• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Cmip5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) Dalam Memproyeksikan Iklim Pada Wilayah Tropis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Performa Cmip5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) Dalam Memproyeksikan Iklim Pada Wilayah Tropis"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

PERFORMA CMIP5 (

COUPLED MODEL INTERCOMPARISON

PROJECT PHASE 5

) DALAM MEMPROYEKSIKAN IKLIM

PADA WILAYAH TROPIS

ANIS PURWANINGSIH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Performa CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) dalam Memproyeksikan Iklim pada Wilayah Tropis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Anis Purwaningsih

(4)
(5)

ABSTRAK

ANIS PURWANINGSIH. Performa CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) dalam Memproyeksikan Iklim pada Wilayah Tropis. Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT.

Kemampuan model BCC-CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR (dalam Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) dalam memproyeksikan parameter curah hujan, suhu udara dan suhu permukaan laut di Tropis dianalisis dengan indikator klimatologi, bias dan Root Mean Square Error (RMSE). Pola dominan curah hujan dan suhu udara pada ketiga model tersebut dianalisis dengan

Empirical Orthogonal Function (EOF). Pola dominan (EOF1) suhu udara pada ketiga model mengikuti EOF1 reanalisis. EOF1 curah hujan ketiga model menyerupai EOF1 observasi dengan wilayah utara ekuator didominasi anomali positif dan selatan ekuator anomali negatif, namun pada beberapa wilayah polanya tidak menyerupai GPCP. Klimatologi model menunjukkan suhu udara, curah hujan dan suhu permukaan laut memiliki nilai tinggi di selatan ekuator saat Desember-Januari-Februari (DJF) dan berpindah ke utara saat Juni-Juli-Agustus (JJA). Bias suhu udara tertinggi terjadi pada model MPI-ESM-LR di Afrika (berkisar 6oC pada DJF dan JJA). Ketiga model dapat menangkap pola ITCZ. RMSE dan bias curah hujan tertinggi (> 9 dan 5 mm/hari) terjadi di Pasifik Barat pada model BCC-CSM1.1 (bulan DJF) dan IPSL-CM5A-LR (bulan JJA). RMSE curah hujan Indonesia (> 9 mm/hari) pada model BCC-CSM1.1 terjadi di Papua dan Kalimantan, MPI-ESM-LR di Sumatera, Jawa dan Nusa Tenggara serta IPSL-CM5A di Sumatera. RMSE tertinggi suhu permukaan laut (lebih dari 2oC) terjadi di Pasifik Timur.

(6)

ABSTRACT

ANIS PURWANINGSIH. Performance of CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) on Projecting Climate in The Tropical Area. Supervised by RAHMAT HIDAYAT.

Skill of BCC-CSM1.1, MPI-ESM-LR and IPSL-CM5A-LR (Coupled Model Intercomparison Project Phase 5) on projecting precipitation, air temperature and sea surface temperature (SST) in Tropical region are analyzed. Dominant mode of precipitation and air temperature are analyzed using Empirical Orthogonal Functions (EOF). Dominant mode (EOF1) of all models for air temperature are similar with the mode of reanalysis. In general, EOF1 of all models for precipitation are similar with mode of the observation which are dominated by positive (negative) anomaly in northern (southern) equator. Climatology of precipitation, air temperature and sea surface temperature show that high value are located in southern equator during December-January-February (DJF) and shifted to the north during June-July-August (JJA). The highest air temperature bias is located in Africa (around 6oC in DJF and JJA) for MPI-ESM-LR. All models capture the ITCZ signal. The highest RMSE and bias of precipitation ( > 9 and 5 mm/day) are located in western Pacific in BCC-CSM1.1 (DJF) and IPSL-CM5A-LR (JJA). BCC-BCC-CSM1.1 has high RMSE (> 9 mm/day) in projecting precipitation in Papua and Borneo, while MPI-ESM-LR in Sumatra, Java, Nusa Tenggara and IPSL-CM5A-LR in Sumatra. The highest RMSE for SST (more than 2oC) is located in the eastern Pacific.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

PERFORMA CMIP5 (

COUPLED MODEL INTERCOMPARISON

PROJECT PHASE 5)

DALAM MEMPROYEKSIKAN IKLIM PADA

WILAYAH TROPIS

ANIS PURWANINGSIH

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji syukur saya panjatkan kehadirat kepada Allah subhanahu wa ta’ala

atas segala karunia-Nya sehingga diberikan kesempatan dan kesehatan untuk dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Tujuan penulisan karya ilmiah ini untuk memenuhi syarat melaksanakan tugas akhir pada Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Performa CMIP5 (Coupled Model Intercomparison Phase 5) dalam Memproyeksikan Iklim pada Wilayah Tropis”.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Dr Rahmat Hidayat selaku pembimbing skripsi atas ilmu, arahan dan kesabaran dalam membimbing penulis,

2. Dosen Pembimbing Akademik (Prof. Hidayat Pawitan), seluruh dosen dan staff departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah banyak membantu selama perkuliahan,

3. Kak Andi S Mutaqin, Bapak Wido Hanggoro, atas ilmu dalam pengolahan data,

4. Bapak Suparno, Ibu Darni, dan adek-adek (Adi, Dinda, Ino dan Ito) atas doa, dukungan dan kasih sayangnya,

5. Keluarga GFM angkatan 48 atas doa dan motivasi,

6. Alfi Wardah Farihah, Derri Haryoni Febri, Gigih Bangun Wicaksono, Nihayatuz Zulfa, Nurhayati dan Rumah Apel (Prista, Fiti, Endang, Anis F, Anistya, dan Mbak Zahra) atas diskusi, bantuan, semangat, dukungan dan persahabatan

7. Serta semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu atas semua dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) 2

Model BCC_CSM1.1 3

Model MPI-ESM-LR 4

Model IPSL-CM5A-LR 4

METODE PENELITIAN 4

Waktu dan Tempat Penelitian 4

Alat dan Data 5

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Analisis pola dominan suhu udara 8

Analisis pola dominan curah hujan 9

Klimatologi dan standar deviasi suhu udara musiman wilayah Tropis 11 Bias dan RMSE suhu udara wilayah Tropis Bulan DJF 13 Bias dan RMSE suhu udara wilayah Tropis Bulan JJA 16 Klimatologi dan standar deviasi curah hujan musiman wilayah Tropis 18 Bias dan RMSE curah hujan wilayah Tropis bulan DJF 20 Bias dan RMSE curah hujan wilayah Tropis bulan JJA 22 Klimatologi dan standar deviasi suhu permukaan laut wilayah Tropis 25 Bias dan RMSE suhu permukaan laut (SPL) wilayah Tropis bulan DJF 27 Bias dan RMSE suhu permukaan laut (SPL) wilayah Tropis bulan JJA 28 Klimatologi dan standar deviasi curah hujan musiman wilayah Indonesia 28 Bias dan RMSE curah hujan wilayah Indonesia bulan DJF 30 Bias dan RMSE curah hujan wilayah Indonesia bulan JJA 32

SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 33

Saran 34

(14)

DAFTAR TABEL

1 Perbedaan integrasi long-term dan short-term pada desain eksperimen

CMIP5 3

2 Nama, parameter dan resolusi model 5

3 Nama, parameter dan resolusi data observasi 5

4 Pembagian wilayah untuk penentuan bias wilayah 7

DAFTAR GAMBAR

1 Matriks F untuk analisis Empirical Orthogonal Functions (EOF) 6 2 Pola EOF1 suhu udara hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR 8

3 Pola EOF2 suhu udara hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR 9

4 Pola EOF1 curah hujan hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR 9

5 Pola EOF2 curah hujan hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR 10

6 Klimatologi suhu udara bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR 11

7 Standar deviasi suhu udara bulan (1) DJF dan (3) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR 13

8 Bias (1) dan RMSE (2) suhu udara terhadap NCEP pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 14

9 Bias suhu udara pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1,

MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR 15

10 Bias (1) dan RMSE (2) suhu udara terhadap NCEP pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 16

11 Bias suhu udara pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1,

MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR 17

12 Klimatologi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR 18

13 Standar deviasi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c)

(15)

14 Bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap GPCP pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 21

15 Bias curah hujan pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1,

MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR 22

16 Bias(1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap GPCP pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 23

17 Bias curah hujan pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1,

MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR 24

18 Klimatologi suhu permukaan laut bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) ERSST, (b) BCC_CSM1.1,

(c) IPSL-CM5A-LR 25

19 Standar deviasi suhu permukaan laut bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) ERSST, (b) BCC_CSM1.1,

(c) IPSL-CM5A-LR 26

20 Bias (1) dan RMSE (2) suhu permukaan laut terhadap ERSST pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a)

BCC_CSM1.1, (b) IPSL-CM5A-LR 27

21 Bias (1) dan RMSE (2) suhu permukaan laut terhadap ERSST pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a)

BCC_CSM1.1, (b) IPSL-CM5A-LR 28

22 Klimatologi curah hujan musiman bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) CRU, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR 29

23 Standar deviasi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) CRU, (b) BCC_CSM1.1, (c)

MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR 30

24 Bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap CRU pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 31

25 Bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap CRU pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b)

MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR 32

DAFTAR LAMPIRAN

1 Scripting language untuk klimatologi musiman (bulan JJA) curah

hujan wilayah tropis 37

2 Scripting language untuk standar deviasi musiman (bulan JJA) suhu

udara IPSL 38

3 Scripting language untuk bias musiman (bulan JJA) curah hujan 40 4 Scripting language untuk RMSE musiman (bulan JJA) curah hujan

(16)

5 Grafik Principal Component untuk EOF pada suhu udara GPCP 44 6 Grafik Principal Component untuk EOF pada suhu udara NCEP 45

7 Grafik proporsi EOF pada suhu udara GPCP 46

(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Model iklim telah berkembang dengan berbagai integrasi komponen lautan, atmosfer, daratan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (coupled model). Terkait dengan pengembangan model iklim tersebut, Working Group on Coupled Modelling (WGCM) telah mengembangkan Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5) yang merupakan rangkaian eksperimen model iklim yang terkoordinasi. Terdapat lebih dari tiga puluh model didalamnya yang telah dikembangkan oleh dua puluh grup pemodelan iklim.

