• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN POTENSI KARBON DAN LIMBAH PEMANENAN PADA TEGAKAN ACACIA MANGIUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN POTENSI KARBON DAN LIMBAH PEMANENAN PADA TEGAKAN ACACIA MANGIUM"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

(

Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

Oleh : FADHLI E24102088

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

(STUDI KASUS DI BKPH PARUNG PANJANG, KPH BOGOR,

PT. PERHUTANI UNIT III JAWA BARAT DAN BANTEN)

Fadhli

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Potensi Karbon Dan Limbah Pemanenan Pada Tegakan Acacia mangium (Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor , Desember 2009

Fadhli NRP E24102088

(4)

Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten)

Nama Mahasiswa : Fadhli NRP : E24102088

Program Studi : Teknologi Hasil Hutan Sub Program Studi : Pemanenan Hasil Hutan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Elias NIP : 19560902198103 1 003

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr.Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP : 19611126198601 1 001

(5)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 6 April 1985 sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan bapak Masril ad murad dan ibu Walnema rivai.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis dimulai dari SD Negeri Kenari 02 Petang Jakarta yang diselesaikan pada tahun 1996. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi ke SLTP Negeri 18 Jakarta dan diselesaikan pada tahun 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan ke SMU Negeri 24 Jakarta dan lulus pada tahun 2002, kemudian penulis diterima di Institut Pertanian Bogor Fakultas Kehutanan, Departemen Teknologi Hasil Hutan, Program Studi Teknologi Hasil Hutan melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Dan pada tahun 2005 penulis memilih sub program studi Teknologi Pemanenan Hasil Hutan.

Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Dan Pengelolaan Hutan (P3H) yang dilaksanakan di KPH Indramayu, Jawa Barat dari bulan Juli sampai Agustus 2005. Pada bulan Februari sampai Maret 2007 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Purwasari,Bogor.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul ’’Pendugaan Potensi Karbon dan Limbah Pemanennan Pada Tegakan Acacia Mangium Willd Studi Kasus di BKPH Parungpanjang, KPH Bogor, PT. Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten’’ dibawah bimbingan Prof.Dr.Ir. Elias.

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orangtuaku,Ibu dan Almarhum bapak yang telah mencurahkan segala kasih sayang, doa, dorongan, semangat dan pengorbanan baik moral maupun materi serta kakakku ( Yulfianti, Rika Sesmi, Satri Dova dan Dede).

2. Prof. Dr. Ir. Elias selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, pengetahuan dan nasehat yang begitu berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr.Ir.Elis Nina Herlina, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen Silvikultur dan Dr.Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.ScF sebagai dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.

4. Segenap pimpinan staf BKPH Parungpanjang KPH Bogor, khususnya Bapak Sukidi S.Hut, Bapak Dede Mulyana S.Hut atas kesempatan bagi penulis untuk melaksanakan penelitian.

5. Bpk Hasanudin dan Bpk Yaya di lab. Pemanenan hutan untuk arahan dan nasehatnya.

6. Bpk Supriatin di Lab. Kimia Hasil Hutan dan Ibu Esti di Lab. Peningkatan Mutu Hasil Hutan atas bimbingan dan arahannya selama melakukan pengujian di laboratorium.

7. Staf dan pegawai Departemen Hasil Hutan yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan urusan administrasi selama perkuliahan.

8. Teman-teman seperjuangan (Eko, rico, Gita, Jarot, Saiful dan Hamdan),rekan –rekan fahutan ” THH 39” dan adik-adik kelas (bim2, bolang, ajo, karjo, lemenk dan edy), serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik selaku penulis harapkan untuk perbaikan dan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Desember 2009 Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I.

P

ENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya ... 3

2.2 Hutan Acacia mangium ... 3

2.3 Pemanenan Kayu... 4 2.4 Limbah ... 6 2.5 Biomassa ... 7 2.6 Kerapatan Kayu ... 10 2.7 Karbon ... 10 2.8 Kadar Abu ... 11

2.9 Kadar Zat Terbang ... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 13

3.2 Alat dan Bahan... 13

3.3 Pengumpulan Data ... 13

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 14

3.5 Pengolahan Data ... 14

1 Potensi Volume ... 14

2 Volume Limbah Pemanenan Kayu ... 15

3 Kerapatan Kayu... 15

4 Perhitungan Biomasa Dengan Pendekatan Volume ... 15

5 Perhitungan Kadar Air ... 15

6 Menghitung Berat Kering ... 16

7 Penentuan Kadar Zat Terbang ... 17

8 Penentuan Kadar Abu ... 17

9 Penentuan Kadar Karbon ... 17

10 Analisis Data ... 18

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Keadaan Umum ... 20

4.2 Potensi Sumber Daya Hutan ... 20

(8)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kadar Air... 23

5.2 Kerapatan kayu ... 24

5.3 Kadar Zat Terbang ... 25

5.4 Kadar Abu ... 26

5.5 Kadar Karbon ... 27

5.6 Uji t-student Kadar Karbon... 28

5.7 Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon ... 29

5.8 Model Pendugaan Karbon Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon ... 30

5. 9 Potensi Karbon ... 32

5. 9.1 Potensi Volume ... 32

5. 9.2 Potensi Karbon ... 32

5.9.3 Potensi Volume Limbah... 33

5.9.4 Potensi Karbon Dalam Limbah ... 35

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 37

6.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Persamaan Allometrik Penduga Biomasa ... 8 2. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005 -2010 ... 21 3. Kadar Air (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian pohon ... 23 4. Nilai Kerapatan (gr/cm3)Acacia mangium Pada Berbagai Bagian

pohon... 25 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian

Pohon... 26 6. Kadar Zat Abu (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian

Pohon... 27 7. Kadar Karbon (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon ... 28 8. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon pada Berbagai Berbagai Bagian

Pohon ... 29 9. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon Bagian Menurut Kelas

Diameter ... 29 10. Model Pendugaan Hubungan Biomassa Pohon Acacia mangium

Dengan Diameter Dan Tinggi Pohon ... 30 11. Model Pendugaan Hubungan Karbon Pohon Acacia mangium

Dengan Diameter dan Tinggi Pohon ... 31 12. Potensi Volume Sebelum Pemanenan... 33 13. Potensi Kg C/Ha Tegakan Acacia mangium Sebelum Pemanenan

Berdasarkan Persamaan Pendugaan Karbon Per Pohon. ... 33 14. Volume (m³)/Ha Limbah Berdasarkan Sumber Dan Asalnya

Tegakan Acacia mangium ... 34 15. Persentase Volume Limbah (%)/Ha Terhadap Volume Sebelum

Pemanenan.. ... 35 16. Persentase dan Volume Limbah Pemanenan Kayu Di Petak

Tebang Acacia mangium... 36 17. Potensi Karbon (kg C/Ha) Dalam Limbah Terhadap Jumlah

Karbon Dengan Persamaan Terbaik Pada Tegakan Acacia

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Petak Lokasi Penelitian ... 51

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Hasil Pengukuran Kadar Air Berbagai Bagian Pohon

Acacia mangium.. ... 40

2 Hasil Pengukuran Kerapatan Batang Acacia mangium. ... 41

3 Hasil Pengukuran Kerapatan Cabang Beraturan Acacia mangium... 41

4 Hasil Pengukuran Kerapatan Tunggak Acacia mangium... 42

5 Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Batang Acacia mangium . ... 42

6. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Cabang Tidak Beraturan Acacia mangium ... 43

7. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Cabang Beraturan Acacia mangium ... 43

8. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Tungggak Acacia mangium ... 44

9. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Ranting Acacia mangium . ...44

10. Hasil Pengukuran Kadar Zat Terbang, Kadar Abu, dan Kadar Karbon Bagian Pohon Daun Acacia mangium . ... 45

11. Potensi Volume Sebelum Penebangan Berdasarkan Petak Ukur... 46

12. Potensi Volume Limbah Batang Berdasarkan Petak Ukur. ... 47

13. Potensi Volume Limbah Tunggak Berdasarkan Petak Ukur. ... 48

14. Potensi Volume Limbah Cabang Tidak Beraturan Berdasarkan Petak Ukur. ... 49

15. Potensi Volume Limbah Cabang Beraturan Berdasarkan Petak Ukur.... 49

16. Potensi Karbon Berdasarkan Jenis Limbah Terhadap Jumlah Karbon Berdasarkan Persamaan Terbaik. ... 50

(12)

I.1 Latar Belakang

Sebagai suatu ekosistem, hutan memiliki peranan penting dalam menjaga

keseimbangan lingkungan. Saat ini, fungsi tersebut menjadi semakin penting tatkala

dunia dihadapkan pada masalah perubahan iklim global (global climate change). Seperti

dikemukan Murray et al (2000), ekosistem hutan dapat berfungsi sebagai penyerap

gas-gas rumah kaca dengan cara mentransformasi karbondioksida (CO

2

) dari udara menjadi

simpanan karbon (C) yang tersimpan dalam komponen-komponen ekosistem hutan

seperti pohon, tumbuhan bawah dan tanah.

Isu tentang emisi karbon (carbon emission) yang semakin mengemuka membuat

para pengelola hutan harus lebih bijaksana didalam mengelola hutan. Salah satu

sumberdaya hutan yang dapat diandalkan sebagai sumber penyerap karbon adalah hutan

tanaman mangium (Acacia mangium Willd), karena jenis ini merupakan jenis cepat

tumbuh (fast growing spesies), memiliki daur pendek (6-8 tahun) dan banyak ditanam

sebagai tanaman pokok di beberapa wilayah Perum Perhutani di pulau Jawa dan sebagai

hutan tanaman indutri (HTI) di luar Pulau Jawa.

