KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA
PERCERAIAN
(Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
N U R A I D A NIM: 106044101433
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP.1955 0505 198203 1012
PANITIA UJIAN
1.Ketua :Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 1950 0306 197603 1001
2.Sekretaris :Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP. 1972 0224 199803 1003
3.Pembimbing :Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 1950 0306 197603 1001
4.Penguji I :Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP. 1972 0224 199803 1003
5.Penguji II :Dra. Maskufa, M.Ag (...) NIP. 1968 0703 199403 2002
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN (Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 31 Agustus 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP.1955 0505 198203 1012
PANITIA UJIAN
1.Ketua :Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 1950 0306 197603 1001
2.Sekretaris :Kamarusdiana, S.Ag, MH (...) NIP. 1972 0224 199803 1003
3.Pembimbing :Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA (...) NIP. 1950 0306 197603 1001
4.Penguji I :Dra. Maskufa, M.Ag (...) NIP. 1968 0703 199403 2002
KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA
PERCERAIAN
(Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
NURAIDA NIM: 106044101433
Dibawah Bimbingan
Drs.H.A. Basiq Djalil, SH, MA. NIP: 1950 0306 1976 0310 01
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Agustus 2010
KATA PENGANTAR
Assallamu’allikum. Wr. wb
Segala puji bagi Allah SWT, Maha Pencipta dan Maha Penguasa alam
semesta yang telah melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis terutama
dalam rangka penyelesaian skripsi ini. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada
pemimpin revolusioner umat islam tiada lain yakni junjungan kita Nabi Muhammad
SAW dan keluarga, serta para sahabat yang telah banyak berkorban dan menyebarkan
dakwah Islam.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi, namun pada akhirnya selalu ada jalan
kemudahan, tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang sepanjang penulisan
skripsi ini banyak membantu dan memberikan bimbingan dan masukan yang
berharga kepada penulis hingga terselesaiakannya skripsi ini.
Dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis
mengugkapkan rasa hormat serta ucapan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada Bapak:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Akhwal Al-Syakhsiysah,
sekaligus pembimbing skripsi penulis. Yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam rangka
menyelesaiakan skripsi ini, dan Kamarusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program
Studi Ahwal Al-Syakhshiyah.
4. Para Narasumber dan Staff Lembaga Pengadilan Agama Tangerang. Yang telah
memberikan penulis izin dan membantu meluangkan waktunya untuk
melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian
khususnya Dra. Ai Jamilah, M.H. Yang telah memberikan informasi kepada
penulis.
5. Seluruh Staff Pengajar (dosen) Prodi Ahwal Al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan
Hukum yang telah banyak menyumbang ilmu dan memberikan motivasi
sepanjang penulis berada di sini. Selain itu, para Pimpinan dan Staff Perpustakaan
baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teristimewa buat Ayahanda Wagino dan Ibunda Suwarni tercinta. Yang telah
merawat dan mengasuh serta mendidik dengan penuh kasih sayang dan
memberikan pengorbanan yang tak terhitung nilainya baik dari segi moril maupun
materil. Serta Kakanda Suwandi S.Pd, Adinda Nur Fita Iriani dan Kiki Septiani.
Terimakasih atas segala doanya, kesabaran, jerih payah, serta nasihat yang
senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga ananda dapat
menyelesaiakan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu
tiada tara dan tak akan pernah terbalaskan.
7. Teman-teman senasib dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama angkatan
2006. Terkhusus buat Khalisah Mulyani, Naylatul Hidayah, Pipih Muhafilah,
Rika Delfayona, Jamilah, Umu Kulsum, Jumiatil Huda, Milky Barokah, Wadihah,
Istiarini Cahya Ningsih, Silvy Lutfiyanti, Lukmanul Hakim , Idam A.R,
M.Taqiyuddim Al-Qisty, Lutfi (AKI), dan lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu, trimakasih atas bantuannya dalam penulisan skripsi ini, dan
kebersamaan yang tercipta selama penulis belajar di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang selalu memberi warna dan memeriahkan hari-hari waktu kuliah,
semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar walau waktu dan jarak
memisahkan.
8. Rekan-rekan di organisasi kampus dan primodial seperti SaunG, IRMAFA,
Himpunan Pelajar Mahasiswa Pelalawan (HIPMAWAN) Jakarta, Serumpun
Mahasiswa Riau (SEMARI) Banten, serta rekan-rekan lainnya yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu. Yang selalu berbagi ilmu dan pengalamannya
dengan penulis. Trimaksih atas motivasi dan dukungannya.
9. Terkhusus buat sahabat-sahabatku Umi Kalsum, Titin Nurhayati, Rhohmatillah,
Lilis Marina Anggraini, Aminah, Lara Restiyani, Elida Hayati, Ana Riyansih,
Jumiyatil Huda, Halsariki Nasution, Feny Andrian, Zainul Ulum, Ronaldo Bafit.
Terimakasih atas motivasi dan kebersamaan yang telah terjalin selama di
iv
Perantauan, semoga persahabatan kita tak kan pernah memudar hingga rambut
memutih.
10.Penghuni Love House Mi Calzoum, Rohayati, Bety Kurniyati dan Reta Puspita
Sari. Trimakasih atas Pengertian, Perhatian dan Motivasinya.
11.Keluarga besar IKAPDH (Ikatan Keluarga Alumni Pondok Pesantren Darel
Hikmah) Jakarta yang tak dapat disebut satu persatu. Terimakasih atas perhatian,
dorongan, dan do’a serta kebersamaan yang telah terjalin selama ini.
Semoga segala kebaikan dan bantuan tersebut diterima sebagai amal baik
disisi Allah SWT. Dan memperoleh pahala yang berlipat ganda (amin).
Penulis meyadari bahwa skripsi ini banyak kekurangan, oleh karena itu
kritik dan saran yang membangun perlu kiranya diberikan demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi ini. Maka akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca pada umumnya.
-Amin Ya Rabbal A’lamin-
Jakarta, Agustus 2010
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………..i
DAFTAR ISI………...v
BAB I: PENDAHULUAN………1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 5 D. Studi Review ... 6
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II: KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN………..14
A. Pengertian Perkawinan ... 14
B. Rukun Dan Syarat Perkawinan 18 C. Dasar Hukum Perkawinan ... 22
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ... 25
BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG KAWIN PAKSA……….32
A. Pengertian Kawin Paksa ... 32
B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali
Dalam Perkawinan 33
C. Faktor-Faktor
Penyebab Terjadinya Kawin Paksa ... 42
D. Kawin Paksa Dalam Hukum Islam dan Hukum Positif ... 46
BAB IV: ANALISA PUTUSAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG PERKARA Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng………..55
A. Duduk Perkara ... 55
B. Profil Pihak-Pihak Yang Terkait 57 C. Pemeriksaan Perkara Dalam Persidangan 59 D. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim ...62
E. Analisa Penulis ... 66
BAB V: PENUTUP………....80
A. Kesimpulan ... 80
B. Saran... 81
DAFTAR PUSTAKA ... 83
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
1. Lembar Pengesahan
Seminar Proposal Skripsi 86...