Secara garis besar, eksperimen dalam CMIP5 terbagi menjadi dua tipe eksperimen. Salah satunya adalah long-term integration yang mencangkup skala waktu 100 tahunan. Tipe lainnya adalah short-term integration, atau biasa disebut eksperimen dekadal, yang mencangkup skala waktu 10-30 tahunan. Keluaran dari tipe eksperimen dekadal ini masih dalam tahap pengembangan (Taylor et al. 2011), sehingga perlu adanya koreksi/pengujian terhadap model iklim dengan eksperimen dekadal.

Model iklim dalam CMIP5 yang mengembangkan eksperimen dekadal diantaranya adalah BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR. Ketiga model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berdasarkan penelitian Xin et al. (2013) model BCC_CSM1.1 overestimate terhadap pemanasan global dan underestimate terhadap amplitudo pemanasan di wilayah Cina. MPI-ESM-LR mampu menampilkan secara signifikan variabilitas internal Maden Julian Oscilation (MJO) baik inter-annual maupun inter-dekadal, namun tidak mampu menampilkan variabilitas iklim dalam skala waktu yang lebih lama (Schubert et al. 2013). IPSL-CM5A-LR mampu menangkap sinyal South Pacific Convergence Zone (SPZC) yang ditandai dengan perubahan curah hujan di Pasifik Ekuator bagian barat dengan adanya pertanda dua Intertropical Convergence Zone

(ITCZ) (Dufresne et.al 2013). Secara umum model-model tersebut mempunyai kemampuan (skill) berbeda-beda dalam memproyeksikan iklim di suatu wilayah, sehingga perlu dilakukan uji skill setiap model pada wilayah yang spesifik.

Wilayah tropis dipilih menjadi wilayah kajian dalam menguji kemampuan (skill) setiap model karena wilayah tropis memiliki kompleksitas iklim dan cuaca. Kompleksitas iklim di wilayah ini diantaranya adalah terbentuknya klaster awan yang mengalami pergerakan semu sepanjang tahun di wilayah tropis yang disebut

Intertropical Convergence Zone (ITCZ) dan di wilayah Pasifik yaitu South-Pacific Convergence Zone (SPCZ). Selain itu kompleksitas iklim dan cuaca yang terjadi didalamnya memiliki pengaruh terhadap iklim di luar wilayah tropis bahkan berpengaruh pula pada iklim global.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;

(18)

2

2 Menganalisis keluaran model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR dalam memproyeksikan curah hujan pada wilayah Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

Wilayah Tropis

Wilayah tropis terletak di ekuator, tepatnya di antara 23.5oLU – 23.5oLS yang merupakan batasan posisi terjauh pergerakan semu matahari sepanjang tahun. Posisi ini menyebabkan wilayah tropis menerima radiasi matahari secara terus menerus sepanjang tahun. Penerimaan radiasi sepanjang tahun menyebabkan dinamika cuaca yang terjadi lebih tinggi dibanding wilayah sub tropis maupun kutub, karena radiasi merupakan energi utama terjadinya proses-proses dinamika atmosfer di bumi. Pada wilayah lautan tropis, pemanasan oleh radiasi matahari menyebabkan adanya pengangkatan masa udara yang mengandung air sehingga terbentuklah awan. Zona pembentukan klaster awan di sepanjang wilayah tropis ini disebut dengan Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Pada wilayah Pasifik ekuator dikenal istilah South Pacific Convergence Zone (SPCZ) yang merupakan bagian dari lintasan ITCZ. SPCZ merupakan lintasan tetap yang terjadi sepanjang tahun, sehingga pada bulan-bulan tertentu pada wilayah pasifik seperti terbentuk dua lintasan gugusan awan.

Coupled Model Intercomparison Project Phase 5 (CMIP5)

Coupled Model Intercomparison Project (CMIP) merupakan rangkaian model dengan eksperimen-eksperimen iklim yang terkoordinasi di dalamnya. CMIP dikembangkan oleh Working Group on Coupled Modelling (WCGM) dalam programnya World Climate Research Programme (WCRP). Pengembangan CMIP sekarang ini sudah sampai pada CMIP5, yaitu fase ke-5 dari CMIP.

Simulasi iklim CMIP5 fokus pada perbedaanpemahaman perubahan iklim masa lalu dan masa yang akan datang. CMIP5 menyediakan konteks multimodel untuk menaksir mekanisme yang dapat dipertanggungjawabkan pada model yang berbeda-beda (diasosiasikan dengan siklus karbon dan awan). Selain itu juga memeriksa kemampuan prediksi iklim, mengembangkan kemampuan prediksi/forecast pada skala dekadal dan juga menentukan alasan perbedaan respon pada model-model yang berkarakter serupa (Taylor et al. 2011).

CMIP5 mengevaluasi model lebih detail karena sudah dilakukan perbaikan simulasi historis, simulasi paleoklimat dan pengembangan keluaran model. Hal ini memungkinkan CMIP5 dapat digunakan untuk pengembangan dan penelitian terkait dampak perubahan iklim dan isu kebijakan yang relevan untuk masyarakat.

Desain eksperimen CMIP5 terdiri dari integrasi long-term (skala waktu abad) dan integrasi near-term (10–30 tahun, biasa disebut dengan decadal prediction experiments). Kedua eksperimen ini terintegrasi dengan menggunakan

(19)

3 menggunakan Earth System Models of Intermediate Complexity (EMIC). Secara garis besar berikut perbedaan antara integrasi long-term dan short-term:

Tabel 1 Perbedaan integrasi long-term dan short-term pada desain eksperimen CMIP5 (Taylor et al. 2011)

Long Term Short Term (decadal experiment)

Dimulai dari integrasi kodisi quasi

equilibrium (kontrol antar-abad

sebelum era industri)

Diinisialisasi dengan observasi

kondisi laut dan sea ice

Dibangun langsung dengan

eksperimen CMIP3 dengan

menambahkan pemahaman yang lebih mendalam terkait perubahan dan variabilitas iklim.

Seluruhnya merupakan penambahan baru dalam CMIP5, sehingga lebih mempertimbangkan pengembangan.

Menyediakan proyeksi respon iklim buatan terhadap perubahan komposisi atmosfer dan tutupan lahan.

Perubahan iklim akan disamarkan beberapa derajat oleh variabilitas

alami dan juga oleh

ketidaksengajaan yang diharapkan sesuai dengan observasi.

Tidak hanya merespon tetapi juga berpotensi untuk melacak sampai berapa derajat trayek perubahan iklim yang sebenarnya termasuk komponen alam yang mempengaruhi evolusi

iklim (unforced component).

Model BCC_CSM1.1

Beijing Climate Center-Climate System Model 1.1 (BCC_CSM1.1) merupakan model iklim yang dikembangkan oleh institusi Beijing Climate Center

(BCC), China Meteorological Administration (CMA). Model ini merupakan model gabungan (coupled) antara iklim-karbon secara global yang didalamnya terdapat interaksi antara vegetasi dan siklus karbon global. Model dibangun dengan perpaduan komponen atmosfer BCC_AGCM 2.1 (Wu 2012), komponen lautan MOM4_L40 (Griffies 2005 dan Murray 1996), komponen daratan BCC_ AV1M1.0 (Ji 1995), dan komponen sea ice SIS (Hunke dan Dukowicz 1997 dan Winton 2000). Komponen model daratan dan lautan yang digunakan ini berasal dari GFDL (Geophysical Fluid Dynamics Laboratory). Penyusun komponen daratan terdiri dari modul biogeofisika, ekofisiologi, dan dinamika karbon-nitrogen di dalam tanah. Gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, CFC11 dan CFC12),

(20)

4

dengan interval waktu bulanan dari Simple Ocean Data Assimilation (SODA) dan dibangkitkan menjadi interval waktu harian. Berdasarkan penelitian Xin et al.