Pengelolaan sumber daya hutan yang tidak lestari, perubahan penutupan lahan

dan penggunaan lahan, laju deforestasi yang tinggi, praktek-praktek pembalakan tidak

terkendali, dan kebakaran hutan, telah banyak mengakibatkan penurunan biomassa di

hutan secara terus-menerus. Biomassa yang keluar dari hutan sering tidak seimbang

dengan penambahan biomassa hutan di dalam hutan. Biomassa hutan memiliki

kandungan karbon yang cukup potensial yaitu hampir 50 % dari biomassa vegetasi hutan

tersusun atas unsur karbon.

Kesuburan tanah dan unsur hara yang semakin menurun akibat eksploitasi

biomassa yang berlebihan didalam kegiatan pemanenan hutan merupakan ancaman serius

bagi kelestarian ekosistem hutan. Kegiatan pemanenan yang kurang efektif dan efisien

serta tanpa memperhatikan kelestarian hutan akan mengakibatkan limbah eksploitasi

Di Indonesia sampai saat ini penggunaan kayu dapat dikatakan masih kurang

efisien karena volume produksi atau jumlah kayu yang dimanfaatkan pada umumnya

masih rendah jika dibandingkan dengan volume kayu yang di tebang. Tidak sedikit

(13)

kayu-kayu yang ditebang ditinggalkan di dalam hutan sebagai limbah akibat pemanenan kayu-kayu

dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keadaan ini cukup memprihatinkan, karena di satu

pihak kebutuhan kayu terus meningkat dan dilain pihak terjadi pemborosan kayu yang

cukup besar.

Dari semua kegiatan yang terdapat dalam pemanenan hutan, kegiatan penebangan

merupakan kegiatan yang paling banyak menghasilkan limbah. Menurut Rishadi (2004),

besarnya persentase limbah pemanenan kayu di HTI Pulp adalah sebesar 3,87% dari total

potensi kayu yang dipanen, terdiri dari kegiatan penebangan sebesar 2,54%, penyaradan

sebesar 0,30%, limbah tempat penimbunan kayu (TPn) sebesar 0,89% dan limbah pada

kegiatan pengangkutan sebesar 0,14%.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa

limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan di PT. INHUTANI II, Sub-Unit HTI

kayu pulp Semaras untuk jenis Acacia mangium adalah sebesar 23,268 %. Limbah ini

terdiri atas limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah

potongan pendek. Limbah ini tidak dimanfaatkan kembali tetapi dibiarkan di lokasi

penebangan kayu. Limbah ini tidak dikeluarkan oleh perusahaan yang mengelola hutan

dengan alasan memerlukan biaya yang cukup tinggi.

Berdasarkan informasi tersebut di muka, perlu dilakukan penelitian tentang

potensi volume pemanenan, volume limbah dan potensi karbon agar dapat diketahui

potensi limbah kayu dan potensi kandungan karbon hutan tanaman Acacia mangium.

I.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1.

Untuk mengetahui kadar karbon dalam biomassa pohon pada tegakan Acacia

mangium.

2.

Untuk mengetahui besar potensi volume limbah pemanenan kayu pada tegakan

Acacia mangium.

3.

Untuk mengetahui potensi karbon pada tegakan Acacia mangium dan dalam

limbah pemanenan kayu

(14)

2.1 Keadaan Hutan Indonesia dan Potensi Simpanan Karbonnya

Saat ini, kondisi hutan alam tropis di Indonesia sangat mengkhawatirkan yang

disebabkan oleh adanya laju kerusakan yang tinggi. Pada kurun waktu 1980-1990 laju

kerusakan hutan mencapai 1,7 hektar per tahun yang kemudian meningkat menjadi 2

hektar pertahun setelah tahun 1996 (FWI/GFW,2002). Hal ini membawa konsekuensi

akan perlunya upaya rehabilitasi hutan. Selain itu, diperlukan paradigma baru dalam

pengelolaan hutan yang tidak hanya berorientasi pada kayu sebagai produk utama,

melainkan juga pada produk-produk non kayu seperti potensi simpanan karbon.

Seperti yang dikemukan Suhendang (2002), sumberdaya hutan di Indonesia

memiliki potensi tinggi dalam hal keanekaragaman hayati (biodiversity) dan potensi

penyerapan karbon. Menurut Suhendang (2002) memperkirakan bahwa hutan Indonesia

yang luasnya sekitar 120,4 juta hektar mampu menyerap dan menyimpan karbon sekitar

15,05 milyar ton karbon. Besarnya potensi hutan sebagai penyerap dan penyimpanan

karbon tersebut, memberikan peluang besar kepada Indonesia untuk terlibat dalam

mekanisme perdagangan karbon yang digagas dunia Internasional sejak disetujuinya

Protokol Kyoto pada tahun 1997.

2.2 Hutan Acacia mangium

Acacia mangium ditemukan pertama kali oleh Rumphius pada tahun 1653

sewaktu mempelajari tumbuh-tumbuhan di kepulauan Maluku. Hasilnya baru

duplikasikan pada tahun 1750 (Adisubroto et.al 1985). Acacia mangium merupakan salah

satu famili Leguminosae yang sebagian perawakannya berupa pohon atau perdu. Pohon

Acacia mangium bisa mencapai tinggi 30 m dan diameter 90 cm dengan batang bebas

cabang antara 0-15 m (Departemen Kehutanan 1992). Acacia mangium memiliki berat

jenis rata-rata 0,61 (0,43-0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III.(Mandang dan

Pandit 2002).

Acacia mangium dikenal sebagai tanaman tropis basah yang cepat tumbuh serta

penting bagi pembangunan HTI. Tiga hal yang melatarbelakangi tegakan Acacia

(15)

terpilih untuk dikembangkan, mempunyai kemampuan tumbuh cepat pada lahan yang

tersedia dan manfaat yang diberikan jenis ini mempunyai nilai ekonomi yang

menguntungkan. Sebagai salah satu jenis yang terpilih untuk dikembangkan dalam

kegiatan reboisasi dan pembangunan HTI, keberhasilan tegakan ini untuk dapat tumbuh

baik di lapangan sangat ditentukan oleh mutu bibit yang dihasilkan dari persemaian. Oleh

karena itu pengelolaan persemaian sekaligus pencegahan hama dan penyakit haruslah

sangat diperhatikan. Hal ini disebabkan semakin meluas hutan tanaman Acacia mangium

yang cenderung bersifat monokultur dapat berisiko tinggi terserang penyakit. Jenis

tegakan Acacia mangium ini mudah terserang rayap, penyakit dumping-off dan penyakit

embun tepung (Downy mildew) (Departemen Kehutanan 2001).

2.3 Pemanenan Kayu

Pemanenan kayu dapat didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan

yang mengubah pohon dan biomassa lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke

lokasi lain, sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat ( Suparto 1979).

Conway (1982) menjelaskan bahwa pemanenan kayu merupakan serangkaian

kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan

atau pengolahan kayu.

Kegiatan pemanenan kayu dibedakan atas 4 (empat) komponen yaitu:

1.

Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta memotong

kayu sesuai dengan ukuran batang untuk disarad.

2.

Penyaradan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari tempat penebangan ketepi

jalan angkutan.

3.

Pengangkutan, yaitu usaha untuk mengangkut kayu dari hutan ketempat

penimbunan atau pengolahan kayu.

4.

Penimbunan, yaitu usaha untuk menyimpan kayu dalam keadaan baik sebelum

digunakan atau dipasarkan, dalam keadaan ini termasuk pemotongan ujung-ujung

kayu yang pecah atau kurang rata sebelum ditimbun.

(16)

Menurut Elias (2002), sistem pemanenan kayu dapat dikelompokkan :

a. Berdasarkan energi yang dipakai :

- sistem manual

- sistem semi mekanis

- sistem mekanis

b. Berdasarkan peralatan yang dipakai :

- sistem traktor

- sistem kabel

- sistem aerial (balon dan helikopter)

- sistem gravitasi

- sistem penarikan dan pemikulan kayu oleh manusia

- sistem penarikan dengan tenaga hewan

c. Berdasarkan bentuk dan ukuran kayu yang dihasilkan :

- Full tree system

- Tree length system

- Long wood system

- Short wood system

- Pulp wood system

- Chips wood system

- Cut to length system

d. Berdasarkan sistem silvikultur yang dipakai :

- Sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI)

- Sistem Tebang Pilih Tanaman Jalur (TPTJ)

- Sistem Tebang Habis Pemudaan Alam (THPA)

- Sistem Tebang Habis Pemudaan Buatan (THPB)

e. Berdasarkan mobilitas peralatan pemanenan.

Sistem pemanenan hasil hutan ditinjau dari derajat mekanisasi dibagi tiga macam :

1. Sistem manual

Sejak dari proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pemotongan

batang-batang pohon menjadi ukuran tertentu, penyaradan hasil penebangan ke TPn serta

pemuatan ke atas truk dilakukan dengan tenaga otot.

(17)

2. Sistem semi-mekanis

Dalam sistem ini proses penebangan, pemangkasan cabang dan ranting, pembagian

batang, penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara semi mekanis.

3. Sistem mekanis penuh

Sistem mekanis penuh berarti sejak dari tahap penebangan, pemangkasan cabang dan

ranting, pembagian batang, serta penyaradan dan pengangkutan dilakukan secara

mekanis. Sistem ini pada umumnya diterapkan pada pekerjaan yang berskala besar

seperti HTI, dimana target produksi pemanenan kayu sebagai pemasok bahan baku

setiap industri pulp and paper dapat mencapai jutaan meter kubik pertahunnya. Dalam

merekayasa sistem dan teknik pemanenan kayu di HTI selain aspek teknis,

sosial-ekonomis dan lingkungan juga harus dipertimbangkan terutama aspek penciptaan

lapangan kerja baru (Elias 2002).

