Melawan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Koran Tempo)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.i)
Oleh:
JAFFRY PRABU PRAKOSO
NIM: 109051100064
KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
i
ABSTRAK
Media massa berfungsi sebagai penyebar informasi. Oleh karena itu berita yang disampaikan kepada khalayak umum harus jelas tanpa ada penyimpangan arti. Koran Tempo yang mengikuti kasus ini kurang memberi tahu kepada pembaca dari awal kasus saat Dahlan Iskan mangkir dari pemanggilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan malah mementingkan acara lain.
Setelah menemukan kerugian Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp 37 triliun, DPR memanggil Dahlan Iskan sebagai orang yang pernah memimpin perusahaan tersebut untuk menjelaskannya. Beberapa kali tidak datang, DPR mengancam akan memanggil paksa Dahlan. Perseteruan Dahlan dengan DPR menjadi semakin rumit saat Dahlan melontarkan pernyataan akan membongkar anggota DPR yang suka memeras Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Koran Tempo merupakan salah satu surat kabar yang gencar memberitakan masalah ini.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncul pertanyaan mayor, bagaimana relasi bahasa, kuasa, dan ideologi tokoh yang digunakan Koran Tempo? Dari situ, muncul pertanyaan minor, Bagaimanakah wacana teks, produksi teks, dan praktik sosial budaya pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo? Dan bagaimana penggambaran media massa terhadap pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo?
Metodologi penelitian ini mengunakan paradigma kritis dengan pendekatan kualitatf. Paradigma kritis melihat bahasa sebagai alat untuk memahami realitas objektif yang tersembunyi melalui wacana. Metode penelitiannya menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Fairclough melakukan analisis berdasarkan tiga dimensi, yaitu analisis teks, analisis produksi dan konsumsi teks, dan analisis sosial budaya. (Norman Fairclough, 1995; 98).
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekonomi politik Vincent Mosco dengan konsep spasialisasi, komodifikasi, dan strukturasi. (Vincent Mosco, 1996; 138). Hal tersebut bermaksud agar mengetahui ideologi yang digunakan Koran Tempo dalam memberitakan perseteruan Dahlan Iskan dengan anggota DPR.
Menganalisis kasus permasalahan Dahlan Iskan dengan anggota DPR di
Koran Tempo, pada akhirnya menunjukkan keberpihakan media pada suatu isu. Keberpihakan ini bisa dilihat dari sisi berita yang ditulis wartawam, saat rapat redaksi, dan juga kondisi sosial budaya yang ada.
Dengan meneliti kasus ini, terlihat adanya kedekatan Koran Tempo dengan Dahlan Iskan. Publik akhirnya dibuat percaya dengan tindakan Dahlan Iskan meski membuat PLN rugi hingga Rp 37 triliun merupakan tindakan yang tepat dan DPR tetap menjadi orang jahat dilihat dari berita yang terbit.
ii
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada ALLAH SWT Tuhan
semesta alam, atas limpahan karunia dan rida-Nya yang tidak pernah putus
memberikan nikmat dan berkah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita
curahkan kepada Rasulullah SAW yang membawa umatnya dari jalan yang gelap
menuju jalan yang terang.
Setelah berjuang beberapa bulan mengerjakan penelitian ini, peneliti tidak
lupa pula mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu
menyelesaikan dalam penyusunan penelitian ini. Orang-orang tersebut yaitu:
1. Orangtua tercinta, Jawaher dan Ferry Agung Budi Prakoso yang selalu
percaya bahwa anaknya pasti akan menyelesaikan pendidikannya walaupun
terkadang suka cemas menanyakan kapan akan lulus.
2. Rubiyanah yang menjadi Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Pembimbing
Akademik, Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Nyata, dan juga teman cerita
peneliti.
3. Ade Rina Farida selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu
mendukung dan memberi banyak kemudahan dalam menyelesaikan kuliah.
4. Dosen Pembimbing, Fita Fathurrokhmah yang telah banyak membimbing dan
sabar menghadapi peneliti selama menyusun penelitian.
5. Adik tersayang, Arsy Rara Yudhistira yang menjadi teman berantem peneliti
iii
pengetahuan dasar-dasar Islam yang didapat dibangku kuliah.
7. LPM INSTITUT wadah peneliti mengeksplorasi ilmu jurnalistik yang didapat
selama kuliah. Untuk teman-teman seperjuangan di INSTITUT Muhammad
Umar, Makhruzi Rahman, Kiki Achmad Rizqi, Rahmat Kamaruddin, Aditia
Purnomo, Ema Fitriyani, Aam Mariyamah, Aditya Widya Putri, Aprilia
Hariani, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Trisna Wulandari dan juga untuk
senior dan junior yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
8. Koran Tempo yang dengan senang hati menjadi subjek peneliti dan Yogi
karena sudah mau membantu walaupun kerjaannya sebagai sekertaris redaksi
terganggu.
9. Keluarga besar Karate UIN Jakarta.
10.Teman-teman diskusi, bercanda, dan segalanya di Konsentrasi Jurnalistik B
2009 (Ilham Adiansyah, Hilman Fauzi, Ali Mansur, Khaerunuzulla, Sigit
Lincah Hadmadi, Dewi Febrianti, M Fikri Halim, Bobby Alexander,
Abdurrachman, Satria Loka, Angga Bima, Yusuf Gandang P, Abdul Aziz,
Putri Nurazizah, Mekar Ayu L, Putri Buana T D, Devit Rubianto, Samsul
Arifin, Arintika, Fauziah Mursid, Adjri Septiani, Hilda Savitri, Ima
Rahmawati, Dewi Rifqina, Turi Miasih, Andini Apriliana, Marisha Arianti A,
Devi Cahyo P, Nur Fitriyani, Hafsa Tia A, Lindawati, Puti Hasanatu S), juga
yang sudah gugur (Rian, Opang, Riski “cimeng”, Lulu, Akmal, Degam), dan
iv
12.Kerabat Kerja Boomart (Ilham, Hilman, Sigit, Ali, Jauhari, Nunu) meski hingga sekarang proyeknya belum kunjung tembus.
13.Personil Kuliah Kerja Nyata Amoral (Adiansyah, Fauzi, Dwi Cahyo N, Azis,
M Imam Baihaqi, Hasan al Kaslan, Ibnu Affan, Iswahyudi, Arif Priyadi dan
para wanitanya yang tidak akan peneliti sebutkan.
14.Teman jalan-jalan santai bareng, Ilham, Hilman, Ali, Bima, Ima, Turi, Putri,
Dewi yang sudah mau diajak ngegembel bareng.
15. Teman satu kosan, Bubung, Didin, Oji, Polem, Ali, Nunu, Adiansyah
walaupun peneliti cuma numpang
16.Para penemu barang-barang elektronik yang bersusah payah menciptakan
penemuan penting.
Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terimakasih dan semoga
Allah SWT membalas kebaikan mereka. Peneliti mohon maaf apabila masih ada
kesalahan dan kekurangan dalam penelitian karya ilmiah ini. Peneliti hanya
makhluk biasa yang selalu salah dan mencoba untuk melakukan yang terbaik.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca, Aamiin.
