• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang --- 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup --- 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian --- 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual --- 7

E. Sistematika Penulisan --- 10

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum Tindak Pidana --- 12

B. Klasifikasi Tindak Pidana --- 17

C. Penegakan Hukum Pidana --- 21

D. Kejahatan Pemalsuan Surat --- 28

E. Perubahan dan Perilaku Sosial --- 36

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah --- 40

B. Sumber dan Jenis Data --- 41

C. Prosedur Pengumpulan Populasi dan Sampel --- 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data --- 43

(2)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden --- 46 B. Faktor-Faktor Penyebab TerjadinyaTindak Pidana

Pemalsuan Ijazah --- 47 C. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Pemalsuan Ijazah --- 53 D. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah --- 72 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan --- 77 B. Saran --- 78

(3)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Tri Andrisman, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Firganefi, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Heni Siswanto, S.H., M.H. ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Adius Semenguk, S.H., M.S. NIP 130934469

(4)
(5)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

Oleh

IRFANI ILA SHANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

Judul Skripsi : ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

Nama Mahasiswa : Irfani Ila Shanti No. Pokok Mahasiswa : 0442011291 Jurusan : Hukum Pidana Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Tri Andrisman, S.H., M.H. Firganefi, S.H., M.H. NIP 19611231 198903 1 023 NIP 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

(7)

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena hanya dengan rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Penegakan Hukum

Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah” sebagai syarat untuk menempuh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai macam kesulitan, kendala dan hambatan yang selalu datang silih berganti serta berbagai keterbatasan yang ada. Namun dengan niat dan tekat yang kuat serta dilandasi dengan semangat yang ada, alhamdulillah, pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari, bahwa dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif guna kesempurnaan dari skripsi ini

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Bapak Adius Semenguk, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(8)

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Bapak Gunawan Djatmiko, S.H., M.H., selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan serta petunjuk-petunjuk kepada penulis hingga selesainya skripsi ini

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing II Pengganti.

5. Bapak Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Ibu Rini Fatonah, S.H., M.H., selaku Pembahas II, yang telah berkenan memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun guna penyempurnaan skripsi.

6. Bapak Djoni, S.H., dan Bapak Gobel, S.H., selaku anggota bagian dari Satreskrim pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung, yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk diwawancarai oleh penulis.

7. Bapak Siju, S.H., selaku Kasubsi Penuntutan Pidana Umum pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang telah berkenan meluangkan waktu serta memberikan tempat untuk penulis melakukan penelitian.

8. Bapak Itong Isnaeni, S.H., M.H., selaku Hakim Pada Pengadilan Negeri Tanjung karang Bandar Lampung, yang berkenan untuk diwawancarai oleh penulis.

9. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama menjalani masa pendidikan.

(9)

11. Suamiku, anak-anakku terkasih, sebagai motivator penulis untuk menyelesaikan kuliah hukum ini.

12.Kedua orang tuaku, mertuaku, yang selalu memberikan doanya demi kelancaran penulis dalam menyelesaikan kuliahnya.

13.Kakak-kakak iparku, khususnya Hi. Amin Fauzi, S.E., M.Ba., dan Hj. Mira Safitri yang turut andil berperan serta memberikan kemudahan langkah penulis dalam menyelesaikan kuliahnya.

14.Untuk semua staf kantor suamiku, khususnya Ivan Hasvanudin, Catur, Grehyink, Junero Andua, Pitung, yang selalu setia mengantar jemput penulis selama menjalani masa kuliah. Sorry ya direpotin terus. Cepat ya nyusul penulis untuk selesaikan kuliahnya.

15.Entut Mawar, yang dengan penuh kesabaran menjaga anak-anakku yang nakal-nakal disaat penulis sedang berada dikampus.

16.Sahabatku dalam susah dan senang, Desjumiati Nangkring, yang selalu bersama-sama saling mendukung dan berjuang menghadapi berbagai persoalan selama menjalani masa kuliah. Semoga kita bisa mewujudkan apa yang menjadi harapan kita selama ini, ya sobat.

Semoga Allah SWT membalas segala bantuan dan kebaikan yang telah kalian berikan selama ini.

Bandar Lampung, November 2010 Penulis,

(10)

Persembahan

Kupersembahkan skripsi ini kepada yang tercinta:

suamiku Ir. Fikri Yendri. AT, M.M yang selama ini selalu

mendampingiku dalam kondisi susah dan senang serta

dengan penuh kesabaran terus mendorong dan memberiku

semangat serta motivasi yang tinggi untuk dapat meraih

kesuksesan yang menjadi harapanku selama ini.

Serta anak-anakku, Nicko Pratama. AT, Adi Bestari. AT,

Rio Saputera. AT dan si bungsu kami, Ian Armandha. AT.

Kalianlah yang menjadi sumber semangat dan inspirasi

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1974 di Jakarta, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Gusril. Y. Machmoer dan Ida Fatmawati.

Jenjang pendidikan diawali dari pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan pada tahun 1986, Sekolah Menengah Tingkat Pertama pada tahun 1989 dan Sekolah Menengah Atas pada tahun 1993. Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan Strata Satu pada Universitas Terbuka Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen pada tahun 1986 dan selesai tahun 2001.

(12)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP

PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

(Skripsi)

Oleh

IRFANI ILA SHANTI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno. 2000. Asas Asas Hukum Pidana. PT. Rineka Cipta- Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT.Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nyoman, SPJ, 2008. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bhakti.- Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2009. Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing. Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. ________________. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo.

Jakarta.

Tongat. 2008. Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM. Malang.

Tim Pustaka Phoenix. 2009. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi baru. Media Pustaka Phoenix. Jakarta.

Tim Penyusun Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka - Jakarta.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran HukumPidana : Bagian 1. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Kunarto. 1996. Lemahnya Kontrol Sosial Masyarakat Sebabkan Kesewenang-wenangan Makin Merajalela. Makalah.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1986. Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidana Dalam Konteks Politik Hukum Pidana. Makalah.

____________________________. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Moeljato. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Ghalia. Jakarta.

Prasetyo. Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum Pidana. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Azas-azas Hukum Pidana, Refika Aditama. Bandung.

Santoso, Topo. 2000. MenggagasHukum Pidana Islam. Asy Syamil. Bandung. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang MempengaruhiPenegakan

Hukum. Raja Grafindo. Jakarta

________________ 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

SPJ, Nyoman. 2008. Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

Tongat, 2008. Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan. UMM. Malang.

(15)

Moeljatno. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara - Jakarta. Majalah Polda Lampung. Edisi 78. April 2004.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir. 2004. Hukum Dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sudarto. 1981. Hukum Pidana I. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang.