2.4 Limbah

Menurut Massijaya (1998), limbah kayu dapat dibedakan menjadi dua

berdasarkan lokasi terjadinya limbah, limbah pemanenan kayu yang berada di hutan dan

limbah pengolahan kayu yang berada di lokasi industri pengolahan kayu. Limbah

pemanenan kayu merupakan massa kayu yang tidak dimanfaatkan sebagai akibat dari

kegiatan pemanenan di hutan alam, dapat berupa jenis – jenis kayu non komersil/ tidak

termasuk kayu mewah, kayu dekoratif dengan penggunaan tertentu, kayu bulat dengan

diameter kurang dari 30 cm tanpa batasan panjang, dan kayu bulat dengan panjang

kurang dari 2 meter tanpa batasan diameter.

Meulenhoff (1972) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan limbah eksploitasi

adalah sisa primer yang ditinggalkan dalam hutan sebagai akibat kegiatan eksploitasi.

Limbah ini bisa terdiri dari:

a. Tunggak – tunggak yang berbanir atau tidak berbanir.

b. Ujung pohon atau bagian pohon di atas batang bebas cabang termasuk cabang atau

ranting.

(18)

d. Kayu bulat yang tidak memenuhi syarat pengujian kayu karena cacat, bengkok, dan

pecah.

e. Pohon-pohon belum dikenal atau belum ada pemasarannya (non komersil).

f. Pohon-pohon lain yang rusak akibat kegiatan penebangan.

Kegiatan penebangan ini meninggalkan banyak limbah yang meliputi limbah

tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, limbah potongan pendek.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kartika (2004) diketahui bahwa limbah

yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan adalah sebesar 23,268%. Jika ditinjau dari asal

limbah maka untuk limbah cabang dan ranting merupakan asal limbah yang paling besar

(13,115%) sedangkan asal limbah paling kecil adalah potongan pendek (1,493%).

Menurut

Darusman

(1989),

telah

banyak ditelaah hal-hal yang dapat

menyebabkan terjadinya limbah. Beberapa pakar eksploitasi mengemukakan bahwa

limbah kayu di areal penebangan terutama terjadi karena cara pengerjaan yang kurang

memperhatikan efisiensi, desain peralatan yang tidak sesuai, organisasi kerja yang kurang

baik dan permintaan jenis produk yang kurang menguntungkan. Disamping itu ada

faktor-faktor alami yang dipersalahkan sebagai penyebab timbulnya limbah kayu di areal

penebangan, yakni topografi berat, musim hujan dan lain-lain.

2.5 Biomassa

Brown (1997) mendefinisikan biomassa pohon sebagai jumlah total bahan

organik hidup di atas tanah pada pohon termasuk daun, ranting, cabang dan batang utama

yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area. Selain itu jumlah dari

biomassa pohon merupakan selisih antara hasil fotosintensis dengan konsumsi untuk

respirasi dan proses pemanenan. Penentuan biomassa dilakukan dengan tujuan untuk

mengetahui besarnya biomassa yang terkandung dalam petak tebangan dan dalam limbah

pemanenan. Hampir 50% dari biomassa dari vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon

dimana unsur tersebut dapat di lepas ke atmosfer dalam bentuk karbondioksida (CO

2

)

apabila hutan tersebut dibakar.

Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu biomassa di atas tanah

(above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground

(19)

waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produktifitas, umur tegakan

hutan dan distribusi organik. Pendugaan biomassa vegetasi dapat menyediakan informasi

tentang simpanan karbon dan nutrisi di dalam vegetasi.

Model persamaan allometrik penduga biomassa tegakan telah dikembangkan oleh

Brown (1997) dalam berbagai jenis hutan yang dikelompokkan berdasarkan curah hujan

(Tabel 1). Persamaan yang dikembangkan menggunakan parameter diameter yang diukur

setinggi dada orang normal atau dbh (1,3 m) dan tinggi total. Penyusunan model

allometrik biomassa tegakan juga telah dilakukan Ogawa et al (1965) yang menghasilkan

persamaan: Ws = 0,0396 ( D²H)

0, 6326

yang berlaku untuk Ws = biomassa batang, D =

diameter dan H = tinggi

Tabel 1. Persamaan allometrik penduga biomassa tegakan

Sumber : Brown (1997)

Menurut Chapman (1976) dalam Sumanti (2003), secara garis besar metode

pendugaan biomassa di atas permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi dua cara,

yaitu :

a. Metode Pendugaan Langsung

1. Metode Pemanenan Suatu Tegakan

Metode ini dapat digunakan pada tingkat kerapatan yang cukup rendah dan komunitas

dengan jenis yang sedikit. Nilai total biomassa yang diperoleh dengan menjumlahkan

biomassa seluruh tegakan dalam suatu unit area sampel

2. Metode Pemanenan Kuadrat.

No

Tempat tumbuh

Curah Hujan

(mm/th)

Persamaan

Range

DBH

(cm)

Jumlah

sampel

pohon

R

2

1

Kering

(< 1500 )

Y = 0,1329D²·³²

5 - 40

28

0,89

Y = 42,69 – 12,8D + 1,242D

2

5-

148

170 0,84

2

Lembab

(1500 - 4000)

Y = 0,118D²·³¹

5- 148

170

0,97

3

Basah (>4000)

Y = 21,3 – 6,95D + 0,74D

2

4 - 112

169

0,92

(20)

Metode ini mengharuskan memanen semua tegakan dalam suatu unit area sampel dan

menimbangnya. Nilai total biomassa diperoleh dengan mengkonversi berat bahan

organik tegakan yang dipanen di dalam suatu unit area sampel.

3. Metode Pemanenan Tegakan yang Mempunyai Luas Bidang Dasar Rata-rata.

Metode ini cukup baik untuk tegakan dengan ukuran seragam. Dalam metode untuk

tegakan yang ditebang ditentukan rata-rata diameternya lalu ditimbang beratnya. Nilai

total biomassa diperoleh dengan menggandakan nilai berat rata-rata dari semua

tegakan sampel.

b. Metode Pendugaan Tidak Langsung

1. Metode hubungan allometrik

Persamaan allometrik dibuat dengan mencari korelasi yang paling baik antar dimensi

pohon dengan biomassanya. Sebelum membuat persamaan tersebut, pohon-pohon

yang mewakili sebaran kelas diameter ditebang dan ditumbangkan. Nilai total

biomassa diperoleh dengan menjumlahkan semua berat individu pohon dari suatu unit

area tertentu.

2. Metode Crop Meter

Pendugaan biomassa metode ini dengan cara menggunakan seperangkat peralatan

elektroda listrik yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak

tertentu. Biomassa tumbuhan yang terletak antara dua elektroda dipantau dengan

memperhatikan alectrical capacitance yang dihasilkan alat tersebut.

Adinugroho dan Sidiyasa (2006) mengelompokkan komponen-komponen

penyusun biomassa pohon di atas permukaan tanah sebagai berikut :

a. biomassa batang utama + kulit

b. biomassa cabang

c. biomassa ranting

d. biomassa daun

e. biomassa tunggak

Pengukuran biomassa tunggak, batang, dan cabang beraturan dihitung menggunakan

pendekatan volume dikalikan kerapatan kayu pada setiap bagian komponen tersebut.

(21)

Untuk pengukuran biomassa daun, ranting dan cabang tidak beraturan dilakukan dengan

cara penimbangan secara langsung.

2.6 Kerapatan Kayu (Wood Density)

Kerapatan

kayu

merupakan

perbandingan massa kayu kering oven (gr) dengan

volumenya (cm

3

) (Haygreen dan Bowyer 1996). Brown (1997) juga menegaskan bahwa

kerapatan kayu merupakan massa kayu kering oven per satuan volume (ton/m

3

atau

gram/cm

3

). Sedangkan berat jenis erat kaitannya dengan kerapatan kayu, dimana berat

jenis diperoleh dengan membagi nilai kerapatan kayu dengan kerapatan air ( 1 gr/cm

3

)

sehingga berat jenis tidak mempuyai satuan (Haygreen dan Bowyer 1996).

Berat jenis kering udara bagi suatu tempat tertentu bersifat agak tetap. Di

Indonesia umumnya kayu yang diperdagangkan bersifat sangat basah. Pada keadaan

pengarangan yang sama kayu-kayu dengan berat jenis yang lebih tinggi akan memberi

arang kayu yang lebih keras dan lebih berat pada tiap kesatuan isi dari pada kayu-kayu

dengan berat jenis yang lebih rendah (Seng 1990).

2.7 Karbon

Umumnya kandungan karbon dalam hutan berkisar antara 45-50% dari biomassa

dari vegetasi hutan (Brown, 1997). Sehingga untuk perhitungan karbon dari hasil

perhitungan biomassa tersebut dikonversi bentuk C (ton C/ha) yaitu dengan mengalikan

faktor konversi sebesar 0,5 (Handayani, 2002). Kandungan karbon dalam hutan dapat

diduga dengan menggunakan rumus C=B

X

0,5

Dimana : C= Jumlah stok karbon (ton/ha)

B= Biomassa diatas tanah

Tahapan penentuan kandungan karbon dari sampel tegakan adalah sebagai berikut :

1. Menghitung kandungan karbon per pohon dengan mengunakan rumus: C= B

X

0,5

2. Hasil dari perhitugan kandungan karbon perpohon dikalikan dengan jumlah individu

per ha maka diperoleh kandungan karbon per ha.

