• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keandalan Bambu Untuk Material Konstruksi Hijau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keandalan Bambu Untuk Material Konstruksi Hijau"

Copied!
251
0
0

Teks penuh

(1)

KEANDALAN BAMBU

UNTUK MATERIAL KONSTRUKSI HIJAU

EFFENDI TRI BAHTIAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keandalan Bambu sebagai Material Konstruksi Hijau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

(3)

EFFENDI TRI BAHTIAR. Keandalan Bambu untuk Material Konstruksi Hijau. Dibimbing oleh NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO, and LINA KARLINASARI

Seleksi material untuk konstruksi hijau telah menjadi masalah utama bagi desainer. Biomaterial yang dihasilkan dari sumber daya terbarukan direkomendasikan sebagai alternatif terbaik bagi material konstruksi hijau. Biomaterial lebih ramah lingkungan daripada produk mineral dan minyak bumi. Biomaterial dapat diperoleh dari tumbuhan yang mengabsorbis CO2 dan menghasilkan O2 melalui mekanisme fotosintesis. Tumbuhan memanen energi sinar matahari dan menyimpannya di bagian tubuhnya. Jika biomaterial digunakan untuk material konstruksi maka energi dan karbon tersebut akan tetap tersimpan dalam komponen konstruksi dan tidak dilepaskan ke lingkungan selama masa pakai gedung tersebut.

Bambu dapat menjadi material unggul untuk konstruksi hijau. Ketersediaan bambu untuk mensuply material konstruksi hijau dapat terjamin kelestariannya selama pengelolaannya dilakukan dengan baik karena bambu tumbuh sangat cepat. Penelitian ini membuktikan bahwa kecepatan pertumbuhan bambu 21 – 30 cm/hari (yaitu ampel (Bambusa vulgaris) 21.32 cm/hari, mayan(Gigantochloa robusta) 26.81 cm/hari, tali(G. apus) 29.75 cm/hari, hitam (G. atroviolaceae) 28.38 cm/hari, and betung (Dendrocalamus asper) 26.44 cm/hari). Periode muda dimulai sejak rebung muncul di perukaan tanah hingga berumur 23 – 39 hari, sedangkan periode tua ketika umurnya lebih dari 110 – 264 hari. Periode transisi berada di antara keduanya. Periode muda ditandai dengan pertumbuhan yang dipercepat, sedangkan periode transisi ditandai dengan perlambatan pertumbuhan. Bambu mencapai periode tuanya ketika tidak lagi bertambah tingi yang ditunjukkan dengan garis asimtot pada kurva pertumbuhan.

Pertumbuhan yang cepat berkaitan erat dengan laju fotosintesisnya. Fotosintesis dan respirasi terjadi periodik setiap hari sehingga persamaan sinusoidal sangat baik untuk mengepasnya. CO2 netto yang diserap oleh bambu merupakan selisih antara fotosintesis dan respirasi. Studi ini membuktikan bahwa rumpun bambu mampu menyerap CO2

dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan pohon kehutanan sehingga bambu sangat direkomendasikan untuk ditanam untuk mensuply kebutuhan material konstruksi hijau.

(4)

sejumlah contoh uji di laboratorium. Pengujian mekanis memperlihatkan bahwa MOE dan MOR buluh utuh bambu sangat rendah dibandingkan bilahnya sehingga tegangan ijin dan kuat acuan lentur bambu harus diambil dari hasil pengujian buluh utuh. Buluh bambu yang yang mengandung buku memiliki kuat tarik dan tekan sejajar serat yang lebih rendah dibanding ruas. Kuat geser bagian buku lebih tinggi daripada ruas. Tegangan ijin dan kuat acuan harus dihitung dari bagian terlemah agar desainer dapat mendesain bangunan dengan lebih aman.

Bambu merupakan material alami yang tidak homogen; variasinya sangat tinggi. Akibat variasi yang sangat tinggi itu, hasil pengujian mekanis di laboratorium tidak dapat langsung mewakili nilai seluruh populasi. Suatu sesi statistik harus dilakukan untuk mendapatkan nilai karakteristik yang mewakili seluruh populasi. Penelitian ini telah menghasilkan tegangan ijin dan kuat acuan bambu yang dihitung sesuai dengan prosedur ASTM D2915-03 dan ASTM D5457-04.

Kekuatan bambu terutama disokong oleh dinding sel yang terikat dalam ikatan pembuluh. Dinding sel tersusun atas komponen kimia yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Komposisi kandungan kimia dalam dinding sel dan julah ikatan pembuluh per luas penampang dapat menjelaskan kekuatan bambu. Kandungan lignin yang tinggi dan ikatan pembuluh yang rapat mengindikasikan kekuatan yang lebih tinggi. Jumlah ikatan pembuluh bergradasi secara teratur sehingga membentuk lapisan-lapisan. Sistem lapisan alami ini dapat dianalisa dengan metode penampang tertrasformasi (TCS). Penelitian ini menunjukkan bahwa rasio jumlah ikatan pembuluh di setiap lapisan dapat mensubstitusi rasio MOE dalam analisa sistem lapisan. Fakta ini membuktikan bahwa jumlah ikatan pembuluh per luas penampang memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap sifat lentur bambu.

Kapasitas struktur suatu komponen tidak hanya dipengaruhi oleh kekuatan material, tetapi juga dimensi bentuk geometri komponen tersebut. Buluh bambu umumnya diasumsikan berbentuk silinder yang penampangnya adalah cincin lingkaran sempurna. Bentuk penampang bambu pada kenyataannya bukanlah cincin lingkaran sempurna tetapi bervariasi dari cincin oval hingga lingkaran. Penelitian ini menghasilkan rumus sifat-sifat penampang (luas, momen pertama, centroid, dan momen inersia) bentuk cincin lingkaran, elips, dan oval sehingga desainer dapat memilih bentuk yang paling tepat sesuai dengan batang bambu aktual yang akan digunakannya.

(5)

Supervised by NARESWORO NUGROHO, SURJONO SURJOKUSUMO, and LINA KARLINASARI

Material selection for green building has come into major problem for the designer. Biomaterial which produced from renewable resources is recommended as best alternative for green building material. Since biomaterial products could substitute the oil and mineral product, the increasing development, trading, and using of biomaterial may reduce the environmental impact. Biomaterial is more environmentally friendly compared to oil and mineral products. Biomaterial may be extracted from plantation which absorb CO2 and produce O2 by its photosynthesis mechanism. Plant harvests

sunrays energy and reserves it in the part of its body (flower, fruit, wood, root, and leaves). Energy and carbon will be still laid in the construction component and unreleased to the environment during building’s lifetime if the biomaterial is used for construction material. Bamboo may become advantageous biomaterial for green construction. The sustainability of bamboo to supply the green construction material demand may be guaranteed because bamboo grows very fast. This research proved that maximum growth rate of bamboo is 21 – 30 cm/day (e.g. ampel(Bambusa vulgaris) 21.32 cm/day, mayan (Gigantochloa robusta) 26.81 cm/day, tali (Gigantochloa apus) 29.75 cm/day, hitam (Gigantochloa atroviolaceae) 28.38 cm/day, and betung (Dendrocalamus asper) 26.44 cm/day). Young age zone starts since the shoot arises above the ground until 23 – 39 days old, while bamboo is in old age zone if it is more than 110 – 264 days old. Transition age zone is in between young and old age zone. The growth in the young phase is occurred in accelerated rate, while it is in the decelerated rate when bamboo is in transition age. Bamboo reaches its old age zone when it does not grow any more, which is showed by the asymptote line in the growth curve.

The fast growth rate of bamboo is related with its photosynthesis rate. The photosynthesis and respiration are occurred daily so that sinusoidal equation becomes the best equation to fit it. The difference between photosynthesis and respiration is net CO2

which absorbed by bamboo clump. This research proved that bamboo clump commonly absorbs CO2 from the atmosphere in the high rate compared to the forest tree. Since it

has high ability in absorbing CO2 from the atmosphere, bamboo should be recommended

to be planted in order to supply the green construction material.

Green construction concept is expanding and the development reaches to the landscape arrangement. The efficient uses of energy, water, air, and resources in the built

environment have become major consideration during the building’s lifetime. Bamboo

(6)

samples in the laboratory. Mechanical testing in the laboratory reveal that MOE and MOR of bamboo stump were much lower compared to the bamboo split so that the allowable stress and reference resistance of bending must be calculated from bamboo

stump’s bending test value. Bamboo stump which contains node have lower tensile

strength and compressive strength parallel to grain. The shear strength of internode is lower compared to the node. The allowable stress and reference resistance must be calculated from the weaker part of bamboo so that the designer could design more safely.

Since bamboo is natural material, it is not homogeny. Its variation is very high. Because of its high variation, mechanical properties which are resulted from a laboratory testing do not represent the population value. Some statistical session must be conducted to calculate the characteristic value which represents the population. The procedure for calculating the allowable stress and reference resistance has been assigned in ASTM D2915-03 and ASTM D5457-04, respectively. The allowable stress and reference resistance of bamboo are calculated in this study.

Bamboo strength is usually supported by the contribution of cell wall which bundled in vascular bundles. Cell wall is composed by chemical component namely cellulose, hemicellulose, and lignin. Chemical component content in cell wall and quantity of vascular bundles per area may explain the strength of bamboo. Higher lignin and tighter vascular bundles usually indicate the higher strength. The amount of vascular bundle per area in bamboo stump is arranged in well order so that it looks like several layers in the bamboo wall. This natural layer system may be analyzed by transformed cross section (TCS) method. This research reveals that the ratio of vascular bundles quantity in every layer may substitute the MOE ratio in layer system analysis. This fact

proves that the quantity of vascular bundles per area has significant effects on bamboo’s

bending properties.