Jakarta, 28 Desember 2013
v
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
1. Manfaat Teoritis ... 6
2. Manfaat Praktis ... 6
E. Metodologi Penelitian ... 6
1. Paradigma Penelitian ... 6
2. Pendekatan Penelitian... 7
3. Metode Penelitian ... 7
4. Teknik Pengumpulan Data ... 8
5. Teknik Analisis Data ... 9
6. Subjek dan Objek Penelitian ... 10
7. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10
F. Tinjauan Pustaka ... 11
G. Sistematika Penelitian ... 12
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Landasan Teori ... 14
1. Ekonomi Politik Vincent Mosco ... 14
2. Analisi Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 18
3. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) Norman Fairclough ... 25
B. Kerangka Konsep ... 31
BAB III PROFIL DAN GAMBARAN UMUM A. Sejarah Perkembangan Tempo ... 35
B. Profil Dahlan Iskan ... 38
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough isu korupsi Dahlan Iskan melawan anggota DPR. ... 42
1. Analisis level teks ... 42
vi
1. Komodifikasi ... 81 2. Spasialisasi ... 84 3. Strukturasi ... 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 95
vii
Tabel 1 Analisis framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 23
[image:11.595.102.499.221.616.2]Tabel 2 Analisis Wacana Kritis metode Norman Fairclough ... 27
viii
1. Halaman muka Koran Tempo dengan judul Ungkap Pemalak BUMN; Dahlan Percaya Diri ke DPR ... 47
2. Gambar ilustrasi berita Pemborosan di PLN; Pemerintah Menilai
Keputusan Dahlan Tepat ... 57
ix
Lampiran 1 Surat Keterangan Permohonan Penelitian/ Wawancara Lampiran 2 Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 3 Wawancara Pribadi dengan Redaktur Pelaksana Koran Tempo
Lampiran 4 Dokumentasi peneliti dengan Redaktur Pelaksana Koran Tempo
1
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, media massa yang terdiri atas media cetak, elektronik dan
media siber memiliki fungsi yang sama, yaitu menyiarkan informasi.1 Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya menyediakan kolom atau rubrik
untuk berita meski dengan kapasitasnya masing-masing. Ini merupakan
perwujudan dari institusi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Berita dalam
penerbitan pers dapat berasal dari masyarakat luas. Wartawan yang meliput dan
menuliskannya maupun manajemen redaksi, kemudian mengkonstruksi
berita-berita tersebut.2
Kraus dan Davis mengelompokkan cara media mengkonstruksikan realitas
politik ke dalam lima (5) cara, yaitu: pencitraan, pembuatan realitas komunikasi,
penganugerahan status, pembuatan peristiwa buatan, dan agenda setting. Menurut
mereka, kelima cara ini bukan berpengaruh terhadap citra para aktor politik saja
tapi juga mempengaruhi perilaku politik para aktor dan khalayak. 3
Pendapat Kraus dan Davis hampir sama dengan Walter Lippmann. Dengan
dalilnya yang terkenal, “World outside and pictures in your heads”, Lippmann sebetulnya sudah sejak lama menyadari fungsi media sebagai pembentuk
gambaran realitas yang sangat berpengaruh terhadap khalayak. Fungsi media,
menurutnya sebagai pembentuk makna. Interpretasi media massa terhadap
1
Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos, 1999), h. 3.
2
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda 2004), h. 67.
3
Sidney Kraus dan Dennis Davis, The Effects of Mass Communication on Political Behavior
berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu
realitas dan pola tindakan mereka.4
Media massa tidak hidup dalam situasi yang vakum. Segala yang
ditampilkan dalam media ditentukan oleh banyak faktor baik eksternal maupun
internal. Dalam banyak kasus seperti di Indonesia, sistem politik merupakan
faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam pemberitaan yang diterbitkan
dalam sebuah penerbitan. Sistem politik yang diterapkan oleh sebuah negara juga
ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu. Pada kasus seperti itu,
umumnya terjadi pada sistem pemerintahan yang otoriter seperti pada jaman
Soeharto.
Faktor internal yang mempengaruhi sebuah media adalah faktor
kepemilikan. Pemilik media bisa saja mengubah atau menentukan kasus yang
akan disuguhkan kepada publik. Hal ini akan menjadi sangat berbahaya jika sang
pemilik terjun ke dunia politik. Besar kemungkinan pemberitaan yang ada di
medianya akan memberikan porsi besar dan mengikuti perkembangan si pemilik
tersebut.
Efek kekuasaan terhadap media massa yang terlalu kuat tidak hanya
membungkam kontrol sosial media massa sebagai institusi budaya, tetapi juga
memiliki efek terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Sejatinya,
fungsi kontrol media massa tidak dapat dibungkam oleh kekuasaan.
Media massa harus tetap diberi ruang gerak yang cukup untuk melakukan
kontrol sosial atau kritik terhadap korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai
penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Kuat atau
4
lemahnya fungsi sosial kontrol pers sangat ditentukan oleh konsep sistem politik
kekuasaan serta pola hubungan negara dan masyarakat.
Media massa sebagai sebuah bagian dari ruang publik yang di dalamnya
terdapat bahasa dan simbol-simbol diproduksi kemudian disebarluaskan tidak
dilihat oleh Gramsci sebagai sebuah alat hegemoni yang bersifat pasif semata.
Media massa bersama media massa tandingan membentuk sebuah ruang tempat
berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan
penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Di
dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tantangannya oleh berbagai
hegemoni tandingan lainnya. 5
Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, kekuatan bahasa, dan
kekuatan simbol memiliki peran yang sangat penting dalam prinsip hegemonik.
Jelas bahwa hiperrealitas media di sini menemukan bentuk baru. Hiperrealitas
media dalam wacana media merupakan sebuah distorsi bahasa dan tanda serta
nilai-niai yang diproduksi. Distorsi tersebut adalah kepentingan hegemoni dan
ideologi, kepentingan politik, maupun ekonomi yang mampu menguasai media
melalui hegemoni.6
Kepentingan-kepentingan bisa dilihat pada kasus Dahlan Iskan melawan
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2012. Isu ini menjadi topik yang
hangat pada bulan Oktober hingga November 2012. Koran Tempo merupakan salah satu dari media nasional yang intens memberitakan masalah ini. Padahal jika
dilihat ke belakang, permulaan kasus ini ketika anggota DPR mendapati
Perusahaan Listrik Negara (PLN) rugi hingga mencapai Rp 31 triliun. Lalu
5
Ade Mulya, Transformasi Usaha Industri Media Massa (Jakarta: LIPI, 2006), h. 9.
6 Ade,
anggota DPR meminta orang tertinggi saat itu, Dahlan agar menjelaskan kenapa
perusahaan milik negara itu dapat defisit.
Akan tetapi panggilan anggota DPR tidak digubris Dahlan Iskan. Dia
malah lebih mementingkan acara pertemuan lain di luar kota dengan alasan yang
beragam. Anggota DPR pun geram dengan tindakan Dahlan. Hingga panggilan
kedua Dahlan juga tidak menghadiri panggilan anggota DPR. Akhirnya mereka
mengancam akan memanggil paksa Dahlan Iskan terkait kerugian PLN.
Dahlan Iskan pun balik mengancam akan membongkar pemerasan yang
suka dilakukan anggota DPR terhadap BUMN. Dari sinilah mulai pertikaian
antara Dahlan Iskan dengan DPR RI. Koran Tempo memandang konflik tersebut layak dijadikan berita dan mulai memberikan porsi lebih terhadap kasus ini hingga
menjadikannya sebagai headline dan berita utama.
Kasus ini menjadi menarik ketika Koran Tempo tidak sekali pun membahas tentang kerugian PLN. Koran Tempo malah seakan-akan membuat Dahlan Iskan sebagai pahlawan dengan membongkar skandal korupsi itu. Jika
membahas masalah PLN, Koran Tempo masih memberikan persepsi kepada publik bahwa Dahlan Iskan orang yang tidak bersalah.
