• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar (Studi Kasus Pungutan Liar Di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi Pungutan Liar (Studi Kasus Pungutan Liar Di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara)"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR

(STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)

TESIS

Oleh :

IVAN NAJJAR ALAVI

107005066/HK

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR

(STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA

)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh

IVAN NAJJAR ALAVI

107005066/HK

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul Tesis :PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR (STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)

Nama Mahasiswa : Ivan Najjar Alavi Nomor Pokok : 107005066

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

K e t u a

(Prof. Chainur Arrasyid, SH)

(Dr. Marlina, SH, M.Hum) (Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS) A n g g o t a A n g g o t a

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 28 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Chainur Arrasyid, SH Anggota : 1. Dr. Marlina, SH, M.Hum

(5)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi pungutan liar dalam KUHP, dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang PTPK dan menganalisis penanganan perkara pungutan liar dalam kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn serta menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Penegakan Hukum.

Pengaturan perbuatan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pungutan liar diatur di dalam KUHP (Wet Book Van Strafrecht) dan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar. Kedua pasal ini merupakan hasil konversi dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Dalam kasus posisi yang dilihat dari kronologis kasus, dakwaan jaksa, tuntutan jaksa, fakta-fakta hukum, pembuktian hakim atas fakta-fakta hukum, putusan hakim lalu dimulailah dengan analisis kasus.

Hambatan dalam pemberantasan korupsi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Hambatan pertama, masalah pembagian kewenangan penyidikan. Hambatan kedua, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi. Hambatan ketiga, keterbatasan dana dalam melakukan penanganan perkara. Hambatan keempat, permasalahan kurangnya personil dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Hambatan dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar dapat diklasifikasikan mengenai masalah pembagian kewenangan penyidikan, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, keterbatasan dana, dan kurangnya personil.

(6)

ABSTRACT

The aim of the research was to see how legal provisions on corruption, illegal fee in KUHP (the Penal Code), and Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on PTPK, to analyze the handling of the case of illegal fee No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn., and to analyze the obstacles in enforcing law against illegal fee. The research was judicial normative-empirical study with descriptive analytic approach, using Law Enforcement Theory.

The regulation for criminal act on someone who exercises illegal fee is regulated in KUHP (Wet Book Van Strafrecht) and in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001. The Penal Code itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can also accommodate any actions concerning illegal fee. These two articles are the result of the conversion from Article 423 and Article 425 of KUHP.

The process of handling the cases of illegal fee was at UUPKB (the Implementation Unit of Weighing Motorized Vehicles)/Sibolangit Weigh Station. The position of the case chronologically began with the prosecutor’s charge, the prosecutor’s demand, the legal facts, the judge’s evidence on legal facts, and the judge’s verdict and was followed by the case analysis.

Some obstacles in eradicating corruption can be classified as follows: the first obstacle is the problem of distributing the authority to investigate. The second obstacle is the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses. The third obstacle is the lack of funds in handling the case. The fourth obstacle is the lack of personnel in inquiring and investigating the criminal act of corruption.

The result of the research shows that KUHP itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can accommodate any actions concerning illegal fee. The process of handling the case of illegal fee was at UUPKB/Sibolangit Weigh Station. The obstacles in enforcing law against illegal fee can be classified as follows: the problem of distributing the authority to investigate, the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses, the lack of funds, and the lack of personnel.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, Sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Dalam rangka melengkapi tugas-tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum pada jenjang Strata dua (S2) Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Penulis menyusun tesis berjudul: “PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR (STUDI KASUS PUNGUTAN LIAR DI JEMBATAN TIMBANG SIBOLANGIT SUMATERA UTARA)”. Penulis sangat menyadari dalam penulisan tesis ini demikian banyak mengalami kendala, namun berkat adanya bantuan, motivasi serta bimbingan, maupun doa dari semua pihak, akhirnya tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung,

SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis

untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

(8)

Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan

kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program

Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Chainur Arrasyid, SH, selaku Ketua Komisi pembimbing yang telah

banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam

memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Ibu Dr. Marlina, SH, M.Hum, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis dalam

memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah banyak memberikan perhatian dan kesempatannya setiap saat pada penulis

dalam memberikan petunjuk dan pengarahan untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis

serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap

penulis.

8. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis serta

pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara memberikan ide dan pertanyaan-pertanyaan terhadap

(9)

9. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan

membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi

kehidupan dimasa yang akan datang.

10.Bapak Kepala Seksi Penyidikan Bidang Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi

Sumatera Utara yaitu Bapak Jufri SH MH yang telah membantu penulis dalam

penelitian tesis ini.

11.Teristimewa kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Mulatua Pohan, SH dan

Nizmah Hidayati, yang telah mendidik putranya dan senantiasa mengiringi

penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan

bantuan baik moril maupun materil yang sungguh besar nilainya bagi penulis

dalam menyelesaikan studi Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

12.Teristimewa kepada Istri penulis tersayang Ivo Farah Zara, SH yang selalu

memberi semangat dan membantu saya dalam menyelesaikan tesis di Program

Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

13.Sahabat-sahabat saya yang terdahulu pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara stambuk 2006, Tessa Yudistira, Egi Arjuna, Bambang Heri, Indra, Jimmy,

Alvin, Vidya, Hengki, Randi, Irene, Syahril, Anggi, Cherlisven, Tondi,

Immanuel, Juli yang selalu menjadi motivasi bagi saya dalam menyelesaikan tesis

ini.

14.Sahabat-sahabat saya di Kejaksaan Negeri Medan, Bang Ifhan Taufiq Lubis, Mas

(10)

Silaen yang selalu memberikan semangat dan arahan kepada saya dalam

menyelesaikan tesis ini.

15.Seluruh Sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 yang selalu membantu saya

dalam penulisan tesis.

16.Sahabat-sahabat saya satu angkatan pada Kejaksaan RI (NRP 611) di seluruh

nusantara yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada saya untuk

selalu maju dan bangkit dalam segala hal.

17.Para Pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yakni Kak Fika, Kak Fitri, Kak Juli, Ibu

Ganti, Ibu Niar, Bang Hendra, Bang Udin, Bang Herman, yang selalu meberikan

motivasi dan bantuan kepada penulis.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan hidayah, limpahan rahmat dan

karunia-Nya serta membalas segala kebaikan dengan yang lebih baik lagi. Penulis

menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan sehingga memerlukan

kritik dan saran yang sifatnya membangun, akhirnya penulis berharap semoga tesis

ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu

pengetahuan.