Capacity of structural component is not affected by material’s strength only but also its geometrical form and dimension. Bamboo stump commonly assumes as cylinder which its cross sectional area is a perfect circle ring. In fact the cross sectional area of bamboo is not always a perfect cylinder ring. Some geometrical forms such as ellipse or oval may be found better in fitting cross sectional area of bamboo stump. This research studied several geometric forms (cycle ring, ellipse ring, and oval ring) and derived formula to calculate its properties (area, first moment of area, centroid, and moment of inertia). The resulted formulae may be used by designers in structural analysis so that they could choose more fit geometrical form besides of perfect cylinder.

(7)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2015

Hak cipta dilindungi

1.

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tujuan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)
(9)

KEANDALAN BAMBU

UNTUK MATERIAL KONSTRUKSI HIJAU

EFFENDI TRI BAHTIAR

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi:

Ujian Tertutup: tanggal pelaksanaan 22 Juni 2015

1. Ali Awaludin, ST, MEng, PhD

(Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, UGM) 2. Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS

(Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB)

Ujian Terbuka: tanggal pelaksanaan 3 Agustus 2015

1. Ali Awaludin, ST, MEng, PhD

(Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik, UGM) 2. Dr. Ir. Erizal, MAgr

(11)
(12)
(13)

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penulisan karya ilmiah ini dapat dilaksanakan atas bimbingan dari Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS, Prof. Ir. HM Surjono Surjokusumo, MSF, PhD, dan Dr. Lina Karlinasari, S.Hut, MScFTrop. Atas segala bantuan dan bimbingan beliau, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga Allah SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya, melimpahkan rejeki, mengkaruniakan umur panjang dan kesehatan kepada Bapak dan Ibu yang sangat berjasa tersebut. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua penguji prakualifikasi yaitu Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) dan Dr. Ir. Irzaman (Departemen Fisika, FMIPA IPB) yang telah memberikan arahan dan masukan yang sangat membangun. Berbagai koreksi, saran, dan masukan telah penulis terima dari dua penguji luar komisi pada ujian tertutup yaitu Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, MS (Departemen Matematika, FMIPA IPB) dan Ali Awaludin, ST, MEng, PhD (Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM). Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga. Tidak lupa penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih atas kesediaan Dr. Ir. Erizal, M.Agr (Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fateta IPB) dan Ali Awaludin, ST, MEng, PhD (Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM) yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menghadiri sidang terbuka/promosi di tengah-tengah jadwal beliau yang sangat padat.

Karya ilmiah ini disusun untuk menjawab kebutuhan atas material konstruksi yang ramah lingkungan. Bambu merupakan material hayati yang terjamin ketersediaannya karena dapat tumbuh dengan cepat, serta memiliki sifat-sifat mekanis yang memadai untuk bahan konstruksi. Bambu memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap CO2

dari udara dan menghasilkan O2 melalui proses fotosintesis. Tegakan bambu

mempengaruhi iklim mikro sehingga lingkungan terbangun di sekitarnya menjadi lebih nyaman bagi tempat tinggal manusia. Lingkungan yang nyaman dapat menghemat penggunaan energi karena intensitas penggunaan AC dan dehumidifier dapat dikurangi. Sebagai bahan konstruksi, bambu harus memiliki tegangan ijin atau kuat acuan yang akan dipergunakan dalam perencanaan struktur. Nilai tegangan ijin dan kuat acuan bambu ampel, andong, mayan, tali, dan betung telah dihitung dalam penelitian ini. Sifat-sifat penampang yaitu luas, momen pertama, centroid, dan momen inersia beberapa bentuk geometri standar yang mendekati bentuk aktual penampang bambu yaitu cincin lingkaran, cincin elips, dan cincin oval telah didefinisikan dan diturunkan dalam penelitian ini. Pengaruh abnormalitas yaitu taper dan eksentrisitas bambu disajikan dalam bentuk

strength ratio sehingga dapat dipergunakan sebagai faktor pereduksi kekuatan bambu hasil pengujian mekanis di laboratorium.

Penulis telah berusaha mencurahkan sepenuh kemampuan untuk menyelesaikan karya ilmiah ini. Namun ibarat tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan di sana-sini. Berbagai kritik, saran, dan masukan dari berbagai pihak sangat diharapkan untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

(14)

dari tiga bersaudara pasangan Bpk Rukin Hadi Prasetyo (alm) dan Ibu Siti Chotijah. Penulis menamatkan pendidikan dasar dan menengah di SDN Pacitan 1 pada tahun 1989, SMPN 1 Pacitan tahun 1993, dan SMAN 1 Pacitan tahun 1995.

Penulis melanjutkan studi di jenjang Sarjana (S1) di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) pada tahun 2000. Pada tahun 2000 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan IPB dan mendapatkan tugas belajar di jenjang Magister (S2) di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan mulai tahun 2005 dan menyelesaikannya dengan meraih gelar Magister Sains (MSi) pada tahun 2008. Penulis mendapatkan beasiswa BPPS untuk melanjutkan studi di Program Studi Rekayasa dan Peningkatan Mutu Hasil Hutan pada Tahun 2010, dan menuliskan karya ilmiah yang

berjudul “Keandalan Bambu untuk Material Konstruksi Hijau”. Sebagian karya ilmiah ini telah dipublikasikan pada jurnal nasional dan internasional.

Selama masa studi, penulis telah mempublikasikan beberapa manuskrip di jurnal nasional dan internasional yaitu:

Bahtiar ET, Nugroho N, Karlinasari L, Surjokusumo S. 2014. Human Comfort Period Inside and Outside Bamboo Stands. Journal of Environmental Science and Technology, 7 (5): 245-265

Bahtiar ET, Nugroho N, Surjokusumo S, Karlinasari L. 2013. Eccentricity Effect on Bamboo Flexural Properties. Journal of Biological Sciences, 13(2): 82-87 Bahtiar ET, Nugroho N, Karlinasari L, Surjokusumo S, Darwis A. 2014. Rasio Ikatan

Pembuluh sebagai Substitusi Rasio Modulus Elastisitas pada Analisa Layer System. Jurnal Teknik Sipil, 21(2):147-162

Bahtiar ET, Nugroho N, Karlinasari L, Surjokusumo S. 2015. Pengaruh Komponen Kimia dan Ikatan Pembuluh terhadap Kekuatan Tarik Bambu. Jurnal Teknik Sipil. Accepted.

Bahtiar ET, Nugroho N, Surjokusumo S. 2010. Estimating Young’s Modulus and

Modulus of Rupture of Coconut Logs using Reconstruction Method. Civil Engineering Dimension, 12(2):65-72.

Bahtiar ET, Arinana, Nugroho N, Nandika D. 2014. Daily Cycle of Air Temperature and Relative Humidity Effect to Creep Deflection of Wood Component of Low-cost House in Cibeureum – Bogor, West Java, Indonesia. Asian Journal of Scientific Research, 7 (4): 501-512

Bahtiar ET, Nugroho N, Arinana, Darwis A. 2012. Pendugaan Sisa Umur Pakai Kayu Komponen Cooling Tower di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Unit II Kamojang. Jurnal Teknik Sipil, 19(2): 103-114

Bahtiar ET, Nugroho N, Carolina A, Maulana AC. 2012. Measuring Carbon Dioxide Sink of Betung Bamboo (Dendrocallamus asper (Schult f.) Backer ex Heyne) by Sinusoidal Curves Fitting on Its Daily Photosynthesis Light Response. Journal of Agricultural Science and Technology, 2012 (2): 780-788

(15)

Bahtiar ET, Arinana, Kurniawan MA. 2012. Index kondisi bangunan dan pendugaan sisa masa pakai kayu komponen rumah sederhana di Alam Sinar Sari Bogor.

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan 07/2012; 5(2):15-22

Bahtiar ET, Darwis A. 2014. Exponential Curve Modification by Linear and Nonlinear Function to Fit the Fiber Length of Teakwood (Tectona grandis).

Journal of Biological Science, 14 (3): 183-194

Nugroho N, Bahtiar ET. 2013. Bambo Taper Effect of Third Point Loading Bending Test. International Journal of Engineering and Technology, 5(3): 2379-2384 Nugroho N, Bahtiar ET. 2012. Bamboo Taper Effect on Center Point Bending Test.

Journal of Physical Sciences and Application, 2(9): 386-391

Nugroho N, Bahtiar ET, Azhar A. 2013. Ciri Bilah Bambu dan Buluh Utuh pada Bambu Tali dan Bambu Ampel. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 18(3): 154-158

Nugroho N, Bahtiar ET, Nawawi D, Lestari DP. 2013. Variasi Kekuatan Tarik dan Komponen Kimia Dinding Sel pada Empat Jenis Bambu. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 11(2):153-160.

Nugroho N, Bahtiar ET. 2010. Analisis Keragaan Panel Sandwich untuk Rumah Prapabrikasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 15(3):158-162.

Wardani L, Bahtiar ET, Sulastiningsih IM, Darwis A, Karlinasari L, Nugroho N. 2011. Kekuatan Tekan dan Rasio Poisson Kayu Pangsor (Ficus callosa WILLD) dan Kecapi (Sandoricum kucape MERR). Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, 5(1):1-7.

