• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Penderita Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Penderita Karsinoma Nasofaring Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2006-2010"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010

Tesis

Oleh:

dr. Dewi Puspitasari

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

GAMBARAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010

Tesis

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister dalam Bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah

Kepala Leher

Oleh:

dr. Dewi Puspitasari

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK

ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Medan, Mei 2011 Tesis dengan judul

GAMBARAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing Ketua

dr. Hafni, Sp.THT-KL (K)

NIP: 19560911 198403 2 001

Anggota

dr.Rizalina A. Asnir,Sp.THT-KL(K) dr. Adlin Adnan,Sp.THT-KL NIP: 19610716 198803 2 001 NIP: 140 202 219

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas rahmat, karunia dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu tugas dan syarat untuk mencapai gelar Magister dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, BapakProf. Sjahril Pasaribu, Dr, dr, Sp.A (K), DTM&H, dan mantan rektor Prof. Chairuddin Panusunan Lubis, dr, Sp.A (K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.

Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. Gontar Alamsyah, dr, Sp.PD-KGEH yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar dan bekerja di Rumah Sakit ini.

Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K) sebagai Kepala Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan arahan sejak penulis mengikuti pendidikan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

(5)

menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.

Yang terhormat dr. Hafni, Sp. THT-KL(K) sebagai ketua pembimbing tesis, dr.Rizalina A.Asnir, Sp. THT-KL(K) dan dr. Adlin Adnan, Sp. THT-KL sebagai anggota pembimbing tesis, yang telah banyak memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis Magister ini. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya tujukan kepada semua guru-guru di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. Ramsi Lutan, dr. Sp.THT-KL (K); dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL (K); Prof. Askaroellah Aboet, dr, Sp.THT-KL (K); Prof. Abdul Rachman Saragih, dr, Sp.THT-KL (K); dr. Muzakkir Zamzam, Sp.THT-KL (K); dr. Mangain Hasibuan, Sp.THT-KL; dr. T. Sofia Hanum, KL (K); Dr. dr. Delfitri Munir, KL (K); dr. Linda I Adenin, Sp.THT-KL; dr. Hafni, Sp.THT-KL (K); dr. Ida Sjailandrawati Harahap, Sp.THT-Sp.THT-KL; dr. Adlin Adnan, Sp.THT-KL; dr. Rizalina A. Asnir, Sp.THT-KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL; dr. Andrina YM Rambe, Sp.THT-KL; dr. Harry Agustaf A, Sp.THT-KL; dr. Farhat, Sp.THT-KL; dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL; dr. Ashri Yudhistira, Sp.THT-KL; dr. Devira Zahara, Sp.THT-KL, dr.H.R.Yusa Herwanto, Sp.THT-KL, dr.M. Pahala Hanafi Hrp, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL yang telah memberikan bimbingan, ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL yang bermanfaat bagi penulis di kemudian hari.

(6)

Yang Mulia Ayahanda H.M. Nasir Syarbaini, SE dan Ibunda Hj. Sri Maya dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing dengan penuh kasih saying semenjak kecil sehingga penulis dewasa agar menjadi anak yang berbakti kepada kedua orang tua, agama, bangsa dan Negara. Dengan memanjatkan do’a kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua penulis serta sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi penulis sewaktu kecil. Terimakasih juga penulis tujukan kepada kakak-kakak penulis Rini Hariyani, Devi Juliastuti,SH,Sp.CN, Dahlia Triyanti,SE dan Syafina Khairiah, MSI,Ak yang telah memberikan dorongan semangat selama penulis menjalani pendidikan ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat peserta Magister Kedokteran Ilmu Kesehatan THT-Bedah Kepala dan Leher yang telah bersama-sama, baik dalam suka maupun dalam duka, saling membantu sehingga terjalin persaudaraan yang erat, dengan harapan teman-teman lebih giat lagi sehingga dapat menyelesaikan studi ini. Semoga Allah selalu memberkahi kita semua.

Semoga segala bantuan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis menjadi amal ibadah. Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, dan semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.

Medan, Mei 2011

(7)

GAMBARAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010

Abstrak

Pendahuluan: Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang berpotensi tinggi mengadakan metastasis regional ke kelenjar limfe servikal maupun metastase jauh. Sekitar 90% pasien KNF menunjukkan keganasan nodus limfe servikal. Di antara berbagai jenis kanker kepala leher, KNF merupakan salah satu jenis dengan prognosis buruk karena posisi tumor berdekatan dengan dasar tengkorak dan berbagai struktur penting lainnya. Selain itu, diagnosis dini sulit ditegakkan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring yang sulit. Untuk seluruh keganasan kepala dan leher di Indonesia, hampir 60% merupakan karsinoma nasofaring. Berdasarkan data kanker pada Depkes 2007, KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita selama periode tersebut.

Tujuan: Untuk memperoleh data mengenai gambaran penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis penderita baru karsinoma nasofaring berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Januari 2006-Desember 2010.

Hasil: Penderita karsinoma nasofaring paling banyak ditemukan pada laki-laki(73.1%), kelompok umur 51-60 tahun(26.5%), suku Batak (57.1%), bekerja sebagai petani (27.8%), keluhan utama berupa benjolan di leher (71%), tipe histologi non-keratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) dan penderita pada stadium klinis IV (45.1%).

(8)

DESCRIPTION OF PATIENTS WITH NASOPHARYNGEAL CARCINOMA IN RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN IN 2006-2010

Abstract

Introduction: Nasopharynx carcinoma is a carcinoma that is highly potential to obtain regional metastases to cervical lymph nodes or distant metastases. About 90%, nasopharynx carcinoma patients show cervical lymph node malignancy. Typically, nasopharyngeal carcinoma carries a poor prognosis because of its proximity to skull base and other vital structures. Beside that, early diagnosis was difficult because the subtlety of its symptoms and the difficult nature of the examination, especially for primary care physicians. In order to entire head and neck cancer in Indonesia, almost 60% of nasopharynx carcinoma. Based on data from Depkes in 2007, nasopharynx carcinoma including 10 types of most cancer in Indonesia in 2004-2006 and is constantly increasing the number of patients in the period.

Objective: In order to obtain data about the description nasopharynx carcinoma patients in RSUP H.Adam Malik Medan in 2006-2010.

Method: This study is descriptive by using secondary data from medical record of new patients with the nasopharynx carcinoma based on histopathological that come to RSUP H. Adam Malik Medan in January 2006-December 2010.

Result: Patients with nasopharynx carcinoma in January 2006-December 2010 are 335 patients. They are most prevalent in men (73.1%), age group 51-60 years (26.5%), Batak ethnic group (57.1%), working as a farmer (27.8%), with the main complaint in the form of lump in the neck (71%), non-ceratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) and patients on stage IV (45.%).

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun Tabel 4.1.2. Distribusi frekuensi menurut umur pada KNF

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penatalaksanaan KNF menurut NCCN 2010 Gambar 2. Kerangka konsep

Gambar 5.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun Gambar 5.2. Distribusi frekuensi kelompok umur penderita per tahun

Gambar 5.3. Distribusi kelompok umur penderita KNF selama tahun 2006-2010 Gambar 5.4. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF per tahun

Gambar 5.5. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF selama tahun 2006-2010 Gambar 5.6. Distribusi frekuensi suku bangsa penderita KNF tahun 2006-2010

Gambar 5.7. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan penderita KNF Gambar 5.8. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF per tahun Gambar 5.9. Distribusi frekuensi keluhan utama periode 2006-2010 Gambar 5.10. Distribusi frekuensi jenis histopatologi per tahun

Gambar 5.11. Frekuensi jenis histopatologi penderita KNF periode 2006-2010 Gambar 5.12. Distribusi frekuensi menurut stadium pada KNF setiap tahunnya Gambar 5.13. Distribusi stadium KNF selama lima tahun (2006-2010)

Gambar 5.14. Distribusi frekuensi terapi pada KNF setiap tahunnya Gambar 5.15. Distribusi frekuensi terapi KNF periode 2006-2010

(11)

DAFTAR ISI

Abstrak ii

Abstract iii

Daftar Tabel iv

Daftar Gambar v

Daftar Isi vi

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ………...……… 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

Bab 2. Tinjauan pustaka 2.1. Anatomi Nasofaring... 5

2.2. Epidemiologi... 5

2.3. Etiologi... 7

2.4. Gejala Klinis 9

2.5. Diagnosis 12

2.6. Histopatologi ... 14

2.7. Stadium... 16

2.8. Penatalaksanaan... 17

2.9. Prognosis... 17

Kerangka Konseptual ... 18 Bab 3. Metode penelitian

(12)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian...

