I + II 4.655,55
III TBPTH ( Tak Baik Untuk Produksi Tebang Habis) -
IV Tak baik untuk Acacia mangium -
V TJKL (Tebang Jalur Kayu Lain) -
VI Bukan untuk Produksi
TBP (Kawasan Hutan Tak Baik Untuk Penghasilan) LDTI (Lapangan Dengan Tujuan Istimewa)
SA / HW (Suaka Alam/ Hutan Wisata) HL (Hutan Lindung)
144.23 597.46
- -
Jumlah IV 741.69
Jumlah I s.d VI 5.397,24
*Sumber : RPKH 2005 – 2010
4.3 Sosial Ekonomi
adanya kegiatan tebang habis selain masyarakat desa hutan berperan aktif
mendapatkan penghasilan langsung, lokasi bekas tebangan dapat dijadikan lahan
garapan bagi masyarakat dengan bertumpangsari melalui sistem PHBM.
Kegiatan tumpangsari sejak lima tahun terakhir dapat membantu masyarakat
sekitar hutan untuk mencukupi kehidupannya, kecuali pada tahun 2003 dan 2004
karena diberlakukannya
moratorium logging
sehingga tidak ada peluang bagi
masyarakat untuk menggarap pada lahan bekas tebangan. Hasil dari bertumpangsari
diperkirakan setiap tahunnya seluas 400 ha/0,25 ha/ orang = 1600 orang, dengan
rata-rata produksi 2000 kg/ha x harga Rp. 2000,- maka pendapatan masyarakat desa hutan
yang menggarap di lahan Perhutani sebesar Rp 1.600.000.000,- atau per orang Rp.
1.000.000,- dalam 1 kali masa panen, ini membuktikan bahwa peranan hutan
sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat.
5.1Kadar Air
Kadar air (KA) adalah berat air yang dinyatakan dalam persen terhadap
berat kayu atau berat kering tanur (BKT). Variasi kadar air ditentukan antara lain
oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat
ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang terdapat pada dinding atau dalam
lumen sel kayu. Tabel 1 merupakan hasil perhitungan kadar air setiap bagian
pohon contoh.
Tabel 3. Kadar Air (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon Bagian Pohon
Diameter
Daun Ranting Ctb Cb Tunggak Batang Rata-rata 16,00 19,77 17,47 19,47 16,55 16,27 19,01 18,09 17,50 20,06 13,39 13,87 14,79 15,03 14,53 15,28 18,00 16,50 19,65 14,51 14,74 11,83 19,18 16,07 19,00 15,19 11,58 11,69 10,32 18,20 13,70 13,45 21,00 10,28 19,00 10,42 9,57 15,78 12,17 12,87 21,50 19,12 15,67 12,61 8,21 8,19 8,41 12,03 22,50 16,73 10,16 15,46 8,35 12,92 11,45 12,51 23,50 12,58 13,44 16,68 13,21 10,56 13,69 13,36 25,00 8,71 18,74 8,90 14,79 14,34 16,67 13,69 27,00 13,19 16,37 11,28 14,63 20,25 12,08 14,63 27,50 11,12 11,67 16,81 13,79 13,20 9,98 12,76 28,50 14,11 10,55 9,53 18,99 14,42 12,65 13,38 30,00 16,77 8,46 12,68 16,11 11,95 11,02 12,83 31,00 15,35 9,52 13,84 12,52 9,60 10,95 11,96 32,00 14,77 15,73 9,76 10,44 14,43 8,38 12,25 32,50 17,11 8,13 12,98 11,50 10,47 11,05 11,87 Rata-rata 15,09 13,72 13,16 13,03 13,59 12,81
Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan
Menunjukkan Tabel 3 hasil pengukuran kadar air pada Acacia mangium
pada rata-rata pada diameter 16 cm nilai kadar air paling besar 18,09%,
sedangkan pada diameter 32,5 cm nilai kadar air merupakan kadar air terkecil
yaitu 11,87%.
Nilai kadar air rata-rata pada bagian pohon yang paling tinggi adalah
bagian daun dengan nilai kadar air 15,09 % dan nilai kadar air yang terkecil pada
batang 12,81 %. Daun memiliki kadar air yang tinggi karena merupakan unit
fotosintesis yang pada umumnya memiliki banyak rongga sel yang di isi oleh air
banyaknya air dari lingkungan yang akan diserap oleh daun, sehingga banyak
rongga sel yang diisi oleh air. Sedangkan batang memiliki kadar air rendah karena
pada bagian batang komposisi zat penyusun kayu lebih tinggi dibandingkan
bagian lainnya. Bagian pohon lainnya pada setiap kelas diameter memiliki nilai
kadar air rata-rata dengan pola yang hampir sama (kecenderungan nilai kadar air
menurun seiring meningkatnya kelas diameter). Umumnya pada kelas diameter
yang paling kecil memiliki kadar air yang tinggi karena kandungan air masih
tinggi dan belum didominasi oleh zat-zat penyusun kayu.
Pada bagian pohon lainnya nilai rata-rata kadar airnya yaitu ranting,
cabang tidak beraturan, cabang beraturan, dan tunggak memiliki nilai kadar air
masing-masing 13,72%, 13,16 %, 13,03 %, dan 13,59 %.
5.2Kerapatan Kayu
Kerapatan adalah kandungan massa dalam ukuran unit volume, sedangkan
berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat
kering tanur dan volume pada kandungan air yang telah ditentukan). kerapatan
dan berat jenis kayu dipengaruhi oleh kadar air, struktur, ekstratif dan komposisi
kimia.
