ABSTRAK
PENGUJIAN FORMULASI KERING Metarhizium anisopliae ISOLAT UGM DAN TEGINENENG SERTA Beauveria bassiana ISOLAT TEGINENENG UNTUK MEMATIKAN Helopeltis spp.
DI LABORATORIUM DAN DI LAPANGAN
Oleh:
NAZOMI IRAWAN
Pemanfaatan musuh alami sebagai agensia pengendali hayati mempunyai
beberapa keuntungan seperti mencegah resistensi hama, biaya relatif murah dan aman bagi lingkungan. Salah satu musuh alami yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama adalah jamur entomopatogen. Jamur entomopatogen dapat dikemas dalam bentuk formulasi kering. Keuntungan dari formulasi kering ini diantaranya dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, praktis, dan mudah diaplikasikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh lama simpan formulasi kering M. anisopliae isolat UGM dan isolat Tegineneng serta B.
bassiana isolat Tegineneng dalam mematikan Helopeltis spp. di laboratorium dan mengetahui pengaruh formulasi kering dari 3 jenis jamur patogen tersebut dalam mematikan Helopeltis spp. di lapangan. Penelitian terdiri dari percobaan di laboratorium dan di lapangan. Percobaan di laboratorium menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan dianalisis dengan menggunakan uji Duncan taraf nyata 5%. penelitian di lapangan dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan Uji BNT dengan taraf nyata 5%. Hasil penelitian di laboratorium
menunjukkan bahwa kemampuan formulasi kering jamur M. anisopliae isolat UGM, M. anisopliae isolat Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng dalam menginfeksi Helopeltis spp. semakin rendah dengan semakin lama penyimpanan formulasi kering tersebut. Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan formulasi kering jamur M. anisopliae isolat UGM, M. anisopliae isolat Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng yang tidak mengalami masa simpan sangat efektif dalam menginfeksi Helopeltis spp. yakni sebesar 83,3% dan 76,6%. Selain itu aplikasi formulasi kering ketiga jamur
entomopatogen di lapangan dapat mengurangi kerusakan pada buah kakao dengan mengurangi jumlah tusukan perbuah.
PENGUJIAN FORMULASI KERING Metarhizium anisopliae ISOLAT UGM DAN TEGINENENG SERTA Beauveria bassiana ISOLAT TEGINENENG UNTUK MEMATIKAN Helopeltis spp.
DI LABORATORIUM DAN DI LAPANGAN
(skripsi)
Oleh
Nazomi Irawan
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG
iii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... i
DAFTAR GAMBAR ... iii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Kerangka Pemikiran ... 3
1.4 Hipotesis ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Kakao ... 7
2.2 Hama Pengisap Buah Kakao (Helopeltis spp.) ... 8
2.3 Gejala Serangan ... 9
2.4 Pengendalian Hayati ………...... 10
2.5 Taksonomi dan Morfologi Beauveria bassiana... 10
2.6 Jamur Metarhizium anisopliae …... 13
2.7 Formulasi kering Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana... 14
2.8 Pengujian Masa Simpan Jamur ……….. 16 III. BAHAN DAN METODE ... 20
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 20
3.2 Bahan dan Alat ………... 20
iv
3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 22
3.5 Analisis Data ………... 28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29
4.1 Mortalitas Helopeltis spp.pada Percobaan di Laboratorium ... 29
4.2 Mortalitas Helopeltis spp.pada Percobaan di Lapangan... 32
4.3 Jumlah Tusukan Helopeltis spp.pada buah kakao di Lapangan... 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36
5.1 Kesimpulan ... 36
5.2 Saran ... 36
PUSTAKA ACUAN ... 37
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Buah kakao yang telah dikurung dengan kain kasa dan berisi 10 ekor Helopeltis spp. Setiap buah kakao disemprot dengan 15 ml cairan suspensi
jamur entomopatogen………. 26 2. Mortalitas Helopeltis spp. setelah aplikasi berbagai
umur formulasi kering jamur M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng
di laboratorium……… 31
3. Mortalitas Helopeltis spp. 10 hari setelah aplikasi berbagai umur formulasi kering
jamur M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng
serta B. bassiana isolat Tegineneng di lapangan……… 33
4. Jumlah tusukan Helopeltis spp. 10 hari setelah
aplikasi formulasi kering jamur M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng
di lapangan……… 35
5. Jamur M. anisopliae isolat UGM, M. anisopliae isolat Tegineneng
dan B. bassiana isolat Tegineneng ………...………. 46
6. Proses pembuatan formulasi kering jamur M. anisopliae
dan B. bassiana ……….. 46
7. Pengujian Formulasi Kering M. anisopliae
iv
8. Helopeltis spp. yang mati beberapa hari setelah aplikasi ………. 47 9. Bahan komposisi formulasi kering zeolit, kaolin,
tepung jagung ……….. 48 10. Helopeltis spp. yang mengalami kematian
pada tubuhnya ditumbuhi oleh miselia
jamur M. anisopliae isolat UGM... 48 11. Helopeltis spp. yang mengalami kematian pada
tubuhnya ditumbuhi oleh miselia
jamur M. anisopliae isolat Tegineneng……… 49
12. Helopeltis spp. yang terinfeksi jamur
i
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Komposisi Formulasi Kering Jamur M. anisopliae
dan B. bassiana ... 25 2. Mortalitas Helopeltis Spp. Setelah Aplikasi Formulasi
Kering M. anisopliae Isolat UGM dan Tegineneng Serta B. bassiana Isolat Tegineneng di Laboratorium
pada Berbagai Masa Simpan ... 29
3. Mortalitas Helopeltis spp. setelah aplikasi jamur M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng
serta B. bassiana isolat Tegineneng di lapangan... 32
4. Rerata Jumlah Tusukan Helopeltis Spp. pasca Aplikasi jamur M. anisopliae Isolat UGM dan Tegineneng
Serta B. bassiana Isolat Tegineneng pada 10 hsa ... 34 5. Data % Mortalitas Helopeltis spp. Setelah Aplikasi
Formulasi Kering Ketiga Jenis Jamur Entomopatogen yang Mengalami Penyimpanan 1-12 Bulan
di Laboratorium... 41
6. Data Mortalitas Masa Simpan Formulasi Kering Jamur M. anisopliae isolat UGM di Laboratorium
menggunakan Uji Duncan taraf nyata 5%. ...……….. 43
7. Data Mortalitas Masa Simpan Formulasi Kering
Jamur M. anisopliae isolat Tegineneng di Laboratorium
ii
8. Data Mortalitas Masa Simpan Formulasi Kering Jamur B. bassiana isolat Tegineneng di Laboratorium
menggunakan Uji Duncan taraf nyata 5%. ...……….. 44 9. Mortalitas Helopeltis spp. 10 Hsa (%) di Lapangan…... 45 10. Analisis Ragam Mortalitas Helopeltis spp. 10 Hsa (%)
di Lapangan... 45 11. Jumlah Tusukan Helopeltis spp. per Buah Kakao…... 45 12. Analisis Ragam Jumlah Tusukan Helopeltis spp.