19

3.3. Populasi dan Sampel 19

3.4. Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel Penelitian ... 19

3.4.2. Definisi Operasional Variabel... 20

3.5. Kerangka Penelitian... 21

3.6. Bahan dan Alat Penelitian... 21

3.7. Cara Kerja 3.7.1. Persiapan... 21

3.7.2. Pengumpulan Data... 22

3.8. Analisa Data ... 22

Bab 4. Hasil penelitian 4.1. Hasil Statistik Deskriptif 4.1.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun ... 23

4.1.2. Distribusi frekuensi menurut umur berdasarkan KNF ... 23

4.1.3. Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin berdasarkan KNF 24

4.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa berdasarkan KNF.. 25

4.1.5. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan berdasarkan KNF 25

4.1.6. Distribusi frekuensi menurut keluhan utama berdasarkan KNF... 26

4.1.7. Distribusi frekuensi menurut histopatologi berdasarkan KNF 26

4.1.8. Distribusi frekuensi menurut stadium berdasarkan KNF ... 27

(13)

xiii

4.2.1. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis ... 28

4.2.2. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis... 28

Bab 5. Pembahasan 5.1. Statistik Deskriptif 5.1.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun ... 29

5.1.2. Distribusi frekuensi menurut umur pada KNF ... 30

5.1.3. Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin pada KNF 33

5.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF.. 35

5.1.5. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF ... 36

5.1.6. Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF 37 5.1.7. Distribusi frekuensi menurut histopatologi pada KNF 39

5.1.8. Distribusi frekuensi menurut stadium pada KNF ... 41

5.1.9. Distribusi frekuensi menurut terapi pada KNF 43

5.2. Statistik Analitik 5.2.1. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis ... 45

5.2.2. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis... 46

Bab 6. Kesimpulan dan saran 47

Daftar Pustaka 49

(14)

GAMBARAN PENDERITA KARSINOMA NASOFARING DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2006-2010

Abstrak

Pendahuluan: Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang berpotensi tinggi mengadakan metastasis regional ke kelenjar limfe servikal maupun metastase jauh. Sekitar 90% pasien KNF menunjukkan keganasan nodus limfe servikal. Di antara berbagai jenis kanker kepala leher, KNF merupakan salah satu jenis dengan prognosis buruk karena posisi tumor berdekatan dengan dasar tengkorak dan berbagai struktur penting lainnya. Selain itu, diagnosis dini sulit ditegakkan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring yang sulit. Untuk seluruh keganasan kepala dan leher di Indonesia, hampir 60% merupakan karsinoma nasofaring. Berdasarkan data kanker pada Depkes 2007, KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita selama periode tersebut.

Tujuan: Untuk memperoleh data mengenai gambaran penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010.

Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari rekam medis penderita baru karsinoma nasofaring berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan pada bulan Januari 2006-Desember 2010.

Hasil: Penderita karsinoma nasofaring paling banyak ditemukan pada laki-laki(73.1%), kelompok umur 51-60 tahun(26.5%), suku Batak (57.1%), bekerja sebagai petani (27.8%), keluhan utama berupa benjolan di leher (71%), tipe histologi non-keratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) dan penderita pada stadium klinis IV (45.1%).

(15)

DESCRIPTION OF PATIENTS WITH NASOPHARYNGEAL CARCINOMA IN RSUP.H. ADAM MALIK MEDAN IN 2006-2010

Abstract

Introduction: Nasopharynx carcinoma is a carcinoma that is highly potential to obtain regional metastases to cervical lymph nodes or distant metastases. About 90%, nasopharynx carcinoma patients show cervical lymph node malignancy. Typically, nasopharyngeal carcinoma carries a poor prognosis because of its proximity to skull base and other vital structures. Beside that, early diagnosis was difficult because the subtlety of its symptoms and the difficult nature of the examination, especially for primary care physicians. In order to entire head and neck cancer in Indonesia, almost 60% of nasopharynx carcinoma. Based on data from Depkes in 2007, nasopharynx carcinoma including 10 types of most cancer in Indonesia in 2004-2006 and is constantly increasing the number of patients in the period.

Objective: In order to obtain data about the description nasopharynx carcinoma patients in RSUP H.Adam Malik Medan in 2006-2010.

Method: This study is descriptive by using secondary data from medical record of new patients with the nasopharynx carcinoma based on histopathological that come to RSUP H. Adam Malik Medan in January 2006-December 2010.

Result: Patients with nasopharynx carcinoma in January 2006-December 2010 are 335 patients. They are most prevalent in men (73.1%), age group 51-60 years (26.5%), Batak ethnic group (57.1%), working as a farmer (27.8%), with the main complaint in the form of lump in the neck (71%), non-ceratinizing squamous cell carcinoma (46.6%) and patients on stage IV (45.%).

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 . Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) pertama kali dilaporkan secara terpisah oleh Regaud dan Schminke pada tahun 1921 (Wei & Sham, 2005; Brennan, 2006). KNF sering berawal dari fossa Rosenmuller, dan dapat meluas kedalam atau keluar dari dinding lateral dan/atau posterosuperior ke dasar otak atau ke palatum, kavum nasi atau orofaring (Brennan, 2006).

KNF berpotensi tinggi mengadakan metastasis regional ke kelenjar limfe servikal maupun metastase jauh. Sekitar 90 % pasien KNF menunjukkan keganasan nodus limfe servikal. Sebagian besar penderita KNF datang pada stadium lanjut (III dan IV) bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Diantara berbagai jenis kanker kepala leher, KNF merupakan salah satu jenis dengan prognosis buruk karena posisi tumor berdekatan dengan dasar tengkorak dan berbagai struktur penting lainnya. Selain itu, diagnosis dini sulit ditegakkan karena gejala yang tidak khas dan pemeriksaan nasofaring yang sulit. Hal ini merupakan kendala yang dihadapi sehingga memberikan hasil penanganan yang tidak memuaskan (Mulyarjo, 2002; Jeyakumar et al, 2006; Brennan, 2006).

(17)

dekade IV dan dekade V. KNF lebih sering dijumpai pada pria dengan perbandingan pria dan wanita 3 : 1 (Cottrill & Nutting, 2003; Ganguly et al. 2003).

Di Cina Selatan dan Utara penyakit ini endemik dengan angka insiden meningkat menjadi 50 per 100.000 penduduk (Cottrill dan Nutting, 2003). Insiden di Thailand pada suku Thai 3 per 100.000 penduduk, sedangkan pada turunan Cina 10 per 100.000 penduduk (McDermott AL, Dutt SN & Watkinson JC, 2001). Insidensi turunan Cina di Los Angeles adalah 6,5 kasus per 100.000 laki-laki, sedangkan insidensi turunan Cina di Singapura 18,1 kasus per 100.000 penduduk pada laki-laki (Sun et al, 2005; Lo et al,2007). Distribusi ras/etnik dan geografi yang khusus ini memberi kesan bahwa faktor

lingkungan dan genetik turut berperan dalam terjadinya KNF (Pua et al, 2008).

Untuk seluruh keganasan kepala dan leher di Indonesia, hampir 60 % merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh karsinoma hidung dan sinus paranasal, laring, sedangkan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Roezin, 1995). Data kanker pada Depkes (2007), KNF termasuk 10 jenis kanker terbanyak di Indonesia pada tahun 2004-2006 dan terus mengalami peningkatan jumlah penderita selama periode tersebut, dimana pada tahun 2004 dijumpai 1.039 penderita dari 25.055 seluruh penderita keganasan (proporsi 4,15 %) dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 1.633 penderita dari 31.155 seluruh penderita (proporsi 5,24 %). Tan (2010) melaporkan bahwa insidensi KNF di Indonesia mengalami peningkatan menjadi ~6 per 100.000 penduduk setiap tahunnya dengan rata-rata 12.000 kasus baru per tahun.

