ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK
GOKUSEN KARYA KOZUEKO MORIMOTO
KOZUEKO MORIMOTO NO SAKUHIN NO “GOKUSEN”
MANGA NO YAKUZA NO SEIKATSU NO BUNSEKI NI
TSUITE
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Oleh:
MEIKA DEBBY NIM : 050708032
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK
GOKUSEN KARYA KOZUEKO MORIMOTO
KOZUEKO MORIMOTO NO SAKUHIN NO “GOKUSEN”
MANGA NO YAKUZA NO SEIKATSU NO BUNSEKI NI
TSUITE
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Nandi S Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.Ph.D NIP. 19600822 1988 03 1 002 NIP. 19580704 1984 12 1 001
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Disetujui oleh : Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Medan
Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,
PENGESAHAN Diterima oleh :
Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra.
Pada : Tanggal : Pukul :
Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara Dekan
Prof. Syaifuddin, M.A.Ph.D NIP.1965 1994 03 1 004
Panitia Ujian
No. Nama Tanda Tangan
1. ( )
2. ( )
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat, rahmat, anugrah dan perllindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
Penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kehidupan Yakuza dalam
Komik Gokusen Karya Kozueko Morimoto” ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program
Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.
Dalam pelaksanaan penyelesaian skripsi ini, penulis banyak menerima
bantuan dan bimbingan moril dan materiil dari berbagai pihak. Untuk itu, pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta
penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu
penulis menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Syaifuddin M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas
Sastra Univeritas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang M.S, Ph.D, selaku Ketua
Program Studi S-1 Sastra Jepang Sumatera Utara sekaligus dosen
pembimbing II penulis, yang telah menyediakan waktu disela –sela
kesibukannya dan jadwalnya yang padat untuk membimbing dan
memberi nasehat kepada penulis intuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I, yang dalam
pikiran dan tenaga dalam membimbing, mengarahkan, dan
memeriksa skripsi ini.
4. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk
membaca dan menguji skripsi ini. Terima kasih juga penulis
ucapkan Kepada semua Dosen Pengajar Program Studi S-1 Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak
ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan dengan baik. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk
Bang Amran dan Bang Mistam yang juga telah banyak membantu
penulis.
5. Keluargaku tercinta, opungku, Adinar br. Sinaga, ayah dan ibuku,
MA.Simangunsong dan AM. Sitanggang, atas segala cinta, kasih,
doa dan semangat yang diberikan tiada henti. Dan, kedua ‘young
bro’ku tersayang, makasih ya buat semangatnya..
6. Kepada orang tersmuamuanya di hati penulis, Ayku DTH
Pom-poM, yang tak lain dan tak bukan adalah Joko Supriadi, for all
uncountable spirit he always give, his patience, and all his kindness
to help me inside and fresh me outside… I can’t say nothing more!
Thank You for everything past, now and then… Hountou ni arigatou
buat kecerewetannya juga ya…
7. Buat Aotake no Uchi ’05 : Eva Mabok, Dewi Gimun Agak Congok,
Mae Picik Congok Mampus, Ocha MonMon Congok Juga, Rani
Paus Congok Kali, Irag, Vika, Nurul, Ellys, Gunawan, Tano-six
semangat juga menguatkan satu sama lain dalam menyelesaikan
studi serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani
proses belajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
8. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan Skripsi ini, yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini,
termasuk juga dalam penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari
kesempurnaan tersebut dalam suatu nilai pekerjaan yang dilakukan secara
maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu jugalah, penulis berusaha
merampungkan skripsi penulis tersebut.
Medan, Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI………. iv
BAB I PENDAHULUAN………. 1
1.1. Latar Belakang Masalah……….. 1
1.2. Perumusan Masalah……… 6
1.3. Ruang Lingkup Pembahasan………... 7
1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori……… 7
1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian……… 11
1.6. Metode Penelitian……… 12
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN KOMIK 14 2.1. Yakuza di Jepang……….……….. 14
2.1.1. Latar Belakang Munculnya Yakuza di Jepang……. 16
2.1.2. Nama Yakuza……….…………...…… 18
2.1.3. Organisasi Yakuza………..……... 19
2.1.4. Uraian Tugas dan Tanggung Jawab…...……… 23
2.2. Kelompok-Kelompok yang Termasuk Yakuza……… 26
2.2.1. Tekiya atau pedagang keliling………... 27
2.2.2 Bakuto atau Penjudi………..……….. 28
2.3. Pola identitas Yakuza……….. 29
2.4. Perubahan Aktifitas Yakuza……… 32
BAB III ANALISIS KEHIDUPAN TOKOH YAKUZA DALAM KOMIK
3.1. Sinopsis Cerita……….. 43
3.2.Analisis Kehidupan dalam Bentuk Cuplikan………….. .. 44
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN……….. 64
4.1. Kesimpulan……….. 64
4.2. Saran………. 66
ABSTRAK
Sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan
dengan kebudayaan. Kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari – hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Dalam salah satu unsure kebudayaan
terdapat satu bagian berupa karya sastra yang menyajikan nilai-nilai kesenangan
dalam berbagai bentuk yang disajikan berdasarkan kehidupan sehari-hari.
Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa
kesusastraan, penggunaan kata – kata yang indah, gaya bahasa dan gaya bercerita
yang menarik. Istilah sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat
imajinatif. Artinya, segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya
merupakan sesuatu yang dibayangkan saja. Salah satu hasil karya sastra yang
menarik adalah komik. Komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan
gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga
membentuk jalinan cerita. Di Jepang, komik merupakan karya sastra yang paling
populer.
Komik di Jepang sangat berkembang dari waktu ke waktu. Komik Jepang
tidak hanya menampilkan cerita bertema kisah cinta, action, misteri, humor, atau
kepahlawanan saja, namun juga tentang kehidupan sosial masyarakat dan masalah
– masalah yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah komik berjudul Gokusen
karya Kozueko Morimoto. Komik ini menceritakan seputar tentang kehidupan
keluarga yakuza klan Kuroda, dengan berbagai aktifitas yang terjadi pada
Kumiko Yamaguchi yang tumbuh di lingkungan keluarga Yakuza yang juga
nantinya adalah pewaris tunggal dan penerus pemimpin kelompok yakuza klan
Kuroda ;juga melalui berbagai peran kehidupan tokoh yakuza lainnya. Dalam
komik ini digambarkan kehidupan sosial para Yakuza sebagaimana kita ketahui
dalam kehidupan nyata, yang terorganisir dengan rapi dalam segala aktifitas
anggotanya.
Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza
memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala
aktifitas anggotanya. Dilator belakangi oleh keadaan Jepang yang belum stabil
akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak
memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan
aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono.
Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang
kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi
ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang
bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan
mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa
itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna.
Golongan yakuza dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam
hasil karya – karya sastra kebanyakan adalah sosok – sosok yang kejam, kasar dan
dipenuhi oleh berbagai tindak kejahatan. Merupakan kelompok yang dalam
menjalankan tugas – tugasnya harus tunduk kepada aturan-aturan yang telah
Hatomo-yakko atau pembantu shogun, merupakan asal mula organisasi
kriminal di Jepang. Namun yakuza modern tidak mengidentifikasikan diri mereka
sebagai keturunan hatomo-yakko, melainkan sebagai keturunan machi-yokko atau
pembantu kota. Machi-yokko merupakan suatu kelompok yang sebagian
anggotanya adalah berasal dari masyarakat kelas bawah yang ada di Jepang.
Tujuan awal dibentuknya machi-yokko adalah untuk melindungi kota-kota dari
gangguan para hatomo-yakko. Berbeda dengan hatomo-yakko, kehadiran dari
machi-yokko dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang, bahkan mereka
dianggap sebagai pahlawan pada zaman itu.
Yakuza (ヤクザ), yang juga dapat disebut dengan gokudou ( 極道 ) adalah
nama dari sindikat terorganisir di Jepang. Sedang dalam pengoperasian organisasi
ini, sering juga disebut mafia Jepang. Hingga sekarang, yakuza masih saja ditakuti
banyak orang, hal ini dikarenakan sepak terjangnya yang sangat mempengaruhi
Jepang, bahkan dunia sekaligus.
Dalam pelebaran dan perluasan anggota, yakuza tidak memandang status
sosial mereka. Bahkan bagi mereka (anggotanya) yang dinilai lemah dan tidak
mampu beradaptasi dengan kehidupan kesehariannya (bukan dalam yakuza),
yakuza tidak tanggung-tanggung untuk melindunginya. Dalam kepengurusannya,
yakuza dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Yakuza tak bertuan dan keluarga Yakuza.
