SPATIO TEMPORAL CLUSTERING
TITIK PANAS PADA LAHAN
GAMBUT DI SUMATERA MENGGUNAKAN PROSES
PENGELOMPOKAN
POISSON
ANNISA PUSPA KIRANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul
Spatio Temporal Clustering
Titik Panas pada Lahan Gambut di Sumatera menggunakan Proses Pengelompokan
Poisson
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 14 Agustus 2015
Annisa Puspa Kirana
RINGKASAN
ANNISA PUSPA KIRANA.
Spatio Temporal Clustering
Titik Panas pada Lahan
Gambut di Sumatera menggunakan Proses Pengelompokan
Poisson
. Dibimbing
oleh IMAS SUKAESIH SITANGGANG dan LAILAN SYAUFINA.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius dan memiliki
dampak yang besar bagi keseimbangan lingkungan. Mengingat dampak dari
kebakaran yang sangat merugikan dan faktor penyebab timbulnya kebakaran yang
kompleks, maka penting untuk dikembangkan sistem peringatan sejak dini (
early
warning system
) guna pencegahan kebakaran lahan gambut. Indikasi terjadinya
kebakaran hutan dan lahan dapat diketahui melalui titik panas yang terdeteksi di
suatu lokasi tertentu pada waktu tertentu. Dengan mengetahui pola persebaran
penggerombolan titik panas maka dapat diketahui wilayah-wilayah yang memiliki
kepadatan titik panas yang tinggi sehingga dapat membantu pihak yang
berwenang untuk penguatan implementasi kebijakan dalam pencegahan
kebakaran lahan gambut sejak dini. Salah satu pendekatan dalam
data mining
yang digunakan adalah
clustering
. Penelitian ini menerapkan pendekatan statistik
untuk mengetahui pengelompokan sebaran titik panas secara spasial dan
temporal
.
Dalam penelitian ini metode
Kulldorff’s Spatial Scan Statistic
(KSS)
digunakan untuk
clustering
titik panas lahan gambut di wilayah Sumatera pada
tahun 2001-2014. Data yang digunakan sebagai objek penelitian yaitu data
sebaran titik panas dan data sebaran lahan gambut di Pulau Sumatera. Tahapan
yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari tujuh tahap yaitu studi literatur,
pengumpulan dan analisis data, praproses data, implementasi metode KSS dengan
model
Poisson
untuk menentukan
likelihood
, penentuan
cluster
titik panas dengan
menggunakan metode KSS, validasi
cluster
, dan visualisasi c
lustering
.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa
cluster
titik panas paling banyak
terjadi pada Provinsi Riau dan Sumatera Selatan. Sebaran
cluster
titik panas di
Sumatera berdasarkan tingkat kematangan gambut yaitu pada tahun 2001-2006
didominasi oleh tipe gambut
“Hemists
(100)
” dengan kedalaman
“
sedang
”
dan
“Hemists/Saprists (60/40)” dengan kedalaman
“dalam”
. Sedangkan, pada tahun
2007-
2014 didominasi oleh “Hemists/Saprists (60/40)” dengan kedalaman “
sangat
dalam” dan “Hemists/Saprists (60/40)” dengan kedalaman
“
sedang
”.
Berdasarkan
ketebalan gambut pada tahun 2001-2006 sebaran
cluster
titik panas di Sumatera
di
dominasi oleh “Sedangμ 100
-
200 cm (D2)”
dan Dalam/tebal (D3) (200-400
cm)”
. Sedangkan, pada tahun 2007-2014 didominasi oleh
“
Dalam/tebal (D3)
(200-
400 cm)”
dan
“Sangat Dalam/Sangat Tebalμ >400cm (D4)”.
Berdasarkan
jenis tutupan lahan, secara umum sebaran
cluster
titik panas lahan gambut tahun
di Sumatera pada tahun 2001
–2014 didominasi oleh “
hutan r
awa” dan tingkat
kematangan “hemik”.
SUMMARY
ANNISA PUSPA KIRANA. Spatio Temporal Clustering of Peatland Hotspot in
Sumatera with Poisson Process. Supervised
by
IMAS SUKAESIH
SITANGGANG and LAILAN SYAUFINA.
Forest and land fire is a serious problem and having a huge impact on the
ecosystem environment. There are several impacts of forest and land fire,
including smog pollution, decreased level of health, damaged ecosystem, high
release of carbon in the air, and other negative impact on various sectors.
Considering the impact of forest and land fire that are very harmful and the
diversity of factors causing the emergence of fire, it is very important to develop
early warning systems for the prevention of forest and land fire especially in the
peatland area. An indication of the occurrence of forest and land fire can be
recognized through detecting hotspots in a certain location and in a particular
time. By recognizing the distribution pattern of hotspot, we can know the area that
has high fires density and then, any early prevention steps can be performed in
that area.
In this research, we applied statistical approach to recognize the distribution
pattern of hotspot
in both spatial and temporal domain using Kulldorff’s Scan
Statistic (KSS) method. We used clustering method to recognize the distribution
pattern of the hotspot. The datasets that we used in this research are the hotspot
data, especially in the peatland area, as well as the general peatland data in
Sumatera Island from 2001 to 2014. This research consist of six stages, there are
data collection, preprocess data, the implementation of the KSS method with a
Poisson model to determine the likelihood, the determination of clusters of
hotspots using KSS method, cluster validation, cluster visualization. Clustering
peatland hotspot in Sumatera from 2001 to 2014 using KSS method was able
detected patterns of hotspot distribution.
Provinces with the highest hotspot occurrence cluster is located in Riau
province and South Sumatera province. The distribution clusters of hotspot in the
period
of
2001-2006
are
dom
inated by ’Hemic (100), moderate’
and
’Hemic/Sapric (60/40), deep’. During the period of 2007-2014, the
distribution of cluster is
dominated by ’Hemic/Sapric (60/40), deep’ and
Hemic/Sapric (60/40),
very deep’
. Whereas, in term of the peatland thickness in
periods 2001 to 2014, there is a shift in the distribution of hotspots and the use of
peat from the
’moderate’ depth to ’very deep’ and ’deep’. Based on the physical
characteristics of peat, hotspot clusters are found in peatland level of
mat
urity ’hemic’ and
land use type of
’swamp forest’.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
SPATIO TEMPORAL CLUSTERING
TITIK PANAS PADA
LAHAN GAMBUT DI SUMATERA MENGGUNAKAN
PROSES PENGELOMPOKAN
POISSON
ANNISA PUSPA KIRANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Komputer
pada
Program Studi Ilmu Komputer
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini.
Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan September 2014 dengan judul
Spatio
Temporal Clustering
Titik Panas pada Lahan Gambut di Sumatera menggunakan
Proses Pengelompokan
Poisson
.
Penulisan tesis penelitian ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Ilmu Komputer pada Program Studi Ilmu Komputer, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Penulis
menyadari bahwa bantuan-bantuan dan arahan-arahan dari kedua pembimbing
sangat membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis
sampaikan kepada Ibu Dr Imas Sukaesih Sitanggang, SSi, MKom selaku
pembimbing I dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku pembimbing II yang
telah memberi saran, motivasi dan semangat selama penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:
1.
Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom selaku Ketua Departemen Ilmu Komputer
dan juga sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis.
2.
Dr Eng Wisnu Ananta Kusuma, ST MT selaku Ketua Program Studi
Magister Ilmu Komputer.
3.
Seluruh dosen dan staf pegawai tata usaha Departemen Ilmu Komputer.
4.
FIRMS MODIS Fire dan Wetland International Program Indonesia sebagai
penyedia data.
5.
Orang tua dan mertua tersayang, saudara dan seluruh keluarga yang selalu
memberikan dorongan dan mendoakan untuk keberhasilan studi bagi penulis.
6.
Suami tercinta, Adhitya Bhawiyuga terimakasih atas seluruh doa, dukungan,
dan dorongan selama ini.
7.
Seluruh mahasiswa Departemen Ilmu Komputer khususnya teman-teman
angkatan tahun 2013 pada program studi S2 Ilmu Komputer.
8.
Sahabat-sahabat yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak
membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini
Semoga segala bantuan, bimbingan, dan motivasi yang telah diberikan
kepada penulis senantiasa mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penulisan
tesis ini dapat memperkaya pengalaman belajar serta wawasan dan dapat
bermanfaat untuk kita semua. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan karya ini di kemudian hari.
Bogor, 14 Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
Ruang Lingkup Penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
6
Lahan Gambut di Sumatera
6
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
7
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran
8
Spatio Temporal Clustering
9
Kulldorff’s
Scan Statistics
(KSS)
10
Proses
Poisson
12
3 METODE
13
Area Studi
13
Data Titik Panas dan Perangkat Penelitian
13
Tahapan Penelitian
14
Pengumpulan dan Analisis Data
15
Praproses Data
16
Implementasi metode KSS
18
Penentuan
Cluster
dengan Metode KSS
18
Validasi
cluster
24
Analisis
cluster
25
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
26
Sebaran Titik Panas Lahan Gambut Sumatera
26
Perbandingan Data Titik Panas Sensor MODIS dan AVHRR
32
Pembentukan
Cluster
Titik Panas di Pulau Sumatera
37
5 KESIMPULAN DAN SARAN
54
Kesimpulan
54
Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
55
LAMPIRAN
59
DAFTAR TABEL
1
Jumlah titik panas di Sumatera tahun 2001-2014 sebelum dan
setelah dilakukan proses
clipping
17
2
Sebaran titik panas berdasar jenis lahan gambut di Sumatera
tahun 2001
–
2014
27
3
Densitas titik panas berdasarkan jenis lahan gambut di Sumatera
tahun 2001-2014
28
4
Sebaran titik panas berdasar ketebalan lahan gambut di Sumatera
tahun 2001-2014
29
5
Densitas titik panas berdasar ketebalan lahan gambut di Sumatera
tahun 2001-2014
29
6
Sebaran titik panas berdasar tutupan lahan gambut di Sumatera
tahun 2001-2014
30
7
Densitas titik panas berdasarkan penutupan lahan gambut di
Sumatera tahun 2001-2014
31
8
Specific rate
lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun 2001
–
2014
38
9
Pembentukan
cluster
data sebaran titik panas tahun 2013
42
10
Densitas
cluster
titik panas berdasar area
cluster
tahun 2013
43
11
Analisis
temporal cluster
tahunan (2001-2014)
47
12
Analisis
temporal
cluster
periodik
49
DAFTAR GAMBAR
1
Peta sebaran lahan gambut Pulau Sumatera
6
2
Pola penjalaran api pada kebakaran gambut
8
3
Representasi titik panas dalam radius ±1 km2
9
4
Ilustrasi perubahan data spatiotemporal
10
5
Studi area (R), sel (a) dan zona (Z)
11
6
Tahapan penelitian
15
7
Seleksi titik panas lahan gambut (ESRI 2014)
16
8
Studi area dan
circular window
19
9
Diagram alur penentuan
cluster
dengan metode KSS
20
10
Ilustrasi
cell
dan
centroid
21
11
Perhitungan jarak dengan
Euclidean
21
12
Jarak
center centroid
terhadap neighbourhood centroid
22
13
Pembentukan
circular scanning window
22
14
Jumlah titik panas di area gambut dan non gambut tahun
2001-2014
26
15
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR di
16
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
Pulau Sumatera tahun 2013
33
17
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar jenis lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2002
34
18
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar ketebalan lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2002
34
19
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar tutupan lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2002
35
20
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar jenis lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2013
36
21
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar ketebalan lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2013
36
22
Perbandingan jumlah titik panas sensor MODIS dan AVHRR
berdasar jenis tutupan lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2013
37
23
Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di Sumatera
tahun 2002 menggunakan metode KSS
39
24
Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di Sumatera
tahun 2002 menggunakan metode DBSCAN
40
25
Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di Sumatera
tahun 2013 menggunakan metode KSS
43
26
Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di Sumatera
tahun 2013 menggunakan metode DBSCAN
44
27
Titik panas lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2006
51
28
Titik panas lahan gambut Pulau Sumatera tahun 2014
51
29
Titik panas lahan gambut Pulau Sumatera bulan Oktober tahun
2006
52
30
Titik panas lahan gambut Pulau Sumatera bulan Maret tahun 2014
53
DAFTAR LAMPIRAN
1
Luas area gambut dan koordinat titik tengah lahan gambut per
Kabupaten di Sumatera
59
2
Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2002
61
3
Densitas cluster titik panas berdasar area cluster tahun 2002
62
4
Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2002
62
5
Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2002
63
6
Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2002
64
7
Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2013
65
8
Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2013
65
9
Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
10 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2001
68
11 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2001
69
12 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2001
69
13 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2001
70
14 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2001
71
15 Pembentukan cluster titik panas lahan gambut di Sumatera tahun
2003
73
16 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2003
75
17 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2003
75
18 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2003
77
19 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2003
78
20 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2004
80
21 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2004
83
22 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2004
83
23 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2004
85
24 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2004
86
25 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2005
89
26 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2005
92
27 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2005
92
28 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2005
93
29 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2005
94
30 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2006
96
31 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2006
97
32 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2006
97
33 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2006
98
34 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2006
99
35 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2007
101
36 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2007
103
37 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2007
103
39 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2007
106
40 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2008
108
41 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2008
110
42 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2008
110
43 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2008
112
44 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2008
113
45 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2009
115
46 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2009
118
47 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2009
118
48 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2009
120
49 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2009
122
50 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2010
125
51 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2010
127