“ALLAH SWT akan meninggikan orang
-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
”
(QS. Al-Mujadalah:11)
“kegagalan hanya terjadi apabila kita menyerah”
(Lessing)
“
Sukses terdiri dari 1%
bakat dan 99% keringat”
( Thomas Alva Edison)
“hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak”
(Albert Einstein)
“Jangan bermimpi untuk sukses kalau tidak berani untuk gagal”
(Nazomi Irawan)
“
Jangan takut untuk gagal, karena dibalik kegagalan ada sebuah pendewasaan
untuk meraih kesuksesan”
Alhamdulillahhirobilalamin
Dengan kerendahan hati dan rasa syukur kupersembahkan karya ini
sebagai tanda terima kasih dan sayangku kepada
Ayah dan Mama, sebagai wujud bakti, cinta dan terimakasihku, dengan ketulusan
dalam iringan doa selama ini semoga ALLAH SWT selalu meridhoi
Hadiah kasih untuk para sahabat, serta segenap keluarga besarku, yang telah
memberikan doa dan dukungan selama
Aku menuntut ilmu
Serta Lembaga yang turut membangun diriku, mendewasakanku
dalam berpikir dan bertindak
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 28 November 1991, sebagai putra ke-4 dari ke-4 bersaudara dari pasangan Bapak Tjikwan Tohir dan Ibu Martini
Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak AL-Azhar 3 pada 1996; Sekolah Dasar Negeri 1 Bandar Lampung pada 2003; Sekolah Menengah
Pertama Negeri 21 Bandar Lampung pada 2006; Sekolah Menengah Atas Perintis 1 Bandar Lampung pada 2009.
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan segala rahmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari semua pihak yang telah membantu selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing Utama saya atas kesabarannya dalam membimbing penulis dan memberikan arahan selama penyusunan skripsi;
2. Ibu Ir. Indriyati selaku Pembimbing Kedua atas bimbingan, kesabaran, arahan, nasehat dan perhatiannya selama penyusunan skripsi;
3. Ibu Ir. Lestari Wibowo, M.P., selaku Pembahas atas kesabaran, motivasi, arahan, serta saran, dan perbaikannya selama penyusunan skripsi;
4. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi;
6. Bapak, Ibu, Mbak Martina Nova Tilova, Aci Marlina dan Kakak Yance Welban Afandi, serta keluarga besarku atas semua kasih sayang, cinta,
nasehat, dukungan dan doa tulus yang selalu tercurah tiada henti bagi penulis; 7. Kepada calon pendamping ku Melisa Harleyanti atas dukungan dan doa tulus
kepada penulis;
8. Kepada teman ku Jonatan Rudini, Robi Maulana, Doni, Syarif, Panji, Java serta seluruh teman-teman Agroteknologi angkatan 09’ yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas doa, kenangan, motivasi, bantuan, dan kebersamaannya selama ini, semoga kita menjadi orang yang sukses dan berguna bagi bangsa dan negara;
Ada begitu banyak nama yang ingin kusebut, tetapi halaman ini terlalu kecil untuk menuliskan semua kebaikan kalian. Tapi yakinlah hatiku cukup luas dan dalam untuk mengingat semua kebaikan dan ketulusan kalian.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang. Semoga semua yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dan rahmat ALLAH SWT dan penulis berharap karya ini dapat
bermanfaat. Amin.
Bandar lampung, September 2014 Penulis
1
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Tahun 2010 Indonesia merupakan pengekspor biji kakao terbesar ketiga dunia dengan produksi biji kering 550.000 ton setelah Negara Pantai Gading (1.242.000 ton) dan Ghana dengan produksi 662.000 ton (ICCO, 2011 dalam Balittri, 2012).
Kakao merupakan komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan negara, namun dalam budidaya kakao terdapat berbagai kendala. Menurut Suparno (2000), salah satu kendala yang dihadapi dalam budidaya kakao adalah serangan hama. Salah satu hama penting pada tanaman kakao adalah penghisap buah kakao (Helopeltis spp.).
2
pucuk dapat menyebabkan penurunan produksi kakao sekitar 36-75% (Sulistyowati & Sardjono, 1988 dalam Amini, 2011).
Mengingat pentingnya tanaman kakao untuk dibudidayakan karena nilai
ekonominya yang tinggi, maka perlu dilakukan pengendalian terhadap hama yang menyerang tanaman kakao, khususnya Helopeltis spp. Umumnya pengendalian secara kimia menjadi pilihan utama para petani kakao, namun menurut Susilo (2007) penggunaan insektisida kimia yang berkepanjangan dapat menimbulkan peledakan hama serta berdampak negatif terhadap lingkungan.
Untuk mendukung pengembangan metode pengendalian hama yang berwawasan lingkungan, diperlukan kajian tentang peranan musuh alami sebagai agensia untuk mengendalikan hama. Salah satu agensia hayati yang potensial sebagai sarana pengendalian hama adalah jamur entomopatogen (Indriyati, 2009).
Penggunaan musuh alami seperti jamur entomopatogen adalah pengendalian yang efektif karena pengendalian ini aman dan ramah lingkungan. Pada saat ini pemanfaatan jamur entomopatogen dalam bentuk formulasi kering cukup mengalami peningkatan dalam mengendalikan hama di lapangan. Keuntungan dari jamur entomopatogen yang dibuat dalam bentuk formulasi kering ini diantaranya adalah dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama, praktis, dan mudah diaplikasikan (Prayogo & Suharsono, 2005).
3
pada 8 hari setelah aplikasi. Hasil penelitan Erdiyanto (2013) di laboratorium pada konsentrasi 20 g/l formulasi kering Metarhizium anisopliae isolat UGM mortalitas Helopeltis spp. mencapai 90,16%. Adapun menurut hasil penelitian Saputra (2013) di laboratorium pada konsentrasi 20 g/l formulasi kering jamur Metarhizium anisopliae isolat Tegineneng mortalitas Helopeltis spp. sebesar 72,26%.