Tidak semua anggota yakuza berasal dari kalangan bawah seperti burakunin, yaitu
masyarakat yang dianggap memiliki kedudukan yang rendah dalam masyarakat
Jepang, namun ada juga yang berasal dari keluarga terpandang, yang merasa
tertekan oleh tuntutan keluarga sehingga melarikan diri dari rumah dan kemudian
dibuang oleh orang tuanya karena kekurangan ekonomi dan lain-lain.
Keanggotaan yakuza selain seperti yang disebutkan di atas, juga berasal dari
perekruitan oleh suatu kelompok yakuza terhadap orang-orang yang dianggapnya
berpotensi untuk bergabung menjadi anggota yakuza.
Yakuza tradisional yang merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat
dibedakan menjadi bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Pada
yakuza, kesetiaan itu mereka tunjukkan ke dalam beberapa hal, seperti rela
mengorbankan diri sendiri untuk melindungi oyabun, dan siap menerima
hukuman apa saja jika melakukan kesalahan yang ringan maupun berat, seperti
memotong jari (yubitsume), dan menato seluruh tubuh, dan kemudian hal ini
lama-kelamaan menjadi tradisi di organisasi yakuza dan menjadi identitas sebagai
anggota yakuza. Bukan itu saja, anggota yakuza juga sering menggunakan kode
dan bahasa rahasia jika bertemu dengan sesame anggota yakuza sehingga orang
lain yang bukan anggota yakuza tidak dapat mengetahui arti dari tindakan dan
ucapan mereka.
Yakuza pada zaman Edo atau sering disebut juga yakuza tradisional, dikenal
masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tidak berguna karena pekerjaan
mereka adalah merampok, memeras dan berjudi. Yakuza tradisional yang
merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat dibedakan menjadi bakuto atau
penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Namun seiring dengan perkembangan
zaman dan pergantian pemerintahan, yakuza pun ikut berkembang dan mulai
meninggalkan aktifitas lama mereka menuju aktifitas yang baru, dan yakuza
Struktur yakuza setelah Perang Dunia II terlihat semakin jelas dan rapi,
dan pada saat ini telah memiliki beberapa jabatan layaknya pemerintahan sendiri.
Setiap organisasi yakuza memiliki peraturan-peraturan sendiri yang wajib dipatuhi
dan dijalankan oleh anggotanya. Oyabun memegang kekuasaan penuh untuk
mengatur jalannya organisasi.
Sebagian dari kehidupan dan aktifitas yakuza tergambar dalam komik
Gokusen karya Kozueko Morimoto ini. Dalam komik Gokusen, pengarang lebih
menonjolkan sifat dan karakter yakuza.
Yakuza dalam komik Gokusen digambarkan juga sebagai sekelompok
orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Jepang saat itu.
Pengarang menonjolkan karakter yakuza dari sisi yang berbeda. Yakuza pada
komik Gokusen ini menunjukkan karakter utamanya ”Kumiko Yamaguchi”,
merupakan keturunan yakuza yang berprofesi sebagai guru di sebuah SMA.
Sebagai pemimpin kelompok Yakuza yang menjadi seorang guru, karakter
”Kumiko” menghadirkan image baru pada karakter yakuza yang selama ini ada
dalam bayangan masyarakat.
Kumiko menghadirkan karakter yakuza yang menyukai perdamaian,
membela kaum lemah, dan menghargai pendidikan. Sebagai guru dia mengajar
murid-muridnya yang nakal dan tidak berminat dalam belajar. Kumiko menjadi
guru yang disipilin dan tegas untuk meningkatkan prestasi muridnya. Demikian
juga para tokoh yang lain, antara masing-masing anggota di Keluarga Kuroda
harus saling menghormati dan melindungi satu sama lain.
Dalam komik ini diceritakan bagaimana kelompok yakuza masing-masing
mungkin mereka menghindari perkelahian dengan kelompok yakuza lainnya. Hal
inilah yang ditunjukkan komik tersebut, yaitu sisi yang berbeda dari kehidupan
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu tujuan manusia hidup di dunia ini
adalah untuk mencari kesenangan. Banyak aspek di dunia ini yang mendukung
agar manusia dapat mencapai tujuan ini. Salah satu aspek yang menunjang itu bisa
didapatkan dalam unsur – unsur kebudayaan yang dapat memberikan nilai – nilai
kesenangan yang tersaji dalam beragam bentuk.
Adalah hal menarik jika kita berbicara dan membahas mengenai
kebudayaan sebagai bagian yang tak dapat terpisahkan dari segala aspek
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Dalam Ensiklopedia Umum (1990 :
973) dikatakan bahwa kebudayaan adalah sistem pengetahuan yang meliputi
sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari – hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Perwujudan dari
kebudayaan itu sendiri adalah benda– benda yang bersifat nyata, pola – pola
perilaku, bahasa, organisasi – organisasi sosial, agama dan sisitem kepercayaan,
kesenian dan yang lainnya, yang keseluruhannya ditujukan untuk membantu
manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Dalam salah satu unsur kebudayaan, yakni kesenian, terdapat satu aspek
dalam bentuk karya sastra yang dapat memberikan nilai – nilai kesenangan
dengan menikmati yang tersaji dalam beragam bentuk, termasuk bentuk yang
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Pada
umumnya, karya sastra memiliki jenis yang bervariasi, baik yang bersifat fiksi
maupun nonfiksi. Misalnya drama, teater, puisi, roman, prosa dan lain sebagainya.
Sastra adalah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa
kesusastraan, penggunaan kata – kata yang indah, gaya bahasa dan gaya bercerita
yang menarik (Zainuddin, 1992 : 99). Rene Wellek dalam Melani Budianto (1997 :
109) berpendapat bahwa sastra adalah lembaga sosial yang memakai medium
bahasa dalam menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
kenyataan sosial. Rene Wellek dalam Badrun (1983 : 16) juga mengatakan bahwa
istilah sastra hendaknya dibatasi pada seni sastra yang bersifat imajinatif. Artinya,
segenap kejadian atau peristiwa yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang
dibayangkan saja.
Sedangkan menurut Boulton dalam Aminuddin (2000 : 37) bahwa cipta
sastra, selain menyajikan nilai – nilai keindahan serta paparan peristiwa yang
mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan
yang berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik maupun berbagai
macam problema yang berhubungan dengan kompleksitas kehidupan ini.
Sastra terdiri atas jenis – jenis sastra yang amat bervariasi, seperti
misalnya drama, teater, puisi, roman, prosa, dan sebagainya. Salah satu hasil
karya sastra berupa prosa adalah cergam (cerita bergambar), atau juga lebih
dikenal dengan sebutan Komik.
Komik merupakan salah satu seni yang mengunakan gambar – gambar
tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalinan cerita.
merupakan salah satu sajian yang ditawarkan dalam dunia sastra yang dapat
menarik hati para penikmat sastra. Tidak hanya itu, komik mampu memikat
banyak orang di seluruh dunia, baik dari kalangan anak – anak, remaja, bahkan
juga orang tua.
Pada masa sekarang ini komik atau yang lebih popular dalam bahasa
Jepang yang disebut dengan Manga. Komik di Jepang sangat menjamur dan
berkembang dari waktu ke waktu. Pada zaman sekarang, komik tidak hanya
diminati oleh orang Jepang saja melainkan hampir keseluruh pelosok dunia seperti
Amerika, Eropa, bahkan sampai ke Indonesia. Di Jepang, istilah manga
diperkenalkan pertama kalinya oleh Katsuhika Hokusai. Pada saat itu komik
dibentuk pada percetakan pada kertas yang menggunakan blok – blok kayu.