(2013) model BCC_CSM1.1 overestimate terhadap pemanasan global dan

underestimate terhadap amplitudo pemanasan di wilayah Cina.

Model MPI-ESM-LR

Max Planck Institute Earth System Model Low Resolution (MPI-ESM-LR) merupakan model iklim yang dikembangkan oleh Max Planck Institute for Meteorology. MPI-ESM terdiri dari komponen model atmosfer ECHAM6 (Stevens et al. 2012), model daratan-vegetasi JSBACH (Raddatz et al. 2007 dan Roeckner et al. 2003), dan model lautan MPIOM GCM (Marsland et al. 2003) yang didalamnya juga terdapat model biogeokimia lautan HAMOCC. Model ini mampu menampilkan secara signifikan variabilitas internal Maden Julian Oscilation (MJO) baik inter-annual maupun inter-dekadal, namun tidak mampu menampilkan fakta-fakta yang signifikan untuk variabilitas dalam skala waktu yang lebih lama (Schubert et al. 2013). Model ini juga mampu mensimulasikan periode dan keberadaan vertikal dari Quasi Bineal Oscillation (QBO) di stratosfer wilayah tropis (Krismer et al. 2013). Pada wilayah Pasifik Tropis model ini memiliki skill negatif ( Muller et al. 2012).

Model IPSL-CM5A-LR

Institute Pierre Simon Laplace Coupled Model 5A Low Resolution (IPSL-CM5A-LR) merupakan model iklim yang dikembangkan oleh IPSL Climate Modelling Centre (ICMC) yang merupakan bagian dari Institute Pierre Simon Laplace. Model ini merupakan pengembangan dari IPSL-CM4 yang terdapat dalam CMIP3 (fase ke-3 dari CMIP). Terdapat IPSL-CM5B pula yang memiliki rangkaian parameterisasi fisik atmosfer yang berbeda dengan IPSL-CM5A. Model iklim IPSL-CM5A-LR ini mengintegrasikan beberapa komponen, yaitu model atmosfer LMDz5A (Jourdain et al. 2008), model lautan, biokimia lautan dan sea-ice NEMOv3.2 (Mignot et al. 2013), model permukaan daratan dan vegetasi ORCHIDEE, model kimia atmosfer INCA (Szopa et al. 2012) dan OASIS (Coupled). Berdasarkan Dufresne et al. (2013), model ini mampu menangkap sinyal SPZC dan SACZ yang ditandai dengan perubahan curah hujan di wilayah barat Pasifik ekuator dengan pertanda adanya dua ITCZ. Perubahan curah hujan yang disimulasikan sangat kecil di wilayah pasifik ekuator jika dibanding dengan IPSL-CM5B-LR (Dufresne et al. 2013).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

(21)

5 Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Februari hingga Mei 2015.

Alat dan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat personal komputer/laptop dengan software Microsoft Office, Grid Analysis and Display System (GrADS), Climate Data Operators (CDO) dan MATLAB R2012a (7.14.0.739).

Data yang digunakan dalam penelitian (terdapat dalam tabel 2) meliputi data curah hujan (CH), suhu udara (TA) dan suhu permukaan laut (SPL) bulanan hasil keluaran model di dalam CMIP5, dengan eksperimen dekadal 1980 (keluaran dari Januari 1981 sampai dengan Desember 2010). Data curah hujan dan suhu tersebut kemudian diseleksi menggunakan GrADS pada wilayah 20o LU

– 20o LS dan 180o BT – 180o BB untuk kajian wilayah tropis dan 6o LU - 11o LS dan 95oBT – 141o BT untuk kajian wilayah Indonesia.

Tabel 2 Nama dan resolusi model

Model Resolusi

BCC_CSM1.1 2.8o x 2.8o, L26

MPI-ESM-LR 1.9o x 1.9o, L47

IPSL-CM5A-LR 1.9o x 3.75o, L31

Sebagai pembanding model, digunakan data-data di dalam tabel 3 berikut, dengan skala waktu bulanan mulai dari tahun 1981-2010.

Tabel 3 Nama, parameter dan resolusi data observasi

Observasi Parameter Resolusi

GPCP v2.2

(22)

6

merupakan kombinasi lintang dan bujur pada masing-masing data. Matriks F pada masng-masing parameter memiliki ukuran (waktu, lintang*bujur).

Gambar 1 Matriks F untuk analisis Empirical Orthogonal Functions (EOF) (Bjorrnson dan Venegas 1997)

Setelah proses penyusunan matriks, dilakukan perhitungan nilai anomali dengan menghilangkan rata-rata tiap time series. Matriks hasil perhitungan tersebut dilambangkan dengan maktriks G. Setelah itu dilakukan perhitungan nilai kovarian dengan rumus (1). Melalui nilai kovarian bisa diselesaikan permasalahan

eigenvalue dengan rumus (2). Symbol λ merupakan matriks diagonal yang mengandung eigenvalue λi dari R (kovarian). Vektor kolom C (disebut

c

i) merupakan eigenvectors dari R yang berkoresponden dengan nilai eigenvalue λi.

Setiap masing-masing eigenvalue berkorespondensi dengan eigenvectors

c

i, masing-masing eigenvector ini bisa ditampilkan kedalam satu peta. Eigenvector tersebut merupakan EOF yang dimaksud, dimana EOF 1 merupakan eigenvector

nilai yang paling dominan atau memiliki eigenvalue terbesar.

R = GT G ……….(1)

RC = λC ……….(2)

Kuantifikasi dilakukan dengan menghitung rata-rata musiman, standar deviasi musiman, nilai bias dan root mean squared error (RMSE). Kuantifikasi dilakukan pada musim Desember-Januari-Februari (DJF) dan Juni-Juli-Agustus (JJA). Nilai rata-rata musiman, standar deviasi, bias dan RMSE didapat melalui rumus berikut:

µy =∑ ��� ……….(3)

µŷ =∑ ŷ�� ……….(5)

Satu peta untuk waktu t=1

(23)

7 σ� = √∑�

�= ���− µy ……….(6)

σŷ = √∑�

�= ŷ��− µŷ ……….(7)

� � = ŷi − yi ……….(8)

� � = √∑� ��−ŷ�

�= ……….(9)

keterangan:

yi : nilai observasi (NCEP, GPCP, ERSST dan CRU)

ŷi : nilai model

N : jumlah tahun (30 tahun) µy : rata-rata observasi

µŷ : rata-rata model

σy : standart deviasi observasi

σŷ : standart deviasi model

Perhitungan bias juga dilakukan pada wilayah yang spesifik dengan menghitung selisih antara model dan observasi pada cakupan wilayah. Wilayah Afrika, Hindia, Indonesia, Pasifik dan Amerika dipilih menjadi wilayah yang merepresentasikan lautan dan daratan. Lokasi bujur dan lintang yang diseleksi dari masing-masing wilayah dijelaskan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 4 Pembagian wilayah untuk penentuan nilai bias rata-rata wilayah

Wilayah Lintang Bujur

Afrika 5 LU – 5 LS 19 – 41 BT

Samudra Hindia 5 LU – 5 LS 79 – 101 BT

Indonesia 6 LU – 11 LS 94 - 142 BT

Samudra Pasifik 5 – 10 LS 150 BT – 120 BB

(24)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis pola dominan suhu udara

Pola suhu udara ditentukan dengan metode Empirical Orthogonal Function yang menghasilkan beberapa pola (EOF1, EOF2 dan seterusnya), dimana tiap pola tersebut tidak saling berkaitan dengan pola yang lain. Pola dominan suhu udara ditunjukkan melalui pola Empirical Orthogonal Function 1 (EOF1) yang merepresentasikan kondisi pola suhu udara bulanan selama 30 tahun dengan proporsi/presentase paling besar dibandingkan EOF2 dan EOF3.

Pola EOF1 hasil NCEP (gambar 2-a) menunjukkan adanya anomali positif dan negatif pada wilayah utara dan selatan ekuator. Pola ini menjelaskan 64.1% dari pola suhu udara NCEP. Berdasarkan pola EOF1, secara umum model memiliki pola yang serupa dengan EOF1 NCEP. Model BCC_CSM1.1 pada pola EOF1 (gambar 2-b) menunjukkan 74.1% dari keragaman suhu udara model. Hasil EOF1 model MPI-ESM-LR (gambar 2-c) menjelaskan 69% pola suhu udara model dan model IPSL-CM5A-LR (gambar 2-d) menjelaskan 71.4%. Ketiga model memiliki pola yang berbeda dengan NCEP pada lintang tinggi dan juga ekuator, namun secara umum proporsi EOF1 masing-masing model memiliki nilai yang masih berada dalam kisaran EOF1 NCEP.