Setelah itu hasil perhitungan C dikonversi dalam bentuk CO

2

dengan mengalikan

hasil perhitungan C tersebut dengan faktor konversi sebesar 3,67 (Handayani, 2002).

Nilai tersebut diperoleh dari rumus kimia C bentuk matematis sebagai berikut :

(22)

CO

2

= C

X

3,67

Dimana : CO

2

= Kandungan karbondioksida (ton/ha)

C = Kandungan karbon (ton/ha)

2.8 Kadar Abu

Kadar abu adalah jumlah oksida-oksida logam yang tersisa pada pemanasan yang

tinggi. Abu tersusun dari mineral-mineral terikat kuat pada arang seperti kalsium, kalium

dan magnesium. Komponen utama abu dalam beberapa kayu tropis ialah kalium,

kalsium, dan magnesium dan silika. Galat dalam penetapan kadar abu dapat disebabkan

oleh hilangnya klorida logam alkali dan garam-garam amonia serta oksida tidak

sempurna pada karbonat dari logam alkali tanah (Achmadi,1990).

Menurut Haygreen& Bowyer (1982) kayu mengandung senyawa organik yang tetap

tinggal setelah terjadi pembakaran pada suhu tinggi pada oksigen yang melimpah, residu

semacam ini dikenal sebagai abu. Abu dapat ditelusuri karena adanya senyawa yang tidak

terbakar yang mengandung unsur-unsur seperti kalsium ,kalium ,magnesium ,mangan dan

silika. Karena mineral-mineral yang penting untuk fungsi fisiologis pohon cenderung

terkonsentrasi dalam jaringan kulit, kadar abu kulit biasanya lebih tinggi daripada kayu.

2.9 Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang menunjukan kandungan zat-zat yang mudah menguap yang

hilang pada pemanasan 950°C yang terkandung pada arang. Secara kimia zat terbang

terbagi menjadi tiga sub golongan yaitu senyawa alifatik, terpena dan senyawa fenolik.

Zat-zat yang menguap ini akan menutupi pori-pori kayu dari arang (Haygreen & Bowyer

1982). Zat mudah terbang adalah persentase gas yang dihasilkan dari pemanasan arang

yang ditetapkan pada temperatur dan waktu standar yaitu pada 950 ± 20°C selama 2

menit (ASTM 1996 b).

(23)

3.1 Waktu dan tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2008 di petak 37 f RPH Maribaya, BKPH

Parungpanjang, KPH Bogor. Dan selanjutnya pengujian sampel dilakukan di

Laboratorium Kimia Hasil Hutan dan Peningkatan Mutu Kayu, Departemen Hasil Hutan,

Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan bahan

Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pita ukur, tally sheet, haga

hypsometer, alat tulis, cat warna (penanda pohon), timbangan, karung, kalkulator, cawan

porselen oven tanur listrik, alat penggiling (willey mill), alat saring (mesh screen) ukuran

40-60 mesh dan kamera. Sedangkan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini berupa

tegakan mangium (Acacia mangium willd) yang sedang dipanen dan kayu hasil tebangan

pada blok tebangan tersebut.

3.3 Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu: .

1. Data sekunder yaitu merupakan data yang diperoleh dari perusahaan

a. Peta lokasi penelitian.

b. Keadaaan lapangan yang meliputi topografi, tanah, geologi dan iklim.

c. Keadaan hutan yang meliputi tipe hutan dan potensi hutan.

d. Pengusahaan hutan yang meliputi sistem pemanenan, volume produksi dan jenis

pohon yang dipanen.

2. Data Primer yaitu data yang diperoleh dari pengamatan dan pengukuran langsung di

lapangan yang terdiri dari:

a. Pengambilan data di lakukan dari 4 sample plot seluas masing – masing 50x50

m². Penentuan sample plot di lakukan dengan cara random.

b. Pohon yang ditebang/rebah yaitu data yang dikumpulkan meliputi diameter dan

panjang setiap batang utama, cabang beraturan, tunggak, berat daun, ranting, dan

cabang tidak beraturan.

(24)

3.4 Metoda Pengumpulan Data

Untuk pohon yang ditebang/rebah pengumpulan data sebagai berikut :

a. Batang dan cabang beraturan dibagi kedalam seksi-seksi, diukur diameter pangkal

dan ujung.

b. Menimbang berat basah daun.

c. Menimbang ranting, cabang, dan batang yang tidak beraturan.

d. Bagian tunggak diukur keliling pangkal, ujung dan tinggi tunggak dengan

menggunakan pita ukur.

e. Untuk menentukan kerapatan kayu diambil contoh pada :

1. Bagian batang

2. Bagian cabang beraturan

3. Bagian tunggak

Pengambilan contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 2 cm masing – masing

sebanyak 4 ulangan pada pohon yang berbeda sehingga jumlah sampel (n) 12

buah. Setiap contoh uji di oven (105 °C ) kemudian diukur volume dan

beratnya pada saat kering tanur

f. Untuk menentukan perhitungan berat kering dan kandungan karbon pada

1. daun

2. cabang tidak beraturan

3. cabang beraturan

4. batang utama

5. tunggak

Diambil contoh pada setiap komponen pohon masing-masing sebanyak 4 ulangan

pada pohon yang berbeda, sehingga jumlah seluruhnya ada 20 buah.

3.5 Pengolahan Data

1. Perhitungan potensi volume pemanenan dilakukan dengan menggunakan rumus

Brereton : V = ¼

π {( Du+Dp) / 2 }/100 }² x L

Dimana : V

= volume (m³)

π

= 3,14 (konstanta)

Dp = Diameter pangkal (cm)

(25)

Du = Diameter ujung (cm)

L = Panjang (m)

2. Volume limbah pemanenan kayu

Untuk menentukan volume kayu limbah pemanenan akan di pergunakan rumus

Brereton.Volume limbah pemanenan kayu adalah jumlah volume semua batang

atau pohon yang menjadi limbah dalam petak tebangan tersebut. Volume limbah

kayu per hektar merupakan jumlah volume limbah dari kayu di tebang (berupa

tunggak, batang bebas cabang, batang dari cabang dengan diameter 10 cm keatas).

3. Perhitungan kerapatan kayu

Kerapatan kayu (R) pada bagian batang, cabang beraturan dan tunggak diperoleh

dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Haygreen dan Bowyer,1989).

R= massa / volume (gr/cm³)

4. Perhitungan biomassa dengan pendekatan volume

Perhitungan biomassa yang menggunakan pendekatan volume diperoleh dengan

mengalikan setiap bagian pohon (cabang beraturan, batang, tunggak) dengan nilai

kerapatan kayu pada bagian pohon tersebut.

5. Perhitungan Kadar Air

Kadar air diperoleh dari nilai rata-rata KA contoh sebanyak 4 ulangan. Pada

setiap bagian pohon yang diambil dihitung dengan rumus (Haygreen dan

Bowyer,1989).

KA = BBc – BKc x 100%

BKc

Dimana :

KA = Persen kadar air (%)

BBc = berat basah contoh (gr)

(26)

6. Menghitung Berat kering

Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), berat kering yang dihasilkan dari

pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke

kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa diatas permukaan tanah. Berat

kering setiap bagian pohon (batang utama, daun, cabang tidak beraturan, cabang

beraturan dan tunggak) dapat juga diketahui setelah pegovenan. Apabla berat

basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji maka berat

kering dari masing-masing sample dapat diketahui dengan rumus :

Dimana :

BK = Berat kering (kg)

BB = Berat basah (kg)

KA = Persen kadar air (%)

Berat kering yang dihasilkan dari pengovenan dinyatakan dalam satuan gram

yang kemudian dikonversi ke kilogram perhektar untuk mengetahui biomassa

diatas permukaan tanah

Nilai kerapatan kayu yang diperoleh bila dibandingkan dengan kerapatan air akan

menghasilkan berat jenis kayu tersebut. Adapun besar kerapatan air adalah 1

gr/cm³.

Berat jenis kayu = Kerapatan kayu

Kerapatan air

Berat jenis yang digunakan dari pengukuran dibandingkan dengan berat jenis

kayu yang telah diteliti sebelumnya (Martawijaya et al,. 1981 dan Oey Djoen

Seng. 1990).

(27)

7. Penentuan Kadar Zat Terbang

Prinsip penetapan kadar zat terbang adalah menguapkan bahan yang tidak termasuk

air dengan menggunakan energi panas. Prosedur penentuan zat terbang yang

digunakan adalah American Socety for Testing Material (ASTM.1990b) D 5832-98

adalah sebagai berikut :

1. Cawan porselen diisi contoh uji berupa serbuk sebanyak ± 2 gr, kemudian cawan

ditutup rapat dengan penutupnya.

2. Contoh uji dimasukkan kedalam tanur listrik bersuhu 950°C selama 2 menit.

Kemudian cawan berisi contoh uji tersebut didinginkan dalam desikator dan

selanjutnya ditimbang.

Kadar zar terbang dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut:

Kadar Zat Terbang = Kehilangan Berat Contoh X 100 %

Berat Contoh Uji Bebas Air

8. Penentuan Kadar Abu

Prinsip penentapan kadar abu adalah menentukan jumlah abu yang tertinggal dengan

membakar serbuk menjadi abu dengan mengunakan energi panas. Prosedur yang

digunakan berdasarkan ASTM.1990a D 2866-94 adalah sebagai berikut :

1. Sisa contoh uji dari penentuan kadar zat terbang dimasukkan kedalam tanur listrik

bersuhu 750 °C selama 6 jam.