Komik dibagi dalam empat kategori, antara lain :
1. Komik anak laki – laki (shounen manga)
2. Komik anak perempuan (shoujo manga)
3. Komik remaja (seinen manga)
4. Komik dewasa (seijin manga)
Dalam penyajian komik, pengarang menawarkan banyak hal yang dapat
dinikmati oleh para pembacanya. Tidak hanya konsep cerita yang berdasarkan
kisah nyata dalam kehidupan sehari –hari tetapi juga ditawarkan konsep seni dan
imajinasi yang tinggi serta nilai – nilai kebudayaan yang dapat membuat suatu
karya sastra itu, dalam hal komik khususnya, dapat menyampaikan dan
mengekspresikan ide – ide dan bahkan pesan – pesan moral dari pengarang
Komik Jepang tidak hanya menampilkan cerita bertema kisah cinta,
action, misteri, humor, atau kepahlawanan saja, namun juga tentang kehidupan
sosial masyarakat dan masalah – masalah yang ada di dalamnya. Salah satunya
adalah komik berjudul Gokusen karya Kozueko Morimoto, yang diterbitkan oleh
Level Comics; Shueisha Inc. Komik ini menceritakan seputar tentang kehidupan
tokoh utamanya yang bernama Kumiko Yamaguchi yang tumbuh di lingkungan
keluarga Yakuza yang juga nantinya adalah pewaris tunggal dan penerus
pemimpin kelompok yakuza keluarga Kuroda.
Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza
memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala
aktifitas anggotanya. Dilator belakangi oleh keadaan Jepang yang belum stabil
akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak
memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan
aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono.
Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang
kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi
ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang
bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan
mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa
itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna
(Inami, 1992 : 353).
Pada komik Gokusen karya Kozueko Morimoto ini, Kumiko Yamaguchi
;sebagai tokoh utama dalam komik ini; tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan
karakter yang keras dan menguasai bela diri sekalipun ia seorang wanita. Dalam
komik ini digambarkan kehidupan sosial para Yakuza sebagaimana kita ketahui
dalam kehidupan nyata, yang terorganisir dengan rapi dalam segala aktifitas
anggotanya.
Namun di sisi lain, Kumiko melakoni peran sebagai seorang guru di SMU
khusus pria, Shirokin. Sewaktu ia kecil ia pernah bertemu dengan seorang guru
yang benar – benar memiliki totalitas tinggi terhadap pekerjaannya sebagai guru.
Dan sejak saat itu Kumiko kecilpun menyimpan keinginan besar untuk bisa
menjadi seorang guru ketika ia dewasa nanti. Kini ia telah menjadi seorang guru,
Kumiko begitu fokus untuk keberhasilan kelulusan murid – muridnya dan benar –
benar memberikan rasa saying penuh terhadap murid – muridnya, selalu ada
ketika murid – muridnya membutuhkan pertolongannya.
Untuk dapat menjadi seorang guru tentu saja ia menyembunyikan
identitasnya sebagai seorang yakuza. Karena di Jepang ;oleh orang awam; yakuza
hanya dianggap sebagai pengganggu dan pembuat keonaran saja. Jadi ia tidak
mungkin tetap diterima atau diizinkan tetap mengajar jika identitasnya sebagai
yakuza diketahui pihak sekolah.
Tidak demikian di keluarganya. Pada awalnya keluarganya sangat
kebingungan dengan keputusan Kumiko untuk menjadi guru. Namun pada
akhirnya pemimpin kelompok Yakuza keluarga Kuroda, yang adalah kakek
Kumiko ;yang dikenal sangat bijaksana; melihat keinginan cucunya ini tulus dan
mengizinkan Kumiko untuk menjadi guru dan mendukung Kumiko sepenuhnya.
Komik Gokusen memuat cerita fiksi yang diambil berdasarkan kejadian –
Kozueko Morimoto berhasil menggambarkan kehidupan serta peran Kumiko yang
seorang yakuza dalam tugas dan tanggung jawabnya pada kelompoknya serta
kehidupannya sebagai seorang guru wanita di sekolah khusus pria.
Peran yakuza sebagai seorang guru tentulah sangat bertolak belakang
dengan profesi sebagai yakuza, yang tercermin baik dalam kehidupan nyata
maupun dalam komik Gokusen. Hal ini rasanya layak penulis angkat untuk
membahas skripsi yang berhubungan dengan yakuza melalui skripsi yang
berjudul ”ANALISIS KEHIDUPAN YAKUZA DALAM KOMIK GOKUSEN
KARYA KOZUEKO MORIMOTO”.
1.2 Perumusan Masalah
Golongan yakuza dalam kehidupan nyata ataupun yang tergambar dalam
hasil karya – karya sastra kebanyakan adalah sosok – sosok yang kejam, kasar dan
dipenuhi oleh berbagai tindak kejahatan. Merupakan kelompok yang dalam
menjalankan tugas – tugasnya harus tunduk kepada aturan-aturan yang telah
ditetapkan oleh pimpinan kelompoknya.
Namun kehidupan yakuza yang digambarkan dan ditegaskan oleh
Kozueko Morimoto dalam Gokusen ini sangat berbeda dari apa yang banyak
diketahui oleh umum. Keluarga Yakuza ini saling melengkapi, tokoh – tokoh
utama yang di gambarkan dalam komik ini memiliki rasa sosial yang cukup tinggi
terhadap lingkungan dan ikatan persahabatan yang kuat terhadap teman-temannya
sesama yakuza. Kumiko sebagai seorang yakuza mampu menghadapi segala
Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini mencoba menjawab masalah yang
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana latar belakang munculnya organisasi Yakuza dalam
kehidupan masyarakat Jepang?
2. Bagaimana kehidupan tokoh – tokoh utama Yakuza dalam komik
Gokusen karya Kozueko Morimoto?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian ini, agar masalah penelitian tidak terlalu luas, maka
penulis menganggap perlu adanya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan.
Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan
berkembang jauh, sehingga penulisan dapat lebih terarah dan terfokus.
Dalam analisis ini, penulis hanya akan membatasi ruang lingkup
pembahasan yang difokuskan pada kehidupan tokoh (sebanyak tujuh tokoh)
melalui cuplikan-cuplikan cerita dalam komik Gokusen ini, yaitu di mulai dari
komik Gokusen volume 1 – 10. Untuk mendukung pembahasan, akan dibahas
juga tentang latar belakang sejarah munculnya yakuza dalam kehidupan
masyarakat Jepang secara umum.
1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka
Macluer dan Page dalam Soekanto (2003:24), mengatakan bahwa
masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata krama, dari wewenang dan
laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Yakuza merupakan suatu bentuk
kebudayaan dalam hal sistem organisasi sosial masyarakat Jepang. Menurut
Suryohadiprojo (1982 : 192), kebudayaan adalah hasil dari budi daya dan hasil
dari pemikiran manusia. Yakuza merupakan suatu bentuk organisasi kriminal yang
terbentuk pertama kali pada zaman Edo, tepatnya pada pemerintahan Shogun
Tokugawa, dan hingga kini organisasi ini masih tetap ada dalam masyarakat
Jepang. Yakuza secara umum diidentikkan dengan organisasi yang penuh dengan
kekerasan dan kekejaman. Zairun (1982 :3) mengatakan bahwa organisasi adalah
suatu proses bangunan lembaga yang merupakan hasil proses pembagian dan
penyatuan usaha yang ditujukan kearah tercapainya suatu tujuan.
Setiap organisasi harus memiliki struktur organisasi agar apa yang ingin
dicapai dapat terwujud dengan baik. Anderson (1973 : 16) mengatakan bahwa
struktur organisasi adalah susunan hubungan-hubungan, pertanggungjawaban, dan
wewenang-wewenang melalui tujuan perusahaan pada pencapaian sasarannya.
Peranan menurut Soekanto (1990:243) merupakan aspek dinamis
kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Setiap orang
mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola kehidupannya. Hal itu
sekaligus berarti bahwa seorang ninja mempunyai peranan untuk menentukan
apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta hal-hal yang diberikan oleh
masyarakat kepadanya.
Aminuddin (2000:39) mengatakan bahwa sastra adalah seni, karena itu ia
mempunyai sifat yang sama dengan karya seni suara, seni lukis, seni pahat, dan
eksistensinya, serta untuk membuka jalan kekebenaran. Yang membedakannya
dengan seni lain adalah bahwa sastra memiliki aspek bahasa.
Unsur – unsur penunjang terciptanya sebuah karya sastra, khususnya prosa
antara lain yaitu tema, penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh dan
penokohan merupakan unsur yang penting dalam karya naratif. Penikmat sastra
dapat secara bebas menafsirkan watak, perwatakan dan karakter yang merujuk
pada sifat dan sikap para tokoh.
Tokoh cerita menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1995 : 165), adalah
orang – orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh
pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecendrungan tertentu seperti
yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Hal ini
sangat tergantung pada si pengarang agar dapat melukiskan tokoh sesuai dengan
pesan, amanat, atau pesan moral yang ingin disampaikan kepada pembacanya.