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor Yang MempengaruhiPenegakan Hukum. Raja Grafindo. Jakarta

_________________. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Guza, Afril. 2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU RI Nomor 20 Tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen UU RI Nomor 14 tahun 2005. Asas Mandiri. Jakarta.

Hamzah, Andi. 2004. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta. Jakarta.

Moeljatno, 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara. Jakarta. Tanpa nama. 2006. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

(18)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN IJAZAH

Oleh

IRFANI ILA SHANTI

Tindak pidana pemalsuan ijazah adalah salah satu bentuk tindak pidana pemalsuan surat. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan penegakan hukum yang tegas, guna perlindungan hukum atau jaminan kepercayaan atas kebenaran sesuatu yang ditujukan bagi masyarakat dan negara. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis melakukan penelitian untuk penyusunan skripsi dengan judul

“Analisis Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah”.

Fokus permasalahan yang akan dibahas yakni: (1) apakah faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah? (2) bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah serta? (3) apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan secara normatif dan empiris, yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi lapangan. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah Polisi dari Kepolisian Resimen Kota Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Analisis dilakukan secara kualitatif, selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dengan metode induktif.

(19)

Irfani Ila Shanti berbagai pihak, penangkapan, penyitaan dilanjutkan dengan persidangan hingga pada putusan hakim. Upaya represif dilakukan untuk memperkecil ruang gerak pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah serta kesempatan terjadinya kejahatan dengan tujuan untuk megembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. (b) Sarana Non Penal, yakni upaya pencegahan (preventif) dengan cara menanggulangi sebelum terjadi suatu kejahatan yang biasanya melibatkan para pihak. Terdiri dari dua langkah pendekatan, yakni : aspek kebijakan pemerintah, seperti adanya reformasi birokrasi, pendidikan kepada masyarakat serta adanya kerjasama aparat penegak hukum dengan masyarakat; dan aspek mempengaruhi pikiran masyarakat melalui media massa guna mengubah pemikiran masyarakat tentang cara atau jalan yang baik dan benar untuk mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan yang sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. (3) Beberapa faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah, dapat dilihat dari : (a) aparat penegak hukumnya; (b) peraturannya itu sendiri; (c) sarana dan prasarana yang menunjang proses hukum; (d) kesadaran hukum masyarakat dan (e) budaya hukum dari masyarakat serta faktor-faktor rasional penegakan hukum yang sudah berjalan namun hasilnya belum optimal sebagaimana yang diinginkan oleh hukum.

(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap golongan masyarakat, dalam arti bahwa tindak pidana akan selalu ada, seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang dan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana dan oleh karena itu memahami tindak pidana sangat penting. Untuk mengetahui hal ini, maka penulis akan mengemukakan pendapat beberapa sarjana mengenai tindak pidana maupun strafbaarfeit.

Menurut J. Bauman, tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana (Tongat, 2008 : 106).

(21)

2

Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di semua negara di dunia mungkin tidak akan pernah berakhir, dan selalu mengikuti perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tindak pidana selalu akan terus berkembang, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, sehingga setiap perkembangan tindak pidana dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat dan pemerintah. Alternatif penyelesaian terhadap masalah ini yang diharapkan mampu memberikan solusi tepat, yakni hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi pelaku tindak pidana, disamping hukuman lain yang diterapkan oleh berbagai lembaga baik instansi pemerintah maupun swasta, serta hukuman tidak tertulis yang berasal dari masyarakat sekitar pelaku tindak pidana tersebut.

Kejahatan pemalsuan merupakan salah satu tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat dengan berbagai macam bentuk dan perkembangannya. Kejahatan pemalsuan adalah kejahatan yang mengandung sistem ketidakbenaran atau palsu, yang tampak dari luar seolah-olah benar adanya, padahal sesungguhnya bertentangan dengan kondisi yang sebenarnya, antara lain sumpah palsu, pemalsuan uang, pemalsuan merek, materai, dan pemalsuan surat. Dari berbagai macam tindak pidana pemalsuan surat, salah satunya adalah tindak pidana pemalsuan ijazah.

(22)

3

pemalsuan ijazah atau gelar kesarjanaan oleh salah satu Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNSD) tahun 2009 di salah satu Dinas pada salah satu Kabupaten di Propinsi Lampung yang cukup menyita perhatian masyarakat. Yang bersangkutan diterima dengan pangkat golongan III/a dengan disiplin Ilmu Teknik Budi Daya Tanaman yang disebut lulusan dari salah satu Universitas di Semarang, Jawa Tengah.

Selain itu terdapat kasus lainnya yang menggunakan ijazah palsu untuk lolos seleksi CPNSD pada tahun 2009 di salah satu kota di Propinsi Lampung. Tersangka yang diduga menggunakan ijazah palsu tersebut masih berstatus sebagai mahasiswi di salah satu Perguruan Tinggi di Bandar Lampung dengan Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) 031XXXXXXX tamat pada 18 September 2008. Namun, ijazah yang dimilikinya yang bernomor 010000/38.5.S1/2008 tersebut ternyata milik mahasiswi lain di Fakultas Teknik Sipil yang telah diwisuda pada 19 Maret 2008 dengan Nomor Induk Mahasiswa 031XXXXXXXX. (TEMPO Interaktif,Rabu, 24 Maret 2010).

Semenjak kasus ini muncul di media cetak, yang bersangkutan akhirnya mengundurkan diri sebagai PNS kota tersebut. Sementara itu Pemerintah Kabupaten pun memberhentikan pelaku pemalsuan ijazah tersebut dengan tidak hormat sebagai PNS. Kini keduanya tengah menunggu proses hukum untuk kasusnya tersebut.

(23)

4

dianggap sebagai “tiket” untuk meningkatkan status sosial, jabatan dan lain-lain. Kondisi demikian ini yang turut menghidup-suburkan praktik jual beli ijazah atau gelar aspal (asli tapi palsu).

Praktik pemalsuan ijazah merupakan suatu bentuk penyerangan terhadap suatu kepercayaan masyarakat terhadap suatu bentuk tindakan penyerangan martabat atau penghinaan terhadap dunia pendidikan. Dapat dibayangkan berapa kerugian, baik secra materiil maupun inmaterial. Karena untuk mencapainya harus menempuh jalan yang panjang melalui proses belajar mengajar atau jenjang pendidikan dan dibutuhkan pengorbanan yang cukup besar. Jika ini dibiarkan begitu saja, maka sudah pasti akan membawa akibat yang fatal, yaitu akan mempengaruhi dan merusak kualitas generasi penerus bangsa di masa mendatang dan pastinya kehormatan dunia pendidikan bangsa ini akan hancur.