(18)

Di RSUP H. Adam Malik pada tahun 1998-2002 ditemukan 130 penderita KNF dari 1370 pasien baru onkologi kepala dan leher (Lutan, 2003), sedangkan selama Januari 1991 sampai April 1996 didapatkan 94 kasus KNF dari 160 kasus tumor ganas (Adnan, 1996).

Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa penderita KNF cukup tinggi di Indonesia. Oleh karenanya, penulis ingin melakukan penelitian tentang gambaran penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006 – 2010?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran penderita KNF di RSUP H.Adam Malik Medan tahun 2006 - 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi menurut umur pada KNF di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Mengetahui distribusi frekuensi menurut jenis kelamin pada KNF di RSUP H. Adam Malik Medan.

(19)

17

d. Mengetahui distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF di RSUP H.Adam Malik Medan.

e. Mengetehui distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF di RSUP H. Adam Malik Medan.

f. Mengetahui distribusi frekuensi menurut jenis histopatologi nasofaring pada KNF di RSUP H.Adam Malik Medan.

g. Mengetahui distribusi frekuensi stadium pada KNF di RSUP H.Adam Malik. h. Mengetahui distribusi frekuensi terapi pada KNF di RSUP H.Adam Malik

Medan

i. Mengetahui distribusi jenis kelamin berdasarkan stadium KNF. j. Mengetahui distribusi umur berdasarkan stadium KNF.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain : a. Manfaat Bagi Institusi

Sebagai bahan informasi dalam upaya peningkatan kelengkapan data penderita KNF yang lebih informatif

b. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu dan Penelitian

(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan ruang berbentuk trapezoid yang dilapisi epitel pseudostratified columnar tipe pernafasan dan epitel non keratinizing stratified squamous

(Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006). Tumor nasofaring mudah meluas ke fosa serebri media melalui 2 titik lemah yaitu, foramen laserum dan ovale (Cotrril &Nutting, 2003).

Sistem limfatik dari atap dan dinding posterior nasofaring berjalan ke arah anteroposterior dan bergabung pada garis tengah. Pada dinding lateral, terutama di daerah tuba Eustachius paling kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya juga berjalan ke arah anteroposterior dan bermuara ke kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, dimana rantai kelenjar ini terletak di bawah otot sternokleidomastoideus pada tiap prosesus mastoid. Beberapa kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat dengan saraf-saraf kranial terakhir, yaitu saraf IX,X,XI,XII (Cottrill & Nutting,2003).

2.2. Epidemiologi

(21)

Keturunan generasi pertama emigrasi dari Cina Selatan ke daerah mengalami penurunan insidens KNF menjadi 5 per 100.000. Insidensi turunan Cina di Negara Barat lebih rendah dibandingkan turunan Cina di Asia. Insidensi turunan Cina di Los Angeles adalah 6,5 kasus per 100.000 laki-laki, sedangkan insidensi turunan Cina di Singapura 18.1 kasus per 100.000 penduduk pada laki-laki (Sun et al, 2005; Lo et al,2007). Distribusi ras/etnik dan geografi yang khusus ini memberi kesan bahwa faktor lingkungan dan genetik turut berperan dalam terjadinya KNF (Pua et al, 2008).

Penelitian case series Roezin (1996) selama periode 10 bulan mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 30-39 tahun dan 40-49 tahun masing-masing sebesar 25.92% di RSCM Jakarta. Penelitian case series Muyassaroh et al (1999) di RSUP dr. Kariadi Semarang mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun dan 50-59 tahun masing-masing sebesar 24.8% dari 141 kasus.

Hasil yang berbeda didapat oleh Hadi dan Kusuma (1999) di RSUD dr. Soetomo Surabaya mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu 39 (30.23%) diikuti kelompok umur 41-50 tahun yaitu 31 dari 129 kasus (24.03%). Penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan, seperti penelitian case series oleh Lutan (2003) mendapatkan insiden tertinggi pada kelompok umur 40-49 tahun sebanyak 40% dari 130 kasus. Di kepustakaan disebutkan umur penderita bervariasi mulai kurang dari 10 tahun hingga lebih 80 tahun, dengan puncak insiden pada usia 40-50 tahun (Lee, 2003) ataupun 40-60 tahun (Thompson, 2005).

(22)

KNF dengan 32 kasus laki-laki dan 13 kasus wanita dengan kelompok umur tersering pada umur 51-60 tahun (Yenita,2009).

2.3. Etiologi

Penyebab pasti dan spesifik KNF sampai saat ini masih belum diketahui, namun faktor genetik dan lingkungan, seperti infeksi Epstein Barr virus dan konsumsi ikan asin diyakini sebagai penyebab (Zou, 2007). Beberapa faktor yang dianggap berpengaruh terhadap KNF :

Faktor Genetik

berdasarkan fakta-fakta seperti terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF dan masih tingginya risiko KNF emigran Cina di daerah yang insiden KNF nya sangat rendah (Jia WH et al, 2004).

Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah alel gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007).

Faktor Lingkungan

Infeksi virus Epstein-Barr (VEB)

(23)

ludah dan menular melalui berciuman. Melalui tempat replikasinya di orofaring, EBV dapat menginfeksi limfosit B (Setiamika M, 2010).

Faktor Makanan

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan KNF di Cina Selatan dan Hongkong. Suatu studi kasus kontrol menunjukkan bahwa konsumsi ikan asin yang sering sebelum usia 10 tahun yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya KNF (Ahmad, 2002; Cottrill & Nutting, 2003; Wei, 2006).

Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF cukup tinggi. Nitrosamin banyak dijumpai pada bahan makanan yang diawetkan dengan cara pengasinan seperti ikan asin ataupun dengan cara pengasapan. Pada proses pengasinan atau pengeringan ikan dengan pemanasan sinar matahari, ekstrak ikan asin membentuk nitrosamin dan beberapa volatile nitrosamin (Ahmad, 2002).

Sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup.

(24)

2.4. Gejala Klinis

Dikarenakan kaya akan suplai limfatik dan area yang sulit diperiksa, maka metastasis servikal sering dijumpai pada tampilan awal. Seperti keganasan kepala dan leher lainnya, tidak ada hubungan antara ukuran tumor primer dengan kelenjar limfe servikal. Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant, 2009).

Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher (Wei, WI dan Kwong DL, 2010).

2.4.1. Gejala Hidung

Epistaksis

Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi ringan dapat terjadi perdarahan (Cottrill dan Nutting, 2003).

Hidung sumbat

Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor dapat menonjol kedalam kavum nasi.

2.4.2. Gejala Telinga

Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang paranasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius (Wei, WI dan Kwong DL, 2010).

Gangguan pendengaran

(25)

Nyeri telinga / Otalgia

Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada n.glossofaringeus.

Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani

Disfungsi tuba Eustachius dari infiltrasi ke m.levator veli palatini menyebabkan terjadi otitis media serosa pada 40 % penderita (Plant, 2009).

2.4.3. Gejala Neurologis

Sindroma Petrosfenoidal

Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II – n. VI) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002)

Sindroma Parafaring

(26)

konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. nervus XI : kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Sudyartono dan Wiratno, 1996; Ahmad, 2002).

2.4.4. Limfadenopati servikal

Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al, 1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga (11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%) (Pua et al, 2008). Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003; Thompson, 2005)

2.4.5. Gejala Metastasis Jauh

(27)

Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Chiesa & De Paoli, 2001).

2.5. Diagnosis 2.5.1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita KNF. Gejalanya sangat bervariasi antara satu pasien dengan pasien yang lain (Munir, 2009).

2.5.2. Pemeriksaan 2.5.2.1. Rinoskopi Posterior 2.5.2.2. Endoskopi

a. Nasofaringoskopi kaku (Rigid nasopharyngoscopy). b. Nasofaringoskopi lentur (Flexible nasopharyngoscopy) 2.5.2.3. Biopsi Nasofaring

Biopsi dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku. Forseps biopsi harus selalu dimasukkan seiring dengan endoskopi agar dapat melakukan biopsi tumor dengan pandangan langsung (Wei, 2006)

2.5.2.4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya (Her, 2001).