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka peneliti
tertarik meneliti dengan judul, “RELASI BAHASA, KUASA, DAN IDEOLOGI TOKOH DI MEDIA; Analisis Wacana Kritis Isu Korupsi dalam Pemberitaan Dahlan Iskan Melawan Anggota DPR di Koran Tempo.”
B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah
Pada awal pemanggilan anggota DPR kepada Dahlan Iskan terkait
nasional yang memberitakan masalah ini. Akan tetapi Koran Tempo sama sekali tidak membahas pemanggilan tersebut, bahkan Koran Tempo lebih sering memberitakan perseteruan Dahlan Iskan dengan anggota DPR saat Dahlan
melontarkan pernyataan akan memberi tahu pada publik tentang pemerasan yang
dilakukan oleh anggota DPR. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik meneliti
pemberitaan antara Dahlan Iskan dengan Anggota DPR
Agar batasan masalah penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka
permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap Analisis Wacana Kritis yang akan
dianalisis adalah pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo dari 30 Oktober hingga 14 November 2012.
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimanakah teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya diwacanakan
pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo? 2. Bagaimanakah relasi bahasa, kuasa dan ideologi media terhadap pemberitaan
Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini
memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya diwacanakan pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di
Koran Tempo.
2. Untuk mengetahui relasi bahasa, kuasa, dan ideologi media terhadap
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi
perkembangan wacana yang dilakukan oleh media massa tentang gejala sosial
yang terjadi di sekitar kita. Peristiwa yang luput dari perhatian dan hilang begitu
saja dari pemberitaan yang sebenarnya merupakan salah satu praktik wacana yang
dilakukan media massa.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi praktisi
media massa seperti wartawan, mahasiswa Jurnalistik dan kepada pembaca pada
umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.
E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian
Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken
menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang mengarahkan cara
berpikir dalam penelitian.7 Ini memiliki arti bahwa paradigma merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan
penelitian baik itu sebelum maupun sesudah penelitian. Paradigma ini dilakukan
supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara berpikir penelitiannya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma kritis. Paradigma
kritis memperbaiki paradigma konstruktivisme. Pandangan ini, tidak hanya
melihat bahasa sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan untuk
melihat maksud-maksud dari wacana tertentu. Paradigma kritis jauh lebih meneliti
7
aspek sosial, sejarah, dan budaya dari wacana tersebut.8 Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui lebih jauh realitas di balik wacana
sesungguhnya yang dibentuk Koran Tempo dalam isu korupsi kasus Dahlan melawan anggota DPR.
2. Pendekatan Penelitian
Untuk meneliti sebuah masalah, selalu membutuhkan pendekatan dengan
tujuan menggapai suatu penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan
kualitatif eksploratif. Penelitian kualitatif sering disebut berlawanan dengan
kuantitatif. Hal tersebut dikarenakan penelitian kualitatif memberikan
pemahaman-pemahaman dari apa yang telah ditelah ditemukan di lapangan.
Berbeda dengan kuantitatif yang hanya memberikan penjelasan dari hasil temuan
lapangan.
Maksud eksploratif adalah mencari tahu lebih mendalam tentang suatu
kasus. Dari penemuan itu dapat dijadikan suatu hipotesis. Pendekatan ini biasanya
membahas keunikan dari kasus tertentu yang secara khusus memiliki arti sangat
penting.9
Penelitian kualitatif eksploratif ini digabung dengan Analisis Wacana
Kritis metode Norman Fairclough. Fairclough membagi Analisis Wacana Kritis
menjadi tiga sisi, yaitu teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya.
3. Metode Penelitian
Setiap karya ilmiah membutuhkan pembahasan dalam menggunakan
metode untuk menganalisis dan membongkar suatu masalah. Metode itu sendiri
8
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS,Cet VII Februari 2009), h. 5-6.
9
berfungsi sebagai landasan menggabungkan suatu masalah, sehingga suatu
masalah dapat diuraikan dan dijelaskan secara jelas dan dapat dipahami.
Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong mendefinisikan
metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.10
Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan
Norman Fairclough. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada teks dalam berita
yang tercipta berdasarkan proses pada saat ruang produksi, dan penjelasan
hubungan antara proses yang tidak sama dan proses sosial.11
Melalui Analisis Wacana Kritis, kita tidak hanya mengetahui bagaimana
isi teks berita, tapi juga pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat, metafora
macam apa suatu berita disampaikan.12
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara sesuai
dengan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, yaitu:
1) Observasi teks. Cara ini dilakukan dengan mengumpulkan setiap berita
pada Koran Tempo mengenai kasus Dahlan Iskan melawan anggota DPR. Hasil analisis dari berbagai kasus yang ada dalam pemberitaan tersebut,
fokus berita yang diambil untuk diteliti dari 30 Oktober hingga 14
November 2012. Level teks ini mengungkapkan makna yang dilakukan
dengan menganalisis bahasa secara kritis.
10
Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3.
11
Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language (New York: Longman Group Limited, 1995), h. 97.
12 Alex Sobur,
2) Wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan sebagai metode pengumpulan
data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
narasumbernya.13
Wawancara mendalam dinilai sebagai sebuah kolaborasi antara
pewawancara dan partisipan. Para peneliti memilih wawancara mendalam
karena tertarik terhadap arah yang ingin ditentukan oleh rapat redaksi
dalam wawancara. Wawancara mendalam dapat dilakukan melalui
internet. Tapi teknik ini masih sangat baru dan banyak orang masih
menyukai wawancara langsung.14 Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada orang yang berkepentingan dalam penelitian, yaitu Redaktur
Pelaksana Koran Tempo.
3) Analisis praktik sosial budaya. Teknik ini dilakukan dengan mencari data
berupa arsip, tulisan, dan mengutip pernyataan ahli-ahli yang relevan
dengan judul penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis sesuai dengan metode
Analisis Wacana Kritis yang dikemukakan oleh Norman Fairclough. Fairclough
menganalisis wacana menjadi tiga dimensi: analisis teks, praktik wacana, dan analisis sosial budaya.
a) Analisis teks, Fairclough juga meneliti apakah kalimat yang ada memiliki
kesinambungan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya dan kalimat
antarkata tersebut memiliki sebuah pengertian yang dapat dipahami.
13
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35.
14
Richard West dan Lynn H Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Edisi 3 Analisis dan
Kalimat-kalimat yang ada akan dianalisis menggunakan teori analisis
framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
b) Praktik wacana merupakan proses di mana sebuah teks berita itu
dihasilkan. Analisis pada level ini yaitu dengan memahami wawancara
mendalam pada awak redaksi. Kemudian mengamati proses produksi dan
konsumsi teks dengan menggunakan perspektif ekonomi politik Vincent
Mosco.
c) Analisis sosial budaya. Peneliti melakukan analisis praktik wacana sosial budaya dengan asumsi konteks sosial budaya yang ikut serta memengaruhi
wacana yang menarik bagi media, misalnya ideologi dan kepentingan yang
dominan di masyarakat.
6. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian dilakukan kepada Koran Tempo yang bertempat di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan objek penelitiannya adalah pemberitaan
Dahlan Iskan melawan anggota DPR dari tanggal 30 Oktober hingga 14
November 2012.
7. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini penulis lakukan sejak bulan Februari atau sejak dimulainya
proposal dilakukan hingga Desember 2013 atau sampai penelitian ini diselesaikan.