Tabel 4. Nilai Kerapatan (gr/cm3) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon
Bagian Pohon
Diameter
Ctb Batang Tunggak Rata-Rata
16,00 0,48 0,46 0,45 0,46
17,50 0,52 0,45 0,55 0,51
18,00 0,51 0,51 0,54 0,52
19,00 0,53 0,53 0,53 0,53
21,00 0,59 0,46 0,58 0,55
21,50 0,51 0,52 0,60 0,55
22,50 0,53 0,54 0,45 0,51
23,50 0,41 0,48 0,54 0,48
25,00 0,40 0,48 0,53 0,47
27,00 0,49 0,46 0,55 0,50
27,50 0,49 0,48 0,53 0,50
28,50 0,67 0,49 0,53 0,56
30,00 0,49 0,41 0,60 0,50
31,00 0,50 0,49 0,47 0,49
32,00 0,55 0,49 0,52 0,52
32,50 0,52 0,46 0,53 0,50
Rata-rata 0,51 0,48 0,53
Pada Tabel 4 hasil pengukuran kerapatan kayu paling besar pada diameter
28.5 cm sebesar 0,56 gr/cm3 . Sedangkan kerapatan kayu lebih kecil pada
diameter 16 cm sebesar 0,46 gr/cm3.
Berdasarkan hasil pengukuran nilai kerapatan kayu pada bagian - bagian
pohon Acacia mangium adalah sebesar 0,53 gr/cm3 pada bagian tunggak 0,51 gr/cm3 pada bagian cabang dan 0,48 gr/cm3 pada bagian batang. Dalam penelitian
ini dihasilkan nilai kerapatan kayu atau berat jenis kayu, cabang lebih tinggi
dibandingkan batang, dan kayu cabang berbeda dengan kayu batang. Beberapa
jenis sel lebih banyak terdapat pada kayu cabang daripada dalam kayu batang,
pada cabang-cabang kayu keras, pembuluh dan jari-jari lebih banyak daripada
dalam batang utama dengan serabut yang lebih sedikit (Haygreen dan
Bowyer,1989) dalam Adinugroho dan Kade (2006). Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kayu cabang umumnya mempunyai kerapatan kayu lebih
tinggi daripada kayu batang (Fegel,1941: Jane et al.,1970) dalam dalam
Adinugroho dan Kade (2006).
5.3Kadar Zat Terbang
Tabel 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon.
Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan
Bagian Pohon Diameter
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui kadar zat terbang dalam pohon
Acacia mangium pada rata-rata diameter yang paling besar terdapat pada diameter 25 cm sedangkan rata-rata diameter terkecil terdapat pada diameter 27 cm.
Sedangkan rata-rata kadar zat terbang yang diperoleh pada bagian pohon
adalah rata-rata pada bagian tunggak sebesar 54,91 %, bagian cabang tidak
beraturan sebesar 56,17 %, bagian cabang beraturan sebesar 56,06 %, bagian
ranting sebesar 59,86 %, dan kadar zat terbang tertinggi terdapat pada bagian daun
sebesar 60,39 %. Kadar zat terbang terendah terdapat pada bagian batang sebesar
49,30 %.
5.4Kadar Zat Abu
Tabel 6. Kadar Zat Abu (%) Acacia Mangium Pada Berbagai Bagian Pohon. Bagian Pohon
Diameter
Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata 16,00 1,35 1,94 1,01 1,59 1,83 2,42 1,69 17,50 1,02 2,21 1,19 1,85 2,06 1,98 1,72 18,00 1,43 1,72 1,30 1,51 0,94 1,40 1,38 19,00 1,10 2,10 1,50 1,96 1,31 1,61 1,60 21,00 1,09 1,63 1,04 1,70 3,00 1,59 1,67 21,50 1,03 1,59 1,29 1,78 4,00 1,92 1,93 22,50 1,34 1,52 1,20 1,78 1,95 0,37 1,36 23,50 1,62 2,17 1,30 1,79 2,98 2,84 2,12 25,00 1,06 1,60 1,46 2,21 2,83 1,76 1,82 27,00 1,18 1,59 1,46 1,68 3,92 1,77 1,93 27,50 1,22 1,62 1,10 1,89 1,92 1,58 1,56 28,50 2,53 2,17 1,36 1,56 3,09 1,70 2,07 30,00 2,35 1,85 1,38 1,71 2,10 3,39 2,13 31,00 1,09 1,45 1,46 1,63 1,94 1,59 1,53 32,00 1,98 1,52 1,13 2,06 2,27 2,07 1,84 32,50 1,07 1,86 1,22 1,92 1,73 2,13 1,66 Rata-rata 1,40 1,78 1,28 1,79 2,37 1,88
Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan
Kadar abu pada berbagai bagian pohon yang terbesar terdapat pada bagian
ranting sebesar 2,37 %, pada bagian daun sebesar 1,88 %, pada bagian cabang
beraturan sebesar 1,79 %, pada bagian tunggak sebesar 1,78 %, pada bagian
batang sebesar 1,40 % dan kadar abu terendah terdapat pada bagian cabang tidak
5.5Kadar Karbon
Tabel 7. Kadar Karbon (%) Acacia Mangium WilldPada Berbagai Bagian Pohon Bagian Pohon
Diameter
Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata 16,00 49,53 43,08 42,06 41,82 39,85 38,70 42,51 17,50 50,43 43,67 43,12 42,25 38,27 36,79 42,42 18,00 50,00 45,73 42,40 42,95 38,15 38,77 43,00 19,00 49,19 44,43 42,17 42,44 39,87 33,00 41,85 21,00 48,26 41,93 43,56 42,20 38,08 36,48 41,75 21,50 50,54 42,70 42,74 43,80 36,34 36,45 42,09 22,50 50,03 44,80 41,61 42,28 38,89 35,00 42,10 23,50 48,98 42,39 42,38 41,11 37,03 39,55 41,91 25,00 49,05 41,84 41,42 40,94 34,91 36,53 40,78 27,00 48,64 43,79 43,36 44,59 39,73 39,76 43,31 27,50 47,70 45,05 42,05 41,15 35,42 37,11 41,41 28,50 48,42 42,20 42,83 42,01 39,24 39,37 42,34 30,00 50,36 43,16 42,76 42,07 38,86 39,77 42,83 31,00 48,54 44,66 42,19 42,25 35,90 37,97 41,92 32,00 49,52 42,23 42,78 41,31 37,23 37,76 41,81 32,50 49,57 41,25 43,38 41,30 36,66 40,68 42,14
49,30 43,31 42,55 42,15 37,78 37,73
Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan
Rata-rata kadar karbon pada bagian pohon terbesar terdapat pada bagian
batang yaitu sebesar 49.30 %, kadar karbon pada bagian tunggak sebesar 43,31 %,
kadar karbon pada bagian cabang tidak beraturan sebesar 42,55 %, kadar karbon
pada bagian cabang beraturan 42,15 %, dan kadar karbon pada bagian ranting
sebesar 37,78 % Sedangkan kadar karbon terendah terdapat pada bagian daun
yaitu sebesar 37,73 %. Kadar karbon pada daun lebih rendah karena daun
memiliki kadar abu yang tinggi dan zat terbang yang relatif tinggi. Kandungan
abu yang tinggi disebabkan karena daun merupakan unit fotosíntesis yang di
dalamnya banyak mengandung air dan unsur hara mineral yang menyebabkan
kandungan abunya menjadi relatif tinggi, sehingga kandungan karbonnya menjadi
5.6Uji t-Student
Tabel 8. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon Pada Berbagai Bagian Pohon
Bagian Pohon Tunggak Cabang Tidak Beraturan
Cabang
Beraturan Ranting Daun Batang 0.00000** 0.00000** 0.00000** 0.00000** 0.00000**
Tunggak 0.09106tn 0.00416** 0.00000** 0.00000**
Cabang Tidak
Beraturan 0.12135
tn
0.00000** 0.00000**
Cabang Beraturan 0.00000** 0.00000**
Rantng 0.94404tn
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05) tntidak berbeda nyata (p > 0,05)
Pada Tabel 8 di atas dapat diketahui berdasarkan bagian pohonnya bahwa
perbedaan kadar karbon sangat nyata terdapat antara bagian batang dengan
tunggak, bagian batang dengan cabang tidak beraturan, bagian batang dengan
ranting dan antara bagian batang dengan daun. Dan perbedaan kadar karbon tidak
nyata terdapat antara tunggak dengan cabang tidak beraturan, bagian cabang tidak
beraturan dengan cabang beraturan dan antara bagian ranting dengan daun.
Perbedaan kadar karbon sangat nyata sebagian besar terlihat pada semua bagian
pohon, hanya sebagian kecil yang mempunyai perbedaan nyata dan perbedaan
tidak nyata. Hal ini terjadi karena pada masing-masing bagian pohon Acacia
mangium memang berbeda terhadap kadar karbon yang terdapat didalamnya dan juga pada tiap-tiap bagian pohon mempunyai kandungan unsur penyusun kimia
yang berbeda pula.
Tabel 9. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon Bagian Menurut Kelas Diameter
Diameter 20-25 25-30 30-35
15-20 0.243882335tn 0.298316tn 0.484663tn
20-25 0.998851tn 0.604952tn
25-30 0.625209tn
Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05) tntidak berbeda nyata (p > 0,05)
Pada Tabel 9 di atas dapat diketahui berdasarkan kelas diameternya bahwa
perbedaan kadar karbon tidak nyata antara diameter 15-20 cm dengan diameter
20-25 cm, diameter 15-20 cm dengan diameter 25-30 cm dan diameter 15-20 cm
20-25 cm dengan 25-30 cm, diameter 20-25 cm dengan 30-35 cm dan bagian
diameter 25-30 cm dengan 30-35 cm.
5.7Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter
dan Tinggi Pohon
Berdasarkan hasil perhitungan kandungan biomassa kering, dapat
ditentukan model pendugaan hubungan biomassa dengan diameter dan tinggi
pohon. Pemilihan persamaan allometrik terbaik dilakukan dengan menguji
beberapa persamaan. Pada Tabel 10 disajikan model untuk menduga potensi
biomassa bagian-bagian pohon Acacia mangium dengan melihat hubungan antara
biomassa dengan diameter, biomassa dengan diameter dan tinggi. Bentuk
persamaan yang diujikan dan dipakai untuk pendugaan biomassa ini adalah model
yang hanya terdiri dari satu peubah saja : W = aDb dan Log W = Log a + b Log D
dan model yang terdiri dari dua peubah : W = aDb1Hb2 dan Log W = a + b1 Log D
+ b2 Log H. Dimana W adalah biomassa dalam Kg/ha, D adalah diameter pohon
dalam meter, H adalah tinggi total pohon dalam meter dan a,b adalah konstanta.
Tabel 10. Model Pendugaan Hubungan Biomassa Pohon Acacia mangium Dengan Diameter Dan Tinggi Pohon
Bagian Model Linear R2 (adj) S P
Pohon W = 3.318(D1.71) 87.30% 0.064461 0
W = 0.903(D1.42)(H0.746) 88.60% 0.061192 0
Batang W= 2.962(D1.72) 86.10% 0.068441 0
W= 0.72(D1.41)(H0.813) 87.60% 0.064621 0
Tunggak W= 0.422(D1.11) 72.30% 0.067764 0
W= 0.60(D1.2)(H-0.215) 70.50% 0.069991 0
Cabang Tidak Beraturan W= 0.024(D1.92) 77.80% 0.101394 0
W= 0.005(D1.52)(H0.966) 78.10% 0.100687 0
Cabang Beraturan W= 0.031(D1.98) 88.40% 0.070848 0
W= 0.0097(D1.68)(H0.705) 88.70% 0.070059 0
Ranting W= 0.065(D1.44) 48.20% 0.143208 0.002
W= 0.661(D2.02)(H-1.41) 49.20% 0.141755 0.005
Daun W= 0.025D1.77) 86.60% 0.069282 0
W= 0.26(D2.23)(H-1.11) 89.00% 0.062793 0 Keterangan : R-Sq(adj) = Koefisien determinasi
Pada Tabel 10 disajikan model pendugaan untuk menduga biomassa
dengan melihat hubungan antara diameter dan tinggi pohon. Pada model pertama
digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dengan diameter sedangkan
untuk model kedua digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dengan
diameter dan tinggi pohon. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa R-Sq(adj) berkisar
antara 48,20 % - 89,00 %. dari kedua model persamaan, W = aDb memiliki
koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) dengan kisaran 48,20 % - 87,30 %.
Sedangkan persamaan W = a Db1Hb2 memiliki koefisien determinasi adjustment
(R-Sq(adj)) yang lebih besar yakni dengan kisaran 49,20 % - 89,00 %. Dari Tabel
8 terlihat pula bahwa beberapa persamaan atau model tersebut diatas dapat
diterima (P < 0,005) karena peubah bebasnya (tinggi dan diameter) memiliki
pengaruh yang nyata terhadap perubahan biomassa.
Untuk kelayakan model adalah dengan membandingkan nilai koefisien
determinasi adjustment (R-Sq(adj)). Diantara model C = aDb menunjukkan
keeratan hubungan biomasa dengan peubah bebas diameter yang lebih baik
dibandingkan dengan model C = a DbHc. Dengan demikian model yang terbaik
yang dapat diterapkan adalah C = aDb, karena meskipun ada penambahan peubah
bebas tinggi, namun kenaikan nilai koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj))
sangat sedikit.
5.8Model Pendugaan Karbon Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter
dan Tinggi Pohon
Model yang digunakan untuk menduga kandungan karbon pada tiap bagian
pohon sama seperti pada pendugaan biomassa yaitu menggunakan model : C =
aDb dan C = a + bD untuk model hubungan kandungan karbon dengan diameter,
sedangkan untuk menduga hubungan antara kandungan karbon dengan diameter
dan tinggi pohon digunakan model: C = a Db1 Hb2 dan C = a + b1D + b2H, dimana
C adalah kandungan karbon dalam Kg C/ha, D adalah diameter pohon dalam
Tabel 11. Model Pendugaan Hubungan Karbon Pohon Acacia mangium Dengan Diameter dan Tinggi Pohon
Bagian Model Linear R2 (adj) S P
Pohon C=1,71(D1,69) ) 86,60% 0,066002 0
C= 0,53(D1,44)(H0,667) 87,30% 0,064085 0
Batang C=1,56(D1,75) 85,50% 0,069351 0
C=0,44(D1,33)(H1,11) 86,40% 0,067083 0
Tunggak C= 0,21(D1,07) 70,70% 0,067849 0
C= 0,31(D1,09)(H-0,111) 68,80% 0,069964 0
Cabang Tidak Beraturan C= 0,01(D1,94) 78,60% 0,099768 0
C= 0,002(D1,54)(H 0,952) 78,90% 0,099059 0
Cabang Beraturan C= 0,02(D1,95) 86,60% 0,075973 0
C= 0,004(D1,66)(H0,705) 86,80% 0,075619 0
Ranting C=0,03(D 1,36) 43,70% 0,14767 0,003
C= 0,37(D1,99)(H-1,51) 45,20% 0,145626 0,008
Daun C= 0,006(D1,87) 88,20% 0,068113 0
C= 0,049(D2,38)(H-1,21) 91,00% 0,059524 0
Keterangan : R-Sq(adj) = Koefisien determinasi P = Taraf nyata
S = Simpangan baku
Pada Tabel 11 disajikan model pendugaan untuk menduga kandungan
karbon dengan melihat hubungan antara diameter dan tinggi pohon. Pada model
pertama digunakan untuk menduga hubungan antara karbon dengan diameter
sedangkan untuk model kedua digunakan untuk menduga hubungan antara karbon
dengan diameter dan tinggi pohon. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa R-Sq(adj)
berkisar antara 43,70 %-88,20 %. Dari kedua model persamaan, C = a Db1 Hb2
memiliki koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) dengan kisaran 45,20
%-91,00 %. Dari Tabel 9 terlihat pula bahwa beberapa persamaan atau model
tersebut diatas dapat diterima (P < 0,005) karena peubah bebasnya memiliki
pengaruh yang nyata terhadap perubahan karbon, kecuali persamaan pendugaan
karbon ranting dengan dua peubah bebas karena nilai P > 0,005. Dari tabel diatas
dapat diketahui model terbaik adalah C = a Db1 Hb2 dengan persamaan C= 0,.53
5.9 Potensi Karbon
5.9.1 Potensi Volume
Pada Tabel 12 disajikan potensi volume sebelum pemanenan berdasarkan
volume tinggi bebas cabang dan volume tinggi total.
Tabel 12. Potensi Volume Sebelum Pemanenan
PETAK /0,25 Ha
N (ph) Vbc (m³) Vtot (m³)
I 69 17,41 45,46
II 49 11,36 34,36 III 53 11,59 33,86 IV 62 13,97 40,39
Jumlah 233 54,33 154,07
Keterangan : Vbc = Volume Bebas Cabang Vtot = Volume Total
Dari keempat petak tersebut potensi volume sebelum pemanenan yang
terbesar terdapat pada petak I yakni volume tinggi bebas cabang sebesar 17,41 m³
dan volume tinggi total sebesar 45,46 m³, penyebabnya karena petak 1 jumlah
pohon yang diukur lebih banyak daripada petak-petak yang lainnya sehingga
potensi volume lebih besar.
Pada petak 2 volume tinggi bebas cabang sebesar 11,36 m³ dan volume
tinggi total sebesar 34,36 m³. Pada petak 3 volume tinggi bebas cabang sebesar
11,59 m³ dan volume tinggi total sebesar 33,86 m³. Pada petak 4 volume tinggi
bebas cabang sebesar 13,97 m³ dan volume tinggi total sebesar 40,39 m³.
5.9.2 Potensi Karbon
Pada Tabel 13 dapat diketahui potensi karbon Kg C/Ha pada petak ukur 1,
2, 3, dan 4 berdasarkan persamaan terbaik.
Tabel 13. Potensi Kg C/Ha Tegakan Acacia mangium Sebelum PemanenanBerdasarkan Persamaan Pendugaan Karbon Per Pohon.
Persamaan Petak 1 Petak 2 Petak 3 Petak 4 Rata-rata C= 0.53 D1.44 H0.667 106.324,55 78.917,06 81.125,53 95.175,13 90.385,57
Pada Tabel 13 disajikan potensi sebelum pemanenan berdasarkan
pendugaan karbon per pohon berdasarkan persamaan C= 0.53 D1.44 H0.667 pada
petak 1 sebesar 106.324,55 kg C/Ha, petak 2 sebesar 78.917,06 kg C/Ha, petak 3
sebesar 81.125,53 kg C/Ha, petak 4 sebesar 95.175,13 kg C/Ha dan untuk rata-rata
5.9.3 Potensi Volume Limbah
Tabel 14. Volume (m³/Ha) Limbah Berdasarkan Sumber Dan Asalnya Tegakan Acacia mangium.
Petak
Jumlah Pohon
Sebelum Pemanenan
Volume
Sebelum Pemanenan
(m³)
Volume Tunggak
Volume Batang
Volume Cabang Tidak Beraturan
Cabang
Beraturan Total
I 276 181,84 1,43 12,27 1,76 4,39 19,85
II 196 137,45 0,91 9,33 1,51 3,89 15,63
III 212 135,42 1,48 9,01 3,04 4,70 18,22
IV 248 161,55 1,09 11,15 2,26 5,41 19,90
Rata-rata 233 154,07 1,22 10,44 2,14 4,60 18,40
Pada Tabel 14 disajikan volume limbah berdasarkan sumber dan asalnya,
pada petak 1 dari 276 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 181,84
m³/Ha, didapatkan hasil 1,43m³/Ha limbah tunggak, limbah batang 12,27 m³/Ha,
1,76 m³/Ha cabang tidak beraturan, 4,39 m³/Ha cabang beraturan. Total volume
limbah yang terjadi pada petak 1 adalah sebesar 19,85 m³/Ha.
Pada petak 2 dari 196 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
137,45 m3/Ha, didapatkan hasil 0,91 m³/Ha limbah tunggak, 9,33 m³/Ha limbah
batang, 1,51 m³/Ha cabang tidak beraturan, 3,89 m³/Ha limbah cabang beraturan.
Total volume limbah yang terjadi pada petak 2 adalah sebesar adalah 15,63m³/Ha.
Pada petak 3 dari 212 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
135,42 m³/Ha, didapatkan 1,48 m³/Ha limbah tunggak, 9,01 m³/Ha limbah batang,
3,04 m3/Ha limbah cabang tidak beraturan, 4,70 m3/Ha limbah cabang beraturan.
Total volume limbah yang terjadi pada petak 3 adalah sebesar 18,22 m3/Ha.
Pada petak 4 dari 248 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
161,55 m3/Ha, didapatkan hasil 1,09 m3/Ha limbah tunggak, 11,15m3/Ha limbah
limbah batang, 2,26 m3/Ha limbah cabang tidak beraturan, 5,41 m3/Ha limbah
cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 4 adalah sebesar
Tabel 15. Persentase Volume Limbah (%)/Ha Terhadap Volume Sebelum Pemanenan.
Petak
Jumlah Pohon
Sebelum Pemanenan
Volume
Sebelum Pemanenan
(m³)
Tunggak Batang
Cabang Tidak Beraturan
Cabang Beraturan
Total
I 276 181,84 0,79 6,75 0,97 2,41 10,92
II 196 137,45 0,66 6,79 1,10 2,83 11,37 III 212 135,42 1,09 6,66 2,24 3,47 13,46
IV 248 161,55 0,67 6,90 1,40 3,35 12,32
Rata-rata 233 154,07 0,80 6,77 1,43 3,01 12,02
Pada Tabel 15 disajikan persentase limbah berdasarkan sumber dan
asalnya pada petak 1 dari 276 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
181,84 m3, didapatkan hasil 0,79 % limbah tunggak, 6,75 % limbah batang, 0,97
% cabang tidak beraturan, 2,41 % cabang beraturan. Total volume limbah yang
terjadi pada petak 1 adalah sebesar 10,92 %.
Pada petak 2 dari 196 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
137,45 m3 didapatkan hasil 0,66 % limbah tunggak, 6,79 % limbah batang, 1,10
% cabang tidak beraturan, 2,83 % limbah cabang beraturan. Total volume limbah
yang terjadi pada petak 2 adalah sebesar adalah 11,37 %.
Pada petak 3 dari 212 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
135,42 m3, didapatkan hasil 1,09 % limbah tunggak, 6,66 % limbah batang, 2,24
% limbah cabang tidak beraturan, 3,47 % limbah cabang beraturan. Total volume
limbah yang terjadi pada petak 3 adalah sebesar 13,46%.
Pada petak 4 dari 248 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar
161,55 m3, didapatkan hasil 0,67 % limbah tunggak, 6,90 % limbah batang, 1,40
%limbah cabang tidak beraturan, 3,35 % limbah cabang beraturan. Total volume
limbah yang terjadi pada petak 4 adalah sebesar 12,32 %. Dari data-data yang
ada pada tabel 14 dan tabel 15 dapat dilihat bahwa rata-rata volume dan
persentase limbah terbesar adalah jenis limbah batang, hal ini dapat terjadi karena
faktor pembagian batang yang dilakukan untuk menyesuaikan alat angkut log.
Dengan kapasitas alat angkut yang terbatas maka batang bebas cabang yang ada di
petak tebangan dibagi/dipotong sedemikian rupa sehingga log sesuai dengan
kapasitas lori tersebut. Potongan-potongan sisa pembagian batang dengan jumlah
Tabel 16. Persentase dan Volume Limbah Pemanenan Kayu Di Petak Tebang Acacia mangium.
Jenis Limbah Volume (m³) Persentase (%)
-Tunggak 4,90 0,79
-Cabang Tidak Beraturan 8,57 1,39
-Cabang Beraturan 18,38 2,98
-Batang 41,77 6,78
Jumlah Limbah 73,61 11,94
Volume Total Kayu Sebelum Pemanenan 616,27
Dari Tabel 16 berdasarkan lokasi tegakan volume total kayu yang dipanen,
volume dan persentase limbah di petak tebangan yang terdiri dari limbah tunggak,
limbah cabang tidak beraturan, limbah cabang beraturan, dan limbah batang
sebesar 41,77 m3 (6,78 %). Sedangkan volume dan persentase limbah di TPn tidak
ada. Apabila dibandingkan dengan penelitian terdahulu mengenai limbah
pemanenan kayu di hutan alam ditemukan jenis limbah pemanenan di TPn.
Penyebab tidak terdapatnya jenis limbah pemanenan di TPn pada penelitian di
hutan tanaman ini disebabkan semua kegiatan pemanenan mulai dari penebangan
sampai pembagian batang dilakukan dipetak tebangan (setting tebangan). Kayu
bulat yang disarad ke TPn merupakan kayu yang telah memenuhi syarat pengujian
bahan baku sehingga terangkut semua ke pabrik.
5.9.4 Potensi Karbon Dalam Limbah
Tabel 17. Potensi Karbon (kg C/Ha) Dalam Limbah Terhadap Jumlah Karbon Dengan Persamaan Terbaik Pada Tegakan Acacia mangium.
PETAK
Jumlah Pohon Sebelum Pemanenan
Volume Sebelum Pemanenan
(m³)
Tunggak Batang
Cabang Tidak Beraturan
Cabang
Beraturan Total
I 276 181,84 694,70 5.969,9 858,25 2.133,04 9655,95
II 196 137,45 635,96 6.531,0 1.054,12 2.726,30 10.947,42
III 212 135,42 814,68 4.975,2 1.802,54 2.592,54 10.184,98
IV 248 161,55 657,30 6.749,2 1.366,26 3.271,81 12.044,65
Rata-rata 233 154,07 700,66 6.056,3 1.270,29 2.680,92 10.708,25
Pada Tabel 17 dapat dilihat potensi karbon dalam limbah berdasarkan
tegakan acacia mangium, pada petak 1 dari 276 pohon yang ditebang berdasarkan
[image:33.612.106.526.505.631.2]tunggak 694,70 kg C/Ha, limbah batang 5.969,97 kg C/Ha, limbah cabang tidak
beraturan 858,25 kg C/Ha, limbah cabang beraturan 2.133,04 kg C/Ha. Total
potensi karbon dalam limbah yang terjadi pada petak 1 adalah sebesar 9655,95 kg
C/Ha.
Pada petak 2 dari 196 pohon yang ditebang berdasarkan potensi karbonnya
dengan volume 137,45 m³ diperoleh karbon dalam limbah tunggak 814,68 kg
C/Ha, limbah batang 6.531,03 kg C/Ha, limbah cabang tidak beraturan 1.054,12
kgC/Ha, limbah cabang beraturan 2.726,30 kg C/Ha. Total potensi karbon dalam
limbah yang terjadi pada petak 2 adalah sebesar 10.947,42 kg C/Ha.
Pada petak 3 dari 212 pohon yang ditebang berdasarkan potensi karbonnya
dengan volume 814,68 m³ diperoleh karbon dalam limbah tunggak 4.975,23 kg
C/Ha, limbah batang 1.802,54 kg C/Ha, limbah cabang tidak beraturan 4.219,93
kg C/Ha, limbah cabang beraturan 2.592,54 kg C/Ha. Total potensi karbon dalam
limbah yang terjadi pada petak 3 adalah sebesar 10.184,98 kg C/Ha.