52 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2010
127
53 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2010
129
54 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2010
130
55 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2011
133
56 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2011
134
57 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2011
134
58 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2011
136
59 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2011
136
60 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2012
139
61 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2012
141
62 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2012
141
63 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan gambut tahun 2012
143
64 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2012
144
65 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2014
147
66 Peta sebaran pengelompokan titik panas lahan gambut di
Sumatera tahun 2014
148
67 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2014
148
69 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2001
150
70 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2001-2014
151
71 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2001-2014
152
72 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut
2001-2014
153
73 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2001-2014
153
74 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2001-2006
155
75 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2001-2006
156
76 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2001-2006
157
77 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2001-2006
158
78 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2007-2014
161
79 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2007-2014
162
80 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2007-2014
163
81 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2007-2014
163
82 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2006 bulan
Oktober
166
83 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2006 bulan Oktober
168
84 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2006 bulan Oktober
169
85 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2006 bulan Oktober
169
86 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2014 bulan
Maret
172
87 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2014 bulan Maret
173
88 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2014 bulan Maret
174
89 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
tahun 2014 bulan Maret
175
90 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2006 bulan
Oktober hari Jumat
177
91 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2006 bulan Oktober hari Jumat
178
92 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2006 bulan Oktober hari Jumat
178
93 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
94 Pembentukan cluster data sebaran titik panas tahun 2014 bulan
Maret hari Selasa
180
95 Densitas cluster titik panas berdasar tingkat kematangan gambut
tahun 2014 bulan Maret hari Selasa
181
96 Densitas cluster titik panas berdasar ketebalan lahan gambut tahun
2014 bulan Maret hari Selasa
182
97 Densitas cluster titik panas berdasar jenis tutupan lahan gambut
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berjuta hektar hutan dan lahan terbakar di seluruh penjuru dunia setiap
tahunnya, tidak terkecuali di Indonesia yang didominasi oleh kebakaran lahan
gambut. Pada Februari 2014 terdapat 6937 titik panas (
hotspot
) yang terdeteksi
satelit NASA MODIS
Fires
. Akumulasi terus bertambah pada bulan Maret 2014
(WWF Indonesia 2014). Jika dilihat dari faktor penyebab kebakaran lahan gambut
di Indonesia, faktor alam memegang peranan yang sangat kecil, sedangkan faktor
manusia menyebabkan hampir 100% kebakaran baik secara sengaja maupun tidak
disengaja. Faktor alam penyebab kebakaran hutan dan lahan antara lain petir,
letusan gunung berapi, atau batu-bara yang terbakar. Sedangkan faktor yang
disebabkan manusia antara lain meliputi pembakaran hutan dan lahan untuk
pembukaan kebun, loncatan api dari kebun atau hutan, dan sabotase (Syaufina
2008). Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang besar bagi
keseimbangan lingkungan, diantaranya dapat menyebabkan pencemaran kabut
asap, memburuknya tingkat kesehatan, rusaknya ekosistem, tingginya pelepasan
karbon di udara, dan kerugian di berbagai bidang lainnya (Glover 2002).
Mengingat faktor penyebab timbulnya kebakaran yang tinggi dan dampak
yang sangat merugikan tersebut, maka sangatlah penting untuk dikembangkan
sistem peringatan dini (
early warning system
) guna mencegah kebakaran lahan
khususnya pada area gambut. Terdapat beberapa penelitian yang mengembangkan
sistem peringatan dini dengan memanfaatkan data titik panas antara lain adalah
penelitian yang dilakukan oleh Sitanggang
et al.
(2014) yang menggunakan
algoritme
spatial decision tree
untuk prediksi kemunculan titik panas. Salah satu
upaya pencegahan kebakaran lahan adalah dengan mengetahui pola persebaran
penggerombolan titik panas
.
Titik panas merupakan indikator kebakaran hutan
dan lahan yang mendeteksi suatu lokasi memiliki suhu relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu di sekitarnya (Anonim 2009).
Data titik panas diperoleh melalui satelit penginderaan jauh. Data titik panas
merupakan data
spatio temporal
yang terdiri dari dimensi lokasi dan waktu.
Elemen dari dimensi lokasi adalah koordinat
longitude
dan
latitude
titik panas
yang terjadi. Sedangkan, elemen dari dimensi waktu adalah tanggal terjadinya
hotpot
yang meliputi hari, bulan dan tahun. Perlu diterapkan suatu teknik
data
mining
untuk mengolah data titik panas agar memiliki nilai daya guna yang lebih.
Salah satu pendekatan untuk menganalisis data
spatio temporal
pada
data mining
adalah
clustering
(pengelompokan).
Pola persebaran penggerombolan titik panas
dapat digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang memiliki kepadatan titik panas
yang tinggi. Daerah rawan kebakaran yang telah diketahui dapat digunakan oleh
pihak yang berwenang untuk membantu penguatan implementasi kebijakan dalam
pencegahan kebakaran lahan gambut sejak dini. Sebagai contoh dengan melakukan
pelarangan pembakaran pada lokasi-lokasi lahan gambut yang rawan terjadi
kebakaran.
oleh Sitanggang
et al
(2010) yang meneliti tentang
clustering
pada data titik panas
di Indonesia berbasis web OLAP dengan menggunakan algoritme K-Means.
Purwanto (2012) meneliti data kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera
Selatan pada tahun 2002-2003 dengan menggunakan algoritme yang berbeda
yaitu DBSCAN dan ST-DBSCAN untuk c
lustering
. Penelitian lainnya dilakukan
oleh Wulandari (2012) yang menerapkan algoritme
Dynamic Density Based
Clustering
(DDBC) yang dikenal mampu menangani data spasial dan
temporal
secara bersamaan. Algoritme DDBC diperkenalkan pertama kali oleh Rosswog
dan Ghose (2010).
Usman (2015) meneliti
clustering
berbasis densitas untuk
persebaran titik panas sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut di
Sumatera pada tahun 2002 dan 2013. Data yang diolah adalah data spasial dan
metode untuk
clustering
yang digunakan adalah DBSCAN. Pada penelitian ini
menemukan 53
cluster
pada tahun 2002 dan 42
cluster
pada tahun 2013.
Pendekatan secara statistik yang diterapkan untuk deteksi pengelompokan
hotspot
telah diadopsi secara luas dalam disiplin bidang kesehatan khususnya
dalam bidang surveilans penyakit
tetapi jarang diterapkan dalam disiplin bidang
sumber daya alam (
natural resource
) (Fei 2010). Salah satu contoh penerapan
dalam bidang sumber daya alam khususnya kehutanan (
forestry
) adalah deteksi
penyebaran titik panas yang merupakan salah satu indikator kebakaran hutan dan
lahan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti mencoba untuk
melakukan pengelompokan titik panas khususnya pada area gambut melalui
pendekatan statistik. Adapun metode yang digunakan adalah
Kulldorff’s Scan
Statistics
(KSS)
.
KSS diperkenalkan pertama kali oleh Kulldorff
et al.
(1997) yang
merupakan hasil dari pengembangan metode
Scan Statistics
(Naus 1965). Metode
Scan Statistics
masih digunakan untuk pemrosesan
clustering
titik dalam satu
dimensi saja. Sedangkan, KSS telah dapat mendeteksi pengelompokan titik dalam
dimensi waktu (
temporal
), dimensi ruang (spasial), maupun dimensi ruang dan
waktu
(spatio temporal).
KSS merupakan salah satu metode yang paling popular
dan banyak diterapkan di berbagai bidang untuk c
lustering
data spasial (2
dimensi) maupun c
lustering
data dengan dimensi yang lebih tinggi (Wen dan
Kedem 2009). Kulldorff
et al.