2. Permohona
n Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ...87
3. Surat Permohonan Data
dan Wawancara ... 88
4. Surat Keterangan Wawancara 89
5. Pedoman Wawancara ... 90
6. Hasil Wawancara ... 91
7. Putusan Perkara
Nomor 940/Pdt.G/2009/PA. Tng 94
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sebuah lembaran kehidupan baru bagi setiap
insan yang melakukannya. Ia adalah aktivitas kemanusiaan dengan makna
luas dan berdimensi ibadah. Pernikahan yang dilakukan manusia merupakan
naluri Ilahiyah untuk berkembang biak melakukan regenerasi yang akan
mewarisi tugas mulia dalam rangka mengemban amanat Allah sebagai
Khalifah di muka bumi.1
Allah menjadikan perkawinan yang diatur menurut Syariat Islam
sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri, yang
diberikan oleh Islam khusus untuk manusia diantara mahluk-mahluk lainnya.2
Islam memberikan kesamaan hak terhadap laki-laki dan perempuan
dalam memilih pendamping hidup masing-masing, dan Islam tidak pernah
memberikan power berupa hak maupun kewajiban kepada orang tua untuk
memaksa anaknya dalam menikah, melainkan islam memberikan suatu peran
bagi orang tua dalam berlakon sebagai penasehat, pemberi arahan dan
petunjuk dalam masalah memilih calon pasangan anaknya dan tidak berhak
1
Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan, Analisa Perbandingan Antar MAdzhab,
(Jakarta: Pt. Prima Heza Lestari, 2006), h.2.
2
Mahmud Al- Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991), h.23.
orang tua memaksa anaknya baik laki-laki maupun perempuan untuk menikah
dengan orang yang tidak mereka inginkan atau bukan pilihan mereka.3
Nikah adalah keistimewaan dan masalah pribadi setiap orang,
sehingga pemaksaan orang tua atau salah satu orang tua terhadap anaknya
untuk nikah dengan orang yang tidak diinginkannya adalah tidak benar,
karena itu merupakan perbuatan dzalim dan melanggar hak-hak orang lain.
Wanita dalam islam mempunyai kebebasan mutlak dalam menerima atau
menolak orang yang datang mempersuntingnya sehingga orang tua tidak
mempunyai hak apalagi kewajiban dalam memaksanya karena kehidupan
berumah-tangga tidak akan berjalan mulus bahkan akan merusak pernikahan
apabila pernikahan tersebut didasari oleh paksaan dan kepura-puraan.4
Keluarga sakinah akan membawa terciptanya masyarakat yang baik.
Keluarga yang bahagia juga akan berdampak baik bagi lingkungan
masyarakat. Untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, tentram, dan damai
diperlukan persiapan yang matang sejak dari sebelum perkawinan sampai
kepada berlangsungnya akad nikah. Selain itu juga tujuan dari pernikahan
yaitu untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga
yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak
dan kewajiban anggota keluarga; sejahtera artinya terciptanya ketenangan
3
Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http://luluvikar.wordpress.com.
4
Fikar, “Kawin Paksa” artikel diakses 18 April 2010 dari http://luluvikar.wordpress.com
lahir dan batin disebabkan terpenuhin kehidupan lahir batinnya, sehingga
timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar angggota keluarga.5
Kekerasan terhadap anak semakin marak terjadi. Tidak sedikit
pemberitaan-pemberitaan di media tentang prilaku kekerasan dengan
korbannya seorang anak. Motif dan modusnya bisa beraneka ragam. Baik
berupa kekerasan fisik maupun mental-psikis. Ironisnya pelaku kekerasan
terhadap anak ini biasanya adalah orang terdekat baik itu saudara, teman,
tetangga bahkan orang tua sendiri. Biasanya mereka berdalih atas dasar kasih
sayang akan tetapi berujung penderitaan sang anak. Tidak terkecuali
diantaranya merampas kebebabasan hak anak untuk memilih pasangan hidup
anaknya sendiri. Kasus penjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan
terhadap anak. Karena efeknya dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik.
Walaupun terkadang, kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah
tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat pada ketidakharmonisan bahkan
perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi cinta
kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata.6
5
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama “Ilmu Fiqh” (Departeman Agama,1985), h.62.
6
Fahmina Institute Cirebon, “Pernikhan Paksa: Presektif Fikih dan kekerasan Terhadap Anak” artikel diakses pada 18 April 2010 dari http://www.fahmina.or.id/penerbitan/warkah-al-basyar/5.html.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.7
Dalam perkawinan adanya ikatan lahir dan batin, yang berarti bahwa
dalam perkawinan itu perlu adanya ikatan tersebut kedua-duanya. Antara
suami isteri harus saling cinta mencintai satu dengan yang lain, tidak adanya
paksaan dalam perkawinan. Bila perkawinan dengan paksaan, tidak adanya
rasa cinta kasih satu dengan yang lain, berarti bahwa dalam perkawinan
tersebut tidak adanya ikatan batin. Kedua ikatan tersebut di atas, yaitu ikatan
lahir dan batin keduanya dituntut dalam perkawinan. Bila tidak ada salah satu,
maka ini akan menimbulkan persoalan dalam kehidupan pasangan tersebut.
Kawin paksa, pada umumnya tidak dapat bertahan lama, sehingga perceraian
biasanya merupakan hal yang sering terjadi.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merasa tertarik untuk
meneliti lebih lanjut, yang akan penulis tuangkan dalam skripsi dengan judul
“KAWIN PAKSA SEBAGAI ALASAN TERJADINYA PERCERAIAN
(Analisa Putusan PA Tangerang Perkara Nomor 940/Pdt.G/ 2009/PA.Tng)”.
7
Undang-undang RI No 1 tahun 1974 Tentang Perkawianan dan Kompilasai Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.2.
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Agar dalam pembahsan skripsi ini lebih terarah dan tidak meluas,
penulis membatasi pada masalah perceraian yang disebabkan adanya kawin
paksa oleh orang tua. Dengan objek penelitian di Pengadilan Agama
Tangerang.
2. Perumusan Masalah
Dalam aturan formal yang berlaku, tidak tercantum adanya kawin
paksa sebagai alasan perceraian. Akan tetapi pada kenyataannya perceraian
dapat terjadi karena adanya kawin paksa yang dilakukan oleh orangtua
terhadap anaknya. Hal tersebut yang ingin penulis telusuri dalam penulisan
skripsi ini. Dan untuk memudahkan pembahasan, rumusan tersebut penulis
rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah kawin paksa dapat dijadikan sebagai alasan perceraian?
2. Bagaimana kawin paksa dalam hukum Islam dan hukum positif?
3. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara
kawin paksa sebagai pemicu terjadinya perceraian?
