I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena peredaran gelap narkotika merupakan permasalahan internasional, regional dan
nasional. Sampai dengan saat ini, penyalahgunaan obat-obatan terlarang di seluruh dunia tidak
pernah kunjung berkurang, Secara umum permasalahan obat-obatan terlarang dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi narkoba secara gelap (illicit drug production), adanya perdagangan gelap narkoba (illicit trafficking) dan adanya penyalahgunaan narkotika (drug abuse). Ketiga hal itulah sesungguhnya menjadi target sasaran yang ingin diperangi oleh masyarakat internasional dengan Gerakan Anti Madat Sedunia.1
Pertimbangan huruf (c) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
menyebutkan narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat
pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama. Selanjutnya menurut
huruf (d), tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi
yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa
yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kecenderungan kejahatan atau penyalahgunaan narkotika berkaitan dengan kemajuan teknologi,
globalisasi dan derasnya arus informasi. Selain itu adanya keinginan para pelaku untuk
1
memperoleh keuntungan yang besar dalam jangka waktu cepat dalam situasi ekonomi yang
memburuk seperti sekarang ini, diprediksikan akan mendorong munculnya pabrik-pabrik gelap
baru dan penyalahgunaan narkotika lain akan semakin besar di masa mendatang. Kondisi ini
tentunya menjadi keprihatinan dan perhatian semua pihak baik pemerintah, LSM dan seluruh
lapisan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mencari jalan penyelesaian yang paling baik
guna mengatasi permasalahan Narkoba ini sehingga tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah nasional, karena berdampak
negatif yang dapat merusak serta mengancam berbagai aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan
negara serta dapat menghambat proses pembangunan nasional. Penyalah gunaan narkotika tidak
hanya terjadi di kota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah
Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial
ekonomi atas. Bahaya penyalahgunaan narkotika berpangkal dari mengkonsumsi bahan atau
jenis obat-obatan terlarang harus ditanggulangi. Hal ini disebabkan karena dampak yang
ditimbulkan karena penyalah gunaan obat-obatan terlarang akan merusak mental dan fisik
individu yang bersangkutan dan dapat meningkat pada hancurnya kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Kejahatan dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia
menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan dan telah berada pada ambang
mengkhawatirkan apabila tidak segera ditanggulangi melalui penegakan hukum yang tegas dan
komprehensif.2
2
Data Badan Narkotika Nasional, sampai dengan tahun 2011 menunjukkan sebanyak 3.265.344
pengguna narkotika di seluruh Indonesia3. Menyadari bahwa penyalahgunaan narkotika ini sama
halnya dengan penyakit masyarakat lainnya seperti perjudian, pelacuran, pencurian dan
pembunuhan yang sulit diberantas atau bahkan dikatakan tidak bisa dihapuskan sama sekali dari
muka bumi, maka apa yang dapat dilakukan secara realistik hanyalah bagaimana cara menekan
dan mengendalikan sampai seminimal mungkin angka penyalahgunaan narkotika serta
bagaimana kita melakukan upaya untuk mengurangi bahaya yang diakibatkan oleh
penyalahgunaan narkotika ini. Penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan masalah
yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat yang dilaksanakan
secara berkesinambungan dan konsisten.
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan dewasa ini dilakukan oleh para pelaku yang berstatus
sebagai aparat penegak hukum, yaitu oknum kejaksaan. Menurut Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan maka diketahui bahwa jaksa adalah pejabat
fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum
dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Setiap jaksa dalam institusi kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum melaksanakan tugasnya
secara merdeka dengan menjujung tinggi hak asasi manusia dalam negara hukum berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan serta tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan,
3
Kejaksaan memerlukan adanya satu tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan mengingat
norma-norma agama, susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai
kemanusiaan dalam masyarakat.
Secara khusus mengenai kode etik dan perilaku Jaksa ini, Jaksa Agung telah memberlakukan
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/JA/07/2007 Tentang Kode
Perilaku Jaksa. Kode etik ini mengatur serangkaian norma dan etika harus menjadi pedoman bagi
seluruh jaksa di Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi maupun dalam
aktivitas serta perilaku sehari-hari, mengingat kedudukan mereka sebagai aparat penegak hukum.
Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya, harus tunduk dan patuh pada tugas, fungsi, dan
wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat pokok yang wajib
dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah pelaksanaan tugas yang
berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif maupun kompetensi mutlak.
Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuan
badan tersebut
Selain itu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai abdi
hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan
penuh tanggungjawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan
global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara citra profesi dan
kinerja jaksa serta tidak bermental korup. Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan
pengabdiannya melayani publik dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah
jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama
keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang serta peraturan perundang-undangan.
Permasalahan yang melatar belakangi penelitian ini adalah seharusnya setiap jaksa dapat menjadi
teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, tetapi pada
kenyataannya terdapat oknum jaksa yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya
adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra,
SH., MKn Bin Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Dalam amar
putusannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada Terdakwa selama satu tahun dan
menyatakan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi medis.
Kronologis singkat kasus penyalahgunaan narkotika oleh oknum Jaksa tersebut adalah pada hari
sabtu tanggal 21 Januari 2012 sekira pukul 01.00 WIB dini hari setidak-tidaknya pada bulan
Januari 2012 bertempat di dekat pintu masuk PKOR Jl Sultan Agung Kelurahan Way Halim
Kecamatan Kedaton Bandar Lampung atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih masuk
dalam daerah hokum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, tanpa hak dan melawan
hokum telah memiliki Narkotika Golongan I bukan tanaman. Dalam Putusan tersebut, saksi ahli
yaitu dr. Woro Pramesti, SP. Kj, menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan keadaan
Berdasarkan putusan tersebut maka oknum Jaksa yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika
harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku, berdasarkan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian dalam Skripsi yang berjudul:
Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Studi
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK?
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang
melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang
berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan
narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang
154/Pid.B/2012/PN.TK. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang. Ruang lingkup waktu penelitian adalah pada tahun 2012.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku
penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang
melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang
Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa
sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum
pelanggaran hokum. Selain itu diharapkan hasil penelitian ini berguna bagi berbagai
pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana di
masa-masa yang akan datang.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan
untuk pelaksanaan penelitian hukum4. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak
pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata
lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut
dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada
waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.5
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi menghendaki
dan mengetahui itu, maka dalam hukum pidana terdapat dua teori kesengajaan sebagai berikut:
4
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.72 5
1) Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan
undang-undang
2) Teori pengetahuan (voorstelling)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkan. Teori ini menitikberatkan pada
apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia
akan berbuat.6
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan
pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan
harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun
dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali
kesesatannya itu patut dipersalahkan7
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung
kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).
6
Ibid. hlm. 50 7
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya8
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun jugaculpadipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan
akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri,
perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat
8
dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu
menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.9
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana
tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a).
Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau
hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)10
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya,
sedangkan dalam Ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu
alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3 KUHAP,
maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana.11
2. Konseptual
9
Ibid. hlm. 48 10
Satjipto Rahardjo.Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta. 1998. hlm. 11
11
Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian12.
Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
a. Pertanggungjawaban pidana adalah mekanisme hukum yang menggariskan bahwa setiap
orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai
dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan
mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan.13
b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan
tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum,
yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku14
c. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang (Pasal 1 Angka (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia)
d. Kode etik jaksa adalah serangkaian norma dan etika harus menjadi pedoman bagi seluruh
jaksa di Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas dan fungsi maupun dalam
12
Soerjono Soekanto.Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1983. hlm.74 13
Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 44
14
aktivitas serta perilaku sehari-hari, mengingat kedudukan mereka sebagai aparat penegak
hukum.15
e. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau
melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus
diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum16
f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis
maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan (Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika).
g. Penyalahguna narkotika adalah setiap orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau
melawan hukum (Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika).
E. Sistematika Penulisan
Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan
diuraikan sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan
dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual
serta Sistematika Penulisan.
15
Marwan Effendy,Kejaksaan Republik Indonesia, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. 2007. hlm. 65
16
II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan
penyusunan skripsi yaitu pengertian dan unsur-unsur tindak pidana, pertanggungjawaban
pidana, tindak pidana narkotika dan undang-undang yang mengatur, kode etik jaksa dan
sanksi terhadap jaksa yang melanggar kode etik.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber
Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta
Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian,
terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa
sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dan dasar pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian
serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan
suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis
formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang
siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam
undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah.1
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan
hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai
kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari
segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan2
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur
kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan
pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan
umum.3
1
P.A.F. LamintangDasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.
2
Andi Hamzah.Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. hlm. 22
3
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten)
dan tindak pidana materil(Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana. c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja
(dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal4
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak
pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil,
tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:
4
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.5
B. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan
pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan
harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian.
Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun
dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti
(vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali
kesesatannya itu patut dipersalahkan6
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk
mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana memulihkan keseimbangan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa), Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
5
Ibid. hlm. 30
6
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya7
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi
yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara
keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya
akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan
kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.8
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak
7
Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana,Bina Aksara, Jakarta. 1993. hlm. 46
8
pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan.9
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana
yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana
yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.
Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan
pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab
yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan
adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya
seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari
soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan10
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum
pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat. b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan
kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai
9
Ibid.hlm. 49
10
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat11
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dianalisis bahwa kemampuan bertanggungjawab
merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus
dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup
lama, maka unsur kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali kalau ada
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini,
hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak
diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa
kemampuan bertanggungjawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak
dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang
berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak
dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain,
misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat
dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa
11
tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman12
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah
merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor)
yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan
mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak
mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana
mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum,
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut
mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana
apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai
kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
C. Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Yang Mengatur
12
Tindak pidana narkotika secara umum terbagi menjadi penyalahgunaan dan peredaran gelap
narkotika. Menurut Pasal 1 angka (15) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika, yang dimaksud dengan penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika
tanpa hak atau melawan hukum.
Menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menjelaskan bahwa peredaran adalah setiap atau serangkaian kegiatan penyaluran atau
penyerahan narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun
pemindahtanganan. Pasal 1 angka (6) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menjelaskan bahwa perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka
pembelian dan/atau penjualan, termasuk penawaran untuk menjual narkotika, dan kegiatan lain
berkenaan dengan pemindahtanganan narkotika dengan memperoleh imbalan
Undang-Undang yang mengatur narkotika adalah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Pasal 1 Ayat (1) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, undang-undang ini
bertujuan:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan
pendekatan empiris.
a. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan melalui studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip dan menganalisis teori-teori hukum dan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian.
b. Pendekatan empiris adalah upaya untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari
permasalahan berdasarkan realitas yang ada atau studi kasus1.
B. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian
dengan cara melakukan wawancara dengan responden, untuk mendapatkan data yang
diperlukan dalam penelitian.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data tambahan yang diperoleh dari berbagai sumber hukum yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri
dari:
1
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer bersumber dari:
(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
(3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
(4) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder dapat bersumber dari bahan-bahan hukum yang melengkapi
hukum primer dan peraturan perundang-undangan lain yang sesuai dengan masalah
dalam penelitian ini. Selain itu bahan hukum sekunder berasal dari:
(1) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/JA/07/2007 Tentang
Kode Perilaku Jaksa Putusan
(2) Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat bersumber dari berbagai bahan seperti teori/ pendapat para
ahli dalam berbagai literatur/buku hukum, dokumentasi, kamus hukum dan sumber dari
internet.
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subyek hukum yang memiliki karakteristik tertentu dan
ditetapkan untuk diteliti. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan dan Dosen
Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang masih memiliki ciri-ciri utama dari populasi dan
ditetapkan untuk menjadi responden penelitian. Sampel dalam penelitian ditetapkan dengan
teknik purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbangan dan tujuan penelitian. Berdasarkan pengertian di atas maka yang menjadi responden/sampel dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang
2). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang +
Jumlah = 3 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan prosedur studi kepustakaan dan studi lapangan sebagai
berikut:
Studi kepustakaan adalah prosedur yang dilakukan dengan serangkaian kegiatan seperti
membaca, menelaah dan mengutip dari buku-buku literatur serta melakukan pengkajian
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan permasalahan.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan adalah prosedur yang dilakukan dengan kegiatan wawancara (interview) kepada responden penelitian sebagai usaha mengumpulkan berbagai data dan informasi
yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.
2. Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai
dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai
berikut:
a. Seleksi data, adalah kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui kelengkapan data
selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini.
b. Klasifikasi data, adalah kegiatan penempatan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat
untuk dianalisis lebih lanjut.
c. Penyusunan data, adalah kegiatan menyusun data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sehingga
mempermudah interpretasi data.
Analisis data adalah menguraikan data dalam bentuk kalimat yang tersusun secara sistematis,
jelas dan terperinci yang kemudian diinterpretasikan untuk memperoleh suatu kesimpulan.
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan penarikan
kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal-hal yang bersifat
khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian2.
