• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Hutan Rakyat, Kasus DI Forest Management Unit (Fmu) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelembagaan Hutan Rakyat, Kasus DI Forest Management Unit (Fmu) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT

Kasus di Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari

Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

SOFYAN ARIEF

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kelembagaan Hutan Rakyat, Kasus di Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2016

Sofyan Arief

(4)

ABSTRAK

SOFYAN ARIEF. Kelembagaan Hutan Rakyat, Kasus di Forest Management Unit

(FMU) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur Dibimbing oleh DIDIK SUHARJITO.

Kelembagaan diperlukan untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat sebagai bahan baku kayu untuk industri yang terus meningkat. Forest Manajemen Unit (FMU) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan merupakan unit pengelolaan hutan rakyat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kelembagaan dan sistem pengelolaan hutan rakyat di FMU Karsa Lestari. Data dikumpulkan dengan cara wawancara semi terstruktur dan studi dokumen, dan dianalisis dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kelembagaan berperan dalam mendukung keberlanjutan pengelolaan hutan rakyat di FMU Karsa Lestari. Hutan rakyat yang dikelola oleh FMU Karsa Lestari telah lulus sertifikasi ekolabel. Secara struktural, kelembagaan memiliki kelengkapan susunan pengurus, pembagian tugas dan wewenang yang jelas. Aturan-aturan pengelolaan hutan secara efektif dipahami dan dipatuhi oleh anggota FMU Karsa Lestari. Salah satu kendala yang dihadapi oleh FMU Karsa Lestari adalah belum terbentuk jaringan pasar yang memberikan insentif harga yang lebih tinggi bagi masyarakat, oleh sebab itu perlu adanya fasilitasi temu usaha oleh pemerintah agar terjalin jaringan pasar yang memberikan insentif harga yang lebih tinggi untuk mensejahterakan masyarakat.

Kata kunci: hutan rakyat, kelembagaan, sistem pengelolaan

ABSTRACT

SOFYAN ARIEF. Institution of private forest, Case in Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari Pamekasan District, East Java. Supervised by DIDIK SUHARJITO.

Institution of private forest is needed to ensure sustainable yield of forest as raw material for industry that will be always increasing. Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari in Pamekasan District is one of the private forest management unit. The objective of this study is to describe institution and system of the private forest management of the FMU Karsa Lestari. Data in this research were collected through semi-structured interviews and literature study, and was analyzed using descriptive methods. The results showed that the institutional role was giving support to sustainability of the private forest management in the FMU Karsa Lestari. Private forests managed by FMU Karsa Lestari has passed ecolabel certification. Structurally, the institution has already a complete management structure, roles, and well-defined authority. The rules of the forest management were effectively well-understood and obeyed by the members of FMU Karsa Lestari. One of the constraint faced by the FMU Karsa Lestari is market network that can provides incentives to the higher prices for the community has not been formed, Thus it is necessary for the government to facilitate business meeting concerning better market network which gives higher price incentive and increase community’s prosperity.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Manajemen Hutan

KELEMBAGAAN HUTAN RAKYAT

Kasus di Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari

Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur

SOFYAN ARIEF

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2015 sampai Agustus 2015 ini adalah Kelembagaan Hutan Rakyat, Kasus di Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Didik Suharjito MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dedy Bagus Pramudi Wardana, S.Hut, M.Agr dan Mohammad Mulyadi, S.Hut, M.Agr yang telah bersedia membantu dalam pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODOLOGI PENELITIAN 2

Kerangka Pemikiran 2

Definisi Operasional 3

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

Alat dan Bahan 3

Pengumpulan Data 3

Metode Pengambilan Contoh 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Konsisi Umum Lokasi Penelitian 4

Sejarah Hutan Rakyat di Lokasi FMU Karsa Lestari 5

Luas Usaha Hutan Rakyat 7

Lahirnya Kelembagaan 8

Tujuan Kelembagaan 9

Aspek Struktur Organisasi 9

Aspek Kelembagaan Sebagai Aturan Main 14

Efektivitas Kelembagaan 17

Kegiatan Pengelolaan Hutan Rakyat 21

Hubungan Kelembagaan dengan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat 27

SIMPULAN DAN SARAN 28

DAFTAR PUSTAKA 29

LAMPIRAN 31

(10)

DAFTAR TABEL

1 Luas dan jenis penggunaan lahan desa di lokasi FMU Karsa Lestari 5 2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepadatan penduduk di

lokasi FMU Karsa Lestari 5

3 Pola perekrutan anggota 12

4 Frekuensi pertemuan 12

5 Landasan penetapan pemimpin 13

6 Persepsi masyarakat terhadap peran pemimpin dalam kelembagaan 14

7 Tingkat kepercayaan responden 17

8 Tingkat pemahaman, dan kepatuhan responden terhadap aturan 19

9 Tingkat pelanggaran terhadap aturan 20

10 Kegitan persiapan lahan sebelum penanaman 22

11 Cara memperoleh bibit 23

12 Kegiatan pemeliharaan di Desa Rek Kerrek dan Desa Angsanah 24 13 Pengolahan Hasil Desa Rek Kerrek dan Desa Rang Perang Dhaja 26

DAFTAR GAMBAR

1 Hubungan kelembagaan terhadap pengelolaan hutan rakyat 2 2 Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat FMU Karsa Lestari 7 3 Struktur Organisasi FMU Karsa Lestari 10 4 Struktur Organisasi Gabungan Kelompok Tani 10

5 Struktur Organisasi Kelompok Tani 11

6 Kegiatan Penanaman (a) penanaman pola monokultur di areal berbatu

(b) penanaman pola agroforestry 22

7 Kegiatan (a) Pengelolaan Bibit dan (b) Distribusi Bibit 23 8 Kegiatan pengolahan hasil (a) kayu gelondongan dan (b) kayu gergajian 26

DAFTAR LAMPIRAN

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan rakyat memiliki peran penting terhadap kelestarian ekosistem lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat pada dasarnya bertujuan meningkatkan manfaat hutan milik rakyat untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan tercapainya kesejahteraan secara berkesinambungan. Kayu hutan rakyat di Pulau Jawa memasok bahan baku kayu industri 83% sedangkan kayu dari hutan alam hanya 17% saja dari total kebutuhan bahan baku kayu sebesar 11.9 juta m3 (Ditjen RLPS 2010), sehingga kelestarian hasil hutan rakyat menjadi kebutuhan yang sangat penting, karena laju kebutuhan pasokan bahan baku kayu untuk industri terus meningkat.

Pengelolaan hutan rakyat umumnya belum mengacu pada aspek-aspek manajemen hutan secara lestari. Menurut Awang et al. (2007) pengelolaan hutan rayat masih berbasis pada tingkat keluarga karena setiap keluarga melakukan pengembangan dan pengaturan secara terpisah. Pada umumnya dalam pengelolaan hutan rakyat belum terbentuk organisasi yang professional dan belum ada perencanaan yang baik. Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan hutan rakyat (penanaman, pemeliharaan, penebangan dan pemasaran) ditentukan oleh kebijakan masing-masing keluarga, sehingga tidak ada jaminan dari petani hutan rakyat terhadap kontinuitas pasokan kayu bagi industri.

Penguatan kelembagaan pengelolaan diperlukan untuk menjamin kelestarian hasil hutan rakyat sehingga terbentuk aturan internal yang mengatur sistem pengelolaan hutan yang disepakati oleh setiap anggotanya (Hindra 2006). Melalui kelembagaan itulah setiap pihak terkait dapat bersama-sama mengkaji dan mencari jalan keluar dari setiap masalah yang dihadapi. Pengaturan hasil hutan rakyat yang dilakukan melalui mekanisme kelompok dan musyawarah dapat membangun kesepahaman pemilik hutan rakyat dan kelompok, sehingga terwujud suatu kesepakatan dalam pengelolaan hutan menuju kepada kelestarian hutan rakyat dan kesejahteraan masyarakat.

Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu bentuk pengelolaan hutan rakyat yang sudah berbasis kelembagaan. FMU Karsa Lestari terdiri atas gabungan kelompok tani dari 4 desa dan telah memiliki aturan internal serta mekanisme pengelolaan yang disepakati. Sistem tersebut diharapkan dapat mewujudkan kelestarian hutan rakyat sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendeskripsikan kelembagaan dan sistem pengelolaan rakyat di FMU Karsa Lestari sehingga dapat memberikan gambaran sistem pengelolaan dan kelembagaan hutan rakyat berbasis masyarakat lestari.

Rumusan Masalah

Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sistem kelembagaan pengelolaan hutan rakyat pada FMU

Karsa Lestari Kabupaten Pamekasan?

(12)

Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan kelembagaan dari aspek struktural dan aspek kultural atau aturan dan penegakan aturan pada FMU Karsa Lestari.

2. Mendeskripsikan sistem pengelolaan hutan rakyat pada FMU Karsa Lestari. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai sistem pengelolaan dan kelembagaan hutan berbasis masyarakat lestari pada Unit Manajemen Hutan Rakyat, dan diharapkan dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam pemecahan masalah yang terkait dengan masalah-masalah sistem kelembagaan hutan rakyat.

METODOLOGI PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Konsep kelembagaan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Uphoff (1986) dalam Ohorella et al. (2011), kelembagaan yang dimaksud adalah suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai bersama untuk melayani tujuan kolektif. Pada pengelolaan hutan rakyat, kelembagaan yang dimaksud mencakup aspek struktural atau keorganisasian dan aturan main.

Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat di Desa Rek Kerrek, Desa Angsanah, Desa Rang Perang Daja dan Desa Samatan tidak terlepas dari adanya kelembagaan yang tercermin adanya tata cara mengelola hutan rakyat dan adanya organisasi yang menangani kegiatan pengelolaannya. FMU Karsa Lestari merupakan organisasi yang dibentuk untuk memfasilitasi dan membangun jejaring (network) antar pengelola hutan rakyat dari empat desa melalui pemantapan dan pengelolaan setiap kelompok tani pengelola hutan rakyat dalam satu unit manajemen agar tercapainya kemampuan melestarikan hutan rakyat. Aturan main (rule of the game) merupakan infrastruktur kelembagaan yang membingkai hubungan antar aktor dalam kelembagaan dan aktor-aktor diluar kelembagaan tersebut. Aturan dalam pengelolaan hutan rakyat tertuang dalam Standart Operasional Prosedur (SOP) yang dijadikan sebagai acuan dan peningkatan ketrampilan masyarakat dalam mengelola hutan rakyatnya.

Menurut Attar (1998) sistem pengelolaan hutan rakyat pada dasarnya bertitik tolak pada tiga sub sistem yang saling berkaitan yaitu sub sistem produksi (penanaman, pemeliharaan, pemanenan), sub sistem pengolahan hasil (produk akhir yang dijual atau dipakai sendiri) dan sub sistem pemasaran. Penelitian kelembagaan hutan rakyat ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas kelembagaan dan peran kelembagaan tersebut dalam mencapai keberhasilan pengelolaan hutan rakyat di FMU Karsa Lestari.

Kelembagaan : 1. Organisasi

2. Aturan main

Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat: 1. Sub Sistem Produksi

(13)

Definisi Operasional

1. Kelembagaan sebagai aturan main adalah sekumpulan aturan main, norma, etika berperilaku yang dirancang dan disepakati bersama dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Hal ini dapat dilihat dari norma/aturan, landasan norma, dan penegakan aturan.

2. Kelembagaan sebagai organisasi dapat dilihat dari aspek struktural yang ada pada lembaga atau organisasi tersebut. Aspek organisasi dapat dilihat dari tujuan organisasi, struktur organisasi, keanggotan, dan kepemimpinan.

3. Sistem pengelolaan hutan rakyat merupakan bentuk dan upaya pengelolaan hutan yang bertitik tolak pada sistem produksi (penanaman, pemeliharaan, pemanenan), sub sistem pengolahan hasil (produk akhir yang dijual atau dipakai sendiri) dan sub sistem pemasaran hasil hutannya.

4. Efektivitas kelembagaan diukur dari tingkat kepercayaan, tingkat pemahaman, tingkat kepatuhan dan tingkat pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni-Agustus 2015 di Kabupaten Pamekasan, Kepulauan Madura Jawa Timur dengan objek kajian petani hutan rakyat yang tergabung dalam FMU Karsa Lestari.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam pengambilan data adalah alat tulis, camera,

interview guide, tape recorder, kuesioner. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder terkait kelembagaan hutan rakyat FMU Karsa Lestari.

Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer adalah hasil wawancara semi terstruktur dengan petani hutan rakyat dan pengurus FMU Karsa Lestari mengenai sistem pengelolaan hutan rakyat dan kelembagaan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti kelompok tani hutan rakyat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pamekasan, dan Instansi terkait lainnya yang meliputi data kondisi umum dan sejarah lokasi penelitian, aturan-aturan tertulis mengenai sistem pengelolaan hutan dan struktur kelembagaannya. Secara lebih rinci metode pengumpulan data disajikan dalam Lampiran 1.

Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh penelitian diambil secara sengaja disesuaikan dengan tujuan penelitian. Contoh atau sampel dalam penelitian ini terdiri dari contoh lokasi,

(14)

Desa tersebut dipilih berdasarkan luas wilayah dan banyaknya aktivitas usaha hutan rakyat. Contoh responden dalam penelitian ini adalah petani hutan rakyat yang tergabung dalam kelompok tani Jaya Abadi Desa Rek kerrek dan Kelompok Tani Tunas Muda Desa Rang Perang Dhaja. Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 orang setiap kelompok tani. Singarimbun dan Effendi (1987) mengemukakan bahwa jumlah responden minimal untuk penelitian sosial adalah 30 orang. Sedangkan yang dimaksud key informan dalam penelitian ini adalah lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat yang terdiri atas pengurus FMU Karsa Lestari, Gapoktan, dan kelompok tani serta instansi terkait yaitu Dishutbun Kabupaten Pamekasan, Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL), Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL). Observasi dilakukan untuk mengamati langsung kondisi hutan rakyat yang tergabung dalam Unit Manajemen Hutan Rakyat Karsa Lestari.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif untuk menjelaskan sistem pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani, serta menjelaskan sistem kelembagaan dari aspek struktural/keorganisasian dan aspek kultural berupa aturan dan penegakan aturan. Efektivitas kelembagaan di ukur dengan tingkat kepercayaan, tingkat pemahaman, tingkat kepatuhan dan pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan-aturan (Ohorella et al. 2011). Indikator kepercayaan dibagi menjadi tiga kategori yaitu percaya, ragu-ragu, tidak percaya. Indikator pemahaman dibagi menjadi tiga kategori yaitu paham, cukup paham, tidak paham. Indikator kepatuhan dibagi menjadi tiga kategori yaitu patuh, kurang patuh, tidak patuh. Sedangkan indikator tingkat pelanggaran dibagi menjadi tiga kategori yaitu tidak pernah melanggar, jarang melanggar, dan sering melanggar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsisi Umum Lokasi Penelitian

Forest Management Unit (FMU) Karsa Lestari merupakan gabungan kelompok tani pengelola hutan rakyat dari empat desa di dua kecamatan di Kabupaten Pamekasan yakni Desa Rek Kerrek dan Desa Angsanah (Kecamatan Palengaan) serta Desa Rang Perang Dhaja dan Desa Samatan (Kecamatan Proppo). Secara geografis Kabupaten Pamekasan berada pada 113⁰19’-113⁰58’BT dan 6⁰51’-7⁰31’LS. Berdasarkan batas geografisnya, sebelah utara dibatasi laut jawa, batas selatan terdapat selat Madura, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Sampang dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sumenep.

(15)

Luas wilayah dan jenis penggunaan lahan desa di lokasi FMU Karsa Lestari disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Luas dan jenis penggunaan lahan desa di lokasi FMU Karsa Lestari Desa Kecamatan Sawah

Sumber: BPS 2015a dan 2015b

Penggunaan lahan terluas di Desa Rek Kerrek, Desa Rang Perang Dhaja dan Desa Angsanah adalah untuk pertanian lahan kering berupa ladang dan tegalan. Sedangkan Desa Samatan penggunaan lahan terluas berupa sawah. Lahan hutan rakyat di lokasi FMU Karsa Lestari termasuk dalam lahan pertanian berupa ladang dan tegalan.

Tabel 2 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepadatan penduduk di lokasi FMU Karsa Lestari

Desa Kecamatan Laki-Laki (jiwa)

Sumber: BPS 2015a dan 2015b

Jumlah penduduk di empat desa sebanyak 22 361 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10 923 jiwa dan perempuan 11 438 jiwa dengan kepadatan penduduk 815.77 jiwa/km2

. Mayoritas Penduduk dari empat desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani, buruh tani, supir, tukang, dan wiraswasta.

Sejarah Hutan Rakyat di Lokasi FMU Karsa Lestari

(16)

Tahun 1987 mulai ada program pembangunan hutan rakyat melalui program bantuan Kebun Bibit Desa (KBD) terkait rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Awalnya masyarakat menolak adanya program penghijauan atau rehabilitasi hutan dan lahan dari pemerintah. Masyarakat beranggapan program tersebut akan mengalihkan status kepemilikan lahan milik masyarakat menjadi lahan Negara. Namun, melaui proses penyuluhan akhirnya masyarakat mulai sadar dan berkontribusi dalam pembangunan hutan rakyat. Tahun 1990 sampai 1995 terdapat bantuan khusus hutan rakyat berupa perbanyakan tanaman dan penambahan hutan rakyat secara swadaya yang memegang peran penting berhasilnya penghijauan. Tahun 2005 hutan rakyat di Desa Rek Kerrek masuk kriteria lomba hutan rakyat tingkat provinsi atas keberhasilannya dan memperoleh penghargaan (juara I) dan tahun 2006 memperoleh penghargaan (juara II) sebagai wilayah pendukung pada lomba Bupati Peduli Kehutanan Tingkat Nasional. Tahun 2015 salah satu kelompok tani “Jaya Abadi” yang mengelola kebun bibit rakyat (KBR) meraih juara 1 tingkat Nasional dalam rangka lomba PDASHL (pengelolaan daerah aliran sungai dan hutan lindung) yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pengelolaan hutan rakyat setiap desa di lokasi FMU Karsa Lestari hampir seluruhnya tidak ada perbedaan. Kegiatan pengelolaan diawali dengan pembibitan. Pembibitan pada awalnya dilakukan oleh pihak pemerintah dan kelompok tani tinggal menerima bibit sesuai dengan target keproyekan dan jenis yang diprogramkan. Seiring dengan perkembangan dan kemandirian kelompok melalui bimbingan dari Penyuluh Kehutanan akhirnya pembuatan bibit dilakukan masing-masing desa. Pembuatan KBD dan KBR sepenuhnya dikelola oleh kelompok tani dan bantuan teknis dari Penyuluh Kehutanan.

Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan disaat hujan sudah mantap terutama kegiatan swadaya. Pelaksanaan penanaman dilakukan pada lahan milik, kecuali untuk penanaman bibit program RHL dilakukan berkelompok dan dipimpin oleh ketua kelompok tani. Jarak tanam yang lazim digunakan oleh masyarakat adalah 2m × 2m atau 2.5m × 2.5m yang dimaksudkan untuk mendapat tegakan yang lurus dan bebas cabang yang tinggi. Sedangkan untuk program RHL biasanya menggunakan jarak tanam 5m x 5m. Adapun lokasi penanaman menyebar pada lahan milik kecuali program RHL yang dibuat mengelompok pada hamparan tertentu (dengan luasan sekitar 25 Ha).

Pemeliharaan yang dilakukan yaitu pemupukan, penyiangan, pemangkasan, dan penjarangan. Pemupukan menggunakan pupuk organik dan kimia untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Penyiangan biasanya dilakukan pada saat awal dan akhir musim penghujan yang bertujuan mengurangi persaingan makanan dengan gulma. Pemangkasan dilakukan untuk memperoleh bebas cabang yang tinggi, hasil pemangkasan dimanfaatkan masyarakat untuk pakan ternak dan kayu bakar. Penjarangan enggan dilakukan dengan alasan jumlah pohon berkurang. Masyarakat juga melakukan perlindugan hutan dari gangguan pengembalaan ternak dan kebakaran hutan.

(17)

Pemasaran hasil hutannya dilakukan dengan beberpa cara yaitu 1) Pemasaran kayu berdiri/pohon, pembeli datang ke lokasi dan melakukan proses tawar-menawar pohon dilakukan di lapangan. Pembeli biasanya menggunakan kayu berdiri sebagai bahan baku mebel. 2) Pemasaran kayu bakar untuk rumah tangga, kayu dijual ke pasar dalam bentuk kayu ikat dan diangkut dengan kendaraan pick up/truk. 3) Pemasaran kayu bakar untuk industri bata merah dan genteng.

Luas Usaha Hutan Rakyat

Usaha hutan rakyat di Desa Rek Kerrek dan Desa Rang Perang Dhaja dilakukan secara swadaya masyarakat dan bantuan pemerintah. Bantuan pemerintah yang dilakukan kepada FMU Karsa Lestari berdasarkan data tiga tahun terahir melalui dana alokasi khusus (DAK) kehutanan dan kegiatan pembuatan kebun bibit rakyat (KBR). Dana alokasi khusus kehutanan digunakan untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat seluas 25 ha, pengkayaan hutan rakyat, dan pengkayaan vegetatif melalui bantuan bibit. Selain itu, pemerintah juga berperan dalam kegiatan penyuluhan teknis kehutanan dengan memberi pemahaman bagi petani yang belum sepenuhnya mampu mengelola hutan miliknya sendiri.

Luas hutan rakyat di Desa Rek-Kerrek seluas 400 Ha terdiri atas 9 kelompok tani dari 536 KK yang tersebar pada 9 dusun, Desa Rang Perang Daja seluas 75 Ha terdiri atas 7 kelompok tani dari 137 KK yang tersebar pada 7 dusun, Desa Angsanah seluas 100 Ha terdiri atas 7 kelompok tani dari 189 KK yang tersebar pada 7 dusun, dan Desa Samatan seluas 25 Ha terdiri atas 3 kelompok tani dari 153 KK yang tersebar pada 3 dusun (FMU Karsa Lestari 2013).

Hutan rakyat di FMU Karsa Lestari didominasi oleh jenis Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia sp.), dan jenis Akasia (Acacia auriculiformis) seperti yang terlihat pada (Gambar 2). Potensi hutan rakyat yang cukup luas ini didukung dengan adanya industri mebel kayu sebagai sentra pengolahan hasil hutannya. Desa Rek Kerrek memiliki 9 industri mebel kayu, Desa Angsanah memiliki 3 industri mebel kayu, Desa Samatan memiliki 1 industri mebel kayu, dan Desa rang Perang Dhaja memilki 5 industri mebel kayu (BPS 2015a dan 2015b).

(18)

Lahirnya Kelembagaan

Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dan adanya upaya kerja sama untuk mencapai tujuan dan memenuhi kebutuhan bersama. Kelembagaan yang terbentuk pada awalnya adalah kelompok tani. Kelompok tani membawahi empat bidang pertanian secara umum yaitu Pertanian, Perikanan, Peternakan, dan Kehutanan. Terbentuknya kelompok tani berawal sejak tahun 2000 sampai 2001 yaitu mulai adanya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelompok dan mulai berpikir lebih maju. Periode 2002 sampai 2004 terdapat pembinaan kelompok dan mulai mendapat hasil yaitu terbentuknya kelompok tani. Periode 2006 hingga 2007 masyarakat mulai merasakan manfaat dari adanya kelompok tani dan mulai aktif berkelompok dalam mengelola bibit. Tahun 2007 sampai 2010 terbentuk gabungan kelompok tani (Gapoktan) yang didasari partisipasi aktif dari masing-masing kelompok tani.

Adanya kesadaran masyarakat dalam mewujudkan pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari berdasarkan potensi hutan rakyat yang dimiliki serta adanya dukungan dari pemerintah daerah yaitu Dishutbun Kabupaten Pamekasan, maka pada 29 April 2010 dibentuklah “FMU Karsa Lestari” yang merupakan organisasi bersifat independen dan berorientasi pada kegiatan sosial, ekonomi disektor kehutanan yang berbudaya agribisnis dan berwawasan lingkungan. Pembentukan FMU Karsa Lestari pada dasarnya dilatarbelakangi adanya kebijakan pemerintah terkait sertifikasi hutan yang mengharuskan hutan rakyat tersertifikasi sebagai pengakuan publik atas pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat yang diharapkan terwujudnya insentif-insentif pasar dan dukungan pemerintah terhadap hutan rakyat.

Perjalanan kelompok sejak dimulainya pengembangan hutan rakyat hingga mendapatkan sertifikasi legalitas kayu tidak terlepas dari peranan pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Kegiatan pengelolaan hutan rakyatnya tidak terlepas dari peranan para pihak informal dan formal. Pihak informal yang terlibat yaitu petani/pemilik, pedagang lokal/pengepul dan tokoh masyarakat. Sedangkan peran pihak formal yaitu Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, FMU Karsa Lestari, PKL, PPL, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kepala Desa dan peran Departemen Kehutanan. Masing-masing peranan dan tanggung jawab para pihak yang mendukung kegiatan pengelolaan hutan rakyat di lokasi FMU Karsa Lestari sebagai berikut:

1. Pemerintah tingkat pusat (Departemen Kehutanan)

Memberikan dukungan melalui bantuan program pembibitan (KBR) dan Dana Alokasi Khusus Kehutanan melalui unit-unit organisasi dan pelaksana teknis dibawahnya

2. Dishutbun Kabupaten Pamekasan

Memberikan bimbingan teknis pengelolaan hutan dan konservasi tanah melalui penyuluhan yang dilaksanakan oleh penyuluh kehutanan lapangan (PKL).

3. LSM PERSEPSI

(19)

4. Kelompok Tani

Menyusun rencana, aturan dalam mengelola hutan rakyat dan menjadi forum komunikasi petani di setiap dusun.

5. Gabungan Kelompok Tani

Memfasilitasi pertemuan antar kelompok tani dalam satu desa serta mengelola dana PUAP

6. FMU Karsa Lestari

Memfasilitasi dan membangun jejaring (Net Working) pengelola hutan rakyat melalui pemantapan dan pengelolaan setiap kelompok tani dalam satu unit manajemen serta mengatur mekanisme pemasaran kayu sertifikasi.

Tujuan Kelembagaan

Pada hakekatnya setiap kelembagaan memiliki tujuan, karena suatu lembaga lahir dan dibangun karena adanya tujuan. Lembaga akan tetap eksis sepanjang masih mampu mewujudkan tujuan yang ingin dicapainya (Widiyanti 2009). Kelompok tani memiliki tujuan lebih berorientasi kedalam kelompok yaitu meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat sekitar dengan meningkatkan penghasilan petani dan kualitas produksi serta memberi perhatian khusus dalam hal kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Sedangkan tujuan FMU Karsa Lestari tertuang dalam anggaran dasar pasal 4 yaitu: 1) Tercapainya kemampuan melestarikan hutan rakyat melalui pemantapan dan pengelolaan setiap kelompok tani pengelola hutan rakyat dalam satu unit manajemen. 2) Menumbuhkembangkan profesionalisme dibidang kewirausahaan dalam kehutanan secara umum sehingga dapat meningkatkan posisi tawar petani pengelola hutan rakyat. dan 3) Terciptanya jaringan organisasi yang dinamis diantara kelompok tani pengelola hutan rakyat yang ada di empat desa sebagai suatu kesatuan unit manajemen.

Aspek Struktur Organisasi

Struktur Organisasi Forest Manajemen Unit (FMU) Karsa Lestari

Kelembagaan yang beranggotakan sejumlah orang dengan visi dan misi yang sama tentunya tidak terlepas dari struktur kelembagaan yang memiliki fungsi internal maupun eksternal untuk mencapai tujuan bersama. Struktur kelembagaan sangat penting yang menyediakan kejelasan bagian-bagian pekerjaan dalam aktifitas kelembagaan, keterkaitan antar fungsi dalam susunan kelembagaan, serta hubungannya dengan lingkungan sekitar. Fungsi internal kelembagaan menjadi pedoman bagi anggotanya dalam bertindak, sedangkan fungsi eksternal menjelaskan tentang bagaimana dan siapa yang akan berhubungan dengan pihak luar.