Menurut Prayogo & Tengkano (2002) penyimpanan yang terlalu lama dari jamur entomopatogen akan menyebabkan menurunnya kemampuan jamur untuk mematikan serangga. Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang pengaruh lama simpan formulasi kering. Dalam penelitian ini dilihat pengaruh lama simpan dari jamur B. bassiana isolat Tegineneng serta M. anisopliae isolat Tegineneng dan UGM dalam mematikan hama Helopeltis spp.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui pengaruh lama simpan formulasi
kering M. anisopliae isolat UGM dan isolat Tegineneng serta B. bassiana isolat
Tegineneng dalam mematikan Helopeltis spp. di laboratorium (2) mengetahui pengaruh aplikasi formulasi kering dari 3 jenis jamur patogen tersebut dalam mematikan Helopeltis spp. di lapangan.
1.3 Kerangka Pemikiran
4
dikemas dalam plastik (Baehaki dan Kartohardjono, 2007 dalam Kartohardjono, 2011).
Menurut Sambiran & Hosang (2007) penggunaan bioinsektisida mempunyai prospek yang baik karena memiliki patogenisitas yang tinggi terhadap hama sasaran dan dapat menekan populasi hama dalam jangka waktu yang panjang, relatif murah dan ramah lingkungan. Salah satu pengendallian yang banyak dikembangkan adalah penggunaan agensia hayati patogen serangga
(entomopatogen), Beauveria bassiana (Soetopo & Indrayani, 2007).
Jamur entomopatogen B. bassiana (Bals) Vuill, telah dikenal oleh para praktisi
lapangan memiliki potensi untuk mengendalikan beberapa jenis hama
di perkebunan termasuk Helopeltis spp. (Darmono & Gunawan,1999 dalam
Wahyono, 2006).
Jamur B. bassiana dikenal sebagai penyebab penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih serta berbentuk bulat sampai oval. Jamur B. bassiana mempunyai beberapa kelebihan diantaranya mempunyai kapasitas reproduksi yang tinggi, dapat membentuk spora yang tahan lama di alam, ramah lingkungan, serta memiliki patogenisitas yang tinggi
terhadap hama sasaran (McCoy et al., 1988 dalam Deciyanto, 2007).
Keefektifan jamur patogen serangga untuk mengendalikan hama sasaran sangat
tergantung pada keragaman jenis isolat, kerapatan spora, kualitas media tumbuh, daya
kecambah spora, jenis hama yang dikendalikan, umur stadia hama, waktu aplikasi,
frekuensi aplikasi, dan faktor lingkungan meliputi sinar ultra violet, curah hujan, dan
5
Keberhasilan menginfeksi serangga hama sangat ditentukan oleh kerapatan spora
yang kontak dengan tubuh inang. Semakin tinggi spora yang menempel pada
tubuh inang sasaran maka akan semakin cepat menginfeksi inang tersebut.
Kerapatan spora, biasanya yaitu 106 - 108 spora/ml sudah cukup untuk uji
patogenitas jamur (Ferron, 1985 dalam Khairani, 2007).
Dari kedua jamur tersebut baik M. anisopliae maupun B. bassiana masa simpan mempengaruhi kemampuan jamur untuk mematikan hama Helopeltis spp. Pada jamur B. bassiana contohnya, lama simpan jamur yang terlalu lama akan
mengurangi kerapatan spora sehingga mempengaruhi daya kerja toksin
beauvericin. Toksin beauvericin yaitu suatu antibiotik yang dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak jamur B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan (Kucera dan Samsinakova, 1968 dalam Deciyanto, 2007).
6
1.4 Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini ialah:
1. Semakin lama masa simpan formulasi kering M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng maka semakin rendah mortalitas hama penghisap buah kakao (Helopeltis spp.) di laboratorium. 2. Formulasi kering M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B.
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Morfologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan tumbuhan yang berbentuk pohon hidup di daerah sub tropis dan berasal dari Amerika Selatan. Di alam aslinya kakao tumbuh mencapai tinggi 10 m, namun pada budidaya, tinggi tanaman dibuat tidak lebih dari 5 m. Hal ini dilakukan untuk memperbanyak cabang produktif. Dari biji tumbuhan kakao ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat. Sistematika tanaman kakao Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Sub kelas Dialypetaleae, Bangsa Malvales, Marga Theobroma, Jenis Theobroma cacao L. (Siregar et al., 2006).
Syarat Tumbuh Kakao
Faktor iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kakao, seperti curah hujan, temperature dan sinar matahari. Tanaman kakao tumbuh dengan baik pada areal dengan curah hujan 1100-3000 mm per tahun dan temperatur maksimal 30°-32°C dan minimum 18°-21°C. Tanaman kakao merupakan tanaman yang biasa hidup di hutan sehingga dalam
8
2.2 Hama Penghisap Buah Kakao (Helopeltis spp.)
Helopeltis spp. termasuk ke dalam ordo Hemiptera, dan famili Miridae. Serangga ini bertubuh kecil ramping dengan tanda yang spesifik yaitu adanya tonjolan yang berbentuk jarum pada mesoskutelum. Helopeltis spp. merupakan genus yang mempunyai banyak spesies. Pada umumnya terdapat paling sedikit delapan spesies serangga Helopeltis spp. yang mempunyai inang tanaman kakao dan tanaman lain di Indonesia. Di Indonesia, spesies yang banyak merusak tanaman kakao, teh, dan jambu mete adalah H. antonii dan H. theivora Waterh
(Nanopriatno, 1978 dalam Atmadja, 2003).
Menurut Wardoyo (1993 dalam Atmadja, 2003) jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor serangga betina selama hidupnya pada tanaman kakao rata-rata 67-229 butir dan banyaknya telur yang menetas rata-rata 23-134 butir, atau fertilisasi telur 58,80%. Telur berwarna putih dengan panjang 1,5-2,0 mm berbentuk seperti tabung test sedikit bengkok dengan tutup yang bulat dengan dua rambut pada satu ujung. Keberadaan telur pada jaringan bagian tanaman ditandai dengan muncul nya benang seperti lilin agak bengkok dan tidak sama panjangnya di permukaan jaringan tanaman. Dalam waktu 6-8 hari, telur-telur tersebut mulai menetas menjadi nimfa.
Pada tanaman kakao, periode nimfa berkisar antara 11−13 hari. Lama pergantian kulit pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah 2−3 hari, sedangkan lama instar kelima 3−4 hari (Wardoyo, 1983 dalam Atmadja, 2003). Instar pertama berwarna
9
mulai terlihat. Nimfa instar ketiga tubuhnya berwarna cokelat muda, antena cokelat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas dan bakal sayap mulai terlihat. Nimfa instar keempat dan kelima ciri morfologinya sama (Atmadja, 2003).
Menurut Wardoyo (1983 dalam Atmadja, 2003) menunjukkan bahwa pada buah kakao, dari setiap 30 ekor nimfa yang menetas dapat diperoleh 24−29 ekor (rata -rata 26,70 ekor) serangga dewasa, dengan perbandingan 1,30 betina dan 1 jantan. Lama hidup serangga betina berkisar antara 10−42 hari, sedangkan serangga jantan 8−52 hari.