Darwis A, Nurrochmat DR, Massijaya MY, Nugroho N, Alamsyah EM, Bahtiar ET,

Safe’i R. 2014. Vascular bundle distribution Effect on Density and Mechanical Properties of Oilpalm trunk. Asian Journal of Plant Sciences, 12(5): 208-213. Cahyono TD, Novriyanti E, Bahtiar ET, Massijaya MY. 2014. Development of

composite beam made from tali and hitam bamboo. Journal of The Indian Academy of Wood Science, 11 (2): 156-161.

Cahyono TD, Wahyudi I, Priadi T, Febrianto F, Darmawan W, Bahtiar ET, Ohorella S, Novriyanti E. 2015. The quality of 8 and 10 years old samama wood (Anthocephalus macrophyllus). Journal of The Indian Academy of Wood Science, 12 (1): 22-28

Selain aktif mempublikasikan karya ilmiah di jurnal nasional dan internasional, penulis juga aktif sebagai pembicara pada berbagai pertemuan ilmiah. Pertemuan ilmiah yang diikuti oleh penulis sebagai pembicara selama masa studi antara lain:

1. The 4th Asian Physics Symposium – An International Seminar. Bandung, West Java, 12–13 October 2010. American Institute of Physics (AIP) & Institut Teknologi Bandung (ITB).

2. Mini Joint Workshop PhD Students. Bogor, West Java, 30 November 2012. Goetingen University & Bogor Agricultural University.

3. International Symposium of Indonesian Wood Research Society (IWoRS). (every year, annually).

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I. PENDAHULUAN LATAR BELAKANG ... 1

TUJUAN PENELITIAN ... 5

MANFAAT PENELITIAN ... 6

HIPOTESIS PENELITIAN ... 6

NOVELTIES ... 7

BATASAN PENELITIAN... 8

KERANGKA PEMIKIRAN ... 9

BAB II. KURVA PERTUMBUHAN BAMBU PENDAHULUAN ... 14

BAHAN DAN METODE ... 18

Teknik Pengambilan Data... 18

Analisa Data... 19

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

Hasil ... 21

Pembahasan ... 26

KESIMPULAN ... 31

BAB III. KEMAMPUAN RUMPUN BAMBU DALAM MENYERAP KARBONDIOKSIDA DARI ATMOSFER PENDAHULUAN ... 33

BAHAN DAN METODE ... 35

Teknik Pengambilan Daun ... 35

Pengukuran Kandungan Karbohidrat Daun ... 35

Analisa Data... 36

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

Massa Karbohidrat dalam 15 g Daun ... 38

Daya Serap CO2 ... 42

Korelasi Daya Serap CO2 dengan Kecepatan Pertumbuhan ... 47

KESIMPULAN ... 49

BAB IV. KONTRIBUSI TEGAKAN BAMBU PADA KENYAMANAN LINGKUNGAN TERBANGUN PENDAHULUAN ... 51

BAHAN DAN METODE ... 53

Intensitas Sinar Matahari ... 53

Temperatur dan Kelembaban (RH) ... 54

Indeks Ketidaknyamanan dan Indeks Panas ... 55

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

Intensitas Sinar Matahari ... 56

Temperatur dan Kelembaban (RH) ... 60

Indeks Ketidaknyamanan dan Indeks Panas ... 67

(17)

BAB V. RASIO IKATAN PEMBULUH SEBAGAI SUBSTITUSI RASIO MODULUS ALASTISITAS PADA ANALISA SISTEM LAPISAN PADA BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI

PENDAHULUAN ... 72

BAHAN DAN METODE ... 73

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 76

Distribusi Vascular Bundles ... 76

Analisa Sifat Penampang Bilah Bambu ... 78

Analisa Sifat Penampang Bambu Laminasi Dua Lapis ... 85

Model Nonlinier (Logaritmik dan Power) ... 89

Efisiensi Teoritis Bambu Laminasi Dua Lapis ... 90

Pengujian Empiris Bambu Laminasi Dua Lapis ... 91

Validasi Teoritis dengan Hasil Empiris ... 91

KESIMPULAN ... 92

BAB VI. PENGARUH KOMPONEN KIMIA DAN IKATAN PEMBULUH TERHADAP KEKUATAN TARIK BAMBU PENDAHULUAN ... 94

BAHAN DAN METODE ... 96

Persiapan Bahan... 96

Pengamatan Anatomi Bambu ... 96

Pengukuran Komponen Kimia Dinding Sel Bambu ... 96

Pengujian Kekuatan Tarik Bambu ... 98

Analisa Data... 98

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 99

Ikatan Pembuluh pada Bambu ... 99

Komponen Kimia Dinding Sel Bambu ... 101

Kekuatan Tarik Bilah Bambu ... 102

Pengaruh Ikatan Pembuluh dan Komponen Kimia Dinding Sel terhadap Kekuatan Tarik Bilah Bambu ... 103

KESIMPULAN ... 106

BAB VII. SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU PENDAHULUAN ... 108

METODOLOGI ... 108

Persiapan Bahan... 108

Pembuatan Contoh Uji Sifat Fisis... 109

Pembuatan Contoh Uji Sifat Mekanis ... 110

Pengujian Sifat Fisika ... 112

Pengujian Sifat Mekanis ... 113

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 114

Sifat Fisika Bambu ... 114

Sifat Mekanis Bambu ... 121

KESIMPULAN ... 128

BAB VIII. TEGANGAN IJIN DAN KUAT ACUAN BAMBU PENDAHULUAN ... 130

METODOLOGI ... 133

Data Dasar ... 133

(18)

Penentuan Kuat Acuan (Format LRFD) ... 134

HASIL ... 136

Tegangan-tegangan Ijin Bambu (ASD) ... 136

Kuat Acuan Bambu (LRFD) ... 141

PEMBAHASAN ... 148

Tegangan Ijin (ASD) ... 149

Kuat Acuan (LRFD) ... 149

KESIMPULAN ... 150

BAB XI. EVALUASI SIFAT PENAMPANG BULUH BAMBU: LUAS AREA, MOMEN PERTAMA, CENTROID, DAN MOMEN INERSIA PENDAHULUAN ... 152

LANDASAN TEORI ... 153

Sifat-sifat Penampang ... 153

METODOLOGI ... 153

Bentuk-bentuk Geometri Standar yang Mendekati Bentuk Penampang Bambu ... 153

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 155

Bentuk Penampang Lingkaran ... 156

Bentuk Penampang Elips ... 158

Bentuk Penampang Oval (Bulat Telur) ... 164

KESIMPULAN ... 176

BAB X. EKSENTRISITAS BAMBU DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKUATAN LENTUR PENDAHULUAN ... 178

BAHAN DAN METODE ... 179

Survei Eksentrisitas Bambu ... 179

Penurunan Formula Strength Ratio akibat Eksentrisitas (Ce) ... 179

Penentuan Wilayah Strength Ratio akibat Eksentrisitas (Ce) Bambu .. 179

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 180

Survei Eksentrisitas Bambu ... 180

Penurunan Formula Strength Ratio akibat Eksentrisitas (Ce) ... 180

Wilayah Nilai Strength Ratio akibat Eksentrisitas (Ce) Bambu ... 182

KESIMPULAN ... 183

BAB XI. PENGARUH TAPER BAMBU PADA PENGUJIAN LENTUR DENGAN KONFIGURASI BEBAN TERPUSAT DI TENGAH BENTANG (CENTER POINT LOADING) PENDAHULUAN ... 185

BAHAN DAN METODE ... 186

Pengukuran Taper Bambu ... 186

Penurunan Formula Strength Ratio akibat Taper (Ce) pada Uji Lentur Beban Terpusat di Tengah Bentang ... 186

Penentuan Wilayah Strength Ratio akibat Taper (Ct) Bambu ... 186

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 186

Pengukuran Taper Bambu ... 186

(19)

Wilayah Nilai Strength Ratio akibat Taper (Ct) Bambu ... 191

KESIMPULAN ... 192

BAB XII. PENGARUH TAPER BAMBU PADA PENGUJIAN LENTUR DENGAN KONFIGURASI BEBAN GANDA DI 1/3 BENTANG (THIRD POINT LOADING) PENDAHULUAN ... 194

BAHAN DAN METODE ... 195

Pengukuran Taper Bambu ... 195

Penurunan Formula Strength Ratio akibat Taper (Ct) pada Uji Lentur Beban Ganda di 1/3 Bentang ... 195

Penentuan Wilayah Strength Ratio akibat Taper (Ct) Bambu ... 195

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 195

Pengukuran Taper Bambu ... 195

Penurunan Formula Strength Ratio akibat Taper (Ct) pada Pengujian Lentur dengan Konfigurasi Beban Ganda di 1/3 Bentang ... 196

Wilayah Nilai Strength Ratio Akibat Taper (Ct) Bambu ... 199

KESIMPULAN ... 201

BAB XIII. PEMBAHASAN UMUM ... 202

(20)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Fungsi linier dan nonlinier untuk memodifikasi kurva eksponensial beserta

asimtotnya (Bahtiar dan Darwis 2014) dan titik beloknya... 16

2.2 Model regresi untuk memodifikasi kurva eksponensial menjadi kurva pertumbuhan ... 20

2.3 Nilai parameter model pertumbuhan bambu sesuai dengan Persamaan

 



i i

i i i N N f N t t N1  1 ... 22

2.4 Model terpilih untuk pertumbuhan bambu, asimtot (K), dan titik belok (S) .... 22

2.5 Estimasi umur (t0) pada pengukuran pertama masing-masing batang bambu ... 24

2.6 Ringkasan fase-fase pertumbuhan pada kelima jenis bambu ... 29

3.1 Koefisien regresi dan p-value bagi model sinusoidal terbaik yang diperoleh melalui analisa stepwise regression untuk menduga massa karbohidrat dalam 15 g daun tiap waktu pemanenan daun ... 40

3.2 Massa karbohidrat dan O2 neto yang diproduksi oleh 15 g daun, serta CO2 neto yang diserapnya ... 42

3.3 Daya serap CO2 per luas daun ... 44

3.4 Daya serap CO2 per helai daun ... 45

3.5 Daya serap CO2 per batang bambu per jam ... 45

3.6 Daya serap CO2 per batang bambu per tahun ... 46

3.7 Daya serap CO2 per rumpun bambu per tahun... 46

3.8 Daya serap CO2 beberapa jenis pohon dan bambu ... 47

3.9 Kecepatan pertumbuhan batang bambu muda dan daya serap CO2 rumpun bambu ... 48

3.10 Nilai koefisien korelasi (%) antara kecepatan pertumbuhan dengan daya serap CO2 ... 48

4.1 Klasifikasi indeks ketidaknyamanan Thom ... 55

4.2 Klasifikasi indeks panas US NOAA (2014)... 56

4.3 Panjang hari, waktu matahari terbit dan terbenam di Bogor selama periode penelitian ... 57

4.4 Model analisis regresi untuk mengepas intensitas sinar matahari di ruang terbuka dan di bawah tegakan bambu ... 58

4.5 Klasifikasi Fagerhult (2004) untuk luminance ... 59

4.6 Estimasi terbaik untuk temperatur di bawah tegakan bambu (i) dan di ruang terbuka (o) ... 62

4.7 Estimasi terbaik untuk kelembaban (RH) di bawah tegakan bambu (i) dan di ruang terbuka (o) ... 62

4.8 Pengukuran indeks ketidaknyamanan Thom di ruang terbuka dan di bawah tegakan bambu ... 67

4.9 Pengukuran level resiko thermal perlindungan untuk pekerja pada indeks panas tertentu berdasarkan petunjuk praktis OSHA (2014) ... 69

4.10 Pengukuran indeks panas di ruang terbuka dan di bawah tegakan bambu ... 69

5.1 Fungsi regresi linier, logaritmik, dan power untuk mengepas kerapatan ikatan vaskular pada berbagai kedalaman ... 80

(21)

5.3 Sifat-sifat penampang bambu tali dan andong dengan model transformasi

logaritmik ... 83

5.4 Sifat-sifat penampang bambu tali dan andong dengan model transformasi power ... 85

5.5 Ringkasan sifat-sifat penampang tertansformasi linier bambu dan efisiensinya ... 88

5.6 Ringkasan sifat-sifat penampang tertansformasi nonlinier bambu dan efisiensinya ... 90

5.7 Hasil uji t-student data berpasangan untuk validasi empiris hasil teoritis dibandingkan data empiris ... 91

6.1 Uji Tukey menunjukkan perbedaan kuat tarik bambu di bagian ruas dan buku ... 103

6.2 Uji Tukey menunjukkan perbedaan kuat tarik lima jenis bambu ... 103

6.3 Uji Tukey menunjukkan perbedaan kuat tarik lima jenis bambu pada buku dan ruas (interaksi jenis dengan buku/ruas) ... 104

6.4 Korelasi antara variabel bebas dengan kekuatan tarik bilah bambu ... 104

6.5 Ringkasan seleksi variabel dalam best subset regression ... 105

6.6 Statistik koefisien regresi dari model terbaik ... 105

7.1 Skema pembuatan contoh uji ... 110

7.2 Perbandingan kekuatan tarik bambu dengan beberapa material lain ... 122

8.1 Faktor penyesuaian (AF) untuk mereduksi statistik hasil pengujian mekanis menjadi tegangan ijin (ASTM D2915-03) ... 135

8.2 Nilai faktor tahanan (s) untuk format LRFD menurut ASTM D5457-04 ... 135

8.3 Nilai-nilai parameter distribusi normal untuk MOE dan MOR ... 136

8.4 Nilai karakteristik dan tegangan ijin untuk MOE dan MOR bambu ... 136

8.5 Nilai-nilai parameter distribusi normal, kekuatan karakteristik, dan tegangan ijin untuk kekuatan tekan sejajar serat bambu ... 138

8.6 Nilai-nilai parameter distribusi normal, kekuatan karakteristik, dan tegangan ijin untuk kekuatan tarik sejajar serat bambu ... 140

8.7 Nilai-nilai parameter distribusi normal, kekuatan karakteristik, dan tegangan ijin untuk kekuatan geser sejajar serat bambu... 140

8.8 Nilai-nilai parameter distribusi Weibull untuk MOE dan MOR ... 141

8.9 Nilai kuat acuan untuk MOE dan MOR bambu ... 143

8.10 Nilai-nilai parameter distribusi Weibull untuk kekuatan tekan sejajar serat ... 143

8.11 Nilai kuat acuan untuk kekuatan tekan sejajar serat ... 143

8.12 Nilai-nilai parameter distribusi Weibull untuk kekuatan tarik sejajar serat ... 144

8.13 Nilai kuat acuan untuk kekuatan tarik sejajar serat ... 144

8.14 Nilai-nilai parameter distribusi Weibull untuk kekuatan geser sejajar serat .... 145

8.15 Nilai kuat acuan untuk kekuatan geser sejajar serat... 146

8.16 Nilai-nilai parameter distribusi normal, kekuatan karakteristik, dan tegangan ijin bambu betung ... 148

8.17 Nilai-nilai parameter distribusi Weibull dan kuat acuan bambu betung ... 148

8.18 Nilai-nilai tegangan ijin bambu ampel, andong, mayan, tali, dan betung ... 150

8.19 Nilai-nilai kuat acuan bambu ampel, andong, mayan, tali, dan betung ... 150

9.1 Sifat-sifat penampang beberapa bentuk geometri standar (Gere dan Timoshenko 1996) ... 154

(22)

9.4 Luas penampang bambu yang didekati dengan bentuk oval ... 166 9.5 Momen pertama setengah penampang bambu terhadap sumbu x (Qx) yang

didekati dengan bentuk setengah oval... 168 9.6 Garis bantu (x’) yang dibuat untuk menghitung momen pertama setengah

penampang bambu terhadap sumbu y (Qy) yang didekati dengan bentuk

setengah oval ... 170 9.7 Momen pertama penampang (Qy) terhadap garis bantu (x’) ... 171

9.8 Jarak centroid

 

x bidang setengah oval dari garis bantu (x’) ... 172 9.9 Jarak centroid

 

x bidang oval dari sumbu y ... 173 9.10 Momen inersia penampang bambu terhadap sumbu x (Ix) yang didekati

dengan bentuk oval ... 174 9.11 Momen inersia penampang bambu terhadap sumbu y (Iy) yang didekati

dengan bentuk oval ... 175 9.12 Momen inersia penampang bambu terhadap y yang melalui centroid

 

Iyc

yang didekati dengan bentuk cincin oval ... 175 10.1 Ringkasan dimensi 162 batang bambu tali yang diukur di lima lapak penjual

bambu di Bogor ... 180 10.2 Eksentrisitas empat jenis batang bambu yang dipanen dari Arboretum Bambu IPB ... 180 10.3 Wilayah strength ratio akibat eksentrisitas (Ce) untuk 4 spesies bambu ... 183

11.1 Taper batang bambu ... 187 12.1 Ringkasan hasil survei dimensi bambu di lapak penjual bambu di Bogor ... 195 12.2 Taper batang bambu ... 196 13.1 Daya serap CO2 beberapa jenis pohon dan bambu ... 206

(23)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Bagan alur penelitian... 12 2.1 Metode pengukuran dimensi bambu ... 19 2.2 Fragmen-fragmen kurva pertumbuhan lima jenis bambu: (a) hitam, (b) tali,

(c) betung, (d) mayan, (e) ampel ... 23 2.3 Kurva pertumbuhan bambu yang telah dikoreksi dengan estimasi umur

bambu saat pengukuran pertama (t0): (a) hitam, (b) tali, (c) betung, (d) mayan, dan (e) ampel, serta kurva kecepatan (rate) dan percepatan (acceleration) pertumbuhannya ... 25 3.1 Klasifikasi kelas umur daun (A: muda, B: sedang, C: tua) ... 35 3.2 Sketsa kurva respon cahaya dengan model sinusoidal ... 38 3.3 Fluktuasi masa karbohidrat dalam 15 g daun bambu: (a) ampel, (b) betung,