(20)

Struktur Organisasi FMU Karsa Lestari

Sumber: FMU Karsa Lestari 2015

Gambar 3 Struktur Organisasi FMU Karsa Lestari Struktur Organisasi Gapoktan

Sumber: Gapoktan 2015

Gambar 4 Struktur Organisasi Gabungan Kelompok Tani KETUA

(21)

Struktur Organisasi Kelompok Tani

Sumber: Kelompok Tani 2015

Gambar 5 Struktur Organisasi Kelompok Tani

Struktur organisasi FMU Karsa Lestari, Gapoktan dan Kelompok Tani terbentuk diluar struktur inti. Hal ini menunjukan bahwa organisasi tergolong sudah maju dibandingkan dengan organisasi dengan struktur inti yaitu ketua, sekretaris, dan bendahara saja. Struktur organisasi dalam kelembagaan ini pada dasarnya dibentuk menyesuaikan dengan kebutuhan yang dirasakan oleh masing-masing kelompok. Struktur yang telah dibuat dan disepakati bersama berkaitan dengan efektifitas pelaksanaan aktivitas yang akan dilakukan.

Pergantian pemimpin dan kepengurusan secara teratur memiliki peran penting dalam penyempurnaan kelembagaan serta dapat mereduksi sistem yang kurang baik. Pengurus FMU Karsa Lestari memiliki masa bakti empat tahun, khusus ketua setelah dua kali berturut-turut tidak dapat dipilih kembali. Penyempurnaan pengurus kelompok tani tergantung pada kesepakatan anggota.

Proses pengambilan keputusan FMU Karsa Lestari yang membawahi Gapoktan dari empat desa sangat menjunjung tinggi musyawarah antar sesama anggotanya. Kedaulatan organisasi berada ditangan anggota dan dilaksanakan sepenuhnya melalui musyawarah. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya rapat anggota tahunan (RAT) sebagai pengambil keputusan yang paling dominan. Sejalan dengan penelitian Widiyanti (2009) yang menyatakan bahwa rapat anggota dan musyawarah melalui pertemuan rutin dapat menyelesaikan permasalahan yang ada, baik yang dihadapi individu maupun kelompok.

Pelindung Pembimbing

Ketua

Sekretaris Bendahara

Sie permodalan

dan kredit

Sie PHT Sie Pemasaran Sie PHP

Anggota

(22)

Keanggotaan

Anggota merupakan syarat wajib yang harus dimiliki suatu kelembagaan sebagai pengakuan atau legalitas eksistensi kelembagaan tersebut. Kondisi anggota dalam suatu kelembagaan sangat menentukan kinerja kelembagaan tersebut. Keanggotaan yang melibatkan banyak aktor melalui pola perekrutan tertentu. Pola perekrutan keanggotaan yang ada di FMU Karsa Lestari disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Pola perekrutan anggota

Kelembagaan/Organisasi Pola Perekrutan Anggota

FMU Karsa Lestari Tidak Bebas

Gapoktan Tidak Bebas

Kelompok Tani Bebas / sukarela (aktif & pasif)

Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua kelompok tani yang tergabung dalam FMU Karsa Lestari menyatakan bahwa pola perekrutan bersifat bebas/ sukarela. Masyarakat dalam satu dusun dapat menjadi anggota, namun terdapat anggota aktif atau tetap yang sudah terdaftar dalam kelompok dan anggota pasif. Anggota aktif merupakan petani, pekebun, peternak, pelaku usaha di wilayah dusun tersebut, dan mempunyai kesinambungan usaha dengan kelompok tani, serta bersedia membayar simpanan pokok yang telah disetujui dalam rapat anggota. Anggota kelompok tani harus menyetujui AD/ART dan ketentuan lain yang berlaku.

Anggota Gapoktan merupakan perwakilan kelompok tani dari setiap dusun di masing-masing desa. Sedangkan anggota FMU Karsa Lestari merupakan petani pengelola hutan rakyat dari empat desa yang lahannya terdaftar dalam satu unit manajemen hutan rakyat tersebut. Daftar kepemilikan lahan merupakan salah satu kriteria/indikator keabsahan hak milik pemilik hutan hak untuk menunjukan keabsahan kepemilikan kayu berdasarkan pada Perdirjen BUK No.P.8/VI-VPPHH/2012 tentang standar verifikasi legalitas kayu pada hutan hak saat pengajuan sertifikasi legalitas kayu (SVLK).

Guna membangun kerja sama yang efektif perlu adanya partisipasi anggota yang tinggi. Tingginya partisipasi anggota saat adanya pertemuan dan kegiatan bersama merupakan cerminan kesetian anggota yang cukup tinggi. Kesetiaan anggota dalam suatu kelompok ditunjukkan oleh tingkat kehadiran anggota yang cukup tinggi dibuktikan dengan daftar hadir anggota yang hampir seluruhnya hadir saat diadakan pertemuan. Jika suatu keharmonisan dalam kelompok sudah tercipta, maka koordinasi antar anggota pun akan semakin terbangun. Hal ini dapat mendorong pelaksanaan aktivitas kelompok dan pemecahan masalah dalam kelompok.

Frekuensi pertemuan kelompok yang rutin dijadikan sarana untuk mengikat komitmen para anggotannya. Frekuensi pertemuan yang dilakuakan oleh FMU Karsa Lestari, Gapoktan dan Kelompok Tani disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Frekuensi pertemuan

Kelembagaan/Organisasi Frekuensi pertemuan FMU Karsa Lestari Semakin jarang

Gapoktan Rutin

(23)

Pertemuan FMU Karsa Lestari dilakukan dua kali dalam setahun yang dihadiri oleh setiap perwakilan Gapoktan dari masing-masing desa secara bergantian di setiap desa. Sejak didirikannya FMU Karsa Lestari sering melakukan pertemuan rutin dalam rangka pengajuan sertifikasi legalitas kayu dan membahas kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh FMU Karsa Lestari.

Kegiatan rutin FMU Karsa Lestari yaitu 1) Penghijauan dengan membuat tanaman hutan rakyat, 2) Mengadakan pembibitan dan penyulaman tanaman yang mati, 3) Melakukan kegiatan tumpang sari dengan memadukan tanaman ubi-ubian dibawah tegakan sebagai bentuk penerapan usaha hutan cadangan pangan (HCP), 4) Menjual kayu hasil hutan rakyat 5) Penanaman tanaman holtikultura dan tembakau. FMU Karsa Lestari juga mengikuti kegiatan pelatihan teknis pengelolaan hutan rakyat dan ecolabeling hutan rakyat yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pamekasan untuk meningkatkan keterampilan petani terkait pengelolaan hutan rakyat.

Pertemuan Gapoktan dan Kelompok Tani di masing-masing desa bersifat rutin atau tetap. Pertemuan rutin Gapoktan dan Kelompok Tani dikemas dalam bentuk pengajian, sholawatan, muslimatan dan arisan menyesuaikan dengan budaya setempat yang diadakan berbeda-beda tiap kelompok, yaitu seminggu sekali, dua minggu sekali dan satu bulan sekali. Pertemuan rutin dilakukan agar transfer informasi yang dibutuhkan oleh petani tidak terhambat. Pertemuan kelompok tidak hanya membahas mengenai pengelolaan hutan saja, namun membahas permasalahan mengenai pertanian secara umum, penyuluhan bagi petani, serta diskusi mengenai program-program yang akan dilaksanakan oleh kelompok.

Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam suatu kelembagaan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan kelembagaan tersebut dalam mencapai tujuannya. Kepemimpinan yang baik dapat mereduksi sistem yang kurang baik. Berdasarkan hasil wawancara, landasan penetapan pemimpin setiap kelembagaan yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Landasan penetapan pemimpin

Kelembagaan /Organisasi Landasan Penetapan pemimpin

FMU Karsa Lestari Keprofesionalan

Gapoktan Keprofesionalan

Kelompok Tani Keprofesionalan

(24)

Kepemimpinan merupakan elemen pendukung kelembagaan dalam kemajuan masyarakat pertanian dan pedesaan. Komponen kepemimpinan yang melekat pada diri seseorang antara lain integritas personal yang tinggi, visi kedepan yang jelas dan implementatif, mampu memberi inspirasi dan mengarahkan masyarakat, memiliki kemampuan untuk mengabdi pada masyarakat dan sangat interaktif dengan kebutuhan masyarakat, memiliki kemampuan dalam memecahkan konflik yang terjadi dimasyarakat (Pranaji 2003). Komponen kepemimpinan dalam kelompok ditunjukan oleh peran pengurus dalam mencapai tujuan kelompok yang disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Persepsi masyarakat terhadap peran pemimpin dalam kelembagaan

Peran pemimpin dalam kelembgaan

Distribusi responden (%) Sering Jarang Tidak

Pernah Pengurus memberi intruksi pecapaian tujuan 100 0 0 Pengurus meberikan Informasi yang

dibutukan anggota 100 0 0

Pengurus memberikan motivasi pada anggota 100 0 0 Pengurus memberikan solusi jika ada masalah 100 0 0

Hasil wawancara menunjukan seluruh responden 100% menyatakan bahwa pengurus berperan memberikan intruksi, informasi yang dibutuhkan masyarakat, dan motivasi dalam mencapai tujuan bersama serta memberikan solusi jika terdapat permaslahan. Pengurus memberikan intruksi dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan oleh kelompok, dibuktikan pada saat awal musim tanam diadakan penyuluhan melalui kerja sama dengan PPL maupun PKL untuk memberikan arahan teknis pelaksanaan kegiatan penanaman yang baik dan benar. Pengurus kelompok berperan dalam memfailitasi terjadinya interaksi dan komunikasi dalam kelompok agar terjalin pertukaran informasi. Kelompok juga memberikan akses informasi yang dibutuhkan masyarakat, salah satunya informasi perolehan bibit dan pupuk, informasi harga kayu dan akses pasar pada kegiatan pengelolaan hutan. Selain itu kelompok berfungsi untuk menampung dan menghimpun potensi dan masalah serta memusyawarahkan berbagai hal yang dihadapi masyarakat untuk memperoleh solusi bersama. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kemajuan masyarakat dalam mengelola lahannya.