Tempat penelitian dilakukan di kantor Koran Tempo dengan meminta data dan wawancara kepada orang yang memiliki wewenang terhadap pemberitaan Dahlan
Iskan melawan DPR terbit. Perpustakaan di Jakarta dan sekitarnya pun menjadi
F. Tinjauan Pustaka
Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang
diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sebelum menyusun skripsi lebih lanjut, maka peneliti terlebih dahulu
menelusuri penelitian dan skripsi-skripsi yang sudah dilakukan di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
perpustakaan dari Universitas lain. Maksudnya agar penelitian yang akan
dilakukan tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya dan ada pemetaan
perkembangan terhadap penelitian. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut
ialah:
1. Skripsi karya Tia Agnes Astuti (106051101943), Mahasiswi Konsentrasi
Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN
Jakarta Angkatan 2006 dengan judul “Analisis Wacana van Dijk terhadap
Berita Sebuah Kegilaan di Sampang Kraft di Majalah Pantau.” Perbedaan skripsi ini terletak pada subjek, objek, dan metode penelitiannya. Skripsi Tia
meneliti tentang kekerasan di Aceh di Majalah Pantau. Skripsi Tia menggunakan metode analisis wacana van Dijk
2. Skripsi karya Randy Ferdi Firdaus (207612140), Mahasiswa Program Studi
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta dengan judul “Analisis Wacana
Edisi April 2011.” Perbedaannya terletak pada subjek dan objek yang diteliti.
Randy meneliti tentang Pemberitaan NII di Harian Umum Republika.
3. Skripsi karya Apristia Krisna Dewi (108051100058), mahasiswi Konsentrasi
Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN
Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.” Metode yang digunakan Apristia sama dengan karya Tia. Mereka menggunakan analisis wacana van Dijk.
G. Sistematika Penulisan
Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab
terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Bab pertama
membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui landasan awal kenapa
peneliti ingin meneliti kasus perseteruan antara Dahlan Iskan dengan anggota
DPR. Bab ini menjadi landasan awal untuk mengetahui arah peneliti menganalisis
kasus tersebut.
Untuk memahami lebih dalam objek yang diteliti, dibutuhkan sebuah teori.
Teori tersebut digunakan agar proses penelitian tak keluar dari jalur. Oleh karena
itu, bab kedua memaparkan kerangka teori dan konseptual. Kerangka teori
membahas Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan Norman Fairclough.
Teori analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dan
ekonomi politik yang dikembangkan Vincent Mosco digunakan untuk
penggunaan bahasa sebagai kekuatan sebuah media dan juga sedikit pemahaman
tentang media massa dan berita.
Koran Tempo merupakan subjek yang diteliti. Itu sebabnya Bab III membahas tentang gambaran umum beserta susunan redaksi Koran Tempo. Bab ini juga mengulas sejarah Dahlan Iskan hingga dia menjadi menteri Badan Usaha
Milik Negara.
Pembahasan bab pertama hingga bab ketiga melahirkan analisis tentang
kasus Dahlan Iskan melawan anggota DPR. Analisis tersebut ditulis pada bab
keempat.
Pada akhirnya anlisis yang ditulis di bab empat menghasilkan sebuah
kesimpulan dari peneliti. Kesimpulan tersebut ada pada bab kelima dan tidak lupa
14
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Landasan Teori
1. Ekonomi Politik Vincent Mosco
Media massa diyakini bukan sekadar medium lalu lintas pesan antara
unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat
pendudukan dan pemaksaan oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik
memiliki pengaruh dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui
produk-produk yang disajikan, media merupakan perangkat ideologis yang
melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan
semata-mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk
memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar.1
Pada akhirnya, media massa mencapai puncak perkembangan sebagai
lembaga kunci pada masyarakat modern. Media massa mampu merepresentasikan
diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial,
politik, dan budaya baik di tingkat lokal maupun global. Media juga memberikan
medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu menghasilkan penjualan
produk barang dan jasa. Media massa menghasilkan surplus ekonomi dengan
menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun,
hampir selalu terlambat didasari bahwa media massa di sisi lain juga
1
menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak
hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi
ideologinya. Oleh karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan
pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi, melainkan
juga pendekatan politik.2
Peran media dalam struktur ekonomi dan politik yang berlaku di suatu
negara yang harus diperhatikan adalah dalam sistem industri kapitalis. Media
massa harus diberi fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi
produksi dan distribusi yang lain. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level
kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi,
perfilman, dan periklanan memiliki hubungan yang saling menentukan dengan
kondisi-kondisi ekonomi dan politik spesifik yang berkembang di suatu negara,
serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik global.3
Kepentingan pemilik modal seperti ini menyebabkan ketimpangan dalam
pasar sehingga menyebabkan kompetisi yang tidak sehat. Permasalahan seperti ini
membuat pasar bebas tidak pernah sepenuhnya terwujud. Kecenderungan atas
terpusatnya kepemilikan serta kekuasaan menyebabkan dominasi dan monopoli
pada pasar ekonomi. Proses ini terjadi melalui merger sebuah perusahaan
sehingga membuka jalan bagi berkembangnya fenomena konglomerasi.
Media harus diletakkan dalam sistem yang lebih luas sebagai bagian
integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung dalam
2
Peter Golding dan Graham Murdock, The Political Economy of the Media (Northamton: Edward Edgar Publishing Limited, 1997), h. 4.
3 Dedy N. Hidayat,
Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial (Jakarta: PT
kehidupan masyarakat. Isi teks pada media beserta tindakan jurnalis dalam
memproduksi misalnya, dipandang tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial
memproduksi dan mengonsumsi teks. Kemudian dari situ naik pada jenjang
organisasi, industri, dan masyarakat.
Interaksi antara pers dengan berbagai kelompok sosial yang muncul dalam
proses memproduksi dan mengkonsumsi produk media harus dipahami sebagai
proses yang berlangsung dalam struktur politik yang otoriter atau struktur
ekonomi kapitalis yang sangat dipengaruhi oleh situasi-situasi global.
Salah satu fokus dari studi ekonomi politik adalah melihat peran media
dalam membangun masyarakat kapitalis yang ternyata penuh distorsi. Masyarakat
yang tak memiliki pengaruh besar dan kelompok-kelompok marjinal tidak
memiliki banyak pilihan selain menerima atau mungkin mendukung sistem yang
telah dibuat oleh mereka yang masuk pada kelompok dominan.
Pendekatan parameter yang dilakukan Vincent Mosco pada ekonomi
politik komunikasi membagi menjadi tiga (3) aspek, yaitu komodifikasi,
spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi merupakan perubahan bentuk nilai
guna menjadi nilai tukar.4
Nilai guna yang bisa menghasilkan nilai tukar ini berasalah dari
pemanfaatan tenaga-tenaga buruh yang para kapitalis miliki. Sumber daya alam
yang ada pun tidak juga luput dari incaran pemilik modal ini. Oleh karena itu,
komodifikasi dapat diasumsikan memanfaatkan khalayak untuk dijadikan
pendapat yang besar bagi suatu media. Komodifikasi hampir sama dengan istilah
4 Vincent Mosco,
The Political of Communication (London: SAGE Publication Ltd,
komersialisasi, karena fungsi dan tujuaannya yang memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya.
Komodifikasi merupakan pintu masuk dari ekonomi politik komunikasi.
Dari situ, kemudian ke tahap selanjutnya yang disebut spasialisasi. Spasialisasi
dapat dikatakan penanggulangan atas ketidakleluasaan ruang dan waktu dalam
kehidupan sosial. Proses ini meliputi ruang dalam media massa yang dapat
menembus wilayah manapun tanpa terhambat waktu.5
Spasialisasi menyebabkan monopoli dalam media massa. Isu yang
dikembangkan pada suatu media, tidak luput dari keinginan sang pemilik modal
demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Pembatasan seperti ini menyebabkan
integritas dari media tersebut dipertanyakan. Apakah media itu memberikan berita
kepada khalayak karena ingin mencerdaskan bangsa atau karena ada kepentingan
tertentu.