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui kebolehan perceraian dengan adanya kawin
paksa.
b. Untuk mengetahui kawin paksa dalam hukum Islam dan hukum
positif.
c. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus
perkara tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
a. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam
menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam Hukum
Perkawinan di Indonesia.
b. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangsih
pemikiran yang bermanfaat dalam menjawab perkembangan
hukum islam dan hukum positif di Indonesia.
c. Secara pragmatis, hasil penelitian ini menjadi bahan utama
penyusunan penulisan skripsi sebagai syarat memperoleh gelar
Sarjana Syariah pada fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
D.Tinjauan Kajian ( Review ) Terdahulu
Dalam studi review yang penulis lakukan, penulis menemukan
beberapa skripsi yang berkaitan dengan skripsi yang akan ditiliti oleh penulis
yaitu:
1. Judul skripsi: Intervensi orang tua sebagai faktor pemicu perceraian (Studi
Analisa putusan No. 248/Pdt.G/2007/PA.Jakbar).
Disusun oleh: Eva Muslimah (1040442011463). Tahun: 2009
Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa latar belakang pemicu terjadinya
perceraian disebabkan karena orang tua terlalu ikut campur dalam urusan
rumah tangga anaknya, dikarenakan suami istri tersebut masih tinggal satu
atap dengan mertua, sehingga mertua merasa berhak mencampuri urusan
rumah tangga anaknya. Skripsi ini membahas seputar bagaimana
pemeriksaan perkara serta pertimbangan hakim, dan intervensi orangtua
sebagai faktor pemicu ketidakharmonisan dalam rumah tangga.
2. Judul skripsi: Perselisihan Terus Menerus Antara Suami Istri Akibat Turut
Campur Orang Tua Sebagai Dasar Alasan Perceraian( kajian terhadap
putusan pengadilan agama jakarta timur No. 1164/pdt. G/2008/ PA JT)
Disusun Oleh: Ahmad Sauqi (106044101386). Tahun: 2010
Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa latar belakang terjadinya perceraian
disebabkan karena orang tua tergugat turut campur dalam urusan rumah
tangga anaknya, dan tergugat lebih mementingkan orang tuanya daripada
istrinya, sehingga tujuan perkwinan untuk membentuk keluarga yang
sakinah, mwaddah, warrahmah tidak tercapai dan berujung pada perceraian.
Fokus skripsi ini membahas bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum
positif mengenai turut campur orang tua terhadap rumah tangga anak, dan
bagaimana pertimbangan hakim dalam menyelesaikan dan memutus perkara
tersebut.
3. Judul skripsi: Problem Nikah Mut’ah di Desa Cimacan Kecamatan Cipanas
Kabuaten Cianjur. Disusun oleh: Selvi Oktaviani (105044201466). Tahun:
2009
Dalam skripsi ini menjelaskan bahwa banyak pernikahan mut’ah yang terjadi
di daerah ini, dengan menyerahkan maskawin yang disepakati calon
pengantin wanita yang dapat menyejahterahkan kehidupannya, dan rata-rata
wanita didesa ini kawin lebih dari satu kali. Fokus skripsi ini membahas
faktor apa saja yang melatar belakangi masyarakat Desa Cimacan melakukan
Nikah Mut’ah dan dampak setelah malakukannya.
Perbedaan anatara tiga skripsi ini dengan skripsi yang penulis angkat
adalah sebagai berikut:
1. Dalam skripsi bagian pertama menjelaskan bahwa faktor utama
pemicu terjadinya perceraian karena orangtua terlalu ikut campur dalam
urusan rumah tangga anaknya, dikarenakan anak masih tinggal bersama
mertua. Sedangkan skripsi penulis membahas tentang kawin paksa yang
dapat menyebabkan terjadinya perceraian.
2. Pada skirpsi yang kedua membahas perceraian yang terjadi karena
orangtua tergugat turut campur dalam urusan rumah tangga anaknya, dan
tergugat lebih mementingkan orang tuanya daripada istrinya. Sedangkan
masalah yang penulis teliti lebih fokus kepada adanya paksaan dalam sebuah
pernikahan.
3. Dalam skiripsi yang ketiga membahas tentang kawin mut’ah yang
terjadi di Desa Cimacan, mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya kawin
mut’ah dan dampak setalah melakukannya. Sedangkan skripsi penulis
membahas tentang kawin paksa yang dilakukan orangtua terhadap anaknya.
E.Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun
skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
memakai metode penelitian hukum normatif,8 yaitu suatu prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder belaka.9
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan
dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif
8
Jhony Ibrahim, Teory Dan Metodolgi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), Cet.III, h. 57
9
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
(Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
lebih khususnya dengan menggunakan penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan
atau gejala-gejalanya. Adapun tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah
untuk menggambarkan suatu objek secara sistematis.10
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini akan digunakan data primer dan data sekunder.
Di bawah ini akan dirinci satu per satu apa saja yang termasuk ke dalam data
primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek yang
diteliti,11 yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.12 Dalam hal ini berupa
berkas putusan perkara prceraian yang didapatkan dari Pengadilan Agama
Tangerang yang seduah berkekuatan hukum tetap yakni putusan cerai gugat
dengan nomor perkara: 940/pdt.g/2009/Pa.Tng. Selain itu juga data primer
diperoleh lewat interview (wawancara) terhadap hakim yang memeriksa
perkara ini, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang dikaji.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 43.
11
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), h.5.
12
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), Cet. VII, h.113.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah
yang diajukan, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.
Dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku
ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Peraturan lai nnya yang
dapat mendukung skripsi ini.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Dokumentasi.
b. Interview atau wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan
data dengan jalan komunikasi,13 yakni tanya jawab lisan antara dua
orang atau lebih secara langung antara pewawancara dengan
pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu hakim yang
memeriksa perkara cerai gugat. Disini penulis menggunakan
wawancara terstruktur yang tentunya dipersiapkan terlebih dahulu
daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada Majelis hakim yang
13
Rianto Adi, Metodologi Penelitian, h.72.
diwawancarai. Dengan tujuan agar memperoleh data yang lengkap
untuk kesempurnaan skripsi ini.
5. Teknik Analisis Data
Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data
tersebut secara jelas dari data yang sudah diperoleh berupa putusan
pengadilan dan mengambil isinya dengan menggunakan metode content
analysis. Data kemudian dianalisis dan diinterpretasikan dengan
menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian
jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti. Adapun untuk teknis
penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
F.Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi
pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam
mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika
penulisan ini sebagai berikut :
Bab pertama berisi pendahuluan; Pada bagian pendahuluan ini berisi
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, tinajauan (review) kajian terdahulu, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
13
Bab kedua berisi kajian teoritis tentang kawin paksa; Dalam bab ini
menjelaskan sekilas tentang pegertian perkawianan, dasar hukum perkawinan,
rukun dan syarat perkawinan, tujuan dan hikmah perkawinan.