2. Selanjutnya didinginkan didalam desikator dan kemudian ditimbang untuk

diketahui beratnya.

Kadar abu dinyatakan dalam persen dengan rumus sebagai berikut :

Kadar Abu = Berat Sisa Contoh Uji X 100%

Berat Contoh Uji Bebas Air

9. Penentuan Kadar Karbon

Penentuan kadar karbon yang dilakukan adalah kadar karbon tetap bahan yang telah

diarangkan. Penentuan kadar karbon tetap yang digunakan adalah berdasarkan

Standar Nasional Indonesia. (SNI) 06-3730-1995 adalah sebagai berikut :

(28)

10. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah :

1. Analisis statistik deskriptif atau penyajian dalam bentuk gambar (histogram,

diagram batang dan lain-lain). Menurut Hasan (2001) statistik deskriptif adalah

bagian dari statistik yang mempelajari cara pengumpulan dan penyajian data serta

menguraikan keterangan-keterangan mengenai suatu sumber data sehingga mudah

dipahami.

2. Untuk mengetahui perbedaan kadar karbon tetap (fixed carbon) antar bagian

pohon dilakukan analisis statistik yaitu uji beda nilai tengah menggunakan uji t.

Adapun parameter yang diuji adalah :

a. Perbedaan kadar karbon tetap rata-rata setiap bagian pohon yaitu pada bagian

batang, cabang beraturan, cabang tidak beraturan, ranting dan daun.

b. Perbedaan kadar karbon pada tiap jenis pohon berdasarkan berat jenisnya (BJ).

Rumus yang digunakan adalah (Walpole 1995) :

t hitung =

dimana :

t hitung =

Beda nilai tengah

=

Rataan kadar karbon bagian pohon ke-1

=

Rataan kadar karbon bagian pohon ke-2

=

Selisih nilai beda tengah populasi = 0

1

=

Ragam bagian pohon ke-1

2

=

Ragam bagian pohon ke-2

n

¹

=

Jumlah contoh bagian pohon ke-1

n

²

=

Jumlah contoh bagian pohon ke-2

(29)

4.1. Letak Geografis dan Keadaan Umum

Wilayah BKPH Parungpanjang terbagi dalam tiga Resort Pemangkuan Hutan

(RPH), secara administratif kawasan hutan tersebar di tiga wilayah kecamatan yaitu

Kecamatan Tenjo, Parungpanjang dan Jasinga.

Secara geografis BKPH Parungpanjang terletak di

106°13’25’’-106°22’23’’BT dan 06°21’00’’-06°26’59’’LS, dengan ketinggian berkisar antara 75–

323 m dpl, jenis tanahnya adalah Podsolik haplik, tingkat kesuburan tanah sampai

dengan sangat rendah, Curah hujan rata-rata 3000 mm/tahun, Suhu antara 18°-

25,5°C. Secara fisiografis termasuk dataran dengan kelerengan bervariasi antara 0-8

%.

Wilayah BKPH Parungpanjang memiliki luas 5. 397, 24 ha yang terbagi ke

dalam tiga Resort dengan luas masing-masing :

- RPH Tenjo

: 1. 532, 83 ha

- RPH Maribaya

: 2. 104, 44 ha

- RPH Jagabaya

: 1. 705, 63 ha

Secara keseluruhan ketiga resort tersebut berbatasan dengan :

- Sebelah Utara dengan Kabupaten Tangerang

- Sebelah Selatan dengan Kecamatan Jasinga

- Sebelah Barat dengan Kabupaten Tangerang

- Sebelah Timur dengan Kecamatan Leuwiliang

Wilayah KPH Bogor termasuk ke dalam wilayah DAS Ciliwung-Cisadane,

sedangkan kawasan Kelas Perusahaan Acacia mangium di KPH Bogor termasuk

dalam wilayah DAS Cidurian.

4.2 Potensi Sumberdaya Hutan

Berdasarkan hasil risalah tahun 2000, BKPH Parungpanjang ditetapkan

sebagai Kelas Perusahaan Acacia mangium dan pembagian kelas hutan berdasarkan

RPKH jangka waktu 2005 -2010 disajikan dalam Tabel 1 :

(30)

Tabel 1. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005 -2010

No Kelas Hutan Luas (ha)

I PRODUKTIF KU X KU IX KU VIII KU VII KU VI KU V KU IV KU III KU II KU I 107.15 241.35 400.09 261.51 127.33 425.48 212.24 311.69 414.73 403.86 Jumlah KU 2.905,45 Masak Tebang Miskin Riap 5.84 8.32 Jumlah MT + MR 14.16 Jumlah Produktif 2.919,58 II TIDAK PRODUKTIF

LTJL(Lapangan Tebang Jangka Lampau) TK (Tanah Kosong)

TKL(Tanaman Kayu Lain) HAKL (Hutan Alam Kayu Lain) TAMBK HAMBK 287.19 666.36 104.78 2.96 674.68 - Jumlah I + II 4.655,55

III TBPTH ( Tak Baik Untuk Produksi Tebang Habis) -

IV Tak baik untuk Acacia mangium -

V TJKL (Tebang Jalur Kayu Lain) -

VI Bukan untuk Produksi

TBP (Kawasan Hutan Tak Baik Untuk Penghasilan) LDTI (Lapangan Dengan Tujuan Istimewa)

SA / HW (Suaka Alam/ Hutan Wisata) HL (Hutan Lindung) 144.23 597.46 - - Jumlah IV 741.69 Jumlah I s.d VI 5.397,24 *Sumber : RPKH 2005 – 2010

4.3 Sosial Ekonomi

Hutan yang merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa, sudah sejak lama

menjadi sumber kehidupan dan penghidupan masyarakat setempat, sehingga

keberadaannya sangat berarti bahkan karena kondisi perekonomian bangsa saat ini

menjadikan hutan sebagai salah satu sarana untuk memperbaiki penghasilan dan

pendapatan masyarakat. Adanya pengelolaan hutan di BKPH Parungpanjang dari

mulai persemaian hingga pemeliharaan telah menjadikan solusi bagi masyarakat desa

hutan untuk mencari penghasilan dengan menjadi tenaga kerja, sedangkan dengan

(31)

adanya kegiatan tebang habis selain masyarakat desa hutan berperan aktif

mendapatkan penghasilan langsung, lokasi bekas tebangan dapat dijadikan lahan

garapan bagi masyarakat dengan bertumpangsari melalui sistem PHBM.

Kegiatan tumpangsari sejak lima tahun terakhir dapat membantu masyarakat

sekitar hutan untuk mencukupi kehidupannya, kecuali pada tahun 2003 dan 2004

karena diberlakukannya moratorium logging sehingga tidak ada peluang bagi

masyarakat untuk menggarap pada lahan bekas tebangan. Hasil dari bertumpangsari

diperkirakan setiap tahunnya seluas 400 ha/0,25 ha/ orang = 1600 orang, dengan

rata-rata produksi 2000 kg/ha x harga Rp. 2000,- maka pendapatan masyarakat desa hutan

yang menggarap di lahan Perhutani sebesar Rp 1.600.000.000,- atau per orang Rp.

1.000.000,- dalam 1 kali masa panen, ini membuktikan bahwa peranan hutan

sangatlah penting bagi kehidupan masyarakat.

(32)

5.1 Kadar Air

Kadar air (KA) adalah berat air yang dinyatakan dalam persen terhadap berat kayu atau berat kering tanur (BKT). Variasi kadar air ditentukan antara lain oleh kemampuan kayu atau massa kayu untuk menyimpan air dan adanya zat ekstraktif kayu yang bersifat higroskopis yang terdapat pada dinding atau dalam lumen sel kayu. Tabel 1 merupakan hasil perhitungan kadar air setiap bagian pohon contoh.

Tabel 3. Kadar Air (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon Bagian Pohon

Diameter

Daun Ranting Ctb Cb Tunggak Batang Rata-rata

16,00 19,77 17,47 19,47 16,55 16,27 19,01 18,09 17,50 20,06 13,39 13,87 14,79 15,03 14,53 15,28 18,00 16,50 19,65 14,51 14,74 11,83 19,18 16,07 19,00 15,19 11,58 11,69 10,32 18,20 13,70 13,45 21,00 10,28 19,00 10,42 9,57 15,78 12,17 12,87 21,50 19,12 15,67 12,61 8,21 8,19 8,41 12,03 22,50 16,73 10,16 15,46 8,35 12,92 11,45 12,51 23,50 12,58 13,44 16,68 13,21 10,56 13,69 13,36 25,00 8,71 18,74 8,90 14,79 14,34 16,67 13,69 27,00 13,19 16,37 11,28 14,63 20,25 12,08 14,63 27,50 11,12 11,67 16,81 13,79 13,20 9,98 12,76 28,50 14,11 10,55 9,53 18,99 14,42 12,65 13,38 30,00 16,77 8,46 12,68 16,11 11,95 11,02 12,83 31,00 15,35 9,52 13,84 12,52 9,60 10,95 11,96 32,00 14,77 15,73 9,76 10,44 14,43 8,38 12,25 32,50 17,11 8,13 12,98 11,50 10,47 11,05 11,87 Rata-rata 15,09 13,72 13,16 13,03 13,59 12,81

Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan

Menunjukkan Tabel 3 hasil pengukuran kadar air pada Acacia mangium pada rata-rata pada diameter 16 cm nilai kadar air paling besar 18,09%, sedangkan pada diameter 32,5 cm nilai kadar air merupakan kadar air terkecil yaitu 11,87%.