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Ivan Najjar Alavi.

Tempat/tanggal lahir : Yogyakarta, 17 Mei 1988.

Agama : Islam.

Status : Kawin.

Nama orang tua

Ayah : Mulatua Pohan, SH.

Ibu : Nizmah Hidayati.

Alamat : Jl. Gatot Subroto KM 7,8/ Jl. Gereja No. 78 . e-mail :

Hp : 081375544433.

ivannajjaralavi@yahoo.com.

Riwayat Pendidikan :

1. TK Harapan Bunda Medan Lulus Tahun 1993-1994

2. SD Free Methodist Medan Lulus Tahun 1994-2000

3. SLTP Swasta Free Methodist 2 Medan Lulus Tahun 2000-2003

4. SMA Negeri 1 Medan Lulus Tahun 2003-2006

5. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2006-2010

6. Program Studi Magister Ilmu Hukum USU Lulus Tahun 2010-2012

Medan, Juli 2012

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penelitian ... 10

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional ... 11

1. Kerangka Teori ... 11

2. Landasan Konsepsional ... 21

G. Metode Penelitian ... 25

1. Jenis Pendekatan ... 25

2. Sumber Data Penelitian ... 26

3. Teknik Pengumpulan Data ... 28

4. Metode Analisis Data ... 29

BAB II : PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA ... 30

A. Sejarah Pungutan liar di Indonesia ... 30

B. Pengaturan Pungutan Liar Dalam KUHP ... 43

(13)

2. Pasal 423 KUHP ... 47

3. Pasal 425 KUHP ... 55

C. Pengaturan Pungutan Liar Dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001... 60

1. Pasal 12 Huruf e KUHP ... 64

2. Pasal 12 Huruf f KUHP ... 69

BAB III : PROSES PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI KASUS PUNGUTAN LIAR (Studi Kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn)………... 74

A. Kasus Posisi... 74

1. Kronologis Kasus ... 74

2. Dakwaan Jaksa ... 85

3. Tuntutan Jaksa ... 87

4. Fakta-Fakta Hukum ... 88

5. Pembuktian Hakim Atas Fakta Hukum ... 93

6. Putusan Hakim ... 105

B. Analisis Kasus... 106

1. Masalah Saksi ... 106

2. Masalah Tuntutan Jaksa ... 108

3. Masalah Putusan Hakim... 111

BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN YANG DIHADAPI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PUNGUTAN LIAR ... 124

A. Pembagian Kewenangan Penyidikan yang Tidak Jelas ... 124

B. Mekanisme Perlindungan Saksi yang Belum Jelas ... 129

C. Keterbatasan Dana Dalam Melakukan Penanganan Perkara ... 132

(14)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 136

A. Kesimpulan ... 136 B. Saran ... 139

DAFTAR PUSTAKA ...

(15)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana korupsi pungutan liar dalam KUHP, dan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang PTPK dan menganalisis penanganan perkara pungutan liar dalam kasus No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn serta menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris dan bersifat deskriptis analitis, dengan menggunakan Teori Penegakan Hukum.

Pengaturan perbuatan pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pungutan liar diatur di dalam KUHP (Wet Book Van Strafrecht) dan di dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar. Kedua pasal ini merupakan hasil konversi dari Pasal 423 dan Pasal 425 KUHP.

Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Dalam kasus posisi yang dilihat dari kronologis kasus, dakwaan jaksa, tuntutan jaksa, fakta-fakta hukum, pembuktian hakim atas fakta-fakta hukum, putusan hakim lalu dimulailah dengan analisis kasus.

Hambatan dalam pemberantasan korupsi yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut; Hambatan pertama, masalah pembagian kewenangan penyidikan. Hambatan kedua, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi. Hambatan ketiga, keterbatasan dana dalam melakukan penanganan perkara. Hambatan keempat, permasalahan kurangnya personil dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa KUHP sendiri memiliki Pasal 368 KUHP, Pasal 423 KUHP, Pasal 425 KUHP yang dapat mengakomodir perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan pungutan liar. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 memiliki Pasal 12 huruf e dan Pasal 12 huruf f yang dapat mengakomodir perbuatan pungutan liar Proses penanganan perkara dalam kasus pungutan kasus pungutan liar di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB)/Jembatan Timbang Sibolangit. Hambatan dalam penegakan hukum terhadap pungutan liar dapat diklasifikasikan mengenai masalah pembagian kewenangan penyidikan, lemah dan tidak jelasnya mekanisme perlindungan saksi, keterbatasan dana, dan kurangnya personil.

(16)

ABSTRACT

The aim of the research was to see how legal provisions on corruption, illegal fee in KUHP (the Penal Code), and Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 on PTPK, to analyze the handling of the case of illegal fee No. 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn., and to analyze the obstacles in enforcing law against illegal fee. The research was judicial normative-empirical study with descriptive analytic approach, using Law Enforcement Theory.

The regulation for criminal act on someone who exercises illegal fee is regulated in KUHP (Wet Book Van Strafrecht) and in Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001. The Penal Code itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can also accommodate any actions concerning illegal fee. These two articles are the result of the conversion from Article 423 and Article 425 of KUHP.

The process of handling the cases of illegal fee was at UUPKB (the Implementation Unit of Weighing Motorized Vehicles)/Sibolangit Weigh Station. The position of the case chronologically began with the prosecutor’s charge, the prosecutor’s demand, the legal facts, the judge’s evidence on legal facts, and the judge’s verdict and was followed by the case analysis.

Some obstacles in eradicating corruption can be classified as follows: the first obstacle is the problem of distributing the authority to investigate. The second obstacle is the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses. The third obstacle is the lack of funds in handling the case. The fourth obstacle is the lack of personnel in inquiring and investigating the criminal act of corruption.