(28)

CT scan nasofaring, pada KNF yang tumbuh endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan (Her,2001). Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis kranii dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan atrofi kelenjar hipofise (Wei dan Sham, 2005).

Magnetic Resonance Imaging lebih baik dari CT dalam memperlihatkan jaringan

lunak nasofaring superfisial atau dalam dan untuk membedakan tumor dengan jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk menilai metastase kelenjar retrofaring dan kelenjar leher dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI (Cottrill dan Nutting 2003; Wei dan Sham, 2005).

Positron Emission Tomography (PET), merupakan pemeriksaan yang paling

sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF (Wei dan Sham, 2005).

2.5.2.5. Pemeriksaan Patologi Anatomi a. Histopatologi

(29)

Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap substans. (Sudiana, 2005)

c. Pemeriksaan Serologi

d. Polimerase Chain Reaction (PCR) (Zachreni, 1999).

2.6. Histopatologi

KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring. Menurut WHO (1979) KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu :

Tipe I. Karsinoma sel skuamosa keratinisasi

Tipe ini berisiko rendah untuk terjadi metastasis, namun mempunyai angka survival yang rendah dibandingkan tipe non-keratinizing (Plant, 2009).

Tipe II. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi

Tipe III. Karsinoma tidak berdiferensiasi (undifferentiated carcinoma)

Merupakan tipe yang paling sering dijumpai dan hampir dijumpai pada KNF di daerah endemik (Plant, 2009).

2.7. Stadium

Dibeberapa daerah non-endemik menggunakan sistem stadium TNM berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer/ International Union Against Cancer).

Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC edisi ke-6 tahun 2002, yaitu (Brennan, 2006) :

Tumor primer (T)

Tx : tumor primer tidak dapat ditemukan To : tidak ada bukti tumor primer

(30)

Nasofaring

T1 : tumor terbatas di nasofaring

T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau kavum nasi o T2a : tanpa perluasan ke parafaring

o T2b : dengan perluasan ke parafaring

T3 : tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang mastikator

Kelenjar limfe regional (N)

Nx : pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan N0 : tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional

N1 : metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N2 : metastasis kelenjar limfe bilateral, ukuran ≤ 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular

N3 : metastasis kelenjar limfe oN3a : ukuran > 6 cm

o N3b : meluas ke fossa supraklavikular Metastasis Jauh (M)

Mx : metastasis jauh tidak dapat ditemukan Mo : tidak dijumpai metastasis jauh

(31)

Stadium KNF

Stadium T N M

I II A II B III IV A IV B IV C T1 T2a T1-2a T1-2b T3 T4 semua T semua T No No N1 N2 N0 N0-2 N3 Semua N Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo M1

Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV,

28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF dijumpai 41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan stadium I dan II (Zahara, 2007).

2.8. Penatalaksanaan

(32)
[image:32.595.103.529.77.327.2]

Gambar 1. Penatalaksanaan KNF menurut NCCN 2010

2.9. Prognosis

(33)

31

KERANGKA KONSEP

HLA

Faktor Makanan :

 Konsumsi ikan asin

(mengandung nitrosamine)

Karsinoma Nasofaring

Tipe Histopatologi Keluhan Utama

Stadium

Jenis Kelamin

Infeksi Epstein Barr Virus

Suku/Ras

Sosial Ekonomi

Paparan bahan industri Pekerjaan

Rokok Epitel Nasofaring

Genetik

Terapi

(34)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Januari 2011-Maret 2011.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh penderita baru karsinoma nasofaring (KNF) berdasarkan pemeriksaan histopatologi jaringan yang datang ke RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah total populasi.

3.4. Variabel Penelitian 3.4.1. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti : umur, jenis kelamin, suku bangsa, pekerjaan, keluhan utama, histopatologi, stadium dan terapi.

(35)

3.4.2. Definisi Operasional Variabel

 Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel

yang melapisi nasofaring, yang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi jaringan.

 Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan menurut ulang tahun

terakhir sesuai yang tertulis di rekam medis.

 Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan sesuai dengan yang tertulis di

rekam medis.

 Suku bangsa adalah suatu masyarakat dengan budaya, bahasa, agama, dll

yang tertulis di rekam medis

 Tipe histopatologi adalah jenis dari suatu tumor yang sediaanya diambil dari

jaringan biopsi yang dilihat di bawah mikroskop oleh ahli patologi anatomi sesuai dengan yang tertulis di rekam medis yang tipenya menurut kriteria WHO. :

Tipe 1 : keratinizing squamous cell carcinoma Tipe 2 : differentiated non keratinizing carcinoma Tipe 3 : undifferentiated carcinoma

 Stadium tumor : penentuan stadium penyakit yang tertulis di rekam medis

(36)

3.5. Kerangka Penelitian

Karsinoma nasofaring

Rekam Medis

 Umur

 Jenis Kelamin

 Suku

 Pekerjaan

 Keluhan Utama

 Histopatologi

 Stadium

 Terapi

3.6. Bahan dan Alat Penelitian 3.6.1. Rekam medis penderita

3.7. Cara Kerja 3.7.1. Persiapan

Mencatat nama dan nomor rekam medis penderita KNF yang datang ke poliklinik dan yang dirawat di Departemen/SMF THT-KL FK USU/RSUP H.Adam Malik Medan mulai Januari 2006 sampai Desember 2010 dan menghubungi Instalasi Rekam Medis RSUP H.Adam Malik Medan.

3.7.2. Pengumpulan Data

(37)

3.8. Analisa Data

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk tabel dan diagram. Data yang diperoleh disajikan secara statistik untuk mengetahui presentase penderita karsinoma nasofaring berdasarkan umur, jenis kelamin, suku, pekerjaan, keluhan utama, histopatologi dan stadium.

(38)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Data seluruh penderita baru karsinoma nasofaring (KNF) di RSUP H. Adam Malik Medan mulai Januari 2006-Desember 2010 yang terkumpul sebanyak 335 orang akan dijabarkan di bawah ini.

4.1. Hasil Statistik Deskriptif

4.1.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun

Tahun N (%) 2006 43 12.8 2007 44 13.1 2008 93 27.8 2009 88 26.5 2010 67 20.6 Total 335 100

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa frekuensi tertinggi dijumpai pada tahun 2008 diikuti tahun 2009 sebesar 93 penderita (27.8%) dan 88 penderita (26.5%), sedangkan terendah pada tahun 2006 sebesar 43 penderita (12.8%).

[image:38.595.74.519.341.441.2]

4.1.2 Distribusi frekuensi menurut umur pada KNF

Tabel 4.1.2 Distribusi frekuensi menurut umur pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010 Umur

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) <11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 >60

0 (0) 3 (7.1) 6 (13.9) 6 (13.9) 15 (34.9) 13 (30.2)

2 (4.5) 4 (9.1) 6 (13.6) 8 (18.2) 11 (25.0) 13 (29.6)

1 (1.1) 7 (7.5) 17 (18.3) 21 (22.6) 33 (35.5) 14 (15.0)

4 (4.5) 5 (5.7) 18 (20.4) 29 (33.0) 13 (14.8) 19 (21.6)

5 (7.5) 2 (3.0) 12 (17.9) 24 (35.8) 17 (25.4) 7 (10.4)

(39)

Total 43(100) 44(100) 93(100) 88(100) 67 (100) 335 (100)

Distribusi frekuensi tertinggi sejak tahun 2006-2010 terdapat pada kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 89 penderita (26.5%) dan diikuti 41-50 tahun 88 penderita (26.35%), sedangkan yang terendah pada kelompok umur <11-20 tahun sebanyak 12 penderita (3.6%). Usia termuda adalah 12 tahun dan tertua berusia 88 tahun dengan umur rerata 48.2 tahun dan median 48 tahun.

Distribusi kelompok umur 51-60 tahun merupakan frekuensi yang terbanyak pada tahun 2006 dan 2008. Hal ini berbeda dengan tahun 2007 dimana kelompok umur yang terbanyak adalah > 60 tahun, sedangkan tahun 2009 dan 2010 adalah pada kelompok umur 41-50 tahun.

4.1.3. Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin pada KNF Tabel 4.1.3 Distribusi frekuensi menurut jenis kelamin pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010 Jenis

Kelamin n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Laki-laki 25 (58.1) 33 (75.0) 64 (68.8) 67 (76.1) 56 (83.6) 245 (73.1)

Perempuan 18 (41.9) 11 (25.0) 29 (31.2) 21 (23.9) 11 (16.4) 90 (26.9)

Total 43(100) 44(100) 93 (100) 88(100) 67(100) 335(100) Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa setiap tahunnya jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijumpai dibandingkan perempuan dengan frekuensi sebesar 245 penderita (73,1%), sedangkan perempuan 90 penderita (26,9%) dengan perbandingan 2.7 : 1.

(40)
[image:40.595.79.523.162.292.2]

4.1.4 Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF

Tabel 4.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010

Suku bangsa

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Batak 22 (51.2) 29 (65.9) 51 (54.8) 48 (54.5) 41 (61.2) 191 (57.1)

Aceh 8 (18.5) 3 (6.8) 7 (7.6) 13 (14.8) 11 (16.4) 42 (12.5)

Melayu 3 (7.0) 4 (9.1) 8 (8.6) 13 (14.8) 6 (9.0) 34 (10.1)

Jawa 7 (16.3) 8 (18.2) 23 (24.7) 13 (14.8) 7 (10.4) 58 (17.3)

Minang 3 (7.0) 0 (0) 4 (4.3) 1 (1.1) 2 (3.0) 10 (3.0)

Total 43(100) 44(100) 93(100) 88 (100) 67 (100) 335(100)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa frekuensi penderita berdasarkan suku tercatat tertinggi adalah Batak 57.1% dan terendah adalah Minang 3.0%.

4.1.5 Distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF Tabel 4.1.5. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010 Pekerjaan

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

PNS 3 (7.0) 2 (4.5) 13 (13.9) 16 (18.2) 12 (17.9) 46 (13.7)

Wiraswasta 14 (32.6) 10 (22.7) 23 (24.7) 19 (21.6) 9 (13.4) 75 (22.4)

Ibu rumah tangga 12 (27.9) 7 (16.0) 14 (15.1) 22 (25.0) 10 (14.9) 65 (19.4)

Petani 12 (27.9) 18 (40.9) 28 (30.1) 21 (23.9) 14 (20.9) 93 (27.8)

Nelayan 1 (2.3) 2 (4.5) 9 (9.7) 6 (6.8) 16 (23.9) 34 (10.1)

Tidak bekerja 1 (2.3) 5 (11.4) 6 (6.5) 4 (4.5) 6 (9.0) 22 (6.6)

Total 43(100) 44(100) 93 (100) 88(100) 67(100) 335(100)

[image:40.595.75.527.449.588.2]
(41)
[image:41.595.74.523.162.284.2]

4.1.6. Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF Tabel 4.1.6. Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010 Keluhan Utama

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%)

Benjolan di leher 31 (72.0) 33 (75.0) 67 (72.0) 60 (68.1) 47 (70.1) 238(71.0)

Keluhan Hidung 9 (23.3) 9 (20.4) 10 (10.8) 21 (23.9) 17 (25.4) 66(19.7)

Keluhan telinga 0 (0) 1 (2.3) 7 (7.5) 2 (2.3) 1 (1.5) 11 (3.3)

Keluhan neurologis 3 (4.7) 1 (2.3) 9 (9.7) 5 (5.7) 2 (3.0) 20 (6.0)

Metastase jauh 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)

Total 43 (100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)

Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa setiap tahunnya benjolan di leher merupakan keluhan utama tersering dijumpai sebesar 71.0%. Keluhan hidung sebesar 19.7% terdiri dari hidung sumbat 16.7% dan hidung berdarah 3.0%.

4.1.7. Distribusi frekuensi menurut histopatologi (WHO) pada KNF Tabel 4.1.7. Distribusi frekuensi menurut histopatologi (WHO) pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010

Histopatologi

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Tipe I 18 (41.9) 7 (15.9) 28 (30.1) 12 (13.6) 10 (15.0) 75 (22.4) Tipe II 18 (41.9) 21 (47.7) 50 (53.8) 46 (52.3) 21 (31.3) 156 (46.6) Tipe III 7 (16.2) 16 (36.4) 15 (16.1) 30 (34.1) 36 (53.7) 104 (31.0)

Total 43(100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)

[image:41.595.71.518.472.574.2]
(42)
[image:42.595.103.494.163.275.2]

4.1.8. Distribusi frekuensi stadium pada KNF Tabel 4.1.8. Distribusi frekuensi stadium pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 09 20 2010

Stadium

%) %) % %) %) %)

n ( n ( n ( ) n ( n ( n (

I 0 (0) 0 (0) 1 (1.1) 1 (1.1) 0 (0) 2 (0.6) II 6 (13.9) 6 (13.6) 25 (26.8) 10(11.3) 9 (13.5) 56 (16.7) III IV 18 (41.9) 19 (44.2) 16 (36.4) 22 (50) 33 (35.5) 34 (36.6) 38(43.2) 39(44.4) 21 (31.3) 37 (45.2) 126(37.6) 151(45.1) Total 43(100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)

Pada tabel di atas diketahui bahwa setiap tahunnya stadium lanjut merupakan frekuensi stadium yang terbanyak, dan selama periode 5 tahun stadium lanjut dijumpai sebesar 82.7% yang terdiri dari stadium IV sebesar 45.1% dan stadium III sebesar 37.%, sedangkan stadium dini sebesar 17.3 %.

[image:42.595.79.522.492.626.2]

4.1.9. Distribusi frekuensi terapi pada KNF Tabel 4.1.9. Distribusi frekuensi terapi pada KNF

TAHUN TOTAL

2006 2007 2008 2009 2010

Terapi

n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) n (%) Radioterapi 0 (0) 0 (0) 18 (19.4) 17 (19.3) 12 (17.9) 47 (14.0) Kemoterapi 33 (76.7) 19 (43.2) 32 (34.4) 12 (13.6) 24 (35.8) 120 (35.8) Radioterapi+

kemoterapi Terapi (-)

0 (0)

10 (23.3)

0

25 (56.8)

14 (15.1)

29 (31.2)

43 (48.9)

16 (18.2)

20 (29.9)

11 (16.4)

77 (23.0) 91 (27.2)

Total 43 (100) 44(100) 93(100) 88(100) 67(100) 335(100)

(43)

4.2. Hasil Statistik Analitik

4.2.1. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis

[image:43.595.76.517.260.331.2]

Jenis kelamin berdasarkan stadium klinis penderita KNF di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006-2010 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.2.1. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF berdasarkan stadium klinis

Jenis Kelamin Jumlah

Stadium Laki-laki Perempuan

Stadium dini 32 (54.2%) 27 (45.8%) 59 (100%) Stadium lanjut 213 (77.2%) 63 (22.8%) 276 (100%)

df=1 p=0.750

Berdasarkan tabel 4.2.1. dapat dilihat bahwa penderita KNF 58 orang stadium dini dengan jenis kelamin laki-laki 32 penderita dan perempuan 27 penderita. Dari 277 penderita stadium lanjut, laki-laki sebesar 213 penderita dan perempuan sebesar 64 penderita.

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.750 berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin berdasarkan stadium klinis.

4.2.2. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis

Tabel 4.2.2. Distribusi frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis

Umur Jumlah

Stadium  48 tahun >48 tahun

Stadium dini 24 (40.7%) 35 (59.3%) 59 (100%) Stadium lanjut 139 (50.3) 137 (49.7%) 276 (100%)

[image:43.595.74.519.607.676.2]
(44)

Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p=0.177 berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok umur berdasarkan stadium klinis.

BAB 5 PEMBAHASAN

Pada penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita KNF selama 5 tahun terakhir (2006-2010) sebanyak 335 penderita yang akan dijabarkan di bawah ini.

5.1. Statistik Deskriptif

[image:44.595.117.458.409.624.2]

5.1.1. Distribusi frekuensi jumlah penderita KNF berdasarkan tahun.

Gambar 5.1. Distribusi frekuensi penderita KNF berdasarkan tahun.

(45)

Hal ini hampir sama dengan Hutagalung et al (1996) yang melaporkan peningkatan jumlah pasien KNF tahun 1995 dibandingkan tahun 1991 sebesar 29% di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Muyassaroh et al (1999) di RSUP dr. Kariadi Semarang terjadi peningkatan dari 40 penderita KNF tahun 1996 menjadi 54 penderita pada tahun 1998. Cao et al (2011) melaporkan terjadi peningkatan insidensi KNF di Propinsi Guangdong dengan angka insiden 14.02/100.000 penduduk per tahun pada tahun 1970 menjadi 17.02/100.000 penduduk per tahun pada tahun 1999, dimana terjadi peningkatan 21.40% pada 30 tahun terakhir.

Pada gambar di atas tampak frekuensi tertinggi pada tahun 2008. Menurut peneliti, salah satu yang mempengaruhinya adalah program simposium deteksi dini KNF di Sumatera Utara yang membuka wacana tenaga medis, paramedis dan masyarakat sehingga lebih peduli bila dijumpai gejala-gejala KNF untuk diperiksakan ke Rumah Sakit sentra.

5.1.2. Distribusi frekuensi kelompok umur pada KNF

(46)

Gambar 5.2. Distribusi frekuensi kelompok umur penderita per tahun

Pada gambar 5.2 terlihat bahwa setiap tahunnya memiliki variasi untuk kelompok umur terbanyak.

Gambar di atas menunjukkan bahwa kelompok umur 41-50 tahun terus meningkat dari tahun 2006 sampai 2010. Sedangkan kelompok umur >60 tahun mengalami penurunan tahun 2010 dibandingkan tahun 2006 sebesar 46.2%. Hal ini sesuai dengan data BPS, yang menunjukkan komposisi penduduk Indonesia pada kelompok umur 15-64 tahun pada tahun 2007 sebesar 65.05% dan pada tahun 2008 sebesar 67.67%; sedangkan kelompok umur ≥65 tahun pada tahun 2008 sebesar 5.10% menurun dibandingkan tahun 2007 (Depkes, 2007). Dari kepustakaan dinyatakan bahwa umur penderita bervariasi mulai dari kurang 10 hingga 80 tahun, dengan puncak insiden pada umur 40-50 tahun ataupun 40-60 tahun (Lee, 2003; Thompson. 2005).

(47)
[image:47.595.101.495.79.313.2]

Gambar 5.3. Distribusi kelompok umur penderita KNF selama tahun 2006-2010. Berdasarkan gambar 5.3. dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita KNF terdapat pada kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 89 penderita (26.5%), diikuti 41-50 tahun sebanyak 88 penderita (26.3%) dan terendah pada kelompok umur <11-20 tahun.

Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Indonesia, yaitu Hadi dan Kusuma (1999) di RSU dr.Soetomo Surabaya mendapatkan kelompok terbanyak pada umur 51-60 tahun sebanyak 39 penderita pada 129 penderita KNF. Penelitian case series Yenita dan Asri (2008) di Sumatera Barat selama periode 2006-2008 melaporkan paling sering terdapat pada kelompok umur 51-60 tahun yaitu sebesar 17 penderita (37.8%) dari 45 penderita . Sedangkan di luar negeri, dijumpai hal yang sama oleh Pua et al (2008) terhadap 225 kasus baru KNF pada beberapa sentra di Malaysia terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun sebesar 28%.

(48)

perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al, 2007). Berdasarkan penelitian para ahli disimpulkan bahwa suatu karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung sangat lama. Suatu proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena di dalam sel kanker telah terakumulasi banyak mutasi. Selain itu, dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel untuk menjadikan suatu tumor menjadi manifes dari satu sel yang mengalami transformasi. Tergantung dari frekuensi pembelahannya hal ini dapat berlangsung 5-10 tahun. Dengan demikian tumor tersebut telah ada jauh sebelum kita dapat mendiagnosisnya (Bostman, 1996). Infeksi EBV sebagai salah satu faktor risiko KNF memiliki masa laten untuk mempertahankan episom EBV dalam epitel nasofaring yang terinfeksi, sekitar 20-25 tahun tanpa gejala. Hal ini menyebabkan infeksi EBV menyediakan kumpulan sel target pada nasofaring yang rentan terhadap paparan karsinogen lingkungan serta perubahan genetik selanjutnya pada onkogen dan gen suppressor tumor yang berperan dalam transformasi keganasan menjadi KNF (Richardson, 2005).

5.1.3 Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF

(49)
[image:49.595.128.466.77.279.2]

Gambar 5.4. Distribusi frekuensi jenis kelamin penderita KNF per tahun

[image:49.595.134.462.483.679.2]

Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap tahunnya, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijumpai dibandingkan perempuan. Frekuensi jenis kelamin laki-laki tahun 2007 sampai 2010 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2006, sedangkan jenis kelamin perempuan semakin menurun pada tahun 2010.

(50)

Pada gambar 5.5. menunjukkan bahwa selama periode lima tahun, jenis kelamin laki-laki lebih banyak dijumpai sebesar 73.1% dibandingkan perempuan dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2.7:1.

Hasil ini sesuai dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu oleh Lutan (2003) mendapatkan perbandingan laki-laki dan perempuan 2.3:1, Henny (2006) 2.4:1, Nasution (2007) 2.69:1, Harahap (2009) 2.5:1 dan Siregar (2010) 2.7:1. Penelitian di sentra lain di Indonesia mendapatkan hasil yang hampir sama yaitu Hutagalung et al (1996) di RSUP dr.Sardjito Yogyakarta 2.47:1, Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD dr.Soetomo Surabaya 2.1:1, Masrin (2005) di RSCM dengan 2.5:1, Yenita dan Asri (2008) di Sumatera Barat 2.5:1, Sofyan (2010) di RS dr.Hasan Sadikin Bandung 2:1.

Laki-laki lebih banyak menderita KNF dibandingkan perempuan dilaporkan pada hampir semua penelitian, hal ini diduga ada hubungannya dengan kebiasaan hidup serta pekerjaan yang menyebabkan laki-laki sering kontak dengan karsinogen penyebab KNF. Paparan uap, asap debu dan gas kimia di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-6 kali. Sementara paparan formaldehid di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-4 kali. Peningkatan risiko juga terjadi pada pekerja yang menghirup uap kayu, dan risiko meningkat 2 kali pada pekerja yang terpapar panas industri dan produk pembakaran (Chang dan Adami, 2006). Risiko juga meningkat pada peminum alkohol dengan OR 2.9; 95% CI, 1.2-6.9 (Vaughan et al, 1996). Selain itu, hormon testosteron yang dominan pada laki-laki di curigai mengakibatkan penurunan respon imun dan survaillance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi EBV dan kanker (Munir,2009).

5.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF

(51)
[image:51.595.129.465.76.265.2]

Gambar 5.6. Distribusi frekuensi suku bangsa penderita KNF tahun 2006-2010

Suku Batak merupakan kelompok yang terbanyak sebesar 57.1% dapat dilihat pada gambar di atas, diikuti suku Jawa sebesar 12.5% dan terendah dijumpai pada suku Minang sebesar 3%.

Pada hampir semua penelitian di RSUP H. Adam Malik Medan mendapatkan hasil yang sama seperti seperti Lutan (2003) mendapatkan angka 43.1% pada suku Batak, Aliandri (2007) mendapatkan 51.9% penderita suku Batak, Zahara (2007) mendapatkan penderita suku Batak sebesar 54.2%. Harahap (2009) 42.9% dan Astuty (2010) sebesar 44.4%. Sama halnya dengan Nurhalisah (2009) di RSU dr.Pirngadi Medan melaporkan 54.5% penderita KNF suku Batak. Sebagai perbandingan dengan hasil penelitian di sentra lain di Indonesia seperti Hadi dan Kusuma (1997) di RSUD dr. Soetomo Surabaya mendapatkan suku terbanyak adalah suku Jawa (73.6%) dan Punagi (2007) di Makassar mendapatkan angka 46.7% pada suku Bugis, diikuti Makassar sebesar 26.7%.

(52)

terbanyak di daerah tersebut. Pada suku Batak telah ditemukan alel gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF yaitu alel gen HLA-DRB*08 (Munir, 2007)

[image:52.595.104.489.186.415.2]

5.1.5 Distribusi frekuensi menurut pekerjaan pada KNF

Gambar 5.7. Distribusi frekuensi menurut pekerjaan penderita KNF

Berdasarkan gambar 5.7. dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi pekerjaan penderita yang tercatat, tertinggi adalah petani 27.8% dan terendah pada yang tidak bekerja sebesar 6.6%.

Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di RSUP H.Adam Malik Medan yaitu Astuty (2010) dengan pekerjaan terbanyak sebagai petani sebesar 28.8%, Siregar (2010) sebesar 29.4%. Hal ini mungkin disebabkan petani/buruh lebih sering terpapar dengan zat karsinogen, seperti insektisida, bezopyrenen, benzo-anthrancene, gas kimia, asap industri, serbuk kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan (Ahmad, 2002).

(53)
[image:53.595.116.478.135.321.2]

Distribusi frekuensi menurut keluhan utama pada KNF setiap tahunnya selama tahun 2006-2010 dapat dilihat pada gambar 5.8.

Gambar 5.8. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF per tahun

(54)

Gambar 5.9. Distribusi keluhan utama periode 2006-2010

Berdasarkan gambar 5.9 tampak bahwa selama lima tahun benjolan di leher merupakan keluhan yang tersering mendorong penderita berobat sebesar 71%, diikuti keluhan hidung sebesar 19.7% berupa hidung sumbat dan hidung berdarah, gejala neurologis 6%, keluhan telinga 3% dan keluhan metastase jauh tidak dijumpai.

Hal ini sesuai dengan penelitian lain di Medan oleh Nurhalisah (2009) di RSU dr.Pirngadi masing-masing sebesar 88.9% dari 108 penderita. Penelitian di sentra lain oleh Hadi dan Kusuma (1999) di Surabaya sebesar 51.16% dari 129 penderita dan Muyassaroh et al(1999) di Semarang melaporkan benjolan di leher sebesar 68.1% dari 141 penderita.Penelitian lain oleh Lee et al (1997) di Hongkong benjolan di leher sebesar 75.8% dari 4768 penderita, Pua et al (2008) di Malaysia benjolan di leher sebesar 42 % diikuti hidung sumbat 30% dari 225 penderita.

Banyaknya pasien datang dengan keluhan utama benjolan di leher disebabkan karena penderita lebih banyak mencari pengobatan setelah merasakan adanya benjolan di leher dan mengganggu aktivitas, sedangkan gejala lain seperti hidung sumbat ataupun sakit kepala dianggap hal biasa dan merupakan gejala penyakit lain.

(55)
[image:55.595.117.477.79.296.2]

Gambar 5.10. Distribusi frekuensi jenis histopatologi per tahun

(56)

Gambar 5.11. Frekuensi jenis histopatologi penderita KNF periode 2006-2010

Frekuensi jenis histopatologi selama lima tahun pada gambar 5.11 tampak tipe II merupakan jenis yang tersering sebesar 46.6%, diikuti tipe III sebesar 31% dan terendah adalah tipe I sebesar 22.4%.

Hal ini sama dengan penelitian lain di RSUP H. Adam Malik Medan yaitu Harahap (2009) sebesar 50%, Hidayat (2009) sebesar 63.6%. Berbeda dengan Aliandri (2007) mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak (54.4%), diikuti WHO tipe 2 (41.8%) dan WHO tipe 1 (3.8%). Zahara (2007) mendapatkan jenis histopatologi terbanyak WHO tipe 3 (58.3%), diikuti WHO tipe 2 (37.5%) dan WHO tipe 1 (4.2%). Nasution (2007) mendapatkan WHO tipe 3 yang terbanyak (38.6%), diikuti WHO tipe 2 (33.3%) dan WHO tipe 1 (28.1%). Delfitri M (2007) mendapatkan WHO tipe 3 sebesar 54.6%, diikuti WHO tipe 1 (29.1%) dan WHO tipe 2 (16.4%).

Dalam kepustakaan distribusi jenis histopatologi adalah WHO tipe 1 (10%), WHO tipe 2 (20%) dan WHO tipe 3 (70%) (Lin, 2007). Di Amerika Utara didapati WHO tipe 1 (25%), WHO tipe 2 (12%) dan WHO tipe 3 (63%). Sementara itu distribusi histopatologi di Cina Selatan WHO tipe 1 (3%), WHO tipe 2 (2%), dan WHO tipe 3 (95%) (Wei dan Sham, 2005; Wei, 2006). Erkal et al. (2001) di Turki mendapatkan WHO tipe 1 (35%), WHO tipe 2 (20%) dan WHO tipe 3 (61%) dari 155 penderita KNF. WHO tipe 2 dan 3 paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara WHO tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra et al. 2003; Guigay et al. 2006).

(57)
[image:57.595.104.490.80.294.2]

Gambar 5.12. Distribusi frekuensi menurut stadium pada KNF setiap tahunnya

Berdasarkan gambar 5.12. terlihat bahwa frekuensi setiap tahunnya stadium lanjut yaitu stadium III dan IV selalu lebih banyak dijumpai dibandingkan stadium dini (Stadium I dan II).

(58)
[image:58.595.117.476.77.307.2]

Gambar 5.13. Distribusi stadium KNF selama lima tahun (2006-2010)

Pada gambar 5.13. tampak bahwa stadium lanjut sebesar 82.7% merupakan frekuensi tersering selama periode lima tahun yaitu stadium IV sebesar 45.1% dan stadium III sebesar 37.6%. Sedangkan stadium dini hanya sebesar 17.3% yang terdiri dari stadium I dan II masing –masing sebesar 16.7% dan 0.7%.

Penelitian lain di Medan, Nasution (2007) stadium lanjut sebesar 99%, Zahara (2007) 70.8%, Harahap (2009) 89.3% dan Nurhalisah (2009) 82.4%.

Diagnosis dini sulit dilakukan karena tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya (Plant, 2009).

5.1.9. Distribusi frekuensi terapi pada KNF

(59)
[image:59.595.87.507.78.280.2]

Gambar. 5.14. Distribusi frekuensi terapi berdasarkan KNF setiap tahun

Pada gambar di atas tampak pemberian kemoterapi dominan pada tahun 2006 dibandingkan radioterapi maupun radio+kemoterapi dan terus mengalami penurunan pada tahun 2009. Sebaliknya pemberian terapi kombinasi yaitu radio+kemoterapi semakin meningkat setiap tahunnya, terutama pada tahun 2009. Hal ini mungkin disebabkan radioterapi mulai kembali efektif sejak tahun 2008. Sehingga pemberian radioterapi tunggal tampak mulai meningkat sejak tahun 2008.

(60)
[image:60.595.108.492.78.301.2]

Gambar 5.15. Distribusi frekuensi terapi periode 2006-2010

Pada gambar 5.15 terlihat bahwa kemoterapi merupakan terapi yang sering diberikan selama periode 2006-2010 sebesar 35.8% diikuti pemberian kombinasi terapi (radio+kemoterapi) sebesar 23%, radioterapi sebesar 14% sedangkan penderita yang tidak mendapat terapi yang dikarenakan PAPS sebesar 1.2%.

Berdasarkan kepustakaan, lokasi anatomi dan kecendrungan dijumpai pada stadium lanjut menyebabkan tindakan reseksi bedah jarang dilakukan pada KNF (Brennan, 2006; Plant, 2009). KNF memiliki sensitivitas tinggi terhadap radiasi maupun kemoterapi dibandingkan kanker kepala dan leher lainnya (Wei, 2006; Lin, 2006; Guigay et al. 2006). Pada pasien KNF stadium dini (stadium I dan II), terapi pilihan adalah

radioterapi definitif. Pada KNF stadium lanjut (stadium III dan IV) pemberian kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi merupakan pilihan, walau masih kontroversial sebab masih didapati perbedaan-perbedaan dalam laporan studi di literatur (Licitra et al. 2003; Lin, 2006).

(61)

5.2. Statistik Analitik

[image:61.595.79.508.129.379.2]

5.2.1. Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF

Gambar 5.16 Frekuensi jenis kelamin berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF

Dari gambar 5.16 dapat diketahui bahwa frekuensi tertinggi penderita KNF stadium dini dan stadium lanjut adalah laki-laki sebesar 9.6% dan 63.6%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square diperoleh p>0.05 berarti secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin berdasarkan stadium.

Hal ini serupa pada penelitian Nurhalisah (2009) di RSU dr.Pirngadi yang mendapatkan p=0.932. Namun berbeda dengan Lee et al (1997) yang mendapatkan p<0.001 antara jenis kelamin dengan stadium dengan OR 0.819, CI 0.760-0.883 pada

(62)

5.2.2. Frekuensi umur berdasarkan stadium klinis

] Gambar 5.17. Frekuensi kelompok umur berdasarkan stadium klinis pada penderita KNF

Dari gambar di atas tampak bahwa f kuensi penderita KNF stadium dini paling

ecara statistik

urhalisah (2009)

Keterbatasan dalam penelitian ini terkait dengan data yang diperoleh berupa data sekunder dari rekam medis, sehingga bias informasi tidak dapat dihindari, dimana peneliti hanya bergantung pada apa yang telah tertera di dalam rekam medis.

re

tinggi pada kelompok umur >48 tahun sebes ar 59.5%. Sedangkan stadium lanjut antara kelompok umur 48 tahun dan>48 tahun hanya berbeda sedikit yaitu 0.6%.

Analisa statistik dengan uji chi-square diperoleh p=0.177 sehingga s tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok umur dengan stadium.

Hasil ini hampir sama dengan penelitian case series oleh N

(63)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

erdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita KNF mulai Januari 2006-esember 2010 didapatkan 335 penderita, dapat diambil kesimp ulan sebagai berikut :

si frekuensi penderita KNF menurut kelompok umur terdapat pada

),

6.1.2.

6.1.4. kerjaan berdasarkan KNF dijumpai bahwa

6.1.6. frekuensi jenis histopatologi penderita KNF selama lima tahun

75 penderita (22.4%). B

D

6.1.1. Distribu

kelompok umur 51-60 tahun sebanyak 89 penderita (26.5%) sedangkan terendah pada kelompok umur <11-20 tahun sebanyak 12 penderita (3.6% dengan median 48 tahun dan mean 48.2 tahun

Distribusi frekuensi penderita KNF terbanyak dijumpai pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 245 penderita (73.1%) dengan perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 2.7:1.

6.1.3. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa berdasarkan KNF dijumpai terbanyak pada suku Batak sebanyak 191 penderita (57.1%).

Distribusi penderita menurut pe

penderita KNF selama lima tahun merupakan petani sebanyak 93 penderita (27.8%).

6.1.5. Distribusi frekuensi keluhan utama penderita KNF terbanyak adalah benjolan di leher sebanyak 238 penderita (71%).

Distribusi

(64)

Distri 6.1.7.

um I yaitu 2 penderita (0.6%).

6.1.8. Distribusi frekuensi terapi pada penderita KNF terbanyak mendapatkan kemoterapi sebesar 35.8%.

6.1.9. Tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin berdasarkan stadium klinis penderita KNF.

6.1.10. Tidak dijumpai perbedaan bermakna antara umur berdasarkan stadium klinis penderita KNF.

6.2. Saran

6.2.1. Diharapkan peningkatan pengetahuan masyarakat, tenaga paramedis dan medis mengenai gejala dini KNF sehingga stadium dini lebih cepat terdeteksi yang akan memberikan prognosa yang lebih baik.

6.2.2. Perlunya dilakukan kelengkapan data pasien sehingga dapat diperoleh informasi yang bermanfaat misalnya yang berhubungan dengan faktor-faktor predisposisi KNF, pemantauan hasil terapi,dll.

6.2.3. Melakukan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan KNF sehingga selanjutnya akan memberikan terapi dan prognosa yang lebih baik bagi penderita KNF.

(65)

DAFTAR PUSTAKA

Kanker Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FK-UI: 1-13.

Adam Malik. Tesis. Medan: FK USU

Malik Medan, Tesis, Medan: FK USU

Astuty SJ. 2010. Hubungan LMP-1 dengan berbagai stadium tumor dan jenis F. Tesis, Medan: FK USU

Bostman FT. 1996. Aspek-aspek fundamental kanker. Di dalam: Van de CJH, Bostman FT, Wagener DJ. Onkologi, ed.5:3-230.

006. Nasopharyngeal carcinoma. Orph J Rare Dis (1):23

Cao Su-Mei, Simons MJ & Qian CN. 2011. The prevalence and prevention of

Chang ET dan Adami HO. 2006. The enigmatic epidemiology of NPC. Cancer

Chiesa F & De Paoli F. 2001. Di (63):214-6.

progress. Molecular Cancer (6): 1-9

Cottrill CP, Nutting CM. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Di dalam Evans PHR, Montgomery PQ, Gullane PJ (ed). Principles and practice of Head and Neck Oncology.UK :Martin-Dunitz:473-81

Ahmad A. 2002. Diagnosis dan tindakan operatif pada penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Di dalam Simposium Perkembangan Multimodalitas Penatalaksanaan

Adnan A. 1996. Beberapa aspek karsinoma nasofaring di bagian THT FK USU/RSUP H.

Aliandri. 2007. Efek samping hematologis pemberian kemoterapi pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam

histopatologi pada KN

Brennan B. 2

nasopharyngeal carcinoma in China. Chin J Cancer (30): 114-8

Epidemiol Biomarkers Prev (15): 1765-77.

stant metastasis from nasopharyngeal cancer. ORL

(66)

Departemen Kesehatan. 2007. P a. Jakarta : 60

Ganguly NK, Satyanarayana K, Srivastava VK et al. 2003. Epidemiological and

Guigay J, Temam S, Bourhi J. 2006. Nasopharyngeal carcinoma and therapeutic

Hadi W n histopatologi karsinoma nasofaring

(tinjauan 29 kasus) Di dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII Perhati,

Harahap MPH, 2009. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor pada karsinoma

Medan:FK USU,

erican Family Physician (63)no.9: 1776-80

Hsien YC, Abdullah MS, Telesinghe PU, Ra

carcinoma in Brunei Darussalam: low incidence among the Chinese and an evaluation of Antobodies to EBV antigens as biomarkers. Singapore Med J

Hutagalung M, Tjakra IGM, Dhaeng Y. 1996. Tinjauan Lima Besar Tumor Ganas THT

PIT Perhati, Malang: 952-63.

Jeyakumar A, Brickman TM & Doerr T. 2006. Review of

Gambar

Gambar 1. Penatalaksanaan KNF menurut NCCN 2010
Tabel 4.1.2   Distribusi frekuensi menurut umur pada KNF
Tabel 4.1.4. Distribusi frekuensi menurut suku bangsa pada KNF
Tabel 4.1.7. Distribusi frekuensi menurut histopatologi (WHO) pada KNF
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 17 ayat (2) huruf g angka 2) huruf a) Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara tentang Pentingnya Serat untuk Mencegah Konstipasi Tahun 2009.. Nama : Sri Kumala Sari NIM

(1) Biro Pemerintahan mempunyai tugas menyiapkan perumusan kebijakan, mengoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi, pemantauan dan evaluasi program kegiatan dan

[r]

[r]

Untuk server dan klien yang menggunakan sistem operasi Windows maka akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, namun dengan menggunakan sifat heterogen dalam jaringan tersebut,

Website toko ayiex furnitur ini juga dilengkapi dengan fasilitas pemesanan online, sehingga konsumen dapat mempersingkat waktu ketika

[r]