(1997) juga merilis aplikasi
freeware
SaTScan
(http://www.satscan.org/) yang menerapkan metode KSS untuk
clustering
data
spasial,
temporal
, maupun data
spatio temporal
.
(2010) mengembangkan
package
R bernama ‘SpatialEpi’ untuk
mapping
dan
deteksi
clusters
dengan metode KSS.
Penelitian ini mengimplementasikan metode KSS dengan menggunakan
model
Poisson
(Kulldorff dan Nagarwalla 1995).
Metode KSS digunakan untuk
clustering
lahan gambut di wilayah Sumatera pada tahun 2001-2014.
Aspek spasial
dan
temporal
digunakan sebagai parameter dalam menentukan jumlah titik panas.
Hasil
clustering
yang diperoleh mendeteksi pengelompokan terhadap
daerah-daerah terkait yang rawan terhadap terjadinya kebakaran lahan gambut.
Daerah-daerah tersebut memiliki frekuensi kemunculan titik panas yang tinggi sehingga
dinilai rawan terhadap potensi terjadinya kebakaran lahan gambut. Hasil
clustering
yang didapatkan dengan menggunakan metode KSS dibandingan
dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Usman (2015).
Penelitian ini juga membahas mengenai jumlah total titik panas yang terdeteksi
oleh satelit Terra Aqua dan NOAA pada tahun 2002 dan 2013. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah titik panas yang terdeteksi antara
sensor MODIS dan AVHRR. Untuk memudahkan pengguna dalam mengetahui
daerah rawan kebakaran, maka hasil
clustering
divisualisasikan dalam bentuk peta
rawan kebakaran (
fire prone area map
) untuk peringatan dini kebakaran di lahan
gambut di wilayah Sumatera.
Kontribusi utama dalam penelitian yang diusulkan meliputi penerapan
metode KSS dengan menggunakan model probabilitas
Poisson
untuk
clustering
daerah rawan kebakaran lahan gambut di Pulau Sumatera. Kontribusi yang
lainnya adalah menemukan pola persebaran lokasi dan waktu kemunculan (
trend
)
titik panas. Pola yang telah ditemukan tersebut selanjutnya dilakukan visualisasi
hasil
clustering
dalam bentuk peta rawan kebakaran untuk peringatan dini
kebakaran di lahan gambut. Dengan mengetahui pola persebaran penggerombolan
titik panas maka dapat diketahui wilayah-wilayah yang memiliki kepadatan titik
panas yang tinggi sehingga dapat membantu pihak yang berwenang untuk
penguatan implementasi kebijakan dalam pencegahan kebakaran lahan gambut
sejak dini khususnya di Pulau Sumatera.
Perumusan Masalah
Pendekatan statistik yang diterapkan dalam bidang
forestry
khususnya untuk
kasus kebakaran lahan gambut masih jarang dilakukan. Oleh karena itu penelitian
ini menerapkan pendekatan statistik untuk mengetahui pengelompokan sebaran
titik panas secara spasial dan
temporal
. Peneliti menggunakan metode KSS yang
diperkenalkan pertama kali oleh oleh Kulldorff
et al.
(1997). Area yang berada
didalam gerombol memiliki resiko relatif yang lebih tinggi dibanding dengn area
yang lainnya. Parameter lokasi spasial yang menjadi objek penelitian adalah lahan
gambut di wilayah Sumatera. Sedangkan, parameter
temporal
yang digunakan
adalah interval waktu terjadinya titik panas dari tahun 2001 sampai dengan 2014.
Hasil dari pengelompokan titik panas dengan menggunakan metode KSS,
pada nantinya dianalisis untuk mengetahui
trend
kemunculan pengelompokan titik
panas.
Trend
kemunculan pengelompokan titik panas pada nantinya dilakukan
analisis untuk mendapatkan pola penyebaran titik panas berdasarkan aspek
spatio
temporal
. Oleh karena itu, penelitian ini juga membahas mengenai analisis pola
persebaran berdasarkan aspek spasial dan
temporal
pada titik panas di lahan
gambut di wilayah Sumatera dengan menggunakan metode KSS.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1.
Mengidentifikasi pola pengelompokan titik panas dengan menggunakan
metode
Kulldorff’s Scan Statistics
pada lahan gambut di wilayah Sumatera.
2.
Menganalisis pola persebaran pengelompokan titik panas berdasarkan aspek
spasial dan
temporal
pada titik panas di lahan gambut di wilayah Sumatera
berdasarkan karakteristik fisik dari lahan gambut.
3.
Memvisualisasikan hasil
clustering
dalam bentuk peta rawan kebakaran (
fire
prone area map
) untuk peringatan dini kebakaran di lahan gambut.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.
Sistem peringatan dini dan deteksi sejak dini kebakaran lahan gambut di
wilayah Sumatera dengan cara memberikan gambaran pola
cluster
data titik
panas pada lahan gambut berdasar aspek spasial dan
temporal
nya.
2.
Daerah rawan kebakaran yang telah diketahui dapat digunakan untuk
menyusun rencana pengendalian kebakaran khususnya pencegahan kebakaran
khususnya di wilayah Sumatera.
3.
Masukan untuk kebijakan pemerintah dalam mencegah kebakaran pada lahan
gambut.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah:
1.
Data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah data persebaran titik
panas yang berfungsi sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut.
2.
Lokasi data titik panas yang diteliti terletak di wilayah Pulau Sumatera dengan
3.
Tahap implementasi
clustering
memanfaatkan
library
clustering
data pada
perangkat statistika R.
4.
Karakteristik fisik lahan gambut untuk analisis hasil c
lustering
mencakup tipe,
ketebalan, dan tutupan lahan gambut.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lahan Gambut di Sumatera
Sumatera adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 443 065.8 km
2(BPS 2010). Berdasarkan sensus penduduk pada tahun
2010 total penduduk di Pulau Sumatera sekitar 52 210 926 (BPS 2010).
Pemerintahan di Sumatera dibagi menjadi sepuluh provinsi yaitu sebagai berikut
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Aceh, Lampung,
Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau. Populasi penduduk
tertinggi terletak pada provinsi Sumatera utara yaitu sebesar 2 097 610 jiwa,
sedangkan populasi terendah terletak pada Kepulauan Riau yaitu sebesar 5 543
031 jiwa (Helders 2009). Pulau Sumatera terletak pada koordinat antara 95
ₒBT
–
105
ₒBT dan 6
ₒLU
–
6
ₒLS.
Gambar 1 merupakan peta sebaran lahan gambut di Sumatera. Lahan
gambut terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tanaman purba yang mati dan sebagian
mengalami perombakan, mengandung minimal 12
–
18% C-organik dengan
ketebalan minimal 50 cm (Adinugroho
et al
. 2010). Lahan gambut di Indonesia
seluas 20 juta hektar atau menduduki urutan ke empat dalam kategori lahan
gambut terluas di dunia setelah Kanada, Uni Soviet dan Amerika. Lahan gambut
tersebut sebagian besar terdapat di empat Pulau besar yaitu Sumatera 35%,
Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno 1998).