The result of the research shows that KUHP itself contains Article 368 KUHP, Article 423 KUHP, and Article 425 KUHP which can accommodate any actions concerning illegal fee. Law No. 31/1999 in conjunction with Law No. 20/2001 contain Article 12e and Article 12f which can accommodate any actions concerning illegal fee. The process of handling the case of illegal fee was at UUPKB/Sibolangit Weigh Station. The obstacles in enforcing law against illegal fee can be classified as follows: the problem of distributing the authority to investigate, the weakness and the obscurity of the mechanism of protecting witnesses, the lack of funds, and the lack of personnel.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi bukan lagi sekedar masalah negara berkembang seperti Indonesia,

tetapi telah menjadi masalah dunia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) memandang perlu mengadopsi “ United Nations Convention Againts

Corruption” (UNCAC) untuk memerangi korupsi di seluruh dunia. Indonesia menjadi

salah satu negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againts

Corruption.1

Korupsi memang telah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan bangsa ini.

Korupsi di Indonesia seperti tidak ada habis-habisnya dari tahun ke tahun, bahkan

perkembangannya semakin meningkat, baik dalam jumlah kasus dan kerugian negara

maupun kualitasnya. Perkembangan korupsi akhir-akhir ini nampak semakin

sistematis dan terpola. Luas lingkupnya juga telah menyentuh seluruh aspek

kehidupan masyarakat dan lintas batas negara.2 Oleh sebab itu, secara nasional

disepakati bahwa korupsi bukan saja sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai

kejahatan transnasional.3

1

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi,

(Surabaya : Indonesia Lawyer Club, 2010), hal. 2-3. 2

Marwan Effendy, “Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya Anti Korupsi Bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, Hal. 1.

3

(18)

Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang dilakukan oleh setiap

subyek hukum, baik orang maupun badan hukum yang secara langsung maupun tidak

langsung terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara. 4

Media massa di Indonesia selalu menyoroti banyaknya tindak pidana korupsi

yang dilakukan pejabat negara dan pegawai negeri selama ini. Namun demikian, tidak

banyak kasus tindak pidana korupsi yang diproses secara hukum dan ternyata hanya

sedikit perkara tindak pidana korupsi yang bisa dibuktikan secara hukum oleh instansi

penegak hukum.

Akibat tindak pidana

korupsi berdampak sangat luas, bukan hanya menyangkut keuangan negara, tetapi

juga mampu merusak sistem pemerintahan, perekonomian dan pembangunan.

Terpuruknya perekonomian dan pembangunan di Indonesia yang terus menerus pada

saat ini mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan

bernegara.

5

Salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang sering terjadi dalam kehidupan

sehari-hari adalah pungutan liar. Sektor pelayanan publik khususnya sektor

transportasi pada jembatan timbang merupakan salah satu sektor yang paling rentan

terhadap aktifitas pungutan liar. Uang pungutan liar masuk ke kantong oknum

pegawai dan keuangan daerah dirugikan. Sementara itu banyak angkutan barang yang

4

Niniek Suparni dan Baringin Sianturi, Bunga Rampai Korupsi, Gratifikasi, dan Suap,

(Jakarta : MISWAR, anggota IKAPI, 2011), hal. 8. 5

(19)

kelebihan muatan namun tidak dikenakan sanksi, sehingga jalan-jalan menjadi cepat

rusak.6

Kasus pungutan liar ini, istilah “Tahu Sama Tahu” (TST) menjadi sangat

populer. Istilah ini mengandung arti pengetahuan timbal balik, dan saling

membenarkan dari perbuatan-perbuatan di luar hukum dan amoral. Sebagai contoh,

seorang oknum dinas perhubungan menerima pemberian uang dari seorang

pengemudi truk yang muatannya melebihi batas yang diizinkan secara ilegal.7

Pungutan liar tidak harus merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara.8 Pungutan liar merupakan perbuatan tercela yang dilakukan untuk

menguntungkan diri sendiri dengan penyalahgunaan kekuasaan, memaksa orang lain

untuk memberikan keuntungan finansial, melanggar kepercayaan dan merusak mental

para pegawai negeri.9

Nilai pungutan liar terhadap pelaku usaha transportasi darat ditaksir cukup

besar. Menurut penelitian Himpunan Pengusaha Indonesia (HIPMI) Research Center,

hasil hitungan total pungutan liar dari proses administrasi kendaraan hingga kutipan

kepada sopir di jalan mencapai lebih dari Rp. 25 triliun tiap tahun. Tiap perusahaan

6

Lihat Koran Kompas pada artikel “ Jalan Rusak Buka Peluang Pungutan Liar” pada Hari Minggu 27 Maret 2011.

7

Mochtar Lubis, dkk, Bunga Rampai Korupsi, (Jakarta : Yayasan Obor Jakarta, 1988), hal.

35. 8

Lihat Ermansjah Djaja, Tipologi tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Bandung : Mandar

Maju), 2010, hal. 53-85. Terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang diantara itu hanya dua jenis yang terkait kerugian negara. Sedangkan 28 jenis lainnya terkait dengan suap-menyuap (12 jenis), perbuatan curang (6 jenis), penggelapan dengan menggunakan jabatan (5 jenis), pemerasan (3 jenis), bantuan kepentingan dalam pengadaan (1 jenis), dan gratifikasi (1 jenis).

9

(20)

transportasi menyisihkan sedikitnya 25 persen pendapatan untuk membayar pungutan

liar. Pungutan itu terjadi pada saat pengurusan administrasi maupun di jalan raya.10

Pemerintah semestinya serius memerangi pungutan liar di sektor transportasi.

Upaya yang setengah hati membuat kejahatan ini terus merajalela sekaligus

membebani ekonomi dan merugikan negara. Besarnya biaya pungutan liar juga

menjadi salah satu penyebab amburadulnya layanan transportasi kita.

Kerusakan jalan nasional di banyak titik ternyata lebih disebabkan oleh

melintasnya truk-truk dengan beban berlebih. Kebijakan Menteri Perhubungan untuk

tidak mentoleransi kendaraan yang melebihi muatan diabaikan. Jembatan timbang

tidak berfungsi optimal dan menjadi sumber pungutan liar bagi aparat.11

Pungutan liar dilarang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo

Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun praktek ini terjadi setiap hari di semua kota di Indonesia. Pemerintah

bukannya tidak mengetahui persoalan akut ini. Tapi belum ada upaya serius untuk

memberantas pungutan liar atau menghukum pelakunya. Hanya menjelang Lebaran

biasanya mereka sibuk melakukan razia. Pada waktu-waktu lainnya, pungutan liar

berjalan seperti biasa.