Gambar 2 Pola EOF1 suhu udara hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR

EOF2 merupakan pola lain yang tidak berkaitan dengan EOF1 dan merepresentasikan kondisi suhu udara selama 30 tahun dengan presentase/proporsi yang lebih kecil dibandingkan dengan EOF1. Persentase masing-masing EOF2 pada ketiga model memiliki nilai yang berbeda dengan persentase EOF2 NCEP. EOF2 NCEP (gambar 3-a) menjelaskan 28.8% dari pola suhu udara NCEP. Pola EOF2 model BCC-CSM1.1 menjelaskan 19.8% , EOF2 model MPI-ESM-LR menjelaskan 21.9% dan EOF2 model IPSL-CM5A-LR

a

b

c

d

0.05

(25)

9 menjelaskan 21.1% dari pola suhu udara yang dihasilkan masing-masing model. Pola EOF2 yang terbentuk pada model BCC-CSM1.1 menyerupai NCEP pada wilayah Atlantik dan Pasifik Barat (dekat Filipina). EOF2 MPI-ESM-LR menyerupai NCEP pada wilayah Hindia dan Pasifik Timur. Pola yang dibentuk IPSL-CM5A-LR pada EOF2 memiliki kontur yang berbeda dengan NCEP.

Gambar 3 Pola EOF2 suhu udara hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR

Analisis pola dominan curah hujan

Gambar 4 Pola EOF1 curah hujan hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR

a

b

c

d a

b

c

d

-0.05 0.05

0

(26)

10

Pola dominan curah hujan wilayah tropis berdasarkan hasil GPCP pada EOF1 (gambar 4-a) dapat mewakili 70.7% dari pola curah hujan GPCP. Pola EOF1 menunjukkan adanya anomali positif dan negatif curah hujan pada wilayah utara dan selatan ekuator. Wilayah dengan anomali positif menunjukkan curah hujan pada wilayah tersebut lebih dari rata-rata sedangkan anomali negatif menunjukkan curah hujan dibawah rata-rata. Secara umum model BCC-CSM-1.1 memiliki pola EOF1 (gambar 4-b) yang menyerupai EOF1 GPCP (utara ekuator dominan anomali positif dan selatan ekuator anomali negatif), namun terdapat wilayah-wilayah yang anomalinya tidak menyerupai pola GPCP. Wilayah tersebut misalnya Amerika, Pasifik bagian barat, Afrika dan beberapa wilayah lain yang ditunjukkan oleh perbedaan nilai anomali. Model BCC-CSM1.1 menangkap pola ini sebagai pola dominan (66.9%).

Model MPI-ESM-LR pada EOF1 merepresentasikan 75.3% dari curah hujan yang dihasilkan model. Model IPSL-CM5A-LR pada EOF1 merepresentasikan 70.5% dari curah hujan yang dihasilkan model. Sama halnya dengan BCC-CSM1.1, EOF1 hasil model MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR secara umum menyerupai EOF1 (pergantian anomali positif dan negatif pada utara-selatan ekuator) namun tidak memiliki pola yang sesuai pada wilayah-wilayah tertentu.

Gambar 5 Pola EOF2 curah hujan hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR dan (d) IPSL-CM5A-LR

EOF2 (gambar 5-a) menunjukkan 20.1% dari pola curah hujan GPCP. Pola yang dihasilkan pada EOF2 menunjukkan pada wilayah ekuator tepatnya pada Pasifik tengah sampai bagian timur, Amerika dan Atlantik memiliki anomali yang berkebalikan dengan wilayah lainnya.

Pola EOF2 masing-masing model tidak menyerupai pola EOF2 GPCP, namun nilai presentasenya masih berada dalam angka kisaran EOF2 GPCP. Model BCC-CSM1.1 (gambar 5-b) merepresentasikan 23.2% pola model. Model

(27)

11 MPI-ESM-LR pada EOF2 merepresentasikan 15.5% dari pola curah hujan yang dihasilkan model. Model IPSL-CM5A-LR pada EOF2 merepresentasikan 18% dari pola model keseluruhan.

Klimatologi dan standar deviasi suhu udara musiman wilayah Tropis

Gambar 6 Klimatologi suhu udara bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

(2) (1)

a

b

c

d

a

b

c

(28)

12

Sebaran suhu udara di wilayah tropis dipengaruhi oleh posisi matahari di sepanjang tahun. Hasil suhu udara NCEP pada bulan Desember-Januari-Februari (gambar 6-1-a) menunjukkan suhu udara tinggi didominasi di wilayah selatan ekuator. Suhu udara rata-rata tertinggi (lebih dari 28 oC) terletak pada wilayah Australia tropis, perairan antara Australia-Indonesia, Pasifik ekuator bagian barat di sekitar pulau Solomon dan beberapa titik di Afrika. Nilai suhu udara rata-rata DJF terendah (kurang dari 18 oC) berdasarkan hasil NCEP terletak pada wilayah Sahara, pantai barat Amerika Selatan, Algeria, Libya, dan negara disekitarnya. Posisi matahari pada saat bulan JJA bergerak menuju utara menjauhi garis katulistiwa. Pada saat ini, suhu udara NCEP (gambar 6-2-a) menunjukkan adanya pergeseran wilayah dengan suhu tinggi menuju ke utara ekuator hingga lintang 23.5oLU. Sebaran suhu tertinggi pada bulan JJA mencangkup wilayah yang lebih banyak dibanding pada bulan DJF (kondisi matahari di sebelah selatan ekuator), karena wilayah daratan yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menerima panas, lebih banyak terdapat di utara ekuator. Suhu tertinggi pada bulan JJA terjadi di Afrika lintang 10-20 oLU (Sahara dan sekitarnya), samudra Hindia yang terletak diantara India dan Asia, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur memiliki suhu udara yang lebih tinggi pula. Suhu udara paling rendah berada di pantai barat Amerika selatan dan Afrika tropis bagian selatan.

Berdasarkan pola sebaran rata-rata suhu udara musiman, model BCC_CSM1.1 memiliki pola sebaran yang paling menyerupai NCEP (gambar 6-1-b dan 6-2-b). Hal ini terlihat dari sebaran pada wilayah Afrika, Hindia dan Pasifik baik pada bulan DJF maupun JJA. Selain itu diperkuat dengan pola sebaran standar deviasi model yang juga menyerupai hasil NCEP (gambar 7-1-b dan 7-2-b). Pola yang berbeda pada model ini ditunjukkan pada wilayah Amerika baik rata-rata klimatologi, maupun standar deviasi model.

Model IPSL-CM5A-LR pada bulan JJA memiliki pola sebaran rata-rata suhu udara yang lebih menyerupai NCEP dibanding dengan bulan DJF. Wilayah dengan pola suhu udara yang menyerupai NCEP pada bulan JJA yaitu Afrika tropis bagian Utara, Hindia, dan Pasifik Timur. Standar deviasi pada wilayah tersebut juga menyerupai pola standar deviasi NCEP pada bulan JJA.

(29)

13

Gambar 7 Standar deviasi suhu udara bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) NCEP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

Bias dan RMSE suhu udara wilayah Tropis Bulan DJF

Bias suhu udara merupakan hasil selisih model dengan NCEP. Nilai bias negatif menunjukkan model underestimate terhadap NCEP sedangkan bias positif menunjukkan model overestimate terhadap NCEP. Nilai RMSE menunjukkan tingkat eror model terhadap NCEP. Nilai RMSE semakin tinggi menunjukkan tingkat eror model terhadap NCEP semakin tinggi. Hasil bias secara umum

(1)

(2)

a

b

c

d

a

b

c

(30)

14

menunjukkan bahwa model cenderung overestimate di wilayah daratan dan cenderung underestimate di wilayah lautan.

Gambar 8 Bias (1) dan RMSE (2) suhu udara terhadap NCEP pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

BCC_CSM1.1 menunjukkan wilayah sepanjang Samudra Hindia hingga Pasifik bagian barat dan Atlantik memiliki kesesuaian ditunjukkan dengan bias kecil yaitu antara -1oC sampai dengan 1oC (gambar 8-1-a) dan nilai RMSE rendah, yaitu 0-1oC (gambar 8-2-a). BCC_CSM1.1 memiliki tingkat eror tinggi (lebih dari 4oC) pada beberapa titik di Afrika bagian utara ekuator, pantai barat dan bagian tengah Amerika yang dilewati garis katulistiwa, dengan nilai RMSE lebih dari 5oC. Eror tinggi pada wilayah tersebut disebabkan karena model

(1)

(2)

a

b

c

a

b

(31)

15

overestimate (ditunjukkan melalui gambar 8-1-a dan gambar 9). Underestimate

pada model terjadi pada wilayah lautan yang berada di lintang tinggi utara ekuator, dengan RMSE antara 2-4oC.