Nilai kadar air rata-rata pada bagian pohon yang paling tinggi adalah bagian daun dengan nilai kadar air 15,09 % dan nilai kadar air yang terkecil pada batang 12,81 %. Daun memiliki kadar air yang tinggi karena merupakan unit fotosintesis yang pada umumnya memiliki banyak rongga sel yang di isi oleh air dan unsur hara mineral. Daun memiliki jumlah stomata yang menyebabkan

(33)

banyaknya air dari lingkungan yang akan diserap oleh daun, sehingga banyak rongga sel yang diisi oleh air. Sedangkan batang memiliki kadar air rendah karena pada bagian batang komposisi zat penyusun kayu lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya. Bagian pohon lainnya pada setiap kelas diameter memiliki nilai kadar air rata-rata dengan pola yang hampir sama (kecenderungan nilai kadar air menurun seiring meningkatnya kelas diameter). Umumnya pada kelas diameter yang paling kecil memiliki kadar air yang tinggi karena kandungan air masih tinggi dan belum didominasi oleh zat-zat penyusun kayu.

Pada bagian pohon lainnya nilai rata-rata kadar airnya yaitu ranting, cabang tidak beraturan, cabang beraturan, dan tunggak memiliki nilai kadar air masing-masing 13,72%, 13,16 %, 13,03 %, dan 13,59 %.

5.2 Kerapatan Kayu

Kerapatan adalah kandungan massa dalam ukuran unit volume, sedangkan berat jenis (BJ) adalah perbandingan antara kerapatan kayu (atas dasar berat kering tanur dan volume pada kandungan air yang telah ditentukan). kerapatan dan berat jenis kayu dipengaruhi oleh kadar air, struktur, ekstratif dan komposisi kimia.

Tabel 4. Nilai Kerapatan (gr/cm3) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon

Bagian Pohon Diameter

Ctb Batang Tunggak Rata-Rata

16,00 0,48 0,46 0,45 0,46 17,50 0,52 0,45 0,55 0,51 18,00 0,51 0,51 0,54 0,52 19,00 0,53 0,53 0,53 0,53 21,00 0,59 0,46 0,58 0,55 21,50 0,51 0,52 0,60 0,55 22,50 0,53 0,54 0,45 0,51 23,50 0,41 0,48 0,54 0,48 25,00 0,40 0,48 0,53 0,47 27,00 0,49 0,46 0,55 0,50 27,50 0,49 0,48 0,53 0,50 28,50 0,67 0,49 0,53 0,56 30,00 0,49 0,41 0,60 0,50 31,00 0,50 0,49 0,47 0,49 32,00 0,55 0,49 0,52 0,52 32,50 0,52 0,46 0,53 0,50 Rata-rata 0,51 0,48 0,53 Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan

(34)

Pada Tabel 4 hasil pengukuran kerapatan kayu paling besar pada diameter 28.5 cm sebesar 0,56 gr/cm3 . Sedangkan kerapatan kayu lebih kecil pada

diameter 16 cm sebesar 0,46 gr/cm3.

Berdasarkan hasil pengukuran nilai kerapatan kayu pada bagian - bagian pohon Acacia mangium adalah sebesar 0,53 gr/cm3 pada bagian tunggak 0,51 gr/cm3 pada bagian cabang dan 0,48 gr/cm3 pada bagian batang. Dalam penelitian ini dihasilkan nilai kerapatan kayu atau berat jenis kayu, cabang lebih tinggi dibandingkan batang, dan kayu cabang berbeda dengan kayu batang. Beberapa jenis sel lebih banyak terdapat pada kayu cabang daripada dalam kayu batang, pada cabang-cabang kayu keras, pembuluh dan jari-jari lebih banyak daripada dalam batang utama dengan serabut yang lebih sedikit (Haygreen dan Bowyer,1989) dalam Adinugroho dan Kade (2006). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kayu cabang umumnya mempunyai kerapatan kayu lebih tinggi daripada kayu batang (Fegel,1941: Jane et al.,1970) dalam dalam Adinugroho dan Kade (2006).

5.3 Kadar Zat Terbang

Tabel 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon.

Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan

Bagian Pohon Diameter

Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-Rata

16,00 49,12 54,99 56,93 56,60 58,32 58,87 55,80 17,50 48,54 54,12 55,69 55,90 59,67 61,23 55,86 18,00 48,57 52,55 56,30 55,54 60,91 59,82 55,62 19,00 49,71 53,48 56,33 55,60 58,82 65,39 56,55 21,00 50,65 56,44 55,40 56,10 58,92 61,93 56,57 21,50 48,43 55,71 55,97 54,42 59,67 61,63 55,97 22,50 48,63 53,68 57,19 55,94 59,16 64,62 56,54 23,50 49,40 55,44 56,33 57,09 59,99 57,61 55,98 25,00 49,89 56,56 57,12 56,85 62,25 61,70 57,40 27,00 50,18 54,62 55,18 53,72 56,35 58,47 54,75 27,50 51,07 53,33 56,85 56,96 62,65 61,32 57,03 28,50 49,04 55,64 55,81 56,43 57,67 58,93 55,59 30,00 47,30 54,99 55,87 56,22 59,04 56,84 55,04 31,00 50,36 53,89 56,35 56,12 62,15 60,44 56,55 32,00 48,50 56,26 56,08 56,63 60,51 60,17 56,36 32,50 49,36 56,89 55,40 56,78 61,61 57,19 56,21 Rata-rata 49,30 54,91 56,17 56,06 59,86 60,39

(35)

Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui kadar zat terbang dalam pohon

Acacia mangium pada rata-rata diameter yang paling besar terdapat pada diameter

25 cm sedangkan rata-rata diameter terkecil terdapat pada diameter 27 cm.

Sedangkan rata-rata kadar zat terbang yang diperoleh pada bagian pohon adalah rata-rata pada bagian tunggak sebesar 54,91 %, bagian cabang tidak beraturan sebesar 56,17 %, bagian cabang beraturan sebesar 56,06 %, bagian ranting sebesar 59,86 %, dan kadar zat terbang tertinggi terdapat pada bagian daun sebesar 60,39 %. Kadar zat terbang terendah terdapat pada bagian batang sebesar 49,30 %.

5.4 Kadar Zat Abu

Tabel 6. Kadar Zat Abu (%) Acacia Mangium Pada Berbagai Bagian Pohon. Bagian Pohon

Diameter

Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata

16,00 1,35 1,94 1,01 1,59 1,83 2,42 1,69 17,50 1,02 2,21 1,19 1,85 2,06 1,98 1,72 18,00 1,43 1,72 1,30 1,51 0,94 1,40 1,38 19,00 1,10 2,10 1,50 1,96 1,31 1,61 1,60 21,00 1,09 1,63 1,04 1,70 3,00 1,59 1,67 21,50 1,03 1,59 1,29 1,78 4,00 1,92 1,93 22,50 1,34 1,52 1,20 1,78 1,95 0,37 1,36 23,50 1,62 2,17 1,30 1,79 2,98 2,84 2,12 25,00 1,06 1,60 1,46 2,21 2,83 1,76 1,82 27,00 1,18 1,59 1,46 1,68 3,92 1,77 1,93 27,50 1,22 1,62 1,10 1,89 1,92 1,58 1,56 28,50 2,53 2,17 1,36 1,56 3,09 1,70 2,07 30,00 2,35 1,85 1,38 1,71 2,10 3,39 2,13 31,00 1,09 1,45 1,46 1,63 1,94 1,59 1,53 32,00 1,98 1,52 1,13 2,06 2,27 2,07 1,84 32,50 1,07 1,86 1,22 1,92 1,73 2,13 1,66 Rata-rata 1,40 1,78 1,28 1,79 2,37 1,88

Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan

Kadar abu pada berbagai bagian pohon yang terbesar terdapat pada bagian ranting sebesar 2,37 %, pada bagian daun sebesar 1,88 %, pada bagian cabang beraturan sebesar 1,79 %, pada bagian tunggak sebesar 1,78 %, pada bagian batang sebesar 1,40 % dan kadar abu terendah terdapat pada bagian cabang tidak beraturan sebesar 1,28 %.

(36)

5.5 Kadar Karbon

Tabel 7. Kadar Karbon (%) Acacia Mangium Willd Pada Berbagai Bagian Pohon Bagian Pohon

Diameter

Batang Tunggak Ctb Cb Ranting Daun Rata-rata

16,00 49,53 43,08 42,06 41,82 39,85 38,70 42,51 17,50 50,43 43,67 43,12 42,25 38,27 36,79 42,42 18,00 50,00 45,73 42,40 42,95 38,15 38,77 43,00 19,00 49,19 44,43 42,17 42,44 39,87 33,00 41,85 21,00 48,26 41,93 43,56 42,20 38,08 36,48 41,75 21,50 50,54 42,70 42,74 43,80 36,34 36,45 42,09 22,50 50,03 44,80 41,61 42,28 38,89 35,00 42,10 23,50 48,98 42,39 42,38 41,11 37,03 39,55 41,91 25,00 49,05 41,84 41,42 40,94 34,91 36,53 40,78 27,00 48,64 43,79 43,36 44,59 39,73 39,76 43,31 27,50 47,70 45,05 42,05 41,15 35,42 37,11 41,41 28,50 48,42 42,20 42,83 42,01 39,24 39,37 42,34 30,00 50,36 43,16 42,76 42,07 38,86 39,77 42,83 31,00 48,54 44,66 42,19 42,25 35,90 37,97 41,92 32,00 49,52 42,23 42,78 41,31 37,23 37,76 41,81 32,50 49,57 41,25 43,38 41,30 36,66 40,68 42,14 49,30 43,31 42,55 42,15 37,78 37,73

Keterangan : Ctb = Cabang Tidak Beraturan Cb = Cabang Beraturan

Rata-rata kadar karbon pada bagian pohon terbesar terdapat pada bagian batang yaitu sebesar 49.30 %, kadar karbon pada bagian tunggak sebesar 43,31 %, kadar karbon pada bagian cabang tidak beraturan sebesar 42,55 %, kadar karbon pada bagian cabang beraturan 42,15 %, dan kadar karbon pada bagian ranting sebesar 37,78 % Sedangkan kadar karbon terendah terdapat pada bagian daun yaitu sebesar 37,73 %. Kadar karbon pada daun lebih rendah karena daun memiliki kadar abu yang tinggi dan zat terbang yang relatif tinggi. Kandungan abu yang tinggi disebabkan karena daun merupakan unit fotosíntesis yang di dalamnya banyak mengandung air dan unsur hara mineral yang menyebabkan kandungan abunya menjadi relatif tinggi, sehingga kandungan karbonnya menjadi rendah.