10

Majalah Tempo, 15 Februari 2012, hal 12.

(21)

Akibatnya, para pengusaha harus mencari akal dengan menekan ongkos.

Kondisi ini mengakibatkan “kanibalisasi”12

Tingginya “biaya siluman”

suku cadang angkutan umum lazim

dilakukan. Sehingga tidak heran jika banyak bus dengan rem aus atau tanpa spion

tetap digenjot untuk menutup biaya. Faktor keselamatan mereka kesampingkan demi

keuntungan.

13

Upaya penegakan hukum memerangi pungutan liar, selama ini Kementerian

Perhubungan, instansi penegak hukum, dan pemerintah daerah berjalan

sendiri-sendiri. Tak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya. Bahkan banyak

pejabat, baik pusat maupun daerah, yang sengaja membiarkan praktek ini karena

menikmati setoran dari pelaku pungutan liar.

juga membuat pengusaha angkutan menekan

upah sopir. Para sopir terpaksa lembur untuk mengejar setoran. Akibatnya, mereka

kelelahan dan ceroboh saat menyetir. Ini pula yang menjadi salah satu pemicu

besarnya angka kecelakaan bus antarkota.

14

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar sangat

terkait dengan peraturan hukum dan institusi penegak hukum, kalau yang pertama

menyangkut peraturan perundang-undangannya, sedangkan yang kedua menyangkut

institusi penggeraknya, seperti Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Pengadilan dan

12

Pembongkaran bagian mobil, tidak untuk merusak, tetapi untuk memperoleh bagian-bagian itu karena persediaannya tidak ada, tidak dijual di pasar, atau menghemat biaya.

13

Biaya siluman adalah biaya atau tarif yang tidak sesuai dengan perangkat aturan yang mengatur tentang biaya muatan jembatan timbang yang diatur dalam Peraturan Daerah maupun Peraturan Menteri Perhubungan.

14

Denny Indrayana, Cerita di Balik Berita, Jihad Melawan Mafia, (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu

(22)

Lembaga Pemasyarakatan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum,

sedangkan pembangunan hukum itu sendiri adalah komponen integral dari

pembangunan nasional.

Berbagai lembaga pengawas eksternal15

Penyebab utama korupsi ialah lemahnya integritas moral yang turut

melemahkan disiplin dari aparatnya, lemahnya sistem, lemahnya mekanisme di

berbagai sektor birokrasi, seperti dikeluhkan pengusaha kecil maupun pengusaha

asing, karena masih banyaknya mata rantai yang harus dilalui untuk memperoleh

suatu pelayanan publik. Keadaan yang demikian menyebabkan suburnya pungutan

liar sebagai salah satu bentuk perbuatan korupsi. Kelemahan sistem tersebut tidak

dapat berdiri sendiri. Sistem adalah produk dari integritas moral, dan untuk juga telah dibentuk untuk melakukan

kontrol terhadap kinerja aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi dan

wewenangnya secara transparan, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi

kepolisian Nasional. Hal ini sebagai wujud dari fungsi pemberdayaan masyarakat

yang diharapkan dapat menjadi mitra yang mampu bersinergi secara dinamis dan

harmonis dengan pengawasan masing-masing internal institusi penegak hukum,

sehingga harapan masyarakat untuk memiliki aparat penegak hukum yang bersih dan

jujur dapat tercapai.

15

Lembaga pengawasan internal belum berjalan secara efektif karena adanya semangat untuk saling melindungi, lebih dari itu kekurangan lainnya adalah tidak adanya transparansi kepada publik tentang bentuk kontrol dan sanksi yang diberikan kepada yang melakukan pelanggaran. Keberadaan

lembaga pengawasan eksternal dan bersifat independen yang dilakukan oleh kalangan “civilsociety”

(23)

memperbaiki sistem tergantung pada integritas moral, karena yang dapat berfikir

perlunya diperbaiki sistem ialah yang bermoral. Orang yang tidak bermoral atau

bermoral rendah meskipun tidak mungkin terdorong untuk memperbaiki sistem

karena kelemahan sistem itu sendiri diperlukannya untuk melakukan penyelewengan.

Pola perbuatan ini sudah menjadi salah satu gejala umum yang sulit diberantas,

karena korupsi ini dilakukan dengan rapi. Selain itu umumnya dilakukan oleh

kalangan yang berpendidikan tinggi,16

Kompleksitas permasalahan di atas memang menjadi dilematis bagi

pemerintah saat ini. Upaya untuk menimalisir terus dilakukan secara

berkesinambungan, dengan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan sistem hukum,

yang meliputi substansi hukum (Legal Substance), struktur hukum ( Legal Structure)

dan kultur hukum (Legal Culture).

sehingga pemberantasannya sering

menghadapi hambatan.

17

Berbagai institusi penegak hukum pun telah

berbenah diri dengan melakukan pembaharuan internal dengan melibatkan

kalangan-kalangan eksternal yang kompeten dan mempunyai kepekaan serta kepedulian yang

tinggi terhadap pembangunan hukum.18

16

Kajian white collar crime sendiri mulai dipopulerkan oleh Edwin H. Sutherland pada tahun

1939, saat berbicara di depan pertemuan tahunan American Sociological Society ke-34 di Philadelphia

tanggal 27 Desember, yang dia istilahkan sebagai perbuatan kejahatan oleh orang yang terhormat dan

memiliki status tinggi serta berhubungan dengan pekerjaannya,

17

Dikutip dariLegal

culture adalah bagian dari budaya keseluruhan sebuah masyarakat yang dibutuhkan agar masyarakat

menjadi lebih taat hukum dan taat asas. Legal Structure adalah sistem hukum dengan berbagai macam

fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. substansi hukum dalam sebuah sistem

hukum yang menjadi landasan dan syarat-syarat legitimasi bagi implementasi legalitas hukum. 18

Chaerudin, dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi,

(24)

Adapun alasan penulis memilih kasus pungutan liar di Jembatan Timbang

Sibolangit Sumatera utara dengan dasar pertimbangan bahwa upaya memberantas

pungutan liar oleh instansi-instansi penegak hukum selama ini berjalan

sendiri-sendiri, tidak ada gerakan serentak dan serius untuk memeranginya. Kasus pungutan

liar yang terjadi, tidak banyak yang terangkat atau diproses secara hukum.