2
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan
narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor
154/Pid.B/2012/PN.TK, dilaksanakan dengan pemidanaan terhadap Terdakwa
Tesar Esandra yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri.
Pertanggungjawaban pidananya adalah terdakwa dipidana selama satu tahun
dan pidana tersebut dijalani terdakwa untuk segera dalam bentuk rehabilitasi
medis. Pertanggungjawaban pidana tersebut didasarkan pada adanya unsur
kesengajaan oleh pelaku (dolus), yaitu pelaku mengetahui bahwa perbuatannya menyalahgunakan narkotika dilarang oleh undang-undang,
tetapi ia tetap melakukan perbuatan tersebut, sehingga tidak ada alasan
pembenar maupun pemaaf baginya untuk terhindar dari pemidanaan.
2. Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri
Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183
KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus
31
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah
yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah
yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat;
(d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah
diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis
pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu
perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus
sebagai aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa
mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam
persidangan dan belum pernah dihukum.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap
pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan
kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku
menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat
yang lain agar tidak melakukan tindak pidana.
2. Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya
lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah
direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)
(Skripsi)
Oleh
RIFKI APRIANSYAH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)
Oleh
RIFKI APRIANSYAH
Setiap jaksa dapat menjadi teladan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan penyalahgunaan narkotika, tetapi pada kenyataannya terdapat oknum jaksa yang terbukti menyalahgunakan narkotika. Salah satunya adalah sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa Terdakwa Tesar Esandra, SH., MKn Bin Novandra yang berstatus sebagai Jaksa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I untuk diri sendiri. Jaksa yang menjadi pelaku penyalahgunaan narkotika harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan hukum yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap jaksa sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap jaksa yang melakukan penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK?
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh kesimpulan penelitian.
Rifki Apriansyah
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. (2) Dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK adalah kententuan Pasal 183 KUHAP, yaitu hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Pasal 184 KUHP menyebutkan alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d). Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa, atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan. Selain itu dasar non yuridis pertimbangan hakim lainnya adalah hal-hal yang memberatkan, yaitu perbuatan terdakwa dapat merusak generasi bangsa dan terdakwa berstatus sebagai aparat penegak hukum. Hal-hal yang meringankan yaitu terdakwa mengakui dan menyesali atas segala perbuatannya, terdakwa sopan dalam persidangan dan belum pernah dihukum.
Berdasarkan penelitian maka saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pada masa mendatang hendaknya pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika berorientasi pada pembinaan kepada pelaku, yaitu menitikberatkan pada bagaimanamengembalikan pelaku menjadi pihak yang tidak akan mengulangi tindak pidana dan juga masyarakat yang lain agar tidak melakukan tindak pidana. (2) Pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna (bukan pengedar) hendaknya lebih mempertimbangkan aspek rehabilitasi agar pencandu tersebut setelah direhabilitas akan dapat kembali dan diterima dalam kehidupan masyarakat secara baik serta tidak mengulangi perbuatannya di kemudian hari.
DAFTAR ISI
I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8
E. Sistematika Penulisan ... 14
II TINJAUAN PUSTAKA ... 16
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana... 16
B. Pertanggungjawaban Pidana ... 18
C. Tindak Pidana Narkotika dan Undang-Undang Yang Mengatur ... 23
III METODE PENELITIAN... 25
A. Pendekatan Masalah... 25
B. Sumber dan Jenis Data ... 25
C. Penentuan Populasi dan Sampel... 27
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 28
E. Analisis Data ... 29
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 30
A. Karakteristik Responden ... 30
B. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Jaksa Sebagai Pelaku Penyalahgunaan Narkotika (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK) ... 31
V PENUTUP... 70 A. Kesimpulan ... 70
B. Saran... 71
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Badra Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Effendy, Marwan.2007.Kejaksaan Republik Indonesia Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar - Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti. Bandung.
Lastarya, Dharana. 2006.Narkoba, Perlukah Mengenalnya. Pakarkarya. Jakarta. Mappaseng, Erwin. 2002. Pemberantasan dan Pencegahan Narkoba yang Dilakukan oleh Polri dalam Aspek Hukum dan Pelaksanaannya. FHUI. Jakarta.
Moeljatno, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana.Bina Aksara, Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana.Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang - Undang Nomor 73 Tahun
1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang - Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:Per-067/A/JA/07/2007 Tentang
Tentang Kode Perilaku Jaksa Putusan
Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK