"SEWA-MENYEWA
DALAM
KUHPERDATA PASAL
I57 6DAN HUKUM
ISLAM'
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439lKIPdtl2002)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarj ana Syariah(S. Sy)
Oleh:
Zuni Fatihah
r09043100011
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN
MAZHAB
DANHUKUM
KONSENTRASI PERBANDINGAN
MAZHAB
FIQIH
FAKULTAS
SYARIAH DANHUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM
NEGERI SYARIFHIDAYATULLAH
JAKARTA
1436rr/2015M; ;tn
SEWA-MEI{YEWA DALAM KUHperdata pASAL ts76
DAN HUKUM ISLAM
( studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439
wrdtr2002)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakurtas syari'ah Dan Hukurn
Unfuk Memenuhi syarat-syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Syari,atr
(S,Sy) '
J--Oleh
Zuni Fatihah
NIIVI: 10904310001I
Di bavrah Bimbingan Dosen Pembimbing
KONSENTRASI PERBANDINGAN FIQIH
PROGRAM STTIDI PERBANDINGAN IVIADZHAB
DAN HUKUM
FAKULTAS SYARI,AH DAN HUKUM
UNIVBRSITAS ISLAM NEGBRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/201s M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul SEWA-MENYEWA DALAM KUHPERDATA PASAL 1576 DAN
HUKUM
ISLAM
(Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 24391K/Pdtl2002) telahdiujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada I April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S,Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqh.
Jakafta, 1 April2015
Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
l.
Ketua2.
Sekretaris3.
Pembimbing4.
Penguji IDr. Khamami Zada. MA
NrP. 1 9750 102200312 1001
Hj. Siti Hanna. S. Ag. Lc. MA
NIP. 197402162008012013
Dr. Asep Saepudin Jahar. MA
NrP. 1969 1 2161996031001
Dra. Afidah Wah)'uni. M.Ag
NrP. I 96804081997032002
Nahrowi. SH. MH
NrP. 19730215199903t002
tl+
...)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa;
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 April 2015 M
i ABSTRAK
Zuni Fatihah (109043100011), Sewa-Menyewa dalam KUHPerdata Pasal 1576 dan Hukum Islam (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002). Konsentrasi Perbandingan Fiqih Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sewa-menyewa merupakan salah satu bagian terpenting dari kebutuhan ekonomi dan sosial manusia karena dapat menunjang taraf kehidupan. Namun kadangkala transaksi sewa-menyewa menimbulkan persengketaan apabila tidak dilakukan secara transparansi oleh kedua belah pihak, sebagaimana yang terjadi dalam kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002 yang mana pihak penyewa merasa dirugikan dengan adanya surat eksekusi pengosongan dari Pengadilan Negeri Bogor atas persengketaan tanah yang terjadi antara pihak yang menyewakan dan pihak ketiga, sedangkan pihak penyewa tidak diikutsertakan dalam persengketaan tersebut.
Pada penelitian ini, rumusan masalah yang diteliti adalah konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam serta landasan Hukum yang melatarbelakangi putusnya sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. Adapun metode penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif-analisis-komparatif dengan menggunakan studi pustaka sebagai acuanya serta putusan Mahkamah Agung Nomor 2439/K/Pdt/2002.
Dari penelitian ini diketahui bahwa sewa-menyewa dalam KUHPerdata lebih condong pada perlindungan pihak penyewa atas persengketaan yang terjadi akibat pengalihan hak milik baik berupa jual beli, hibah, tukar menukar dan waris yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan kepada pihak ketiga. Dalam hal pengalihan hak milik / penjualan barang yang disewa kepada pihak ketiga yang mana masa sewa belum berakhir maka ditetapkan bahwa sewa-menyewa tidak terputus (Koop Brekt Geen Hurr) begitupun dengan meninggalnya salah satu pihak maka sewa-menyewa dapat digantikan oleh ahli waris. Sedangkan dalam Hukum Islam, sewa-menyewa dihukumi fasakh apabila terdapat udzur baik dari pihak yang menyewakan, pihak penyewa ataupun barang yang disewakan, seperti halnya udzur yang memaksa pihak yan menyewakan untuk menjual barang yang disewakan dikarenakan terlilit hutang yang sudah jatuh tempo baik disertai dengan pengakuan atas kepemilikan hutang maupun tidak oleh pihak yang menyewakan, maka sewa-menyewa antara pihak yang menyewakan dan penyewa terputus / fasakh dengan dijualnya barang yang disewakan.
Kata kunci : Sewa-menyewa, Koop Brekt Geen Hurr, Ijārah, Fasakhnya Ijārah, Udzur/Alasan, KUHPerdata, Hukum Islam, Putusan Mahkamah Agung No 2439/K/Pdt/2002.
ii
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Berikut ini adalah pedoman transliterasi yang diberlakukan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543/b/u/1987.
1. Konsonan
No Arab Latin No Arab Latin No Arab Latin
1 أ
Tidak dilamban
gkan
11 ز z 21 ق q
2 ب b 12 س s 22 ك k
3 ت t 13 ش sy 23 ل l
4 ث ṡ 14 ص ṣ 24 م m
5 ج J 15 ض ḍ 25 ن n
6 ح ḥ 16 ط ṭ 26 و w
7 خ Kh 17 ظ ẓ 27 ه h
8 د d 18 ع ʻ 28 ء ʹ
9 ذ ż 19 غ g 29 ي y
10 ر r 20 ف f
2. Vokal Pendek 4. Diftong
ــــــــ = a بتك kataba ْيــــ = ai فْيك kaifa
ــــــــ = i لئس suʹ ila ْوــــ = au لْوح ḥaula
ــــــــ = u بهْذي yażhabu 3. Vokal Panjang
اــــــــ = ā لاق qāla
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah, dzat yang Maha Agung dan Esa yang telah memberikan kemudahan serta karuniaNya kepada penulis, sehingga bisa menyelesaikan skripsi ini sebagai
kewajiban akademik. Lantunan sholawat dan salam tetap terhaturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, semoga syafaatnya selalu terlimpahkan
kepada kita semua sebagai umatnya pada hari akhir kelak.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan dukungan baik secara moril maupun materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan. Untuk itu dengan kerendahan hati serta penuh rasa ta’zhim
dan takrim penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen pembimbing yang dengan kesabaran dan ketelatenannya membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA. selaku Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, beserta Ibu Siti Hanna, S,Ag., Lc, MA selaku Sekretaris Jurusan
Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Segenap Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan ikhlas dan sabar mengajarkan, membimbing, serta
mendidik penulis dalam berbagai disiplin ilmu. Semoga setiap tetesan keringat bapak ibu dibalas oleh Allah dengan kebaikan yang berlipat.
5. Seluruh Staff Karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah bekerjasama dan memberikan kemudahan bagi penulis dalam masa pembelajaran kuliah dan pengumpulan materi
skripsi.
6. Kedua orang tua penulis, bapak Karno Hadi dan ibu Artijah yang untaian do’anya tidak pernah terputus disetiap sujudnya serta pengorbanan yang dipenuhi dengan cucuran
keringat dan limpahan kasih sayangnya. Juga teruntuk adikku Atika, bekna, manur, bektri, pakdeji, mbaklis, mbok dan pae atas semua perhatian, nasihat dan dukunganya
baik secara moriil ataupun materiil.