(c) mayan, (d) tali, setiap waktu pemanenan daun ... 39 3.4 Grafik fluktuasi harian massa karbohidrat dalam 15 g daun bambu (a)

ampel, (b) betung, (c) mayan, dan (d) tali ... 40 3.5 Massa karbohidrat dan O2 yang diproduksi oleh 15 g daun bambu dalam

waktu 1 hari beserta CO2 yang diserapnya (Keterangan: huruf yang sama

dalam tanda kurung menyatakan tidak berbeda nyata) ... 43 3.6 Grafik kecepatan pertumbuhan bambu muda dan daya serap CO2 rumpun

bambu ... 48 4.1 Intensitas sinar matahari di ruang terbuka dan di bawah tegakan bambu

mengikuti kurva eksponensial – sinus ... 58 4.2 Iluminasi (lux) yang diterima sepanjang hari (a) di ruang terbuka dan (b) di

bawah tegakan bambu, diiriskan dengan klasifikasi Reihart ... 59 4.3 Luminance (candela/m2) yang terjadi sepanjang waktu (a) di ruang terbuka

dan (b) di bawah tegakan bambu; diiriskan dengan klasifikasi Fagerhult ... 60 4.4 Estimasi fase tambahan untuk pengaruh energi permukaan (k1) terhadap

temperatur dan RH (a) di bawah tegakan bambu dan (b) di ruang terbuka dengan memaksimumkan koefisien determinasinya ... 61 4.5 Estimasi fase tambahan untuk pengaruh radiasi sinar matahari (k2) terhadap

temperatur (a) di bawah tegakan bambu dan (b) di ruang terbuka dengan memaksimumkan koefisien determinasinya ... 61 4.6 Estimasi fase tambahan untuk pengaruh radiasi sinar matahari (k2) terhadap

RH (a) di bawah tegakan bambu dan (b) di ruang terbuka dengan memaksimumkan koefisien determinasinya ... 62 4.7 Estimasi terbaik untuk siklus harian temperatur (a) di bawah tegakan bambu

dan (b) di ruang terbuka ... 63 4.8 Estimasi terbaik untuk siklus harian kelembaban (RH) (a) di bawah tegakan

bambu dan (b) di ruang terbuka ... 64 4.9 Temperatur (a) di ruang terbuka dan (b) di bawah tegakan bambu; diiriskan

dengan klasifikasi ketidaknyamanannya ... 66 4.10 Kelembaban (RH) (a) di ruang terbuka dan (b) di bawah tegakan bambu;

dan klasifikasi ketidaknyamanannya... 67 4.11 Indeks ketidaknyamanan Thom (a) di ruang terbuka dan (b) di bawah

(24)

4.12 Indeks panas (a) di ruang terbuka dan (b) di bawah tegakan bambu; dan klasifikasinya... 69 5.1 Konfigurasi bambu laminasi dua lapis:(a) luar-dalam (LD), (b) luar-luar

(LL), (c) dalam-dalam (DD) ... 75 5.2 Penampakan mikroskopis penampang melintang ruas bambu tali ... 76 5.3 Penampakan mikroskopis penampang melintang ruas bambu betung ... 77 5.4 Penampakan mikroskopis penampang melintang ruas bambu andong ... 78 5.5 Plot dan garis regresi kerapatan ikatan pembuluh pada berbagai kedalaman

pada: (a) bambu tali, (b) bambu betung, (c) bambu andong, (d) bambu andong terpisah ujungnya ... 79 5.6 (a) Asal bilah bambu, (b) penampang aktual, (c) penampang tertransformasi 80 5.7 Dimensi penampang aktual dan penampang tertransformasi model linier

pada bambu tali dan andong ... 81 5.8 Posisi centroid penampang untuk bagian-bagian bidang penampang

tertransformasi (segitiga dan persegi empat) ... 81 5.9 Bentuk dan dimensi penampang tertransformasi logaritmik bambu tali,

betung, dan andong ... 82 5.10 Sketsa pemodelan logaritmik untuk analisa sifat penampang... 82 5.11 Bentuk dan dimensi penampang tertransformasi power bambu tali, betung,

dan andong ... 84 5.12 Sketsa pemodelan power untuk analisa sifat penampang bambu ... 84 5.13 Ilustrasi penampang tertransformasi model linier dari bambu laminasi dua

lapis konfigurasi luar-dalam ... 86 5.14 Ilustrasi posisi centroid masing-masing bagian penampang tertransformasi

konfigurasi luar-dalam ... 86 5.15 Ilustrasi posisi centroid penampang tertransformasi linier konfigurasi luar-

dalam ... 86 5.16 Ilustrasi penampang tertransformasi model linier dari bambu laminasi dua

lapis konfigurasi luar-luar ... 87 5.17 Ilustrasi posisi centroid masing-masing bagian penampang tertransformasi

konfigurasi luar-luar ... 87 5.18 Ilustrasi penampang tertransformasi model linier dari bambu laminasi dua

lapis konfigurasi dalam-dalam ... 88 5.19 Ilustrasi posisi centroid masing-masing bagian penampang tertransformasi

konfigurasi dalam-dalam ... 88 5.20 Ilustrasi penampang tertransformasi model logaritmik dari bambu laminasi

dua lapis konfigurasi (a) luar-dalam, (b) luar-luar, (c) dalam-dalam ... 89 5.21 Ilustrasi penampang tertransformasi model power dari bambu laminasi dua

lapis konfigurasi (a) luar-dalam, (b) luar-luar, (c) dalam-dalam ... 89 5.22 Efisiensi teoritis bambu laminasi dua lapis dibandingkan bilah bambu

bagian pusat ... 90 5.23 Hasil pengujian lentur bambu laminasi dua lapis ... 91 5.24 Regresi linier validasi hasil teoritis model transformasi linier, logaritmik,

dan power terhadap data empirisnya ... 92 6.1 Penampang bambu pada bidang lintang, tangensial dan radial di bagian

(25)

6.2 Ikatan pembuluh pada ruas (a): untaian serat (fiber strands) di arah dalam lebih besar daripada pasangannya di arah tepi; dan pada buku (b): polanya berlawanan ... 101 6.3 (a) Rata-rata jumlah dan (b) proporsi ikatan pembuluh. (Catatan: error bar

dipilih nilai mean square error dari two way anova) ... 101 6.4 Komposisi kimia dinding sel bambu: (a) kandungan lignin dan holoselulosa,

dan (b) proporsi alpha selulosa dan hemiselulosa di dalam holoselulosa. (Catatan: error bar menunjukkan mean square error dari two way anova) .... 102 6.5 Kandungan zat ekstraktif larut air panas dan alcohol – benzene pada lima jenis bambu ... 102 6.6 Hubungan antara nilai estimasi kekuatan tarik bilah bambu dengan nilai

observasinya ... 105 7.1 Pembagian batang bambu ... 109 7.2 Sketsa pengukuran batang bambu ... 109 7.3 Contoh uji KA, BJ, kerapatan dan susut dimensi... 109 7.4 Contoh uji tarik sejajar serat (a) tampak atas (b) tampak samping ... 111 7.5 Contoh uji tekan sejajar serat pada bilah bambu ... 111 7.6 Contoh uji lentur buluh bambu ukuran penuh (full scale) ... 111 7.7 Contoh uji lentur bilah bambu: (a) pengambilan contoh uji, dan (b)

konfigurasi pengujian ... 112 7.8 Pengujian lentur contoh kecil (a) ruas dan (b) buku bambu dengan

konfigurasi beban terpusat di tengah bentang ... 113 7.9 Pengujian lentur bambu ukuran penuh dengan konfigurasi beban terpusat

di tengah bentang ... 114 7.10 Kadar air kondisi kering udara bambu ampel, andong, mayan, dan tali ... 115 7.11 Berat jenis bambu ampel, andong, mayan, dan tali... 117 7.12 Pengembangan volume bambu dari kondisi kering udara (13 – 21%)

menjadi basah ... 118 7.13 Pengembangan dimensi (tebal, lebar, dan panjang) bambu dari kondisi

kering udara (13 – 21%) menjadi basah ... 120 7.14 Penyusutan dimensi (tebal, lebar, dan panjang) bambu dari kondisi kering

udara (13 – 21%) menjadi kering oven ... 120 7.15 Penyusutan volume bambu dari kondisi kering udara (13 – 21%) menjadi

kering oven ... 121 7.16 Kekuatan tarik sejajar serat bambu ampel, andong, mayan, dan tali ... 123 7.17 Kekuatan tekan sejajar serat (a) bilah dan (b) buluh bambu ampel, andong,

mayan, dan tali ... 124 7.18 Nilai (a) MOE dan (b) MOR bilah bambu ampel, andong, mayan, dan tali .... 125 7.19 Nilai (a) MOE dan (b) MOR buluh bambu ampel, andong, mayan, dan tali ... 126 8.1 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi MOE buluh bambu

(a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 137 8.2 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi MOR buluh bambu

(a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 137 8.3 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi kekuatan tekan sejajar

serat buluh bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 138 8.4 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi kekuatan tarik sejajar

(26)

8.5 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi kekuatan geser sejajar serat buluh bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 141 8.6 Fungsi distribusi kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi MOE buluh

bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali... 142 8.7 Fungsi distribusi kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi MOR buluh

bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali... 143 8.8 Fungsi distribusi kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi kekuatan

tekan sejajar serat buluh bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 144 8.9 Fungsi Distribusi Kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi kekuatan

tarik sejajar serat buluh bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali 145 8.10 Fungsi distribusi kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi kekuatan

geser sejajar serat buluh bambu (a) ampel, (b) andong, (c) mayan, dan (d) tali ... 146 8.11 Distribusi normal standar untuk mengepas distribusi (a) MOE, (b) MOR,

dan (c) kekuatan tekan sejajar serat bambu betung menggunakan data hasil pengujian Haris (2008) ... 147 8.12 Fungsi Distribusi kumulatif Weibull untuk mengepas distribusi (a) MOE,

(b) MOR, dan (c) kekuatan tekan sejajar serat bambu betung menggunakan data hasil pengujian Haris (2008) ... 147 9.1 Contoh grafik elips dan oval yang disketsa dari Persamaan (a) 10; (b) 11

dan 12; (c) 11 dan 13; (d) 11 dan 14 ... 155 9.2 (a) Cincin lingkaran yang dibangun dari Persamaan 9, dan (b) sketsa untuk

mendapatkan formula momen pertama setengah lingkaran ... 156 9.3 Grafik bantu untuk menurunkan momen inersia penampang lingkaran ... 157 9.4 (a) Perbandingan kurva elips dengan kurva lingkaran, dan (b) Sketsa untuk

perhitungan luas elips ... 159 9.5 Sketsa penampang bambu yang didekati dengan bentuk cincin elips ... 160 9.6 Sketsa untuk perhitungan momen pertama penampang setengah elips

terhadap (a) sumbu x, dan (b) sumbu y ... 161 9.7 Sketsa untuk perhitungan momen pertama penampang persegi panjang ... 161 9.8 Sketsa untuk membantu menurunkan momen inersia penampang elips pada

(a) sumbu x, dan (b) sumbu y ... 163 9.9 Modifikasi bentuk geometri (a) cincin elips, menjadi bentuk cincin oval

menggunakan fungsi (b) linier, (c) power, dan (d) eksponensial ... 165 9.10 (a) Sketsa untuk menurunkan momen pertama penampang setengah oval

pada sumbu x (Qx), dan (b) sumbu y (Qy) ... 168

9.11 Sketsa untuk menurunkan formula momen inersia penampang oval... 173 10.1 Sketsa bentuk penampang lingkaran dibandingkan bentuk elips dengan

sumbu mayor berimpit dengan (a) absis dan (b) ordinat... 179 10.2 Strength ratio dari bambu elips ketika sumbu mayor diatur berimpit dengan

(a) absis dan (b) ordinat saat pengujian... 182 11.1 Sketsa penampang bambu yang diasumsikan berbentuk silinder berongga .... 188 11.2 Pengujian lentur batang bambu dengan konfigurasi beban terpusat di tengah

bentang ... 189 11.3 Pengaruh taper bambu terhadap tegangan lentur akibat beban tunggal di

(27)

11.4 Strength ratio bambu akibat taper (Ct) (dibatasi untuk taper dalam sama

dengan taper luar) ... 191

11.5 Pengaruh taper bambu terhadap tegangan normal, untuk nilai taper (a) minimum, (b) nilai tengah, dan (c), maksimum ... 192

12.1 Pengujian batang bambu dengan konfigurasi beban ganda di 1/3 bentang ... 197 12.2 Pengaruh taper bambu pada tegangan lentur yang terjadi pada balok lentur

yang menerima beban ganda di 1/3 bentang (dibatasi untuk nilai taper luar sama dengan taper dalam) ... 198 12.3 Strength ratio (Ct) akibat taper bambu pada pengujian lentur dengan

konfigurasi beban ganda di 1/3 bentang (dibatasi untuk nilai taper luar sama dengan taper dalam) ... 199 12.4 Tegangan normal sepanjang batang bambu bertaper yang terjadi akibat uji

lentur dengan beban ganda di 1/3 bentang ... 200 12.5 Nilai strength ratio akibat taper pada pengujian lentur dengan konfigurasi

beban ganda di 1/3 bentang ... 200 13.1 Nilai strength ratio akibat taper pada pengujian lentur dengan konfigurasi

beban ganda di 1/3 bentang ... 204

13.2 Grafik fluktuasi harian massa karbohidrat dalam 15 g daun bambu (a) ampel, (b) betung, (c) mayan, dan (d) tali ... 205

13.3 Indeks ketidaknyamanan menunjukkan bahwa orang dapat bekerja

dengan nyaman 1.5 jam lebih lama di bawah tegakan bambu (pukul 08:00-10:00) daripada di ruang terbuka (pukul 08:00-08:30) selama jam kerja normal (08:00-16:00) ... 207 13.4 Pekerja aman menghadapi luka akibat panas 5 jam lebih lama di dalam

tegakan bambu (pukul 18:00-09:00) daripada di ruang terbuka (pukul 21:00 -07:00) berdasarkan pengukuran indeks panas ... 207 13.5 Pengukuran luminance menunjukkan bahwa orang tidak akan merasakan

ketidaknyamanan visual sepanjang waktu di bawah tegakan bambu ... 207 13.6 Grafik hubungan eksentrisitas dengan strength ratio ketika sumbu mayor

diatur berimpit dengan (a) absis dan (b) ordinat saat pengujian ... 210 13.7 Strength ratio akibat taper untuk pengujian lentur dengan konfigurasi beban

(28)

BAB I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Hewan (termasuk manusia) dan tumbuhan hijau mempunyai hubungan saling ketergantungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Hewan memerlukan O2 dan

melepaskan CO2, sebaliknya tumbuhan hijau menyerap CO2 dan melepaskan O2.

Dalam proses fotosintesis, atom-atom karbon diserap oleh tumbuhan hijau dan disimpan sebagai karbon stok di bagian-bagian tumbuhan (antara lain: akar, batang, cabang, dan daun). Ketika tumbuhan mati dan lapuk, atom-atom karbon dari bagian-bagian tumbuhan tersebut terdekomposisi oleh serangga, cacing, bakteri, dan jamur, selanjutnya dilepaskan kembali ke atmosfer sebagai CO2. Jika bagian-bagian

tumbuhan, terutama batangnya, dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi (komponen rumah, jembatan, dan sebagainya), maka atom-atom karbon tetap terjebak di dalamnya selama bangunan berdiri. Berkaitan dengan hal tersebut batang tumbuhan (kayu, bambu, dan rotan) merupakan salah satu alternatif bahan konstruksi yang ramah lingkungan asalkan sumbernya dikelola dengan bijaksana.

(29)

Dibandingkan sektor yang lain, sektor konstruksi paling banyak menguras energi dan sumber daya. Kebutuhan yang sangat tinggi terhadap bahan konstruksi konvensional (besi, baja, beton, dan kayu) lambat laun mengancam keselamatan bumi. Baden et al. (2006) dan US-EIA (2012) melaporkan bahwa sektor konstruksi mengambil 50% sumber daya alam dan 40% konsumsi energi. Untuk itu dibutuhkan solusi yang lebih ramah lingkungan dan dapat menekan biaya, salah satunya yaitu dengan memanfaatkan bambu secara optimal untuk melayani sektor konstruksi. Pemanfaatan bambu sebagai material konstruksi alternatif dapat mengurangi ketergantungan pada bahan konstruksi konvensional sehingga pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan lebih efisien. Substitusi material konstruksi konvensional dengan bambu dapat menghemat penggunaan sumberdaya tersebut sehingga memperpanjang ketersediaannya di masa depan sebagaimana diamanatkan pada konsepsi konstruksi hijau. Bambu merupakan salah satu sumberdaya hayati yang dapat diperbarui sehingga menjadi salah satu alternatif material yang andal untuk bangunan hijau. Material yang berasal dari sumberdaya yang terbarukan lebih ramah lingkungan daripada material yang diproses dari mineral dan minyak bumi.

Seleksi material dan produk untuk komponen bangunan pada berbagai proyek konstruksi hijau telah lama menjadi tantangan utama bagi tim proyek tersebut. Spiegel dan Meadows (2010) menyatakan bahwa material yang dipilih untuk konstruksi hijau adalah material yang menggunakan sumberdaya bumi dengan cara yang bertanggung jawab. Kilbert (2012) menyarankan 6 (enam) strategi memilih material untuk konstruksi hijau yaitu (a) penggunaan ulang (reuse) struktur yang ada, (b) meminimumkan penggunaan material (reduce), (c) memilih material dari sumber yang terbarukan (renewable resources), (d) penggunaan ulang (reuse) komponen bangunan, (e) memilih material yang dapat didaur ulang dan mengandung komponen yang dapat didaur ulang (recyleable and recycled-content materials), serta (f) menggunakan material lokal yang tersedia di sekitar lokasi pembangunan.

Bambu merupakan rumput-rumputan berkayu yang tumbuh sangat cepat dibandingkan pohon. Pertumbuhan bambu di hutan alam mencapai 400 kg ha-1 tahun-1, bahkan di hutan hujan dapat mencapai 4 – 5 kalinya apabila dilakukan manajemen pengelolaan yang baik (pengolahan tanah, pemupukan, dan penjarangan) serta terlindung dari penggembalaan (Adkoli 1994, Lakshmana 1994). Tunas-tunas bambu tumbuh dengan cepat, bahkan tingginya dapat mencapai satu meter dalam waktu 24 jam. Batang bambu muda memiliki diameter yang hampir sama dengan bambu tua. Selain berkembang biak secara generatif, bambu juga berkembang biak secara vegetatif melalui rimpang/akar tinggal sehingga tidak memerlukan penanaman ulang. Meskipun batang-batang bambu dipanen, sistem perakarannya tetap tertinggal di dalam tanah sehingga masih mampu menumbuhkan tunas-tunas baru. Batang bambu mencapai umur dewasa sekitar tiga tahun, jauh lebih cepat daripada pohon pada umumnya. Batang-batang bambu dapat dipanen setiap tahun setelah mencapai umur 3 – 5 tahun, sedangkan pohon hanya dapat dipanen satu kali setelah berumur 10 – 50 tahun. Dengan pemanenan yang bijak, bambu dapat dimanfaatkan sebagai sumberdaya hayati yang terbarukan dan benar-benar lestari (sustainable) (Widjaja, 2008).

(30)

yang digunakan merupakan energi neto yang disimpan untuk pertumbuhan. Kontribusi bambu dalam menyerap karbondioksida penting untuk diperhitungkan untuk membuktikan keunggulannya sebagai material alternatif untuk konstruksi hijau, bukan saja dalam bentuk batang bambu yang telah mati tetapi juga dalam kondisi tanaman yang masih hidup.

Keunggulan bambu yang mampu menyerap karbondioksida dari udara dan menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis menjadikan bambu menjadi salah satu tumbuhan terpilih untuk ditanam di ruang terbuka di lingkungan terbangun. Bambu pagar (Bambusa glaucescens) sering ditanam sebagai pagar pembatas di gedung perkantoran, supermall, atau perumahan. Beberapa jenis bambu antara lain: bambu kuning (Bambusa sp), putih (Bambusa glaucophylla), dan blenduk (Bambusa vulgaris waminii) bahkan ditanam sebagai tanaman hias di taman atap (roof garden), balkon, atau pot-pot di dalam ruang. Keberadaan bambu di lingkungan terbangun memberikan naungan yang mampu mengurangi intensitas penerimaan sinar matahari sehingga suhu dan kelembabannya dapat lebih nyaman bagi penghuninya. Intensitas penggunaan AC (air conditioner) dan dehumidifier untuk mengatur suhu dan kelembaban ruangan dapat dikurangi sehingga menghemat penggunaan energi.

Konstruksi hijau berkembang semakin luas pada perencanaan tapak (landscape). Keberadaan ruang terbuka yang ditanami tumbuhan hijau menjadi salah satu syarat lahirnya lingkungan terbangun yang nyaman bagi penghuninya. Keberadaan tegakan bambu di sekitar permukiman dapat meningkatkan kenyamanan penghuninya. Kanopinya yang luas mampu mengurangi intensitas sinar matahari langsung sehingga suhu udara di bawah tegakan bambu di siang hari dapat lebih rendah daripada di lapangan terbuka. Keberadaan bayang-bayang kanopi bambu mampu mengurangi intensitas cahaya yang diterima sehingga mata terhindar dari rasa silau. Kemampuannya menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen menambah kesegaran udara sehingga seseorang dapat bekerja dengan nyaman di bawah tegakan bambu dalam waktu yang lebih lama daripada di lapangan terbuka.

Bambu memiliki akar rimpang yang menyebar. Sistem perakaran tersebut meningkatkan stabilitas tanah sehingga mencegah erosi dan mempertahankan aliran sungai. Sejumlah besar daun dari kanopi jatuh ke permukaan tanah dan membentuk lapisan biomassa yang melindungi, memperkaya, dan memupuk tanah. Hasil penelitian Hartanto (2007) menunjukkan bahwa direct shear test tanah yang tertutupi vegetasi bambu dan rumput mengalami peningkatan kuat geser sebesar 17 – 53%, sedangkan kohesi mengalami peningkatan yaitu sebesar 10 – 56%. Tegakan bambu memiliki kanopi yang luas sehingga mampu melindungi tanah dari limpasan air hujan maupun terpaan sinar matahari langsung. Sistem perakaran yang kompleks juga membentuk

reservoir alami di dalam tanah sehingga menjamin ketersediaan air tanah dan sekaligus mencegah terjadinya banjir. Pepohonan rata-rata menyerap 35 – 40% air hujan, sedangkan bambu mampu menyerap hingga 90% air hujan. Penanaman bambu meningkatkan kemampuan tanah dalam menyerap air sehingga cadangan air tanah menjadi lebih banyak tersedia. Penghuni lingkungan terbangun yang dirancang dengan konsepsi konstruksi hijau mendapatkan keuntungan dari penggunaan air tanah yang cukup tersedia akibat penanaman intensif tegakan bambu di sekitarnya.

(31)

perabot rumah tangga, dan sebagainya. Buluh bambu digunakan sebagai perancah (scarffolding), komponen rumah tinggal, gazebo, gudang, jembatan, bagan apung, pagar, pipa saluran air, furnitur, tangga, dan sebagainya. Bambu menjadi bahan baku utama untuk konstruksi bangunan sementara pascabencana di berbagai wilayah. Dewasa ini bambu telah digunakan sebagai bahan baku industri sumpit, peralatan dapur, alat musik, kap lampu, tirai, tas, dan topi.

Selama beberapa tahun terakhir ini, terjadi peningkatan jumlah penelitian untuk lebih membedah pentingnya bambu sebagai bahan baku dan memperbaiki proses pengolahannya untuk kepentingan yang lebih luas. Nuryatin (2000) telah melakukan penelitian sifat dasar bambu untuk beberapa tujuan penggunaan. Di negara-negara maju telah ditemukan dan diterapkan teknologi pembuatan panel-panel bambu seperti bambu lapis (plybamboo), papan partikel, papan serat bambu, papan semen bambu dan parket bambu (Yuming dan Jian 1991), selanjutnya aplikasi baru terus berkembang termasuk penggunaan bambu sebagai strand board (Lee et al. 1996), superior strength timber

(Subiyanto et al. 1996), papan zephyr bambu dan bambu laminasi (Nugroho dan Ando 2000, 2001). Dengan semakin berkembangnya teknologi, bambu telah dapat direkayasa menjadi engineered products sehingga penggunaannya menjadi semakin luas.

Engineered bamboo products telah digunakan untuk panel, jok kendaraan, rangka beton, konstruksi ringan, dan bahkan tempat tinggal pasca bencana seperti di Yogjakarta pasca gempa merapi dan di Aceh pasca tsunami. Papan bambu laminasi (laminated bamboo, lamboo)memiliki corak khas yang sangat indah sehingga memberikan nuansa mewah pada dekorasi dinding atau lantai. Beberapa lembar anyaman bambu direkat menjadi papan yang kuat dan bercitarasa seni sehingga menjadi komponen arsitektural yang memiliki nilai tambah sangat tinggi. Glulam dapat diproduksi dari bilah-bilah bambu yang direkatkan dan dimanfaatkan untuk komponen balok atau tiang yang berkekuatan tinggi. Glulam bambu dapat dibuat dengan bentuk lurus atau lengkung sebagaimana didesain oleh Noermalicha (2001). Bambu dapat dicacah menjadi partikel atau serat-serat lalu direkatkan menjadi papan partikel dan papan serat yang didesain sesuai dengan tujuan penggunaannya yaitu struktural (contohnya: peti kemas, meja, kursi, lemari) atau non struktural penggunaan umum seperti komponen meubel dan furnitur yang tidak menerima beban berat. Morisco (2005) bahkan telah mencoba menggunakan bambu untuk komponen bangunan seperti kuda-kuda maupun komponen rangka ruang. Dengan potensi aplikasinya yang sangat luas, baik dalam bentuk buluh, bilah, maupun engineered product-nya, pasar bambu akan semakin luas dan sangat potensial untuk dikembangkan sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan.

(32)

Anatomi bambu bersifat khas. Bambu terdiri atas sel-sel parenkim, sklerenkim, xylem, metaxylem, dan protoxylem. Kekuatan bambu sebagian besar disumbang oleh sel-sel skelerenkim yang terikat dalam vascular bundle (ikatan pembuluh). Kerapatan ikatan pembuluh pada setiap bagian bambu menentukan kekuatannya. Semakin rapat ikatan pembuluh maka kekakuan dan kekuatannya meningkat pula. Kerapatan ikatan pembuluh meningkat dari lapisan dalam keluar sehingga bambu bagian tepi luar lebih kaku dan kuat dibandingkan bagian dalam. Kerapatan ikatan pembuluh pada umumnya juga meningkat dari pangkal hingga ujung pada sortimen bambu di pasaran, namun jika dilihat lebih lanjut pada buluh bambu sepanjang batang utuh, peningkatan itu terjadi dari pangkal hingga bagian tengah saja selanjutnya menurun kembali hingga ke puncak. Pola sebaran kerapatan ikatan pembuluh yang khas ini menarik untuk menjelaskan perilaku mekanis bambu dan produk primer turunannya (Li dan Shen2011).

Banyak penelitian berkaitan dengan sifat mekanis bambu telah dilakukan yang sebagian hasilnya menunjukkan bahwa bambu memiliki keunggulan mekanis daripada kayu. Sayangnya klaim tersebut diperoleh dari pengujian contoh kecil berupa bilah sehingga overestimate dibandingkan buluhnya. Bentuk geometri buluh bambu yang berupa silinder berongga lebih unggul dalam menahan momen daripada bentuk persegi, namun luas penampang yang menahan gaya geser horisontal menjadi lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan kekuatan bambu tidak meningkat linier dengan meningkatnya diameter bambu. Bambu berdiameter besar cenderung memiliki titik lemah akibat geser horisontal, sedangkan bambu yang berdiameter kecil cenderung patah akibat momen lentur. Dengan demikian, kekuatan dan kekakuan bilah bambu tidak dapat dipergunakan secara langsung sebagai kekuatan dan kekakuan buluh bambu; diperlukan suatu metode untuk mengkonversi keduanya.

Bambu juga memiliki taper. Bagian ujung bambu pada umumnya lebih kecil daripada pangkalnya. Selain itu taper pada bambu diduga dapat mempengaruhi kekakuannya. Dimensi yang kecil pada bagian ujung berakibat meningkatnya tegangan pada daerah tersebut. Bambu yang memiliki taper cukup besar akan rusak pada bagian ujung akibat diberikan momen lentur, beban tarik, ataupun beban tekan. Sementara itu, pengukuran sifat mekanis di laboratorium pada umumnya dilakukan di tengah bentang sehingga dikhawatirkan terjadi ketidaktepatan hasil pengukuran dengan fakta aktual penggunaan di lapangan. Beberapa abnormalitas lainnya antara lain eksentrisitas, jarak antar buku, dan besar lengkungan dapat mempengaruhi sifat mekanis buluhnya pula.

Variasi kekuatan bambu dipengaruhi oleh kondisi batang. Buluh yang lurus dan berbentuk silindris sempurna tentu lebih disukai daripada buluh yang bertaper dan penampangnya tidak beraturan. Mekanisme pemilahan bambu dapat dilakukan untuk memilih buluh-buluh yang berbentuk sempurna. Kesempurnaan bentuk batang akan memudahkan desainer dalam melakukan perhitungan perencanaan konstruksi sehingga perilaku (performance) dan keterandalan (reliability) struktur dapat diperkirakan sedekat mungkin dengan kenyataan.

TUJUAN PENELITIAN

Bambu diunggulkan sebagai material andalan yang sangat potensial untuk membangun konstruksi hijau, sehingga diperlukan penelitian yang mengulas sumbangan bambu pada kelestarian lingkungan selain kapasitasnya untuk material konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk:

(33)

ketersediaannya yang diverifikasi melalui kecepatan pertumbuhannya, (b) kemampuan rumpun bambu menyerap karbondioksida di udara, dan (c) kontribusi tegakan bambu pada kenyamanan manusia. Tiga keunggulan bambu yang diteliti tersebut dapat menjadi bukti keandalannya sebagai material unggul untuk konstruksi hijau.

2. mencoba mendapatkan faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kekuatan bambu baik dalam bentuk bilah, laminasi, maupun buluh utuh. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kekuatan bambu adalah sifat anatomis dan kandungan komponen kimia dinding selnya. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk membangun model penduga kekakuan dan kekuatan buluh utuh bambu yang sesuai dengan prinsip-prinsip mekanika bahan.

3. menghitung kapasitas bambu dalam menahan beban yang dinyatakan sebagai nilai tegangan ijin dan kuat acuan, serta memahami pengaruh faktor abnormalitas bambu (taper dan eksentrisitas) terhadap kekakuan dan kekuatan buluh bambu.

MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini terutama adalah memberikan informasi ilmiah terkait nilai desain bambu untuk bahan konstruksi sehingga perancangan dan pembangunan konstruksi bambu dapat dilakukan dengan lebih baik sesuai dengan kaidah-kaidah mekanika teknik. Selain itu penelitian ini secara khusus bermanfaat untuk:

1. mendapatkan nilai keunggulan bambu dalam berkontribusi pada lingkungan hidup sehingga dapat memberikan justifikasi ilmiah mengenai keandalan bambu sebagai material unggul untuk konstruksi hijau.

2. mendapatkan nilai desain bagi kekakuan dan kekuatan bambu sehingga keandalan bambu sebagai material konstruksi struktural maupun non struktural dapat dipertanggungjawabkan.

3. mendapatkan nilai-nilai faktor koreksi kekakuan dan kekuatan bambu akibat abnormalitas bentuk bambu sehingga masyarakat dapat melakukan perhitungan desain dengan lebih tepat. Batasan-batasan keabnormalan bambu yang meliputi taper dan eksentrisitas dapat diperoleh dalam penelitian ini sehingga dalam perkembangan selanjutnya dapat dipergunakan sebagai landasan untuk pemilahan buluh bambu.

HIPOTESIS PENELITIAN

1. Bambu memiliki kontribusi yang tinggi pada lingkungan hidup yaitu: (a) ketersediaannya terjamin lestari karena dapat tumbuh dengan cepat, (b) memiliki kemampuan yang tinggi dalam menyerap karbondiokasida dari udara, dan (c) keberadaan tegakan bambu meningkatkan kenyamanan manusia di sekitarnya. Tiga faktor tersebut memberikan justifikasi bahwa bambu layak atau tidak layak untuk dipergunakan sebagai material konstruksi hijau.

(34)

3. Nilai-nilai desain bambu yaitu tegangan ijin dan kuat acuan dapat dihitung melalui sesi statistik dari data hasil pengujian mekanis di laboratorium. Nilai tegangan ijin tersebut dihitung di bawah asumsi bentuk geometri silindris sempurna sehingga perlu dikoreksi dengan faktor-faktor penyesuaian. Analisa geometri, mekanika bahan, dan statistik dapat dipergunakan untuk mendapatkan faktor koreksi sifat mekanis bambu akibat abnormalitas bentuk fisiknya.

4. Bentuk penampang bambu bisa didekati dengan bentuk cincin lingkaran, cincin elips, maupun cincin oval. Nilai-nilai sifat penampang yaitu meliputi luas, momen pertama penampang, centroid, dan momen inersia ketiga bentuk geometri tersebut dapat diturunkan secara matematis berdasarkan prinsip-prinsip mekanika bahan.

NOVELTIES

Beberapa hal baru yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Keunggulan bambu sebagai material konstruksi hijau dapat didukung dengan data yang diperoleh dari metode ilmiah. Pada tahap ini beberapa hal baru yang diperoleh antara lain: (a) pertumbuhan bambu dapat didekati dengan cara diskrit menggunakan kurva eksponensial yang dimodifikasi dengan fungsi linier dan nonlinier meskipun datanya diperoleh dari gabungan pengukuran berurutan (time series) dan panel (longitudinal), (b) massa karbohidrat daun setiap saat dapat didekati dengan baik oleh kurva sinusoidal sehingga daya serap karbon rumpun bambu dapat dihitung dengan lebih rasional, (c) model sinusoidal yang ditambahkan peubah boneka bernilai biner dapat digunakan untuk mengepas siklus harian temperatur dan RH di lapangan terbuka maupun di bawah tegakan bambu yang dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu radiasi sinar matahari dan energi permukaan bumi sehingga periode waktu ideal seseorang dapat bekerja dengan nyaman pada lokasi tersebut dapat diprediksi.

2. Pengaruh sifat anatomis (distribusi kerapatan ikatan pembuluh) dan komponen kimia dinding sel terhadap sifat mekanis bambu dievaluasi pada penelitian ini. Pada tahap ini hal-hal baru yang ditemukan antara lain: (a) Rasio ikatan pembuluh dapat digunakan untuk menggantikan rasio modulus elastisitas pada analisis sistem lapisan (layer system analysis). Bambu dapat dianggap tersusun dari lapisan-lapisan alami dan dianalisis menggunakan metode penampang tertansformasi (transformed cross section, TCS). (b) Suatu model matematis yang melibatkan sifat anatomis dan komponen kimia dinding sel bambu di bagian ruas maupun buku dibangun dan dianalisis dengan best subset regression untuk mendapatkan sifat dasar mana yang dominan berpengaruh terhadap sifat mekanis bambu. Persamaan matematis tersebut dibangun dengan batasan bahwa jumlah total komponen kimia dinding sel adalah 100%.

3. Pengujian sifat fisis dan mekanis bambu telah banyak dilakukan, tetapi nilai-nilai sifat mekanis bambu belum diolah lebih lanjut menjadi tegangan ijin maupun kuat acuan. Desainer memerlukan salah satu dari kedua nilai tersebut untuk melakukan analisis struktur. Salah satu novelties penelitian ini adalah nilai-nilai tegangan ijin yang dapat dipergunakan untuk mendesain struktur menggunakan format ASD, dan kuat acuan untuk format LRFD. Tegangan ijin dan kuat acuan pada penelitian ini meliputi lentur (Fb, E, dan Emin), tarik sejajar serat (Ft), tekan sejajar serat (Fc), dan

geser (Fv).

(35)

Hal-hal baru pada tahap ini antara lain: (a) Bentuk geometri penampang bambu diberikan alternatif dari cincin lingkaran sempurna, cincin elips, hingga cincin bulat telur (oval). Rumus-rumus perhitungan

Gambar

Gambar 1.1 Bagan alur penelitian
Tabel 2.3 Nilai parameter model pertumbuhan bambu sesuai dengan Persamaan  
Gambar 2.3 Kurva pertumbuhan bambu yang telah dikoreksi dengan estimasi umur
Gambar 3.4 Grafik fluktuasi harian massa karbohidrat dalam 15 g daun bambu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan paparan di atas, guru perlu melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul "Peningkatan Motivasi Belajar Dan Hasil Belajar Mata Pelajaran IPA Melalui

Hasilnya lebih banyak responden yang berada pada kategori tidak patuh terhadap sistem rujukan (66,7%) dikarenakan bahwa Rumah Sakit Royal Prima Medan memiliki

Instansi : Dinas Perumahan, Tata Ruang dan Pengawasan Bangunan Kegiatan : Peningkatan Kualitas Lingkungan Sehat Perumahan.. Pekerjaan : Perencanaan Teknis Peningkatan Kualitas

Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan terhadap program aplikasi clustering data pada remote sensing dengan Gaussian Means, dapat disimpulkan beberapa hal

(terlampir). Ketiga anak belum bisa membalut lidi dengan kain saten, memaku dengan paku manik-manik dan sebagainya. Di samping itu kemampuan anak diketahui bahwa

Salah satu metode untuk memperoleh informasi tentang pergerakan satwa yaitu penggunaan radio tracking. Penggunaan radio tracking dalam penelitian pergerakan katak sampai

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah lembar penilaian LKS, lembar keterampilan berpikir kritis dan angket respon siswaData diperoleh dari hasil

Oleh karena itu, dilakukan hidrolisis protopektin dalam air yang diasamkan untuk mengubah protopektin menjadi pektin yang bersifat larut dalam air, dimana ion H + pada