Penyebaran lahan gambut di Sumatera, khususnya terdapat di dataran rendah
sepanjang pantai timur dengan luas 7.2 juta hektar (Wahyunto
et.al
. 2005).
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) menyusun
peta gambut untuk mendukung peta Indikasi penundaan ijin baru (PIPIB) hutan
alam primer dan lahan gambut. BBSDLP mengupdate peta lahan gambut terbitan
Wetland International dengan masukan hasil survey pemetaan tanah yang
dilakukan oleh Kementerian Pertanian sampai dengan tahun 2010, hasilnya luas
gambut di 3 pulau besar sekitar 14,9 juta ha. (Ritung
et al
. 2011).
Ketebalan gambut di Sumatera bervariasi mulai dari sangat dangkal (< 50
cm) seluas 682 ribu ha, dangkal (50-100 cm) seluas 1.24 juta ha sedang (100-200
cm) seluas 2.327 juta ha, dalam (200-400 cm) seluas 1.246 juta ha, dan sangat
dalam (400-800 cm) seluas 1.705 juta ha. Terdapat tiga macam bahan organik
tanah yang dikenal berdasarkan tingkat dekomposisi bahan tanaman aslinya yaitu
fibrik, hemik dan saprik. Fibrik merupakan gambut yang mempunyai tingkat
dekomposisi rendah, pada umumnya memiliki
bulk density
<0.1 g/cm
3,
kandungan serat >3/4 volumenya. Hemik merupakan gambut yang mempunyai
tingkat dekomposisi sedang,
bulk density
-nya antara 0.13-0.29 g/cm
3dan
kandungan seratnya normal antara <3/4 sampai >1/4 dari volumenya. Sedangkan
saprik merupakan gambut yang mempunyai tingkat tingkat kematangan yang
paling tinggi,
bulk density
-nya >0.2 g/cm
3dan rata-rata kandungan seratnya <1/4
dari volumenya (Wahyunto
et al
. 2005).
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap
bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar
secara bebas dan tidak terkendali, sedangkan kebakaran lahan terjadi di kawasan
non hutan (Syaufina 2008). Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran
hutan merupakan suatu proses reaksi yang menyebar secara bebas dari perpaduan
antara unsur oksigen, bahan bakar hutan dan panas, ditandai dengan adanya
cahaya, panas dan asap. Proses ini menyebar dengan bebas dan mengonsumsi
bahan bakar alam yang terdapat di hutan seperti serasah, rumput, humus,
ranting-ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan dan pepohonan segar lainnya.
Menurut Syaufina (2008) perilaku api perlu diketahui sebagai dasar dalam
mempelajari dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan guna
menilai kerusakan lingkungan sebagai akibat dari kebakaran maupun untuk
menentukan strategi pengendaliannya. Pada kebakaran lahan gambut termasuk
dalam tipe kebakaran bawah. Pada kebakaran bawah, api membakar bahan
organik dibawah permukaan serasah yang pada umumnya berupa humus dan
gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan perlahan dan tidak
dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala sehingga sulit untuk dideteksi dan dikontrol.
Gambar 2 Pola penjalaran api pada kebakaran gambut (DeBano
et al.
1998)
Titik Panas sebagai Indikator Kebakaran
Kemunculan titik panas dapat digunakan untuk mendeteksi terjadinya
kebakaran suatu lahan/hutan. Titik panas adalah indikator kebakaran hutan dan
lahan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan suhu di sekitarnya (Kemenhut 2009). Secara terminologi
titik panas adalah satu piksel daerah yang memiliki suhu lebih tinggi jika
dibandingkan dengan daerah atau lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit
data digital (Albar 2002). Data titik panas dapat diperoleh dari satelit
penginderaan jauh yaitu sensor AVHRR (
Advanced Very High Resolution
Radiometer
) yang terdapat pada satelit NOAA (
National Oceanic Atmospheric
Administration
)
dan
Sensor
MODIS
(
Moderate
Resolution
Imaging
Spectroradiometer
) yang terpasang pada satelit Terra dan Aqua.
Gambar 3 Representasi titik panas dalam radius ±1 km
2(Giglio
et al
. 2003)
Spatio Temporal Clustering
Clustering
merupakan salah satu metode utama dalam
data mining
untuk
memperoleh pengetahuan dari basis data yang dibentuk.
Clustering
adalah proses
pengelompokan besar
data set
menurut kesamaan data (Rao 2012). Han dan
Kamber (2012) mendefinisikan
Clustering
sebagai proses pengelompokan
objek-objek dalam beberapa
cluster
dimana objek yang berada dalam satu
cluster
memiliki kesamaan yang tinggi (
high similarity
) sedangkan antar objek yang
berbeda
cluster
memiliki sifat yang tidak sama (
dissimilar
). Sifat seperti ini biasa
dikenal dengan
high interclass
dan
low outerclass
dalam c
lustering
.
Spatio
temporal
Clustering
merupakan proses pengelompokan objek yang harus
mempertimbangkan aspek spasial dan
temporal
dalam melakukan pengelompokan
data (Rao 2012). Kisilevich
et al.
(2010) menyatakan bahwa
spatio temporal
clustering
adalah proses dalam mengelompokkan objek berdasarkan persamaan
spasial dan
temporal
. Dimensi
temporal
mendeskripsikan perubahan objek dari
waktu ke waktu dan dimensi spasial mendeskripsikan perubahan lokasi objek.
Data
spatio temporal
banyak ditemui pada kehidupan sehari-hari dan mudah
diperoleh. Sebagai contoh adalah data citra satelit bagian bumi, pembacaan suhu
untuk sejumlah stasiun terdekat, hasil pemilihan
votting
daerah dan sejumlah
pemilu berturut-turut, lintasan untuk orang atau hewan yang mungkin dilengkapi
dengan fasilitas pembacaan tambahan sensor, wabah penyakit, kebakaran hutan
atau lahan, dan letusan gunung berapi (Pebezma 2012). Data
spatio temporal
diambil sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Periode waktu yang melekat
pada data spasial yang berlaku dan disimpan dalam basis data yang
valid
(Birant
dan Kut 2007).
mendeskripsikan perilaku perubahan dan selalu berhubungan dengan perubahan
geografis. Sehingga, ruang dan atribut memiliki hubungan dengan waktu (Rahim
2006).
Gambar 4 Ilustrasi perubahan data
spatiotemporal
(Rahim 2006)
Kulldorff’s Scan Statistics (KSS)
Kulldorff’s Scan Statistics
(KSS) diperkenalkan pertama kali oleh
Kulldorff
et al.
(1997) yang merupakan hasil dari pengembangan metode
Scan
Statistics
(Naus 1965).
Scan Statistics
merupakan salah satu metode statistik yang
digunakan untuk mendeteksi penggerombol
hotspot
dalam suatu wilayah yang
signifikan secara statistik terhadap resiko kasus tertentu. Song dan Kulldorff
(2003) menyatakan bahwa gerombol-gerombol
hotspot
dibangkitkan dengan
aturan bahwa wilayah yang berada di dalam gerombol tersebut memiliki resiko
relatif yang lebih tinggi dibanding dengan wilayah sebaran
hotspot
yan lainnya.
Scan Statistics
masih digunakan untuk pemrosesan c
lustering
titik dalam satu
dimensi saja sedangkan, KSS telah dapat mendeteksi pengelompokan titik dalam
dimensi waktu (
temporal
), dimensi ruang (spasial), maupun dimensi ruang dan
waktu
(spatio temporal).
Ide dasar dari metode
Scan Statistics
adalah bekerja
berdasarkan
window
. Untuk tiap
scanning window
yang terbentuk dihitung nilai
rasio kemungkinan (
likelihood ratio)
.
Cluster
potensial dideteksi dengan nilai
likelihood
yang tertinggi.
Gambar 5 Studi area (R), sel (a) dan zona (Z)
Scanning window
yang berbentuk lingkaran (
circular window
) dinotasikan
dengan Z.
Cluster
potensial merupakan
scanning window
yang memiliki nilai
rasio
likelihood
tertinggi. KSS menggunakan koleksi besar
jendela melingkar
(
circular window
) yang tumpang tindih untuk mengidentifikasi
cluster
dalam
dimensi spasial. Lokasi kasus direpresentasikan dalam titik-titik koordinat
terjadinya kasus. Jika kasus merupakan agregasi dalam
cell
titik-titik koordinat
yang dapat diwakili oleh
centroid polygon
pada
cell
yang bersangkutan. Langkah
pertama meletakkan
circular window
di sekitar koordinat
centroid
dan
membiarkan lingkaran pusat bergerak dengan
radius
yang semakin membesar
menuju ke
centroid
tetangga terdekat (
nearest neighbourhood
) (Kulldorff
2007).
Proses
Poisson
Kejadian kebakaran direpresentasikan dengan titik panas yang merupakan
penanda bahwa kejadian kebakaran telah terjadi pada suatu wilayah dan suatu
waktu tertentu. Titik panas memiliki aspek spasial dan
temporal
sehingga
pemrosesan titik panas tersebut disebut dengan pemrosesan titik
spatio temporal
.
Dalam fenomena spasial
Poisson
sering digunakan untuk memodelkan pola titik
yang acak (
random
) (Leino 2007). Proses
Poisson
dikatakan
homogen
jika
intensitas titik adalah konstan atau dapat dikatakan pula bahwa jumlah rata-rata
dari titik kejadian setiap unit
square
adalah tetap. Sedangkan proses
Poisson
dikatakan
inhomogen
adalah saat intensitas titik kejadian bergantung pada lokasi
secara spasial dalam tiap unit
square
.
Inhomogen
banyak digunakan untuk
menggambarkan fenomena kejadian yang bersifat acak (Leemis dan Larry 2003).
Kebakaran lahan gambut merupakan salah satu contoh peristiwa yang
berdistribusi
Poisson Inhomogen
.
3 METODE
Pada bagian ini dibagi menjadi tiga bagian yaitu studi area, data dan
perangkat penelitian dan tahapan penelitian. Pada bagian pertama yaitu studi area
membahas tentang gambaran umum keadaan daerah yang dijadikan objek
penelitian tempat titik panas terjadi. Pada bagian kedua yaitu data dan perangkat
penelitian membahas tentang ruang lingkup data yang digunakan dalam penelitian
berikut perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data. Pada bagian
terakhir yaitu tahapan penelitian, dalam bagian ini membahas tahap-tahap
penelitian yang dilakukan.
Area Studi
Penelitian ini melakukan
clustering
data titik panas di lahan gambut yang
terletak di Pulau Sumatera, Indonesia dengan interval tahun 2001-2014.
Berdasarkan data hasil deteksi satelit Terra dan Aqua sumber data didapatkan
FIRM MODIS
Fire
. Indonesia memiliki luas lahan gambut sekitar 20.6 juta ha
berdasarkan sebaran lahan gambut tahun 2002, dimana 35% diantaranya terdapat
di Pulau Sumatera. Luas lahan gambut diurutkan dari yang terluas di Pulau
Sumatera tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1) Riau: 4.044 juta ha (56.1 % dari
luas total lahan gambut), 2) Sumatera Selatan 1.484 juta ha (20.6%), 3) Jambi:
0.717 juta ha (9.95%), 4) Sumatera Utara: 0.325 juta ha (4.5 %), 5) Aceh: 0.274
juta ha (3.8 %), 6) Sumatera Barat: 0.210 juta ha (2.9%), 7) Lampung: 0.088 juta
ha (1.2 %), dan 8) Bengkulu: 0.063 juta ha (0.88 %) (Wahyunto
et al
. 2005).
Data Titik Panas dan Perangkat Penelitian
Data yang digunakan sebagai objek penelitian adalah data persebaran titik
panas yang berfungsi sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan gambut. Lokasi
data titik panas yang diteliti terletak di Pulau Sumatera dengan interval 14 tahun
terakhir yaitu dimulai dari tahun 2001 sampai 2014. Data memiliki atribut lintang
dan bujur yang mewakili aspek spasial serta atribut tanggal yang mewakili aspek
temporal
. Data sebaran titik panas yang diteliti terletak di Pulau Sumatera dimulai
dari tahun 2001 sampai 2014 bersumber dari FIRM MODIS
Fire
. Data sebaran
lahan gambut di Pulau Sumatera yang diteliti bersumber dari Wetland
International. Sedangkan data sebaran titik panas dapat diunduh pada alamat
website http://earthdata.nasa.gov/data/nrt-data/firms.
Perangkat keras yang digunakan untuk pengembangan sistem adalah komputer
personal dengan spesifikasi sebagai berikut: prosesor AMD E2-200 APU, CPU
1.75 GHz, RAM 6.00 Gb, dan sistem operasi yang digunakan adalah Windows
8.1 64 bit. Penelitian ini menggunakan bantuan beberapa perangkat lunak (
tools
)
untuk menangani beberapa tahapan penelitian yang dilakukan. Daftar perangkat
lunak yang digunakan adalah sebagai berikut:
2.
PostgreSQL dapat diunduh pada alamat http://www.postgreesql.org. Aplikasi
ini digunakan untuk sistem manajemen basis data.
3.
R dapat diunduh pada alamat http://www.r-project.org. Aplikasi ini digunakan
untuk membuat implementasi pengelompokan titik panas dengan metode
Poisson Clustering.
4.
Paket ‘SpatialEpi’ digunakan untuk
clustering
dengan metode KSS dan dapat
diunduh pada
Comprehensive
R
Archive
Network
(CRAN) at
http://CRAN.R-project.org/package=spatialepi.
5.
Quantum GIS dapat diunduh pada alamat http://www.qgis.org. Aplikasi ini
digunakan untuk analisis data spasial.
6.
Leaflet Web Maps (QGIS
Plugin
) dapat diunduh pada alamat
https://plugins.qgis.org/plugins/qgis2leaf/
merupakan
plugin
aplikasi QGIS
(qgis2leaf) untuk mengubah tampilan
maps desktop
menjadi berbasis
web
map
s secara
online
yang digunakan untuk visualisasi hasil pengelompokan
titik panas.