7. Teristimewa buat acak Shofi L. Syarifuddin yang merubah kejenuhan menjadi
kebahagian, kesedihan menjadi keceriaan, terimakasih atas ketulusan dan semangatmu untuk memotifasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
8. Teman-teman seperjuangan PMH angkatan 2009, ayat, al, dely, rijal, dadan, uday,
Firman, hamzah, olid, syukur, nabila, mas inun. Terimakasih telah mengisi kekosongan bangku kuliah dengan canda tawa dan motivasi.
9. Teman-teman IMAGE (Ikatan Mahasiswa Gresik), HAMAM (Himpunan Alumni Mambaus Sholihin) , dan WASIAT, cak Nailul, Ichil, mbak Inay, Wahyu, Ucup, Hikam, mas’ad, Marom, dan semuanya yang tak bisa disebut satu persatu. Terimakasih atas
v
10.Bapak Dr. Agus Sholeh, M.Ed dan Ibu Drs. Yeti Munjiawati dan teman-teman AL-INAYAH yang selalu memberi pelajaran dan pengalaman dalam melalui proses
pembelajaran.
11.Teman-teman kosan ilma, ayu, kolek, intuk, mbak luk, mbak sun, mbak is terimakasih
atas motivasi dan dorongannya untuk cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya, tiada kata ucapan syukur yang indah dan pantas dipanjatkan kecuali kepada Sang Maha Besar Allah SWT atas terselesaikannya skripsi ini, mudah-mudahan skripsi ini
bermanfaat khususnya bagi penulis dan umunya bagi pembaca.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Jakarta, 1 April 2015 M
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...
HALAMAN PERNYATAAN ...
ABSTRAKSI ... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI... vi
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Studi Pustaka ... 8
E. Kerangka Teori ... 9
F.Metodologi Penelitian ... 12
G. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPerdata A. Pengertian Sewa-menyewa ... 16
B. Hak dan Kewajiban Pihak yang Menyewakan dan Penyewa ... 19
C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-menyewa ... 23
D. Risiko Atas Musnahnya Barang... 25
E. Bukti Pembayaran Uang Sewa... 27
F.Mempersewakan Lagi (Onderhuur) ... 29
G. Berakhirnya Sewa-menyewa ... 31
H. Ganti Rugi ... 34
vii
BAB III : KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Ijarah ... 44
B. Dasar Hukum Ijarah ... 47
C. Rukun dan Syarat Ijarah... 49
D. Sifat Ijarah dan Hukumnya ... 52
E. Macam-macam Ijarah ... 53
F. Menyewakan Barang Sewaan ... 54
G. Perihal Resiko ... 55
H. Perselisihan Antara Para Pihak dalam Ijarah ... 56
I. Pembatalan dan Berakhirnya Akad Ijarah ... 57
BAB VI : ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2439 K/Pdt/2002 PRESPEKTIF HUKUM PERDATA PASAL 1576 DAN HUKUM ISLAM. A. Permasalahan Kasus... 62
B. Dasar Hukum Putusan Hakim ... 64
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 73
B. Saran ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari manusia memiliki banyak kebutuhan.
Untuk memenuhinya manusia melakukan kegiatan yang dapat memperoleh penghasilan. Perilaku manusia yang berusaha mendapatkan barang ekonomi untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas guna mencapai
kemakmuran adalah tanda bahwa manusia adalah makhluk ekonomi.
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan, manusia
tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain sehingga manusia membutuhkan suatu kelompok yang bisa diajak berkomunikasi dan bekerja sama untuk menghasilkan penghasilan. Ini merupakan salah satu
kodrat manusia sebagai makhluk social sekaligus makhluk ekonomi.
Dewasa ini perkembangan arus globalisasi ekonomi dunia dan
kerjasama di bidang perdagangan dan jasa berkembang sangat pesat. Masyarakat semakin banyak mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan anggota masyarakat lainnya, sehingga kemudian timbul
bermacam-macam perjanjian. Suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat sah perjanjian yakni kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal agar
perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.1 Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan
1
perikatan.2 Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dalam undang-undang.3 Salah satu contoh adalah
perjanjian sewa-menyewa. Perjanjian sewa menyewa banyak digunakan oleh para pihak pada umumnya, karena dengan adanya perjanjian sewa-menyewa
ini dapat membantu para pihak, baik itu dari pihak penyewa maupun yang menyewakan akan saling mendapatkan keuntungan. Penyewa memperoleh keuntungan dengan kenikmatan benda dari benda yang di sewa, dan yang
menyewakan akan memperoleh keuntungan dari harga sewa yang telah diberikan oleh pihak penyewa.
Secara yuridis, ketentuan sewa-menyewa telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu dalam buku ketiga bab VII mulai dari pasal 1548 sampai pasal 1600 KUH Perdata.4 Dalam pasal
1548 KUHPerdata ditentukan bahwa sewa-menyewa adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.5 Dengan demikian, unsur sewa-menyewa dalam
pasal 1548 KUHPerdata adalah adanya pihak pemilik barang yang merupakan pihak pertama dan pihak penyewa sebagai pihak kedua yang menikmati
manfaat barang yang disewakan, adanya konsensual antara pemilik barang dan
2
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), h.42.
3
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1979), h.1.
4
Salim. H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h. 58.
5
penyewa, adanya barang yang disewakan baik berupa benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, adanya kewajiban dan hak antara pemilik barang dan
pihak penyewa, kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang kedua
ini adalah membayar harga sewa.6 Jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat
menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu. Beda halnya dengan seorang diserahi suatu barang untuk dipakaiannya tanpa kewajiban
membayar sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu akad perjanjian pinjam-pakai.
Menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah persetujuan antara
pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan atau pemilik menyerahkan barang yang hendak disewa kepada penyewa untuk
dinikmati sepenuhnya.7
Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang
adalah suatu penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk
memulai dan memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran
uang sewa oleh pemakai kepada pemilik.8
Sewa menyewa ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang bersifat
6
[image:14.595.131.503.250.463.2]Salim, H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h.59.
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua, h.19.
8
perseorangan dan bukan perjanjian yang bersifat hak kebendaan yaitu dengan perjanjian sewa menyewa ini kepemilikan terhadap objek sewa tersebut
tidaklah beralih kepada penyewa tetapi tetap menjadi hak milik dari yang menyewakan. Sewa-menyewa tidak memindahkan hak milik dari yang
menyewakan kepada penyewa. Karena selama berlangsungnya masa persewaan pihak yang menyewakan harus melindungi pihak penyewa dari segala gangguan dan tuntuta pihak ketiga atas benda atau barang yang
diewakan agar pihak penyewa dapat menikmati barang yang disewanya dengan bebas selama massa berlangsung.9
Namun dalam realita aplikasi kehidupan perihal sewa-menyewa benda tidak bergerak semacam rumah, apartemen, tanah, ruko dan lainnya tidak berjalan mulus tanpa permasalahan, masih banyak permasalahan yang terjadi
dan menimbulkan perselisihan yang berujung pada meja hijau. Seperti halnya dalam kasus perkara10 Erwan Djaya Dharmadhi dan Foet Tjin Lan sebagai
pemohon kasasi dengan Sherly Indriati dan Patmajani Tanadjana alias Tan Tjit Nio (Tan Pat Nio) sebagai termohon kasasi. Perkara ini dimulai dengan adanya kiriman surat dari Pengadilan Negeri Bogor yang berisi perintah
eksekusi pengosongan terhadap tanah sengketa dalam perkara Nomor 18/Pdt/Eks/2000/PN.Bgr. Jo Nomor 112/Pdt/G/1992/PN.Bgr., dimana tanah
dan bangunan yang disewa para Pelawan dari Terlawan II termasuk didalamya. Pemohon merasa ini tidak adil karena dalam jangka masa persewaan baik pada masa orang tuanya dulu sampai sekarang tidak pernah
9
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), Edisi kedua,h.19.