Di dalam komik Gokusen, melalui penokohannya, pengarang menyajikan
suatu karya sastra fiksi yang banyak mengandung nilai – nilai sosiologi yang
tergambar jelas dari sikap, sifat serta ucapan – ucapan para tokohnya sebagai
unsur yang membawa pesan, amanat atau pesan moral yang kiranya dapat
bermanfaat bagi pembacanya.
1.4.2 Kerangka Teori
Dalam menganalisis suatu karya sastra diperlukan suatu pendekatan yang
berfungsi sebagai acuan penulis dalam menganalisis karya sastra tersebut. Dalam
penulisan ini penulis menggunakan pendekatan semiotika, pendekatan historis dan
Menurut Jan Van Luxemburg (1992 : 46), semiotik adalah ilmu yang
mempelajari tanda – tanda, lambang dan proses perlambangan. Ilmu tentang
semiotik ini menganggap bahwa fenomena sosial maupun masyarakat dan
kebudayaan itu merupakan tanda – tanda. Tanda – tanda tersebut dapat berupa
gerakan anggota badan, pakaian dan lain – lain. Kemudian tanda – tanda tersebut
dihubungkan dengan konsep budaya sehingga pada kondisi ini karya sastra yang
berbentuk komik akan dijadikan sebagai tanda untuk diinterpretasikan. Setelah
dapat tanda yang menunjukkan kondisi sosial tokoh dengan menggunakan
pendekatan semiotika, penulis melakukan analisis dengan pendekatan sosiologis.
Menurut Aminuddin (2000:46) pendekatan historis adalah suatu
pendekatan yang menekankan pada pemahaman tentang biografi pengarang, latar
belakang peristiwa kesejarahan yang melatar belakangi masa-masa terwujudnya
cipta sastra yang dibaca, serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan
penciptaan maupun kehidupan sastra itu sendiri pada umumnya dari zaman ke
zaman. Hal dasar yang melatar belakangi lahirnya pendekatan ini adalah
anggapan bahwa cipta sastra bagaimana pun juga merupakan bagian dari
zamannya.
Ratna (2004: 65) berpendapat bahwa pendekatan historis memusatkan
perhatian pada masalah bagaimana hubungannya terhadap karya yang lain,
sehingga dapat diketahui kualitas unsur-unsur kesejarahannya. Pada umumnya
pendekatan historis dikaitkan dengan kompetensi sejarah umum yang dianggap
relevan. Maka penulis juga menggunakan pendekatan ini untuk melihat latar
belakang cerita yakuza dalam kehidupan nyata maupun yakuza dalam komik
Pendekatan sosiologis bertolak dari pandangan bahwa sastra adalah
pencerminan kehidupan masyarakat. Pendekatan sosiologis adalah pendekatan
yang berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya, kehidupan
masyarakat, maupun tanggapan kejiwaan atau sikap pengarang terhadap
lingkungan kehidupannya ataupun zamannya pada saat sastra itu diwujudkan
(Aminuddin, 2006 : 46).
Dalam hal ini, penulis menganalisa kondisi sosiologis dari komik Gokusen
yang kemudian dihubungkan dengan pendekatan historis serta pendekatan
semiotika yang digunakan untuk menjabarkan keadaan serta tanda – tanda yang
terdapat dalam komik ini. Oleh karena itu, analisis ini akan menjelaskan tentang
kondisi sosial yang dihadapi tokoh utama dalam komik ini.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuaan Penelitian
Dalam setiap penulisan skripsi tentu ada tujuan yang hendak dicapai sesuai
dengan pokok permasalahan yang telah dikemukakan di atas. Adapun tujuan
tersebut adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya dan perkembangan yakuza di
Jepang.
1.5.2 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Bagi peneliti dan masyarakat umum diharapkan dapat menambah
wawasan dan pengetahuan mengenai makna yang terkandung dalam
komik Gokusen.
2. Bagi masyarakat luas pada umumnya dan para pelajar Sastra jepang
khususnya diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi mengenai
perkembangan kehidupan yakuza di Jepang dewasa ini.
1.6 Metode Penelitian
Metode dapat diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis
yang dilakukan seorang peneliti dalam upaya mencapai tujuan seperti
memecahkan masalah atau menguak kebenaran atas fenomena tertentu.
(Siswantoro, 2005 : 55)
Sesuai dengan tema dan permasalahan yang akan dianalisis dalam komik
Gokusen, maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif dalam cakupan
penelitian kualitatif. Menurut Koentjaraningrat (1976 : 30), bahwa penelitian
yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin
tentang suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Metode deskriptif
juga merupakan suatu metode yang menggambarkan keadaan atau objek
penelitian yang dilakukan pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya dan dipakai untuk memecahkan masalah dengan
cara mengumpulkan, menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka (library
research) yaitu dengan menelusuri sumber – sumber kepustakaan dengan cara
mengumpulkan buku – buku dan referensi yang ada di perpustakaan umum
Universitas Sumatera Utara, perpustakaan jurusan Sastra Jepang, membaca
literatur yang berhubungan dengan isi penulisan ini dan melakukan penelusuran
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP YAKUZA DAN KOMIK
2.1 Yakuza di Jepang
Yakuza dianggap mewakili kejahatan terorganisir di Jepang karena yakuza
memiliki struktur organisasi yang tersusun dengan rapi untuk mengatur segala
aktifitas anggotanya. Hal inilah yang membedakan yakuza dengan organisasi
kriminal lain di dunia seperti mafia di Italia dan gangster di Amerika
Perkembangan yakuza di Jepang sangat cepat, bahkan melebihi jumlah
perkembangan polisi di Jepang pada tahun 1958-1963. padahal yakuza sering
melakukan tindakan yang di anggap illegal, seperti perdagangan narkotika,
penjualan senjata api, perjudian dan juga usaha rumah bordil. Namun pemerintah
Jepang sangat sulit untuk menghentikan perkembangan yakuza.
Jika membicarakan yakuza, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana
latar belakang dan faktor mendukung perkembangan yakuza.
2.1.1 Latar Belakang Munculnya Yakuza di Jepang
Sistem pemerintahan feodal di Jepang dibagi menjadi feodal awal dan
feodal akhir, yang dimulai dengan zaman Kamakura (1192-1333) dan di akhiri
dengan zaman Edo atau Tokugawa (1603-1868).
Zaman Edo ditandai dengan terjadinya perang terbesar di Jepang yang
melibatkan keluarga Toyotomi dengan keluarga Tokugawa, yaitu Perang
keluarga untuk memperebutkan kekuasaan dan kedudukan shogun sebagai
pengganti Toyotomi Hideyoshi yang meninggal pada tahun 1598. Menurut tradisi,
yang sebenarnya berhak untuk mewarisi kedudukan shogun tersebut adalah putra
dari Toyotomi Hideyoshi, yaitu Toyotomi Hideyori. Namun kekuatan Tokugawa
Ieyasu dari hari kehari semakin kuat dan hal tersebut merisaukan keluarga daimyo
Ishida Mitsunari (1560-1600) yang merupakan pendukung dari Hideyori. Maka
Ishida Mitsunari mengumpulkan pengikutnya untuk menjatuhkan Tokugawa
Ieyasu, dan pihak Tokugawa Ieyasu tidak membiarkan begitu saja. Yang disebut
dengan daimyo adalah penguasa daerah yang berpenghasilan di atas 10.000 koku
padi per tahun, dan yang berpenghasilan di bawah tersebut disebut dengan
hatamoto (Situmorang, 1995 : 43).
Perselisihan antara daimyo-daimyo pendukung dari kedua keluarga
tersebut semakin meruncing dan akhirnya terjadilah perang di daerah Sekigahara.
Tokugawa Ieyasu berhasil memenangkan perang tersebut. Kemenangan
Tokugawa Ieyasu tersebut menyebabkan munculnya penguasa baru, dan
kemudian ia diangkat menjadi Jendral Berkuasa Penuh atau Seii tai Shogun oleh
Tenno Haika. Tokugawa Ieyasu mendirikan pemerintahan Bakufu di Edo (Tokyo)
pada tahun 1603 (Totman dalam Situmorang, 1995 : 20).
Perang tersebut melibatkan sekitar 80.000 bushi dari masing-masing kubu.
Walaupun Tokugawa Ieyasu berhasil mengalahkan keluarga Toyotomi, namun
kerugian yang dideritanya juga tidak sedikit. Kondisi Jepang setelah perang
Sekigahara dapat dikatakan damai namun belum stabil karena banyak bushi harus
berpindah profesi dari samurai, dan sebagian dari mereka ada yang berpindah
kerja di pemerintahan. Bushi adalah serdadu professional yang sebelumnya adalah
petani yang dipersenjatai dan dilatih untuk mengabdi kepada tuannya kizoku.
Namun tidak sedikit dari para bushi itu yang gagal dengan profesi baru mereka,
dan mereka yang gagal ini kemudian menggunakan segala cara untuk memperoleh
uang demi kelangsungan kehidupan mereka.
Para ronin tersebut bisaanya membentuk kelompok-kelompok dalam
melakukan segala kegiatannya. Pada saat itu ada suatu kelompok yang cukup
terkenal di kalangan masyarakat Edo yang menamai dirinya kabuki-mono. Mereka
adalah para ronin yang sering melakukan tindakan yang menyimpang dan sering
berpenampilan eksentrik karena cara berpakaian serta potongan rambutnya yang
tidak lazim dan selalu membawa pedang panjang kemanapun mereka pergi
sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat pada zaman itu.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa keadaan Jepang yang belum stabil
akibat perang menimbulkan banyak pengangguran dari kalangan bushi yang tidak
memiliki tuan (ronin) yang membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan
aksinya, dan mereka menamakan dirinya kabuki-mono. Kabuki-mono dapat
dikatakan sebagai kelompok kriminal legendaris pada zaman pertengahan di
Jepang. Mereka dikenal juga sebagai kelompok ronin dengan sebutan
hatomo-yakko atau pembantu shogun, yang menerapkan loyalitas yang tinggi pada
tuannya dan sesama para anggotanya, seperti bersumpah untuk saling melindungi
dalam berbagai keadaan.
Hatomo-yakko atau pembantu shogun, merupakan asal mula organisasi
kriminal di Jepang. Namun yakuza modern tidak mengidentifikasikan diri mereka
pembantu kota. Machi-yokko merupakan suatu kelompok yang sebagian
anggotanya adalah berasal dari masyarakat kelas bawah yang ada di Jepang.
Tujuan awal dibentuknya machi-yokko adalah untuk melindungi kota-kota dari
gangguan para hatomo-yakko. Berbeda dengan hatomo-yakko, kehadiran dari
machi-yokko dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang, bahkan mereka
dianggap sebagai pahlawan pada zaman itu.
Ada beberapa kisah mengenai tokoh machi-yokko, namun yang paling
terkenal adalah cerita mengenai Chobei Banzuiin. Chobei dilahirkan dalam
keluarga biasa di bagian selatan Jepang. Pada tahun 1640, ia berkelana ke Edo dan
kemudian bergabung dengan kakaknya, seorang biksu kepala di sebuah kuil
Budha.
Berbeda dengan kakaknya, Chobei bekerja sebagai makelar buruh. Selain
menjadi makelar buruh, Chobei juga membuka tempat perjudian yang awalnya
hanya untuk mengisi waktu istirahat. Taruhan yang dipasang selain untuk menarik
perhatian para buruh untuk ikut berjudi, juga dimaksudkan agar uang yang telah ia
bayarkan sebagai gaji kepada buruh yang ia pekerjakan, dapat kembali ke
tangannya.
Walaupun Chobei memiliki tempat berjudi, namun di lain pihak ia jga
dikenal masyarakat sebagai orang yang suka menolong rakyat jelata. Setiap kali
orang yang ditolongnya mengucapkan terima kasih kepadanya, ia menjawab
bahwa semua itu adalah jalan hidup yang ia pilih karena seandainya ia memilih
jalan pedang maka ia akan kehilangan nyawanya. Seolah-olah telah diramalkan
oleh kata-katanya sendiri, Chobei meninggal dibunuh dengan pedang oleh musuh
(Kaplan, 1994 : 17). Kisah-kisah selama masa hidup Chobei yang suka menolong
telah memberikan pengaruh yang cukup besar pada yakuza modern, sehingga
mereka menganggap Chobei Banzuiin sebagai leluhur mereka.
2.1.2 Nama Yakuza (ヤ ク ザ)
Kebanyakan kaum Machi-yokko yang disewa berasal dari kelas bakuto
atau penjudi. Hal ini dimaksudkan agar upah para pekerja terkuras di meja
perjudian. Dengan begitu, uang yang telah dikumpulkannya akan cepat habis dan
mereka dengan terpaksa agar segera mencari “tambahan” guna mencukupi
kebutuhan hobinya, yaitu berjudi.
Dalam permainan judi, mereka bisaa menggunakan kartu Hanafuda (花札)
dengan system permainan mirip Black Jack. Permainan yang dinamakan Oicho
Kabu atau yang sering disebut sammai karuta atau tiga kartu ini digunakan karena
dinilai sangat cepat dan menyenangkan. Cara permainannya sangat mudah.
Dengan hanya menjumlahkan angka dari masing-masing kartu maka dapat
ditentukan siapa pemenangnya. Pemenang dari permainan ini adalah pemain yang
memiliki nilai tertinggi. Untuk nilai tertingginya adalah 9, sedang nilai terendah
adalah 0 (nol). Angka ini diambil dari penjumlahan ketiga kartu yang dibagikan
dan angka terakhirlah yang menentukan.
Jika ditemukan angka 9-9-1, yang berjumlah 19, maka angka 9 yang
digunakan. Demikian juga, apabila kartu yang dibagikan adalah adalah 5-5-5 dan
jumlahnya 15 maka angka 5-lah yang digunakan. Dalam permainan ini, para
pemain sangat membenci angka yang berakhiran 0 (nol). Karena secaralangsung
Dalam permainan ini, kartu yang disebut dengan “kartu sial” ini sering
ditemukan dengan nilai 8-9-3 yang berjumlah 20. dan istilah “yakuza” sendiri
awalnya diambil dari “kartu sial” ini. Dalam bahasa Jepang, angka 8-9-3 dapat
juga diucapkan sebagai Ya-Ku-Za.
8 ( 八) = Hachi = Ha/Ya ( ヤ )
9 ( 九) = Kyu = Ku ( ク )
3 ( 三) = San/ Zan = Sa/Za ( ザ )
Istilah yakuza pada awalnya hanya ditujukan bagi seorang pemain yang
kalah dalam permainan kartu, namun maknanya berkembang dan tidak lagi
ditujukan kepada seorang pemain saja tetapi mengacu kepada seluruh orang yang
bermain judi dan kepada orang- orang yang melakukan penyimpangan dan
mengganggu ketentraman masyarakat. Dalam masyarakat Jepang pada masa
itu,orang-orang yang berjudi dianggap sebagai pecundang dan tidak berguna
(Inami, 1992 : 353).
2.1.3 Organisasi Yakuza
Yakuza (ヤクザ), yang juga dapat disebut dengan gokudou ( 極道 ) adalah
nama dari sindikat terorganisir di Jepang. Sedang dalam pengoperasian organisasi
ini, sering juga disebut mafia Jepang. Hingga sekarang, yakuza masih saja ditakuti
banyak orang, hal ini dikarenakan sepak terjangnya yang sangat mempengaruhi
Jepang, bahkan dunia sekaligus. Meski pada dasarnya mereka adalah
kelompok-kelompok ‘minor’ yang dikumpulkan, namun dalam perekruitan anggota, mereka
Jika awal dari pembentukan yakuza berasal dari “rakyat yang bukan dari
kalangan bushi”, dalam pelebaran dan perluasan anggota, yakuza tidak
memandang status sosial mereka. Bahkan bagi mereka (anggotanya) yang dinilai
lemah dan tidak mampu beradaptasi dengan kehidupan kesehariannya (bukan
dalam yakuza), yakuza tidak tanggung-tanggung untuk melindunginya. Dalam
kepengurusannya, yakuza dibagi menjadi 2 kelompok yaitu Yakuza tak bertuan
dan keluarga Yakuza
1. Yakuza tak bertuan/yakuza lepas
Dalam kepengurusan yakuza, tidak ditentukan atau diwajibkan bagi
mereka untuk bergabung dalam suatu kelompok tertentu. Pada praktiknya, banyak
ditemukan yakuza yang berdiri sendiri dan tidak memiliki “tuan”.
Seperti yang disebutkan, yakuza dapat berasal dari golongan manapun,
tingkat sosial apapun, dan umur berapa pun. Dan ini berdampak dengan adanya
yakuza lepas yang tidak memiliki tuan dan tidak terikat dengan organisasi apapun.
Yakuza lepas ini sering disewa oleh keluarga yakuza untuk melakukan
kegiatannya. Sesuai dengan jabatannya, yakuza lepas berasal dari kalangan paling
bawah, yang tidak memungkinkan menjalankan usaha apapun secara sendirian.
Mereka lebih dikenal oleh masyarakat tentang sepak terjang mereka yang selalu
membuat keonaran diantaranya. Berbeda dengan keluarga yakuza yang lebih
memilih “jalur elit”.
Keterlibatan antara yakuza lepas dengan keluarga yakuza adalah apabila
keluarga yakuza menginginkan keonaran dengan tanpa campur tangan pribadinya,
atau hanya ingin “lempar batu sembunyi tangan”, keluarga yakuza menyewa
Yakuza lepas sangat mandiri karena tidak bertuan. Sehingga yakuza lepas
lebih mudah dalam beraksi tanpa harus menunggu atau ditunggu. Dalam alur
keuangannya, yakuza lepas sangat rawan apabila pada akhirnya yakuza lepas
mampu mengungguli keluarga yakuza.
Dan, apabila hal tersebut benar-benar terjadi, maka keluarga yakuza tidak
segan-segan untuk menghabisi yakuza lepas tersebut yang dinilai mengganggu
dan sebagai ancaman di kemudian hari.
2. Keluarga Yakuza
Keluarga yakuza berbeda dengan yakuza lepas. Mereka lebih terkoordinir
dan berjalan sesuai alurnya. Susunan kepengurusan juga sangat jelas sehingga
mereka memiliki pertanggungjawaban secara terarah. Selain itu,
peraturan-peraturan yang disusun juga harus dilakssanakan.
Dalam kepengurusan Keluarga Yakuza atau yang dapat disebut Organisai
yakuza, mirip dengan susunan keluarga pada umumnya dan memiliki tugas dan
tanggung jawab seperti organisasi-organisasi pada umumnya. Kombinasi kedua
susunan struktural ini mampu membawa yakuza menjadi organisasi “keluarga”
yang sangat kuat dan ditakuti.
Susunan keluarga rumah tangga; dalam keluarga kecil, kepala rumah
tangga biasa dipegang oleh lelaki tertua yang biasanya diperankan oleh ayah
dengan istri yang mendampingi dan diteruskan ke bawah oleh anaknya. Jika
ditarik kebelakang, menjadi keluarga besar, lelaki tertualah yang menjadi kepala
rumah tangga (bila masih mampu). Atau juga yang paling mampu dalam
mengurusi segala kebutuhan rumah tangga. Dengan didampingi istri, diteruskan
sering disebut sebagai cucu(-cucu). Di antara ank(-anak) dan atau cucu(-cucu),
mereka memiliki ikatan tali persaudaraan yang disebut dengan kakak-adik.
Jika ditarik secara keseluruhan, tali ikatan keluarga besar tersebut
memiliki ikatan antara bapak-anak, kakek-cucu, paman-keponakan, dan
kakak-adik.
Berbeda dengan susunan organisasi (secara umum); “Atasan” bisa jadi
seseorang uang memiliki jabatan terendah atau bahkan ‘pemilik’” bisa jadi
seseorang yang memiliki jabatan terendah atau bahkan ‘pemilik’ perusahaan
sendiri dan kemudian turun ke kepala pusat hingga ke masing-masing kepala
cabang. Susunan ini terus secara menurun kepada masing-masing anak buah
hingga sampai dasar. Bahkan sekarang mengenal sistem kontrak atau bahkan
buruh lepas.
Dengan gambaran susunan keluarga rumah tangga dan organisasi, jika
digabungkan, pasti menjadi suatu organisasi yang sangat kuat. Yakuza adalah
salah satu organisasi yang memiliki susunan organisasi tersebut. Oleh karenanya
disebut sebagai “Organisasi Keluarga Yakuza”.
Susunan keluarga Yakuza, atau dapat disebut sebagai Klan Yakuza; Kepala
Tinggi, dapat disebut sebagai Oyabun 親分 (ayah/father) dan menurun secara
kebawah kepada Wakashu 若衆 (anak/child). Dan masing-masing anak(-anak)
tersebut menjadi Kyodai (saudara/brother).
Melihat susunan struktural tersebut, seperti dalam kepengurusan organisasi
perusahaan, yakuza juga memiliki “staf khusus” untuk mengurusi keuangan,
hukum, dan sekretaris. Mereka adalah termasuk angkatan pertama di bawah “kaki
2.1.4 Uraian Tugas dan Tanggung Jawab a. Oyabun
Oyabun, dalam istilah mafia atau bahkan organisasi teroris besar
dimanapun, sama artinya yaitu Bos Besar. Oyabun dalan yakuza dapat diartikan
sebagai Father atau bahkan God Father. Oyabun sendiri adalah “nenek moyang”
dari berbagai elemen yakuza yang ada di Jepang.
Dalam kepengurusannya, oyabun dibantu oleh saiko komon, yang menjadi
salah satu kaki tangannya dalam menjalankan organisasinya baik di bidang hukum
maupun keuangan. Selain itu juga ada Waka Gashira yang juga sebagai
“anak”nya.
Seluruh ucapan dan perintah oyabun adalah hukum, dan “anak-anak”nya
wajib mengikutinya. Bagi mereka yang membelot, hanya akan membahayakan
kehidupannya. Bukan hanya secara personal, melainkan yang berhubungan
dengan dirinya, termasuk keluarga dan kerabatnya. Oyabun yang sangat terkenal
adalah Yoshio Kodama. Dia berhasil mempersatukan beberapa kelompok yakuza
menjadi organisasi terkuat di jepang setelah peristiwa Pearl Harbour.
b. Saiko Komon
Yakuza adalah salah satu organisasi yang memiliki struktur organisasi terbaik.
Yakuza bahkan memikirkan sampai ke pengurus hukum. Saiko Komon, penasihat
yang mendampingi Oyabun dalam berperan memiliki beberapa staf yang setara
dengannya. Mereka terbagi sesuai dengan pekerjaannya. Di antaranya adalah
Meski begitu, mereka yang termasuk ke dalam golongan Saiko Komon,
juga memiliki hak yang sama seperti oyabun untuk menjadi “ayah” dari
kelompok-kelompoknya. Hanya saja, mereka dituntut agar tetap setia
mendampingi sang ayah.
c. Shatei Gashira
Meski oyabun dinilai sebagai pimpinan tertinggi, tidak menjadikan dirinya
sebagai pimpinan tunggal selamanya. Oyabun juga memiliki saingan yang
sama-sama memiliki basis tinggi. Mereka disebut sebagai “adik” oyabun atau shatei
Gashira.
Susunan strukturalnya sama, hanya yang membedakan, keturunan dari
mereka menjadi saudara tertua dari keturunan-keturunan Waka Gashira karena
shatei gashira sendiri menduduki peringkat pertama dari susunan yakuza. Meski
begitu, shatei gashira tidak memiliki keagungan layaknya oyabun. Namun shatei
gashira harus tunduk kepada oyabun.
d. Wakashu
Anaknya atau sebagai “pimpinan ke-2” ini sering dipanggil oleh sang ayah
sebagai waka gashira. Wakashu atau waka gashira juga dapat disebut sebagai
Kumicho 組長.
Hampir keseluruhan Wakashu memiliki keturunan. Bagi Wakashu yang
memiliki keturunan inilah yang berhak mendapatkan julukan Waka Gashira. Dan
dia kemudian mendapatkan panggilan kumicho bagi kelompok-kelompok di
Saat menjalankan jabatannya sebagai Wakashu, dia tetap harus
menjalankan norma-norma yakuza terhadap pimpinannya (God Father). Karena
bagaimanapun juga, oyabun adalah satu-satunya pimpinan tertinggi dalam yakuza.
Kumicho, meski sebagai pimpinan tinggi, yang dalam ilmu perang dapat disebut
sebagai “shogun/Panglima Perang” ini juga memiliki struktur organisasi yang
sama dengan organisasi besar pimpinan oyabun. Kumicho juga dibantu oleh Saiko
Komonnya sendiri.
e. Wakashu Kyodai
“Saudara” oyabun atau sering disebut sebagai Shatei Gashira juga sering
disebut sebagai kyodai. Namun demikian, kyodai tidak terhenti hanya sebatas
“saudara” oyabun saja. Pada dasarnya kyodai adalah “saudara” seangkatan.
Seluruh keturunan baik dari Saiko Komon, Shatei Gashira, atau bahkan Waka
Gashira adalah kyodai. Mereka layaknya sebuah keluarga dan dalam suatu
komunitas atau organisasi pekerja, selalu memiliki dua kubu, antara pro dan
kontra.
Bagi kubu ‘pro’, mereka lebih mementingkan persaudaraan dengan saling
berbagi dan membantu. Tapi bagi ‘kontra’, mereka cenderung memperebutkan
jabatan dan memperlihatkan kekuasaannya.
2.2 Kelompok-Kelompok yang Termasuk Yakuza
Setelah hampir seratus tahun kematian Chobei Banzuiin, barulah muncul
yakuza tradisional. Yakuza tradisional adalah yakuza yang muncul pada awal
Mereka bisaanya berasal dari kalangan bawah yang merasa terbuang atau tidak
sesuai dengan masyarakat Jepang pada umumnya. Tetapi tidak semua anggota
yakuza berasal dari kalangan bawah seperti burakunin, yaitu masyarakat yang
dianggap memiliki kedudukan yang rendah dalam masyarakat Jepang karena mata
pencaharian mereka adalah berburu binatang untuk dijual kulitnya. Namun ada
juga yang berasal dari keluarga terpandang yang merasa tertekan oleh tuntutan
kedua orang tua mereka sehingga melarikan diri dari rumah dan kemudian
bergabung dengan yakuza, atau pelajar yang dikeluarkan dari sekolah, anak yang
dibuang oleh orang tuanya karena kekurangan ekonomi dan lain-lain.
Keanggotaan yakuza selain seperti yang disebutkan di atas, juga berasal
dari perekruitan oleh suatu kelompok yakuza terhadap orang-orang yang
dianggapnya berpotensi untuk bergabung menjadi anggota yakuza. Perekruitan ini
biasanya dilakukan di tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat hiburan,
prostitusi, klub-klub malam dan tempat keramaian lainnya. Di
tempat-tempat seperti ini tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian, dan hal
tersebut merupakan saat yang tepat untuk merekruit seseorang yang dianggap kuat
karena berhasil mengalahkan lawan-lawannya.
Yakuza tradisional yang merupakan asal – usul dari yakuza modern, dapat
dibedakan menjadi bakuto atau penjudi, dan tekiya atau pedagang keliling. Kedua
kelompok ini memiliki kebiasaan yang sangat berbeda sehingga polisi Jepang
sampai saat ini sangat sulit untuk membedakan yakuza sebagai bakuto atau tekiya.
Baik bakuto maupun tekiya memiliki daerah kerja masing-masing, dan mereka
tidak pernah berselisih seandainya mereka berada pada daerah yang sama. Berikut
2.2.1 Tekiya atau Pedagang Keliling
Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul tekiya. Goro Fujita, mantan
anggota Tosi-kai, yaitu kelompok etnis Korea terbesar yang dibentuk pada tahun
1948, yang mengontrol klub-klub malam di Ginza, percaya bahwa tekiya pada
awalnya adalah bangsa nomaden yang berkeliling untuk menjual dagangannya di
kota-kota dan pusat-pusat perdagangan.
Bagaimanapun asal-usulnya, pada pertengahan 1700-an para pedagang
keliling atau tekiya bergabung untuk menggalang kerja sama dan saling
melindungi daerah kekuasaan Tokugawa Ieyasu. Mereka mampu mengontrol
tempat-tempat berjualan di pasar atau bazaar yang diadakan di kuil-kuil. Pada saat
diadakan bazaar, sepanjang jalan menuju kuil dipenuhi oleh tempat-tempat
berjualan macam-macam barang, mulai dari barang keperluan rumah tangga
sampai dengan mainan anak-anak. Para pedagangnya adalah tekiya, dan
masyarakat Jepang pada umumnya mengetahui bahwa mereka adalan yakuza,
tetapi tidak semua pedagang yang berjualan adalah tekiya. Pedagang yang bukan
tekiya diharuskan untuk membayar iuran kepada tekiya jika ingin berjualan
ditempat tersebut. Tekiya-lah yang menentukan lokasi didirikannya tempat-tempat
berjualan tersebut, dan polisi tidak dapat melakukan tindakan apapun. Apabila
seorang pedagang ingin membuka usaha di daerah yang berada di bawah
kekuasaan tekiya, maka ia harus bersedia membayar sejenis uang iuran kepada
tekiya, dan jika menolak maka dipastikan ada barang-barang yang hilang, atau
pelayannya berkurang, bahkan tekiya tidak segan-segan menggunakan kekerasan
Tidak seperti penjudi, kegiatan tekiya pada umumnya adalah legal, bahkan
pemerintah feodal membantu memperkuat kedudukan para pemimpin tekiya
dengan menjamin pengakuan status mereka secara resmi pada kurun waktu
1735-1740. untuk mengurangi berkembangnya praktek penipuan pada
pedagang-pedagang tekiya, pemerintah menunjuk beberapa oyabun sebagai pengawas dan
memberikan penghargaan kepada mereka berupa nama keluarga dan dua buah
pedang, yang merupakan simbol dari samurai.
2.2.2 Bakuto atau Penjudi
Berbeda dengan tekiya, usaha yang dilakukan oleh bakuto adalah
jelas-jelas ilegal, yaitu berjudi. Pada awalnya kelompok penjudi ini terdiri dari ronin,
namun lama-kelamaan para pegawai pemerintah dan bos-bos lokal, seperti
pimpinan pemadam kebakaran atau mandor kuli bangunan yang bertanggung
jawab terhadap pekerjaan konstruksi dan irigasi di bawah kekuasaan Tokugawa
mulai tertarik untuk mengadu nasib di meja judi. Pekerjaan ini mengharuskan
mereka untuk membayarkan sejumah uang kepada para buruh, dan uang yang
telah mereka bayarkan kepada para buruh sebagai upah itu kemudian diusahakan
agar dapat kembali lagi ke tangan pegawai pemerintah dan bos-bos tersebut. Cara
yang mereka lakukan adalah dengan membuka meja judi, dan hal tersebut sangat
manjur, banyak para buruh yang menghabiskan upah yang mereka terima di meja
judi tersebut, dan lama kelamaan bukan hanya para buruh yang mengadu nasib di
meja ini, banyak dari para pedagang, seniman dan bahkan orang-orang dari
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa kata yakuza berasal dari sebuah
permainan kartu yang dilakukan oleh para bakuto, yang mengacu kepada sesuatu
yang tidak berguna, dan kemudian mengacu kepada para bakuto itu sendiri karena
mereka dianggap tidak berguna. Selama bertahun-tahun kata yakuza digunakan
terbatas pada kaum bakuto saja, karena para anggotanya terus mempertahankan
kemurnian kelompoknya yang menganggap bahwa yakuza yang sebenarnya
adalah para penjudi tradisional.
Sejalan dengan perkembangan zaman, kata yakuza tidak lagi hanya
digunakan untuk bakuto saja tetapi juga kepada tekiya, dan kelompok-kelompok
kriminal terorganisir lainnya di Jepang. Lebih lanjut yang dikatakan dengan
kelompok terorganisir menurut seorang mantan polisi Jepang, Raisuki Miyawaki
(2006 : 11), adalah struktur yang kuat dan saling menunjang yang melibatkan
hubungan manusia dan peredaran uang. Dalam struktur tersebut ikut terlibat di
dalamnya adalah debitor besar, mantan pejabat bank, dan organisasi kriminal.
2.3 Pola Identitas Yakuza
Pada yakuza, kesetiaan mereka tunjukkan ke dalam beberapa hal, seperti
rela mengorbankan diri sendiri untuk melindungi oyabun, dan siap menerima
hukuman apa saja jika melakukan kesalahan yang ringan maupun berat, seperti
memotong jari (yubitsume), dan menato seluruh tubuh, dan kemudian hal ini
lama-kelamaan menjadi tradisi di organisasi yakuza dan menjadi identitas sebagai
anggota yakuza. Bukan itu saja, anggota yakuza juga sering menggunakan kode
lain yang bukan anggota yakuza tidak dapat mengetahui arti dari tindakan dan
ucapan mereka. Berikut ini penjelasan dari pola identitas dari yakuza tersebut.
2.3.1 Yubitsume atau Pemotongan Jari
Bakuto memiliki peraturan-peraturan yang bersifat mengikat kepada
anggotanya, terutama yang menyangkut kesetiaan dalam menjaga rahasia bakuto
dan kepatuhannya terhadap hubungan oyabun-kobun.
Ada beberapa hal yang ditabukan dan dilarang dalam bakuto, seperti
memperkosa. Jika hal tersebut dilanggar, maka sipelaku akan dikenakan hukuman
yang berat atau dikeluarkan dari organisasi. Bukan berarti kalau dikeluarkan dari
organisasi lebih ringan hukumannya, karena dengan dikeluarkan dari organisasi
maka tidak akan ada suatu organisasi yakuza yang lain akan mau menerimanya,
hal ini dikarenakan oyabun akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada
seluruh organisasi yakuza mengenai anggotanya telah diusir, untuk tidak
menerimanya dalam organisasinya. Hal ini merupakan hukuman yang sangat berat
bagi anggota yakuza, karena dengan begitu dia tidak akan dapat lagi bergabung ke
organisasi yakuza lainnya, dan berarti dia akan kehilangan pekerjaannya
selamanya.
Untuk beberapa kesalahan berat tetapi tidak sampai dijatuhi hukuman mati
atau diusir, maka bakuto menerapkan peraturan pemotongan jari atau yubitsume,
yang bisaanya dipotong terlebih dahulu adalah ruas jari pertama kelingking.
Yubitsume ini baik atas dasar perintah dari oyabun maupun atas kesadaran sendiri,
terbukti membuat kobun tergantung pada perlindungan oyabun. Pemotongan jari
ruas jari yang telah dipotong itu kemudian dibungkus dengan kain yang baik
kualitasnya lalu dipersembahkan kepada oyabun. Tradisi ini berasal dari bakuto
pada zaman Edo, dimana pada masa itu jika seorang penjudi tidak mampu
membayar hutang-hutangnya, maka ruas jarinya akan dipotong, ini dilakukan agar
kemampuan untuk bermain judinya akan menjadi berkurang.
2.3.2 Tato
Selain yubitsume, tradisi yang diperkenalkan oleh kaum bakuto adalah tato.
Tato pada awalnya merupakan bentuk hukuman yang digunakan untuk
mengasingkan pelanggar dari masyarakat, yang bisaanya terdapat di sekitar
lengan untuk setiap kejahatan yang dilakukannya.
Tradisi tato ini memiliki makna selain sebagai hukuman, diantaranya
adalah sebagai tanda suatu perkumpulan masyarakat. Jika setiap orang dalam satu
kelompok masyarakat melakukan suatu kegiatan yang sama, maka setiap orang di
dalam kelompok itu juga harus melakukan hal yang sama. Hal tersebut juga
berlaku dalam organisasi yakuza yang diidentikan dengan tato, jadi semua
anggota yakuza juga harus ditato. Pada saat ini tato digunakan sebagai simbol atau
lambang dari masing-masing organisasi yakuza tempat dia bergabung. Proses
penatoan tradisional merupakan suatu yang sangat menyakitkan. Peralatan yang
digunakan terbuat dari tulang atau kayu yang dipahat dan pada ujungnya dipasang
jarum. Proses ini memakan waktu yang tidak sebentar, bahkan untuk tato sekujur
tubuh waktu yang diperlukan bisa mencapai lebih dari 100 jam. Sampai saat ini
tato masih sangat popular di kalangan yakuza, bahkan yakuza modern masih
menato yang lebih canggih dan tidak sesakit dengan alat tradisional, para anggota
yakuza lebi memilih menggunakan dengan cara tradisional.
2.3.3 Kode dan Bahasa Rahasia
Pada saat sesama anggota yakuza bertemu, mereka memiliki kebisaaan
tersendiri untuk saling memperkenalkan identitas mereka masing-masing. Jika
yang bertemu adalah oyabun suatu organisasi dengan kobun dari organisasi lain,
maka tata cara hirarki dapat dengan mudah dilakukan. Misalnya pada saat
memperkenalkan diri masing-masing, oyabun mengidentifikasikan dirinya dengan
cara menunjukkan ibu jarinya, sedangkan kobun akan menyembunyikan ibu
jarinya dan menunjukkan jari kelingkingnya yang menandakan bahwa dia
merupakan kobun yang masih muda.
Selain itu, organisasi yakuza juga memiliki bahasa rahasia yang
dikembangkan dan hanya diketahui artinya oleh sesama anggota yakuza itu sendiri,
gunanya agar rahasia dari organisasi mereka tidak mengalir hingga ke luar
organisasi (Lebra, 1974 : 54).
2.4 Perubahan Aktifitas Yakuza
Yakuza pada zaman Edo atau sering disebut juga yakuza tradisional,
dikenal masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tidak berguna karena
pekerjaan mereka adalah merampok, memeras dan berjudi. Cara berpenampilan
mereka juga sangat eksentrik dan tidak lazim bagi masyarakat pada zaman itu.
yakuza pun ikut berkembang dan mulai meninggalkan aktifitas lama mereka
menuju aktifitas yang baru, dan yakuza berubah menjadi yakuza yang modern.
2.4.1 Yakuza pada Zaman Edo
Zaman Edo dikenal juga sebagai zaman feodal akhir, karena pemerintahan
yang berkuasa pada saat itu bersifat feodal di bawah pimpinan shogun Ieyashu
Tokugawa. Pada zaman ini siapa yang memiliki kekuasaan dan kekuatan yang
besar maka dialah yang akan memimpin, hukum itu juga berlaku di dalam
organisasi yakuza, siapa yang paling kuat dan memiliki kekuasaan yang besar
maka dialah yang akan memimpin organisasi.
Ketika pertama kali terbentuk, yakuza hanyalah sekumpulan orang-orang
yang dianggap tidak berguna di tengah-tengah masyarakat karena yang mereka
kerjakan hanyalah meresahkan masyarakat seperti merampok, berjudi, memeras
dan lain sebagainya. Setiap kali beraksi mereka melakukannya tanpa ada
koordinasi yang jelas dan melakukannya sesuai dengan keinginan dari diri mereka
sendiri tanpa ada perintah yang jelas. Namun semakin bertambahnya anggota
yakuza semakin ditakuti pula organisasi ini oleh masyarakat. Tidak jarang terjadi
keributan-keributan dan perkelahian diantara sesama aggota yakuza dalam
memperebutkan kekuasaan, dan siapa yang paling kuat diantara mereka akan
diangkat menjadi pemimpin kelompok yang seterusnya akan mengatur dan
memberikan perintah kepada anggota-anggotanya dalam menjalankan tugas.
Dapat dikatakan yakuza awal atau yakuza tradisional pada zaman edo
belum memiliki struktur organisasi yang rapi dan jelas, mereka hanya terdiri dari
hubungan ini sering juga disebut dengan oyabun (pemimpin atau atasan) dan
kobun (anggota atau bawahan). Inilah yang akan menjadi dasar dari struktur
organisasi yakuza pada zaman-zaman berikutnya hingga sekarang.
Di zaman ini, tidak ada sistem perekrutan khusus untuk bergabung
menjadi anggota yakuza, setiap orang dapat bergabung ke dalam organisasi
yakuza jika ia merasa sanggup dan memiliki kemampuan untuk menjalankan
perintah dari oyabun.
Penerapan sistem ie pada organisasi kriminal Jepang seperti yakuza yang
dikenal dengan istilah oyabun-kobun, yaitu hubungan orang tua dan anak yang
fiktif. Organisasi yakuza sangat menekankan sekali hubungan seperti ini, dan
hubungan ini dapat mempererat hubungan diantara sesama anggota yakuza.
Sistem seperti ini terbukti sangat berfungsi dalam perkembangan yakuza saat ini,
karena dengan sistem seperti ini yakuza masih dapat bertahan hingga sekarang,
dan walaupun yakuza berkembang dan mengalami banyak perubahan, namun
hubungan seperti ini masih tetap dipertahankan oleh organisasi yakuza hingga
sekarang.
2.4.2 Yakuza Modern
Seiring modernisasi yang diawali dengan Restorasi Meiji, yakuza pun
mengikuti perkembangan tersebut. Mereka mulai mengubah pola bisnis mereka
karena semakin ketatnya pengawasan oleh pemerintahan di zaman itu sehingga
mereka kesulitan untuk meneruskan usaha-usaha ilegal mereka selama ini. Para
yakuza mulai mencari kegiatan lain untuk dapat melangsungkan kehidupan