(37)

5.6 Uji t-Student

Tabel 8. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon Pada Berbagai Bagian Pohon Bagian Pohon Tunggak Cabang Tidak

Beraturan

Cabang

Beraturan Ranting Daun

Batang 0.00000** 0.00000** 0.00000** 0.00000** 0.00000** Tunggak 0.09106tn 0.00416** 0.00000** 0.00000** Cabang Tidak Beraturan 0.12135 tn 0.00000** 0.00000** Cabang Beraturan 0.00000** 0.00000** Rantng 0.94404tn

Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05) tntidak berbeda nyata (p > 0,05)

Pada Tabel 8 di atas dapat diketahui berdasarkan bagian pohonnya bahwa perbedaan kadar karbon sangat nyata terdapat antara bagian batang dengan tunggak, bagian batang dengan cabang tidak beraturan, bagian batang dengan ranting dan antara bagian batang dengan daun. Dan perbedaan kadar karbon tidak nyata terdapat antara tunggak dengan cabang tidak beraturan, bagian cabang tidak beraturan dengan cabang beraturan dan antara bagian ranting dengan daun. Perbedaan kadar karbon sangat nyata sebagian besar terlihat pada semua bagian pohon, hanya sebagian kecil yang mempunyai perbedaan nyata dan perbedaan tidak nyata. Hal ini terjadi karena pada masing-masing bagian pohon Acacia

mangium memang berbeda terhadap kadar karbon yang terdapat didalamnya dan

juga pada tiap-tiap bagian pohon mempunyai kandungan unsur penyusun kimia yang berbeda pula.

Tabel 9. Hasil Uji t-Student Kadar Karbon Bagian Menurut Kelas Diameter

Diameter 20-25 25-30 30-35

15-20 0.243882335tn 0.298316tn 0.484663tn

20-25 0.998851tn 0.604952tn

25-30 0.625209tn

Keterangan : ** berbeda sangat nyata (p < 0,01) *berbeda nyata (p 0,01- 0,05) tntidak berbeda nyata (p > 0,05)

Pada Tabel 9 di atas dapat diketahui berdasarkan kelas diameternya bahwa perbedaan kadar karbon tidak nyata antara diameter 15-20 cm dengan diameter 20-25 cm, diameter 15-20 cm dengan diameter 25-30 cm dan diameter 15-20 cm dengan diameter 30-35 cm. Perbedaan kadar karbon tidak nyata antara diameter

(38)

20-25 cm dengan 25-30 cm, diameter 20-25 cm dengan 30-35 cm dan bagian diameter 25-30 cm dengan 30-35 cm.

5.7 Model Pendugaan Biomassa Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon

Berdasarkan hasil perhitungan kandungan biomassa kering, dapat ditentukan model pendugaan hubungan biomassa dengan diameter dan tinggi pohon. Pemilihan persamaan allometrik terbaik dilakukan dengan menguji beberapa persamaan. Pada Tabel 10 disajikan model untuk menduga potensi biomassa bagian-bagian pohon Acacia mangium dengan melihat hubungan antara biomassa dengan diameter, biomassa dengan diameter dan tinggi. Bentuk persamaan yang diujikan dan dipakai untuk pendugaan biomassa ini adalah model yang hanya terdiri dari satu peubah saja : W = aDb dan Log W = Log a + b Log D dan model yang terdiri dari dua peubah : W = aDb1Hb2 dan Log W = a + b1 Log D + b2 Log H. Dimana W adalah biomassa dalam Kg/ha, D adalah diameter pohon dalam meter, H adalah tinggi total pohon dalam meter dan a,b adalah konstanta.

Tabel 10. Model Pendugaan Hubungan Biomassa Pohon Acacia mangium Dengan Diameter Dan Tinggi Pohon

Bagian Model Linear R2 (adj) S P

Pohon W = 3.318(D1.71) 87.30% 0.064461 0 W = 0.903(D1.42)(H0.746) 88.60% 0.061192 0 Batang W= 2.962(D1.72) 86.10% 0.068441 0 W= 0.72(D1.41)(H0.813) 87.60% 0.064621 0 Tunggak W= 0.422(D1.11) 72.30% 0.067764 0 W= 0.60(D1.2)(H-0.215) 70.50% 0.069991 0

Cabang Tidak Beraturan W= 0.024(D1.92) 77.80% 0.101394 0

W= 0.005(D1.52)(H0.966) 78.10% 0.100687 0 Cabang Beraturan W= 0.031(D1.98) 88.40% 0.070848 0 W= 0.0097(D1.68)(H0.705) 88.70% 0.070059 0 Ranting W= 0.065(D1.44) 48.20% 0.143208 0.002 W= 0.661(D2.02)(H-1.41) 49.20% 0.141755 0.005 Daun W= 0.025D1.77) 86.60% 0.069282 0 W= 0.26(D2.23)(H-1.11) 89.00% 0.062793 0 Keterangan : R-Sq(adj) = Koefisien determinasi

P = Taraf nyata S = Simpangan baku

(39)

Pada Tabel 10 disajikan model pendugaan untuk menduga biomassa dengan melihat hubungan antara diameter dan tinggi pohon. Pada model pertama digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dengan diameter sedangkan untuk model kedua digunakan untuk menduga hubungan antara biomassa dengan diameter dan tinggi pohon. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa R-Sq(adj) berkisar antara 48,20 % - 89,00 %. dari kedua model persamaan, W = aDb memiliki koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) dengan kisaran 48,20 % - 87,30 %. Sedangkan persamaan W = a Db1Hb2 memiliki koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) yang lebih besar yakni dengan kisaran 49,20 % - 89,00 %. Dari Tabel 8 terlihat pula bahwa beberapa persamaan atau model tersebut diatas dapat diterima (P < 0,005) karena peubah bebasnya (tinggi dan diameter) memiliki pengaruh yang nyata terhadap perubahan biomassa.

Untuk kelayakan model adalah dengan membandingkan nilai koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)). Diantara model C = aDb menunjukkan keeratan hubungan biomasa dengan peubah bebas diameter yang lebih baik dibandingkan dengan model C = a DbHc. Dengan demikian model yang terbaik yang dapat diterapkan adalah C = aDb, karena meskipun ada penambahan peubah bebas tinggi, namun kenaikan nilai koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) sangat sedikit.

5.8 Model Pendugaan Karbon Berdasarkan Hubungan Dengan Diameter dan Tinggi Pohon

Model yang digunakan untuk menduga kandungan karbon pada tiap bagian pohon sama seperti pada pendugaan biomassa yaitu menggunakan model : C = aDb dan C = a + bD untuk model hubungan kandungan karbon dengan diameter, sedangkan untuk menduga hubungan antara kandungan karbon dengan diameter dan tinggi pohon digunakan model: C = a Db1 Hb2 dan C = a + b1D + b2H, dimana

C adalah kandungan karbon dalam Kg C/ha, D adalah diameter pohon dalam meter, H adalah tinggi dalam meter. Sedangkan a dan b adalah konstanta.

(40)

Tabel 11. Model Pendugaan Hubungan Karbon Pohon Acacia mangium Dengan Diameter dan Tinggi Pohon

Bagian Model Linear R2 (adj) S P

Pohon C=1,71(D1,69) ) 86,60% 0,066002 0 C= 0,53(D1,44)(H0,667) 87,30% 0,064085 0 Batang C=1,56(D1,75) 85,50% 0,069351 0 C=0,44(D1,33)(H1,11) 86,40% 0,067083 0 Tunggak C= 0,21(D1,07) 70,70% 0,067849 0 C= 0,31(D1,09)(H-0,111) 68,80% 0,069964 0

Cabang Tidak Beraturan C= 0,01(D1,94) 78,60% 0,099768 0

C= 0,002(D1,54)(H 0,952) 78,90% 0,099059 0 Cabang Beraturan C= 0,02(D1,95) 86,60% 0,075973 0 C= 0,004(D1,66)(H0,705) 86,80% 0,075619 0 Ranting C=0,03(D 1,36) 43,70% 0,14767 0,003 C= 0,37(D1,99)(H-1,51) 45,20% 0,145626 0,008 Daun C= 0,006(D1,87) 88,20% 0,068113 0 C= 0,049(D2,38)(H-1,21) 91,00% 0,059524 0

Keterangan : R-Sq(adj) = Koefisien determinasi P = Taraf nyata

S = Simpangan baku

Pada Tabel 11 disajikan model pendugaan untuk menduga kandungan karbon dengan melihat hubungan antara diameter dan tinggi pohon. Pada model pertama digunakan untuk menduga hubungan antara karbon dengan diameter sedangkan untuk model kedua digunakan untuk menduga hubungan antara karbon dengan diameter dan tinggi pohon. Pada Tabel 9 dapat dilihat bahwa R-Sq(adj) berkisar antara 43,70 %-88,20 %. Dari kedua model persamaan, C = a Db1 Hb2 memiliki koefisien determinasi adjustment (R-Sq(adj)) dengan kisaran 45,20 %-91,00 %. Dari Tabel 9 terlihat pula bahwa beberapa persamaan atau model tersebut diatas dapat diterima (P < 0,005) karena peubah bebasnya memiliki pengaruh yang nyata terhadap perubahan karbon, kecuali persamaan pendugaan karbon ranting dengan dua peubah bebas karena nilai P > 0,005. Dari tabel diatas dapat diketahui model terbaik adalah C = a Db1 Hb2 dengan persamaan C= 0,.53 D1.44 H0.667.

(41)

5.9 Potensi Karbon 5.9.1 Potensi Volume

Pada Tabel 12 disajikan potensi volume sebelum pemanenan berdasarkan volume tinggi bebas cabang dan volume tinggi total.

Tabel 12. Potensi Volume Sebelum Pemanenan

PETAK /0,25 Ha N (ph) Vbc (m³) Vtot (m³) I 69 17,41 45,46 II 49 11,36 34,36 III 53 11,59 33,86 IV 62 13,97 40,39 Jumlah 233 54,33 154,07

Keterangan : Vbc = Volume Bebas Cabang Vtot = Volume Total

Dari keempat petak tersebut potensi volume sebelum pemanenan yang terbesar terdapat pada petak I yakni volume tinggi bebas cabang sebesar 17,41 m³ dan volume tinggi total sebesar 45,46 m³, penyebabnya karena petak 1 jumlah pohon yang diukur lebih banyak daripada petak-petak yang lainnya sehingga potensi volume lebih besar.

Pada petak 2 volume tinggi bebas cabang sebesar 11,36 m³ dan volume tinggi total sebesar 34,36 m³. Pada petak 3 volume tinggi bebas cabang sebesar 11,59 m³ dan volume tinggi total sebesar 33,86 m³. Pada petak 4 volume tinggi bebas cabang sebesar 13,97 m³ dan volume tinggi total sebesar 40,39 m³.

5.9.2 Potensi Karbon

Pada Tabel 13 dapat diketahui potensi karbon Kg C/Ha pada petak ukur 1, 2, 3, dan 4 berdasarkan persamaan terbaik.

Tabel 13. Potensi Kg C/Ha Tegakan Acacia mangium Sebelum Pemanenan Berdasarkan Persamaan Pendugaan Karbon Per Pohon.

Persamaan Petak 1 Petak 2 Petak 3 Petak 4 Rata-rata C= 0.53 D1.44 H0.667 106.324,55 78.917,06 81.125,53 95.175,13 90.385,57

Pada Tabel 13 disajikan potensi sebelum pemanenan berdasarkan pendugaan karbon per pohon berdasarkan persamaan C= 0.53 D1.44 H0.667 pada petak 1 sebesar 106.324,55 kg C/Ha, petak 2 sebesar 78.917,06 kg C/Ha, petak 3 sebesar 81.125,53 kg C/Ha, petak 4 sebesar 95.175,13 kg C/Ha dan untuk rata-rata perpetak tersebut sebesar 90.385,57 kg C/Ha.

(42)

5.9.3 Potensi Volume Limbah

Tabel 14. Volume (m³/Ha) Limbah Berdasarkan Sumber Dan Asalnya Tegakan Acacia

mangium. Petak Jumlah Pohon Sebelum Pemanenan Volume Sebelum Pemanenan (m³) Volume Tunggak Volume Batang Volume Cabang Tidak Beraturan Cabang Beraturan Total I 276 181,84 1,43 12,27 1,76 4,39 19,85 II 196 137,45 0,91 9,33 1,51 3,89 15,63 III 212 135,42 1,48 9,01 3,04 4,70 18,22 IV 248 161,55 1,09 11,15 2,26 5,41 19,90 Rata-rata 233 154,07 1,22 10,44 2,14 4,60 18,40

Pada Tabel 14 disajikan volume limbah berdasarkan sumber dan asalnya, pada petak 1 dari 276 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 181,84 m³/Ha, didapatkan hasil 1,43m³/Ha limbah tunggak, limbah batang 12,27 m³/Ha, 1,76 m³/Ha cabang tidak beraturan, 4,39 m³/Ha cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 1 adalah sebesar 19,85 m³/Ha.

Pada petak 2 dari 196 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 137,45 m3/Ha, didapatkan hasil 0,91 m³/Ha limbah tunggak, 9,33 m³/Ha limbah batang, 1,51 m³/Ha cabang tidak beraturan, 3,89 m³/Ha limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 2 adalah sebesar adalah 15,63m³/Ha.

Pada petak 3 dari 212 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 135,42 m³/Ha, didapatkan 1,48 m³/Ha limbah tunggak, 9,01 m³/Ha limbah batang, 3,04 m3/Ha limbah cabang tidak beraturan, 4,70 m3/Ha limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 3 adalah sebesar 18,22 m3/Ha.

Pada petak 4 dari 248 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 161,55 m3/Ha, didapatkan hasil 1,09 m3/Ha limbah tunggak, 11,15m3/Ha limbah limbah batang, 2,26 m3/Ha limbah cabang tidak beraturan, 5,41 m3/Ha limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 4 adalah sebesar 19,90 m3/Ha.

(43)

Tabel 15. Persentase Volume Limbah (%)/Ha Terhadap Volume Sebelum Pemanenan. Petak Jumlah Pohon Sebelum Pemanenan Volume Sebelum Pemanenan (m³) Tunggak Batang Cabang Tidak Beraturan Cabang Beraturan Total I 276 181,84 0,79 6,75 0,97 2,41 10,92 II 196 137,45 0,66 6,79 1,10 2,83 11,37 III 212 135,42 1,09 6,66 2,24 3,47 13,46 IV 248 161,55 0,67 6,90 1,40 3,35 12,32 Rata-rata 233 154,07 0,80 6,77 1,43 3,01 12,02

Pada Tabel 15 disajikan persentase limbah berdasarkan sumber dan asalnya pada petak 1 dari 276 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 181,84 m3, didapatkan hasil 0,79 % limbah tunggak, 6,75 % limbah batang, 0,97 % cabang tidak beraturan, 2,41 % cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 1 adalah sebesar 10,92 %.

Pada petak 2 dari 196 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 137,45 m3 didapatkan hasil 0,66 % limbah tunggak, 6,79 % limbah batang, 1,10 % cabang tidak beraturan, 2,83 % limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 2 adalah sebesar adalah 11,37 %.

Pada petak 3 dari 212 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 135,42 m3, didapatkan hasil 1,09 % limbah tunggak, 6,66 % limbah batang, 2,24 % limbah cabang tidak beraturan, 3,47 % limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 3 adalah sebesar 13,46%.

Pada petak 4 dari 248 pohon yang ditebang dengan volume kayu sebesar 161,55 m3, didapatkan hasil 0,67 % limbah tunggak, 6,90 % limbah batang, 1,40 % limbah cabang tidak beraturan, 3,35 % limbah cabang beraturan. Total volume limbah yang terjadi pada petak 4 adalah sebesar 12,32 %. Dari data-data yang ada pada tabel 14 dan tabel 15 dapat dilihat bahwa rata-rata volume dan persentase limbah terbesar adalah jenis limbah batang, hal ini dapat terjadi karena faktor pembagian batang yang dilakukan untuk menyesuaikan alat angkut log. Dengan kapasitas alat angkut yang terbatas maka batang bebas cabang yang ada di petak tebangan dibagi/dipotong sedemikian rupa sehingga log sesuai dengan kapasitas lori tersebut. Potongan-potongan sisa pembagian batang dengan jumlah yang relatif besar itulah yang menjadi limbah batang.

Gambar

Tabel 1. Kelas hutan berdasarkan RPKH jangka waktu 2005 -2010
Tabel 3. Kadar Air (%) Acacia mangium  Pada Berbagai Bagian Pohon   Bagian Pohon
Tabel 4. Nilai Kerapatan (gr/cm 3 )    Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon  Bagian Pohon
Tabel 5. Kadar Zat Terbang (%) Acacia mangium Pada Berbagai Bagian Pohon.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Guru dan siswa bertanya jawab berkaitan dengan identitas diri yang dibutuhkan sebagai warga negara yang baik.. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan

diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara persepsi siswa tentang kompetensi pedagogik terhadap prestasi

Pendidik menempati kedudukan sentral, ia harus menerjemahkan dan menjabarkan nilai- nilai yang terdapat dalam kurikulum, kemudian mentransformasikan nilai-nilai tersebut pada

Isi pokok mata kuliah ini meliputi: (1) konsep teori, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran bahasa, (2) metode-metode pengajaran bahasa, (3)

Hasil analisa dang pengembangan sistem diperoleh perancangan sistem baru ini dapat memperbaiki prosedur penggajian dan absensi lebih efektif dikarenakan adanya

Memberikan perhatian yang lebih besar terhadap beberapa hal yang memiliki gap atau kesenjangan harapan dengan persepsi paling tinggi yakni kecepatan dalam memperoleh koleksi

[r]

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan strategi Giving Question and Getting Answers dengan media gambar pada pokok bahasan sistem peredaran