Aspek Kelembagaan Sebagai Aturan Main

(25)

koordinasi dan kerja sama dengan dukungan tingkah laku, hak, dan kewajiban anggota, kode etik, kontrak, pasar, hak milik (property rights), organisasi, serta insentif untuk menghasilkan tingkah laku yang diinginkan (Djogo et al. 2003).

Pengelolaan hutan rakyat oleh masyarakat di Desa Rek Kerrek, Desa Angsanah, Desa Rang Perang Daja dan Desa Samatan yang tergabung dalam FMU Karsa Lestari didasari prinsip-prinsip pengaturan bersama dan kerja sama melalui pemantapan pengelolaan kelompok tani di setiap dusun. Aturan pengelolaan hutan rakyat dituangkan dalam aturan tertulis berupa standart operasional prosedur

(SOP). SOP dijadikan sebagai acauan atau prosedur untuk mengatur kegiatan pengelolaan hutan rakyat dan peningkatan keterampilan masyarakat dalam mengelola hutannya yang mengacu pada aspek manajemen hutan dan teknik silvikultur yang baik. SOP dibuat berlandaskan pada norma/aturan lokal yang berkembang dimasyarakat dan menjadi cara, kebiasaan, kelakuan dan adat istiadat dalam mengelola hutannya, serta Peraturan Bupati Pamekasan no.19 tentang Penata Usahaan Kayu Rakyat.

Perlindungan hutan merupakan kegiatan penting dalam pengelolaan hutan rakyat. Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan dan lingkungannnya dari kerusakan agar fungsinya dapat tercapai secara optimal dan lestari. Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan dan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan masyarakat. Terdapat beberapa larangan bagi masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungannya, seperti yang diungkapkan Bapak Hayyan selaku ketua Kelompok Tani Jaya Abadi:

Masyarakat elarang ber obberen e mosem nemor sopaje alas tak katonon, manabi epanghi’ih masyarakat ber-obberen ben marosak dha’

tatamenan esakitarrah tor ngaroghiaghi dha’ oreng laen wejib elaporaghi

dha’ aparat dhisah. Masyarakat se ngobber wejib aghente’e sakabbinah

karosaghen se etimbul aghi. (Masyarakat dilarangan melakukan pembakaran saat musim kemarau agar hutan tidak terbakar. Apabila ditemukan masyarakat melakukan pembakaran dan menimbulkan kerusakan pada tanaman dan lahan sekitarnya serta menimbulkan kerugian bagi orang lain wajib dilaporkan perangkat desa. Sebagai sangsinya pelaku wajib mengganti seluruh kerusakan yang ditimbulkannya).

Selain menjaga kelestarian hutan rakyatnya, masyarakat juga percaya terhadap aturan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan khususnya daerah aliran sungai. Sungai menjadi sumber kebutuhan masyarakat dalam bercocok tanam, sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Agar tidak terjadi pendangkalan sungai yang disebabkan oleh longsor dan erosi masyarakat menanami bambu (bamboo) disekitar bantaran sungai. Akar bambu dipercaya dapat menjaga kekompokan tanah yang dapat menahan banjir dan longsor. Dalam pemanfaatannya masyarakat setempat memiliki aturan yang berasal dari kepercayaan lokal untuk menjaga kelestariannya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Arofi dan Bapak Hayyan selaku tokoh masyarakat dan Ketua Kelompok Tani:

Masyarakat tak olle mogher bungkana perreng neng e are rebbu ben e

(26)

reng seppo lambe’ perreng bekal ta’ nyolbu’ pole ben tor kadheng mateh.

Manabi mogher e are jum’at e kapartaje bhekal aperrean dha’ oreng se mogher (Masyarakat dilarang menebang bambu pada hari rabu dan jum’at. Kepercayaan masyarakat dan leluhurnya, apabila menebang bambu pada hari rabu bambu tidak beregenerasi dan menyebabkan pohon bambu mati. Apabila menebangan dihari jum’at dipercaya dapat membahayakan bagi penebang). Pada kegiatan pemanfaatan kayu terdapat larangan yang bersumber dari kepercayaan lokal yaitu larangan melakukan penebangan di kawasan yang disakralkan atau dikeramatkan (sumber mata air, kuburan/persiarahan). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Siddik selaku tokoh masyarakat yang menyatakan:

Kajuh se tombu e seddhi’en kobhuren otabe somber aeng se ekramat

aghi e guna’aghi masyarakat kaangghuy kepentingan umum akadhi pembangunan masjid/langgar tor egebhey dinding are. Manabi eguna’aghi kaangguy kabutoan compok e kapartajhe korang berkat, ejuel jugha argena lebbi modhe. (kayu yang tumbuh di sekitar kawasan yang di keramatkan digunakan untuk kepentingan umum seperti pembangunan masjid/langgar dan kebutuhan pemakaman. Apabila digunakan untuk membangun rumah dipercayai kurang berkah, dijualpun harganya sangat murah).

Kepercayaan-kepercayaan lokal seperti ini masih dipatuhi oleh masyarakat setempat. Kepercayaan lokal dipercaya dapat menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pemanfaatannya.

FMU Karsa Lestari termasuk kelompok tani didalamnya membuat aturan formal untuk mengendalikkan anggotanya (tanggung jawab anggota, hak dan kewajiban, sistem pengawasan internal dan kontrol terhadap anggota) yang tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang mengatur kelembagaan tersebut secara internal. Aturan informal kelompok berupa kesepakatan dan musyawarah terkait jadwal pertemuan, bentuk pertemuan, besarnya iuran, perencanaan kegiatan yang akan dilakukan, aturan monitoring dan sanksi, serta aturan penyelesaian konflik dalam kelembagaan. Aturan formal dan informal dalam kelembagaan FMU Karsa Lestari secara lebih rinci disajikan pada Lampiran 2.

(27)

Hasil penilaian berdasarkan kriteria dan indikator SVLK yaitu indikator 1.1.1 keabsahannya di tunjukan dengan dokumen kepemilikan lahan yang sah berupa dokumen letter C yang merupakan keterangan asal usul kepemilikan lahan yang diterbitkan dan ditanda tangani Kepala Desa. Indikator 1.1.2 dokumen angkutan kayu yang sah tidak diverifikasi karena tidak terdapat dokumen angkutan kayu serta belum adanya kegiatan penebangan terutama anggota FMU Karsa Lestari yang terkena sampling dalam pelaksanaan verifikasi. Indikator 1.1.3 mengenai bukti pembayaran hak negara berupa PSDH/DR dan pengganti nilai tegakan tidak diverivikasi karena lahan anggota FMU Karsa Lestari merupakan lahan milik.

Berdasarkan pada Perdirjen BUK No.P.8/VI-VPPHH/2012 lampiran 3.3 bagian D.4.d tentang pedoman pelaksanaan verifikasi legalitas kayu pada pemilik hutan hak, terbentuknya organisasi FMU Karsa Lestari melalui Akta Notaris dengan kelengkapan pengurus dan aturan pengendalian anggota, serta tersedianya aturan pengelolaan hutan rakyatnya dinilai sudah memenuhi persyaratan dalam pengelolaan hutan lestari.

Efektivitas Kelembagaan

Kelembagaan terbentuk berdasarkan tujuan yang sama dan orang-orang yang terlibat didalamnya dengan perilaku yang berpedoman pada nilai dan aturan yang khas. Aturan dibuat untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Efektivitas kelembagaan perlu dinilai untuk mengetahui sejauh mana kelembagaan tersebut bekerja. Keefektifan kelembagaan diukur dari tingkat kepercayaan, tingkat pemahaman, tingkat kepatuhan dan pelanggaran yang dilakukan terhadap aturan-aturan (Ohorella et al. 2011). Tingkat kepercayaan masyarakat disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Tingkat kepercayaan responden

Kepercayaan responden terhadap

Distribusi responden (%) Percaya Ragu-Ragu Tidak

Percaya

Manfaat hutan rakyat 100 0.0 0.0

Membangun kerja sama 100 0.0 0.0

Fungsi aturan tertulis 98.3 1.7 0.0

Fungsi aturan tidak tertulis 98.3 1.7 0.0

Masyarakat memiliki pengetahuan tentang manfaat hutan rakyat dan percaya bahwa hutan rakyat memberikan manfaat besar kepada masyarakat. Seluruh responden 100% percaya bahwa mengelola hutan rakyat memberikan manfaat bagi kehidupan. Kepercayaan dan keyakinan tersebut didasarkan serta dikuatkan oleh pengalaman hidup masyarakat yang selama ini sudah merasakan manfaat dari keberadaan hutan rakyat. Hutan rakyat sudah menjadi salah satu usaha tani dan aset berharga bagi masyarakat. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap keberadaan hutan rakyat yaitu manfaat ekologi, manfaat ekonomi, dan manfaat sosial budaya.

(28)

Bapak. Nuryanto, salah satu tokoh masyarakat sekaligus ketua Gapoktan Tunas muda Desa Rang Perang Daja dan masyarakat secara umum:

Sajegghe masyarakat namene ka’bungkaan molae ekarassa badhana manfaat epon, antara laen: kondisi dhisah sajjen naong, ebekto nemor aeng tak perna sorot ben benyak somber aeng anyar. (Sejak masyarakat menanami lahan-lahannya dengan pepohonan sudah mulai merasakan manfaatnya, diantaranya: kondisi desa semakin sejuk, saat musim kemarau tidak pernah kekurangan air dan banyak sumber-sumber air baru)

Manfaat ekonomi yang dirasakan masyarakat yaitu adanya peningkatan pendapatan masyarakat dari penjualan kayu, dimana yang dulu pendapatannya dari hasil pertanian atau salah satu jenis usaha, sekarang ada penambahan dari hasil penjual kayu. Tidak hanya itu, Bapak Siddik tokoh masyarakat sekaligus ketua Gapoktan Desa Angsanah dan Bapak Arofi Desa Rek Kerrek mengungkapkan manfaat lain yaitu:

Usaha hutan rakyat ampon daddhi sala settong usaha tani se manfaat

aghi tana bendung. Dhimin tana bendung tak benyak aberi’ manfaat,

saengghe tadek argena. Mangken tana se ampon etamene ka’bungkaan sajjen larang, se aropa aghi harta se arghe. (Usaha hutan rakyat merupakan salah satu usaha tani yang memanfaatkan lahan-lahan terlantar. Dahulu tanah terlantar kurang memberikan manfaat dan tidak begitu berharga. Setelah tanah ditanami dengan tanaman berkayu/pohon harganya semakin mahal dan menjadi aset berharaga masyarakat)

Selain manfaat ekologi dan ekonomi, masyarakat juga merasakan manfaat sosial yaitu adanya kesadaran masyarakat dalam menanam dan mengamankan hutannya, adanya kunjungan berupa penyuluhan dan pelatihan dalam pengelolaan hutan serta tujuan lainnya sehingga menambah informasi dan pengetahuan masyarakat.

Manfaat hutan rakyat yang dirasakan masyarakat dapat menguatkan kepercayaan anggota yang lain untuk menjaga kelestarian hutan rakyat yang di perkuat oleh tingkat kepercayaan bahwa anggota yang lain dapat bekerja sama dalam menjaga kelestarian hutan rakyat. Seluruh responden 100% percaya warga masyarakat memiliki kemampuan untuk bekerja sama dalam pengelolaan hutan rakyat. Kemampuan kerja sama antar warga dan kelompok tani yang tinggi dilandasi oleh nilai-nilai, sikap, dan keyakinan yang melekat pada masing-masing individu petani sehingga dapat menguatkan hubungan sosialnya. Hal ini dipertegas oleh Uphoff (2000) dalam Anen (2012) bahwa kepercayaan (trust) dan pembalasan (reciprocation) merupakan cara untuk membangun hubungan dengan orang lain. Kepercayaan (trust) dilandasi oleh norma, nilai, sikap, dan keyakinan (belief) membuat kerja sama efektif.

(29)

untuk mengawasinya. Kesulitan ini dapat terbantu adanya anggota lain yang tinggal dekat dengan lahan tersebut sehingga mereka saling membantu untuk mengawasi hutan milik sesama anggota. Saling membantu tampak ketika semua anggota bersama-sama melakukan kegiatan yang akan dilakukan bersama, misalnya secara bergotong royong melakukan program pembibitan, dan penanaman. Musyawarah menjadi bagian yang sangat penting dalam kelompok karena setiap keputusan dan permasalahan selalu dibicarakan dalam musyawarah anggota. Musyawarah dijadikan sebagai sarana membangun silaturahmi dan kebersamaan kelompok untuk membentuk ikatan solidaritas yang tinggi.

Petani pengelola hutan rakyat percaya bahwa aturan tertulis maupun aturan tidak tertulis dapat berfungsi untuk menjaga keberlanjutan kelestarian hutan rakyat. Sebanyak 98.3% responden percaya terhadap aturan tertulis dan tidak terulis yang mengatur kelestarian pengelolaan hutannya. Aturan tertulis berupa Peraturan Bupati Pamekasan No.19 tahun 2009 tentang Penata Usahaan Kayu Rakyat, serta SOP yang dijadikan sebagai panduan masyarakat dalam mengelola hutan rakyat. Begitu juga terhadap aturan tidak tertulis berupa kesepakatan dan kebiasaan masyarakat dalam mengelola lahannya dapat berfungsi untuk menjaga kelestarian hutan rakyatnya. Namun, sebanyak 1.7% masyarakat ragu-ragu terhadap fungsi aturan, baik aturan tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini dipengaruhi tingkat pemahaman masyarakat yang rendah. Tingkat kepercayaan yang tinggi disebabkan oleh adanya manfaat yang telah dirasakan masyarat selama ini. Kepercayaan juga diperkuat oleh orientasi masyarakat ke arah vertikal yaitu mengikuti teladan dan mentaati para pemimpin atau tokoh masyarakat dalam mengatur pengelolaan hutan dan lahannya.

Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aturan-aturan yang tinggi menunjukan bahwa petani mengetahui dan paham terhadap aturan tersebut. Tingkat pemahaman dan kepatuhan terhadap aturan sangatlah penting untuk menjalankan sebuah aturan yang mengatur dalam sebuah kelembagaan. Tingkat pemahanan dan kepatuhan masyarakat terhadap aturan disajikan dalam Tabel 8.

(30)

AD/ART kelompok tani dan Gapoktan yang menjadi aturan internal kelompok. Aturan-aturan tersebut diantaranya adalah: a) setiap anggota diwajibkan hadir saat diadakan pertemuan; b) membayar simpanan pokok; c) mengingatkan dan menegur pengurus apabila terjadi penyimpangan; d) menjaga nama baik organisasi; e) menyetujui dan melaksanakan keputusan organisasi.

Aturan informal yang menjadi kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyatnya yaitu; a) melakukan penebangan apabila memiliki kebutuhan mendesak saja agar potensinya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan; b) mengganti tanaman yang di tebang sebanyak 3 tanaman pengganti yang dipelihara sampai hidup; c) larangan melakukan pembakaran yang tidak terkontrol saat musim kemarau untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan; d) larangan melakukan penebangan di daerah perlindungan sumber-sumber air dan larangan menebang pohon bambu di daerah aliran sungai; e) bekerja sama saling mengawasi lahan milik sesama anggota; f) larangan memanfaatkan kayu untuk kontruksi rumah dari kawasan yang dikeramatkan. Kebiasaan masyarakat dalam pengelolaan hutan rakyatnya secara lebih rinci dituangkan dalam SOP pengelolaan hutan rakyat FMU Karsa Lestari yang dijadikan sebagai dokumen persyaratan penilaian sertifikasi hutan rakyat.

Pengetahuan masyarakat terhadap aturan mempengaruhi tingkat kepatuhan responden terhadap aturan. Hasil wawancara menunjukan tingkat kepatuhan masyarakat sangatlah tinggi. Seluruh reponden 100% mematuhi aturan, khususnya aturan yang sudah membudaya dalam masyarakat (aturan informal). Hal ini terbukti sampai saat ini belum ada masyarakat yang mendapatkan sangsi. Suharjito dan Saputro (2008) menyatakan bahwa kepatuhan seorang terhadap aturan dapat diperkuat dan diperlemah oleh kepatuhan orang lain terhadap aturan tersebut. Oleh karena itu ditinjau pula pandangan responden terhadap kepatuhan yang dilakukan anggota yang lain. Pandangan responden terhadap kepatuhan anggota lain terhadap aturan dinilai dapat mematuhi aturan yaitu 98.3% menyatakan anggota yang lain patuh terhadap aturan dan 1.7% menyatakan anggota yang lain kurang patuh. Pandangan responden terhadap sebagian kecil masyarakat kurang patuh, karena saat ini terkadang masih terjadi kebakaran hutan.

Tingkat pemahaman, kepercayaan dan kepatuhan tinggi karena penegakan aturan benar-benar dilaksanakan. Sebagian besar responden 78.3% mengaku tidak pernah melanggar dan 21.7% mengaku jarang melanggar aturan. Sedangkan pandangan terhadap orang lain sebagian besar responden 75% menilai anggota masyarakat yang lain tidak melanggar aturan dan sebagian besar responden 25% menilai anggota masyarakat yang lain jarang melanggar aturan. Hal ini menunjukan mayoritas masyarakat percaya dan patuh terhadap aturan yang dibuat, sehingga kelembagaan berjalan efektif dalam mengatur tindakan kolektif. Tingkat pelanggaran yang dilakukan responden disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Tingkat pelanggaran terhadap aturan

Tingkat pelanggaran Distribusi responden (%)

(31)

Monitoring dan Sanksi

Pemberian penghargaan dan sangsi dalam kelembagaan dapat meningkatkan kinerja anggotanya. Kinerja kelembagaan akan menurun apabila tidak terdapat aturan yang jelas dan sangsi yang tegas. Secara umum kelembagaan kelompok tani yang tergabung dalam FMU Karsa Lestarilebih bersifat non-formal, dimana unsur kekeluargaan yang masih sangat kuat. Anggota yang melanggar harus menanggung beban moral. Bapak Idris dan Bapak Hayyan (Pengurus FMU Karsa Lestari dan Ketua Kelompok Tani) menyatakan:

Bagi anggota kelompok yang melakukan pelanggaran terhadap aturan atau kesepakan yang disetujui bersama (misalnya tidak hadir saat diadakan pertemuan, tidak mengembalikan pinjaman) akan menanggung beban moral yaitu dikucilkan dan kurang mendapat kepercayaan. Sangsi langsung yang diberikan yaitu yang bersangkutan tidak akan mendapat bantuan dan simpan pinjam kelompok, begitu pula sebaliknya bagi anggota yang aktif dan patuh akan diberikan penghargaan berupa pelayanan terhadap hal-hal yang dibutuhkan. Sedangkan bagi pengurus yang melakukan pelanggaran dan tidak menjalanjkan peran dan tugasnya, pada periode berikutnya tidak diberikan peran, tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengurus.

Kegiatan Pengelolaan Hutan Rakyat

Sejak terbentuknya kelompok tani pengelolalaan hutan rakyat pada FMU Karsa Lestari sudah mulai mengacu pada aspek manajemen hutan dan mengacu pada teknik silvikultur yang baik. Hal ini didukung dengan adanya aturan berupa standar operasional prosedur (SOP) yang dijadikan sebagai panduan dalam pengelolaan hutan rakyatnya.

Pengelolaan hutan rakyat pada FMU Karsa Lestari memiliki tiga pola tanam yaitu : 1) Pola tumpang saridengan jarak tanam 10m x 10m dan 4m x 4m ditanami tanaman pangan seperti kacang tanah, jagung, dan rumput gajah untuk pakan ternak pada selanya. Pada pola tumpangsari masyarakat juga melakukan budi daya tanaman empon-empon salah satunya budi daya jahe putih dan jahe merah. 2) Pola khusus/monokultur, masyarakat menanami seluruh luasannya dengan tanaman kehutanan menggunakan jarak tanam tertentu. Untuk pola khusus ini mayoritas masyarakat memanfaatkan lahan-lahan berbatu yang dikenal dengan sebutan “Tana Bendung” yaitu lahan yang keberadaannya sulit dikelola untuk lahan pertanian. 3) Pola pekarangan, masyarakat memanfaatkan lahan sekitar rumah yang ditanami dengan tanaman campuran, tidak hanya tanaman yang menghasilkan kayu saja namun tanaman yang menghasilkan buah-buahan (mangga, nangka, sukun), tanaman pertanian (jagung, kacang-kacangan, cabe, tomat,), dan tanaman hias.

(32)

Sub Sistem Produksi

Pengelolaan hutan rakyat perlu mendapatkan perhatian khusus, terutama pada subsistem produksi, karena semakin baik pengelolaan dalam sub sistem produksi maka akan memperoleh hasil panen yang baik pula. Sub sistem produksi dibagi menjadi tiga bagian yaitu: penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan (Lembaga Penelitian IPB 1990).

1. Penanaman

Masyarakat melakukan kegiatan persiapan lahan sebelum penanaman. Persiapan lahan diawali dengan pembersihan lahan, pembuatan lubang tanam dan pengajiran. Lubang tanam dibuat menggunakan linggis dan crengceng/garuk pada lahan berbatu dan menggunkan cangkul pada tegalan. Sebelum penanaman, lubang tanam diberi pupuk kandang untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman baru. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan masyarakat disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kegitan persiapan lahan sebelum penanaman

Kegiatan Desa Persen

(%) Rek Kerrek Rang Perang Dhaja

Pembersihan lahan Pembuatan lubang tanam Pengajiran

30 30 100

30 30 100

30 30 100

Seluruh responden 100% melakukan kegiatan persiapan lahan sebelum penanaman untuk memperoleh pertumbuhan yang maksimal. Pembersihan lahan dilakukan sebelum penanaman yang bertujuan agar tidak ada tanaman pengganggu di sekitar penanaman dan untuk memudahkan kegiatan pemeliharaan. Olah tanah merupakan kegiatan mengolah tanah dan pemberian pupuk pratanam agar mendapatkan kandungan tanah yang memiliki kualitas baik, sedangkan pengajiran merupakan kegiatan membuat pagar dan penandaan pohon agar pohon tumbuh dengan baik.

(a) (b)

Sumber : Dokumen Kelompok Tani Jaya Abadi

(33)

Pemilihan jenis berdasarkan pada jenis yang mampu tumbuh di lokasi ini serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Bibit diperoleh secara swadaya masyarakat dan pola subsidi ditunjukan pada Tabel 11. Perolehan bibit secara swadaya masyarakat diperoleh dengan membeli dan memanfaatkan anakan alami. Sedangkan perolehan bibit pola subsidi merupakan bantuan pemerintah melalui program pembibitan yaitu kebun bibit desa (KBD) dan kebun bibit rakyat (KBR) yang dikelola secara swadaya oleh kelompok tani. Pengembangan hutan rakyat pola subsidi dilalukan untuk mendukung berhasilnya kegiatan penghijauan di FMU Karsa Lestari.

Tabel 11 Cara memperoleh bibit

Cara Memperoleh Bibit Desa Persen

(%) Rek Kerrek Rang Perang Dhaja

Tumbuh alami Membeli

Bantuan Pemerintah

0 2 3.3

12 10 36.7

18 18 60

Jumlah 30 30 100

Sebanyak 36.7% Responden menyatakan memperoleh bibit dengan membeli dan 3.33% responden memperoleh bibit yang tumbuh alami/cabutan. Sejak adanya program pembibitan dan penghijauan sebanyak 60% responden menyatakan memperoleh bibit melalui bantuan pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa beberapa tahun terakhir ini peran pemerintah dalam pengembangan hutan rakyat cukup besar untuk mewujudkan program penghijauan dan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) pada lahan terlantar/kritis.

Melalui kelompok tani masyarakat dengan mudah memperoleh bibit. Kelompok tani “Jaya Abadi” desa Rek Kerrek dan kelompok tani “Taruna Jaya” Desa Angsanah melakukan pembibitan secara swadaya untuk memenuhi kebutuhan bibit masyarakat lokal. Hal ini menunjukan kemandirian kelompok tani setelah mendapatkan penyuluhan dan pembinaan kelompok dalam mengelola bibit. Kemandirian kelompok tani dapat menunjang keberlanjutan pengelolaan hutan dilokasi FMU Karsa Lestari.

(a) (b) Sumber : Dokumen Kelompok Tani Jaya Abadi

Gambar 7 Kegiatan (a) Pengelolaan Bibit dan (b) Distribusi Bibit

(34)

kegiatan pengelolaan lahan. Pada kegiatan pengelolaan hutan rakyat, pembibitan dilakukan pada bulan Juli dan melakukan pengolahan tanah pada bulan Oktober menjelang musim penghujan. Kegiatan penanaman dilakukan pada bulan November dan Desember pada saat musim penghujan dengan alasan ketersediaan air dapat mencukupi kebutuhan tanamanan.

2. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan dilakukan petani agar tanaman dapat tumbuh maksimal dan terbebas dari serangan hama penyakit serta bentuk gangguan lainnya. Terdapat beberapa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan setelah penanaman yaitu penyulaman, penyiangan, pemangkasan, pemupukan dan penjarangan. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 kegiatan pemeliharaan di Desa Rek Kerrek dan Desa Angsanah

Kegiatan Desa Jumlah

Rek kerrek Rang Perang Dhaja Penyulaman

Tingkat pengelolaan hutan pada kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di Desa Rek Kerrek yaitu 87.3% dan Desa Rang Perang Daja 86%. Hal ini dapat dikatakan bahwa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di Desa Rek Kerrek dan Desa Rang Perang Dhaja sudah intensif. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani berdasarkan arahan teknis dari pengurus kelompok tani dan penyuluhan pemeliharaan tanaman oleh PKL.

Penyulaman dilakukan masyarakat untuk mengganti bibit yang mati, sedangkan penyiangan dilakukan untuk membersihkan areal sekitar tanaman untuk menghindari persaingan nutrisi dari gulma dan kompetitor lainnya. Selain itu, Penyiangan dilakukan sebagai upaya pembersihan lahan dan pembuatan sekat bakar agar saat musim kemarau tidak terjadi kebakaran hutan. Data diatas menunjukan seluruh responden melakukan kegiatan penyulaman dan penyiangan.

Kegiatan pemangkasan bertujuan agar tegakan pohon mendapatkan sinar matahari secara merata untuk mendapatkan pertumbuhan yang optimal. Berdasarkan hasil wawancara tidak semua responden melakukan kegiatan ini, terutama petani yang letak lahannya jauh dari pemukiman. Petani yang melakukan kegiatan pemangkasan memanfaatkan ranting pohon hasil pemangkasan sebagai kayu bakar dan juga memanfaatkan hijauan sebagai pakan ternak.

(35)

3. Pemanenan

Kegiatan pemanenan menggunakan sistem silvikultur sistem tebang butuh dan tebang pilih. Artinya dari potensi yang dimiliki oleh petani akan dipilih diameter yang sudah mencukupi (30cm) untuk ditebang. Masyarakat melakukan penebangan apabila memiliki kebutuhan mendesak, salah satunya biaya sekolah, biaya hajatan dan juga kebutuhan sendiri untuk memperbaiki rumah. Meskipun menggunakan daur butuh, namun masyarakat sudah merencanakan daur tebang yaitu lebih dari 20 tahun untuk tanaman Jati dan lebih dari 10 tahun untuk jenis tanaman Akasia dan Mahoni.

Ketentuan yang berlaku dikalangan masyarakat terkait kegiatan pemanenan yaitu pohon diperbolehkan ditebang apabila sudah memiliki diameter (>16 cm) berdasarkan (Perbup No.19 tahun 2009) tentang Penata Usahaan Kayu Rakyat, serta melakukan penanaman kembali sebanyak 3 pohon pengganti kayu yang ditebang dan dipelihara sampai hidup. Hasil wawancara menunjukan seluruh responden 100% menyatakan melakukan kegiatan penanaman kembali setelah melakukan penebangan yang bertujuan agar hasil hutan rakyatnya dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

Kegiatan pemanenan di Desa Rek Kerrek dan Desa Rang Perang Dhaja meliputi kegiatan penebangan, pembagian batang dan pengangkutan. Kegiatan penebangan dan pembagian batang dilakukan oleh pembeli menggunakan

Chainsaw dan disesuaikan dengan permintaan pasar. Sedangkan untuk kegiatan pengangkutan dilakukan oleh pembeli dan jasa angkut. Apabila kayu yang ditebang digunakan sendiri, kegiatan penebangan dan pengangkutan dilakukan oleh jasa tebang dan jasa angkut, karena keterbatasan alat yang digunakan untuk melakukan kegiatan penebangan. Kayu yang ditebang dimanfaatkan oleh petani untuk memperbaiki dan membangun rumah, diolah di industri mebel sebagai furniture seperti kusen pintu, kursi, dan lemari.

Kegiatan pemanenan yang dilakukan oleh petani ataupun pembeli sudah melalui perencanaan yang baik yaitu penentuan arah rebah, pembuatan takik rebah dan takik balas. Hal ini dilakukan karena adanya ketentuan dan kesepakatan yang berlaku dalam masyarakat. Kesepakatan yang dibuat adalah apabila terjadi permasalahan terhadap pelaksanaan pemanenan (menimpa pohon lain, menimpa bangunan yang mengakibatkan kerusakan, ataupun kecelakaan kerja) maka pihak yang melakukan penebangan menanggung biaya akibat kerugian yang ditimbulkan.

Sejak mendapatkan sertifikasi legalitas kayu pada tahun 2013 lalu, seluruh anggota yang tergabung dalam FMU Karsa Lestari melapor kepada pengurus dimasing-masing desa apabila ingin melakukan kegiatan penebangan. Ketentuan ini berlaku khusus kayu jati (Tectona grandis), akasia (Acacia auriculiformis), dan mahoni (Swietenia sp.) untuk memperjelas asal usul kayu dan taksiran volume kayu sertifikasi yang juga sebagai acuan penetapan jatah tebang tahunan.

Sub Sistem Pengolahan Hasil

(36)

Tabel 13 Pengolahan hasil Desa Rek Kerrek dan Desa Rang Perang Dhaja

Bentuk pengolahan hasil Desa Persentase

(%) Rek Kerrek Rang Perang Dhaja

Pohon Berdiri Kayu Bakar

Kayu Gelondongan Kayu gergajian

3 6 15

0 0 0

3 0 5

24 24 80

Jumlah 30 30 100

Berdasarkan Tabel 13 80% responden mengolah hasil menjadi kayu gergajian. Petani bekerja sama dengan industri penggergajian kayu lokal untuk mengolah kayunya. Kayu gergajian digunakan sendiri oleh masyarakat untuk memperbaiki dan membangun rumah. Untuk pengolahan hasil dalam bentuk pohon berdiri sebanyak 15% dan kayu gelondongan 5% dilakukan oleh pengepul kayu. Kayu dalam bentuk pohon berdiri diolah lebih lanjut kemudian dipasarkan dalam bentuk kayu gelondongan. Kayu gelondongan kemudian diolah oleh industri mebel menjadi barang jadi seperti kursi, meja, lemari dan produk jadi lainnya. Sebagian petani juga menjual dalam bentuk kayu bakar dari hasil pemangkasan kepada industri lokal yang membutuhkan seperti industri pembuatan tahu dan pembuatan bata merah dan genteng.

(a) (b)

Gambar 8 Kegiatan pengolahan hasil (a) kayu gelondongan dan (b) kayu gergajian Sub Sistem Pemasaran

(37)

Sertifikasi hutan merupakan salah satu kebijakan hutan berbasis pasar yang bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management). Sertifikasi hutan muncul sebagai bentuk kesadaran lingkungan masyarakat internasional yang menghendaki terwujudnya pengelolaan hutan lestari. Serifikasi di hutan rakyat merupakan salah satu cara untuk memperoleh pengakuan publik atas pengelolaan hutan secara lestari oleh masyarakat yang diharapkan terwujudnya insentif-insentif pasar dan dukungan pemerintah terhadap hutan rakyat. Implementasi program sertifikasi diharapkan berpengaruh positif terhadap pengelolaan hutan lestari serta mampu memberikan manfaat terutama bagi petani hutan rakyat serta pihak-pihak terkait ditinjau dari aspek ekologi, sosial dan ekonomi (Daniyati 2009).

Sejak FMU Karsa Lestari mendapatkan sertifikasi legalitas kayu (SVLK) dibentuk sistem pemasaran satu pintu sebagai upaya pengelolaan hutan secara legal menuju pengelolaan hutan lestari. Penjualan kayu sertifikasi dikoordinir oleh kelompok dan tidak dibenarkan penjualan kayu sertifikasi dilakukan secara perorangan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan insentif pasar yang lebih tinggi, namun hingga saat ini mekanisme pemasaran kayu sertifikasi secara berkelompok belum berjalan karena belum terjalinnya jaringan pasar kayu sertifikasi dari FMU Karsa Lestari.

Kendala dan Upaya

Hingga saat ini kelompok masih terkendala pada aspek pemasaran satu pintu. Hal ini terjadi karena belum terjalinnya jaringan pasar yang menerima kayu sertifikasi dari FMU Karsa Lestari dan belum terbentuknya koperasi yang dapat menampung kayu dari petani. Hingga saat ini pemasaran kayu masih menggunakan sistem pemasaran konvensional. Kayu dipasarkan pada pembeli lokal saja, sehingga belum ada peningkatan harga kayu rakyat. Sedangkan upaya yang dilakukan yaitu dengan mengikuti temu usaha yang difasilitasi oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan membangun hubungan kemitraan dengan industri kayu. Namun hingga saat ini upaya tersebut belum membuahkan hasil dan belum ada tindak lanjut seperti fasilitasi temu usaha lagi.

Hubungan Kelembagaan dengan Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Aturan dalam kelembagaan dibuat untuk membingkai hubungan antar aktor dalam kelembagaan dan aktor-aktor di luar kelembagaan tersebut. Adanya aturan yang mengatur seluruh kegiatan pengelolaan hutan rakyat serta tingginya tingkat pengetahuan, pemahaman dan kepatuhan masyarakat terhadap fungsi aturan dalam pengelolaan hutan rakyat dapat mendukung keberhasilan pengelolaan hutan rakyat. Aturan dalam pengelolaan hutan rakyat tertuang dalam standart operasional prosedur (SOP) yang dijadikan sebagai acuan dan peningkatan ketrampilan masyarakat dalam mengelola hutan rakyatnya. .

Gambar

Gambar  2  Kondisi Pengelolaan Hutan Rakyat FMU Karsa Lestari
Gambar  3  Struktur Organisasi FMU Karsa Lestari
Gambar  5  Struktur Organisasi Kelompok Tani
Tabel 5  Landasan penetapan pemimpin
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 1 peraturan tersebut berbunyi: pemilihan rektor dengan cara pemungutan suara oleh Anggota Senat UGM dalam suatu rapat senat tertutup khusus diadakan untuk keperluan

Sejauh pengamatan peneliti, penelitian mengenai perbedaan adversity quotient pada mahasiswa yang mengikuti Objective Structured Clinical Skills (OSCE) berdasarkan motivasi

Disarankan kepada Manajemen Rumah Sakit Umum Deli agar menempatkan sumber daya manusia dalam kelompok kerja Standar Akreditasi Rumah Sakit Versi 2012 yang memiliki keahlian,

Kereta Api Indonesia Dalam Mempublikasikan program Mudik Bareng KAI”, dengan konsep yang digunakan dalam penelitian yaitu menggunakan Strategi Media Relations

Analisis sensitivitas dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan yang ada terhadap usaha yang dijalankan. Dalam penelitian ini dilakukan perubahan pada beberapa

Tabel 3 Total Tegangan Pada Komposisi Elektrolit Komposisi I Komposisi II Komposisi III Total Tegangan (Volt) 7,384 7,196 7,419 *DPEDU*UD¿N5HUDWD7HJDQJDQ3DGD.RPSRVLVL

Penyekoran jawaban sampel pada Fear of Missing Out Scale dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:.. 1) Setiap pernyataan dalam kuesioner disertai alternatif jawaban

Untuk memahami deskripsi akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam konteks pemikiran Az-Zarnuji, menurut Awaluddin dalam tesisnya dapat dipahami dari pernyataannya