Hal ini tentu sangat ironis, dimana pemerintah sedang gencar-gencarnya berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, melalui program pembangunan, khususnya sektor pendidikan. Namun upaya tersebut terganjal akibat adanya pihak-pihak yang bersedia memudahkan bagi orang yang ingin mendapatkan ijazah tanpa perlu mengikuti jalur pendidikan. Bila hal ini dibiarkan terus-menerus, maka kelak jabatan-jabatan di pemerintahan maupun swasta diisi oleh orang-orang yang yang tidak berkompeten karena ijazahnya palsu.

(24)

5

Dalam KUHP tindak pidana ini digolongkan ke dalam Kejahatan Pemalsuan Surat (Buku II, Bab XII KUHP). Di luar KUHP, ketentuan mengenai tindak pidana ini diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Upaya penegakan hukum yang tegas tanpa memandang bulu dari para aparat penegak hukum sangat dibutuhkan, guna perlindungan hukum atau jaminan kepercayaan atas kebenaran sesuatu yang ditujukan bagi masyarakat dan negara. Didasarkan atas uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian untuk penyusunan skripsi yang diberi judul “Analisis Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Fokus permasalahan dalam penulisan ini yang akan dibahas yakni:

a. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah ? b. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan

ijazah ?

(25)

6

2. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup pembahasan skripsi ini, di lihat dari sisi materinya terbatas pada penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah, yang ditinjau dari berbagai aspek.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan pokok permasalahan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dan kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apakah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah

b. Untuk mengetahui bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah.

c. Untuk mengetahui apakah faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah.

2. Kegunaan Penelitian

a. Sumbangan pemikiran terhadap lembaga pendidikan tentang berbagai aspek hukum bilamana terjadi pemalsuan ijazah di lembaga tersebut.

b. Sebagai bahan acuan bagi instansi lain yang terkait untuk pengambilan keputusan.

(26)

7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdul Kadir Muhammad (2004 : 73).

Pengkajian masalah mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah dan pertanggungjawaban para pelaku pemalsuan ijazah tersebut, penulis mendasarkan pada teori hukum pidana serta pola perilaku sosial masyarakat.

Penegakan hukum diartikan sebagai ”perhatian dan penggarapan”, baik

perbuatan-perbuatan melawan hukum yang sungguh-sungguh terjadi ( onrecht in actu) maupun perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrecht in potentie). Dengan demikian penegakan hukum tidak hanya diartikan sebagai penerapan hukum positif tetapi juga penciptaan hukum positif (Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008 : 52).

(27)

8

Penegakan hukum dalam suatu masyarakat mempunyai kecenderungan-kecenderungan sendiri, yang disebabkan oleh struktur masyarakatnya. Struktur masyarakat tersebut merupakan kendala, baik berupa penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum dijalankan, maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan hukum tidak dapat dijalankan atau kurang dapat dijalankan dengan saksama (Satjipto Rahardjo, 2009 : 31).

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 1986: 132).

Pada penelitian ini akan dijelaskan pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga mempunyai batasan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalah pahaman dalam penelitian. Adapun istilah- istilah yang digunakan dalam skripsi ini adalah : 1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa. (Karangan, perubahan

dan sebagainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab duduk perkara dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

(28)

9

3. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana (Tongat, 2008 : 113)

4. Penegakan hukum adalah rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memuat nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata (Ufran dalam Satjipto Rahardjo, 2009 : vii).

5. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan. (Soerjono Soekanto, 2006: 228).

6. Wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat (Soerjono Soekanto, 2006 : 228).

(29)

10

8. Kejahatan (rechtdelicht) adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, perbuatan ini dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan (Tongat, 2008 : 117).

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembaca memahami tulisan ini, maka sistimatika penulisan dalam penyusunan skripsi ini memuat uraian sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bagian ini penyusun menguraikan tentang Latar belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, dan Sistematika Penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini, penyusun mencoba menelusuri berbagai acuan yang berkaitan dengan materi pokok skripsi ini, berupa; definisi, ketentuan, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta pendapat hukum dari berbagai ahli.

III. METODE PENELITIAN

(30)

11

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Beberapa data hasil penelitian yang diperoleh, baik data primer maupun sekunder, selanjutnya dianalisis dan dikaji lebih mendalam dan terperinci sesuai dengan pokok bahasan,

V. PENUTUP

(31)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 1986; 43)

A. Pendekatan Masalah

(32)

41

B. Sumber dan Jenis Data

Data dapat dibedakan berdasarkan sumbernya, yakni antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau yang terjadi di lapangan serta data yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka (Soerjono Soekanto, 1986). Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada dua jenis, yaitu :

1. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan, terutama yang menyangkut dengan pokok bahasan skripsi ini.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan bahan bahan hukum yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer; yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat. Dalam hal ini adalah Kitab Undang Undang Hukum Pidana

b. Bahan hukum sekunder; yaitu bahan bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, berupa buku buku literatur karya ahli hukum, hasil hasil penelitian yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

(33)

42

C. Prosedur Pengumpulan Populasi dan Sampel

Populasi menurut Ronny Hanitjo adalah seluruh jumlah objek pengamatan, seluruh individu, seluruh gejala, seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti. Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga (Masri Singarimbun, 1989 : 12)

Dalam penelitian ini populasinya adalah pihak-pihak yang berwenang dalam menangani tindak pidana pemalsuan ijazah, yaitu Polisi pada Polisi Resort Kota (polresta) Bandar Lampung, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang Bandar Lampung.

Dalam penentuan sample yang akan diteliti, penulis menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode yang mengambil sampel melalui proses penunjukan atau pemilihan berdasarkan tujuan yang ingin diperoleh melalui responden tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka sample yang akan dijadikan responden adalah : 1. Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung 2 orang

(34)

43

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, penulis mempergunakan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Studi Pustaka

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud mendapatkan data sekunder dengan cara mengumpulkan semua bahan yang ada, menginventarisasi dan mengidentifikasi data, dari berbagai literatur, buku-buku, berita media massa dan internet.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan pada penelitian ini adalah melakukan observasi terhadap lembaga yang berkaitan dengan pokok bahasan skripsi ini. Penulis telah menetapkan lembaga yang berkaitan dengan penegakan hukum, sebagai responden, yakni : 1. Polisi, sebagai penyidik dan penyelidik perkara; dalam hal ini dilakukan

penelitian pada Kepolisian Resimen Kota (POLRESTA) Bandar Lampung. 2. Jaksa, sebagai penuntut umum, dalam hal ini dilakukan penelitian pada

Kejaksaan Negeri (KEJARI) Bandar Lampung.

