• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Bahasa, Kuasa, dan Ideologi Tokoh di Media (Analisis Wacana Kritis Isu Korupsi dalam Pemberitaan Dahlan Iskan Melawan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Koran Tempo)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Relasi Bahasa, Kuasa, dan Ideologi Tokoh di Media (Analisis Wacana Kritis Isu Korupsi dalam Pemberitaan Dahlan Iskan Melawan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Koran Tempo)"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

Melawan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Koran Tempo)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.i)

Oleh:

JAFFRY PRABU PRAKOSO

NIM: 109051100064

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)
(5)

i

ABSTRAK

Media massa berfungsi sebagai penyebar informasi. Oleh karena itu berita yang disampaikan kepada khalayak umum harus jelas tanpa ada penyimpangan arti. Koran Tempo yang mengikuti kasus ini kurang memberi tahu kepada pembaca dari awal kasus saat Dahlan Iskan mangkir dari pemanggilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan malah mementingkan acara lain.

Setelah menemukan kerugian Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebesar Rp 37 triliun, DPR memanggil Dahlan Iskan sebagai orang yang pernah memimpin perusahaan tersebut untuk menjelaskannya. Beberapa kali tidak datang, DPR mengancam akan memanggil paksa Dahlan. Perseteruan Dahlan dengan DPR menjadi semakin rumit saat Dahlan melontarkan pernyataan akan membongkar anggota DPR yang suka memeras Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Koran Tempo merupakan salah satu surat kabar yang gencar memberitakan masalah ini.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka muncul pertanyaan mayor, bagaimana relasi bahasa, kuasa, dan ideologi tokoh yang digunakan Koran Tempo? Dari situ, muncul pertanyaan minor, Bagaimanakah wacana teks, produksi teks, dan praktik sosial budaya pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo? Dan bagaimana penggambaran media massa terhadap pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo?

Metodologi penelitian ini mengunakan paradigma kritis dengan pendekatan kualitatf. Paradigma kritis melihat bahasa sebagai alat untuk memahami realitas objektif yang tersembunyi melalui wacana. Metode penelitiannya menggunakan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Fairclough melakukan analisis berdasarkan tiga dimensi, yaitu analisis teks, analisis produksi dan konsumsi teks, dan analisis sosial budaya. (Norman Fairclough, 1995; 98).

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ekonomi politik Vincent Mosco dengan konsep spasialisasi, komodifikasi, dan strukturasi. (Vincent Mosco, 1996; 138). Hal tersebut bermaksud agar mengetahui ideologi yang digunakan Koran Tempo dalam memberitakan perseteruan Dahlan Iskan dengan anggota DPR.

Menganalisis kasus permasalahan Dahlan Iskan dengan anggota DPR di

Koran Tempo, pada akhirnya menunjukkan keberpihakan media pada suatu isu. Keberpihakan ini bisa dilihat dari sisi berita yang ditulis wartawam, saat rapat redaksi, dan juga kondisi sosial budaya yang ada.

Dengan meneliti kasus ini, terlihat adanya kedekatan Koran Tempo dengan Dahlan Iskan. Publik akhirnya dibuat percaya dengan tindakan Dahlan Iskan meski membuat PLN rugi hingga Rp 37 triliun merupakan tindakan yang tepat dan DPR tetap menjadi orang jahat dilihat dari berita yang terbit.

(6)

ii

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada ALLAH SWT Tuhan

semesta alam, atas limpahan karunia dan rida-Nya yang tidak pernah putus

memberikan nikmat dan berkah-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita

curahkan kepada Rasulullah SAW yang membawa umatnya dari jalan yang gelap

menuju jalan yang terang.

Setelah berjuang beberapa bulan mengerjakan penelitian ini, peneliti tidak

lupa pula mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah membantu

menyelesaikan dalam penyusunan penelitian ini. Orang-orang tersebut yaitu:

1. Orangtua tercinta, Jawaher dan Ferry Agung Budi Prakoso yang selalu

percaya bahwa anaknya pasti akan menyelesaikan pendidikannya walaupun

terkadang suka cemas menanyakan kapan akan lulus.

2. Rubiyanah yang menjadi Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Pembimbing

Akademik, Dosen Pembimbing Kuliah Kerja Nyata, dan juga teman cerita

peneliti.

3. Ade Rina Farida selaku Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang selalu

mendukung dan memberi banyak kemudahan dalam menyelesaikan kuliah.

4. Dosen Pembimbing, Fita Fathurrokhmah yang telah banyak membimbing dan

sabar menghadapi peneliti selama menyusun penelitian.

5. Adik tersayang, Arsy Rara Yudhistira yang menjadi teman berantem peneliti

(7)

iii

pengetahuan dasar-dasar Islam yang didapat dibangku kuliah.

7. LPM INSTITUT wadah peneliti mengeksplorasi ilmu jurnalistik yang didapat

selama kuliah. Untuk teman-teman seperjuangan di INSTITUT Muhammad

Umar, Makhruzi Rahman, Kiki Achmad Rizqi, Rahmat Kamaruddin, Aditia

Purnomo, Ema Fitriyani, Aam Mariyamah, Aditya Widya Putri, Aprilia

Hariani, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Trisna Wulandari dan juga untuk

senior dan junior yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

8. Koran Tempo yang dengan senang hati menjadi subjek peneliti dan Yogi

karena sudah mau membantu walaupun kerjaannya sebagai sekertaris redaksi

terganggu.

9. Keluarga besar Karate UIN Jakarta.

10.Teman-teman diskusi, bercanda, dan segalanya di Konsentrasi Jurnalistik B

2009 (Ilham Adiansyah, Hilman Fauzi, Ali Mansur, Khaerunuzulla, Sigit

Lincah Hadmadi, Dewi Febrianti, M Fikri Halim, Bobby Alexander,

Abdurrachman, Satria Loka, Angga Bima, Yusuf Gandang P, Abdul Aziz,

Putri Nurazizah, Mekar Ayu L, Putri Buana T D, Devit Rubianto, Samsul

Arifin, Arintika, Fauziah Mursid, Adjri Septiani, Hilda Savitri, Ima

Rahmawati, Dewi Rifqina, Turi Miasih, Andini Apriliana, Marisha Arianti A,

Devi Cahyo P, Nur Fitriyani, Hafsa Tia A, Lindawati, Puti Hasanatu S), juga

yang sudah gugur (Rian, Opang, Riski “cimeng”, Lulu, Akmal, Degam), dan

(8)

iv

12.Kerabat Kerja Boomart (Ilham, Hilman, Sigit, Ali, Jauhari, Nunu) meski hingga sekarang proyeknya belum kunjung tembus.

13.Personil Kuliah Kerja Nyata Amoral (Adiansyah, Fauzi, Dwi Cahyo N, Azis,

M Imam Baihaqi, Hasan al Kaslan, Ibnu Affan, Iswahyudi, Arif Priyadi dan

para wanitanya yang tidak akan peneliti sebutkan.

14.Teman jalan-jalan santai bareng, Ilham, Hilman, Ali, Bima, Ima, Turi, Putri,

Dewi yang sudah mau diajak ngegembel bareng.

15. Teman satu kosan, Bubung, Didin, Oji, Polem, Ali, Nunu, Adiansyah

walaupun peneliti cuma numpang

16.Para penemu barang-barang elektronik yang bersusah payah menciptakan

penemuan penting.

Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terimakasih dan semoga

Allah SWT membalas kebaikan mereka. Peneliti mohon maaf apabila masih ada

kesalahan dan kekurangan dalam penelitian karya ilmiah ini. Peneliti hanya

makhluk biasa yang selalu salah dan mencoba untuk melakukan yang terbaik.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat untuk para pembaca, Aamiin.

Jakarta, 28 Desember 2013

(9)

v

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

1. Manfaat Teoritis ... 6

2. Manfaat Praktis ... 6

E. Metodologi Penelitian ... 6

1. Paradigma Penelitian ... 6

2. Pendekatan Penelitian... 7

3. Metode Penelitian ... 7

4. Teknik Pengumpulan Data ... 8

5. Teknik Analisis Data ... 9

6. Subjek dan Objek Penelitian ... 10

7. Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

G. Sistematika Penelitian ... 12

BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Landasan Teori ... 14

1. Ekonomi Politik Vincent Mosco ... 14

2. Analisi Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 18

3. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) Norman Fairclough ... 25

B. Kerangka Konsep ... 31

BAB III PROFIL DAN GAMBARAN UMUM A. Sejarah Perkembangan Tempo ... 35

B. Profil Dahlan Iskan ... 38

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough isu korupsi Dahlan Iskan melawan anggota DPR. ... 42

1. Analisis level teks ... 42

(10)

vi

1. Komodifikasi ... 81 2. Spasialisasi ... 84 3. Strukturasi ... 88

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(11)

vii

Tabel 1 Analisis framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki ... 23

[image:11.595.102.499.221.616.2]

Tabel 2 Analisis Wacana Kritis metode Norman Fairclough ... 27

(12)

viii

1. Halaman muka Koran Tempo dengan judul Ungkap Pemalak BUMN; Dahlan Percaya Diri ke DPR ... 47

2. Gambar ilustrasi berita Pemborosan di PLN; Pemerintah Menilai

Keputusan Dahlan Tepat ... 57

(13)

ix

Lampiran 1 Surat Keterangan Permohonan Penelitian/ Wawancara Lampiran 2 Surat Keterangan Penelitian

Lampiran 3 Wawancara Pribadi dengan Redaktur Pelaksana Koran Tempo

Lampiran 4 Dokumentasi peneliti dengan Redaktur Pelaksana Koran Tempo

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, media massa yang terdiri atas media cetak, elektronik dan

media siber memiliki fungsi yang sama, yaitu menyiarkan informasi.1 Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya menyediakan kolom atau rubrik

untuk berita meski dengan kapasitasnya masing-masing. Ini merupakan

perwujudan dari institusi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Berita dalam

penerbitan pers dapat berasal dari masyarakat luas. Wartawan yang meliput dan

menuliskannya maupun manajemen redaksi, kemudian mengkonstruksi

berita-berita tersebut.2

Kraus dan Davis mengelompokkan cara media mengkonstruksikan realitas

politik ke dalam lima (5) cara, yaitu: pencitraan, pembuatan realitas komunikasi,

penganugerahan status, pembuatan peristiwa buatan, dan agenda setting. Menurut

mereka, kelima cara ini bukan berpengaruh terhadap citra para aktor politik saja

tapi juga mempengaruhi perilaku politik para aktor dan khalayak. 3

Pendapat Kraus dan Davis hampir sama dengan Walter Lippmann. Dengan

dalilnya yang terkenal, “World outside and pictures in your heads”, Lippmann sebetulnya sudah sejak lama menyadari fungsi media sebagai pembentuk

gambaran realitas yang sangat berpengaruh terhadap khalayak. Fungsi media,

menurutnya sebagai pembentuk makna. Interpretasi media massa terhadap

1

Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik (Jakarta: Logos, 1999), h. 3.

2

Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda 2004), h. 67.

3

Sidney Kraus dan Dennis Davis, The Effects of Mass Communication on Political Behavior

(15)

berbagai peristiwa secara radikal dapat mengubah interpretasi orang tentang suatu

realitas dan pola tindakan mereka.4

Media massa tidak hidup dalam situasi yang vakum. Segala yang

ditampilkan dalam media ditentukan oleh banyak faktor baik eksternal maupun

internal. Dalam banyak kasus seperti di Indonesia, sistem politik merupakan

faktor eksternal yang sangat berpengaruh dalam pemberitaan yang diterbitkan

dalam sebuah penerbitan. Sistem politik yang diterapkan oleh sebuah negara juga

ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu. Pada kasus seperti itu,

umumnya terjadi pada sistem pemerintahan yang otoriter seperti pada jaman

Soeharto.

Faktor internal yang mempengaruhi sebuah media adalah faktor

kepemilikan. Pemilik media bisa saja mengubah atau menentukan kasus yang

akan disuguhkan kepada publik. Hal ini akan menjadi sangat berbahaya jika sang

pemilik terjun ke dunia politik. Besar kemungkinan pemberitaan yang ada di

medianya akan memberikan porsi besar dan mengikuti perkembangan si pemilik

tersebut.

Efek kekuasaan terhadap media massa yang terlalu kuat tidak hanya

membungkam kontrol sosial media massa sebagai institusi budaya, tetapi juga

memiliki efek terhadap kemerdekaan berpendapat dan berekspresi. Sejatinya,

fungsi kontrol media massa tidak dapat dibungkam oleh kekuasaan.

Media massa harus tetap diberi ruang gerak yang cukup untuk melakukan

kontrol sosial atau kritik terhadap korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai

penyimpangan lainnya yang dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Kuat atau

4

(16)

lemahnya fungsi sosial kontrol pers sangat ditentukan oleh konsep sistem politik

kekuasaan serta pola hubungan negara dan masyarakat.

Media massa sebagai sebuah bagian dari ruang publik yang di dalamnya

terdapat bahasa dan simbol-simbol diproduksi kemudian disebarluaskan tidak

dilihat oleh Gramsci sebagai sebuah alat hegemoni yang bersifat pasif semata.

Media massa bersama media massa tandingan membentuk sebuah ruang tempat

berlangsungnya perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan

penerimaan publik atas gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Di

dalamnya sebuah ide hegemonik mendapatkan tantangannya oleh berbagai

hegemoni tandingan lainnya. 5

Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, kekuatan bahasa, dan

kekuatan simbol memiliki peran yang sangat penting dalam prinsip hegemonik.

Jelas bahwa hiperrealitas media di sini menemukan bentuk baru. Hiperrealitas

media dalam wacana media merupakan sebuah distorsi bahasa dan tanda serta

nilai-niai yang diproduksi. Distorsi tersebut adalah kepentingan hegemoni dan

ideologi, kepentingan politik, maupun ekonomi yang mampu menguasai media

melalui hegemoni.6

Kepentingan-kepentingan bisa dilihat pada kasus Dahlan Iskan melawan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2012. Isu ini menjadi topik yang

hangat pada bulan Oktober hingga November 2012. Koran Tempo merupakan salah satu dari media nasional yang intens memberitakan masalah ini. Padahal jika

dilihat ke belakang, permulaan kasus ini ketika anggota DPR mendapati

Perusahaan Listrik Negara (PLN) rugi hingga mencapai Rp 31 triliun. Lalu

5

Ade Mulya, Transformasi Usaha Industri Media Massa (Jakarta: LIPI, 2006), h. 9.

6 Ade,

(17)

anggota DPR meminta orang tertinggi saat itu, Dahlan agar menjelaskan kenapa

perusahaan milik negara itu dapat defisit.

Akan tetapi panggilan anggota DPR tidak digubris Dahlan Iskan. Dia

malah lebih mementingkan acara pertemuan lain di luar kota dengan alasan yang

beragam. Anggota DPR pun geram dengan tindakan Dahlan. Hingga panggilan

kedua Dahlan juga tidak menghadiri panggilan anggota DPR. Akhirnya mereka

mengancam akan memanggil paksa Dahlan Iskan terkait kerugian PLN.

Dahlan Iskan pun balik mengancam akan membongkar pemerasan yang

suka dilakukan anggota DPR terhadap BUMN. Dari sinilah mulai pertikaian

antara Dahlan Iskan dengan DPR RI. Koran Tempo memandang konflik tersebut layak dijadikan berita dan mulai memberikan porsi lebih terhadap kasus ini hingga

menjadikannya sebagai headline dan berita utama.

Kasus ini menjadi menarik ketika Koran Tempo tidak sekali pun membahas tentang kerugian PLN. Koran Tempo malah seakan-akan membuat Dahlan Iskan sebagai pahlawan dengan membongkar skandal korupsi itu. Jika

membahas masalah PLN, Koran Tempo masih memberikan persepsi kepada publik bahwa Dahlan Iskan orang yang tidak bersalah.

Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka peneliti

tertarik meneliti dengan judul, “RELASI BAHASA, KUASA, DAN IDEOLOGI TOKOH DI MEDIA; Analisis Wacana Kritis Isu Korupsi dalam Pemberitaan Dahlan Iskan Melawan Anggota DPR di Koran Tempo.”

B. Identifikasi, Batasan, dan Rumusan Masalah

Pada awal pemanggilan anggota DPR kepada Dahlan Iskan terkait

(18)

nasional yang memberitakan masalah ini. Akan tetapi Koran Tempo sama sekali tidak membahas pemanggilan tersebut, bahkan Koran Tempo lebih sering memberitakan perseteruan Dahlan Iskan dengan anggota DPR saat Dahlan

melontarkan pernyataan akan memberi tahu pada publik tentang pemerasan yang

dilakukan oleh anggota DPR. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik meneliti

pemberitaan antara Dahlan Iskan dengan Anggota DPR

Agar batasan masalah penelitian ini lebih terarah dan fokus, maka

permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap Analisis Wacana Kritis yang akan

dianalisis adalah pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo dari 30 Oktober hingga 14 November 2012.

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya diwacanakan

pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo? 2. Bagaimanakah relasi bahasa, kuasa dan ideologi media terhadap pemberitaan

Dahlan Iskan melawan anggota DPR di Koran Tempo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini

memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya diwacanakan pada pemberitaan Dahlan Iskan melawan anggota DPR di

Koran Tempo.

2. Untuk mengetahui relasi bahasa, kuasa, dan ideologi media terhadap

(19)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi

perkembangan wacana yang dilakukan oleh media massa tentang gejala sosial

yang terjadi di sekitar kita. Peristiwa yang luput dari perhatian dan hilang begitu

saja dari pemberitaan yang sebenarnya merupakan salah satu praktik wacana yang

dilakukan media massa.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi praktisi

media massa seperti wartawan, mahasiswa Jurnalistik dan kepada pembaca pada

umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat.

E. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian

Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken

menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan proposisi yang mengarahkan cara

berpikir dalam penelitian.7 Ini memiliki arti bahwa paradigma merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan

penelitian baik itu sebelum maupun sesudah penelitian. Paradigma ini dilakukan

supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara berpikir penelitiannya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma kritis. Paradigma

kritis memperbaiki paradigma konstruktivisme. Pandangan ini, tidak hanya

melihat bahasa sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan untuk

melihat maksud-maksud dari wacana tertentu. Paradigma kritis jauh lebih meneliti

7

(20)

aspek sosial, sejarah, dan budaya dari wacana tersebut.8 Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui lebih jauh realitas di balik wacana

sesungguhnya yang dibentuk Koran Tempo dalam isu korupsi kasus Dahlan melawan anggota DPR.

2. Pendekatan Penelitian

Untuk meneliti sebuah masalah, selalu membutuhkan pendekatan dengan

tujuan menggapai suatu penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan

kualitatif eksploratif. Penelitian kualitatif sering disebut berlawanan dengan

kuantitatif. Hal tersebut dikarenakan penelitian kualitatif memberikan

pemahaman-pemahaman dari apa yang telah ditelah ditemukan di lapangan.

Berbeda dengan kuantitatif yang hanya memberikan penjelasan dari hasil temuan

lapangan.

Maksud eksploratif adalah mencari tahu lebih mendalam tentang suatu

kasus. Dari penemuan itu dapat dijadikan suatu hipotesis. Pendekatan ini biasanya

membahas keunikan dari kasus tertentu yang secara khusus memiliki arti sangat

penting.9

Penelitian kualitatif eksploratif ini digabung dengan Analisis Wacana

Kritis metode Norman Fairclough. Fairclough membagi Analisis Wacana Kritis

menjadi tiga sisi, yaitu teks, praktik wacana, dan praktik sosial budaya.

3. Metode Penelitian

Setiap karya ilmiah membutuhkan pembahasan dalam menggunakan

metode untuk menganalisis dan membongkar suatu masalah. Metode itu sendiri

8

Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS,Cet VII Februari 2009), h. 5-6.

9

(21)

berfungsi sebagai landasan menggabungkan suatu masalah, sehingga suatu

masalah dapat diuraikan dan dijelaskan secara jelas dan dapat dipahami.

Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J. Moleong mendefinisikan

metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.10

Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan

Norman Fairclough. Pendekatan ini memusatkan perhatian pada teks dalam berita

yang tercipta berdasarkan proses pada saat ruang produksi, dan penjelasan

hubungan antara proses yang tidak sama dan proses sosial.11

Melalui Analisis Wacana Kritis, kita tidak hanya mengetahui bagaimana

isi teks berita, tapi juga pesan itu disampaikan lewat kata, frase, kalimat, metafora

macam apa suatu berita disampaikan.12

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara sesuai

dengan Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough, yaitu:

1) Observasi teks. Cara ini dilakukan dengan mengumpulkan setiap berita

pada Koran Tempo mengenai kasus Dahlan Iskan melawan anggota DPR. Hasil analisis dari berbagai kasus yang ada dalam pemberitaan tersebut,

fokus berita yang diambil untuk diteliti dari 30 Oktober hingga 14

November 2012. Level teks ini mengungkapkan makna yang dilakukan

dengan menganalisis bahasa secara kritis.

10

Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3.

11

Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language (New York: Longman Group Limited, 1995), h. 97.

12 Alex Sobur,

(22)

2) Wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan sebagai metode pengumpulan

data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari

narasumbernya.13

Wawancara mendalam dinilai sebagai sebuah kolaborasi antara

pewawancara dan partisipan. Para peneliti memilih wawancara mendalam

karena tertarik terhadap arah yang ingin ditentukan oleh rapat redaksi

dalam wawancara. Wawancara mendalam dapat dilakukan melalui

internet. Tapi teknik ini masih sangat baru dan banyak orang masih

menyukai wawancara langsung.14 Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada orang yang berkepentingan dalam penelitian, yaitu Redaktur

Pelaksana Koran Tempo.

3) Analisis praktik sosial budaya. Teknik ini dilakukan dengan mencari data

berupa arsip, tulisan, dan mengutip pernyataan ahli-ahli yang relevan

dengan judul penelitian ini.

5. Teknik Analisis Data

Data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis sesuai dengan metode

Analisis Wacana Kritis yang dikemukakan oleh Norman Fairclough. Fairclough

menganalisis wacana menjadi tiga dimensi: analisis teks, praktik wacana, dan analisis sosial budaya.

a) Analisis teks, Fairclough juga meneliti apakah kalimat yang ada memiliki

kesinambungan dengan kalimat sebelum dan sesudahnya dan kalimat

antarkata tersebut memiliki sebuah pengertian yang dapat dipahami.

13

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35.

14

Richard West dan Lynn H Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Edisi 3 Analisis dan

(23)

Kalimat-kalimat yang ada akan dianalisis menggunakan teori analisis

framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

b) Praktik wacana merupakan proses di mana sebuah teks berita itu

dihasilkan. Analisis pada level ini yaitu dengan memahami wawancara

mendalam pada awak redaksi. Kemudian mengamati proses produksi dan

konsumsi teks dengan menggunakan perspektif ekonomi politik Vincent

Mosco.

c) Analisis sosial budaya. Peneliti melakukan analisis praktik wacana sosial budaya dengan asumsi konteks sosial budaya yang ikut serta memengaruhi

wacana yang menarik bagi media, misalnya ideologi dan kepentingan yang

dominan di masyarakat.

6. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian dilakukan kepada Koran Tempo yang bertempat di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dan objek penelitiannya adalah pemberitaan

Dahlan Iskan melawan anggota DPR dari tanggal 30 Oktober hingga 14

November 2012.

7. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini penulis lakukan sejak bulan Februari atau sejak dimulainya

proposal dilakukan hingga Desember 2013 atau sampai penelitian ini diselesaikan.

Tempat penelitian dilakukan di kantor Koran Tempo dengan meminta data dan wawancara kepada orang yang memiliki wewenang terhadap pemberitaan Dahlan

Iskan melawan DPR terbit. Perpustakaan di Jakarta dan sekitarnya pun menjadi

(24)

F. Tinjauan Pustaka

Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang

diterbitkan oleh Center for Quality Development and Assurance (CeQDA) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Sebelum menyusun skripsi lebih lanjut, maka peneliti terlebih dahulu

menelusuri penelitian dan skripsi-skripsi yang sudah dilakukan di Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan

perpustakaan dari Universitas lain. Maksudnya agar penelitian yang akan

dilakukan tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya dan ada pemetaan

perkembangan terhadap penelitian. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut

ialah:

1. Skripsi karya Tia Agnes Astuti (106051101943), Mahasiswi Konsentrasi

Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN

Jakarta Angkatan 2006 dengan judul “Analisis Wacana van Dijk terhadap

Berita Sebuah Kegilaan di Sampang Kraft di Majalah Pantau.” Perbedaan skripsi ini terletak pada subjek, objek, dan metode penelitiannya. Skripsi Tia

meneliti tentang kekerasan di Aceh di Majalah Pantau. Skripsi Tia menggunakan metode analisis wacana van Dijk

2. Skripsi karya Randy Ferdi Firdaus (207612140), Mahasiswa Program Studi

Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta dengan judul “Analisis Wacana

(25)

Edisi April 2011.” Perbedaannya terletak pada subjek dan objek yang diteliti.

Randy meneliti tentang Pemberitaan NII di Harian Umum Republika.

3. Skripsi karya Apristia Krisna Dewi (108051100058), mahasiswi Konsentrasi

Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN

Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.” Metode yang digunakan Apristia sama dengan karya Tia. Mereka menggunakan analisis wacana van Dijk.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab

terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Bab pertama

membahas tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui landasan awal kenapa

peneliti ingin meneliti kasus perseteruan antara Dahlan Iskan dengan anggota

DPR. Bab ini menjadi landasan awal untuk mengetahui arah peneliti menganalisis

kasus tersebut.

Untuk memahami lebih dalam objek yang diteliti, dibutuhkan sebuah teori.

Teori tersebut digunakan agar proses penelitian tak keluar dari jalur. Oleh karena

itu, bab kedua memaparkan kerangka teori dan konseptual. Kerangka teori

membahas Analisis Wacana Kritis yang dikembangkan Norman Fairclough.

Teori analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dan

ekonomi politik yang dikembangkan Vincent Mosco digunakan untuk

(26)

penggunaan bahasa sebagai kekuatan sebuah media dan juga sedikit pemahaman

tentang media massa dan berita.

Koran Tempo merupakan subjek yang diteliti. Itu sebabnya Bab III membahas tentang gambaran umum beserta susunan redaksi Koran Tempo. Bab ini juga mengulas sejarah Dahlan Iskan hingga dia menjadi menteri Badan Usaha

Milik Negara.

Pembahasan bab pertama hingga bab ketiga melahirkan analisis tentang

kasus Dahlan Iskan melawan anggota DPR. Analisis tersebut ditulis pada bab

keempat.

Pada akhirnya anlisis yang ditulis di bab empat menghasilkan sebuah

kesimpulan dari peneliti. Kesimpulan tersebut ada pada bab kelima dan tidak lupa

(27)

14

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Landasan Teori

1. Ekonomi Politik Vincent Mosco

Media massa diyakini bukan sekadar medium lalu lintas pesan antara

unsur-unsur sosial dalam suatu masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat

pendudukan dan pemaksaan oleh kelompok yang secara ekonomi dan politik

memiliki pengaruh dominan. Melalui pola kepemilikan dan melalui

produk-produk yang disajikan, media merupakan perangkat ideologis yang

melanggengkan dominasi kelas pemodal terhadap publik yang diperlakukan

semata-mata sebagai konsumen dan terhadap pemegang kekuasaan untuk

memuluskan lahirnya regulasi-regulasi yang pro pasar.1

Pada akhirnya, media massa mencapai puncak perkembangan sebagai

lembaga kunci pada masyarakat modern. Media massa mampu merepresentasikan

diri sebagai ruang publik yang utama dan turut menentukan dinamika sosial,

politik, dan budaya baik di tingkat lokal maupun global. Media juga memberikan

medium pengiklan utama yang secara signifikan mampu menghasilkan penjualan

produk barang dan jasa. Media massa menghasilkan surplus ekonomi dengan

menjalankan peran penghubung antara dunia produksi dan konsumsi. Namun,

hampir selalu terlambat didasari bahwa media massa di sisi lain juga

1

(28)

menyebarkan atau memperkuat struktur ekonomi dan politik tertentu. Media tidak

hanya mempunyai fungsi sosial dan ekonomi, tetapi juga menjalankan fungsi

ideologinya. Oleh karena itu, fenomena media bukan hanya membutuhkan

pengamatan yang didasarkan pada pendekatan-pendekatan ekonomi, melainkan

juga pendekatan politik.2

Peran media dalam struktur ekonomi dan politik yang berlaku di suatu

negara yang harus diperhatikan adalah dalam sistem industri kapitalis. Media

massa harus diberi fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi-institusi

produksi dan distribusi yang lain. Kondisi-kondisi yang ditemukan pada level

kepemilikan media, praktik-praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi,

perfilman, dan periklanan memiliki hubungan yang saling menentukan dengan

kondisi-kondisi ekonomi dan politik spesifik yang berkembang di suatu negara,

serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi politik global.3

Kepentingan pemilik modal seperti ini menyebabkan ketimpangan dalam

pasar sehingga menyebabkan kompetisi yang tidak sehat. Permasalahan seperti ini

membuat pasar bebas tidak pernah sepenuhnya terwujud. Kecenderungan atas

terpusatnya kepemilikan serta kekuasaan menyebabkan dominasi dan monopoli

pada pasar ekonomi. Proses ini terjadi melalui merger sebuah perusahaan

sehingga membuka jalan bagi berkembangnya fenomena konglomerasi.

Media harus diletakkan dalam sistem yang lebih luas sebagai bagian

integral dari proses-proses ekonomi, sosial, dan politik yang berlangsung dalam

2

Peter Golding dan Graham Murdock, The Political Economy of the Media (Northamton: Edward Edgar Publishing Limited, 1997), h. 4.

3 Dedy N. Hidayat,

Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial (Jakarta: PT

(29)

kehidupan masyarakat. Isi teks pada media beserta tindakan jurnalis dalam

memproduksi misalnya, dipandang tidak terlepas dari konteks proses-proses sosial

memproduksi dan mengonsumsi teks. Kemudian dari situ naik pada jenjang

organisasi, industri, dan masyarakat.

Interaksi antara pers dengan berbagai kelompok sosial yang muncul dalam

proses memproduksi dan mengkonsumsi produk media harus dipahami sebagai

proses yang berlangsung dalam struktur politik yang otoriter atau struktur

ekonomi kapitalis yang sangat dipengaruhi oleh situasi-situasi global.

Salah satu fokus dari studi ekonomi politik adalah melihat peran media

dalam membangun masyarakat kapitalis yang ternyata penuh distorsi. Masyarakat

yang tak memiliki pengaruh besar dan kelompok-kelompok marjinal tidak

memiliki banyak pilihan selain menerima atau mungkin mendukung sistem yang

telah dibuat oleh mereka yang masuk pada kelompok dominan.

Pendekatan parameter yang dilakukan Vincent Mosco pada ekonomi

politik komunikasi membagi menjadi tiga (3) aspek, yaitu komodifikasi,

spasialisasi, dan strukturasi. Komodifikasi merupakan perubahan bentuk nilai

guna menjadi nilai tukar.4

Nilai guna yang bisa menghasilkan nilai tukar ini berasalah dari

pemanfaatan tenaga-tenaga buruh yang para kapitalis miliki. Sumber daya alam

yang ada pun tidak juga luput dari incaran pemilik modal ini. Oleh karena itu,

komodifikasi dapat diasumsikan memanfaatkan khalayak untuk dijadikan

pendapat yang besar bagi suatu media. Komodifikasi hampir sama dengan istilah

4 Vincent Mosco,

The Political of Communication (London: SAGE Publication Ltd,

(30)

komersialisasi, karena fungsi dan tujuaannya yang memperoleh keuntungan

sebesar-besarnya.

Komodifikasi merupakan pintu masuk dari ekonomi politik komunikasi.

Dari situ, kemudian ke tahap selanjutnya yang disebut spasialisasi. Spasialisasi

dapat dikatakan penanggulangan atas ketidakleluasaan ruang dan waktu dalam

kehidupan sosial. Proses ini meliputi ruang dalam media massa yang dapat

menembus wilayah manapun tanpa terhambat waktu.5

Spasialisasi menyebabkan monopoli dalam media massa. Isu yang

dikembangkan pada suatu media, tidak luput dari keinginan sang pemilik modal

demi kepentingan ekonomi dan politiknya. Pembatasan seperti ini menyebabkan

integritas dari media tersebut dipertanyakan. Apakah media itu memberikan berita

kepada khalayak karena ingin mencerdaskan bangsa atau karena ada kepentingan

tertentu.

Hal ini bisa lebih parah jika pemilik media terjun dalam dunia politik.

Dapat dikatakan jika pemilik tersebut melakukan hal demikian, dia akan

memanfaatkan kedudukannya untuk memanfaatkan ruang yang ada dalam media

agar mencitrakan kebaikannya kepada masyarakat. Masyarakat yang tidak bisa

memilah pesan dari suatu media akan terpengaruh dengan pemanfaatan ruang dan

waktu yang dimiliki pemilik media itu.

Konsep terakhir yang dikemukakan Vincent Mosco adalah strukturasi.

Strukturasi berkaitan dengan hubungan ide antaragen masyarakat, proses sosial

dan praktik sosial dalam analisis struktur. Strukturasi dapat digambarkan sebagai

5

(31)

proses di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial. Para agen

ini kemudian menjadi bagian dari struktur dan bertindak melayani bagian yang

lain. Hasil akhir dari strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dan proses

kekuasaan diorganisasikan di antara kelas, gender, ras dan gerakan sosial yang

masing-masing berhubungan satu sama lain.6

Strukturasi merupakan sebuah medote paling menyolok yang

dikembangkan Anthony Giddens. Adanya metode ini karena Anthony merasa

adanya jurang antara teori jarak struktural yang ditemukan Durkheim,

Levi-Strauss, dan Althusser dan tindakan perspektif teoritis yang berbeda jaman dari

pandangan sosiolog seperti Max Weber dan pandangan Schutz dan Gadamer.7

2. Analisi Framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Secara umum, studi komunikasi yang ada di Indonesia, mengambil tiga

paradigma, yaitu paradigma positivis, konstruktivis, dan kritis. Paradigma

positivis beranggapan bahwa media itu netral. Tidak ada kepentingan apapun dari

sebuah media dalam menyampaikan berita, karena media massa adalah sebagai

penyambung antara peristiwa kepada masyarakat.

Berbeda dengan pandangan positivis, penganut paham konstruktivis

menentang kaum positivis. Paradigma konstruktivis menganggap media tidak

netral. Alasannya, tidak semua realitas sosial dapat disampaikan media. Dari

realitas itu, media memiliki sudut pandang sendiri atas apa yang dilihatnya,

sehingga muncul kepada khalayak.

6 Mosco,

The Political of Communication, h. 215-216.

7

(32)

Merasa kurang sempurna, paradigma kritis memperbaiki pandangan

konstruktivis. Paradigma kritis juga mengakui bahwa media itu tidak netral.

Menurut paham kritis, selain media punya sudut pandangnya sendiri mengenai

sebuah peristiwa, media juga memiliki kepentingan terhadap apa yang

disampaikan. Kepentingan itu dapat berupa ekonomi maupun politik.

Konstruksionisme menjelaskan bahwa konstruksionis merupakan proses

kerja kognitif individu di mana terjadi hubungan sosial antara individu dengan

orang lain atau lingkungannya. Proses inilah yang menafsirkan realitas. Realitas

tersebut kemudian dibentuk sendiri oleh pengetahuan yang sudah dimiliki

sebelumnya oleh masing-masing individu. Piaget menyebut kemampuan ini

sebagai skema atau skemata dalam yang berarti suatu struktur mental atau kognitif

yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi

lingkungan sekitarnya.8

Berdasarkan pernyataan tersebut, setiap orang memiliki pandangannya

sendiri mengenai peristiwa yang dilihatnya. Jika orang pertama melihat banjir

sebagai bencana alam dan sudah diatur oleh Tuhan dan orang kedua memandang

bahwa banjir bisa dicegah karena itu merupakan ulah manusia, pendapat keduanya

benar.

Mungkin saja orang yang menganggap bencana alam itu merupakan orang

yang agamis sudah terpengaruh oleh ajaran agama kemudian menyerahkan

segalanya pada Tuhan dan orang kedua memiliki pemikiran yang lebih terbuka

sehingga memiliki pola pikir lebih jauh mengenai peristiwa banjir.

8 Paul Suparno,

Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan (Pustaka Filsafat, 2007), h.

(33)

Realitas ada karena hasil interpretasi dari masing-masing individu melihat

suatu peristiwa. Schutz mengatakan tindakan manusia menjadi suatu hubungan

sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu

sebagai sesuatu yang penuh arti.9

Margaret M. Poloma mengutip pendapat Berger dan Luckmann memiliki

gagasan yang bertumpu pada makna realitas dan pengetahuan. Kenyataan

merupakan suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang memiliki

keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). Pengetahuan adalah

kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik.10

Konstruksi realitas yang dihasilkan individu tersebut menjadi sebuah

realitas sosial. Proses ini terjadi atas pengaruh eksternalisasi, objektivasi, dan

internalisasi. Realitas sosial berawal dari pengaruh kuat dari satu individu kepada

orang lain. Orang yang terpengaruh oleh kenyataan ini, lalu meyakininya menjadi

sebuah kebenaran. Kebenaran oleh banyak orang ini kemudian menjadi realitas

sosial yang diyakini masyarakat pada daerah tersebut.

Burhan Bungin mengambil pendapat Berger dan Luckman dengan

mendefinisikan eksternalisasi sebagai proses penyesuaian diri individu terhadap

dunia sosiokulturalnya.11 Eksternalisasi masuk ke dalam kognisi setiap individu

9

George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 59.

10

Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 1.

11

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas

(34)

secara aktif maupun pasif. Proses yang terjadi secara terus-menerus menjadi

kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi pengetahuan bersama.

Pengetahuan bersama ini bersifat subyektif yang kemudian terjadi

berulang-ulang lalu mengendap sehingga menjadi akumulasi terhabitualisasi.

Habitualisasi membentuk produk sosial yang nantinya akan diwariskan. Dengan

kata lain, manusia merupakan instrumen dalam menciptakan realitas sosial yang

objektif melalui proses eksternalisasi.12

Proses objektivasi pada tahap pertama disebut sebagai institusionalisasi

dan kedua merupakan legitimasi.13 Institusi merupakan buah pikiran manusia kepada kehidupannya yang mengalir secara absurd. Ketidakjelasan ini diartikan

sebagai kekacauan karena terbatasnya makna yang dimiliki masing-masing

individu.

Institusi yang diwariskan ke setiap individu tidak bersifat statis atau tanpa

perubahan. Hal ini karena sifat manusia yang ingin tahu yang kemudian

mempertanyakan warisan itu. Pertanyaan itu membutuhkan legitimasi yang

merupakan tahap objektivasi tahap kedua. Legitimasi meletakkan penjelasan

berdasarkan pembuktian logis atas relevansi dari sebuah institusi untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan tersebut.14

Internalisasi ada atas ciptaan individu itu sendiri yang manafsirkan realitas

objektif secara subjektif. Penafsiran tersebut disebar dalam bentuk sosialisasi

kepada orang sekitar. Tahap sosialisasi dapat berlangsung secara primer ataupun

sekunder.

12

Poloma, Sosiologi Kontemporer, h. 302.

13

Geger Riyanto, Peter L. Berger: Perspektif Metateori Pemikiran (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009), h. 117.

14

(35)

Sosialisasi primer berlangsung pada masa anak-anak dengan hubungan

emosional sangat tinggi yang tidak hanya menimbulkan proses belajar mengenal

lingkungan secara kognitif saja. Sedangkan sosialisasi sekunder memurut Berger

dan Luckmann dikatakan bahwa tanpa mempertimbangkan dimensi lainnya.

Sosialisasi sekunder dapat dikatakan sebagai proses memperoleh pengetahuan

khusus sesuai dengan perannya di mana peran-peran secara langsung atau tidak

langsung berakar dalam pembagian kerja.15

Pada proses konstruksi dalam sebuah media, ada penelitian yang disebut

analisis framing. Analisis framing merupakan penonjolan sebuah peristiwa yang

dilihat oleh seorang wartawan yang berkerja pada media massa. Salah satu orang

yang mendalami analisis framming adalah Zhongdang Pan dan Gerald M.

Kosicki.

Eriyanto mengutip pernyataan Pan dan Kosicki bahwa ada dua konsepsi

framming yang saling berkaitan, yaitu konsepsi psikologi dan sosiologis. Konsep

psikologi lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi

dalam dirinya. Sedangkan konsep sosiologi lebih melihat pada bagaimana

konstruksi sosial atas realitas.16

15

Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 21.

16 Eriyanto,

Analisis Framming; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta:

(36)
[image:36.595.104.495.98.601.2]

Tabel 1 Analisis framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki 17

Sintaksis adalah cabang linguistik yang membicarakan hubungan antarkata

dalam tuturan. Unsur bahasa yang termasuk dalam lingkup sintaksis adalah frasa,

17

(37)

klausa, dan kalimat. Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang bersifat

nonpredikatif. Klausa adalah satuan gramatika yang berupa kelompok kata, yang

sekurang-kurangnya memiliki sebuah predikat dan berpotensi menjadi kalimat.

Kalimat adalah satuan bahasa yang secara relatif berdiri sendiri yang

sekurang-kurangnya memiliki sebuah subjek dan predikat.18

Pada konteks berita, sistaksis dapat dilihat dari kerangka penulisan berita

yang dinamakan piramida terbalik. Dalam konsep itu sesuatu hal yang paling

penting diletakkan pada bagian awal paragraf. Semakin berlanjut ke paragraf

selanjutnya, semakin tidak penting. Proses ini akan terlihat peristiwa apa yang

lebih ingin ditonjolkan oleh wartawan.

Skrip merupakan kelengkapan dalam menulis berita. Kelengkapan di sini

adalah pada penulisan 5W+1H karena berita yang baik adalah yang tidak

membuat pembaca bertanya-tanya. Agar tak terjadi hal tersebut, maka penulisan

5W+1H sangat penting dalam penulisan berita.

Penulisan salah satu 5W+1H yang didahulukan, akan terlihat peristiwa apa

yang lebih ditonjolkan wartawan. Apakah itu kronologisnya, ataukah kenapa

peristiwa itu bisa terjadi, atau siapa orang yang terlibat pada peristiwa itu dapat

dilihat poin manakah yang lebih awal diceritakan oleh wartawan.

Tematik dapat dikatakan seperti sebuah tema dalam sebuah peristiwa.

Perangkat yang diamati dalam sebuah tematik ini adalah koherensi atau pertalian

antarkata.19 Koherensi merujuk pada sebuah kejadian yang diceritakan secara runtut. Oleh karena itu, tidak boleh ada penulisan peristiwa yang penting dalam

koherensi sebuah berita.

18 Zaenal Arifin dan Junaiyah,

Sintaksis (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 1-2.

19

(38)

Prinsip koherensi merupakan standar penting dalam menilai rasionalitas

naratif yang akhirnya akan menentukan apakah seseorang menerima naratif itu

atau menolaknya. Koherensi merujuk pada konsistensi internal dari sebuah

naratif.20

Retoris dalam sebuah pemberitaan lebih bagaimana cara wartawan

menekankan fakta. Penggunaan bahasa yang digunakan salah satu upaya dalam

retoris. Pembantantaian dan pembunuhkan memiiki arti yang sama, tapi memiliki

makna dengan konteks yang berbeda.

[image:38.595.102.513.280.586.2]

Selain menggunakan kata, retoris juga muncul dalam sebuah grafik atau

gambar. Grafis dibuat sebagai pendukung dari tulisan yang ingin ditonjolkan. Saat

wartawan ingin memberitakan peristiwa yang mencekam, foto berita yang

tampilkan dapat membantu pembaca menggambarkan sejauh mana peristiwa itu

begitu mencekam.

Selain gambar, pengunaan huruf dengan cetak tebal dan pemberian warna

juga mempengaruhi penekanan berita. Hal mempengaruhi kognitif seorang

pembaca saat melihat sebuah tulisan yang berbeda dengan tulisan lain. Elemen

seperti itu mengontrol ketertarikan dan perhatian secara intensif dan menunjukkan

kepada pembaca suatu hal yang dipusatkan.21

3. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis) Norman Fairclough

Wacana secara khusus merupakan percakapan atau tuturan. Dapat

dikatakan wacana adalah keseluruhan percakapan yang membentuk satu kesatuan

karangan sehingga menjadi makna yang utuh. Sebagai sebuah percakapan, wacana

20

Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Komunikasi, Edisi 3. Penerjemah Maria

Natalia Damayanti Maer (Jakarta: Salemba Humanika, 2008), h. 52.

21

(39)

berasal dari gagasan, pikiran, dan ide yang dapat dipahami pembaca atau

pendengar.

Istilah analisis wacana sangat ambigu. Michaels Stubbs mengarahkan

sebagian besar pengertian tersebut kepada analisis bahasa secara alami terjadi

menyambungkan pembicaraan atau wacana yang tertulis. Analisis wacana fokus

pada bahasa dalam penggunaan konteks sosial dan dalam bagian dengan

interaksi.22

Analisis wacana tidak dapat dipisahkan dari bahasa tindakan dan

situasinya. Tindakan ini meliputi pembicara dan pendengar dan tidak ada

hubungan yang saling bergantung. Dari sini terlihat wacana hadir dalam

kehidupan sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang sangat fleksibel.

Untuk memahami analisis wacana itu sangat sulit jika tidak cukup

memahami dan berpengetahuan minim tentang studi bahasa. Cara agar mencegah

semua itu adalah dengan mempelajari secara khusus transkip bagian data

percakapan.23

Banyak pakar komunikasi yang mengembangkan Analisis Wacana Kritis

dan salah satunya adalah Norman Fairclough. Norman Fairclough memiliki ciri

khasnya sendiri dalam menganalisis sebuah pemberitaan dalam media massa. Ia

menganalisis sebuah pemberitaan menjadi tiga bagian, yaitu teks, praktik wacana,

dan praktik sosial budaya.

22

Michael Stubbs, Discourse Analysis (Oxford: Basil Blackwell Publisher Limited, 1983), h. 1.

23

(40)

Cara yang Norman Fairclough kemukakan tersebut berisi penggambaran

linguistik dari teks bahasa, interpretasi hubungan antara proses-proses tak sama

dan teks, penjelasan hubungan antara proses-proses tak sama dan proses-proses

[image:40.595.102.514.216.642.2]

sosial.24

Tabel 2 Analisis Wacana Kritis metode Norman Fairclough25

The discussion of issue and problems in critical discourse analysis which will occupy the rest of this introduction will be organized around the three dimensions of the analytical framework sketched out above: text, discourse practice, socicultural practice. I discuss in turn issues relating to text and language, genre and orders of discourse, and society and culture. Part of my objective here is to point to and engage in controversies which have arisen from the project of critical discourse analysis, differences betwen critical discourse analysis and scholar in adjacent fields, and differences amongst critical discourse analysis.”26

24

Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis: the Critical Study of Language (New York: Longman Group Limited, 1995), h. 97.

25 Fairclough,

Critical Discourse Analysis, h. 98.

26

(41)

Fairclough menggunakan kritis dan kritik dalam analisisnya untuk

menandainya komitmen pada sebuah teori dan metode dialektika yang

mengeksplorasi interhubungan antara benda dan interkoneksi dari sebab dan efek

yang mungkin terdistorsi dari impian manusia. Namun, Analisis Wacana Kritis

pergi di luar kritik karena menggambarkan teori sosial dan teori bahasa, dan

metodotogi untuk analisis bahasa yang tidak secara umum didapat dan memiliki

sumber penghasilan dan dalam investigasi mendalam yang berada pada melebihi

pengalaman biasa.27

Struktur sosial dapat dilihat dari teks yang muncul dalam pemberitaan.

Teks tak hanya menggambarkan peristiwa yang ada, tapi di dalamnya

tersembunyi maksud tertentu. Peristiwa ini terlukiskan melalui koherensi dan

kohesi pada sebuah berita yang kemudian menjadi sebuah paragraf. Paragraf

kemudian saling terhubung dengan paragraf lain sehingga menjadi sebuah wacana

dalam pemberitaan.

Teks pada peristiwa memunculkan tanda-tanda dari sikap dari sebuah

media itu. Apakah media mendukung rakyat yang tertindas atau memihak kepada

orang yang memiliki jabatan. Teks tak pernah lepas dari bahasa. Bahasa

digunakan untuk menutupi hubungan sosial dan proses yang secara sistematis

menentukan bentuk bahasa yang dihasilkan melalui sebuah teks.

Kasus yang dapat dilihat dari permasalahan ini ketika terjadi demonstrasi

para buruh. Kebanyakan dari media massa selalu memberitakan efek negatif dari

sebuah demonstrasi yang dilakukan buruh. Media massa jarang sekali membahas

konteks yang terjadi kenapa para buruh bertindak seperti itu. Buruh melakukan

27 Rosana Dolon and Julia Todoli,

Analysing Identities in Discourse (Amsterdam: John

(42)

demonstrasi karena mendapat upah di bawah standar dan dipekerjakan tidak

layak. Mereka juga sulit untuk menikmati hari libur, bahkan waktu istirahat sulit

didapat. Masalah seperti ini yang sering terjadi pada media massa.

Aspek yang dilakukan menutupi sebuah peristiwa ini dikarenakan

ideologi. Inheren dalam wacana juga mempengaruhi sebuah hubungan dialektika

dari struktur peristiwa. Wacana dibentuk karena struktur yang ada. Tapi wacana

juga memiliki kontribusi dalam pembentukan kembali peristiwa.28

Penghubung antara analisis teks dengan praktik sosial budaya adalah

praktik wacana. Sebuah teks diproduksi atau diinterpretasi dalam wacana

tergantung dari praktik wacana dan diskusi bersama saat ruang redaksi. Sifat dari

praktik wacana adalah membentuk produksi teks dan meninggalkan hakikat dasar

dari kenyataan yang sebenarnya. Sifat dari produksi wacana juga tergantung

pemahaman yang ditentukan dari ruang redaksi.

Norman Fairclough mengibaratkan praktik wacana seperti apa yang yang

terjadi dalam institusi sekolah yang menghubungkan antara seorang guru dan

murid-muridnya. Hubungan ini akhirnya ditentukan pada level bentuk sosial

antara sekolah dan sistem ekonomi sehingga semua tindakan yang ada di sekolah

dipengaruhi oleh faktor institusi.29

Peraturan institusi yang dianalogikan Norman Fairclough ini seperti

kinerja pada sebuah media massa. Hubungan antara wartawan dan pemimpin

redaksi saat menentukan tema sebuah pemberitaan ditentukan oleh institusi media

itu. Kebijakan redaksi tidak mungkin lepas dari ideologi media massa itu. Oleh

28 Fairclough,

Critical Discourse Analysis, h. 73.

29

(43)

sebab itu, teks dan sosial budaya dapat muncul dari kebijakan redaksi yang telah

diatur sebelumnya.

Ideologi sebuah media tak lepas dari hegemoni pemilik media. Pemilik

media memiliki peran yang cukup besar dalam menentukan identitas dan ciri khas

sebuah perusahaan yang dia miliki. Dari sini, kepentingan pemilik modal masuk

pada ideologi pada media tersebut.

Konsep hegemoni yang digunakan Norman Fairclough berasal dari Lenin

dan Gramsci. Alasan Fairclough menggabungkan konsep Lenin dan

mengelaborasi analisis Gramsci karena harmonisasi dengan konsep dialektika

struktur advokasinya. Hal itu disebabkan mereka menyediakan kerangka kerja

untuk berteori dan menganalisis ideologi atau wacana yang menghindari paham

ekonomi dan idelis. Hegemoni berjalan melintasi dan mengintegrasi ekonomi,

politik, dan ideologi yang belum berasal dari sebuah tempat otentik untuk

masing-masing. Ketiga hal tersebut fokus atas politik dan kekuasaan, dan atas hubungan

dealektika antara kelas dan pangsa pasar.30 Pada intinya, ideologi dapat mengurangi realitas tanpa distorsi.

Praktik sosial budaya merupakan sebuah fokus pada suatu hal sebagai

situasi dengan segera yang telah memberikan kemunculan ke produksi dan

berbagai praktik sosial budaya dan kondisi tidak bersambungan pada institusi dan

level sosial yang menyediakan sebuah pelebaran relevansi kontekstual.31

Analisis pada praktik sosial budaya dapat digambarkan pada eksplotasi

seperti pertanyaan apakah fakta-fakta yang ada pada teks mendukung dari

ketidaksinambungan hegemoni atan kenyataan praktik sosial. Atau apakah praktik

30

Fairclough, Critical Discourse Analysis, h. 75-76.

31 Terry Locke,

Critical Discourse Analysis (London: Continuum International Publishing

(44)

sosial budaya untuk perlawanan hubungan hegemoni pada kondisi umum. Juga

bisa seperti mempertanyakan apakah praktik sosial budaya ada untuk

menghasilkan realitas sosial dan menciptakan transformasi dalam teks. Analisis

sosial budaya yang digunakan Norman Fairclough pada intinya merupakan

interpretasi dari praktik wacana yang ada pada saat ruang redaksi.

B. Kerangka Konsep

Bahasa dalam Kuasa dan Kekuatan Ideologi

Penulisan berita tak pernah lepas dari bahasa. Penulisan bahasa

menggambarkan kepribadian orang yang menulisnya. Bahkan dengan melihat

bahasa yang digunakan, kita dapat mengetahui banyak tentang orang tersebut,

seperti pengetahuannya, pendidikannya, dan lainnya.

Bahasa itu tertanam oleh ideologi yang masuk dengan berbagai cara pada

bermacam-macam jenis level. Kunci utama yang diberikan Norman Fairclough

adalah apakah ideologi merupakan sebuah alat-alat struktur atau peristiwa? Dia

menjawab, keduanya merupakan alat ideologi. Cara untuk memecahkannya

adalah dengan menemukan kepuasan dialektika struktur dan kejadian.32

Maksud dari pernyataan di atas seperti pada sebuah media massa.

Peristiwa yang terjadi pada masyarakat digabungkan dengan struktur antara

masyarakat dengan media massa tersebut. Media massa yang memiliki kekuatan

mempengaruhi publik dengan alat mereka, akhirnya memasukkan pikirannya

sehingga membuat masyarakat tergiring pada pemahaman itu. Publik pun tak

32

(45)

memiliki kekuatan untuk melawan karena tidak memiliki alat untuk membalas

doktrin tersebut.

Martin Heideger dalam buku Littlejohn dan Karen berpendapat bahwa

penggunaan bahasa setiap hari menciptakan suatu realitas dengan pengalaman

alami. Peristiwa menjadi nyata karena dibentuk dengan bahasa beserta

konteksnya. Komunikasi merupakan sarana makna yang ditandai melalui

penglaman.33

Saat orang mengatakan bahwa kemacetan yang ada di Jakarta disebabkan

karena banyaknya kendaraan pribadi, itu karena pengalaman yang dia alami setiap

hari ketika merasakan langsung kemacetan. Melihat banyak kendaraan pribadi

saat jam kerja, menciptakan kesimpulan baginya bahwa kendaraan pribadi harus

dikurangi. Pendapat itu yang selalu dia keluarkan ketika ditanya bagaimana cara

agar kemacetan di Jakarta berkurang.

Saat orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat terhadap orang sekitar,

maka orang yang menjadi lawan bicaranya akan terpengaruh dengan realitas yang

diciptakan orang tersebut. Akan tetapi jika lawan bicaranya lebih kuat untuk

mempengaruhi orang pertama tersebut, orang pertama yang akan mengubah cara

pandangnya mengenai kemacetan yang ada di Jakarta.

Norman Fairclough mengibaratkan kekuatan bahasa seperti kekuatan

dalam bahasa seperti perbincangan dokter dan pasien. Dokter memiliki otoritas

33 Stephen W Littlejohn and Karen A Foss,

Theories of Human Communication, 9th ed.

(46)

yang tinggi secara umum karena dokter paham tentang kedokteran dan pasien

tidak. Dokter memiliki keputusan dan kontrol dalam penyembuhan.34

Contoh tersebut digambarkan bahwa dokter tidak mungkin berkata bohong

pada pasien. Jika dokter tersebut melontarkan perkataan bahwa umur pasien sudah

dekat, pasien pasti percaya dengan pernyataan tersebut karena dokter yang

memahami tentang kesehatan.

Media massa juga memiliki kekuatan yang sama seperti dokter dan pasien.

Bahkan media massa lebih dominan dalam penguasaan bahasanya terhadap

publik. Publik menerima pengaruh cukup besar lewat bahasa yang diberitakan

media massa dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan pengaruh tersebut.

Masyarakat bisa menghindari dominasi tersebut dengan cara meninggalkan dan

tidak membaca pemberitaan surat kabar yang diterbitkan media massa.

Bahasa yang digunakan juga berhubungan dengan ideologi. Menurut

Fairclough bahasa adalah bentuk paling umum dari kebiasaan sosial dan bentuk

tingkah laku sosial. Ideologi selalu dihubungkan pada kekuatan karena umumnya

ideologi terkandung dalam kebiasaan adat tergantung pada kekuatan orang

tersebut.35

Hal ini berarti apa yang diucapkan melalui bahasa seseorang kepada orang

lain menggambarkan apa yang sedang orang itu pikirkan. Pikiran tersebut terdapat

ideologi yang muncul baik secara implisit ataupun eksplisit dan tersampaikan

melalui tindakan. Ideologi, berdasarkan pernyataan Fairclough di atas bisa

34

Norman Fairclough, Language and Power second edition, 3th ed. (New York: Routledge, 2013), h. 1-2.

35

(47)

terpengaruh oleh faktor sosial atau lingkungan. Dengan mengetahui bahasa yang

digunakan, dapat diketahui apa yang orang tersebut pikirkan dan seperti apa

kondisi lingkungan yang sudah dia hadapi.

Norman Fairclough menggabungkan bahasa yang memiliki kekuatan

berdasarkan teori Michel Foucault yang telah memulai peran utama wacana dalam

perkembangan bentuk modern kekuasaan dan Jurgen Habermas yang teori aksi

komunikasinya menyoroti cara distorsi komunikasi dengan pandangannya tentang

bahasa yang dapat meminimalisir kekerasan dalam kekuasaan sehingga menjadi

teori sosial.36

Bahasa digunakan untuk menutupi hubungan dan proses-proses sosial

yang secara sistematis menentukan berbagai macam sifat, termaksud bentuk

bahasa yang dihasilkan pada teks. Penutupan dalam sosial yang berhubungan pada

gagasan wacana adalah bahasa merupakan bentuk ideologi dan bahasa tertanam

oleh ideologi.37

36 Fairclough,

Language and Power, h. 10.

37

(48)

35

PROFIL DAN GAMBARAN UMUM

A. Sejarah Perkembangan Tempo

Pada jaman Orde Baru atau 6 Maret 1971, sejumlah wartawan sepakat

mendirikan majalah berita mingguan yang bernama Tempo. Mereka adalah Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bur Rayuanto, Christianto Wibisono, Yusril

Djalinus, dan Putu Wijaya. Tempo lahir di Jl.Senen Raya 83, Jakarta dengan Yayasan Jaya Raya sebagai penerbitnya. Saat itu Tempo berbentuk majalah.1

Alasan mengapa para pendiri memberikan nama Tempo karena nama itu singkat, bersahaja, dan enak diucapkan oleh lidah orang Indonesia dari segala

daerah. Sebutan Tempo juga terdengar netral, tidak mengejutkan ataupun merangsang. Nama itu pun bukan simbol suatu golongan. Pengertian Tempo

secara sederhana, yaitu waktu. Sebutan ini sangat lazim digunakan media massa

di berbagai dunia dengan bahasa negara mereka sendiri.2

Saat pertama kali hadir, banyak orang menilai Tempo mengikuti majalah ternama di Amerika bernama Time. Selain pengertiannya yang sama bentuk logonya pun serupa. Oleh karena itu pihak Time pernah menggugat Tempo karena masalah ini. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan dengan cara yang damai.

1

http://id.wikipedia.org/wiki/Tempo_(majalah) diunduh 22 april 2013.

2

(49)

Perjalanan Tempo sempat mengalami hambatan. Media ini sempat dibredel pada 1982 selama dua bulan saat edisi 13 Maret 1982 karena pembuaan

artikel yang mengidentifikasikan kecurangan pemilu tahun 1981. Tempo

mengalami pembredelan kembali pada 1994 selama empat tahun di edisi 11 Juni

1994 karena artikel mengenai pembelian kapal perang bekas Jerman oleh

pemerintah. Akhirnya Tempo terbit kembali dengan formasi baru pada 6 Oktober 1998.

Pada 2 April 2010 atau 40 tahun kelahiran Tempo, muncul Koran Tempo.

Tempo dan Koran Tempo masih dalam satu penerbitan, yaitu PT Tempo Inti Media Harian. Saat itu hasil penjualan Koran Tempo sebanyak 100.000 eksemplar sehari.3

Untuk mempermudah manajemen Tempo yang berbentuk majalah, koran dan internet, maka didirikanlah Tempo News Room. Hal ini dimaksud agar mempermudah ketiga produk tersebut kepada wartawannya. Akan tetapi hal ini

malah membuat wartawan Tempo seperti dimanfaatkan. Dalam mengelola Tempo

secara keseluruhan mereka hanya mendapat gaji seperti biasa. Seharusnya dengan

mengelola ketiga media tersebut, wartawan Tempo juga mendapat penghasilan seperti bekerja di tiga media.

Tidak hanya dari internal saja masalah yang terjadi, di era keterbukaan

informasi, Tempo masih sering kali mendapat masalah dari sisi pemberitaan. Permasalahan terjadi ketika pemberitaan Majalah Tempo mengenai tragedi kebakaran di Tenabang.

3

(50)

Di terbitan itu Majalah Tempo menuliskan ada sangkut paut kebakaran yang terjadi dengan Tomy Winata. Tomy yang tak terima tuduhan itu akhirnya

melayangkan somasi dan mengharuskan Tempo mengucapkan permintaan maaf di beberapa media cetak ternama di Jakarta.

Selain masalah pemberitaan, masih ada lagi kasus mengenai gambar yang

dibuat majalah itu. Tahun 2008 umat Katolik menggugat Majalah Tempo karena gambar halaman muka mereka yang bergambar Soeharto bersama anak-anaknya

mengikuti gambar Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci. Umat Katolik

meminta Tempo melakukan klarifikasi dan meminta maaf atas perbuatan itu di media mereka dan memastikan kejadian seperti ini tidak terulang lagi.

Dua tahun kemudian Majalah Tempo mengulang hal serupa tapi kali ini bukan mengenai agama, tapi dengan instansi kepolisian. Akan tetapi permasalah

ini cepat selesai melalui perantara Dewan Pers dengan cara damai. Tahun 2012

seakan Majalah Tempo mengulang kesalahan yang sama. Kali ini Choel Malarangeng yang tidak terima dengan gambar sampul majalah tersebut. Masalah

itu pun selesai dengan cara damai.

Dengan masalah yang sering kali menimpa Tempo, tidak heran banyak kalangan yang tidak suka dengan mereka, terlebih lagi dengan kemudahan

masyarakat memperoleh informasi. Akun twitter @TrioMacan2000 salah satu

buzzer (orang yang memiiki pengaruh ke orang lain) yang bersikap sinis pada

Tempo. berkali-kali mengatakan kalau Tempo merupakan antek-antek politisi karena pemberitaannya yang tidak berimbang. Akun tersebut juga sering berkata

[ima

Gambar

Tabel 3 Judul Berita .......................................................................................
Tabel 1 Analisis framing metode Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki 17
gambar. Grafis dibuat sebagai pendukung dari tulisan yang ingin ditonjolkan. Saat
Tabel 2 Analisis Wacana Kritis metode Norman Fairclough25
+3

Referensi

Dokumen terkait

Adapun strategi yang digunakan dalam menginternalisasikan karakter religius bagi siswa yang dikembangkan oleh MAN 1 Malang dan MA Bilingual Batu yaitu; a Dilakukan secara

Impilikasi Internalisasi Nilai – nilai Budaya Religius dalam Membentuk Karakter Santri di Pondok Pesantren Putri Al – Fathimiyyah dan PPP Sunan Drajat Lamongan Adapun implikasi

Beban dibuat bervariasi mulai dari 0 kg – 95 kg, proses meshing , dimana sistem kontinyu benda yang akan dianalisis didiskritisasi sehingga struktur utama

Dengan mengoptimalkan gaya belajar yang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan majemuk, siswa dapat terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran matematika, siswa lebih

Soegiharto (2001) meneliti beberapa faktor yang diduga berpengaruh pada kinerja sistem informasi akuntansi, di antaranya adalah keterlibatan pemakai dalam

Tingkat pendidikan manajer, umur LKM- A, waktu pelayanan dan jumlah pengelola memiliki pengaruh dan nyata terhadap efisiensi LKM-A, sedangkan metode pinjaman dan sistem

Dapatan kajian menunjukkan elemen mengikut pangkat tertinggi ialah elemen (i) perubahan dalam perpustakaan dihebahkan dengan jelas kepada kakitangan bagi konstruk komunikasi;

[r]