10
terjadi konflik antara Pemohon dan Termohon dan belum pernah diputus sampai saat ini, bahkan Pemohon selalu menunaikan kewajibannya untuk
membayar persewaan rumah yang ditempati. Terlebih dalam penyelesaian persengketaan tanah antar Termohon I dan Termohon II juga pihak Pemohon
tidak dilibatkan.
Dalam kasus perkara tersebut apabila ditinjau dari kacamata KUHPerdata dalam pasal 1576 maka hubungan sewa-menyewa tidak akan
putus meski objek sewa telah dialihkan kepada pihak lain/ketiga11 atau dalam istilah hukum dikenal dengan asas “koop breek geen huur” sehingga
Pemohon harus mendapat perlindungan hukum.12
Namun antara penyelesaian kasus diatas dalam KUHPerdata pasal 1576 dan hukum Islam terdapat perbedaan yang mendasar. Dalam hukum
Islam dijelaskan apabila objek sewa telah dialihkan kepada orang lain sedangkan masa sewa belum habis maka persewaan tersebut terputus dengan
dalih tersewa tidak berhak mendapatkan uang sewa dari penyewa atas pemakaiannya terhadap objek sewa.13 Namun maksud dialihkan disini adalah pengalihan atas manfaat barang yang disewa bukan pengalihan atas hak milik
barang yang disewa.
Adapun untuk pengalihan hak milik barang yang disewa sebelum masa
sewa berakhir nampaknya hukum Islam mengaitkanya dengan pendapat
11
R. Subekti dan R. Tjtrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradya Paramita, 2009).
12
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h.241.
13
Hanafiyah yang mengatakan bahwa sifat ijarah adalah lāzim atau mengikat kedua belah pihak namun bisa dibatalkan secara sepihak apabila ada udzur.14
Sehingga apabila ada udzur yang memaksa mu’jir untuk menjual barang yang disewakan maka akad ijarah terputus.15
Berdasarkan pada latar belakang pemikiran dan kasus perkara tersebut, maka penulis ingin mengajukannya menjadi sebuah penelitian skripsi sebagai upaya untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai sewa-menyewa
dalam KUHPerdata pasal 1576 dan hukum Islam (Studi Putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, dan untuk lebih memfokuskan
pembahasan agar tidak terlampau jauh dan melewati zona pembahasan judul yang telah penulis kemukakan, maka penulis membatasi pembahasan masalah
dalam lingkup sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam (Studi Putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002).
Adapun perumusan masalah dari judul skripsi ini adalah:
1. Bagaimana konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam? 2. Bagaimana landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya
sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam?
14
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), h.235.
15
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui landasan hukum yang melatarbelakangi putusnya
sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam. 2. Manfaat penelitian
Terkait dengan manfaat penelitian, maka paling tidak terdapat tiga manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini:
a. Manfaat bagi penulis, penelitian ini menjadi penting karena merupakan syarat akademik untuk mencapai gelar Sarjana Syari’ah di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat bagi institusi, penelitian ini salah satu sumbangsih pemikiran bagi dunia akademisi, khususnya dunia akademik diranah lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Manfaat bagi masyarakat luas, penelitian ini berguna bagi masyarakat akan pentingnya konsep sewa menyewa yang tidak pernah lengkang
D. Studi Pustaka
Untuk lebih memudahkan penulis dalam penyusunan skripsi, maka penulis
cantumkan beberapa referensi sebagai pendukung, diantaranya:
Sewa-menyewa lahan untuk kepentingan maksiat (studi
perbandingan antara hukum Islam dan hukum positif) oleh Nur Rofiq (108043100009) Konsentrasi Perbandingan Mazhab Fiqih Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini penulis membandingkan antara hukum Islam dan hukum positif terkait penyewaan
lahan untuk kepentingan maksiat. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwasanya penyewaan terjadi sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak namun pada realisasinya tidak memenuhi syarat dan ketentuan yang ada dalam
hukum Islam dan hukum positif. Dengan demikian, komponen isi skripsi ini jauh berbeda dengan apa yang dibahas oleh penulis dalam skripsinya.
Perjanjian sewa kendaraan antara PT.MEDCO POWER
INDONESIA dengan PT. PUSTAKA PRIMA TRANSPORT dalam
perspektif hukum Islam dan hukum positif oleh Citra Mayasari (202046101224) Konsentrasi Perbankan Syari’ah Program Studi Muamalah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam skripsi ini dibahas pandangan antar hukum Islam dan hukum positif mengenai perjanjian sewa kendaraan atas dua belah pihak instansi, yang mana dalam kacamata hukum Islam perjanjian sewa antar instansi memiliki cacat
padahal di dalam hukum Islam denda merupakan bentuk penebusan kesalahan dalam melakukan perbuatan dalam syara’. Sedangkan dalam kacamata hukum
positif, permasalahan yang ditimbulkan adalah adanya kerugian yang ditanggung oleh pihak kedua atas barang yang disewa. Karena dalam KUH
Perdata pasal 1533 dijelaskan bahwa resiko mengenai barang sewaan ditanggung oleh pemilik barang yakni pihak pertama. Dengan demikian proporsi pembahasan yang dibahas mempunyai kemiripan dalam
perbandingan antara dua hukum, hukum Islam dan hukum positif, namun titik tekanya tidak sama.
E. Kerangka Teori
Sewa-menyewa dalam hukum Islam terdapat berbagai dikenal
dengan istilah ijarah yang berasal dari bahasa arab “Ajara”16 yang bermakna menyewakan.17 Sedangkan menurut terminologi ijarah merupakan suatu akad
atas manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan diperbolehkan dengan imbalan tertentu.18 Terdapat beberapa pandangan Ulama mengenai definisi ijarah, diantaranya Hanafiyah mengatakan ijarah
merupakan transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Sedangkan menurut Malikiyyah adalah pemilikan manfaat dengan suatu imbalan terhadap
suatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu.19 Hanabilah mengatakan ijarah
16 Kata Ijarah mempunyai sinonim kata “
Akraa” yang berarti menyewakan, ‘athohu
ajran” yang bermakna ia memberinya upah, atau atsabahu yang bermakna memberinya pahala.
17
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010), h.315.
18
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Al-Akbar fi Hilli Ghayah Al-Ikhtishar, juz 1, (Surabaya : Dar Al-‘ilmi).