Hasil model MPI-ESM-LR menunjukkan wilayah Barat Amerika, Papua, dan Afrika Timur memiliki tingkat eror paling tinggi dibanding wilayah lain dengan nilai RMSE lebih dari 5oC (gambar 8-2-b). Model mengalami overestimate lebih dari 3oC (gambar 8-1-b) pada wilayah tersebut. Hal ini bisa dilihat pula melalui bias wilayah Afrika dan Amerika (gambar 9) yang menunjukkan model MPI-ESM-LR memiliki bias paling tinggi pada bulan DJF, baik dibandingkan dengan wilayah lain maupun model lain. Tingkat eror tinggi juga ditunjukkan pada wilayah Pasifik yang dilalui katulistiwa, dengan nilai RMSE 2-4oC, karena model mengalami underestimate dengan bias mencapai kurang dari -3oC (gambar 8-1-b). Wilayah Atlantik bagian selatan, perairan di selatan dan utara Pulau Jawa, Laut Sulawesi dan sekitarnya memiliki tingkat eror yang paling kecil dibanding wilayah lain ditunjukkan dengan nilai RMSE yang rendah 0-1oC dan bias berkisar antara -1 s.d 1oC.

Gambar 9 Bias suhu udara pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR

(32)

16

Bias dan RMSE suhu udara wilayah Tropis Bulan JJA

Wilayah yang memiliki suhu udara paling sesuai dengan NCEP pada model BCC_CSM1.1 yaitu Samudra Hindia, Pasifik dan Atlantik dengan rata-rata bulan JJA 26-28 oC, standar deviasi 0-1oC, bias -1 sampai dengan 1 oC dan RMSE 0-1oC. Wilayah yang memiliki tingkat eror paling tinggi yaitu di pantai Barat dan wilayah tengah Amerika Selatan, dengan nilai bias lebih dari 4 oC (gambar 10-1-a) dan RMSE lebih dari 5oC (gambar 10-2-a). Pada wilayah ini baik pada bulan DJF maupun JJA, model BCC_CSM1.1 selalu memiliki nilai rata-rata bias wilayah tertinggi dibandingkan pada wilayah lainnya (gambar 9 dan11).

Gambar 10 Bias (1) dan RMSE (2) suhu udara terhadap NCEP pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

(1)

(2)

a

b

c

a

b

(33)

17 Wilayah daratan Afrika pada model MPI-ESM-LR memiliki tingkat eror tinggi dengan nilai RMSE lebih dari 4oC dan nilai bias positif (model

overestimate). Baik pada bulan JJA maupun DJF bias positif pada wilayah ini merupakan bias tertinggi dibandingkan wilayah lain maupun model lain (gambar 9 dan 11). Begitu pula dengan wilayah Amerika, model juga memiliki RMSE lebih dari 5oC dengan nilai bias tertinggi dibanding model lainnya baik pada bulan DJF maupun JJA (gambar 9 dan 11). Tingkat eror tinggi juga ditunjukkan pada wilayah Pasifik ekuator dan wilayah Atlantik yang berbatasan dengan Amerika Selatan dengan RMSE 2-4 oC dan nilai bias negatif (gambar 10-1-b dan 10-2-b). Wilayah yang memiliki RMSE kecil yaitu Perairan Indonesia, sebagian kecil Pasifik tropis bagian utara dengan nilai RMSE dan nilai bias 0-1oC.

Hasil model IPSL-CM5A-LR menunjukkan wilayah Afrika dan Amerika memiliki tingkat eror dan nilai rata-rata bias wilayah paling kecil dibanding model lainnya (gambar 10-2-c dan gambar 11), namun pada kedua wilayah tersebut model IPSL-CM5A-LR masih mengalami overestimate. Suhu udara pada wilayah daratan Indonesia pada model ini memiliki tingkat eror yang paling kecil dibanding kedua model lainnya, hal ini diperkuat dengan nilai bias yang mendekati 0 (gambar 10-1-c) dan nilai RMSE yang paling kecil (<2oC) dibandingkan BCC_CSM1.1 dan MPI-ESM-LR. Wilayah samudra Hindia bagian barat, beberapa wilayah di Pasifik tropis bagian utara dan beberapa bagian di selatan memiliki tingkat eror terendah pada model ini, dengan RMSE 0-1oC dan bias -1 sampai dengan 1 oC.

(34)

18

Klimatologi dan standar deviasi curah hujan musiman wilayah Tropis

Gambar 12 Klimatologi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

Pergerakan semu curah hujan tertinggi pada wilayah tropis di sepanjang tahun merupakan akibat dari pergerakan semu matahari yang menggeser zona-zona konveksi dan presipitasi. Akibatnya seperti terbentuk pita konveksi dan

(1)

(2)

a

b

c

d

a

b

c

(35)

19 presipitasi yang memanjang secara zonal di wilayah tropis dan bergeser sepanjang tahun mengikuti pola pergerakan semu matahari, yang biasa disebut dengan

Intertropical Convergence Zone (ITCZ). Posisi ITCZ ditentukan oleh keseimbangan antara pemanasan permukaan laut dan konvergensi masa udara. ITCZ mengalami pergerakan menuju selatan selama periode DJF (Leech 2013). Wilayah Pasifik barat di selatan ekuator, tepatnya melintang dari Papua menuju sekitar wilayah 30 LS dan 120 BB, memiliki zona konveksi yang disebut South Pacific Convergence Zone (SPCZ) (Vincent, 1994). SPCZ merupakan bagian ITCZ yang selalu ada disepanjang tahun.

Curah hujan observasi dari GPCP menunjukkan bahwa curah hujan tertinggi pada bulan DJF berada di sekitar ekuator dan selatan ekuator tepatnya di sekitar Indonesia, Pasifik tropis bagian barat (zona SPCZ) dan Amerika yang berada di Selatan ekuator. Pembentukan awan optimal bergeser menuju wilayah utara ekuator pada bulan JJA (wilayah Afrika, Asia, Pasifik). Hasil GPCP menunjukkan SPCZ terbentuk pula di sepanjang tahun, dengan nilai tertinggi (10-14 mm/hari) dan luasan wilayah yang terbesar pada bulan DJF. Hal ini sesuai dengan Vincent et al. (2009) bahwa SPCZ terbentuk dengan baik saat terjadi musim panas pada wilayah Australia atau dengan kata lain pada bulan DJF.

Model BCC_CSM1.1-CSM 1.1 mampu menangkap pergerakan ITCZ dan memiliki pola sebaran curah hujan yang menyerupai GPCP khususnya pada bulan JJA. Pada bulan DJF ketidaksesuaian pola terlihat di wilayah Pasifik tropis bagian utara. Model BCC_CSM1.1 juga mampu menunjukkan adanya SPCZ dengan nilai paling tinggi pada saat bulan DJF. Standar deviasi model BCC_CSM1.1 secara umum memiliki pola sebaran yang menyerupai, namun memiliki nilai yang lebih tinggi dari pada standar deviasi GPCP.

Model MPI-ESM-LR secara umum mampu menunjukkan pergerakan ITCZ namun memiliki pola sebaran yang tidak sesuai pola GPCP, khususnya pada wilayah Asia, Pasifik, Amerika dan Atlantik baik pada DJF maupun JJA. Hanya terdapat beberapa wilayah yang memiliki pola menyerupai GPCP, yaitu pada wlayah Afrika dan Hindia pada DJF maupun JJA. Zona SPCZ pada model ini memiliki curah hujan yang sama pada DJF maupun JJA. Pola sebaran standar deviasi pada model ini baik DJF maupun JJA secara umum tidak menyerupai pola sebaran standar deviasi GPCP.

(36)

20

Gambar 13 Standar deviasi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) GPCP, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

Bias dan RMSE curah hujan wilayah Tropis bulan DJF

Model BCC_CSM1.1 menunjukkan wilayah Hindia bagian tengah, Papua dan sekitarnya, zona SPCZ, Pasifik timur sebelah utara ekuator, dan beberapa titik di Amerika memiliki RMSE lebih dari 8 mm/hari. Wilayah tersebut overestimate

terhadap curah hujan GPCP (bias positif lebih dari 7 mm/hari), kecuali pada

(1)

(2)

a

b

c

d

a

b

c

(37)

21 wilayah tengah Amerika dan Pasifik timur utara ekuator yang mengalami

underestimate. Pada wilayah Pasifik bagian barat (SPCZ) model ini memiliki bias yang paling besar dibandingkan wilayah lainnya dengan nilai bias positif (gambar 15).

Gambar 14 Bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap GPCP pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

Baik selatan maupun utara wilayah Pasifik barat pada model MPI-ESM-LR overestimate (gambar 14-1-b), namun RMSE wilayah utara lebih tinggi dari pada selatan (RMSE wilayah utara lebih dari 10 mm/hari). Wilayah SPCZ memiliki nilai bias negatif (gambar 15) dan nilai RMSE yang cenderung tinggi yaitu 7-10 mm/hari (gambar 14-2-b). Wilayah lainnya yang memiliki RMSE tinggi yaitu Atlantik tropis bagian selatan, dengan nilai RMSE lebih dari 8

(1)

(2)

a

b

c

a

b

(38)

22

mm/hari. Wilayah tersebut mengalami overestimate dengan nilai bias lebih dari 8 mm/hari (gambar 14-1-b).