Hal ini bisa lebih parah jika pemilik media terjun dalam dunia politik.
Dapat dikatakan jika pemilik tersebut melakukan hal demikian, dia akan
memanfaatkan kedudukannya untuk memanfaatkan ruang yang ada dalam media
agar mencitrakan kebaikannya kepada masyarakat. Masyarakat yang tidak bisa
memilah pesan dari suatu media akan terpengaruh dengan pemanfaatan ruang dan
waktu yang dimiliki pemilik media itu.
Konsep terakhir yang dikemukakan Vincent Mosco adalah strukturasi.
Strukturasi berkaitan dengan hubungan ide antaragen masyarakat, proses sosial
dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai
5
proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial. Para agen
ini kemudian menjadi bagian dari struktur dan bertindak melayani bagian yang
lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses
kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang
masing-masing berhubungan satu sama lain.6
Strukturasi merupakan sebuah medote paling menyolok yang
dikembangkan Anthony Giddens. Adanya metode ini karena Anthony merasa
adanya jurang antara teori jarak struktural yang ditemukan Durkheim,
Levi-Strauss, dan Althusser dan tindakan perspektif teoritis yang berbeda jaman dari
pandangan sosiolog seperti Max Weber dan pandangan Schutz dan Gadamer.7
2. Analisi Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki
Secara umum, studi komunikasi yang ada di Indonesia, mengambil tiga
paradigma, yaitu paradigma positivis, konstruktivis, dan kritis. Paradigma
positivis beranggapan bahwa media itu netral. Tidak ada kepentingan apapun dari
sebuah media dalam menyampaikan berita, karena media massa adalah sebagai
penyambung antara peristiwa kepada masyarakat.
Berbeda dengan pandangan positivis, penganut paham konstruktivis
menentang kaum positivis. Paradigma konstruktivis menganggap media tidak
netral. Alasannya, tidak semua realitas sosial dapat disampaikan media. Dari
realitas itu, media memiliki sudut pandang sendiri atas apa yang dilihatnya,
sehingga muncul kepada khalayak.
6 Mosco,
The Political of Communication, h. 215-216.
7
Merasa kurang sempurna, paradigma kritis memperbaiki pandangan
konstruktivis. Paradigma kritis juga mengakui bahwa media itu tidak netral.
Menurut paham kritis, selain media punya sudut pandangnya sendiri mengenai
sebuah peristiwa, media juga memiliki kepentingan terhadap apa yang
disampaikan. Kepentingan itu dapat berupa ekonomi maupun politik.
Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan proses
kerja kognitif individu di mana terjadi hubungan sosial antara individu dengan
orang lain atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas. Realitas
tersebut kemudian dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki
sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini
sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau kognitif
yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi
lingkungan sekitarnya.8
Berdasarkan pernyataan tersebut, setiap orang memiliki pandangannya
sendiri mengenai peristiwa yang dilihatnya. Jika orang pertama melihat banjir
sebagai bencana alam dan sudah diatur oleh Tuhan dan orang kedua memandang
bahwa banjir bisa dicegah karena itu merupakan ulah manusia, pendapat keduanya
benar.
Mungkin saja orang yang menganggap bencana alam itu merupakan orang
yang agamis sudah terpengaruh oleh ajaran agama kemudian menyerahkan
segalanya pada Tuhan dan orang kedua memiliki pemikiran yang lebih terbuka
sehingga memiliki pola pikir lebih jauh mengenai peristiwa banjir.
8 Paul Suparno,
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Pustaka Filsafat, 2007), h.
Realitas ada karena hasil interpretasi dari masing-masing individu melihat
suatu peristiwa. Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi suatu hubungan
sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu
sebagai sesuatu yang penuh arti.9
Margaret M. Poloma mengutip pendapat Berger dan Luckmann memiliki
gagasan yang bertumpu pada makna realitas dan pengetahuan. Kenyataan
merupakan suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki
keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Pengetahuan adalah
kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.10
Konstruksi realitas yang dihasilkan individu tersebut menjadi sebuah
realitas sosial. Proses ini terjadi atas pengaruh eksternalisasi, objektivasi, dan
internalisasi. Realitas sosial berawal dari pengaruh kuat dari satu individu kepada
orang lain. Orang yang terpengaruh oleh kenyataan ini, lalu meyakininya menjadi
sebuah kebenaran. Kebenaran oleh banyak orang ini kemudian menjadi realitas
sosial yang diyakini masyarakat pada daerah tersebut.
Burhan Bungin mengambil pendapat Berger dan Luckman dengan
mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri individu terhadap
dunia sosiokulturalnya.11 Eksternalisasi masuk ke dalam kognisi setiap individu
9
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 59.
10
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 1.
11
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas
secara aktif maupun pasif. Proses yang terjadi secara terus-menerus menjadi
kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pengetahuan bersama.
Pengetahuan bersama ini bersifat subyektif yang kemudian terjadi
berulang-ulang lalu mengendap sehingga menjadi akumulasi terhabitualisasi.
Habitualisasi membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan
kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang
objektif melalui proses eksternalisasi.12
Proses objektivasi pada tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi
dan kedua merupakan legitimasi.13 Institusi merupakan buah pikiran manusia kepada kehidupannya yang mengalir secara absurd. Ketidakjelasan ini diartikan
sebagai kekacauan karena terbatasnya makna yang dimiliki masing-masing
individu.
Institusi yang diwariskan ke setiap individu tidak bersifat statis atau tanpa
perubahan. Hal ini karena sifat manusia yang ingin tahu yang kemudian
mempertanyakan warisan itu. Pertanyaan itu membutuhkan legitimasi yang
merupakan tahap objektivasi tahap kedua. Legitimasi meletakkan penjelasan
berdasarkan pembuktian logis atas relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut.14
Internalisasi ada atas ciptaan individu itu sendiri yang manafsirkan realitas
objektif secara subjektif. Penafsiran tersebut disebar dalam bentuk sosialisasi
kepada orang sekitar. Tahap sosialisasi dapat berlangsung secara primer ataupun
sekunder.
12
Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302.
13
Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), h. 117.
14
Sosialisasi primer berlangsung pada masa anak-anak dengan hubungan
emosional sangat tinggi yang tidak hanya menimbulkan proses belajar mengenal
lingkungan secara kognitif saja. Sedangkan sosialisasi sekunder memurut Berger
dan Luckmann dikatakan bahwa tanpa mempertimbangkan dimensi lainnya.
Sosialisasi sekunder dapat dikatakan sebagai proses memperoleh pengetahuan
khusus sesuai dengan perannya di mana peran-peran secara langsung atau tidak
langsung berakar dalam pembagian kerja.15
Pada proses konstruksi dalam sebuah media, ada penelitian yang disebut
analisis framing. Analisis framing merupakan penonjolan sebuah peristiwa yang
dilihat oleh seorang wartawan yang berkerja pada media massa. Salah satu orang
yang mendalami analisis framming adalah Zhongdang Pan dan Gerald M.
Kosicki.
Eriyanto mengutip pernyataan Pan dan Kosicki bahwa ada dua konsepsi
framming yang saling berkaitan, yaitu konsepsi psikologi dan sosiologis. Konsep
psikologi lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi
dalam dirinya. Sedangkan konsep sosiologi lebih melihat pada bagaimana
konstruksi sosial atas realitas.16
15
Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 21.