(35)

44

Data yang telah terkumpul selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan langkah langkah sebagai berikut :

a. Pemeriksaan data, yaitu memeriksa kembali data secara keseluruhan yang bersumber dari studi pustaka, wawancara untuk menghindari kekurangan dan kesalahan data, serta relevansi dengan penelitian ini.

b. Penandaan data, yaitu memberikan tanda-tanda pada data data yang ada sesuai dengan klasifikasinya menurut jenis dan sumbernya dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna, kemudian dikelompokkkan menurut permasalahannya guna memudahkan dalam penyusunan dan analisis data. c. Sistemasi data, yaitu kegiatan menabulasi data yang telah diedit dan diberi

tanda serta dikelompokkan sesuai dengan klasifikasi dan urutan permasalahan secara sistematis agar lebih mudah dipergunakan.

E. Analisis Data

Tahap berikutnya adalah melakukan analisis data, dalam penelitian ini analisis data yang dipergunakan adalah analisis data secara kualitatif, yaitu menguraikan data data yang ada dalam bentuk rangkaian kalimat yang baik dan benar, baik kalimat yang bersifat umum maupun kalimat yang bersifat khusus. sehingga mudah dimengerti dan dipahami hasil analisis yang dilakukan.

(36)

45

(37)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden

Pelaksanaan penelitian yang dilakukan penulis adalah menetapkan lembaga (aparat) penegak hukum sebagai responden penelitian, yaitu; polisi, jaksa dan hakim dengan batasan wilayah di kota Bandar Lampung. Untuk mengetahui gambaran objektif dari diri responden, maka dikemukakan terlebih dahulu karakteristik masing-masing responden. Adapun responden tersebut adalah sebagai berikut; 2 (dua) orang Anggota Satuan Reserse Kriminal Polresta Bandar Lampung, 1 (satu) orang Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, 1 (satu) orang Hakim Anggota Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang. Identitas masing-masing responden adalah sebagai berikut :

1. Nama : DJONI, S.H.

Jabatan : Satuan Reserse Kriminal

NIP : 67040316

Masa Kerja : 24 tahun

2. Nama : GOBEL, S.H.

Jabatan : Satuan Reserse Kriminal

NIP : 86050256

(38)

47

3. Nama : SIJU, S.H.

Jabatan : Kasubsi Penuntutan Pidana Umum

NIP : 197704221998031006

Masa Kerja : 2 tahun

4. Nama : ITONG ISNAENI, S.H, M.H. Jabatan : Hakim IV/a

NIP : 040064404

Masa Kerja : 16 tahun 10 bulan

Para responden yang dijumpai oleh penulis pada saat penelitian, secara kapabilitas telah memenuhi syarat, sehingga penulis mendapatkan data atau keterangan yang akurat. Disamping hal tersebut, masing-masing responden sangat responsif dan kooperatif terhadap penelitian yang dilakukan.

B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah

Maraknya tindak pidana pemalsuan ijazah akhir-akhir ini makin banyak terjadi dengan berbagai modus operandinya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis melalui penelusuran dokumen (berita media masa, internet), studi kepustakaan dan wawancara terhadap para responden yang telah dilakukan oleh penulis di beberapa tempat penelitian yakni pada Polresta Bandar Lampung dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, didapatkan faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah sebagai berikut : 1. Faktor internal, berupa perilaku sosial (social behavior), diantaranya untuk

(39)

48

(popularity) dimata masyarakat sebagai prestice symbol, serta adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan.

2. Faktor eksternal, berupa perkembangan teknologi, rekruitmen instansi tertentu, baik Pemerintah (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), maupun Kepolisian (yudikatif), bahkan dunia usaha, serta adanya peluang atau kesempatan.

Berdasarkan beberapa faktor-faktor di atas sebagai penyebab terjadinya tindak pidana pemalsuan ijazah, bahwa hal tersebut berkaitan dengan :

a. Perilaku sosial

(40)

49

alternatif pilihan yang utama dan terbaik, dengan pertimbangan lebih efektif dan efisien. Sehingga dalam pandangan penulis, gaya hidup yang menginginkan segalanya serba instant, bagi seseorang yang ingin memiliki ijazah sesuai dengan tingkat kebutuhan yang ada namun tidak ingin berhadapan dengan prosedural yang berlaku berdasarkan aturan-aturan yang harus ditempuh dalam dunia pendidikan, dapat mendorong seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah dengan tujuan memperoleh gelar akademik tertentu, sehingga mengabaikan semua proses akademik yang harus dilalui seseorang dalam menempuh suatu jenjang pendidikan, karena hanya mengejar gelar kesarjanaannya. Gelar tersebut menjadikannya status symbol untuk meningkatkan status sosial atau meningkatkan kedudukan seseorang.

Sebagaimana yang dimaksud oleh Soerjono Soekanto (2006 : 212), gelar kesarjanaan mendapat tempat tertentu dalam sistem penilaian masyarakat Indonesia karena gelar tersebut membuktikan bahwa yang memperolehnya telah memenuhi beberapa persyaratan tertentu dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan yang khusus.

(41)

50

Disamping hal tersebut di atas, adanya pola gambling (gambler behavior), yang sifatnya mencoba-coba dalam melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah.. Perilaku gambling tersebut terkadang hasilnya baik dan berlanjut (trial and run), tetapi seringkali terjadi sebaliknya, yaitu mencoba dan gagal (trial and error). Perilaku mencoba-coba (gambling) tersebut juga dibenarkan oleh pihak Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung. Selama perbuatan ini dianggap kondusif oleh pelaku dan dianggap tidak adanya pihak-pihak lain yang merasa dirugikan, maka permasalahan pidana tidak akan timbul.

b. Adanya Kebutuhan

Adanya kebutuhan pada diri seseorang untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupannya agar dapat dipandang lebih terhormat dalam suatu lingkungan masyarakatnya, namun dengan segala keterbatasan, yang ada pada dirinya, baik waktu dan biaya, biasanya memiliki kecenderungan untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bersifat negatif bahkan bersifat melawan hukum, guna memenuhi kebutuhannya itu. Sebagai contoh, bagi mereka yang gagal mencari pekerjaan dengan salah satu faktor penyebabnya tidak memiliki ijazah sebagai salah satu syarat untuk melamar pekerjaan, biasanya akan melakukan jalan pintas untuk mendapatkan ijazah tersebut dengan melakukan suatu upaya yang bersifat melawan hukum dengan cara memalsukan ijazah.

(42)

51

Menurut Soerjono Soekanto (2006 : 314), dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat melakukan penyimpangan norma-norma sosial untuk mencapai status (kedudukan) sosial yang lebih baik.

c. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Di era modern seperti sekarang ini, hampir semua lini kehidupan sudah tersentuh dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ditujukan untuk kesejahteraan manusia, diantaranya memberikan kemudahan-kemudahan disegala bidang, dengan biaya yang relatif lebih murah dan lebih cepat. Disamping itu pula adanya kecenderungan manusia dijadikan sebagai objek, selain dimanja juga dikondisikan bersifat ketergantungan oleh teknologi yang banyak ditawarkan.