Tahapan Penelitian
Bagian ini menjelaskan tentang tahapan penelitian. Tahapan yang dilakukan
dalam penelitian terdiri dari enam tahap yaitu pengumpulan dan analisis data,
praproses data, implementasi metode KSS dengan model
Poisson
untuk
menentukan
likelihood
, penentuan
cluster
titik panas dengan menggunakan
metode KSS, validasi
cluster
, dan visualisasi c
lustering.
Gambar 6 merupakan
bagan tahapan penelitian yang dilakukan. Adapun langkah-langkah tahapan
penelitian secara lebih detail adalah sebagai berikut:
1.
Pengumpulan data dan analisis.
Tahap ini dilakukan pengumpulan dan analisis data
spatio temporal
titik panas
yang diambil dari FIRMS MODIS
Fire
.
2.
Praproses data.
Pada tahap ini terdapat dua macam proposes data yaitu data titik panas dan
data lahan gambut. Pada data titik panas praproses data yang dilakukan terdiri
dari empat tahap yaitu, ekstraksi data, penyeleksian data lahan gambut dan
bukan lahan gambut, dan pemuatan data.
3.
Implementasi metode
Kulldorff’s Scan Statistics
(KSS) dengan model
Poisson.
Pada tahap ini diimplementasikan pengelompokan titik panas dengan
menggunakan metode KSS dengan model
Poisson
pada aplikasi yang dipakai.
4.
Penentuan
cluster
titik panas menggunakan metode KSS.
Pada tahap ini dilakukan pengelompokan titik panas dengan metode KSS
dengan model
Poisson
.
5.
Validasi
cluster
titik panas.
Implementasi metode KSS dengan model
Poisson
Pengumpulan data
Praproses data
Penentuan
cluster
titik panas menggunakan
metode KSS dengan model
Poisson
Validasi
cluster
Visualisasi
cluster
Penerapan KSS dengan
model
Poisson
pada data titik panas
Analisis pola persebaran
titik panas
[image:32.595.110.506.91.704.2]Visualisasi pola
persebaran titik panas
dalam bentuk peta
Gambar 6 Tahapan penelitian
6.
Visualisasi
cluster.
Pada tahap ini dilakukan visualisasi
output
hasil pengelompokan titik panas
dengan menggunakan metode KSS
dalam bentuk peta. Tahap ini
memanfaatkan plugins qgis2leaf pada QGIS untuk proses visualisasi.
Qgis2leaf merupakan
plugins
untuk membuat aplikasi berbasis peta berbasis
web.
Pengumpulan Data
diperlukan untuk mempercepat perhitungan data.
Field
data yang diperlukan yaitu
lintang, bujur, dan tanggal.
Praproses Data
1.
Praposes data titik panas
Penelitian ini menggunakan data titik panas sebagai indikator kebakaran hutan
dan lahan untuk dikelompokkan berdasarkan aspek spasial yaitu lokasi kebakaran
dan aspek
temporal
yaitu waktu terjadinya kebakaran. Dalam tahap praproses
data terdiri dari empat tahap yaitu, ekstraksi data, penyeleksian titik panas di
lahan gambut dan bukan gambut, seleksi lokasi sebaran titik panas di lahan
gambut per kabupaten dan yang terakhir adalah pemuatan data. Tahapan secara
rinci dijelaskan sebagai berikut:
a.
Ekstraksi data
Pada tahap ekstraksi, dilakukan pemilihan atribut-atribut dan
records
yang
diinginkan. Hal ini perlu dilakukan karena tidak seluruh elemen data berguna
dalam pembuatan keputusan. Ekstraksi data dilakukan pada file
dbf
.
b.
Seleksi titik panas di lahan gambut dan
non
gambut
[image:33.595.85.483.502.606.2]Data titik panas berformat
csv
(
Comma Separated Values
). Data titik panas
tersebut kemudian direpresentasikan ke dalam bentuk
shapefile
dengan ekstensi
shp
untuk memudahkan analisis data secara spasial. Pemrosesan data lahan
gambut dilakukan dengan cara menyeleksi daerah yang termasuk lahan gambut
dan daerah yang bukan lahan gambut dengan bantuan aplikasi QuantumGIS,
PostgreSQL dan PostGIS. Dalam data spasial, data disimpan dalam layer yang
terdiri dari fitur spasial. Fitur spasial tersebut terdiri dari titik dan
polygon
.
Gambar 7 mengilustrasikan tentang seleksi titik panas di lahan gambut.
Gambar 7 Seleksi titik panas lahan gambut (ESRI 2014)
Tahap ini dilakukan proses tumpang susun peta (
overlay
) antara peta digital
lahan gambut di Pulau Sumatera dengan peta digital titik panas di Sumatera. Peta
lahan gambut di Pulau Sumatera digunakan sebagai
clip feature
yang memotong
area titik panas di Sumatera. Tujuan utama dari penseleksian titik panas ini adalah
untuk memisahkan titik panas yang berasal dari lahan gambut dan bukan lahan
gambut. Tahapan selanjutnya adalah mengelompokkan titik panas yang terletak di
lahan gambut dengan menggunakan KSS. Jumlah total titik panas sebelum dan
setelah dilakukan proses
clipping
dapat dilihat pada Tabel 1.
Titik panas lahan
gambut dan
bukan lahan
gambut
Tabel 1 Jumlah titik panas di Sumatera tahun 2001-2014 sebelum dan setelah
dilakukan proses
clipping
Tahun
Titik Panas Setelah proses
clipping
Titik Panas Sebelum proses
clipping
Tahun
Titik Panas Setelah proses
clipping
Titik Panas Sebelum proses
clipping
2001 3 540 1 429 2008 13 907 4 970
2002 20 005 7 968 2009 24 600 10 550
2003 16 890 6 864 2010 7 412 3 472
2004 24 957 10 515 2011 20 285 9 041
2005 31 485 19 149 2012 23 809 9 726
2006 42 413 18 851 2013 21 277 12 016
2007 13 283 3 811 2014 39 407 193
c.
Seleksi lokasi sebaran titik panas per kabupaten/kota
Tahap ini dilakukan seleksi lokasi sebaran titik panas menjadi per
kabupaten/kota. Hal ini dilakukan karena pendefinisian pengelompokan
penyebaran secara spasial titik panas sampai dalam skala pulau dan per
kabupaten/kota. Pemerintahan di Sumatera dibagi menjadi sepuluh provinsi yaitu
sebagai berikut Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Jambi,
Aceh, Lampung, Bengkulu, Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau.
Dalam 10 provinsi tersebut terdapat total 153 kabupaten/kota (KPPOD 2013).
Pada tahap ini dilakukan proses
overlay
antara peta digital administratif
kabupaten/kota di Pulau Sumatera dengan peta digital sebaran titik panas lahan
gambut di Sumatera. Peta administratif kabupaten/kota di Pulau Sumatera
digunakan sebagai
clip feature
yang memotong area sebaran titik panas sebaran
lahan gambut di Sumatera. Tujuan utama dari penseleksian area adalah untuk
membagi sebaran titik panas berdasarkan area spasial per kabupaten/kota.
Selanjutnya
dilakukan
pemrosesan
pengelompokan
dengan
KSS
per
kabupaten/kota pada sebaran titik panas lahan gambut.
d.
Pemuatan data
Setelah tahap ekstraksi dan transformasi data dilakukan, maka data telah siap
untuk dimuat ke dalam basis data. Aplikasi PostGIS digunakan sebagai alat bantu
untuk mengkonversi file data
shp
yang telah dilakukan seleksi lokasi sebaran titik
panas pada tahap sebelumnya dalam DBMS PostgreSQL. Tahap ini, bertujuan
untuk memuat data yang terseleksi ke dalam
database
(
dbf
) kemudian dilakukan
penyesuaian format ekstensi data sehingga dapat diolah menggunakan aplikasi R.
Data dengan format
dbf
pada nantinya dikonversi ke dalam bentuk
csv
sehingga
dapat di
import
kedalam R untuk dijadikan dataset dalam c
lustering
.
2.
Praproses data lahan gambut
(
input
) yang di
overlay
nantinya dengan menggunakan unsur-unsur spasial yang
lain. Selanjutnya setiap karakteristik fisik dihitung luasan per km
2untuk wilayah
kabupaten/kota. Proyeksi peta untuk mendefinisikan sistem koordinat baru
terhadap peta sebaran lahan gambut pulau Sumatera dikarenakan tidak tersedianya
metadata pada
data frame
yang memberikan informasi koordinat unsur-unsur
spasialnya. Tahapan praproses memanfaatkan PostgreSQL untuk manajemen
basis data dengan ekstensi PostGIS untuk mengolah data spasial dan Quantum
untuk pemrosesan data spasial. Jumlah luasan lahan gambut pada nantinya
dihitung untuk mendapatkan luasan karakteristik fisik lahan gambut per
kabupaten/kota.
Implementasi Metode KSS
Pada tahapan ini dilakukan implementasi metode KSS dengan model
Poisson
untuk menentukan nilai
likelihood
pada
circular scanning window
.
Implementasi pada penelitian ini memanfaatkan memanfaatkan
library
clustering
data pada perangkat statistika R, dan Postgre SQL digunakan untuk manajemen
database.
Library
‘SpatialEpi’ digunakan untuk
clustering
dan dapat diunduh
pada
Comprehensive
R
Archive
Network
(CRAN) dengan alamat site
http://CRAN.R-project.org/package=spatialepi (Kim dan Wakefield 2010).
Penentuan
Cluster
dengan Metode KSS
Pada tahapan ini dilakukan proses pengelompokan titik panas sehingga data
menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan bermakna. Algoritme yang dipakai
adalah
Kulldorff’s Scan Statistics
(KSS) dengan model
Poisson
untuk menentukan
nilai
likelihood
pada
scaning window
. Sebagai contoh, ketika ingin melihat
persebaran titik panas pada tahun X di wilayah Y. Data yang diambil adalah data
pada tahun X di wilayah Y. Pertama dilakukan operasi
query
untuk memilih salah
satu wilayah tertentu. Dari wilayah ini ditentukan dimensi periode waktu tertentu.
Setelah didapat
crosstab
dengan dimensi yang menampilkan waktu dan wilayah
(sesuai dengan level hirarki yang diinginkan, misalnya menampilkan pola
clustering
pada tahun X di Sumatera). Atribut yang digunakan untuk tahap
clustering
yaitu atribut jumlah titik panas. Setelah diperoleh data titik persebaran
titik panas pada cakupan wilayah tertentu dan interval waktu tertentu yang
dilakukan selanjutnya adalah c
lustering
. Metode yang digunakan adalah KSS
yang dikembangkan dengan memanfaatkan
library
clustering
pada perangkat
statistika R.
Wen (2009) menjelaskan bahwa ukuran
radius
pada
circular window
bervariasi terus menerus dari nol sampai batas atas yang telah ditentukan pada
setiap
centroid
yang diberikan. Setiap
circular window
memiliki rasio
likelihood
Gambar 8 merupakan ilustrasi studi area dan
circular window
. dimana G
menggambarkan seluruh area studi, Z merupakan
circular window
, (Z)
merupakan total populasi yang berada didalam
circular window
, (G) seluruh
total populasi yang berada dalam area studi, nz adalah jumlah
case
dalam
circular
window
, nG adalah jumlah
case
dalam studi area, p adalah rata-rata kejadian dalam
circular window
, dan q adalah rata-rata kejadian
diluar
circular window
(Wen
2009). Rata-rata kejadian penelitian ini mengintepretasikan rata-rata luasan lahan
gambut yang terbakar. Tidak ada aturan tertentu untuk membatasi ukuran
scanning window
. Dalam penelitian ini batas atas diatur menjadi
radius
yang
mencakup 50% dari seluruh jumlah populasi dalam studi area. Dengan cara ini,
metode menghasilkan set besar
scanning window
Z
dengan
centroid
dan ukuran
yang berbeda-beda
(Kulldorff
et al.
1997)
.
Gambar 8 Studi area dan
circular window
(Wen 2009)
Gambar 9 merupakan diagram alur menentukan
cluster
titik panas dengan
menggunakan metode KSS. Data titik panas yang telah diproses pada tahapan
praproses data, selanjutnya dilakukan seleksi parameter dari segi
temporal
kemudian dilakukan seleksi parameter dari segi spasial dengan area terkecil
mencakup kabupaten/kota. Setiap area terkecil kabupaten/kota tersebut disebut
dengan
cell
. Setiap
cell
diwakili oleh koordinat
centroid
titik gambut yang
tersebut dalam
cell
yang bersangkutan dengan bantuan QGIS. Selanjutnya
dibentuk
scanning windows
dan dihitung nilai rasio kemungkinan disetiap
scanning window
dengan model
Poisson
untuk setiap sub area
. Adapun
langkah-langkah pada tahapan penentuan
cluster
dengan metode KSS adalah sebagai
berikut:
1.
Definisi aspek
temporal
titik panas
Mulai
Menentukan nilai temporal parameter pada studi area
Menentukan lokasi pada studi area
Data titik panas yang telah terseleksi berdasar waktu dan
lokasi yang diinginkan
Membentuk scanning window dengan suatu circular window
(Setiap scanning window adalah kandidat most likely cluster)
Membuat hipotesis H0 dan H1 untuk model Poisson
Membentuk rasio likelihood
berdasarkan hipotesis H0 dan H1
Menghitung rasio likelihood
dari setiap scanning window
Mencari potensial cluster (scanning window dengan likelihood tertinggi)
Menghitung p-value melalui pendekatan Monte Carlo
Scanning window adalah potensial cluster
Scanning window adalah
Most Likely cluster
Selesai
Y
[image:37.595.87.454.60.719.2]N
Gambar 9 Diagram alur penentuan
cluster
dengan metode KSS
2.
Definisi aspek spasial titik panas
dihitung adalah berdasar kabupaten/kota berdasarkan periode tahunan, bulanan,
dan harian. Hasil pemrosesan
clustering
dianalisis pola persebaran berdasarkan
karakteristik fisik dari lahan gambut di Pulau Sumatera yang meliputi tiga aspek