Bab ketiga berisi tinjauan umum tentang kawin paksa; Dalam bab ini
penulis memaparkan tentang kawin paksa meliputi pengertian kawin paksa,
peran wali dalam perkawinan, serta penyebab terjadinya kawin paksa dan
pandangan hukum islam dan hukum positif terhadap kawin paksa yang dapat
menyebabkan terjadinya perceraian.
Bab keempat berisi tentang analisis terhadap perkara cerai talak nomor
940/Pdt.G/2009/PA.Tng; Didalam bab ini penulis melakukan analisis terhadap putusan tersebut, dimulai dari duduk perkara, profil pihak-pihak
yang terkait, pemeriksaan perkara dalam persidangan, pertimbangan hukum
majelis hakim dalam memeriksa perkara ini dan analisa penulis.
Bab kelima merupakan penutup; Pada bab penutup ini berisi
kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang dirumuskan, dan saran-saran.
Penulis juga melampirkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN A.Pengertian Pernikahan
Dalam kamus al-Munawwir kamus Arab-Indonesia kata nikah
berasal dari kata
ﺎ ﻜ
–
ﻜﻨ
–
ﻜ
yang artinya mengawini. Sedangkankata “az-zawaj” sendiri terambil dari kata
ﺎ وﺰ
–
جوﺰ
–
جوز
yangberarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai
dan memperistri.1
Dalam bahasa Indonesia kata nikah diartikan “kawin” yaitu
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh.2
Definisi nikah menurut syara’ adalah melakukan akad (perjanjian)
antara calon suami dan istri agar dihalalkan melakukan “pergaulan”
sebagaimana suami istri dengan mengikuti norma, nilai-nilai sosial dan
etika agama.3
Kata nakaha dan zawaj inilah yang dipakai dalam kehidupan
sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadits
nabi. Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Quran dengan arti kawin
dalam surat An-Nisa ayat 3:
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h.1560.
2
Departemen Dinas Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), cet III, h. 456
3
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet.I, h. 17.
☺
.
)
ءﺎﺴﻨﻟ
ا
:
(
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(Q.S.An-Nisa:3)
☺
)
ا
رﻮﻨﻟ
:
(
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. An-Nur:32)
Kata zawaja dalam al-Qur’an teradapat pada surat Al-Ahzab ayat 37
Artinya: Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya . dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (Q.S.Al-Ahzab:37).
Para ulama fiqh sependapat bahwa nikah itu adalah akad yang yang
diatur oleh agama untuk memberikan kepada pria hak memiliki
penggunaan terhadap faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk
penikmatan sebagai tujuan primer.4
Dari definisi yang diberikan oleh ulama tersebut hanya
mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan yaitu kebolehan
melakukan hubungan kelamin setelah berlangsungnya perkawinan.
Sehingga Ulama kontemporer memperjelas jangkauan definisi tersebut.
Diantaranya yang disebutkan oleh Dr. Ahmad Ghandur dalam bukunya
al-Ahwal al-syakhisyah fi al-Tasri’ al- Islamy, bahwa nikah adalah akad yang
menimbulkan kebolehan bergaul antara laki-laki dan perempuan dalam
tuntutan naluri kemanusiaan dalam kehidupan dan menjadikan untuk
kedua pihak secara timbal balik hak-hak dan kewajiban.5
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, perkawinan ialah
akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ atau melakukan hubungan
setubuh dengan seorang wanita, atau melakukan wath’, dan berkumpul
4
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami, dan Perselingkuhan (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h.80.
5Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakaht dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2007, cet ke 2, h. 39
dengan wanita sepanjang wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan
baik dengan sebab ketrunan, atau sepersusuan.6
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan pada pasal 1 menyebutkan, bahwa perkawinan adalah “Ikatan
Lahir batin antara seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari rumusan tersebut mengandung beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
Pertama: “seorang wanita dengan seorang pria”, mengandung arti
bahwa perkawinan itu hanyalah antara kelamin yang berbeda. Yang
menolak perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan oleh beberapa
Negara barat.
Kedua: “ sebagai suami istri” mengandung arti bahwa perkawinan
itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah
tangga, bukan hanya dalam istilah hidup bersama.
Ketiga: “bedasarkan ketuhanan yang maha esa” menunjukkan
bahwa prkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan
untuk memenuhi perintah agama.7
Disamping definisi yang diberikan oleh UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan diatas, Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 2
memberikan definisi lain yang tidak mengurangi arti-arti definisi UU
6
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Waadillatuhu, (Damasyiq: Daar al-Fikr, 1998), h.29.
7Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h. 48
tersebut namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan sebagai
berikut:
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mistaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah
dan melaksankannya merupakan ibadah.i”
Ungkapan akad yang sangat kuat atau mistaqon ghollidhon
merupakan penjelasan dari ungkapan ikatan lahir batin yang terdapat
dalam Undang-Undang yang mengandung arti bahwa akad perkawinan itu
bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Dan ungkapan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksankannya merupakan ibadah
menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa
agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan
perbuatan ibadah.
Menurut hemat penulis dari definisi diatas dapat disimpulkan
bahwa perkawinan merupakan wahana bagi umat manusia untuk
mempertahankan eksistensinya dalam bingkai rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah agar tercapainya tujuan perkawinan tersebut.
B.Rukun Dan Syarat Perkawinan
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dengan hal
bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus ada. Dalam suatu acara
perkawinan umpamanya rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal, dalam
arti perkwinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap.
Dalam hal hukum perkawinan, dalam menempatkan mana yang
rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di kalangan ulama yang
perbedaan ini tidak bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat
tersebut disebabkan oleh karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan
itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal yang terlibat dan yang harus
ada dalam suatu perkawinan adalah: Akad perkawinan, laki-laki yang akan
kawin, perempuan yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi
yang menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atas mas kawin.
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang
berlaku antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh
karena itu, yang menjadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah
akad nikah yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melangsungkan
perkawinan, sedangkan yang lainnya seperti kehadiran saksi dan mahar
dikelompokkan kepada syarat perkawinan. Sedangkan menurut ulama
Syafi’iyah yang dimaksud dengan perkawinan disini adalah keseluruhan
yang secara langsung berkaitan dengan perkawinn dengan segala
unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Sehingga rukun perkawinan
adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan, yaitu:
a. Calon mempelai laki-laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali dari mempelai perempuan.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab dan qobul.8
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk
kedalam rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad
perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung.
Dengan demikian, mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.
Adapun syarat-syarat perkawinan terbagi kedalam dua kategori
yakni:
1.Syarat untuk suami:
a. Laki-laki itu bukan muhrim dari calon istri.
b. Atas kemauan sendiri atau tidak terpaksa.
c. Jelas orangnya.
d. Tidak sedang melakukan ihram haji.9
2.Syarat untuk istri:
a. Tidak terhalang menurut ketentuan syara’, seperti: tidak
bersuami, bukan muhrim dan tidak dalam keadaan iddah.
b. Atas ketentuan sendiri / merdeka.
c. Jelas orangnya.
d. Tidak sedang melaksankan ihram haji.10
Adapun undang-undang perkawinan menetapkan bahwa
syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 s.d pasal 11 undang-undang No 1
8Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan, h.61.