Model IPSL-CM5A-LR menunjukkan wilayah Amerika Selatan yang berbatasan dengan Samudra Pasifik memiliki RMSE lebih dari 9 mm/hari dengan model overestimate terhadap GPCP (bias positif yaitu lebih dari 8 mm/hari) (gambar 14-2-c). Pada bagian tengah Amerika Utara, model mengalami

underestimate yang ditunjukkan oleh nilai bias negatif (gambar 14-1-c dan gambar 15). RMSE tinggi juga ditunjukkan pada Samudra Hindia di sekitar 5oLU, dengan RMSE lebih dari 8 mm/hari dan bias positif (gambar 14-1-c dan 15). Wilayah Australia (gambar 14-1-c) mengalami underestimate dengan RMSE berkisar antara 6-9 mm/hari.

Gambar 15 Bias curah hujan pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR

Bias dan RMSE curah hujan wilayah Tropis bulan JJA

Nilai RMSE tinggi hasil model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR maupun IPSL-CM5A-LR pada bulan JJA mencangkup wilayah yang lebih luas dibandingkan musim yang lain. Hal ini terjadi karena variabilitas curah hujan pada bulan ini lebih tinggi dibandingkan bulan DJF. Ketiga model overestimate

pada wilayah SPCZ dengan nilai bias positif yang lebih tinggi dibanding bulan DJF (gambar 16-1 dan 17).

Wilayah dengan RMSE tinggi pada bulan JJA berdasarkan model BCC_CSM1.1 sebagian besar memiliki nilai bias positif (model overestimate), kecuali Amerika (sekitar Mexico dan Amazon) memiliki bias negatif (model

(39)

23

underestimate). RMSE tertinggi terdapat baik pada selatan maupun utara ekuator (gambar 16-2-a).

Wilayah dengan RMSE tinggi (lebih dari 10 oC) hasil model MPI-ESM-LR diantaranya adalah Amerika (sekitar Mexico dan Brazil), wilayah Asia yang berada di selatan ekuator (India, Filipina, Myanmar, Thailand dan sekitarnya) dan Atlantik di sekitar 10 oLU. Wilayah India, Myanmar dan sekitarnya, Papua dan Mexico cenderung underestimate, sedangkan wilayah lain yang memiliki RMSE tinggi cenderung overestimate (gambar 16-1-b).

Gambar 16 Bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap GPCP pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

(1)

(2)

a

b

c

a

b

(40)

24

Model IPSL-CM5A-LR pada bulan JJA Wilayah-wilayah dengan tingkat eror (RMSE) tertinggi yaitu wilayah Mexico, Brazil, wilayah Asia yang berada di selatan ekuator (India, Filipina, Myanmar, Thailand dan sekitarnya), Afrika bagian selatan, Hindia ekuator bagian timur dan Atlantik di sekitar 10 oLU. Sama halnya dengan model BCC-CSM-1.1 dan MPI-ESM-LR, bias model pada wilayah Amerika tersebut menyatakan model underestimate dengan nilai bias negatif yang lebih besar pada bulan JJA (gambar 17).

Gambar 17 Bias curah hujan pada wilayah Afrika, Indonesia, Hindia, Pasifik dan Amerika pada bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR

-8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8

Afrika Indonesia Hindia Pasifik Amerika

B

ias (m

m

/h

ar

i)

(41)

25

Klimatologi dan standar deviasi suhu permukaan laut wilayah Tropis

Gambar 18 Klimatologi suhu permukaan laut bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) ERSST, (b) BCC_CSM1.1, (c) IPSL-CM5A-LR

Berdasarkan hasil klimatologi suhu permukaan laut ERSST (gambar 18-1-a), wilayah selatan ekuator didominasi oleh sebaran suhu permukaan laut (SPL) yang lebih tinggi dibanding utara pada bulan DJF. Wilayah dengan SPL tertinggi berada di sepanjang Hindia hingga Pasifik timur. Pada bulan ini Pasifik bagian barat memilki suhu permukaan laut yang lebih tinggi dibandingkan wilayah bagian timur. Pada bulan JJA (gambar 18-2-a), SPL tertinggi bergeser kearah utara, dan SPL tinggi pada wilayah Pasifik bergeser ke arah timur pula.

Baik pada model BCC_CSM1.1 maupun IPSL-CM5A-LR, sebaran SPL pada wilayah Pasifik tidak memiliki pola yang menyerupai ERSST pada wilayah Pasifik Timur. Pola standar deviasi kedua model pada Atlantik, Pasifik maupun

(2) (1)

a

b

c

a

b

(42)

26

Hindia lebih menyerupai standar deviasi ERSST pada bulan JJA daripada bulan DJF. Pada bulan JJA, model BCC_CSM1.1 mempunyai pola sebaran standar deviasi dan yang lebih baik daripada model IPSL-CM5A-LR khususnya di wilayah Pasifik Barat bagian utara ekuator.

Gambar 19 Standar deviasi suhu permukaan laut bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) ERSST, (b) BCC_CSM1.1, (c) IPSL-CM5A-LR

(1)

(2)

a

b

c

a

b

(43)

27

Bias dan RMSE suhu permukaan laut (SPL) wilayah Tropis bulan DJF

Gambar 20 Bias (1) dan RMSE (2) suhu permukaan laut terhadap ERSST pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) IPSL-CM5A-LR

Model BCC_CSM1.1 pada bulan DJF memiliki tingkat eror (RMSE) tertinggi dalam memproyeksikan suhu permukaan laut di wilayah Pasifik bagian timur dan Atlantik (selatan ekuator) ditunjukkan dari RMSE lebih dari 1.5oC. Pada wilayah ini, model cenderung menunjukkan nilai yang lebih besar dari pada ERSST (model overestimate). Model IPSL-CM5A-LR juga memiliki eror tertinggi pada wilayah Pasifik timur, dengan cakupan wilayah yang lebih sedikit daripada model BCC_CSM1.1. Selain itu, eror tertinggi pada model IPSL-CM5A-LR juga terjadi di wilayah Atlantik utara dan Atlantik selatan yang berbatasan dengan Amerika, dengan nilai model lebih kecil dari pada ERSST (model

underestimate). Atlantik yang berbatasan dengan Afrika juga memiliki tingkat eror yang tinggi (RMSE tinggi), namun cakupan wilayahnya lebih sedikit dibanding model BCC. Wilayah Laut Cina juga mengalami tingkat eror tinggi (RMSE lebih dari 1.5oC) pada model IPSL-CM5A-LR, dengan nilai model kurang dari oobservasi (model underestimate).

(1)

(2)

a

b

a

(44)

28

Bias dan RMSE suhu permukaan laut (SPL) wilayah Tropis bulan JJA

Gambar 21 Bias (1) dan RMSE (2) suhu permukaan laut terhadap ERSST pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) IPSL-CM5A-LR

Eror model BCC_CSM1.1 dan IPSL-CM5A-LR pada wilayah Pasifik timur juga tinggi di bulan JJA, namun cakupan wilayah dengan eror tinggi lebih sedikit (mengalami pengurangan) dibanding pada bulan DJF. Wilayah eror hasil kedua model di Atlantik timur bergeser ke utara pada bulan JJA. Model IPSL-CM5A-LR pada wilayah Atlantik barat yang berbatasan dengan Amerika memiliki luasan eror tinggi yang lebih luas dibanding bulan DJF, dengan arah perluasan ke utara.

Klimatologi dan standar deviasi curah hujan musiman wilayah Indonesia

Curah hujan Indonesia pada bulan DJF berdasarkan CRU berkisar antara 6-20 mm/hari. Secara umum wilayah Sumatera yang berbatasan dengan Samudra Hindia. Pulau Jawa, dan Kalimantan bagian selatan dan Papua bagian barat memiliki curah hujan yang lebih tinggi. Hasil CRU pada musim JJA menunjukkan bahwa Indonesia yang berada di selatan ekuator (kecuali Papua dan Sulawesi

(2) (1)

a

b

a

(45)

29 bagian timur) mengalami penurunan CH rata-rata. Standar deviasi paling tinggi terdapat pada bulan JJA terdapat di Pulau Jawa, Bali, Nusa tenggara, Flores dan Sekitarnya dengan simpangan lebih dari 7 mm/hari.

Gambar 22 Klimatologi curah hujan musiman bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) CRU, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

(1)

(2)

a

c

b

d

b

d a

(46)

30

Gambar 23 Standar deviasi curah hujan bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis tahun 1981-2010 hasil (a) CRU, (b) BCC_CSM1.1, (c) MPI-ESM-LR, (d) IPSL-CM5A-LR

Bias dan RMSE curah hujan wilayah Indonesia bulan DJF

Model BCC_CSM1.1 (gambar 24-1-a) underestimate terhadap curah hujan CRU di wilayah Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Flores dan sekitarnya. Pada Kalimantan dan Papua, model overestimate terhadap CRU. Wilayah Kalimantan dan Papua tersebut model juga memiliki nilai RMSE yang tertinggi, yaitu lebih dari 8 mm/hari (gambar 24-2-a).

Hasil model MPI-ESM-LR menunjukkan tingkat eror tinggi pada wilayah Sumatera utara, Sulawesi bagian Utara dan sekitar Flores (gambar 24-2-b) dengan nilai RMSE lebih dari 10 mm/hari. Model underestimate pada wilayah

(2) (1)

a

c

a

c

b

d

b

(47)

31 Sumatera dan Kalimantan dengan nilai bias negatif (gambar 24-1-b). Pada wilayah tersebut nilai RMSE berkisar antara 4-9 mm/hari.

Gambar 24 Nilai bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap CRU pada wilayah tropis bulan DJF tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

Hasil model IPSL-CM5A-LR pada bulan DJF menunjukkan wilayah Sumatera bagian tengah, Jawa bagian tengah dan sekitar Nusa Tenggara dan Flores memiliki nilai RMSE paling tinggi yaitu lebih dari 8 mm/hari. Pada Sumatera bagian tengah tersebut model overestimate (gambar 24-1-c) dan pada wilayah Jawa hingga flores model underestimate.

(2) (1)

a

b c

a

(48)

32

Bias dan RMSE curah hujan wilayah Indonesia bulan JJA

Gambar 25 Nilai bias (1) dan RMSE (2) curah hujan terhadap CRU pada wilayah tropis bulan JJA tahun 1981-2010 hasil model (a) BCC_CSM1.1, (b) MPI-ESM-LR dan (c) IPSL-CM5A-LR

Nilai curah hujan Model BCC_CSM1.1 menunjukkan bahwa model

overestimate di utara ekuator dan underestimate di selatan ekuator. Tingkat eror tertinggi pada model ditunjukkan di Kalimantan bagian selatan, Sumatera bagian selatan, Jawa bagian barat dan Papua, dengan nilai RMSE lebih dari 8 mm/hari.

(1)

(2)

a

a b

b

c

(49)

33 Model MPI-ESM-LR overestimate pada wilayah Sumatera, Jawa sampai dengan Timor-Timur yang ditunjukkan dengan nilai bias positif paling besar dibanding bias pada model lainnya (gambar 25-1-b). Pada wilayah tersebut, tingkat eror tinggi yaitu lebih dari 7 mm/hari (gambar 25-2-b).

Wilayah utara ekuator model IPSL-CM5A-LR mengalami overestimate

dan selatan underestimate di bulan JJA. Tingkat eror paling tinggi yaitu di tengah Sumatera dan Kalimantan, dengan RMSE lebih dari 8 mm/hari (gambar 25-2-c).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pola dominan model BCC_CSM1.1, MPI-ESM-LR dan IPSL-CM5A-LR secara umum menunjukkan suhu udara EOF1 model dapat mengikuti EOF1 pada NCEP, namun ketiga model memiliki pola yang berbeda pada lintang tinggi dan juga ekuator. Pola dominan curah hujan (EOF1 ketiga model) secara umum menunjukkan wilayah utara ekuator didominasi anomali positif dan selatan ekuator anomali negatif, namun terdapat wilayah yang anomalinya tidak menyerupai GPCP.

Klimatologi suhu udara dan curah hujan tertinggi pada ketiga model secara umum dapat mengikuti pola sebaran observasi (pada bulan DJF terletak di selatan ekuator dan bergeser ke utara pada bulan JJA). Begitu pula dengan klimatologi suhu permukaan laut (SPL) pada model BCC_CSM1.1 dan IPSL-CM5A-LR. Suhu udara model BCC_CSM1.1 memiliki pola sebaran suhu udara yang paling menyerupai observasi, dibandingkan kedua model lainnya. Suhu udara pada ketiga model overestimate di daratan dan underestimate di lautan. Model MPI-ESM-LR memiliki kemampuan yang paling rendah untuk suhu udara di wilayah Afrika, Pasifik ekuator dan Amerika.

Sinyal ITCZ dan SPCZ bisa ditangkap oleh ketiga model. Model BCC_CSM1.1 merupakan model yang paling menyerupai GPCP (pada bulan JJA) dan juga mampu menunjukkan adanya SPCZ dengan nilai paling tinggi pada saat bulan DJF. Zona SPCZ pada model MPI-ESM-LR memiliki curah hujan yang sama pada DJF maupun JJA. Model IPSL-CM5A-LR mampu menunjukkan pergerakan ITCZ, namun pola pada bulan DJF tidak menyerupai GPCP, khususnya pada wilayah Pasifik.

Model BCC_CSM1.1 memiliki tingkat eror tertinggi dalam memproyeksikan SPL di wilayah Pasifik bagian timur dengan nilai bias positif (model overestimate). Begitu juga dengan model IPSL-CM5A-LR juga memiliki eror tertinggi pada wilayah Pasifik timur, namun luasan wilayah dengan eror tinggi lebih luas pada model BCC_CSM1.1. Eror pada bulan DJF lebih tinggi dibanding JJA.

(50)

34

tenggara sekitarnya (sepanjang tahun) dan Jawa (bulan JJA). Model IPSL-CM5A-LR mempunyai kemampuan rendah pula untuk wilayah Sumatera.

Saran

Saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan model dan parameter yang sama, namun dengan eksperimen dekadal keluaran tahun yang berbeda. Penelitian selanjutnya dapat pula dilakukan dengan model lain pada eksperimen dekadal keluaran tahun yang sama. Selain itu perlu adanya pengujian skill dengan parameter lain, selain curah hujan, suhu udara dan suhu permukaan laut untuk melihat performa model pada parameter yang lainnya (angin, tekanan, dan lain-lain). Analisis pola dominan menggunakan Empirical Orthogonal Function pada masing-masing parameter perlu dilakukan untuk kondisi musiman (DJF, MAM, JJA, SON).

DAFTAR PUSTAKA

Adler RF, Huffman GJ, Chang A, Ferraro R, Xie P, Janowiak J, Rudolf B, Schneider U, Curtis S, Bolvin D, Gruber A, Susskind J, dan Arkin P. 2003. The version 2 Global Precipitation Climatology Project (GPCP) monthly precipitation analysis (1979-Present). Journal Hydrometeor. 4: 1147-1167.

Bjornsson H dan Venegas SA. 1997 . Manual for EOF and SVD analyses of climatic data. Center for Climate and Global Change Research, McGill University.

Dufrense JL, Foujoul MA, Denvil S, Caubel A, Marti O, Aumont O, Balkanski Y, Bekki S, Bellenger H, Benshila R et al. 2013. Climate change projections using the IPSL-CM5 Earth System Model: from CMIP3 to CMIP5.

Climate Dynamic. 40: 2123-2165.

Griffies SM, Gnanadesikan A, Dixon KW, Dunne JP , Gerdes R, Harrison MJ, Rosati A, Russell JL, Samuels BL, Spelman MJ, Winton M, dan Zhang R. 2005. Formulation of an ocean model for global climate simulations.

Ocean Science. 1: 45-79.

Hunke EC dan Dukowicz JK. 1997. An elastic-viscous-plastic model for sea ice dynamics. J. Phys. Oceanogr. 27: 1849-1867.

Ji J. 1995. A climate-vegetation interaction model: simulating physical and biological processes at the surface. Journal Biogeography. 22: 2063-2069. Jones PD dan Harris I. 2013. CRU TS3.21: Climatic Research Unit (CRU) Time-Series (TS) version 3.21 of high resolution gridded data of month-by-month variation in climate (Jan. 1901- Dec. 2012). NCAS British Atmospheric Data Centre, 24th September 2013.

(51)

35 Kalnay et al. 1996. The NCEP/NCAR 40-year reanalysis project. Bulletin

American Meteorology Society. 77: 437-470.

Krismer TR, Giorgetta MA, dan Esch M. 2013. Seasonal aspects of the quasi-biennial oscillation in the Max Planck Institute Earth System Model and ERA-40. Journal of Advances in Modeling Earth System. 5: 406-421. Leech PJ, Stieglitz JL dan Zhang R. 2012. Western Pacific thermocline structure

and the Pacific marine Intertropical Convergence Zone during the last glacial maximum. Earth and Planetary Science Letters. 363: 133-143. Marsland S, Haak H, Jungclaus JH, Latif M, dan Roske F. 2003. The Max Planck

Institute global ocean/sea-ice model with orthogonal curvilinear coordinates. Ocean. Modell. 5: 91-127.

Mignot J, Swingedouw D, Deshayes J, Marti O, Talandier C, Seferian R, Lengaigne M, dan Madec G. 2013. On evolution of the oceanic component of the IPSL climate models from CMIP3 to CMIP5: a mean state comparison. Ocean Modelling. 72: 167-184.

Muller WA, Baehr J, Haak H, Jungclaus, Kroger J, Matei D, Notz D, Pohlmann H, Storch JSV dan Marotzke. 2013. Forecast skill of multi-year seasonal means in the decadal prediction system of the Max Planck Institute for Meteorology. Geophysical Researcg Letters. 39: 22-28.

Murray RJ. 1996. Explicit generation of orthogonal grids for ocean models.

Journal Computational Physics. 126: 251–273.

Raddatz TJ, Reick CJ, Knorr W, Kattge J, Roeckner E, Schnur R, Schnitzler KG, Wetzel P dan Jungclaus J. 2007. Will the tropical land biosphere dominate the climate - carbon cycle feedback during the twenty-first century?.

Climate Dynamics. 29: 565-574.

Roeckner E, Bauml G, Bonaventura L, Brokopf R, Esch M, Giorgetta M, Hagemann S, Kirchner I, Kornblueh L, Manzini E, Rhodin A, Schlese U, Schulzweida U, dan Tompkins A. 2003. The atmospheric general circulation model ECHAM5. Part I: Model description. Max Planck Institute for Meteorology Rep. 349, 127 pp.

Schubert JJ, Stevens B dan Crueger T. 2013. Madden-Julian oscillation as simulated by the MPI Earth System Model: over the last and into the next millennium. Journal of Advances in Modeling Earth System. 5: 71-84. Smith TM, Reynolds RW, Thomas C, Peterson, dan Lawrimore J. 2007.

Improvements to NOAA's historical merged Land-Ocean surface temperature analysis (1880-2006). In press. Journal of Climate.

(52)

36

Vincent DG. 1994. The South Pacific Convergence Zone: a review. Monthly Weather Review. 122: 1949-1970.

Vincent EM, Lengaigne M, Menkes CE, Jourdain NC, Marchesielo P dan Madec G. 2009. Interannual variability of the South Pacific Convergence Zone and implications for tropical cyclone genesis. Clim Dyn. DOI 10.1007/s00382-009-0716-3.

Winton M. 2000. A reformulated three-layer sea ice model. J. Atmos. Oceanic Technol. 17: 525–531.

Wu T. 2012. A mass-flux cumulus parameterization scheme for large-scalemodels: description and test with observations. Climate Dynamic. 38: 725–744.

(53)

37 Lampiran 1 Scripting language untuk klimatologi musiman (bulan JJA) curah

hujan wilayah tropis

*****Seasonal Climatology of Precipitation***** #Script by Anis Purwaningsih

#Departemen of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

'modify monavg seasonal' 'set t 6'

(54)

38

'modify monavg seasonal' 'set t 6'

'modify monavg seasonal' 'set t 6'

'color 2 20 2 -kind rainbow'

'd (monavg(t=6)+monavg(t=7)+monavg(t=8))/3' 'draw ylab a'

'close 1'

'Draw Title Curah Hujan JJA (mm/hari) 1981-2010' 'printim e:/hasil4/Seasonal/CH3JJA.png white' 'clear'

'reinit'

#*********************************************

Lampiran 2 Scripting language untuk standar deviasi musiman (bulan JJA) suhu udara IPSL

*****Seasonal Standard Deviation of Precipitation***** #Script by Anis Purwaningsih

#Departemen of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

(55)

39 m = 6

while (m <= 360) *IPSL-june

'define eror 'm' =data(t= 'm')-prave(t=6)' m = m + 12

'define total=total+ kuadrat 'm'' m = m + 12

'define eror 'm' =data(t= 'm')-prave(t=7)' m = m + 12

'define total=total+ kuadrat 'm'' m = m + 12

(56)

40 m= 8

while (m <= 360)

'define total=total+ kuadrat 'm'' m = m + 12

'draw title Standar Deviasi Suhu Udara (C) periode JJA 1981-2010' 'cbar'

'printim e:/hasil4/STDEV2/stdev-ta-jja.png white' 'close 1'

'reinit'

#*********************************************

Lampiran 3 Scripting language untuk bias musiman (bulan JJA) curah hujan *****Seasonal Bias of Precipitation*****

#Script by Anis Purwaningsih

#Departemen of Geophysic and Meteorology #Bogor Agricultural University

'define rata1=ave(pr1, t+0, t=360, 12)' 'modify rata1 seasonal'

'set t 1 12'

'define rata2=ave(pr2, t+0, t=360, 12)' 'modify rata2 seasonal'

'set t 1 12'

'define rata3=ave(pr3, t+0, t=360, 12)' 'modify rata3 seasonal'

(57)

41 'define rata4=ave(pr4, t+0, t=360, 12)'

'modify rata4 seasonal'

'draw title Nilai Bias Curah Hujan (mm/hari) Periode JJA' 'set vpage 0 11 0 8.5'

Lampiran 4 Scripting language untuk RMSE musiman (bulan JJA) curah hujan IPSL

*****Seasonal RMSE of Precipitation***** #Script by Anis Purwaningsih

(58)

42

while (m <= 360)

'define eror 'm' =ipsl2(t='m')-gpcp.1(t='m')' m = m + 12

'define total=total+ kuadrat 'm'' m = m + 12

endwhile

'define rmsejanc=sqrt(total/30)' m = 7

while (m <= 360)

'define eror 'm' =ipsl2(t='m')-gpcp.1(t='m')' m = m + 12

'define totala=totala+ kuadrat 'm'' m = m + 12

endwhile

'define rmsedecc=sqrt(totala/30)' m = 8

while (m <= 360)

'define eror 'm' =ipsl2(t='m')-gpcp.1(t='m')' m = m + 12

(59)

43 endwhile

'define rmsefebc=sqrt(totals/30)'

'define rmsedjfc=((rmsefebc+rmsedecc+rmsejanc)/3)' 'close 2'

'draw title RMSE Curah Hujan (mm/hari) periode JJA 1981-2010' 'set t 1'

'set parea 1 10 1.5 4.5' 'color 1 10 1 -kind rainbow' 'd rmsedjfc'

'draw ylab c' 'cbar'

'printim e:/hasil4/RMSE/rmse-pr-jja.png white' 'close 2'

(60)

44

Lampiran 5 Grafik Principal Component untuk EOF pada curah hujan GPCP

(61)

45 Lampiran 6 Grafik Principal Component untuk EOF pada suhu udara NCEP

(62)

46

Lampiran 7 Grafik proporsi EOF pada curah hujan GPCP

Lampiran 8 Grafik proporsi EOF pada suhu udara NCEP

(63)

47

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Sragen pada tanggal 25 Mei 1994 sebagai anak pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Suparno dan Ibu Darni. Penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Sragen dan lulus pada tahun 2011. Tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan strata 1 di Institut Pertanian Bogor dengan mayor Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA. Penulis masuk IPB melalui jalur SNMPTN Undangan 2011. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2011-2015. Selama menjalani masa studi, penulis aktif menjadi pengurus Lembaga Dakwah Kampus Al-Hurriyyah 2011-2013, Badan

Eksekutif Mahasiswa FMIPA 2012-2013, Himpunan Profesi Mahasiswa

Agrometeorologi (HIMAGRETO) 2013-2014. Penulis pernah menjadi penyaji

makalah (oral dan poster) dalam konferensi CISAK 2014 (Conference of Indonesian

Gambar

Gambar 1  Matriks F untuk analisis Empirical Orthogonal Functions (EOF)
Tabel 4  Pembagian wilayah untuk penentuan nilai bias rata-rata wilayah
Gambar 6  Klimatologi suhu udara bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah tropis
Gambar 7  Standar deviasi suhu udara bulan (1) DJF dan (2) JJA pada wilayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

: setelah bekerja desinfeksi semua bagian dari dental chair dengan alkohol 90% Keterangan : tidak kritis.. Three

Pupuk artisifial dapat menjadi sumber daya berharga bagi petani pada fase transisi menuju ke sistem berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan unsur hara untuk

27 PTN 005018 Politeknik Elektronika Negeri Surabaya PKM-KI Alat Pelacakan Kinerja Petugas Satpam Terintegrasi Menggunakan RFID Pencegah Terjadinya Kesalahan Rp 8.269.000 28

Dengan demikian, total luas area yang dapat digunakan untuk pengembangan kegiatan wisata selam dan wisata snorkling di perairan Pulau Hari seluas 28.03 ha, dan dapat menampung

Untuk setiap blok dilakukan DCT transformasi menggunakan rumus Persamaan 2.4 dan Persamaan 2.5, nilai koefisien DCT dikuantisasi sehingga didapat koefisien DCT

Dari hasil regresi model fixed effect, variabel bebas yaitu pengaruh tingkat pendidikan, pertumbuhan ekonomi dan rasio gini terhadap tingkat pengangguran terbuka di Daerah

Teknik evaluasi yaitu “suatu cara atau prosedur memperoleh data dan keterangan yang berguna sebagai bahan evaluasi.” 52 Pada umumnya evaluasi dibagi menjadi dua teknik: a)

Jika dilihat lebih dalam pada internal industri perbankan syariah, variabel interaksi D1 dengan RR menunjukkan bahwa BUS mendapatkan tambahan tingkat DPK yang lebih besar