Terungkapnya kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera utara

merupakan gebrakan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dengan

menyamar sebagai awak truk untuk menindak para pelaku pungutan liar.

Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji dan

mengetahui bagaimana proses penanganan perkara kasus pungutan liar, dengan

judul “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus Pungutan

Liar (studi kasus pungutan liar di Jembatan Timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara).”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil

tiga pokok permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan hukum tindak pidana korupsi pungutan liar?

2. Bagaimanakah mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi kasus

pungutan liar dalam Kasus No: 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn?

3. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum

(25)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang

menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan hukum tindak pidana korupsi

pungutan liar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penanganan perkara terhadap tindak

pidana korupsi pungutan liar dalam Kasus No: 03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn.

3. Untuk mengetahui dan memahami hambatan-hambatan yang dihadapi dalam

penegakan hukum kasus pungutan liar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik

secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir

dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman

tentang sejauh mana penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana

korupsi pungutan liar di Indonesia. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan

perbandingan dan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi

penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana korupsi di

(26)

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum

khususnya penegakan terhadap tindak pidana korupsi pungutan liar, agar dapat

lebih mengetahui dan memahami tentang peranan aparat penegak hukum sebagai

institusi yang diharapkan berada pada garda terdepan dalam penanggulangan dan

pemberantasan tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa

judul penelitian tentang “Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Korupsi Kasus

Pungutan Liar (studi kasus pungutan liar di jembatan timbang Sibolangit Deli

Serdang Sumatera Utara) ” belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan

perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang

tindak pidana korupsi tapi jelas berbeda. Guna menghindari terjadinya duplikasi

penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya peneliti telah melakukan

penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di Perpustakaan

Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum USU. Sehingga penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Penulis khusus memusatkan penelitian pada proses penanganan perkara tindak

pidana korupsi pungutan liar (berdasarkan Kasus Pungutan Liar di Jembatan Timbang

Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara).

Selanjutnya penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas

(27)

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka untuk

kritikan-kritikan yang sifatnya membangun sehubungan dengan topik dan permasalahan

dalam penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sistem peradilan pidana merupakan istilah yang digunakan sebagai padanan

Criminal Justice System. Dalam Black Law Dictionary, Criminal Law Justice System

didefinisikan sebagai ”the network of courts and tribunals which deal with criminal

law and its enforcement”.19

Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interaksi,

interkoneksi dan interpendensi (interface) dengan lingkungannya dalam

peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan, dan teknologi serta

subsistem-subsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsystems of criminal justice

system), salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah Pengertian itu lebih banyak menekankan pada suatu

pemahaman mengenai jaringan di dalam lembaga peradilan. Selain itu, pengertian itu

juga menekankan pada fungsi dari jaringan tersebut untuk menegakkan hukum

pidana. Jadi, tekanannya bukan semata-mata pada adanya penegakan hukum oleh

peradilan pidana, melainkan lebih jauh lagi dalam melaksanakan fungsi penegakan

hukum tersebut, peradilan menjalankannya dengan membangun suatu jaringan.

19

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St Paul: West Publishing Co,1990), hal.

(28)

“sinkronisasi” pelaksanaan penegakan hukum. Selanjutnya sistem peradilan pidana

harus dilihat sebagai sistem terbuka (open system) sebab pengaruh lingkungan

seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. 20

Definisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana

dikutip oleh Romli Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan

sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan

pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi

yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil

tertentu dengan segala keterbatasannya.21

Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli

Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal

justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari

suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya

kepada penentuan pidana baginya. Criminal justice system adalah interkoneksi antara Pengertian tersebut memberi pemahaman

bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara

peraturan perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga

peradilan pidana dan pelaksananya.

20

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponogoro 1995), hal. 7. 21

Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

(29)

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.22

Proses peradilan pidana itu adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan,

pengadilan, serta pemasyarakatan sebagai sub-subsistem. Pelanggar hukum berasal

dari masyarakat dan akan kembali pula ke masyarakat, baik sebagai warga taat pada

hukum (non residivis), maupun mereka yang kemudian akan mengulangi kembali

perbuatannya (residivis).

Peradilan

pidana sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan

penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing-masing memberikan

suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa.

Sedangkan peradilan pidana sebagai ”sistem” didalamnya terdapat keterkaitan

hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya ke arah

suatu tujuan.

23

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana menganut

sistem yang disebut Integrated Criminal Justice System.24 Sistem tersebut setiap

tahap dari pada proses penyelesaian perkara berkait erat dan saling mendukung satu

sama lain.25

22

Ibid.

Tahap dalam proses penyelesaian yang dimaksud adalah suatu proses

bekerjanya lembaga-lembaga yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan

23

Mardjono Reksodiputro, Survei Dan Riset Untuk Sistem Peradilan Pidana Yang Lebih

Rasional, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karangan Kedua, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1997), hal 99.

24

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam masyarakat untuk

menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi maksudnya disini yaitu usaha untuk menanggulangi kejahatan. penegakan hukum pidana khususnya di bidang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pelaksanaan putusan.

25

Harun M. Husein, Surat Dakwaan, Teknik Penyusunan, Fungsi, dan Permasalahannya

(30)

Lembaga Pemasyarakatan. Penanganan suatu perkara pidana yang terjadi, seorang

tersangka akan diperiksa melalui tahap-tahap; penyidikan oleh Polisi, Penuntutan

oleh Jaksa Penuntut Umum, Sidang Pengadilan oleh Hakim, dan Pembinaan oleh

Lembaga Pemasyarakatan.26

Keempat subsistem peradilan pidana yaitu subsistem penyidikan, subsistem

penuntutan, subsistem pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan sebagaimana

tersebut di atas, merupakan suatu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang

integral atau yang sering dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu

(Integrated Criminal Justice System).

27

Kejaksaan sebagai bagian dari subsistem dari sistem peradilan pidana, dalam

penanganan tindak pidana korupsi memiliki kekhususan yaitu tidak hanya sebagai

lembaga penuntutan tetapi juga sebagai lembaga penyidik. Bagaimana struktur

organisasi, bagaimana bekerjanya masing-masing struktur organisasi kejaksaan, tidak

diatur secara detail dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI

tetapi diatur dalam peraturan yang lain baik berupa Keputusan Presiden maupun

peraturan internal Kejaksaan yaitu Keputusan Jaksa Agung dan Surat Edaran Jaksa

Agung.28

26

Hukum acara yang berlaku di peradilan pidana Indonesia secara umum diatur dalam

27

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sistem Peradilan Pidana

Terpadu, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 2006), hal. 19. 28

Yudi Kristina, Menuju Kejaksaan Progresif : Studi tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan

(31)

Penegakan hukum29 adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu

lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh

subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh

subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Pengertian, proses penegakan hukum

secara luas, melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa

saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan

sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia

menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Sedangkan pengertian penegakan

hukum secara sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan

sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan

bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan

tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan

untuk menggunakan daya paksa.30

29

Pengertian penegakan hukum pidana meliputi dua hal; yaitu, penegakan hukum pidana in abstracto dan penegakan hukum pidana in concreto. Penegakan hukum pidana in abstracto dikonsepsikan sebagai suatu upaya untuk menanggulangi kejahatan melalui pembentukan aturan aturan hukum pidana yang melarang suatu aktivitas tertentu. Penegakan hukum dalam konteks ini masih berupa rumusan-rumusan aturan-aturan tertentu (pasal) yang merupakan panduan bagi masyarakat untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang oleh aturan itu. Singkatnya, penegakan hukum pidana in abstracto ini masih belum ditegakkan secara langsung oleh aparat penegak hukum. Hal ini berbeda halnya dengan penegakan hukum pidana in concreto yang merupakan tindakan konkret aparat penegak hukum untuk menegakkan aturan-aturan hukum pidana yang masih abstrak tersebut. Aparat penegak hukum yang terlibat langsung dengan penegakan hukum pidana in concreto ini meliputi polisi, jaksa, hakim dan petugas pemasyarakatan.

30

Jimly Asshiddiqie, Makalah “Penegakan Hukum”, diakses melalui website

(32)

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia,

dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum

tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang

dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan

Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang

masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Unsur aparat penegak hukum dalam

menjalankan tugasnya tersebut merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana.

Dalam rangka penegakan hukum ini, masing-masing subsistem tersebut mempunyai

peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam

tujuan pokoknya yaitu menanggulangi kejahatan dan pemasyarakatan kembali para

narapidana. Bekerjanya masing-masing subsistem tersebut harus sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.31

Menurut Marwan Effendy, penegakan hukum sebagai landasan tegaknya

supremasi hukum, tidak saja menghendaki komitmen ketaatan seluruh komponen

bangsa terhadap hukum mewajibkan aparat penegak hukum untuk dapat

menegakkannya secara konsisten dan konsekuen, tetapi menghendaki juga suatu

31

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:

(33)

pengaturan hukum yang mencerminkan suatu kepastian hukum, keadilan dan

kemanfaatan hukum merupakan cita hukum bangsa.32

Menurut Satjipto Raharjo, Secara konsepsional efektivitas penegakan hukum

sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh lima faktor utama, yaitu : 33

a. sumber daya peraturan perundang-undangan;

b. sumber daya manusia penegak hukum;

c. sumber daya fisik (sarana dan prasarana) penegakan hukum;

d. sumber daya keuangan; dan

e. sumber daya pendukung lainnya berupa kesadaran hukum masyarakat dan pra

kondisi yang dipersiapkan untuk mengefektifkan penegakan hukum.

Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan

kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat

universal.34

Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab.

Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara

negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan

mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu

tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Apabila tindakan yang diperintahkan

tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, maka tatanan sosial akan terganggu

32

Marwan Effendy, Pemberantasan Korupsi dan Good Governance, (Jakarta: Timpani,

2010), hal. 3. 33

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologi, (Jakarta : Sinar

Baru, 1983), hlm.18. 34

(34)

karena terciderainya keadilan. Upaya untuk mengembalikan tertib kehidupan

bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan

sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.

Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun di dalam konsep

keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di

hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan

kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu

dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang

dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu

keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam

hukum positif.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai

bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah

pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa

yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat

memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu.

Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa

diskriminasi.35

Penerapan keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan.

Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih

cenderung menghendaki hukum yang statis. Aturan hukum harus dilaksanakan untuk

35

(35)

semua kasus yang terjadi, sedangkan keadilan36

Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai

manfaat tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hukum menegakkan

keadilan dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga

negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu

sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. memiliki sifat dinamis harus selalu

melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.

37

Menurut Lawrence M. Friedman, Pemberantasan korupsi dapat berjalan,

manakala terdapat 3 (tiga) unsur yang merupakan sistem hukum sudah berfungsi. Menurut konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian

tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan

keadilan sosial.

36

Aristoteles membagi keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

37

(36)

Tiga unsur hukum tersebut adalah struktur hukum, substansi hukum dan budaya

hukum.38

Struktur hukum yang mencakup aturan-aturan hukum, baik tertulis maupun

yang tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan pengadilan. Sistem hukum terus

berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan

setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang

yang berkesinambungan. Contohnya struktur kekuasaan pengadilan di Indonesia yang

terdiri dari Pengadilan Tingkat I, Pengadilan Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi,

jumlah hakim serta integrated justice system. Selain itu, juga dikenal adanya

Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara

dan Peradilan Pajak. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, bagian

yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap

keseluruhan sistem.39

Substansi hukum merupakan peraturan, norma, dan tipe prilaku nyata

manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi juga berarti “hasil” yang

dciptakan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang mereka

keluarkan, berupa aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada

hukum hukum yang hidup (Living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab

hukum (law in books).

38

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif “Sebuah Sintesa Hukum Indonesia”, (Yogyakarta: Genta Publishing,2009), hal. 35-38.

39

Ade Maman Suherman, Pengantar perbandingan sistem hukum, (Jakarta: Raja Grafindo

(37)

Kultur hukum, yang mencakup opini-opini, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir

dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat

biasa. Budaya hukum masyarakat yang tinggi, adalah masyarakat yang tidak

cenderung melanggar hukum 40

2. Landasan Konsepsional a) Penegakan Hukum.

Penegakan hukum secara umum pengertiannya adalah penerapan hukum di

berbagai aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara guna mewujudkan

suatu ketertiban yang berorientasi kepada cita hukum dimaksud.41 Sedangkan dalam

pengertian sempit, terbatas dalam proses pemeriksaan di pengadilan termasuk proses

penyidikan, penuntutan hingga pelaksanaan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap. Para aparatur penegak hukum sebagai

subordinated”42

40

Arief Sidharta, Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, (Bandung: PT. Refika Aditama,

2008), hal. 3-6.

dari undang-undang harus mampu menjabarkan dan melaksanakan

undang-undang. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

41

Marwan Effendy, Op. Cit, hal. 3.

42

(38)

berbagai perilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda

dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.43

b)Tindak Pidana.

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) tidak memberikan

penjelasan secara rinci mengenai perkataan strafbaar feit tersebut. Istilah strafbaar

feit diterjemahkan oleh pakar hukum pidana Indonesia dengan istilah yang

berbeda-beda. Diantaranya ada yang memakai istilah delik, peristiwa pidana, perbuatan

pidana, tindak pidana, pelanggaran pidana.44 perbuatan yang melawan hukum atau

bertentangan dengan tata hukum dan diancam pidana apabila perbuatan yang dilarang

itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Moeljatno,

tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan

mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut.45

c) Tindak Pidana Korupsi.

Korupsi adalah Kecurangan yang terjadi karena tata kelola yang kurang baik

serta penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict of interest),

penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak sah/illegal (illegal gratuities), dan

43

Zudan Arif Fakrulloh, Makalah “Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan

Keadilan”, diakses melalui website

Maret Pukul 17.30 WIB.

44

C S T Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana untuk Perguruan Tinggi, ( Jakarta : Sinar

Grafika, 2007), hal. 106. 45

(39)

pemerasan secara ekonomi (economic extortion).46 Menurut ACFE, korupsi

meliputi:47

1) Penyuapan (bribery), yaitu terkait dengan penawaran, pemberian, penerimaan,

atau pengumpulan sesuatu yang memiliki nilai, untuk mempengaruhi

keputusan bisnis.

2) Kickback, dimana vendor atau supplier melakukan pembayaran secara ilegal

kepada karyawan yang melakukan aktivitas pembelian (purchasing atau

procurement) untuk mendapatkan kontrak pembelian.

3) Pengaturan tender (bid-rigging), yaitu pengaturan hasil tender secara ilegal

oleh karyawan yang terkait dengan bagian pembelian (purchasing atau

procurement) untuk memenangkan vendor atau supplier tertentu.

4) Pungutan liar atau pemerasan (economic extortion), dimana pejabat yang

terkait dengan bagian pelayanan publik melakukan pungutan atau pemerasan

kepada masyarakat atau pejabat lainnya.

5) Gratifikasi ilegal (illegal gratification), berupa pemberian atau penerimaan

sesuatu yang memiliki nilai, sebagai imbalan atas suatu keputusan bisnis.

d)Pungutan Liar.

Pungutan liar adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak seharusnya biaya

dikenakan atau dipungut.48

46

Amin Widjaja Tunggal, Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan dan Korupsi, (Jakarta:

Harvarindo, 2010), hal. 75.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pungutan liar

47

(40)

adalah memungut atau meminta sesuatu (uang) kepada seseorang (lembaga,

perusahaan) tanpa menurut peraturan yang lazim.49

e) Jembatan Timbang.

Jembatan timbang adalah seperangkat alat untuk menimbang

bara

(portable) yang digunakan untuk mengetahui

digunakan untuk pengawasan jalan ataupun untuk mengukur besarnya muatan

(tonase)50 pad51

f) Dinas Perhubungan.

Dinas Perhubungan merupakan unsur pelaksanaan penyelenggaraan urusan

pemerintahan di bidang perhubungan sesuai dengan rencana strategis yang ditetapkan

Pemerintah. Dinas Perhubungan Kota/Kabupaten/Provinsi dipimpin oleh seorang

kepala dinas yang dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan

bertanggungjawab kepada walikota/Bupati/Gubernur dan seterusnya melalui

Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten/Provinsi.52

48

Dinas Perhubungan mempunyai tugas

melaksanakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan berdasarkan asas otonomi

dan tugas pembantuan.

12.30 WIB.

49

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 2007), hal. 908. 50

Tonase adalah kapasitas ruang muat di kapal atau truk. Tonase terbagi atas 2 yaitu tonase bersih dan tonase kotor. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan Nasional Edisi Ketiga, 2007.

51

Lihat Keputusan Menteri No. 5 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Penimbangan Kendaraan Bermotor di Jalan.

52

(41)

G. Metode Penelitian 1. Jenis Pendekatan.

Penelitian terhadap masalah hukum yang sempurna adalah yang menggunakan

pendekatan tidak saja pendekatan normatif atau pendekatan empiris tetapi pendekatan

dari keduanya ialah pendekatan 'normatif-empiris'.53

Penelitian terhadap masalah yang menyangkut peraturan memang dapat

digunakan pendekatan normatif, dengan melakukan penelitian kepustakaan dan

dokumentasi saja tanpa turun ke lapangan, misalnya untuk membahas

putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi). Oleh karena penelitian yang baik itu dilakukan

dengan pendekatan normatif-empiris, dengan mengumpulkan data, tidak saja data

normatif namun data empiris sebagai pendukung.

Penelitian tidak saja berusaha

mempelajari pasal-pasal, perundang-undangan, pandangan, pendapat para ahli dan

menguraikannya dalam karya penelitian ilmiah, tetapi juga menggunakan

bahan-bahan yang sifatnya normatif itu dalam rangka mengulas dan menganalisis data

lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.

54

Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang terdiri dari penelitian yang

berupa usaha inventarisasi hukum positif, usaha penemuan asas-asas dan dasar

53

Pendekatan penelitian normatif-empiris pada prinsipnya adalah penggabungan antara pendekatan yuridis normatif dengan penambahan unsur-unsur empiris. Perbedaan yang paling prinsip terletak pada sasaran penelitian yaitu fakta empiris.