16 Eriyanto,
Analisis Framming; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:
Tabel 1 Analisis framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki 17
Sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata
dalam tuturan. Unsur bahasa yang termasuk dalam lingkup sintaksis adalah frasa,
17
klausa, dan kalimat. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat
nonpredikatif. Klausa adalah satuan gramatika yang berupa kelompok kata, yang
sekurang-kurangnya memiliki sebuah predikat dan berpotensi menjadi kalimat.
Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri yang
sekurang-kurangnya memiliki sebuah subjek dan predikat.18
Pada konteks berita, sistaksis dapat dilihat dari kerangka penulisan berita
yang dinamakan piramida terbalik. Dalam konsep itu sesuatu hal yang paling
penting diletakkan pada bagian awal paragraf. Semakin berlanjut ke paragraf
selanjutnya, semakin tidak penting. Proses ini akan terlihat peristiwa apa yang
lebih ingin ditonjolkan oleh wartawan.
Skrip merupakan kelengkapan dalam menulis berita. Kelengkapan di sini
adalah pada penulisan 5W+1H karena berita yang baik adalah yang tidak
membuat pembaca bertanya-tanya. Agar tak terjadi hal tersebut, maka penulisan
5W+1H sangat penting dalam penulisan berita.
Penulisan salah satu 5W+1H yang didahulukan, akan terlihat peristiwa apa
yang lebih ditonjolkan wartawan. Apakah itu kronologisnya, ataukah kenapa
peristiwa itu bisa terjadi, atau siapa orang yang terlibat pada peristiwa itu dapat
dilihat poin manakah yang lebih awal diceritakan oleh wartawan.
Tematik dapat dikatakan seperti sebuah tema dalam sebuah peristiwa.
Perangkat yang diamati dalam sebuah tematik ini adalah koherensi atau pertalian
antarkata.19 Koherensi merujuk pada sebuah kejadian yang diceritakan secara runtut. Oleh karena itu, tidak boleh ada penulisan peristiwa yang penting dalam
koherensi sebuah berita.
18 Zaenal Arifin dan Junaiyah,
Sintaksis (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 1-2.
19
Prinsip koherensi merupakan standar penting dalam menilai rasionalitas
naratif yang akhirnya akan menentukan apakah seseorang menerima naratif itu
atau menolaknya. Koherensi merujuk pada konsistensi internal dari sebuah
naratif.20
Retoris dalam sebuah pemberitaan lebih bagaimana cara wartawan
menekankan fakta. Penggunaan bahasa yang digunakan salah satu upaya dalam
retoris. Pembantantaian dan pembunuhkan memiiki arti yang sama, tapi memiliki
makna dengan konteks yang berbeda.
[image:38.595.102.513.280.586.2]Selain menggunakan kata, retoris juga muncul dalam sebuah grafik atau
gambar. Grafis dibuat sebagai pendukung dari tulisan yang ingin ditonjolkan. Saat
wartawan ingin memberitakan peristiwa yang mencekam, foto berita yang
tampilkan dapat membantu pembaca menggambarkan sejauh mana peristiwa itu
begitu mencekam.
Selain gambar, pengunaan huruf dengan cetak tebal dan pemberian warna
juga mempengaruhi penekanan berita. Hal mempengaruhi kognitif seorang
pembaca saat melihat sebuah tulisan yang berbeda dengan tulisan lain. Elemen
seperti itu mengontrol ketertarikan dan perhatian secara intensif dan menunjukkan
kepada pembaca suatu hal yang dipusatkan.21
3. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) Norman Fairclough
Wacana secara khusus merupakan percakapan atau tuturan. Dapat
dikatakan wacana adalah keseluruhan percakapan yang membentuk satu kesatuan
karangan sehingga menjadi makna yang utuh. Sebagai sebuah percakapan, wacana
20
Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Komunikasi, Edisi 3. Penerjemah Maria
Natalia Damayanti Maer (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 52.
21
berasal dari gagasan, pikiran, dan ide yang dapat dipahami pembaca atau
pendengar.
Istilah analisis wacana sangat ambigu. Michaels Stubbs mengarahkan
sebagian besar pengertian tersebut kepada analisis bahasa secara alami terjadi
menyambungkan pembicaraan atau wacana yang tertulis. Analisis wacana fokus
pada bahasa dalam penggunaan konteks sosial dan dalam bagian dengan
interaksi.22
Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari bahasa tindakan dan
situasinya. Tindakan ini meliputi pembicara dan pendengar dan tidak ada
hubungan yang saling bergantung. Dari sini terlihat wacana hadir dalam
kehidupan sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang sangat fleksibel.
Untuk memahami analisis wacana itu sangat sulit jika tidak cukup
memahami dan berpengetahuan minim tentang studi bahasa. Cara agar mencegah
semua itu adalah dengan mempelajari secara khusus transkip bagian data
percakapan.23
Banyak pakar komunikasi yang mengembangkan Analisis Wacana Kritis
dan salah satunya adalah Norman Fairclough. Norman Fairclough memiliki ciri
khasnya sendiri dalam menganalisis sebuah pemberitaan dalam media massa. Ia
menganalisis sebuah pemberitaan menjadi tiga bagian, yaitu teks, praktik wacana,
dan praktik sosial budaya.
22
Michael Stubbs, Discourse Analysis (Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited, 1983), h. 1.
23
Cara yang Norman Fairclough kemukakan tersebut berisi penggambaran
linguistik dari teks bahasa, interpretasi hubungan antara proses-proses tak sama
dan teks, penjelasan hubungan antara proses-proses tak sama dan proses-proses
[image:40.595.102.514.216.642.2]sosial.24
Tabel 2 Analisis Wacana Kritis metode Norman Fairclough25
“The discussion of issue and problems in critical discourse analysis which will occupy the rest of this introduction will be organized around the three dimensions of the analytical framework sketched out above: text, discourse practice, socicultural practice. I discuss in turn issues relating to text and language, genre and orders of discourse, and society and culture. Part of my objective here is to point to and engage in controversies which have arisen from the project of critical discourse analysis, differences betwen critical discourse analysis and scholar in adjacent fields, and differences amongst critical discourse analysis.”26
24
Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language (New York: Longman Group Limited, 1995), h. 97.
25 Fairclough,
Critical Discourse Analysis, h. 98.
26
Fairclough menggunakan kritis dan kritik dalam analisisnya untuk
menandainya komitmen pada sebuah teori dan metode dialektika yang
mengeksplorasi interhubungan antara benda dan interkoneksi dari sebab dan efek
yang mungkin terdistorsi dari impian manusia. Namun, Analisis Wacana Kritis
pergi di luar kritik karena menggambarkan teori sosial dan teori bahasa, dan
metodotogi untuk analisis bahasa yang tidak secara umum didapat dan memiliki
sumber penghasilan dan dalam investigasi mendalam yang berada pada melebihi
pengalaman biasa.27
Struktur sosial dapat dilihat dari teks yang muncul dalam pemberitaan.
Teks tak hanya menggambarkan peristiwa yang ada, tapi di dalamnya
tersembunyi maksud tertentu. Peristiwa ini terlukiskan melalui koherensi dan
kohesi pada sebuah berita yang kemudian menjadi sebuah paragraf. Paragraf
kemudian saling terhubung dengan paragraf lain sehingga menjadi sebuah wacana
dalam pemberitaan.
Teks pada peristiwa memunculkan tanda-tanda dari sikap dari sebuah
media itu. Apakah media mendukung rakyat yang tertindas atau memihak kepada
orang yang memiliki jabatan. Teks tak pernah lepas dari bahasa. Bahasa
digunakan untuk menutupi hubungan sosial dan proses yang secara sistematis
menentukan bentuk bahasa yang dihasilkan melalui sebuah teks.
Kasus yang dapat dilihat dari permasalahan ini ketika terjadi demonstrasi
para buruh. Kebanyakan dari media massa selalu memberitakan efek negatif dari
sebuah demonstrasi yang dilakukan buruh. Media massa jarang sekali membahas
konteks yang terjadi kenapa para buruh bertindak seperti itu. Buruh melakukan
27 Rosana Dolon and Julia Todoli,
Analysing Identities in Discourse (Amsterdam: John
demonstrasi karena mendapat upah di bawah standar dan dipekerjakan tidak
layak. Mereka juga sulit untuk menikmati hari libur, bahkan waktu istirahat sulit
didapat. Masalah seperti ini yang sering terjadi pada media massa.
Aspek yang dilakukan menutupi sebuah peristiwa ini dikarenakan
ideologi. Inheren dalam wacana juga mempengaruhi sebuah hubungan dialektika
dari struktur peristiwa. Wacana dibentuk karena struktur yang ada. Tapi wacana
juga memiliki kontribusi dalam pembentukan kembali peristiwa.28
Penghubung antara analisis teks dengan praktik sosial budaya adalah
praktik wacana. Sebuah teks diproduksi atau diinterpretasi dalam wacana
tergantung dari praktik wacana dan diskusi bersama saat ruang redaksi. Sifat dari
praktik wacana adalah membentuk produksi teks dan meninggalkan hakikat dasar
dari kenyataan yang sebenarnya. Sifat dari produksi wacana juga tergantung
pemahaman yang ditentukan dari ruang redaksi.
Norman Fairclough mengibaratkan praktik wacana seperti apa yang yang
terjadi dalam institusi sekolah yang menghubungkan antara seorang guru dan
murid-muridnya. Hubungan ini akhirnya ditentukan pada level bentuk sosial
antara sekolah dan sistem ekonomi sehingga semua tindakan yang ada di sekolah
dipengaruhi oleh faktor institusi.29
Peraturan institusi yang dianalogikan Norman Fairclough ini seperti
kinerja pada sebuah media massa. Hubungan antara wartawan dan pemimpin
redaksi saat menentukan tema sebuah pemberitaan ditentukan oleh institusi media
itu. Kebijakan redaksi tidak mungkin lepas dari ideologi media massa itu. Oleh
28 Fairclough,
Critical Discourse Analysis, h. 73.
29
sebab itu, teks dan sosial budaya dapat muncul dari kebijakan redaksi yang telah
diatur sebelumnya.
Ideologi sebuah media tak lepas dari hegemoni pemilik media. Pemilik
media memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan identitas dan ciri khas
sebuah perusahaan yang dia miliki. Dari sini, kepentingan pemilik modal masuk
pada ideologi pada media tersebut.
Konsep hegemoni yang digunakan Norman Fairclough berasal dari Lenin
dan Gramsci. Alasan Fairclough menggabungkan konsep Lenin dan
mengelaborasi analisis Gramsci karena harmonisasi dengan konsep dialektika
struktur advokasinya. Hal itu disebabkan mereka menyediakan kerangka kerja
untuk berteori dan menganalisis ideologi atau wacana yang menghindari paham
ekonomi dan idelis. Hegemoni berjalan melintasi dan mengintegrasi ekonomi,
politik, dan ideologi yang belum berasal dari sebuah tempat otentik untuk
masing-masing. Ketiga hal tersebut fokus atas politik dan kekuasaan, dan atas hubungan
dealektika antara kelas dan pangsa pasar.30 Pada intinya, ideologi dapat mengurangi realitas tanpa distorsi.
Praktik sosial budaya merupakan sebuah fokus pada suatu hal sebagai
situasi dengan segera yang telah memberikan kemunculan ke produksi dan
berbagai praktik sosial budaya dan kondisi tidak bersambungan pada institusi dan
level sosial yang menyediakan sebuah pelebaran relevansi kontekstual.31
Analisis pada praktik sosial budaya dapat digambarkan pada eksplotasi
seperti pertanyaan apakah fakta-fakta yang ada pada teks mendukung dari
ketidaksinambungan hegemoni atan kenyataan praktik sosial. Atau apakah praktik
30
Fairclough, Critical Discourse Analysis, h. 75-76.
31 Terry Locke,
Critical Discourse Analysis (London: Continuum International Publishing
sosial budaya untuk perlawanan hubungan hegemoni pada kondisi umum. Juga
bisa seperti mempertanyakan apakah praktik sosial budaya ada untuk
menghasilkan realitas sosial dan menciptakan transformasi dalam teks. Analisis
sosial budaya yang digunakan Norman Fairclough pada intinya merupakan
interpretasi dari praktik wacana yang ada pada saat ruang redaksi.
B. Kerangka Konsep
Bahasa dalam Kuasa dan Kekuatan Ideologi
Penulisan berita tak pernah lepas dari bahasa. Penulisan bahasa
menggambarkan kepribadian orang yang menulisnya. Bahkan dengan melihat
bahasa yang digunakan, kita dapat mengetahui banyak tentang orang tersebut,
seperti pengetahuannya, pendidikannya, dan lainnya.
Bahasa itu tertanam oleh ideologi yang masuk dengan berbagai cara pada
bermacam-macam jenis level. Kunci utama yang diberikan Norman Fairclough
adalah apakah ideologi merupakan sebuah alat-alat struktur atau peristiwa? Dia
menjawab, keduanya merupakan alat ideologi. Cara untuk memecahkannya
adalah dengan menemukan kepuasan dialektika struktur dan kejadian.32
Maksud dari pernyataan di atas seperti pada sebuah media massa.
Peristiwa yang terjadi pada masyarakat digabungkan dengan struktur antara
masyarakat dengan media massa tersebut. Media massa yang memiliki kekuatan
mempengaruhi publik dengan alat mereka, akhirnya memasukkan pikirannya
sehingga membuat masyarakat tergiring pada pemahaman itu. Publik pun tak
32
memiliki kekuatan untuk melawan karena tidak memiliki alat untuk membalas
doktrin tersebut.
Martin Heideger dalam buku Littlejohn dan Karen berpendapat bahwa
penggunaan bahasa setiap hari menciptakan suatu realitas dengan pengalaman
alami. Peristiwa menjadi nyata karena dibentuk dengan bahasa beserta
konteksnya. Komunikasi merupakan sarana makna yang ditandai melalui
penglaman.33
Saat orang mengatakan bahwa kemacetan yang ada di Jakarta disebabkan
karena banyaknya kendaraan pribadi, itu karena pengalaman yang dia alami setiap
hari ketika merasakan langsung kemacetan. Melihat banyak kendaraan pribadi
saat jam kerja, menciptakan kesimpulan baginya bahwa kendaraan pribadi harus
dikurangi. Pendapat itu yang selalu dia keluarkan ketika ditanya bagaimana cara
agar kemacetan di Jakarta berkurang.
Saat orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap orang sekitar,
maka orang yang menjadi lawan bicaranya akan terpengaruh dengan realitas yang
diciptakan orang tersebut. Akan tetapi jika lawan bicaranya lebih kuat untuk
mempengaruhi orang pertama tersebut, orang pertama yang akan mengubah cara
pandangnya mengenai kemacetan yang ada di Jakarta.
Norman Fairclough mengibaratkan kekuatan bahasa seperti kekuatan
dalam bahasa seperti perbincangan dokter dan pasien. Dokter memiliki otoritas
33 Stephen W Littlejohn and Karen A Foss,
Theories of Human Communication, 9th ed.
yang tinggi secara umum karena dokter paham tentang kedokteran dan pasien
tidak. Dokter memiliki keputusan dan kontrol dalam penyembuhan.34
Contoh tersebut digambarkan bahwa dokter tidak mungkin berkata bohong
pada pasien. Jika dokter tersebut melontarkan perkataan bahwa umur pasien sudah
dekat, pasien pasti percaya dengan pernyataan tersebut karena dokter yang
memahami tentang kesehatan.
Media massa juga memiliki kekuatan yang sama seperti dokter dan pasien.
Bahkan media massa lebih dominan dalam penguasaan bahasanya terhadap
publik. Publik menerima pengaruh cukup besar lewat bahasa yang diberitakan
media massa dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan pengaruh tersebut.
Masyarakat bisa menghindari dominasi tersebut dengan cara meninggalkan dan
tidak membaca pemberitaan surat kabar yang diterbitkan media massa.
Bahasa yang digunakan juga berhubungan dengan ideologi. Menurut
Fairclough bahasa adalah bentuk paling umum dari kebiasaan sosial dan bentuk
tingkah laku sosial. Ideologi selalu dihubungkan pada kekuatan karena umumnya
ideologi terkandung dalam kebiasaan adat tergantung pada kekuatan orang
tersebut.35
Hal ini berarti apa yang diucapkan melalui bahasa seseorang kepada orang
lain menggambarkan apa yang sedang orang itu pikirkan. Pikiran tersebut terdapat
ideologi yang muncul baik secara implisit ataupun eksplisit dan tersampaikan
melalui tindakan. Ideologi, berdasarkan pernyataan Fairclough di atas bisa
34
Norman Fairclough, Language and Power second edition, 3th ed. (New York: Routledge, 2013), h. 1-2.
35
terpengaruh oleh faktor sosial atau lingkungan. Dengan mengetahui bahasa yang
digunakan, dapat diketahui apa yang orang tersebut pikirkan dan seperti apa
kondisi lingkungan yang sudah dia hadapi.
Norman Fairclough menggabungkan bahasa yang memiliki kekuatan
berdasarkan teori Michel Foucault yang telah memulai peran utama wacana dalam
perkembangan bentuk modern kekuasaan dan Jurgen Habermas yang teori aksi
komunikasinya menyoroti cara distorsi komunikasi dengan pandangannya tentang
bahasa yang dapat meminimalisir kekerasan dalam kekuasaan sehingga menjadi
teori sosial.36
Bahasa digunakan untuk menutupi hubungan dan proses-proses sosial
yang secara sistematis menentukan berbagai macam sifat, termaksud bentuk
bahasa yang dihasilkan pada teks. Penutupan dalam sosial yang berhubungan pada
gagasan wacana adalah bahasa merupakan bentuk ideologi dan bahasa tertanam
oleh ideologi.37
36 Fairclough,
Language and Power, h. 10.
37
35
PROFIL DAN GAMBARAN UMUM
A. Sejarah Perkembangan Tempo
Pada jaman Orde Baru atau 6 Maret 1971, sejumlah wartawan sepakat
mendirikan majalah berita mingguan yang bernama Tempo. Mereka adalah Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bur Rayuanto, Christianto Wibisono, Yusril
Djalinus, dan Putu Wijaya. Tempo lahir di Jl.Senen Raya 83, Jakarta dengan Yayasan Jaya Raya sebagai penerbitnya. Saat itu Tempo berbentuk majalah.1
Alasan mengapa para pendiri memberikan nama Tempo karena nama itu singkat, bersahaja, dan enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala
daerah. Sebutan Tempo juga terdengar netral, tidak mengejutkan ataupun merangsang. Nama itu pun bukan simbol suatu golongan. Pengertian Tempo
secara sederhana, yaitu waktu. Sebutan ini sangat lazim digunakan media massa
di berbagai dunia dengan bahasa negara mereka sendiri.2
Saat pertama kali hadir, banyak orang menilai Tempo mengikuti majalah ternama di Amerika bernama Time. Selain pengertiannya yang sama bentuk logonya pun serupa. Oleh karena itu pihak Time pernah menggugat Tempo karena masalah ini. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan dengan cara yang damai.
1
http://id.wikipedia.org/wiki/Tempo_(majalah) diunduh 22 april 2013.
2
Perjalanan Tempo sempat mengalami hambatan. Media ini sempat dibredel pada 1982 selama dua bulan saat edisi 13 Maret 1982 karena pembuaan
artikel yang mengidentifikasikan kecurangan pemilu tahun 1981. Tempo
mengalami pembredelan kembali pada 1994 selama empat tahun di edisi 11 Juni
1994 karena artikel mengenai pembelian kapal perang bekas Jerman oleh
pemerintah. Akhirnya Tempo terbit kembali dengan formasi baru pada 6 Oktober 1998.
Pada 2 April 2010 atau 40 tahun kelahiran Tempo, muncul Koran Tempo.
Tempo dan Koran Tempo masih dalam satu penerbitan, yaitu PT Tempo Inti Media Harian. Saat itu hasil penjualan Koran Tempo sebanyak 100.000 eksemplar sehari.3
Untuk mempermudah manajemen Tempo yang berbentuk majalah, koran dan internet, maka didirikanlah Tempo News Room. Hal ini dimaksud agar mempermudah ketiga produk tersebut kepada wartawannya. Akan tetapi hal ini
malah membuat wartawan Tempo seperti dimanfaatkan. Dalam mengelola Tempo
secara keseluruhan mereka hanya mendapat gaji seperti biasa. Seharusnya dengan
mengelola ketiga media tersebut, wartawan Tempo juga mendapat penghasilan seperti bekerja di tiga media.
Tidak hanya dari internal saja masalah yang terjadi, di era keterbukaan
informasi, Tempo masih sering kali mendapat masalah dari sisi pemberitaan. Permasalahan terjadi ketika pemberitaan Majalah Tempo mengenai tragedi kebakaran di Tenabang.
3
Di terbitan itu Majalah Tempo menuliskan ada sangkut paut kebakaran yang terjadi dengan Tomy Winata. Tomy yang tak terima tuduhan itu akhirnya
melayangkan somasi dan mengharuskan Tempo mengucapkan permintaan maaf di beberapa media cetak ternama di Jakarta.
Selain masalah pemberitaan, masih ada lagi kasus mengenai gambar yang
dibuat majalah itu. Tahun 2008 umat Katolik menggugat Majalah Tempo karena gambar halaman muka mereka yang bergambar Soeharto bersama anak-anaknya
mengikuti gambar Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Umat Katolik
meminta Tempo melakukan klarifikasi dan meminta maaf atas perbuatan itu di media mereka dan memastikan kejadian seperti ini tidak terulang lagi.
Dua tahun kemudian Majalah Tempo mengulang hal serupa tapi kali ini bukan mengenai agama, tapi dengan instansi kepolisian. Akan tetapi permasalah
ini cepat selesai melalui perantara Dewan Pers dengan cara damai. Tahun 2012
seakan Majalah Tempo mengulang kesalahan yang sama. Kali ini Choel Malarangeng yang tidak terima dengan gambar sampul majalah tersebut. Masalah
itu pun selesai dengan cara damai.
Dengan masalah yang sering kali menimpa Tempo, tidak heran banyak kalangan yang tidak suka dengan mereka, terlebih lagi dengan kemudahan
masyarakat memperoleh informasi. Akun twitter @TrioMacan2000 salah satu
buzzer (orang yang memiiki pengaruh ke orang lain) yang bersikap sinis pada
Tempo. berkali-kali mengatakan kalau Tempo merupakan antek-antek politisi karena pemberitaannya yang tidak berimbang. Akun tersebut juga sering berkata
[ima