9Kasmuri Selamat, Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan), (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), h. 15
10Ibid, h. 15
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai
berikut:
1. Terdapat persetujuan dari kedua mempelai.
2. Terdapat pernyataan izin dari orangtua/wali bagi calon
mempelai yang belum berumur 21 tahun.
3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
memmempelai wanita sudah mencapai 19 tahun
4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah yang
dilarang kawin.
5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain.
6. Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami istri yang sama,
yang hendak dikawini.
7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum
masa tunggu berakhir.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur tentang
rukun perkawinan dalam pasal 14 yaitu dalam suatu perkawinan harus
ada:
1. Calon suami.
2. Calon istri.
3. Wali nikah.
4. Dua orang saksi.
5. Ijab dan Kabul.
C. Dasar Hukum Perkawinan
Perkawinan atau pernikahan itu adalah sunnatullah artinya perintah
Allah dan Rasulnya, tidak hanya semata-mata keinginan manusia atau
hawa nafsunya saja karenanya seseorang yang telah berumah tangga
berarati ia telah mengerjakan sebagian dari syariat (aturan) Agama Islam.11
Nikah dalam Islam sebagai landasan pokok dalam pembentukan
keluarga. Nikah harus dilakukan manusia untuk mencapai tujuan syari’at
yakni kemaslahatan dalam kehidupan.12
Oleh karenanya nikah disyariatkan berdasarkan dalil al-Qur’an dan
al-Hadits, adapun ayat yang menunujukkan syariat nikah adalah Firman
Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 3:
☺
)
ءﺎﺴ ا
ا
:
(
Arinya, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
11
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.3
12Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,
2007), h.86
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”(Q.S. An-Nisa:3).
Dan Hadits Riwayat Bukhari yakni:
و
ﷲا
ﻰ ﺻ
ﷲا
لﻮ ر
ﺎﻨﻟ
لﺎﻗ
ﷲا
ﺪ
:
م
بﺎ ﺸﻟا
ﺮﺸ
ﺎ
و
ﺮ ﺎﻟ
ﺾﻏا
ﺈ
جوﺰ
ةءﺎ ﻟا
ﻜﻨ
عﺎﻄ ا
و
جﺮ ﻟ
ا
ءﺎﺟو
ﻟ
ﺈ
مﻮ ﻟﺎ
ﻄ ﺴ
)
ىرﺎﺨ ﻟا
اور
(
13ﻟ
Artinya: “wahai pemuda, barang siapa yang telah ,merasa sanggup untuk berumah tangga, maka hendaklah ia kawin. Sesungguhnya kawin itu dapat melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Dan siapa belum sanggup, hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu adalah sebagai perisai/benteng (dapat menundukkan nafsu birahi), (H.R. Bukhari).
Dari ayat dan hadits tersebut dapat diambil pengertian bahwa;
Pernikahan atau perkawinan itu adalah perintah Allah dan rasulnya
(aturan Agama islam) disebut juga dengan Sunnatullah. Perkawinan
adalah sesuatu yang dasarnya suci dan mulia pada sisi Allah maupun
pada sisi manusia, karena itu seseorang yang telah berumah tangga
hendaklah menghargai dan memuliakan perkawinannya.14
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad
yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal
13
Al-Bukhari,Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 56
14
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga (Keluarga Yang Sakinah), (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1993), h.5.
dari perkawinan itu adalah mubah atau boleh. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa melangsungkan akad perkawinan disuruh oleh agama,
ketika akad perkawinan telah berlangsung, maka pergaulan laki-laki
dengan perempuan menjadi mubah.
Oleh karena itu, meskipun perkawinan itu asalnya adalah mubah,
namun dapat berubah menurut ahkamul khamsah (hukum yang lima)
menurut perubahan kedaan:15
1. Wajib
Nikah diwajibkan bagi orang yang telah mampu, yang akan
menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.
2. Haram
Nikah diharamkan bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan kewajiban
lahir seperti member nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan kewajiban
batin seperti mencampuri istri.
3. Sunnah
Nikah disunnahkan bagi orang yang sudah mampu tetapi dia
masih sanggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dalam hal
ini maka nikah lebih baik karena hidup sendiri tidak diajarkan dalam
Islam.
4. Mubah
15Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h.11.
Bagi orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan
nikah belum membahyakan dirinya, ia belum wajib nikah dan tidak
haram bila tidak menikah.
5. Makruh
Bagi orang yang tidak punya kesanggupan untuk menikah,
sehingga dikhawatirkan jika menikah ia tidak sanggup mencapai tujuan
perkawinan, maka sebaiknya ia tidak melakukan perkawinan.16
D.Tujuan Dan Hikmah Pernikahan 1. Tujuan perkawinan
Pernikahan bagi umat manusia adalah sesuatu yang sangat sakral
dan mempunyai tujuan yang sangat sakral pula, dan tidak terlepas dari
ketentuan-ketentuan syariat agama.17
Perkawinan sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat
guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta untuk
mempertahankan eksistensi kemanusiaan dimuka bumi ini. Ia sangat
disenangi oleh setiap pribadi manusia dan merupakan hal yang fitrah bagi
setiap makhluk tuhan. Dengan perkawinan akan tercipta suatu
masyarakat kecil dalam bentuk keluarga dan akan lahir beberapa suku
dan bangsa.18
16
kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.24.
17
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam, 2004), Cet.I, h.19.
18
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Musnad, Khalid bin Ali Al-Anbari, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kautasar, 1993), h. 14.
Tujuan dari perkawinan, dapat dilihat dari tiga sumber yaitu
menurut al-qur’an, al-hadits dan akal.
Pertama, menurut Al-Qur’an dalam surat al-a’raf ayat 189,
menyatakan bahwa tujuan Tujuan perkawinan adalah untuk
bersenang-senang, yang merupakan unsur untuk mendukung sehat rohani dan
jasmani. Selain itu tujuan yang hakiki dalam sebuah pernikahan adalah
mewujudkan mahligai rumah tangga yang sakinah yang selau dihiasi
dengan mawaddah dan rahmat. sebagaimana yang tercantum dalam surat
Ar-Ruum ayat 21
☯
☺
⌧
.
)
مو
ﺮﻟا
:
(
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Rum:21).
Sakinah artinya tenang agar manusia dapat merasakan ketenangan
dan ketentraman dari perjodohan yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Mawaddah yaitu membina “rasa cinta”, namum mawaddah saja kurang
menjamin kelangsungan dalam berumah tangga, karena mawadah adalah
rasa cinta yang bergejolak syarat dengan kecemburuan. Sehingga rahmah
atau “sayang” sangat dibutuhkan dalam berumah tangga, yang harus
dimiliki oleh kedua belah pihak dengan sikap saling pengertian dan
bersedia mengorbankan unsur kepentingan pribadinya serta saling
menghormati hak dan kewajiban masing-masing pihak. Seiring
perjalanan hidup manusia, maka rahmah akan semakin bertambah dan
mawadah akan berkurang sehingga tujuan sakinah dapat tercapai.19
Kedua, menurut hadits ada dua hal yang dituju dari suatu
perkawinan yaitu untuk menundukkan pandangan dan menjaga faraj
(kemaluan), oleh sebab itu Nabi menganjurkan berpuasa bagi yang
belum sanggup kawin. dan tujuan yang terpenting yaitu sebagai
kebanggaan nabi di hari kiamat kelak. Karena dalam jumlah umat yang
banyak itulah terkandung kekuatan yang besar, tentunya kuantitas umat
tersebut disertai dengan kualitas yang bagus20. Sebagaimana yang
tercantum dalam Hadits Nabi:
و
ﷲا
ﻰ ﺻ
ﷲا
لﻮ ر
ﺎﻨﻟ
لﺎﻗ
ﷲا
ﺪ
:
بﺎ ﺸﻟا
ﺮﺸ
ﺎ
عﺎﻄ ا
ﻟ
و
جﺮ ﻟ
ا
و
ﺮ ﺎﻟ
ﺾﻏا
ﺈ
جوﺰ
ةءﺎ ﻟا
ﻜﻨ
ءﺎﺟو
ﻟ
ﺈ
مﻮ ﻟﺎ
ﻄ ﺴ
)
ىرﺎﺨ ﻟا
اور
(
21
Artinya: “wahai pemuda, barang siapa yang telah ,merasa
sanggup untuk berumah tangga, maka hendaklah ia kawin.
Sesungguhnya kawin itu dapat melindungi penglihatan dan lebih
19Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran Keislaman Di Tanah Gayo, (Jakarta: Qolbun Salim,
2007), h. 87-88
20
Ibid, h.89
21Al-Bukhari,Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 56
memelihara kehormatan. Dan siapa belum sanggup, hendaknya ia
berpuasa, karena puasa itu adalah sebagai perisai/benteng (dapat
menundukkan nafsu birahi). (HR. Bukhari).
Ketiga, menurut akal sehat yang sederhana, tujuan perkawinan
adalah untuk melestarikan dan memakmurkan kehidupan di muka bumi
yang cukup luas ini dengan keliling 40.000 Km, dan berdiameter 25.000
Km. Dengan demikian untuk dapat meningkatkan jumlah manusia guna
merawat bumi dan seisinya harus dengan perkawinan. Karena bumi ini
Allah nyatakan untuk kita (manusia). Hikmah perkawinan juga dimaknai
sebagai sarana ketertiban kehidupan manusia yang erat kaitannya dengan
persoalaan nasab. Sebab apabila seorang anak dilahirkan melalui
perkawinan yang sah, maka akan menjadi jelas nasabnya dan tidak
menimbulkan bencana. Dan tujuan perkawinan yang lain untuk
ketertiban dalam hal warisan. Melalui prosedur perkawinan yang tertib
maka permasalahan ahli waris dapat diselsaikan dengan tertib pula.22
Tujuan perkawinan juga diatur oleh undang-undang hal ini
ditegaskan dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan,
dalam pasal 1 disebutkan: “ perkawinan ialah Ikatan Lahir batin antara
seoarang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”, dan Kompilasi Hukum Islam
22
Ibid, h. 90
(KHI), dalam pasal 3 disebutkan: “perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah”.
Oleh sebab itu perkawinan merupakan sebuah gerbang untuk
membentuk keluarga bahagia yang memiliki tujuan sangat mulia yang
tidak hanya menggabungkan dua insan namun juga menghubungkan dua
keluarga besar yang dapat memperteguh rasa cinta antara keluarga
sehingga terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah
untuk selama-lamanya hingga kematian yang memisahkan.
2. Hikmah Perkawinan
Perkawianan merupakan suatu ketentuan-ketentuan dari Allah di
dalam menjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,
menyeluruh dan berlaku tanpa terkecuali baik bagi manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan.23
Perkawinan yang terjadi pada mahluk hidup, baik tumbuhan ,
binatang, maupun manusia, adalah untuk keberlangsungan dan
pengembangbiakan mahluk yang bersangkutan.24 Hikmah perkawinan
menurut ajaran Islam adalah untuk memelihara manusia daripada
pekerjaan maksiat, yang membahayakan diri, harta dan pikiran.25
23Abdul Qadir djailani, Keluarga sakinah, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1995), h. 41
24
Mahmud Al-Shabbagh, Tuntutan Keluarga Bahagia Menurut Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 1991), h. 1
25
Amir taat nasution, Rahasia Perkawinan Dalam Islam, Tuntutan Keluarga Bahagia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), Cet. 3, h.31.
Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat
manusia. Adapun hikmah pernikahan adalah:26
a. Nikah adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan naluri seks, dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang
dan mata terpelihara dari melihat yang haram.
b. Nikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia,
serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan.
c. Untuk menjalin kerjasama antara suami dan istri dalam
pembagian tugas rumah tangga.
d. Perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh
kelanggengan rasa cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan
masyarakat, karena masyarakat yang saling menunjang lagi saling
menyayangi merupakan masyarakat yang kuat lagi bahagia.
e. Latihan memikul tanggung jawab. Perkawinan merupakan
pelajaran dan latihan praktis bagi pemikulan tanggung jawab dan
pelaksanaan segala kewajiban yang timbul dari pertanggungjawaban
tersebut.27
f. Masyarakat dapat diselamatkan dari bermacam-macam penyakit
seperti sipilis, penyakit keturunan yang dapat mengancam orang-oarng
26Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.51.
27M. Ali hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: prenada kencana, 2003), h.
31
dewasa dan anak-anak, yang dapat menjalar dengan cepat, yang
terjangkit diantara anggota masyarakat akibat perzinahan, pergaulan yang
keji dan haram.28 Sehingga penyakit-penyakit tersebut dapat dihindari
dengan adanya perkawinan.
28
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG KAWIN PAKSA
A. Pengertian Kawin Paksa
Kata paksa dalam kamus bahasa Indonesia artinya mengerjakan
sesuatu yang harus dilakukan walaupun tidakmau, dengan cara mamaksa atau
kekerasan (menekan,mendesak).1
Kawin paksa dalam literatur arab disebut juga dengan istilah ijbar,
kata ijbar berasal dari kata ajbara-yujbiru-ijbaaran. Kata ini memiliki arti
yang sama dengan akraha, dan alzama. Artinya pemaksaan atau
mengharuskan dengan cara memaksa dan keras.2
Yang di maksud dengan ijbar yaitu hak dari orangtua untuk
menikahkan anak perempuannya tanpa meminta persetujuan dari anaknya
tersebut.
Jadi kawin paksa adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan
untuk membentuk keluarga sebagai suami istri dengan adanya paksaan dari
orangtua tanpa memperhatikan izin dari seseorang yang berada dibawah
perwaliannya.
1
Deparetemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h.638
2
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, 1984), h.164
B. Jenis-Jenis Wali dan Peran Wali Dalam Perkawinan 1. Definisi Wali
Secara etimologi wali mempunyai arti pelindung, penolong atau
penguasa.3 Orang yang berhak menikahkan perempuan adalah wali yang
bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai
wali.
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari
orang yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat
hubungan darahnya. Jumhur ulama seperti Imam Syafi’i dan Imam Malik,
mengatakan bahwa wali itu adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah
bukan dari ibu.4
Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Syafi’I adalah
sebagai berikut:
1) Ayah, Ayahnya ayah (kakek) dan seterusnya keatas.
2) Saudara laki-laki yang sekandung (seayah dan seibu).
3) Saudara laki-laki seayah.
4) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sekandung.
3
Abdul Mujib dkk, dalam Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih munakahat, kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h 89
4
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 90
5) Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seayah, dan
seterusnya sampai ke bawah.
6) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah seayah.
8) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara dengan
ayah yang sekandung.
9) Saudara sepupu atau anak lak-laki dari paman yang bersaudara dengan
ayah yang seayah, dan seterusnya sampai kebawah.5
Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Maliki adalah
sebagai berikut:
1) Ayah.
2) Al-Washi (orang yang menerima wasiat dari ayah untuk menjadi wali).
3) Anaknya yang laki-laki, meskipun anak yang bersangkutan hasil dari
perzinahan.
4) Cucu laki-laki.
5) Saudara laki-laki yang sekandung.
6) Saudara laki-laki yang seayah.
7) Anak laki-laki dari saudara sekandung.
8) Anak laki-laki dari saudara yang seayah.
5Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), Cet.I, h.69-70.
9) Kakek yang seayah.
10) Paman yang sekandung dengan ayah.
11) Anak laki-laki dari paman yang sekandung dengan ayah.
12) Paman yang seayah dengan ayah.
13) Anak laki-lalki dari paman yang seayah dengan ayah.
14) Ayah dari kakek.
15) Pamannya ayah.
16) Orang yang mengasuh perempuan yang bersangkutan.6
Susunan wali yang harus didahulukan menurut Imam Hanafi adalah
sebagai berikut:
1) Anak laki-laki, cucu laki-laki, dan seterusnya sampai kebawah.
2) Ayah, kakek (ayah dari ayah), dan seterusnya sampai keatas.
3) Saudara laki laki yang sekandung.
4) Saudara laki laki yang seayah.
5) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung.
6) Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah, dan seterusnya
sampai kebawah.
7) Paman yang bersaudara dengan ayah yang sekandung.
8) Paman yang bersaudara dengan ayah yang seayah.
6
Ibid, h.70.
9) Saudara sepupu atau anak laki-laki dari paman yang bersaudara
dengan ayah yang sekandung,dan setrusnya kebawah. Seandainya
wali-wali yang disebutkan diatas tidak ada semuanya, maka yang berhak
menjadi wali adalah garis keterunan perempuan yang sesuai dengan
susunannya.7
2. Jenis-jenis wali
Wali memegang peranan penting terhadap kelangsungan suatu
pernikahan. Menurut Imam Syai’i dan Imam Malik bahwa keberadaan wali
adalah termasuk salah satu rukun nikah. Suatu pernikahan tanpa dihadiri oleh
wali dari pihak perempuan adalah tidak sah atau batal.8 Sebagaimana yang
tercantum dalam hadis Nabi:
ا
ﻮ
ﺎﻗ
ﻰ
ل
ر
ل
ﻮ
ﷲا
ﺻ
ا
ﻰ
ﷲ
ﻟﻮ
ﻻا
حﺎﻜ
ﻻ
و
)
ور
ىرﺎﺨ ﻟا
(
9Artinya: “Dari Abu Musa r.a yang berkata bahwa RAsulullah SAW
bersabda, “Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali”. (HR. Bukhari).
Adapun wali nikah ada empat jenis, yaitu:
1. Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan
wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun wali nasab terbagi
menjadi dua, yaitu:
7
Ibid, h.71.
8
Ibid, h. 60.
9Al-Bukhori, Abdullah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim, Sahih Al-Bukhari,(Beirut: Dar Al-Fikr), h. 95
a. Wali nasab biasa yaitu wali nasab yang tidak mempunyai
kewenangan untuk memaksa menikahkan tanpa izin atau persetujuan dari
wanita yang bersangkutan. Dengan kata lain wali ini tidak mempunyai
kewenangan menggunakan hak ijbar.
b. Wali mujbir adalah wali nasab yang berhak memaksakan
kehendaknya untuk menikahkan calon mempelai perempuan tanpa
meminta ijin kepada wanita yang bersangkutan. hak yang dimiliki oleh
wali mujbir disebut dengan hak ijbar.
2. Wali hakim, yang dimaksud dengan wali hakim ialah wali nikah dari
hakim atau qadhi. Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali hakim
adalah Pemerintah (sulthan), Pemimpin (Khalifah), Penguasa (Roish), atau
qadhi nikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan
wanita yang berwali hakim.10
3. Wali tahkim yaitu wali yang diangkat oleh calon suami atau calon
istri. Wali tahkim terjadi apabila wali nasab tidak ada, wali nasab ghaib, tidak
ada qadi atau pegawai pencatat nikah.
10Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h. 97
4. Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, yaitu majikannya
sendiri. Adapun maksud budak disini adalah wanita yang dibawah
kekuasaannya/hamba sahaya.11
Adapun yang dimaksud dalam penelitian disini ialah pada wali mujbir.
Yang telah diuraikan sebelumnya yaitu wali nasab yang mempunyai hak
untuk menikahkan terhadap seseorang yang ada dibawah perwaliannya
dengan tanpa izin dan persetujuan anaknya.
a. Wali mujbir menurut syafi’i adalah ayah, kakek dan terus keatas,
wali mujbir mempunyai kedudukan istimewa karena boleh menikahkan anak
perempuannya yang masih kecil dan belum baligh. Juga boleh menikahkan
anak perempuannya yang sudah dianggap dewasa dan masih perawan tanpa
minta izin terlebih dahulu kepada anak yang bersangkutan.12
Imam syafi’i mengacu pada hadits Nabi SAW:
اﻟ
أ
ﻨ
ﺴ
ﻬ
ﺎ
و
ﻟ
و
ﺎﻬ
ﻟا
ﻜ
ﺮ
ﺰ
و
ﺟ
أ
ﺎﻬ
ﻮ
ﺎه
13Artinya:“perempuan janda lebih berhak pada dirinya sendiri dibandingkan walinya, sedangkan perempuan yang masih perawan dinikahkan oleh ayahnya”. ( HR. An-Nasa’i dan daruquthni).