Pada petak 4 dari 248 pohon yang ditebang berdasarkan potensi karbonnya
dengan volume 161,55 m³ diperoleh karbon dalam limbah tunggak 657,30 kg
C/Ha, limbah batang 6.749,29 kg C/Ha, limbah cabang tidak beraturan 1.366,26
kg C/Ha, limbah cabang beraturan 3.271,81 kg C/Ha. Total potensi karbon dalam
limbah yang terjadi pada petak 4 adalah sebesar 12.044,65 kg C/Ha. Berdasarkan
hasil data tersebut dapat diuraikan bahwa pendugaan kandungan karbon yang
terbesar rata-ratanya terdapat pada bagian batang sebesar 6.056,38 kg C/Ha dan
pendugaan kandungan karbon yang terkecil terdapat pada bagian tunggak sebesar
1640.32 kg C/Ha. Hal ini disebabkan semakin banyak jumlah pohon yang
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Kadar karbon rata-rata pada bagian pohon acacia mangium terbesar
terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 49.30 %, tunggak 43.31 %,
bagian cabang tidak beraturan 42.55 %, bagian cabang beraturan 42.15 %,
dan bagian ranting sebesar 37.78 % Sedangkan kadar karbon terendah
terdapat pada bagian daun yaitu sebesar 37.73 %.
2. Persamaan pendugaan karbon yang dihasilkan adalah pendugaan karbon
per pohon yaitu C=1,71D1,69 dan C= 0,53(D1,44)*(H0,667), batang
C=1.56(D1.75) dan C=0.44(D1.33)(H1.11), tunggak C= 0.21(D1.07) dan C=
0.31(D1.09)(H-0.111), cabang tidak beraturan C= 0.01(D1.94) dan C=
0.002(D1.54)(H 0.952), cabang beraturan C=0.02(D1.95) dan C=
0.004(D1.66)(H0.705), ranting C=0.03(D 1.36) dan C= 0.37(D1.99)(H-1.51), daun
C= 0.006(D1.87) dan C= 0.049(D2.38)(H-1.21).
3. Potensi massa karbon dalam tegakan Acacia mangium berdasarkan
persamaanC= 0.53 D1.44 H0.667 pada petak 1 sebesar 106.324,55 kg C/Ha,
petak 2 sebesar 78.917,06 kg C/Ha, petak 3 sebesar 81.125,53 kg C/Ha,
petak 4 sebesar 95.175,13 kg C/Ha dan untuk rata-rata perpetak tersebut
sebesar 90.385,57 C/Ha.
4. Potensi pendugaan karbon dalam limbah pada petak 1, 2, 3, dan 4 secara
berurutan adalah 9655,95 kg C/Ha, 10.947,42 kg C/Ha, 10.184,98 kg
C/Ha, dan 12.044,65 kg C/Ha. Rata-rata pada petak ukur adalah 10.708,25
kg C/Ha.
6.2 Saran
Untuk penelitian selanjutnya perlu adanya validasi persamaan dan
(Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten)Oleh : FADHLI E24102088
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
[ASTM] American Society for Testing Material. 1990a. ASTM D2866-94. Standard Test Method For Total Ash Content of Activated Carbon. Philadhelphia.
Acmadi, SS. 1990. Diklat Kimia Kayu. Bogor : Pusat Antar Universitas, Insitut Pertanian Bogor.
Adinugroho, WC dan Sidiyasa, K. 2006. Model Pendugaan Biomassa Pohon Mahoni (Swietenia macrophylla King ) diatas Permukaan Tanah. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol III No.1 Hal 103-117).
Adisubroto, S. 1985. Teknik Pembangunan Persemaian Acacia mangium Willd. Jurnal Kehutanan 1: 10-17.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest. A Primer. FAO Forestry Paper No. 134. FAO, USA.
Conway, S. 1982. Logging Practice, Principle of Timber Harvesting System. Miller Freeman Publication, Inc. New York.
Darusman, D. 1989. Aspek Ekonomi Industri Pemanfaatan Limbah Kayu. Di dalam : Pemanfaatan Limbah Kayu. Kumpulan Makalah. Bogor : Fakultas Kehutanan IPB.
Departemen Kehutanan.2001. Sylva Tropika Informasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Populer. Badan Peneliti dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Elias. 2002. Buku 1 Reduce Impact Logging. IPB Press. Bogor
FWI/GFW. 2002. The State Of The Forest : Indonesia. Forest Watch Indonesia (FWI) and Global Forest Watch (GFW), Bogor, 118 PP.
Hairiah, K dan MV Noordwijk. 1994 Modelling and Measuring Soil Organics Matter Dynamics and Green House Gas Emission After Forest Conversion. ASB- Indonesia Report number 1(Report of Workshop/ Training Course 0n 8-15 Agustus 1994. Bogor/Muara tebu Indonesia). ASB- Indonesia Report. Bogor.
Hairiah, K dan SM Sitompul. 2000. Assesment And Simulation of Above Ground and Below Ground Dynamics. Report to Asia Pasific Network (APN). Brawijaya University, Faculty of Agriculture, Malang. Indonesia.
Handayani, RR. 2002. Prospek Pengelolaan Hutan Tanaman Pinus Merkusii Untuk Tujuan Perdagangan Karbon di KPH Bogor, Perum Perhutani Unit III Jabar [Skripsi] Fakultas Kehutan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hasan, MI. 2001. Pokok-pokok Materi Statistik Pertama (Statistik Deskriptif). Jakarta : Bumi Akasara.
Haygreen, JG dan JL Bowyer. 1982. Hasil Hutan dan Ilmu (Suatu Pengantar). Hadikusumo SA Penerjemah : Prawirohatmodjo S, Editor. Yogyakarta : University Gajah Mada Press.
Kartika, EC. 2004. Kuantifikasi Limbah Pemanenan Hutan Pada Pengusahaan Pada Hutana Tanaman Kayu Industri Kayu Pulp Dengan Metode Kayu Penuh (Whole Tree Method) Studi Kasus di HPHTI PT. INHUTANI II, Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Skripsi. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB (Tidak dipublikasikan).
Mandang, YI dan IKN Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan PROSEA, Bogor dan Pusat Pendidikan Latihan Pegawai dan Sumber Daya Manusia Kehutanan. Bogor.
Martawijaya, AI Kartasudjana, K Kadir, dan SA Prawira. 1997. Ciri Umum Sifat dan Kegunaan Jenis-jenis Kayu Indonesia no. 4. Lembaga Penelitian Hasil Hutan Bogor.
Meulenhoff, M. 1972. Potensi Kayu Sisa. Berita Hasil Hutan I (6) : 180-181 pp.
Muray, M. 2004. Predicting Magnesium Consentration in needles of Silver fir and Norway spruce-a case study, Ecological Modelling, 179 : 307-316.
Murdiyarso, D, MV Noordwijk, dan A Suyanto. 1999. Modelling Global Change Impact and The Soil Environment IC –SEA Report No. 6 (Report of Traing Workshop on Modelling Global Change Impacts on The Soil Environment at BIOTROP-GCTE/IC-SEA. Bogor, Indonesia, on 5 – 13 May 1998). BIOTROP-GCTE/Impact Center-South East Asia (IC-SEA). Bogor.
Ogawa, H, Y Kyoji, K Ogino dan T Kira. 1965 Comparative Ecological Studies on Tree main Types of Forest Vegetation in Thailand II. Plant Biomass Nature and Life in SE Asia 4: 50-80.
Risahadi, H. 2004. Potensi Limbah Pemanenan Kayu di Hutan Tanaman Industri Pulp Studi Kasus di Unit IX Wilayah II Benakat, HPHTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan. Skripsi. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Tidak dipublikasikan.
Seng, OD. Spesific Gravity of Indonesia Woods and its Significance For Pratical Use. Bogor : Forestry Product Research an d Development Center.
Suhendang, E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
Sumanti, P. 2003. Potensi Simapanan Karbon di Atas Permukaan Tanah Pada Hutan Tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di KPH Lawu DS, Perum Perhutani [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kehutanan.
Suparto, RS. 1979. Eksploitasi Hutan Modern Fakultas Kehutana IPB. Bogor.
(Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III
Jawa Barat dan Banten)Oleh : FADHLI E24102088
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
(STUDI KASUS DI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR,
PT. PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN)
Fadhli
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Potensi
Karbon Dan Limbah Pemanenan Pada Tegakan Acacia mangium (Studi Kasus di
BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)”
adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan
belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga
manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor , Desember 2009
Barat dan Banten)
Nama Mahasiswa : Fadhli
NRP : E24102088
Program Studi : Teknologi Hasil Hutan
Sub Program Studi : Pemanenan Hasil Hutan
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Elias
NIP : 19560902198103 1 003
Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP : 19611126198601 1 001
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 April 1985 sebagai anak kelima
dari lima bersaudara dari pasangan bapak Masril ad murad dan ibu Walnema rivai.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri
Kenari 02 Petang Jakarta yang diselesaikan pada tahun 1996. Pada tahun yang sama
penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 18 Jakarta dan diselesaikan pada tahun
1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke SMU Negeri 24 Jakarta dan lulus pada
tahun 2002, kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Fakultas
Kehutanan, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Teknologi Hasil
Hutan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dan pada tahun 2005
penulis memilih sub program studi Teknologi Pemanenan Hasil Hutan.
Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Dan Pengelolaan Hutan (P3H)
yang dilaksanakan di KPH Indramayu, Jawa Barat dari bulan Juli sampai Agustus
2005. Pada bulan Februari sampai Maret 2007 penulis melaksanakan Kuliah Kerja
Nyata (KKN) di Desa Purwasari,Bogor.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan
skripsi dengan judul ’’Pendugaan Potensi Karbon dan Limbah Pemanennan
Pada Tegakan Acacia Mangium Willd Studi Kasus di BKPH Parungpanjang,
KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten’’ dibawah
bimbingan Prof.Dr.Ir. Elias.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan
hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Kedua orangtuaku,Ibu dan Almarhum bapak yang telah mencurahkan segala
kasih sayang, doa, dorongan, semangat dan pengorbanan baik moral maupun
materi serta kakakku ( Yulfianti, Rika Sesmi, Satri Dova dan Dede).
2. Prof. Dr. Ir. Elias selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, arahan, pengetahuan dan nasehat yang begitu berharga sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Dr.Ir.Elis Nina Herlina, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen
Silvikultur dan Dr.Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.ScF sebagai dosen penguji dari
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
4. Segenap pimpinan staf BKPH Parungpanjang KPH Bogor, khususnya Bapak
Sukidi S.Hut, Bapak Dede Mulyana S.Hut atas kesempatan bagi penulis untuk
melaksanakan penelitian.
5. Bpk Hasanudin dan Bpk Yaya di lab. Pemanenan hutan untuk arahan dan
nasehatnya.
6. Bpk Supriatin di Lab. Kimia Hasil Hutan dan Ibu Esti di Lab. Peningkatan
Mutu Hasil Hutan atas bimbingan dan arahannya selama melakukan pengujian
di laboratorium.
7. Staf dan pegawai Departemen Hasil Hutan yang telah banyak membantu
dalam menyelesaikan urusan administrasi selama perkuliahan.
8. Teman-teman seperjuangan (Eko, rico, Gita, Jarot, Saiful dan Hamdan),rekan
–rekan fahutan ” THH 39” dan adik-adik kelas (bim2, bolang, ajo, karjo,
lemenk dan edy), serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu saran dan kritik selaku penulis harapkan untuk perba