2.3 Gejala Serangan
Gejala akibat serangan hama Helopeltis spp. adalah adanya bercak-bercak cekung berwarna cokelat muda yang dalam waktu lama akan berubah warna menjadi kehitaman. Serangan pada buah muda dapat menyebabkan buah mati, serangan pada pucuk atau ranting menyebabkan tunas ranting mengalami bercak-bercak sehingga ranting tanaman akan layu, kering dan mati. Sasaran utama serangan Helopeltis spp. adalah buah (Wahyudi et al., 2008).
Serangga muda (nimfa) dan imago Helopeltis spp. menyerang tanaman kakao dengan cara menusukkan alat mulutnya (stilet) ke dalam jaringan tanaman, yakni dengan menghisap cairan di dalamnya. Bersamaan dengan tusukan stilet
10
2.4 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati memiliki arti khusus, karena pada umumnya beresiko kecil, tidak mengakibatkan kekebalan dan resurjensi, tidak membahayakan kesehatan manusia maupun lingkungan. Pengendalian ini secara terpadu diharapkan dapat menciptakan kondisi yang tidak mendukung bagi kehidupan organisme
pengganggu tanaman atau mengganggu siklus hidupnya (Untung, 2001).
Menurut Purnomo (2010 dalam Yulyanti, 2012) pengendalian hayati merupakan penggunaan parasitoid, predator, jamur entomopatogen, dan kompetitor yang dapat menekan populasi hama, sehingga menurunkan populasi hama dan
menurunkan tingkat kerusakan bila dibandingkan jika musuh alami itu tidak ada.
Beberapa jenis jamur entomopatogen yang sudah diketahui efektif dalam
mengendalikan hama penting tanaman adalah Beauveria bassiana. Metarhizium anisopliae, Nomuraea rileyi, Paecilomyces fumosoroseus, Aspergilus parasticus dan Verticillium lecannii (Prayogo, 2004).
2.5 Taksonomi dan Morfologi Beauveria bassiana
11
B. bassiana dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kerajaan Plantae, Divisi Amastigomycota, Sub divisi Deuteromycotina, Kelas Deuteromycetes, Ordo Moniliales, Famili Moniliaceae, Genus Beauveria, Spesies Beauveria bassiana (Menurut Barnett, 1960 dalam Prasasya, 2008).
B. bassiana dikenal sebagai penyebab penyakit white muscardine pada serangga karena miselia dan spora yang dihasilkan berwarna putih. Bentuk spora oval dan tumbuh secara zig-zag pada konidiofornya dan biasanya cukup kelihatan pada badan inangnya. Jamur ini memiliki kisaran inang yang sangat luas meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera dan Hemiptera. Selain itu infeksinya juga sering
ditemukan pada serangga-serangga Diptera dan Hymenoptera (Mc Coy et al., 1988 dalam Soetopo & Indrayani, 2007).
Koloni jamur B. bassiana pertumbuhannya lambat, memiliki miselia berwarna putih dan akan berubah menjadi kuning. Miselia yang terbentuk bersekat dan berukuran 2,0-4,0 nm. Hifa fertil bercabang, tersusun melingkar dan biasanya menggelembung dan menebal. Konidia bersel satu, berbentuk oval atau bulat telur dengan diameter 1,5-3,0 nm. Konidiofor berbentuk zig-zag merupakan ciri khas dari genus B. bassiana (Tanada & Kaya, 1993).
Patogenisitas Jamur Beauveria bassiana
12
terinfeksi (Tanada & Kaya, 1993). B. bassiana masuk ke tubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora pada kutikula. Hifa jamur mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga hifa berkembang dan masuk ke dalam pembuluh darah. Disamping itu juga B. bassiana menghasilkan toksin seperti Beauverisin, Beauverolit, bassianalit, isorolit dan asam oksalat yang menyebabkan kenaikan pH, penggumpalan dan terhentinya peredaran darah serta merusak saluran
pencernaan, otot, system syaraf dan pernafasan yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Mahr, 2003 dalam Prasasya, 2008).
Pertumbuhan jamur patogen pada serangga terdapat 4 tahapan. Pertama, kontak antara spora jamur dengan serangga. Kedua, penempelan dan perkecambahan spora jamur pada integumen serangga. Tahap ketiga adalah penetrasi dan infasi, sedangkan tahap keempat adalah proses destruksi. Proses pertumbuhan jamur patogen B. bassiana tidak berhasil dengan baik pada serangga apabila kutikula serangga mengandung senyawa C5, C8 dan C9 karena senyawa tersebut merupakan inhibitor bagi perkecambahan serangga B. bassiana.
13
Keberhasilan jamur patogen menginfeksi serangga hama sangat ditentukan oleh
kerapatan spora yang kontak dengan tubuh inang dan juga oleh keadaan suhu
yang sesuai. Semakin tinggi spora yang menempel pada tubuh inang sasaran
maka akan semakin cepat menginfeksi inang tersebut. Kerapatan spora biasanya
yaitu 106 dan 108/ml sudah cukup untuk uji patogenitas jamur (Ferron, 1985 dalam
Khairani, 2007).
2.6 Jamur Metarhizium anisopliae
Cendawan Metarhizium anisopliae merupakan salah satu agensia hayati yang potensial untuk mengendalikan hama tanaman (Sumartini et al., 2001 dalam Prayogo, 2006). M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agensia hayati dan dapat menginfeksi beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera, Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Prayogo, 2006).
Klarifikasi jamur M. anisopliae tergolong dalam kingdom Fungi, filum
Ascomycota, kelas Sordariomycetes, ordo Hypocreales, famili Clavicipitaceae, genus Metarhizium, spesies Metarhizium anisopliae (Tanada & Kaya, 1993).
Patogenisitas Jamur Metarizhium anisopliae
14
proses penempelan dan perkecambahan propagul jamur pada integumen serangga (Ferron, 1985 dalam Prayogo et al., 2005). Kelembaban udara yang tinggi dan bahkan kadang-kadang air diperlukan untuk perkecambahan propagul jamur (Silva dan Messias, 1985; Glare dan Milner, 1991 dalam Prayogo et al., 2005). Pada tahap ini jamur dapat memanfaatkan senyawa-senyawa yang terdapat pada integumen. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Dalam melakukan penetrasi menembus integumen, jamur membentuk tabung kecambah (appresorium) (Tyrrell dan Mac Leod, 1975; Perry et al., 1982; Bidochka et al., 2000 dalam Prayogo et al., 2005). Dalam hal ini titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen (Santoso, 1993 dalam Prayogo et al., 2005). Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya (Tanada & Kaya, 1993). Pada umumnya serangga sudah mati sebelum proliferasi blastospora.
2.7 Formulasi kering Metarizhium anisopliae anisopliae dan Beauveria bassiana
15
zeolit, dan tepung jagung (UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura DIY, 2004).
Penggunaan substrat padat pada proses produksi dimaksudkan untuk
menumbuhkan jamur yang memproduksi konidia. Substrat padat yang biasa digunakan berasal dari biji-bijian seperti beras, gandum, jagung, dan sorgum. Bahan- bahan substrat padat tersebut merupakan produk alam yang umumnya belum diketahui dengan pasti kandungan nutrisinya. Disamping faktor nutrisi, struktur substrat juga turut menentukan. Idealnya, bahan substrat padat tersebut dapat menyediakan rasio luas dan volume yang dapat mendukung tercukupinya ruang udara dan ruang untuk menempel spora serta mudah terurai. Dari
pengalaman, ternyata bahan untuk substrat padat yang paling ideal adalah beras. Partikel beras berukuran kecil, tetapi luas areanya cukup besar. Selain itu, beras tidak saling melekat setelah diautoklaf dan diinokulasi biakan jamur (Untung, 2010).
Menurut Hasyim (2006 dalam Effendy, 2010) selain substrat untuk memproduksi jamur, bahan pembawa (carrier) untuk pembuatan formulasi bioinsektisida juga berperan dalam mempertahankan keefektifannya bila telah berfungsi sebagai bahan aktif bioinsektisida. Tepung jagung dan tepung beras baik digunakan dalam pembuatan formulasi bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana. Jamur Metarhizium sp. mempunyai sifat yang sama dengan B. bassiana diharapkan jenis bahan pembawa yang sama dapat dikembangkan juga pada jamur Metarhizium sp.
16
meningkatkan performa beberapa produk yang menggunakan mikroba. Pada mulanya pelapisan kaolin hanya ditujukan untuk perlindungan buah pasca panen, yaitu untuk menggantikan penggunaan lapisan lilin yang diketahui kurang ramah lingkungan. Namun belakangan dapat dibuktikan bahwa penggunaan kaolin juga terbukti efektif untuk perlindungan buah selama masa pertumbuhan dan juga bagian tanaman lainnya. Glen et al. (1999 dalam Kresnawaty et al., 2010) membuktikan kemampuan kaolin untuk perlindungan tanaman baik dari serangan hama maupun penyakit.
2.8 Pengujian Masa Simpan Jamur
Di Amerika Utara B. bassiana sangat efektif mengendalikan hama penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis (Feng et al., 1985 dalam Deciyanto, 2007), terutama setelah Wagner dan Lewis (2000 dalam Deciyanto, 2007 ) melakukan penyuntikan konidia pada batang jagung yang menginduksi terjadinya
pengkolonisasian B. bassiana pada semua bagian tanaman jagung, sehingga cendawan ini persisten dan efektif mengendalikan larva O. nubilalis instar 1 hingga mencapai 100% sepanjang musim tanam. Hingga 4 minggu setelah
perlakuan, B. bassiana masih efektif menyebabkan kematian 100% pada kumbang akar Sitona lepidus Gyllenhal (Coleoptera: Curculionidae) yang merusak
tanaman pakan ternak (lucerne) di New Zealand (Willoughby et al., 1998 dalam Deciyanto, 2007).
17
Choristoneura rosaceana Harris (Lepidoptera: Tortricidae). Kematian pada larva dan pupa mencapai lebih dari 85% pada dosis 107 konidia/ml hingga 60 hari setelah perlakuan. Selain itu, pengaruh perlakuan juga menyebabkan gangguan pertumbuhan pada larva, dan menurunkan persentase terjadinya imago jantan. Di Columbia, pemanfaatan B. bassiana dalam pengendalian kepik Rhodnius
pallescens yang merupakan vektor suatu penyakit pada manusia cukup berhasil, dengan menyebabkan kematian pada semua instar nimfa dan imagonya
(Gutierrez et al., 2003 dalam Deciyanto, 2007).
Mortalitas serangga sangat ditentukan oleh kerapatan konidia cendawan
entomopatogen yang diaplikasikan (Baehaki dan Noviyanti et al., 1993 dalam
Prayogo, 2004). Makin tinggi kerapatan konidia M. anisopliae, makin tinggi pula
mortalitas S. litura. Kerapatan konidia M. anisopliae 107/ml paling optimal untuk
mengendalikan S. litura (Romero et al., 1997 dalam Prayogo & Tengkono, 2004).
Menurut Baehaki dan Noviyanti (2001 dalam Prayogo, 2004) menyatakan bahwa
kerapatan konidia 107/ml sudah mampu membunuh serangga dari ordo
Lepidoptera. Kerapatan konidia yang optimal untuk mengendalikan hama
bergantung pada jenis serangga yang akan dikendalikan. Jamur M. anisopliae
yang membutuhkan kerapatan konidia 1015/ml untuk mengendalikan imago
wereng coklat (Luz et al., 1998 dalam Prayogo & Tengkano, 2002 ). Sedangkan
menurut Wang et al. (2001 dalam Prayogo & Tengkano, 2002) hanya
memerlukan kerapatan konidia 105−106/ml untuk mengendalikan Triatoma
18
Viabilitas konidia cendawan entomopatogen dipengaruhi oleh suhu, kelembapan,
pH, radiasi sinar matahari, dan kandungan nutrisi bahan pembawa (Prayogo dan
Tengkano, 2002). Umur biakan M. anisopliae sangat mempengaruhi virulensinya
pada larva S. litura. Biakan cendawan berumur 1 bulan paling efektif
mengendalikan S. litura. Pada biakan berumur 2 atau 3 bulan, nutrisi dalam
media banyak digunakan untuk memproduksi konidia sehingga cendawan
kehabisan cadangan nutrisi. Akibatnya konidia cendawan banyak yang
membentuk struktur khusus yaitu arthrospora untuk menghindari lingkungan yang
tidak sesuai (Ferron 1985 dalam Prayogo & Tengkano, 2002). Oleh karena itu,
beberapa organ khusus tidak efektif lagi bila digunakan sebagai organ infektif
terhadap hama sasaran. Samson et al. (1988 dalam Prayogo & Tengkano, 2002)
melaporkan bahwa kualitas dan kuantitas nutrisi dari media sangat mempengaruhi
virulensi cendawan entomopatogen.
Menurut Prayogo et al. (2005), keefektifan jamur entomopatogen dalam
menginfeksi inang dapat dipengaruhi oleh kerapatan konidia, frekuensi aplikasi, umur inang, dan waktu penyimpanan jamur entomopatogen. Waktu penyimpanan bioinsektisida yang efektif untuk membunuh larva S. incertulas adalah 1 bulan.
19
20
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitan ini dilaksanakan di laboratorium dan di lapangan. Percobaan di laboratorium dilakukan di Laboratorium Hama Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung sejak bulan April sampai dengan bulan Desember 2013. Penelitian di lapangan dilakukan di kebun kakao yang ada di Jalan Purnawirawan IV, Kelurahan Gunung Terang, Kecamatan Tanjung Karang Barat sejak bulan Januari sampai dengan bulan Febuari 2014.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan - bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serangga hama Helopeltis spp., mentimun, media SDA, (sabouraud dextrose agar), formulasi kering jamur Metarhizium anisopliae isolat Tegineneng dan UGM serta jamur Beauveria bassiana isolat Tegineneng yang telah mengalami masa simpan 1 sampai dengan 12 bulan, beras, spritus, kertas tissu, air, kapas, plastik, indostick, tepung jagung, kaolin, zeolit, plastik tahan panas, kain sifon, kain saring, aqua destilata steril, tissue dan alkohol 70%.
21
erlenmeyer, alat tulis, nampan, blender, handsprayer, panci, kompor gas, laminar air flow dan lemari pendingin.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian terdiri dari percobaan di laboratorium dan di lapangan. Percobaan di laboratorium terdiri atas 3 set percobaan yaitu percobaan set pertama pengujian pengaruh lama simpan formulasi kering jamur M. anisopliae isolat UGM, set kedua isolat Tegineneng serta set ketiga B. bassiana isolat Tegineneng terhadap mortalitas hama Helopeltis spp. Percobaan ini dilaksanakan di laboratorium Hama Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Pada percobaan di
laboratorium, percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK), Sebagai perlakuan adalah aplikasi formulasi kering jamur entomopatogen yang telah mengalami penyimpanan 1 sampai dengan 12 bulan. Jenis formulasi kering yang digunakan adalah formulsi kering jamur M. anisopliae isolat Tegineneng dan isolat UGM serta B. bassiana isolat Tegineneng. Setiap percobaan menggunakan ulangan sebanyak tiga kali. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari 20 ekor imago Helopeltis spp. Data mortalitas Helopeltis spp. Untuk percobaan di laboratorium, dianalisis dengan menggunakan uji Duncan taraf nyata 5%.
22
isolat Tegineneng, dan isolat UGM serta B. bassiana isolat Tegineneng serta kontrol. Setiap satuan percobaan terdiri dari satu buah kakao yang mulus tanpa gejala kerusakan, yang dikurung dengan kain kasa, di dalamnya dimasukkan 10 ekor Helopeltis spp. sebagai serangga uji, aplikasi menggunakan konsentrasi 20% M. anisopliae isolat Tegineneng dan UGM serta 25% untuk B. bassiana isolat Tegineneng, dengan ulangan sebanyak 6 kali. Pengujian di lapangan
dilaksanakan pada tanggal 15 Januari 2014 di kebun kakao. Setiap perlakuan dilakukan 1 kali pengaplikasian dalam setiap ulangan. Sedangkan pengamatan dilakukan setiap hari pada pagi hari. Pengamatan di lapangan dilakukan dengan cara melihat tingkat kerusakan buah kakao yang ditimbulkan oleh Helopeltis spp. dengan melihat banyaknya tusukan yang ditimbulkan oleh hama Helopeltis spp. dan dengan mengamati serta menghitung populasi Helopeltis spp. mati di buah kakao pasca aplikasi jamur entomopatogen tersebut. Umur buah kakao yang digunakan pada percobaan ini sekitar 1,5-2,5 bulan atau buah yang tergolong masih muda dan mulus.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
Berikut ini merupakan beberapa langkah yang akan dilakukan dalam penelitian
1. Pembiakan Serangga Helopeltis spp.
23
dimasukkan ke dalam stoples plastik berdiameter 16 cm dengan tinggi 17 cm yang sudah ada pakan mentimun di dalamnya dan ditutup menggunakan kain sippon yang diikat menggunakan karet gelang. Setiap stoples diisi 20 ekor Helopeltis spp. dan + 2 buah mentimun. Pakan diganti setiap 2 hari sekali. Setelah imago bertelur, maka mentimun yang digunakan sebagai media bertelur dipisahkan dan ditempatkan pada stoples yang baru lalu ditutup dan diberi label tanggal. Setelah telur menetas, maka nimfa dipindahkan kedalam stoples yang baru dan diberi mentimun yang masih segar. Begitu seterusnya sampai diperoleh jumlah Helopeltis spp. yang diperlukan.
2. Pembuatan Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)
Sabouraud Dextrose Agar merupakan media yang mengandung pepton di dalamnya. Satu liter media ini dikomposisikan dari 40 g Dextrose, 15 g agar, 5 g pepton, 5 g kasein dan 1 liter air destilata. Semuanya dimasukkan kedalam tabung Erlenmeyer kemudian ditutup menggunakan alumunium foil, dikencangkan dengan karet gelang dan dibungkus plastik tahan panas.
24
3. Penumbuhan Jamur Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana Dalam Media Beras.
Beras dicuci sampai bersih, kemudian disiram dengan air mendidih. Beras dikukus hingga setengah matang, kemudian diangkat dan dikeringanginkan. Sekitar 150 g beras setengah matang dimasukkan dalam kantong plastik. Beras dipadatkan dan diposisikan pada bagian bawah plastik. Bagian atas plastik yang tidak terisi dirapikan, digulung, dan diikat dengan karet gelang. Beras disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1200C, tekanan 1 atm, selama 15 menit. Beras
diangkat dan dikeringanginkan, kemudian diinokulasi dengan isolat M. anisopliae, B. bassiana, selanjutnya diinkubasi selama 2 minggu.
4. Pembuatan Formulasi Kering Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana.
Pembuatan formulasi kering untuk menguji lama penyimpanan telah dibuat pada bulan November 2012 sedangkan untuk pengujian formulasi kering di lapangan di buat baru pada tanggal 3 November 2013 dengan menggunakan metode
pembuatan yang sama. Dalam penelitian ini, pembuatan formulasi kering M. anisopliae dan B. bassiana mengacu pada Purnomo et al. (2012). Pembuatan formulasi kering dimulai dengan mengeringkan jamur M. anisopliae dan B. bassiana yang tumbuh pada media beras. Pengeringan dilakukan dengan
pengeringan dingin. Pengeringan dingin dilakukan di dalam lemari es pada suhu 50C selama 12 hari. Setelah kering jamur M. anisopliae dan B. bassiana
25
Setelah itu tepung biomassa spora M. anisopliae dan B. bassiana dicampur dengan bahan pembawa (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi formulasi kering jamur M. anisopliae dan B. bassiana
5. Aplikasi Formulasi Kering Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana di Laboratorium
Aplikasi formulasi kering berbahan aktif jamur M. anisopliae konsentrasi 20% dan B. bassiana konsentrasi 25% dilakukan dengan cara melarutkan formulasi kering dengan air. Setelah itu ditambahkan bahan perata perekat (indostick) sebanyak 1ml/ℓ. Pelaksanaan pengujian formulasi kering dilakukan dengan memasukkan 20 ekor imago Helopeltis spp. per satu satuan percobaan ke dalam botol air mineral yang dipotong bagian atas dan bagian bawahnya. Setelah itu pada bagian bawah botol tersebut ditutup dengan kain strimin dan diikat dengan karet gelang. Formulasi kering yang sudah dicampur dengan air dan bahan perekat diaplikasikan menggunakan handsprayer sesuai dengan tingkat dosis yang telah ditentukan. Selanjutnya serangga yang sudah diaplikasikan
dimasukkan kembali ke dalam toples dan diberi pakan mentimun.
26
6. Aplikasi Formulasi Kering Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana di Lapangan
Aplikasi formulasi kering berbahan aktif jamur M. anisopliae konsentrasi 20% dan B. bassiana konsentrasi 25% dilakukan dengan cara melarutkan formulasi kering dengan air. Setelah itu ditambahkan bahan perata perekat (indostick) sebanyak 1ml/ℓ. Aplikasi ketiga jamur entomopatogen dilakukan pada sore hari dengan cara menyemprotkan cairan suspensi pada buah kakao yang telah di kurung dengan kain kasa dan berisi 10 ekor Helopeltis spp.
Gambar 1. Buah kakao yang telah dikurung dengan kain kasa dan berisi 10 ekor Helopeltis spp. Setiap buah kakao disemprot dengan 15 ml cairan suspensi jamur entomopatogen.
7. Pengamatan dan Pengumpulan Data
a. Pengamatan di Laboratorium
Pada percobaan di laboratorium dilakukan pengamatan pada mortalitas Helopeltis spp. yang terinfeksi ketiga jamur entomopatogen. Pengamatan dilakukan pada 10 hsa. Untuk memastikan kematian Helopeltis spp. akibat infeksi jamur M.
27
perlakuan yang sudah diberi tisu dan dilembabkan dengan air, selanjutnya Helopeltis spp. yang mati diletakkan pada cawan tersebut. Apabila Helopeltis spp. mati akibat infeksi jamur M. anisopliae maka keesokannya akan didapati jamur berwarna hijau pada tubuh serangga dan apabila keesokannya serangga berwarna putih berarti terinfeksi jamur B. bassiana.
b. Pengamatan di Lapangan
Pada percobaan di lapangan dilakukan pengamatan dengan melihat tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh hama Helopeltis spp. pada buah kakao yang ditandai dari banyaknya tusukan pada buah kakao. Selain melihat tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh hama Helopeltis spp. dilakukan juga
28
3.5 Analisis Data
Data mortalitas Helopeltis spp. yang diperoleh dari percobaan di laboratorium dianalisis dengan menggunakan uji duncan dengan taraf nyata 5% untuk melihat perbedaan masa simpan dari masing-masing ketiga jenis jamur entomopatogen terhadap mortalitas hama Helopeltis spp. Data mortalitas Helopeltis spp. yang diperoleh di lapangan dianalisis menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan Uji BNT dengan taraf nyata 5% .
Menurut Rustama et al. (2008) persentase mortalitas (kematian) serangga dapat dihitung menggunakan rumus seperti berikut:
Keterangan :
M : mortalitas serangga (%) n : serangga yang mati (ekor)
N : jumlah serangga yang diuji (ekor)
Menghitung banyaknya tusukan Helopeltis spp. pada buah kakao dapat dihitung dengan rumus seperti berikut:
Keterangan :
k : jumlah tusukan perbuah
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :
1. Aplikasi formulasi kering jamur entomopatogen M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng pada masa simpan 1-6 bulan menyebabkan mortalitas Helopeltis spp. masih tinggi
dibandingkan dengan masa simpan 7-12 bulan di laboratorium.
2. Formulasi kering jamur entomopatogen M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana isolat Tegineneng yang tidak mengalami masa simpan dapat menyebabkan mortalitas dan dapat mengurangi banyaknya tusukan Helopeltis spp. pada buah kakao di lapangan.
5.2 Saran
Perlu ada penelitian lebih lanjut dari masa simpan lama penyimpanan jamur
entomopatogen M. anisopliae isolat UGM dan Tegineneng serta B. bassiana
PUSTAKA ACUAN
Amini. 2011. Keberadaan Helopeltis antonii Sebagai Hama Pada Beberapa Tanaman
Perkebunan dan Pengendaliannya. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya.
Atmadja W R. 2003. Status Helopeltis antonii Sebagai Hama Pada Beberapa Tanaman Perkebunan dan Pengendaliannya. J. Litbang Pertanian. 22(2):57-63.
Atmadja W R & Wahyono T.E. 2010. Aplikasi Beberapa Strain Beauveria bassiana Terhadap Helopeltis antonii Sign Pada Bibit Jambu Mete. Buletin Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik 21(1):37-42.
Balittri. 2012. Status komoditas kakao.
http://balittri.litbang.deptan.go.id/index.php/komoditas/66-kakao/101-status-komoditas-dan-daerah-pengembangannya. Diakses pada tanggal 28 mei 2013.
Deciyanto. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Perspektif 6(1):29-46. Dwipayana G. A. O. 2013. Pengaruh Aplikasi Beberapa Konsentrasi Formulasi Kering Jamur
Beauveria Bassiana (Balsamo) Vuillemin Isolat Tegineneng Terhadap Mortalitas Hama Pengisap Buah Kakao (Helopeltis spp.) Di Laboratorium. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Effendy T. A. 2010. Uji toksisitas bioinsektisida jamur Metarhizium sp. berbahan pembawa bentuk tepung untuk mengendalikan Nilaparvata lugens (Stal.) (Homoptera: Delphacidae). Prosiding Seminar Nasional Unsri, Palembang 20-21 Oktober 2010.
Erdiyanto E. 2013. Pengaruh Konsentrasi Formulasi Kering
Metarhizium Anisopliae Isolat Dari Yogyakarta Terhadap Mortalitas Kepik Penghisap Buah Kakao (Helopeltis spp.). (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Indriyati. 2009. Virulensi jamur Entomopatogen Beauveria bassiana ( Balsamo) Vuillemin Terhadap Kutu Daun ( Aphis spp.) dan Kepik Hijau ( Nezara Viridula). J. HPT Tropika 9( 2):92-98.
Julisetyowatie A. 2011. Efikasi Jamur Entomopatogen (Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana) dan Bakteri Entomopatogen (Bassillus thuringiensis) sebagai pengendali Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae). Tesis Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. Palembang.
Junianto D & Sulistyowati E. 2000. Produksi dan Aplikasi Beauveria bassiana untuk Pengendalian Penghisap Buah Kakao (Helopeltis spp) dan Penggerek Buah Kakao (Conomorpha cramerella). Simposium Kakao, 2000, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember : 17 hal.
Kartohardjono A. 2011. Penggunaan musuh alami sebagai komponen pengendalian hama padi berbasis ekologi. Pengembangan inovasi pertanian 4(1): 29-46.
Khairani N. 2007. Uji Efektifitas Beauveria bassiana (Balsamo) dan Daun Lantana camara L. Terhadap Hama Penggerek Umbi Kentang (Phthorimae- operculella Zell) Di Gudang. Skripsi. Universitas Sumatra Utara.
Kresnawaty I Budianti A, Wahab A, & Darmono. 2010. Aplikasi biokaolin untuk perlindungan buah kakao dari serangan PBK, Helopeltis spp. dan Phytophthora palmivora. Menara
Perkebunan 78(1): 25-31.
Nuraida & Hasyim. A. 2009. Isolasi, identifikasi, dan karakterisasi jamur entomopatogen dari rizosfir pertanaman kubis. J. Hort. 19(4): 419-432.
Pracaya. 2009. Hama dan Penyakit Tanaman (Edisi Revisi seri Agriwawasan). Penebar Swadaya. Jakarta. 35 Hlm.
Prasasya A. 2008. Uji Efikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana Balsamo dan
Metarhizium anisopliae (Metch.) Sorokin Terhadap Mortalitas Larva Phragmatoecia castanae Hubner di Laboratorium. Skripsi. Universitas Sumatra Utara.
Prayogo Y & Tengkano W. 2002. Pengaruh tempat dan lama penyimpanan suspense spora Metarhizium anisopliae terhadap tingkat kematian larva
Spodoptera litura.hlm. 259−268. Dalam K. Mulya, S. Rusli, Supriyadi, E. A. Wikardi, M. Djazuli, E. Karmawati, D. Manohara, O. Rostiana (Ed.). Prosiding Seminar Nasional dan Pameran Pertanian Organik, Jakarta, 2−3 Juli 2002.
Prayogo Y. 2004. Pemanfaatan cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin untuk mengendalikan hama ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. [Kolokium Pengendalian Hama Terpadu]. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan. Sekolah
Prayogo Y, Tengkano W, & Marwoto. 2005. Prospek cendawan entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk mengendalikan ulat grayak Spodoptera litura pada kedelai. J. Litbang Pertanian 24(1): 19-26.
Prayogo Y & Tengkano W. 2005. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Daya Kecambah, Sporulasi dan Virulensi Metarhizium anosopliae (Metch.) Sorokin Isolat Kendal Payak pada Larva Spodoptera litura Sainteks. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Pertanian. (9)4:233-242.
Prayogo Y & Suharsono. 2005. Optimalisasi pengendalian hama penghisap polong kedelai (Riptortus linnearis) dengan cendawan entomopatogen Verticillium lecanii. J. Litbang Pertanian 24(4): 123-130.
Prayogo, Y. 2006. Sebaran dan Efikasi Berbagai Genus Cendawan Entomopatogen Terhadap Riptortus linearis Pada Kedelai di Lampung dan Sumatra Selatan. J. HPT Tropika 6(1): 14-22.
Purnomo, Aeny, T N, & Fitriana Y. 2012. Pembuatan dan Aplikasi Formulasi Kering Tiga Jenis Agensia Hayati Untuk Mengendalikan Hama Pencucuk Buah dan Penyakit Busuk Buah Kakao. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Rustama M M, Melanie, & Irawan B. 2008. Patogenisitas jamur entomopatogen Metarhizium
anisopliae terhadap Crocidolomia pavonana dalam kegiatan studi pengendalian hama terpadu tanaman kubis dengan menggunakan agensia hayati. Laporan penelitian. Universitas
Padjadjaran. Jawa Barat. Diakses tanggal 13 April 2013.
Sambiran W J, & Hosang, Meldy L A. 2007. Pertumbuhan Cendawan Metarhizium anisopliae Sorokin Pada Media Air Kelapa. Buletin Palma (33): 9-17.
Saputra Z. 2013. Pengaruh Aplikasi Beberapa Konsentrasi Formulasi Kering Metarhizium Anisopliae Isolat Tegineneng Terhadap Mortalitas Hama Pengisap Buah Kakao (Helopeltis Spp.). (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.
Siregar T H S, Riyadi S, & Nuraeni L. 2006. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya. Jakarta. 125 hlm.
Soetopo D & Indrayani I I G A. 2007. Status Teknologi.dan Prospek Beauveria bassiana untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan yang Ramah Lingkungan. Badan
Penelitian Tembakau dan Serat. Malang. Jawa Timur. Perspektif 6 (1):29-46.
Sulistyowati E, Junianto Y D, Sri-Sukamto, Wiryadiputra S, Winarto L, & Primawati N. 2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao. Risalah
Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor, 17-18 September 2002. Suparno T. 2000. Infestasi Penggerek Buah Kakao Ke dalam Perkebunan Kakao Di Kawasan
Susilo F. X. 2007. Pengendalian Hayati dengan Memberdayakan Musuh Alami Hama Tanaman. Graha Ilmu. Yogyakarta. 120 hlm.
Suwahyono U. & Wahyudi P. 2008. Produksi dan formulasi bioinsektisida dari propagul aktif jamur Beauveria bassiana. J.Tek.Ling 9 (1): 85-91.
Tanada Y. & Kaya H K. 1993. Insect Pathology. Academic Press. Inc. Publisher Sandiego New York Boston. London Sydney Tokyo Toronto:357-359.
Trisawa I M & Laba I W. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp Terhadap Kepik Renda Lada Diconocori hawetti. Buletin Litro. XVII (2):99-106.
Untung. 2010. Cara Membuat dan Petunjuk Penggunaan Biopestisida. Penebar Swadaya. Jakarta
UPTD Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura. 2004. Pengembangan dan Pemanfaatan Agens Hayati Kontrol Kualitas. Yogyakarta. Dinas Pertanian DIY.
Wahyono T E. 2006. Pemanfaatan Jamur Patogen Serangga dalam Penanggulangan Helopeltis antonii dan Akibat Serangannya pada Tanaman Jambu Mete. Buletin Teknik Pertanian. Perspektif 11 (1):80-90.
Wahyudi, T Panggabean T R, & Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya.
Jakarta. 235 hlm.