11
Ibid, h. 99
12
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h.77. 13Sunan Darutqutni , Kitab Nikah, juz 3, h.240
Hadits ini menunjukan seorang ayah dibolehkan menikahkan anak
perempuannya yang masih perawan tanpa harus minta izin terlebih dahulu
kepada anak yang bersangkutan.
b. Wali mujbir menurut Imam Hambali adalah ayah dan washi, bila
kedua orang ini tidak ada maka yang berhak menyandang wali mujbir adalah
hakim dengan syarat bahwa perempuan yang bersangkutan sudah layak
dinikahkan. Kedudukan dan fungsi wali mujbir sama dengan imam syafi’i.14
c. Wali mujbir menurut Imam Malik adalah ayah. Orang lain dapat
diangkat menjadi wlai mujbir apabila teah mendapat wasiat dari bapak.
Wasiat yang diucapkan itu harus ada bukti baik secara tertulis maupun lisan
yang diucapkan dengan adanya dua orang saksi. Adapun Fungsi dari wali
mujbir ini adalah boleh menikahkan perempuan yang kurang waras baik
masih kecil maupun sudah menginjak dewasa. Terhadap
perempuan-perempuan yang masih perawan atau sudah janda dan masih berusia muda,
wali ini juga dibolehkan menikahkan dengan laki-laki yang menjadi
pilihannnya, tetapi haknya tidak mutlak dan mengandung syarat tertentu.
Apalagi terhadap perawan yng memiliki pribadi matang dan bisa menafkahi
dirinya senidri, atau terhadap janda yang berusia tua, wali ini tidak boleh
14
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79.
menikahkan dengan laki-laki pilihannya sendiri tanpa minta izin terlebih
dahulu dari mereka.15
d. Wali mujbir menurut Imam Hanafi adalah setiap orang yang
tercantum dalam strukturisasi wali, mereka semua bisa disebut wali mujbir.
Fungsi wali mujbir hanya terbatas pada anak-anak kecil baik laki-laki maupun
perempuan, baik terhadap orang gila yang masih kecil maupun sudah
dewasa.16
Karena itu seorang ayah atau kakek boleh menikahkan anak
perempuan yang masih kecil dan belum baligh meskipun tanpa minta izin dari
yang bersangkutan. Demikian juga para wali selain ayah dan kakek boleh
menikahkan anak perempuan yang masih kecil atau dibawah umur dengan
syarat laki-laki yang menjadi calon suaminya harus setaraf dan sebanding
setatusnya dengan dia dimata masyarakat yang ada dilingkungan sekitarnya,
serta membayar mas kawin yang dinilai pantas.17
Adapun perempuan yang sudah dewasa dan bisa menentukan baik
buruk sesuatu, baik perempuan itu masih perawan atau sudah janda boleh
menikahkan dirinya sendiri dengan laki-laki yang dicintai tanpa memerlukan
wali lagi, dengan syarat calon suaminnya memilki status yang sama
15
Ibid, h.80.
16 Ib id , h.80-81.
17
Ibid, h.81.
dengannya. Tetapi kalau suaminya memiliki status tidak sama dan sering
terjadi percekcokan dalam menjalani persoalan kehidupan rumah tangganya,
maka walinya berhak menggugat cerai kepada suaminya.
Rasulullah SAW bersabda:
ﻨ
ء
ﺎﺴ
ﻨ
ﺬ
ما
ن
ا
ا
ﺎه
ﺎ
ز
و
ﺟ
ه
و
ﺎﻬ
ﻜ
ﺮ
ه
ﷲا
ل
ﻮ ر
ءﺎ
ﻚﻟ
ذ
ﺻ
و
ﷲا
ﻰ
ﺮ
د
ﺎﻜ
ﺎﻬ
)
اور
ىر
ﺎﺨ ﻟا
ﻚﻟﺎ
و
دود
ﻮ ا
ءﺎﺴ ا
(
18Artinya:“Dari khansa’ binti khadam sesungguhnya ayahnya (khansa’) telah menikahkan dia sedangkan dia seoarang janda dan dia tidak menyukai hal semacam itu. Kemudian dia datang kepada rasulullah saw, maka beliau menolak pernikahan itu”. ( HR. bukhari, an-nasa’i, abu daud dan malik).
Adapun yang dimaksud dengan ijbar adalah hak seorang ayah keatas
unntuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan,
dengan syarat-syarat tertentu, syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Tidak ada permusuhan antara wali dengan perempuan (calon
pengantin wanita).
2. Calon suami sekufu dengan calon istri.
3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilangsungkan akad
nikah.19
18
Sunan Nasai, Kitab Nikah, juz 3, hal 282
19
Tihami dan Sohari, Fikih Munakahat, h.102
4. Tidak dinikahkan dengan laki-laki yang cacat baik cacat fisik maupun
psiskis sehingga perjalanan rumah tangganya tidak harmonis dan
sering terjadi percekcokan.20
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur.
Sebenarnya ijbar bukan harus diartikan paksaan, tetepi lebih cocok diartikan
pengarahan.
Wali yang tidak mujbir adalah:
1. Wali selain ayah, kakek dan terus keatas.
2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah dewasa dan baligh
dan mendapat persetujuan dari yang bersangkutan.
3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara
lisan atau tulisan
4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis cukup dengan diam21
C. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kawin Paksa
Kawin paksa hingga saat ini masih saja diperdebatkan, hal ini
disebabkan oleh kekeliruan penempatan hak dan kewajiban yang dapat
dijadikan sebagai faktor utama munculnya kawin paksa, antara lain :
1. Kekeliruan dalam menempatkan hak dan kewajiban orang tua terhadap
anak dan anak terhadap orang tuanya yang mana sering kali rancu
20
Mohamad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan, h. 79
21
Tihami dan Sohari , Fikih Munakahat, h. 102
dalam penerapannya sehingga hak kadang dijadikan sebagai kewajiban
dan kewajiban dijadikan sebagai hak bahkan kadang pula menuntut
akan kewajiban, lupa dan tidak menghiraukan akan hak-hak orang lain
dan sebaliknya.
2. Restu dijadikan sebagai kewajiban mutlak orang tua dalam
menentukan pasangan anaknya.
3. Adanya pemikiran bahwa orang tua hanya akan memberikan yang
terbaik bagi anaknya, dan tak akan pernah melihat anaknya terlantar
maupun disakiti oleh orang lain yang membuat mereka terlalu
memaksakan kehendak mereka sendiri tanpa menghiraukan perasaan
anaknya yang tanpa sadar mereka telah dengan tidak sengaja melukai
dan menyakiti hati anaknya.22
4. Nilai dan norma juga merupakan faktor penyebab adanya kawin
paksa. Baik agama sebagai sebuah keyakinan maupun budaya yang
masih kokoh. Seperti kewajiban orang tua untuk mencarikan pasangan
hidup sang anak, begitu juga dengan stigma terhadap perempuan yang
tidak laku, telah mendorong orang tua untuk mencarikan sekua