19
adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafadz ijarah dan kara’ dan semacamnya.20Dan menurut Syafi’iyyah adalah suatu akad atas manfaat
yang dimaaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.21 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan
bahwasanya inti dari ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan, sehingga obyek ijarah adalah manfaat atas suatu barang.22
Kemudian berakhirnya/batalnya akad ijarah dikarenakan beberapa hal
diantaranya, meninggalnya salah satu pihak (menurut Madzhab Hanafi), terjadi kerusakan pada barang yang disewa, berakhirnya masa sewa, iqolah
dan adanya udzur dari salah satu pihak (menurut Hanafiyah)23
Menurut Abu Al-Qasim dalam Al-Mughni, apabila ada suatu permasalahan pemilik rumah memindahtangankan rumah sewaan kepada
orang ketiga sebelum masa sewa dengan pihak kedua berakhir maka akad ijarah antara tersewa dan penyewa pertama putus dengan artian si tersewa
tidak berhak menerima uang sewaan atas penempatan rumah dari penyewa.24 Dan juga dijelaskan adanya larangan mentasharrufkan barang sewaan yang telah disewakan sebelum masa sewa berakhir.25
Dalam transaksi perikatan jual-beli atau sewa-menyewa, diadakan oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli/ mu‟jir dan musta‟jir) secara tertulis
20
Syamsuddin bin qudamah Al-Maqdisi, Asy-Syarh Al-Kabir, (t.t :Dar Al-Fikr, t.t), juz 3, h.301.
21
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad, Kifayah Akhyar fi Hilli Ghayah
Al-Ikhtishar, (Surabaya : Dar Al-Ilmi, t.t), Juz 1, h. 249.
22
Ahmad Wardi Muslih, Fiqh Muamalat, (Jakarta : Amzah, 2010), h. 317.
23
Isnawati Rais dan hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h.168.
24
Ibnu Qudamah, penerjemah Muhyiddin dkk, Al-Mughni, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2010), h.412.
25
atau dengan dua orang saksi. Jual beli atau sewa-menyewa dapat dilakukan secara tunai, dapat pula dilakukan dengan pembayaranya ditangguhkan.26
Adapun dalil Al-Qur’an yang berkenaan dengan perikatan jual beli secara tidak tunai adalah surat Al-Baqorah ayat 282 yang berbunyi:
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah27 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis
itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang
yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
26
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia,(Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.145.
27
antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang
lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan
(memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jenuh
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya.”(Q.S.Al-Baqorah:282).
Pengertian yang terkandung dalam ayat di atas, tidak terbatas pada jual
beli saja, tetapi juga utang piutang, sewa-menyewa dan bentuk hubungan hukum keperdataan Islam lainnya. Manfaatnya jelas, yaitu memberikan
kepastian hukum kepada masing-masing pihak yang terlibat di dalam perikatan itu. Selain itu, untuk menghindari adanya kemungkinan sengketa diantara pihak-pihak yang berkepentingan.28
F. Metodologi Penelitian
Metode yang dipakai oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang ditulis adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan studi pustaka sebagai acuannya. Mengenai penelitian ini, penulis akan menggunakan metode pendekatan dengan langkah pertama
mendefiniskan serta membandingkan antara konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan Hukum Islam, kemudian langkah kedua menganalisis kesesuaian konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam
28
Serta menganalisis studi kasus putusan Mahkamah Agung tentang sewa menyewa dalam putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang terkait
dengan sewa-menyewa baik dalam proses pelaksanaan sewa-menyewa sampai berakhirnya sewa-menyewa yang terangkum dalam buku III KUH Perdata dan putusan Mahkamah Agung Nomor 2439 K/Pdt/2002 tentang
sewa menyewa, karena penelitian ini mencoba mengkomparasikan dengan hukum Islam, maka penulis juga menggunakan sumber data hukum Islam
terkait sewa-menyewa, seperti Al-Mughni karangan Ibnu Qudamah, Fiqh Sunnah karangan Sayyid Sabiq, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam hal ini penulis menggunakan metode dokumenter yang berupa survey kepustakaan dan studi literature. Yakni pengumpulan data yang
berupa sejumlah literature yang diperoleh dari perpustakaan dan tempat lain kemudian dipelajari dan ditelaah sehingga menghasilkan sebuah analisis yang menjadi jawaban dari permasalahan yang menjadi objek
hukum.
4. Teknik Analisis Data
Data-data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode penelitian yang bersifat deskriptif- analisis- komparatif, yakni penulis mencoba mendiskripsikan konsep
konsep sewa-menyewa dalam KUHPerdata dan hukum Islam Serta menganalisis putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam
putusan Nomor 2439 K/Pdt/2002. 5. Teknik Penulisan Skripsi
Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana masing-masing bab mempunyai sub bahasan, hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu
dalam penulisan skripsi ini sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasanyang utuh. Lebih jelaasnya, gambaran sistematika pembahasan
penulisan skripsi ini sebagai berikut:
Pada bab I yang merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, studi
pustaka, metode penelitian, kerangka teori serta sistematika penulisan.
Pada bab II pembahasan yang dibahas meliputi konsep sewa-menyewa dalam
KUH Perdata yang terdiri dari tinjauan KUH Perdata tentang pengertian sewa-menyewa, subyek dan obyek sewa-sewa-menyewa, hak dan kewajiban pihak yang menyewakan dan si penyewa, bentuk dan substansi sewa-menyewa, resiko,
Pada bab III membahas tentang konsep sewa-menyewa dalam pandangan hukum Islam. Pembahasan pada bab 3 ini akan memaparkan tinjauan hukum
Islam terkait definisi sewa- menyewa, dasar hukum sewa-menyewa, syarat dan rukun sewa-menyewa dan sebab yang mengakibatkan berakhir atau putusnya
sewa-menyewa itu sendiri.
Pada bab IV ini akan dipaparkan sebuah analisis penulis terkait konsep sewa-menyewa dalam KUH Perdata yang dianalisis dari kacamata hukum Islam dan
memaparkan kesesuaian dan tidaknya dengan hukum Islam beserta analisis putusan Mahkamah Agung tentang sewa-menyewa dalam putusan Nomor
2439 K/Pdt/2002.
Pada bab V ini merupakan penutup yang meliputi ringkasan jawaban atas perumusan masalah serta saran sebagai awal dari perbaikan di masa
16
BAB II
KONSEP SEWA-MENYEWA MENURUT KUHPERDATA
A. Pengertian Sewa-Menyewa
Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan huurenverhuur
dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire. Sewa-menyewa
merupakan salah satu perjanjian timbal balik. Menurut Kamus Besar
Indonesia sewa berarti pemakaian sesuatu dengan membayar uang sewa dan
menyewa berarti memakai dengan membayar uang sewa.1
Dalam KUHPerdata pasal 1548 dijelaskan bahwasanya sewa-menyewa
adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya
untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang
selama satu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh
pihak tersebut belakangan ini disanggupi pembayarannya.2
Sedangkan menurut Yahya Harahap, sewa-menyewa adalah
persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa. Pihak
yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada pihak
penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.3
Menurut Wirjono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu
penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain untuk memulai dan
1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.IV, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 338.
2
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradya Paramita, 2009), h. 381.
3
memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa oleh
pemakai kepada pemilik.4
Pengertian lainya menyebutkan bahwasanya perjanjian sewa-menyewa
adalah persetujuan untuk memakai sementara suatu benda, baik benda
bergerak maupun tidak bergerak, dengan pembayaran suatu harga tertentu.5
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya
sewa-menyewa merupakan suatu perjanjian antara dua pihak yang
menimbulkan persetujuan atas barang dan harga yang diikuti dengan jangka
waktu tertentu. Jadi inti dari sewa-menyewa disini adalah barang dan harga.
Maksud barang disini merupakan harta kekayaan yang berupa benda material,
baik benda bergerak maupun tidak bergerak. Dengan syarat barang yang
disewakan adalah barang yang halal, artinya tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.6 Menurut Hofmann dan De Burger,
barang yang dapat disewakan adalah barang bertubuh saja. Sedangkan
menurut Asser, Van Brekel dan Vollmar, tidak hanya barang yang bertubuh
saja yang dapat dijadikan objek sewa akan tetapi hak-hak juga dapat disewa,
pendapat ini diperkuat dengan adanya putusan Hoge Raad tanggal 8 Desember
1992 yang menganggap kemungkinan ada persewaan suatu hak untuk
memburu hewan (jachtrecht).7
4
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu (Bandung: Sumur, 1981), h. 190.
5
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 58.
6
Ibid., h. 59.
7
Wiryono Projodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Maksud harga di sini merupakan biaya sewa yang berupa imbalan atas pemakaian barang yang disewa. Mengenai uang sewa, harus ditentukan terlebih dahulu oleh pihak yang menyewakan kemudian disetujui oleh pihak penyewa.Menurut Van Brekel, harga sewa dapat berwujud barang-barang lain selain uang, namun barang-barang tersebut harus berupa barang-barang
bertubuh, karena sifat dari perjanjian sewa-menyewa akan hilang jika harga
sewa dibayar dengan suatu jasa. Namun pendapat tersebut bertentangan
dengan pendapat Subekti yang mengatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa
tidaklah menjadi keberatan apabila harga sewa tersebut berupa uang, barang
ataupun jasa.8
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa adalah:9
1. Terdapat dua pihak yang saling mengikatkan dirinya, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang timbul dari perikatan sewa-menyewa tersebut.
2. Adanya unsur pokok sewa menyewa yang berupa barang dan harga. 3. Pihak yang satu berhak untuk mendapatkan/menerima pembayaran dan
berkewajiban memberikan kenikmatan atas suatu kebendaan; sedangkan pihak lainnya berhak atas mendapatkan/menerima kenikmatan atas suatu kebendaan dan berkewajiban menyerahkan suatu pembayaran.
4. Hak bagi pihak yang satu merupakan kewajiban bagi pihak lainnya, begitupun sebaliknya, kewajiban bagi pihak yang satu merupakan hak bagi pihak lainnya.
8
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1985), h.91.
9
5. Penikmatan berlangsung untuk jangka waktu tertentu.
B. Hak dan Kewajiban Pihak Yang Menyewakan dan Penyewa
Hak dari pihak yang menyewakan adalah menerima harga sewa yang
ditentukan. Sedangkan kewajiban pihak yang menyewakan diatur dalam pasal 1550 KUH Perdata yang terdiri dari tiga macam, yang mana kewajiban
tersebut merupakan kewajiban yang harus dibebankan kepada pihak yang menyewakan sekalipun tidak ditentukan dalam persetujuan. Ketiga kewajiban tersebut diantaranya adalah:10
1. Kewajiban menyerahkan barang yang disewakan kepada si penyewa. Mengenai penyerahan barang di sini adalah penyerahan secara nyata
sehingga pihak yang menyewakan harus melakukan tindakan pengosongan dan penentuan terhadap barang yang disewakan. Dalam penyerahan
barang ini pihak yang yang menyewakan tidak bisa dituntut untuk menyerahkan barang secara yuridis karena pihak penyewa tidak berstatus sebagai pemilik sehingga penyerahan barang dilakukan dibawah
penguasaan si penyewa.
2. Kewajiban memelihara barang yang disewakan selama waktu yang
diperjanjikan, sehingga barang itu dapat dipakai dan dinikmati sesuai hajat penyewa.
Mengenai kewajiban ini, pihak yang menyewakan wajib melakukan perbaikan atau reparasi dan pemeliharaan barang yang disewakan, apabila waktu perjanjian sewa-menyewa masih berjalan sehingga pihak penyewa
10
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis,
dapat memakai dan menikmati barang yang disewakan sesuai dengan kebutuhanya. Adapun mengenai reparasi yang dilakukan baik oleh pihak yang menyewakan atau pihak penyewa ditentukan dalam pasal 1555 ayat 2 KUH Perdata bahwa reparasi kecil sebagai akibat kerusakan pemakaian normal dibebankan kepada pihak penyewa sedangkan reparasi dan pemeliharaan berat dibebankan kepada pihak yang menyewakan.
Dalam melakukan reparasi dan pemeliharaan oleh pihak yang menyewakan, tidak diperkenankan menggangu ketertiban dan kenyamanan pihak penyewa dalam menikmati barang yang disewa sehingga apabila pelaksanaan reparasi tidak bisa ditangguhkan sampai akhir masa kontrak, maka pihak yang menyewakan bisa melakukan reparasi selama tidak melebihi jangka waktu 40 hari. Namun apabila melebihi jangka waktu 40 hari, maka pihak yang menyewakan harus menggurangi harga sewa sebagai ganti rugi akibat terganggunya pemakaian.
3. Kewajiban memberikan si penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya sewa.
Dalam hal kewajiban ketiga pihak yang menyewakan ini, hakikat
kenikamatan yang tentram ini ditentukan dalam pasal 1552, 1554, 1557 dan 1558 KUH Perdata, antara lain:
1. Pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas adanya cacat barang yang disewakan, apabila cacat tersebut menghalangi pemakaian barang.
barang yang tidak berkualitas. Kemudian sampai manakah batasan gangguan pemakaian barang bisa disebut cacat. Menurut M. Yahya Harahap11, batasan gangguan pemakaian barang dianggap cacat apabila sesuatu tersebut menimbulkan gangguan atas pemakaian seluruh barang. Apabila terganggunya pemakaian hanya sebagian saja maka belum dianggap sebagai cacat yang menghalangi pemakaian. Adapun ukuran yang tepat untuk menilai cacat pada barang yang disewa adalah bertitik tolak pada pemakaian yang normal, dalam artian ditinjau dalam segi pemakaian yang wajar, apakah penyewa benar-benar terganggu. Karenanya, sesuatu baru dianggap cacat yang menghalangi pemakaian barang yang disewa, apabila sesuatu keadaan itu sungguh-sungguh serius menghalangi pemakaian dan penggunaan barang yang disewa.
2. Pihak yang menyewakan tidak diperkenankan merubah bangunan dan susunan barang yang disewa selama masa sewa masih berlangsung.
Dalam permasalahan adanya gangguan dari pihak ketiga, tidak semuanya dibebankan kepada pihak yang menyewakan akan tetapi kita lihat dulu gangguan yang muncul diakibatkan pihak ketiga. Pada dasarnya gangguan pihak ketiga dibedakan menjadi dua, yakni gangguan atas dasar hak (Trouble de droit) dan gangguan atas dasar kenyataan (trouble de fait). Pada gangguan pihak ketiga yang didasarkan pada hak maka sudah sepatutnya pihak yang menyewakan bertanggung jawab atas gangguan tersebut. Beda halnya dengan gangguan pihak ketiga yang bersifat nyata seperti halnya perbuatan melawan hukum (contoh pelemparan atas rumah sewa oleh pihak
11
ketiga), maka pihak penyewa yang menanggung semua gangguan tersebut sehingga bisa langsung menuntut pihak ketiga. Adapun gangguan pihak ketiga didasarkan atas hak diatur dalam pasal 1557 dan 1558 KUHPerdata yang penjelasannya di bawah.
1. Gangguan pihak ketiga yang berupa tuntutan atas hak milik mutlak atas barang yang disewakan. Apabila hal tersebut terjadi, maka penyewa dapat menuntut pengurangan harga sewa secara berimbang asalkan ada pemberitahuan sebelumnya terkait gangguan yang akan terjadi oleh pihak ketiga.
2. Gangguan pihak ketiga yang berupa gugatan atas penyewa untuk mengosongkan barang yang disewa baik sebagian maupun seluruhnya dan gugatan atas penggunaan hak pelarangan barang yang disewa. Maka dalam hal ini pihak penyewa harus memberitahukan kepada pihak yang menyewakan melalui juru sita secara resmi, dan dalam hal ini penyewa dapat meminta jaminan kepada pihak yang menyewakan agar tidak dirugikan.
Kemudian untuk hak penyewa adalah menerima barang yang disewakan dalam keadaan baik. Sedangkan untuk kewajiban pihak penyewa di atur dalam pasal 1560 KUH Perdata disebutkan bahwa si penyewa harus menepati kewajiban utama sebagai berikut:12
1. Untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang bapak-rumah yang baik, artinya kewajiban memakainya seakan-akan barang itu kepunyaan sendiri.
12
Hasanuddin Rahman, Contract Drafting Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis
2. Untuk membayar harga sewa pada waktu yang ditentukan.
3. Penyewa wajib menanggung segala kerusakan yang terjadi selama masa
penyewaan. Kecuali apabila si penyewa bisa membuktikan bahwa kerusakan itu tidak disebabkan karena kesalahannya, tetapi di luar
kesalahannya.
4. Mengembalikan barang yang disewa kepada yang menyewakan pada saat berakhirnya perjanjian sewa.13
Selain kewajiban-kewajiban tersebut diatas, si penyewa juga masih diberikan tanggung jawab. Yang antara lain disebutkan dalam pasal 1564,
pasal 1565, dan pasal 1566 KUH Perdata.
Si penyewa bertanggung jawab untuk segala kerusakan yang diterbitkan pada barang yang di sewa selama waktu sewa, kecuali jika dia
membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi di luar kesalahannya (Pasal 1564). Namun, ia itu tidak bertanggung jawab untuk kebakaran kecuali jika pihak
yang menyewakan membuktikan bahwa kebakaran itu disebabkan kesalahan si penyewa (Pasal 1565).
Si penyewa adalah bertanggung jawab untuk segala kerusakan dan
kerugian yang diterbitkan pada barang yang disewa, oleh kawan-kawannya serumah, atau oleh mereka kepada siapa ia telah mengoperkan sewanya (pasal
1566) .
13
C. Bentuk dan Substansi Perjanjian Sewa-Menyewa
Meskipun sewa-menyewa adalah perjanjian konsensual, namun bentuk
perjanjian sewa-menyewa dalam KUH Perdata dijelaskan dalam pasal 1570 perihal perjanjian tertulis dan dalam pasal 1571 perihal perjanjian tidak tertulis
(lisan) beserta akibat hukumnya. Apabila bentuk perjanjian sewa-menyewa dilakukan dengan tertulis, maka sewa berakhir dengan demi hukum (secara otomatis), apabila waktu yang ditentukan telah habis, tanpa diperlukannya
sesuatu pemberitahuan pemberhentian.14 Namun apabila pihak penyewa tetap menguasai barang yang disewa setelah habisnya masa sewa dan pihak yang
menyewakan membiarkannya tanpa ada perlawanan, maka secara otomatis terjadi sewa baru yang mana akibat-akibatnya diatur dalam pasal-pasal persewaan lisan.15
Sedangkan untuk perjanjian sewa-menyewa tidak tertulis (lisan), maka sewa tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, kecuali pihak yang menyewakan hendak menghentikan sewanya dengan cara pemberitahuan sebelumnya dengan mengindahkan jangka waktu yang diharuskan menurut kebisaaan setempat. Apabila tidak ada pemberitahuan seperti itu sebelumnya dari pihak yang menyewakan, maka persewaan tersebut dianggap telah diperpanjang untuk waktu yang sama.16 Namun apabila pihak penyewa tetap menikmati barang persewaan meski sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari pihak yang menyewakan untuk menghentikan sewanya maka pihak
14
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradya Paramita, 2009), h.385.
15
Pasal 1573 KUH Perdata.
16
penyewa tidak bisa memajukan penyewaan ulang secara diam-diam.17
Dalam bentuk sewa-menyewa bangunan, khususnya dalam praktik
dibuat dalam bentuk tertulis dan isi perjanjian itu telah dirumuskan oleh para pihak, dan atau notaris. Adapun substansi perjanjian sewa menyewa minimal memuat hal-hal sebagai berikut :18
1. Tanggal dibuatnya perjanjian sewa menyewa
2. Subjek hukum, yaitu para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa
menyewa.
3. Objek yang disewakan.
4. Jangka waktu sewa.
5. Besarnya uang sewa.
6. Hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut.
7. Dapat juga ditambahkan mengenai berakhirnya kontrak dan denda.
D. Risiko Atas Musnahnya Barang
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan
resicoleer (ajaran tentang resiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu sesorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek
perjanjian. ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian timbal balik dan perjanjian
17
Pasal 1572 KUH Perdata.
18
[image:36.595.125.514.237.487.2]sepihak.19
Dalam perjanjian sewa-menyewa, barang berada pada pihak penyewa.
Namun persoalanya bagaimana apabila barang sewaan tersebut hancur atau musnah dalam jangka waktu massa perjanjian sewa masih berlangsung yang
tidak disebabkan oleh pihak penyewa. Dalam masalah terdapat ketentuan yang tercantum dalam dalam pasal 1553 KUH Perdata, yang mana musnah atas barang sewaan dibagi menjadi dua macam, yakni musnah secara keseluruhan
dan musnah sebagian dari objek sewa. Adapun ketentuanya adalah:
1. Apabila barang yang disewakan oleh penyewa itu musnah secara
keseluruhan di luar kesalahanya pada masa sewa, perjanjian sewa-menyewa itu gugur demi hukum dan yang menanggung resiko atas musnahnya barang tersebut adalah pihak yang menyewakan. Artinya pihak
yang menyewakan yang akan memperbaiki dan menanggung segala kerugiannya.20Namun menurut Yahya Harahap, resiko kerugian dibagi dua
antara pihak yang menyewakan dan pihak si penyewa. Setelah musnahnya seluruh barang, pihak yang menyewakan tidak diperkenankan lagi menuntut pembayaran uang sewa, begitupun sebaliknya, si penyewa tidak
dapat menuntut ganti rugi maupun penggantian barang. Perlu di catat bahwasanya kemusnahan barang di sini adalah kemusnahan akibat
peristiwa overmacht, atau kejadian tiba-tiba yang tak terhindarkan dan musnahnya bukan karena perbuatan pihak yang menyewakan, si penyewa
19
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.103.
20
bahkan si penyewa pihak ketiga.21
Adapun yang dimaksud musnahnya seluruh barang adalah secara pasti
materi barang tidak dapat lagi ditunjukkan wujudnya. Semisal, hangusnya seluruh rumah yang disewa sehingga wujud materi rumah tidak Nampak
lagi. Bisa juga seperti kapal yang kena bom.
2. Apabila barang yang disewa hanya sebagian yang musnah maka penyewa dapat memilih menurut keadaan, akan meminta pengurangan harga sewa
atau akan meminta pembatalan perjanjian sewa menyewa. Pada dasarnya pihak penyewa dapat menuntut kedua hal ini, namun ia tidak dapat
menuntut pembayaran ganti rugi kepada pihak yang menyewakan.22
Penentuan batas musnahnya seluruh barang dan sebagian barang kadangkala menuai kesulitan dalam penetapan kapan sesuatu kemusnahan
dianggap meliputi seluruh barang atau hanya sebagian saja.
E. Bukti Pembayaran Uang Sewa
Mengenai pembuktian pembayaran uang sewa diatur dalam pasal 1569
BW. Apabila timbul perselisihan mengenai pembayaran uang sewa yang telah disetujui bersama “secara lisan”, dan sewa menyewa telah berlangsung serta
kwitansi pembayaran tidak ada, dalam hal ini hakim sepatutnya melakukan tindakan sebagai berikut:23
1. Harus percaya pada keterangan pihak yang menyewakan, asal keterangan
21
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 234.
22
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h.62.
23
tersebut dibarengi dengan sumpah.
2. Atau hakim menyuruh untuk menaksir besarnya sewa kepada seorang ahli,
jika hal ini diminta oleh si penyewa.
Ketentuan-ketentuan yang dilakukan seorang hakim di atas hanya
berlaku pada perselisihan besarnya sewa yang dilakukan secara lisan serta sewa-menyewa sudah berlangsung sedangkan kwitansi tanda pembayaran tidak ada. Ketentuan tersebut tidak berlaku pada perjanjian sewa yang
dilakukan melalui akta otentik atau akte dibawah tangan. Namun demikian, ketentuan-ketentuan sewa di atas juga tidak serta merta dilakukan secara
otomatis, tentu juga harus melewati prosedur cara-cara pembuktian biasa yang diatur dalam hukum acara perdata. Apabila cara-cara pembuktian biasa tidak mampu menentukan besarnya uang sewa maka cara di atas barulah diterapkan.
Kemudian mengenai sumpah yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan dalam pasal 1569 dan alat bukti sumpah yang diatur dalam
hukum acara perdata di sini terdapat perbedaan. Alat bukti sumpah yang diatur dalam hukum acara perdata baik itu sumpah tambahan (aan Vullend eed) maupun sumpah yang menentukan (decisoir eed) dilakukan atas “pembebanan”. Sumpah tambahan merupakan sumpah yang dibebankan oleh
hakim kepada salah satu pihak yang berperkara bagi pihak yang telah
berperkara kepada lawanya.24
Sedangkan sumpah yang dimaksud dalam pasal 1569 adalah sumpah
yang diucapkan oleh pihak yang menyewakan “bukan atas pembebanan” salah satu pihak. Juga bukan atas perintah hakim seperti pada sumpah
tambahan, akan tetapi yang dilakukan oleh pihak yang menyewakan ini semata-mata “hak yang diberikan undang-undang” kepada pihak yang menyewakan. Hak ini merupakan ekstra kewenangan kepada pihak yang
menyewakan. Apabila pihak yang menyewakan telah mengikrarkan sumpah, maka dengan sendirinya sumpah tersebut mengikat kedua belah pihak. Namun
ada upaya satu-satunya yang dapat dipergunakan oleh pihak penyewa untuk menghalangi pengikraran sumpah pihak yang menyewakan dengan cara mempergunakan hak meminta penentuan besarnya sewa yang diperselisihkan
melalui penaksiran seorang ahli. Apabila hak ini dipergunakan oleh pihak penyewa, maka gugurlah hak pihak yang menyewakan untuk mengucapkan
sumpah. Dan apa yang telah ditentukan seorang ahli penaksir dengan sendirinya akan mengikat kedua belah pihak.25
F. Mempersewakan Lagi (Onderhuur)
Yang dinamakan mempersewakan lagi atau mengulang sewakan ialah, jika si penyewa menyewakan lagi barangnya kepada orang lain, tetapi perjanjian sewa masih dipertahankan sehingga penyewa itu berada dalam hubungan sewa dengan pemilik. Melepaskan sewa ditujukan pada perbuatan
24
M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (Jakarta : Sinar Grafika, 2008), h. 749.
25
menyerahkan barang yang disewa kepada pihak ketiga yang sama sekali menggantikan kedudukan si penyewa, sehingga orang baru itu langsung berhubungan sendiri dengan pemilik.26
Dalam pasal 1559 ayat 1 dijelaskan bahwasanya si penyewa dilarang untuk mempersewakan lagi barang yang disewanya kepada pihak ketiga karena pada dasarnya si penyewa terikat pada larangan untuk tidak mempersewakan lagi kepada orang lain, jika pada persewaan tadi tidak ada persetujuan pihak yang menyewakan maka si penyewa diperbolehkan menyewakan lagi pada pihak ketiga. Jadi inti dari pasal ini adalah diperbolehkanya mempersewakan ulang kepada pihak ketiga apabila secara tegas diperbolehkan dalam persetujuan.
Persetujuan atau perizinan untuk mempersewakan lagi barang yang disewa, harus ditegaskan secara jelas dalam persetujuan sewa-menyewa. Baik hal itu tanpa syarat, bahwa pemberian hak mempersewakan lagi kepada pihak
ketiga harus atas persetujuan tertulis dari pihak yang mempersewakan. Namun demikian, sekalipun ada perizinan untuk mempersewakan lagi kepada pihak
ketiga, tentu persewaan seperti itu tidak boleh melebihi jangka waktu perjanjian sewa semula.27
Kemudian untuk permasalahan tanggung jawab uang sewa kepada
pihak yang menyewakan semula, maka dalam hal mempersewakan lagi barang yang disewa kepada pihak ketiga, si penyewa semulalah yang bertanggung
jawab melaksanakan pelunasan pembayaran sewa kepada pihak yang
26
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta : Intermasa, 2001), h. 93.
27
menyewakan semula.
Apabila dalam persetujuan ditegaskan adanya larangan
mempersewakan lagi, lantas si penyewa melanggar larangan tersebut, maka si penyewa dapat dianggap melakukan perbuatan melanggar hukum atau
wanprestasi yang menimbulkan akibat diantaranya adalah: 1. Sewa-menyewa dapat dipecahkan.
2. Si penyewa dapat dihukum untuk membayar ganti kerugian yang terdiri
dari ongkos, kerugian dan bunga uang.
3. Dengan dipecahkanya perjanjian sewa-menyewa, maka pihak yang
menyewakan semula tidak perlu mengindahkan lagi hubungan antara penyewa semula dengan pihak ketiga dengan alasan bahwa pihak penyewa semula telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang berakibat
antara hubungan si penyewa dan pihak ketiga tidak mengikat pihak yang menyewakan. Kemungkinan yang terjadi pihak ketiga akan menuntut dan
meminta ganti rugi kepada pihak penyewa semula. Atau pelanggaran atas mempersewakan lagi tanpa persetujuan oleh penyewa di anggap tanpa title yang sah sehingga pihak yang menyewakan dapat melakukan tuntutan “revindikasi” serta dapat memaksakan pengosongan kepada pihak ketiga.28
G. Berakhirnya Sewa-menyewa
Secara umum undang-undang memberi beberapa ketentuan tentang
berakhirnya sewa-menyewa. Dan akibat yang paling jauh dari berakhirnya
28
sewa ialah “pengosongan” barang yang disewa.29 Pada dasarnya sewa-menyewa akan berakhir dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Berakhirnya sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.
Apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara tertulis maka berakhirnya
secara otomatis (berakhir demi hukum). Sedangkan apabila perjanjian sewa-menyewa dibuat secara lisan maka berakhirnya tidak berpatok pada waktu yang ditentukan kecuali sudah ada pemberitahuan sebelumnya dari
pihak yang menyewakan untuk menghentikan sewanya. Dalam penghentian sewa-menyewa secara lisan pengakhiran sewa harus memperhatikan jangka waktu “Penghentian” sesuai dengan kebisaaan
setempat. Adapun maksud jangka waktu penghentian di sini adalah batas waktu antara penghentian dan pengakhiran. Seperti contoh, pemberitahuan
dilakukan pada 1 Januari dan harus diakhiri dalam tempo 5 bulan. Sehingga antara 1 januari dengan 30 Juni inilah yang dinamakan jangka
waktu penghentian. Sedangkan tempo berakhirnya sewa-menyewa jatuh pada 1 Juli. Jangka waktu penghentian sewa-menyewa tidak boleh terlalu pendek atau cepat akan tetapi harus memberi jangka waktu yang layak
bagi si penyewa untuk mempersiapkan segala akibat setelah berakhirnya masa sewa.
2. Batas akhir sewa-menyewa tidak ditentukan waktunya.
Penghentian atau berakhirnya waktu sewa dalam perjanjian
menyewa seperti ini didasarkan pada pedoman bahwa berakhirnya
29
menyewa pada saat yang dianggap pantas oleh para pihak. Undang-undang
tidak mengatur berakhirnya perjanjian sewa-menyewa tanpa batas waktu,
sehingga penghentianya diserahkan pada kesepakatan kedua belah pihak.30
3. Berakhirnya sewa-menyewa dengan ketentuan khusus. Dalam hal ini ada
tiga pola, diantaranya:
a. Permohonan / pernyataan dari salah satu pihak penghentian perjanjian
sewa-menyewa hanya dapat dilakukan atas persetujuan dua belah
pihak yaitu pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa.
Penghentian karena kehendak para pihak ini bisa dilakukan tanpa
putusan dari pengadilan. Di atur di dalam pasal 1579 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa pemilik barang tidak dapat menghentikan
sewa dengan mengatakan bahwa ia akan mengunakan sendiri
barangnya, kecuali apabila waktu membentuk perjanjian
sewa-menyewa ini diperbolehkan.
b. Putusan pengadilan.
Penghentian hubungan sewa-menyewa yang dikehendaki oleh salah
satu pihak saja, hanya dapat dilakukan dengan putusan pengadilan
seperti yang diatur dalam pasal 10 ayat (3) PP No. 49 tahun 1963 jo PP
No. 55 tahun 1981.
c. Benda objek sewa-menyewa musnah.
apabila benda sewaan musnah sama sekali bukan karena kesalahan
salah satu pihak, maka perjanjian sewa-menyewa gugur demi hukum.
30
Dengan demikian perjanjian berakhir bukan karena kehendak para
pihak melainkan karena keadaan memaksa (Overmacht).
d. Perjanjian sewa-menyewa tidak bisa berakhir disebabkan
meninggalnya salah satu pihak.
Meninggalnya pihak yang menyewakan atau yang menyewa tidak
dapat menghapus perjanjian sewa-menyewa, karena perjanjian dapat
diteruskan oleh masing-masing ahli waris.31
H. Ganti Rugi
Menurut R. Setiawan kerugian adalah kerugian nyata yang terjadi karena wanprestasi. Adapun besarnya kerugian ditentukan dengan membandingkan keadaan kekayaan setelah wanprestasi dengan keadaan
sebelum terjadi wanprestasi.32
Pengertian kerugian yang hampir sama juga dikemukakan oleh Yahya Harahap. Ganti rugi adalah “kerugian nyata” atau “fietelijke nadeel” yang
ditimbulkan perbuatan wanprestasi.33 Kerugian nyata ini ditentukan oleh suatu perbandingan keadaan yang tidak dilakukan oleh pihak debitur. Lebih lanjut
dibahas oleh Harahap, kalau begitu dapat kita ambil rumusan, besarnya jumlah ganti rugi kira-kira sebesar jumlah yang “wajar” sesuai dengan besarnya nilai
prestasi yang menjadi objek perjanjian dsbanding dengan keadaan yang menyebabkan timbulnya wanprestasi. Atau ada juga yang berpendapat
31
M. Yahya Harap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Penerbit Alumni, 1986), h. 240-241.
32
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan (Bandung : Binacipta, 1977), h. 17.
33
besarnya ganti rugi ialah “sebesar kerugian nyata” yang diderita kreditur yang
menyebabkan timbulnya kekurangan nilai keuntungan yang akan
diperolehnya. Kemudian dikatakan oleh Abdulkadir Muhammad, bahwa dalam pasal 1243-1248 KUHPerdata terdapat pembatasan-pembatasan yang
sifatnya sebagai perlindungan undang-undang terhadap debitur dari perbuatan sewenang-wenang pihak kreditur sebagai akibat wanprestasi.34
Pengertian kerugian yang lebih luas lagi dikemukan oleh Mr. J. H.
Nieuwenhuis yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih, kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan oleh
perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain.35 Maksud pelanggaran norma di sini adalah perbuatan wanprestasi dan perbuatan melanggar hukum.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam dalam pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum merupakan
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang merugikannya. Ganti rugi tersebut timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.36
Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan apabila orang
yang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf). Secara
34
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), h. 41.
35
J. H. Nieuwenhuis, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Penerjemah Djasadin Saragih, (Surabaya : Airlangga University,1985), h. 54.
36
teoritis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur,
diantaranya adalah:37
1. Ada perbuatan melanggar hukum.
2. Ada kerugian.
3. Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum.
4. Ada kesalahan.
Sedangkan ganti rugi karena wansprestasi diatur dalam Buku III KUH
Perdata, yang dimulai dari pasal 1246 KUH Perdata s.d pasal 1252 KUH Perdata. Ganti rugi karena wansprestasi merupakan suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang
telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Misalnya A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 januari 2015. Akan tetapi,
pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, minimal
tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat menuntut kepada A untuk membayar ganti kerugian. Jadi, momentum
timbulnya ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.38
Menurut Purwahid Patrik, ganti kerugian yang dapat dituntut oleh
37
Ahmadi Miru dan Sakka Pati, Hukum PerikatanPenjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW (Jakarta : Rajawali Pers, 2011), h.96-97.
38
kreditur kepada debitur terdiri dari dua unsur :
1. Kerugian yang nyata diderita (damnum emergens) meliputi biaya dan rugi
2. Keutungan yang tidak diperoleh (lucrum cessans) meliputi bunga.39
Di dalam pasal 1249 KUHPerdata ditentukan bahwa penggantian
kerugian yang disebabkan wansprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurispudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Kerugian materiil, yakni suatu kerugian yang diderita kreditur dalam
bentuk uang/kekayaan/benda.
2. Kerugian immaterial, yakni suatu kerugian yang diderita oleh kreditur yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, mukanya pucat, penderitaan
batin, rasa takut