(43)

52

Online secara nasional, sehingga setidaknya dapat meminimalisir pemalsuan ijazah, walaupun untuk mewujudkannya bukan hal yang sederhana, karena adanya berbagai keterbatasan dan kendala, diantaranya, waktu, biaya dan sumber daya manusia.

d. Adanya recruitment instansi tertentu

Pengumuman rekruitment dari berbagai instansi bik pemerintah, ABRI/Polisi setiap tahun biasanya selalu ada, sedangkan swasta selalu muncul secara berkala diberbagai media. Khusus untuk penerimaan anggota legislatif, pimpinan daerah (Bupati, Walikota, Gubernur) biasanya berlangsung setiap lima tahun sekali.

Lazimnya, pengumuman penerimaan untuk memenuhi jabatan atau posisi tertentu, mengandung berbagai kriteria dan dibatasi oleh waktu. Beberapa persyaratan tersebut, justru merupakan dorongan atau pemicu bagi seseorang, karena bila diterima dalam proses rekruitmen tersebut, harapannya akan memberikan kontribusi positif bagi dirinya.

Menurut pandangan penulis, berdasarkan rekruitmen tersebut serta adanya berbagai keterbatasan, pelamar berupaya semaksimal mungkin untuk memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh instansi tersebut, sehingga secara sadar dan sengaja telah melakukan pemalsuan surat, diantaranya pemalsuan ijazah.

e. Adanya peluang atau kesempatan

(44)

53

pemalsuan ijazah tersebut melihatnya adanya kelemahan-kelemahan dari peraturan-peraturan hukumnya itu sendiri serta sikap tidak perduli atau kurangnya kontrol dari masyarakat dan aparat penegak hukum mengenai kasus-kasus pemalsuan ini, sehingga dianggap sebagai suatu peluang atau kesempatan bagi pihak-pihak yang hanya mencari keuntungan belaka dengan memanfaatkan kondisi demikian guna memenuhi kebutuhan dari pihak lainnya dalam hal penggunaan ijazah. Ditambah lagi dengan adanya sarana dan prasarana yang sangat menunjang bagi pihak-pihak pencari keuntungan tersebut dalam hal pembuatan ijazah palsu.

Sebagaimana diketahui, bahwa setiap peluang dan kesempatan tidak akan terulang dengan kondisi yang sama, walaupun dapat terulang lagi, tetapi dengan kondisi yang berbeda. Setiap peluang atau kesempatan dapat mendorong seseorang untuk memanfaatkannya semaksimal mungkin sekalipun harus menempuh berbagai cara yang dilakukan, termasuk mengabaikan norma norma yang berlaku, dengan harapan dapat memenuhi keinginannya demi mencapai kedudukan dan status sosial yang lebih baik (Soerjono Soekanto, 2006 : 212).

C. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah

(45)

54

Kasus-kasus pemalsuan ijazah yang akhir-akhir ini selalu diberitakan, baik yang dimuat oleh berbagai media baik cetak ataupun elektronik maupun issu-issu yang berkembang di masyarakat, memperlihatkan bahwa fenomena kasus-kasus ijazah palsu ini telah banyak terjadi dan juga berkembangnya sindikat-sindikat pemalsuan ijazah yang dilakukan secara sistematis. Bahkan dalam dunia maya, secara gamblang dan terbuka melalui beberapa situs internet menawarkan pembuataan ijazah palsu untuk semua tingkatan dari semua lembaga pendidikan, khususnya perguruan-perguruan tinggi baik swasta maupun negeri.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan salah seorang responden, dalam tiga tahun terakhir ini hanya terdapat 2 (dua) pemalsuan yang ditangani oleh Polresta Bandar Lampung dan kedua kasus tersebut sudah dilimpahkan kepada pihak pengadilan untuk menjalani proses persidangan. Melihat kenyataan demikian, penulis memandang hal ini sungguhlah sangat ironis, karena demikian banyaknya berita-berita yang berkembang mengenai kasus-kasus pemalsuan ijazah, tetapi jarang sekali yang masuk dalam proses yuridis mulai dari penyidikan sampai pengadilan, kalaupun ada jumlahnya tidak signifikan bila dibandingkan dengan kasus yang ada.

(46)

55

ijazah demi menciptakan suasana aman dan tenteram dalam hal ini dengan cara penerapan hukum pidana (criminal law appliaction), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dengan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa. (Barda Nawawi Arief, 2002 :42). Hal ini merupakan wujud kepedulian pihak kepolisian dalam usahanya memberikan perlindungan masyarakat, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang RI No.2 tahun 2002 tentang Polri Pasal 4 :

”Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pemalsuan ijazah, telah di atur di dalam KUHP, ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah di atur sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut :

(1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

(47)

56

SISDIKNAS), yang tertuang di dalam Pasal 67, Pasal 68 dan pasal 69, yakni sebagai berikut:

Pasal 67 :

(1) Perseorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Pasal 68 :

(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertafikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar

akademik, profesi dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persayaratan dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari perguruan tinggi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pasal 69 :

(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

(48)

57

Bila melihat kedua produk hukum tersebut, penulis melihat bahwa pada kedua undang-undang tersebut mempunyai persamaan dan perbedaan mengenai ancaman pidananya. Dari kedua undang-undang tersebut di atas dapat diketahui mengenai persamaan dan perbedaannya, yakni sebagai berikut :

a. Dalam KUHP tidak terdapat pidana denda, sedangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional jelas mengatur mengenai pidana denda.

b. Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas mengatur ancaman pidana untuk masing-masing pelaku maupun lembaga, sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada.

Berdasarkan kedua peraturan tersebut antara KUHP dengan UU SISDIKNAS, dapat dilihat bahwa dalam UU SISDIKNAS ancaman pidana penjara dan pidana denda terhadap para pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah lebih berat dibandingkan dengan sanksi yang tertera pada KUHP.

(49)

58

Beberapa sanksi hukum, juga diterapkan dari berbagai lembaga yang menetapkan beberapa aturan sendiri, seperti lembaga pendidikan, pemerintahan, swasta serta lembaga-lembaga lainnya. Penegakan hukum yang diberlakukan bagi pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah tersebut pada umumnya berupa pemecatan atau pemberhentian dengan tidak hormat, atau dikeluarkan dari lembaga tersebut.

Menurut penulis, demi untuk menjaga kredibilitas lembaga dan bilamana telah terbukti bersalah, maka mekanisme punishment merupakan alternatif terbaik yang harus dilaksanakan oleh lembaga tersebut.

Selain hukum pidana positif seperti yang diuraikan diatas, dilingkungan masyarakat acapkali juga berlaku hukuman bagi pelaku tindak pidana, khususnya terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah. Hukuman sosial masyarakat, pada umumnya bersifat psikologis yang membuat pelaku sulit untuk bersosialisasi kepada masyarakat dilingkungannya, seperti pengucilan, gunjingan, cemooh dan sebagainya. Bahkan untuk menghindarinya, pelaku menghilang dari lingkungan tempat tinggalnya. Menurut pendapat penulis, keadaan demikian merupakan hal yang sangat manusiawi, mengingat adanya perasaan bersalah dan malu pada diri pelaku pemalsuan ijazah tersebut.

(50)

59

Dalam rangka menegakkan hukum, pihak kepolisian dapat “memaksa” dalam bentuk penangkapan dan penahanan (upaya paksa hukum). Secara konkret, hukum memberikan legitimasi (pembenaran) pada penegak hukum untuk menahan apabila suatu perkara dapat dan perlu dilakukan dalam satu pemeriksaan dugaan tindak pidana. Secara normatif penahanan itu adalah perampasan kemerdekaan, namun karena penahanan itu berdasarkan legitimasi hukum maka perampasan kemerdekaan itu menjadi harus dibaca sebagai “penahanan” adalah upaya paksa hukum.

Dalam melakukan penahanan harus memperhatikan prinsi-prinsip dan norma-norma sebagaimana penahanan yang diatur dalam KUHAP. Untuk melaksanakan proses itu semua dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Penyelidikan

Dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, dinyatakan penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Penyelidikan merupakan tindakan atau tahap permulaan dari proses selanjutnya yaitu penyidikan. Meskipun penyelidikan merupakan proses yang berdiri sendiri, penyelidikan tidak dapat dipisahkan dari proses penyidikan.

Wewenang dari Penyelidik, yakni : a. Memanggil saksi

(51)

60

c. Memeriksa Saksi Ahli

d. Melaksanakan upaya paksa, diantaranya :

1. Pengertian secara umum memberhentikan, memberi pertanyaan, memeriksa. Tanpa penangkapan dan penyitaan.

2. Pengertian secara khusus terkait dengan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat.

2. Penyidikan

Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan adalah tahapan penyidikan. Dalam Pasal 1 butir 1 dan 2 KUHAP menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti tersebut membuat atau menjadi terang tindak pidana yangterjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.

Terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan suatu tindak pidana, dapat diketahui oleh penyidik dengan berbagai cara, mengetahui sendiri atau menerima laporan atau pengaduan dari seseorang. Dalam hal demikian, penyidik perlu segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 106 KUHAP.

(52)

61

dari penyidik yang anatara lain adalah melakukan serangkaian upaya paksa yang berupa penangkapan, penahan, penggeledahan dan penyitaan serta melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

Hasil dari penyidikan dituangkan dalam Berita Acara Penyidikan (BAP) dan dujadikan satu berkas dengan surat-surat lainnya. Jika pada pemeriksaan awal tidak terdapat cukup bukti adanya tindak pidana, maka penyidik dapat menghentikan penyidikan dengan mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Namun jika dipandang bukti telah cukup maka penyidik dapat segera melimpahkan berkas perkara ke kejaksaan untuk proses penuntutan.

Jika perkara telah diterima oleh Jaksa Penuntut Umum, namun Jaksa Penuntut Umum memandang bahwa berkas perkara masih kurang sempurna atau kurang lengkap atau alat bukti masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan disertai catatan atau petunjuk tentang hal yang harusdilakukan oleh penyidik agar berkas atau bukti tersebut dilkengkapi. Proses ini disebut dengan istilah “prapenuntutan” dan diatur dalam Pasal 138 ayat (2) KUHAP.

(53)

62

perbuatan terdakwa, waktu dan tempat terjadinya tindak pidana (locus dan tempus delicti) dan cara-cara terdakwa melakukan tindak pidana. Sehingga jelas, bahwa dalam proses penuntutan ini jaksa penuntut umum telah mentransformasikan “peristiwa dan faktual” dari penyidik menjadi “peristiwa dan

bukti yuiridis”. Disamping itu dalam proses penuntutan, penuntut umum juga

menetapkan bahan-bahan bukti dari penyidik dan mempersiapkan dengan cermat segala sesuatu yang diperlukan untuk meyakinkan hakim atau membuktikan dakwaannya dalam persidangan nanti. Terhadap tindak penyertaan atau “concursus” penuntut umum dapat menentukan apakah perkara tersebut

pemeriksaannya akan digabung menjadi satu perkara (voeging – Pasal 141 KUHAP) atau akan dipecah menjadi beberapa perkara (splitsing – Pasal 142 KUHAP).

Dilanjutkan kembali oleh Siju, dengan melihat kualitas perkaranya, penuntut umum menentukan apakah perkara tersebut akan diajukan ke pengadilan dengan acara “Singkat” (sumir) atau dengan acara “Biasa”. Jika perkara tersebut diajukan

dengan acara singkat, maka penuntut umum pada hari yang ditentukan oleh pengadilan akan langsung menghadapkan terdakwa beserta bukti-bukti ke sidang pengadilan. Namun jika perkara tersebut akan diajukan dengan acara biasa, maka penuntut umum segera melimpahkan perkara ke pengadilan negeri disertai dengan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara yang isinya permintaan agar perkara tersebut segera diadili (Pasal 143 ayat (1) KUHAP).

(54)

63

ini merupakan tahap yang menentukan nasib terdakwa, karena dalam tahap ini semua argumentasi para pihak (penuntut umum dan terdakwa atau penasihat hukum) masing-masing diadu secara terbuka dan masing-masing dikuatkan dengan bukti-bukti yang ada.

3. Upaya Paksa : Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan dan Penyitaan

Upaya paksa adalah suatu bentuk upaya dalam mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi sekaligus menemukan tersangkanya dan terkadang mengurangi kemerdekaan seseorang serta mengganggu kebebasan seseorang. Seseorang dapat ditangkap harus dengan bukti permulaan. Bukti permulaan yang cukup setidak-tidaknya adalah adanya laporan polisi ditambah dengan alat bukti. Yang berwenang melakukan penahanan atau penangkapan adalah penyidik.

Tata cara atau prosedur melakukan penahan atau penangkapan adalah : a. Surat Perintah, harus diperlihatkan.

b. Surat Perintah Penangkapan (SPP) diberikan oleh petugas.

(55)

64

Menurut Djoni, pengungkapan pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah ditempuh polisi dengan cara :

1. Adanya laporan dari masyarakat

Penyelidikan perkara pemalsuan ijazah diawali oleh kepolisian dengan menerima laporan, informasi dan petunjuk dari masyarakat atau pihak-pihak yang merasa dirugikan yang mengetahui adanya tindak pidana pemalsuan ijazah tersebut.

2. Penunjukan

Pimpinan kepolisian melakukan penunjukan kewenangan penyelidikan kasus dan penangkapan kepada anggota unit reserse yang memiliki kompetensi pada bidangnya.

3. Penyelidikan

Anggota polisi yang ditunjuk diterjunkan untuk melakukan pengembangan kasus penyelidikan untuk mengungkap identitas pelaku kemudian melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana pemalsuan ijazah.

(56)

65

4. Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak

Kerjasama dilakukan dengan instansi-instansi lembaga pendidikan yang mengeluarkan ijazah asli yang dipalsukan tersebut. Apabila identitas pelaku yang menggunakan ijazah palsu terjadi diluar wilayah Lampung misalnya di wilayah Provinsi lain, akan dilakukan kerjasama dengan pihak Kepolisian dari daerah tersebut, termasuk meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana pemalsuan ijazah.

5. Penangkapan

Anggota polisi yang telah melakukan penyidikan terhadap pelaku, yang telah menyelidiki dan mengetahui keberadaan, identitas dan ciri-ciri pelaku, kemudian melakukan pengintaian. Setelah memastikan bahwa sasaran penangkapan sudah dianggap tepat sebagai pelaku, maka selanjutnya dilakukan penangkapan.

6. Penyitaan

Kepolisian berwenang menyegel atau menyita alat dan perangkat yang digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana pemalsuan tesebut. Setelah barang bukti kejahatan didapatkan, maka penyidik wajib melakukan penyegelan dan membuat Berita Acara penyitaan pada hari penyitaan.

(57)

66

Berdasarkan hasil wawancara dengan Siju, kejaksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 telah diberikan kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan. Kejaksaan memiliki peran yang sangat penting dalam proses penegakan hukum pidana, karena dapat tidaknya suatu perkara masuk kepengadilan adalah tergantung sepenuhnya oleh Kejaksaan (Penuntut Umum). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, maka jelas bahwa kedudukan kejaksaan adalah sebagai lembaga eksekutif yang melakukan tugas dan wewenang dibidang yudikatif, sehingga sangat mustahil kejaksaan dalam menjalankan tugasnya benar-benar merdeka atau independent.

Selain itu, di dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah, peranan seorang hakim tidak kalah pentingnya sebagai pemutus perkara. Sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang dimilikinya, seorang hakim berkewajiban menyelenggarakan proses peradilan yang harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang menghendaki peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

(58)

67

semata-mata berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka seorang hakim harus bebas dari segala campur tangan oleh pihak-pihak lain diluar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-hal yang tersebut pada Undang-Undang Dasar. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, seorang hakim wajib memperhatikan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh, sehingga dalam memberikan keputusannya semata-mata berdasarkan pada kebenaran, keadilan dan kejujuran.

Upaya dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah termasuk kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan.

Kebijakan kriminal sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam menanggulangi kejahatan.

Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial (social polcy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat/social defence policy (Barda Nawawi Arief : 73).

(59)

68

rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan (criminal policy of designing human behavior as crime).

Menurut Gobel, apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam mengatasi segi-segi kriminal dari perkembangan masyarakat modern hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal (social defence planing) dan ini juga merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional sesuai dengan hakikat sumber terjadinya kejahatan.

Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial, yaitu keadilan. Secara teori, karakteristik penegakan hukum menurut Sudarto (1981 : 81) dapat dibagi 3 (tiga) kerangka konsep, yaitu preventif (pencegahan sebelum terjadinya), represif (pencegahan sesudah terjadi kejahatan) dan kuratif.

(60)

69

a. Sarana Penal

Upaya penegakan hukum dalam menanggulangi tindak pidana pemalsuan ijazah dengan menggunakan jalur penal atau upaya represif, yakni penerapan hukum positif yang mengatur tentang tindak pidana pemalsuan ijazah, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tertuang di dalam Pasal 263 ayat (1) dan (2), dan peraturan-peraturan lain diluar KUHP yaitu Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), yang tertuang dalam Pasal 67, 68, 69. Melalui sarana penal, dilakukan untuk memperkecil ruang gerak pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah serta kesempatan terjadinya kejahatan dengan tujuan untuk megembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan.

(61)

70

Selanjutnya menurut Gobel, proses penegakan hukum sebagai upaya penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah juga tidak terlepas dari faktor-faktor rasional penegakan hukum seperti berjalannya penegakan hukum meskipun belum begitu optimal sebagaimana yang diinginkan oleh hukum, sehingga semua itu harus ditinjau dari sisi peraturannya, aparatur, sarana dan fasilitas yang menunjang penegakan hukum serta melihat budaya hukum masyarakatnya sendiri agar semua dapat berjalan dengan optimal.

Kemudian hasil wawancara penulis kepada semua pihak yang terkait mengenai upaya penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana penal atau sarana hukum pidana, tindak lanjut proses penegakan hukum harus sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, apabila tindakan tersebut telah memenuhi bukti-bukti dan unsur-unsur tindak pidana dari Pasal-Pasal dikenakan kepada pelaku, maka akan dibuat berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Merupakan tugas pihak kepolisian untuk membuat serta menandatangani Berita Acara dan kemudian diteruskan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk ditindak lanjuti untuk kemudian dibawa dan diserahkan ke Pengadilan untuk diperiksa di persidangan.

(62)

71

menentukan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan dengan disertai ancaman berupa pidana (nestapa) dan menentukan syarat-syarat pidana dapat dijatuhkan. Sifat publik yang dimiliki hukum pidana menjadikan konsekuensi bahwasanya hukum pidana itu bersifat nasional, sehingga dengan demikian, hukum pidana Indonesia diberlakukan ke seluruh wilayah Indonesia.

b. Sarana Non Penal

Merupakan pendekatan integral dan adanya keseimbangan serta upaya pencegahan (preventif) dengan cara menanggulangi sebelum terjadi suatu kejahatan yang biasanya melibatkan para pihak.

Penerapan sarana non penal ini terdiri dari dua langkah pendekatan, yakni (1) aspek kebijakan pemerintah seperti adanya reformasi birokrasi, pendidikan kepada masyarakat serta adanya kerjasama aparat penegak hukum dengan masyarakat; (2) aspek mempengaruhi pikiran masyarakat melalui media massa guna mengubah pemikiran masyarakat tentang cara atau jalan yang baik dan benar untuk mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan yang sesuai dengan prosedur dan undang-undang yang berlaku.

(63)

72

Langkah langkah yang dapat ditempuh adalah :

a. Menciptakan sistem dan mekanisme pada lembaga pendidikan yang mengatur tentang upaya pencegahan, penanggulangan tindak pidana pemalsuan ijazah termasuk sanksi yang diberlakukan.

b. Menerapkan mekanisme crosscheck untuk setiap lembaga yang melakukan perekrutan harus diterapkan, dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap sumber ijazah yang diajukan oleh para calon.

c. Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah yang terjadi disekitarnya, sehingga mengurangi rasa enggan masyarakat untuk melaporkan setiap kejadian yang ada.

d. Mempermudah birokrasi pelaporan, serta tindakan pro aktif dari aparat penegak hukum.

e. Menciptakan mekanisme partisipasi dengan melibatkan peran aktif para pihak dan pemangku kepentingan.

(64)

73

D. Faktor-Faktor Yang Menghambat Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Ijazah

Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan ijazah bukanlah hal yang mudah, baik sejak tahap penyelidikan hingga tahap akhir, yaitu persidangan. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah, harus dilihat dari elemen-elemen sistem hukumnya itu sendiri. Menurut teori Soerjono Soekanto (1983), maka elemen-elemen hukum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Faktor aparat penegak hukum

(65)

74

terjadinya intimidasi dari pihak keluarga atau kerabat tersangka. Seharusnya mereka (masyarakat) yang diminta untuk menjadi saksi tidak perlu khawatir untuk diintimidasi, dan apabila itu terjadi dapat dilaporkan kepada aparat hukum yang berwenang, karena keselamatan dan perlindungan seorang saksi telah dijamin oleh undang-undang.

2. Peraturannya itu sendiri

(66)

75

3. Sarana atau fasilitas yang menunjang proses hukum

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan sebagainya yang tidak jauh berbeda dengan apa yang ada seperti halnya kebutuhan personil.

Menurut Djoni, dalam menangani kasus pemalsuan ijazah, pihak kepolisian kadangkala menemui beberapa hambatan, salah satu contohnya kesulitan untuk mencari pembanding antara ijazah yang asli dengan yang asli tapi palsu (aspal). Adanya perkembangan kemajuan teknologi sekarang ini dengan berbagai peralatan yang serba canggih, ijazah yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan tertentu dapat dibuat dan ditiru dengan mudah, sehingga hampir tidak ada perbedaan antara yang asli dengan yang dipalsukan. Untuk mengetahuinya kebenaran asli atau tidaknya ijazah tersebut, harus diperiksa melalui Laboratorium Forensik. Apabila sarana atau fasilitas tersebut tidak ada ataupun misalnya ada tapi minim jumlahnya, kondisi tersebut akan menghambat kinerja aparat hukum dalam penyelesaian tugas-tugasnya.

4. Kesadaran hukum masyarakat

(67)

76

saja dan berpendapat itu adalah tugas aparat kepolisian untuk menindaknya. Adanya sosialisasi hukum dari aparat penegak hukum itu sangat penting untuk menumbuhkan budaya serta kesadaran hukum masyarakat dengan tujuan bilamana terjadi suatu tindak pidana kejahatan di dalam wilayahnya, mereka memiliki inisiatif dengan segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Sehingga dengan demikian penegakan hukum dapat berjalan dengan baik atau setidak-tidaknya dapat meminimalisir bentuk-bentuk kejahatan yang akan terjadi.

5. Budaya hukum

(68)

77

Berdasarkan uraian diatas, menurut pandangan penulis mengenai faktor-faktor rasional yang mempengaruhi penegakan hukum, aspek-aspek dari peraturannya itu sendiri harus jeli melihat substansi dari peraturan tersebut baik dari unsur-unsur subjektif maupun unsur-unsur objektif suatu spesifikasi tindak pidana yang termuat dalam peraturan tersebut.

(69)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukan di dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan tindak pidana pemalsuan ijazah, adalah: a). Faktor internal berupa prilaku sosial (social behavior), dengan tujuan untuk meningkatkan kedudukan seseorang (status symbol) atau meningkatkan popularitas dimata masyarakat sebagai prestice symbol, serta adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan. b). Faktor eksternal berupa perkembangan teknologi, rekruitmen instansi tertentu, baik pemerintah (eksekutif), Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif), maupun Kepolisian (yudikatif), bahkan dunia usaha, serta adanya peluang atau kesempatan.

(70)

79

dengan tujuan untuk megembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. (b) Sarana Non Penal, yakni upaya pencegahan (preventif) dengan cara menanggulangi sebelum terjadi suatu kejahatan yang biasanya melibatkan para pihak. Terdiri dari dua langkah pendekatan, yakni (1) aspek kebijakan pemerintah seperti adanya reformasi birokrasi, pendidikan kepada masyarakat serta adanya kerjasama aparat penegak hukum dengan masyarakat; (2) aspek mempengaruhi pikiran masyarakat melalui media massa guna mengubah pemikiran masyarakat tentang cara atau jalan yang baik dan benar untuk mendapatkan ijazah dan gelar kesarjanaan yang sesuai dengan prosedur dan undang-undang yang berlaku.

3. Beberapa faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pemalsuan ijazah, dapat ditinjau dari : (a) aparat penegak hukumnya; (b) peraturannya itu sendiri; (c) sarana dan prasarana yang menunjang proses hukum; (d) kesadaran hukum dan budaya hukum dari masyarakat serta faktor-faktor rasional penegakan hukum yang sudah berjalan namun hasilnya belum optimal sebagaimana yang diinginkan oleh hukum.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka disarankan hal-hal sebagai berikut : 1. Aparat penegak hukum hendaknya selalu melakukan sosialisasi kepada

(71)

80

2. Menerapkan mekanisme pengecekan ulang untuk setiap lembaga yang melakukan perekrutan harus diterapkan, dengan cara melakukan pengecekan ulang terhadap sumber ijazah yang diajukan oleh para calon.

3. Membangun kemitraan antara masyarakat dengan para aparat penegak hukum dalam mewujudkan kesadaran untuk patuh dan taat pada hukum serta senantiasa berusaha menghindarkan diri untuk tidak berbuat kejahatan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara yang dilakukan penulis juga mendapat jawaban mengenai faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap penghinaan melalui media

Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana perzinahan di Bandar Lampung ini sendiri dilaksanakan secara preventif yaitu pencegahan sebelum terjadinya

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup

(2) Faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap anak yang melakukan pembunuhan adalah: (a)Faktor perundang-undangan (substansi hukum), yaitu ketentuan yaitu Pasal

Berdasarkan hasil wawancara dengan Erna Dewi selaku Akademi Hukum Pidana Universitas Lampung, bahwa yang menjadi faktor yang mempengaruhi penegakan hukum pidana

Dalam hal melaksanakan penegakan hukum, aparat Kepolisian Resor Kota Pekanbaru menggunakan dua cara yaitu penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum

(2) Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana penyuapan pada penerimaan anggota Satpol PP Lampung Barat adalah: a) Faktor perundang-undangan,

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana modus operandi dan penegakan hukum yang digunakan pelaku tindak