54

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rajawali

(42)

falsafah (dogma atau doktrin) hukum positif dan usaha penemuan hukum in concreto

yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.55

Berdasarkan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana diuraikan di

muka, maka metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis dengan

pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case

approach),

56

Pendekatan undang dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani.

dengan titik berat kepada penelitian hukum normatif-empiris.

57

Pendekatan ini, peneliti akan berpijak pada kasus pungutan liar di

jembatan timbang Sibolangit Deli Serdang Sumatera Utara. Sedangkan Pendekatan

kasus (case approach) dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan analisis

terhadap kasus tindak pidana korupsi pungutan liar mulai dari tahap dakwaan,

pemeriksaan saksi, tuntutan sampai pada putusan pengadilan dalam proses penegakan

hukum tindak pidana korupsi pungutan liar. Berkaitan dengan kasus yang dihadapi

telah mempunyai keputusan hukum tetap (inkracht).

2. Sumber Data Penelitian.

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data

primer adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber asli. 55

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1997), hal. 42. 56

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2006), hal. 300. 57

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,

(43)

Sumber asli disini diartikan sebagai sumber pertama darimana data tersebut

diperoleh. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan metode wawancara.

Metode wawancara merupakan sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

(interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (informan).

Wawancara akan dilakukan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dalam

mekanisme penanganan perkara kasus korupsi pungutan liar. Pihak yang berkaitan

tersebut adalah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara maupun Pengadilan Tindak Pidana

Korupsi pada Pengadilan negeri Medan. Data empiris dalam penelitian ini, mengenai

mekanisme penanganan perkara tindak pidana korupsi dalam Kasus No:

03/Pid.Sus-K/2011/PN. Mdn.

Bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan

sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat

luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen

resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.58

Data-data sekunder yang menjadi sumber data dalam penelitian ini meliputi:

a) Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan kasus

korupsi pungutan liar, dan lain sebagainya.

58

(44)

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti buku-buku hukum, jurnal hukum, karya tulis

hukum atau pendapat pakar hukum.

c) Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti

kamus (hukum), ensiklopedia dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan Data dilakukan melalui studi kepustakaan dan

wawancara. Studi kepustakaan dengan cara menginventarisasi, menelusuri,

mempelajari, dan mencatat teori hukum, konsep hukum, asas hukum, norma-norma

hukum yang menjadi obyek penelitian. Data penunjang dilakukan dengan metode

wawancara. Wawancara dengan cara menggunakan interview guide (pedoman

wawancara) untuk memperoleh data. Terhadap data lapangan (primer) dikumpulkan

dengan teknik wawancara tidak terarah (non-directive interview)59 atau tidak

terstruktur (free flowing interview) yaitu dengan mengadakan komunikasi langsung

kepada informan dari unsur penegak hukum, dengan menggunakan pedoman

wawancara (interview guide)

59

Cirinya yang utama adalah bahwa seluruh wawancara tidak didasarkan pada daftar pertanyaan yang telah disusun lebih dahulu. Pewawancara tidak memberikan pengarahan yang tajam, tetapi diserahkan pada yang diwawancarai untuk memberikan penjelasan menurut kemauannya sendiri,

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, , (Jakarta: Ghalia Indonesia,

1994), hlm. 59-60.

guna mencari jawaban atas pelaksanaan penegakan

(45)

dijadikan alat analisis terhadap masalah penelitian. Para informan dalam penelitian

adalah jaksa yang berkaitan langsung ataupun tidak langsung dengan kasus pungutan

liar di Jembatan Timbang Sibolangit Sumatera Utara serta beberapa jaksa yang

pernah memiliki pengalaman dalam penegakan hukum kasus korupsi lainnya.

4. Metode Analisis Data

Data yang sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap pemeriksaan

(editing), penandaan (coding), penyusunan (reconstructing), secara sistematisasi

berdasarkan pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang diidentifikasi dari rumusan

masalah.

Data yang diperoleh peneliti akan diolah dan dianalisis secara kualitatif yakni

pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam

undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika

dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan

permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan

dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara

berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dinyatakan

secara deduktif, untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang

ditelaah dalam penelitian ini akan dapat dijawab.60

60

(46)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI PUNGUTAN LIAR DI INDONESIA

A. Sejarah Pungutan Liar di Indonesia

Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur

pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya

masyarakat yang menyerah ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korupsi.

Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung

semakin toleran terhadap praktik pungutan liar dalam penyelenggaraan pelayanan

publik.61 Pada awalnya, tindakan kolutif dari masyarakat lebih banyak karena

keterpaksaan, yaitu sebagai bentuk respons mereka terhadap kerumitan, pemaksaan

dan ketidak pastian pelayanan publik. Namun, apabila pada perkembangannya

masyarakat pengguna layanan justru banyak yang merasa lega ketika melakukan hal

itu, atau bahkan mengharapkannya karena beranggapan hal itu dapat mempercepat

urusannya, dan tidak menganggapnya sebagai praktik negatif yang merugikan berarti

masyarakat kita telah ikut melembagakan praktik pungutan liar.62

Pada masa Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 1977 tentang Operasi

Penertiban (1977-1981), dengan tugas membersihkan pungutan liar, penertiban uang

61

BPKP, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan

Masyarakat, (Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI , 2002), hal. 6. 62

Berdasarkan hasil penelitian dan data Governance and Decentralization Survei pada tahun

2002 yang menunjukan sebahagian besar masyarakat pengguna pelayanan publik di Indonesia merasa senang dan lega jika mereka dimintai membayar pungutan liar pada saat mengurus pelayanan publik.

Dalam Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi

Referensi

Dokumen terkait

Hakim Arini mengatakan bahwa Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyebutkan , “Setiap

bersifat menambah atau melengkapi hukum pidana korupsi yang telah ada dalam. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

Hakim Arini mengatakan bahwa Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang menyebutkan, “Setiap

(2) Faktor penghambat Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar adalah faktor penegak hukum yaitu masih kurangnya koordinasi antar instansi atau lembaga

Hubungan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal (predicate crime) sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, bahwa

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Peubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

31 Tahun 1999 Jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TPK, Pasal 2 Ayat 1 yang menyatakan bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah “setiap orang yang melawan hukum

Hasil penelitian ini dalam rumusan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat