• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN ORDO HYMENOPTERA DI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, PERKEBUNAN KARET

DAN HUTAN KARET DI JAMBI

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keaneragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

(4)

ABSTRAK

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO. Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi. Dibimbing oleh RIKA RAFFIUDIN dan TRI ATMOWIDI.

Deforestasi hutan di Jambi menjadi perkebunan karet dan kelapa sawit sangat tinggi. Beberapa taksa dapat digunakan sebagai bioindikator, misalnya ordo Hymenoptera. Penelitian ini bertujuan mempelajari keanekaragaman ordo Hymenoptera pada perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan hutan karet di Jambi. Pengambilan serangga dilakukan dengan mengunakan jaring serangga pada pukul 07.00 - 11.00 WIB. Dilakukan pengukuran kondisi lingkungan berupa suhu, kelembapan udara dan intensitas cahaya. Di tiga habitat vegetasi dan habitat pedesaan di sekitar Hutan Harapan, Jambi, ditemukan 6 famili Hymenoptera, yaitu Apidae, Halictidae, Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae. Kelimpahan terbesar ditemukan pada genus Apis dan Trigona. Spesies endemik yang ditemukan pada penelitian ini adalah Trigona minangkabau. Keanekaragaman paling tinggi terdapat pada perkebunan kelapa sawit (16 spesies) dan yang paling rendah terdapat pada perkebunan karet dan pedesaan (9 spesies). Jumlah spesies yang ditemukan tidak memiliki korelasi secara nyata dengan suhu, intensitas cahaya dan kelembapan udara.

Kata kunci: keanekaragaman, Hymenoptera, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, hutan karet

ABSTRACT

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO. Diversity of Hymenoptera in Oil Palm Plantation, Rubber Plantation and Jungle Rubber in Jambi. Supervised by RIKA RAFFIUDIN and TRI ATMOWIDI.

There were much deforestations from primary forest to rubber and oil palm plantation in Jambi. Some taxa could be bioindicator, for example is Hymenopteran insects. This research purposed to study the diversity of Hymenoptera in oil palm plantation, rubber plantation and jungle rubber in Jambi. Insect collected by using insect net at 7 to 11 am. The environment parameters measured were temperature, humidity, and light intensity. In three vegetation habitats and villages adjacent Hutan Harapan, Jambi were found six families of Hymenoptera, i.e. Apidae, Halictidae, Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae and Vespidae. Highest abundant found were Apis and Trigona. Endemic species found was Trigona minangkabau. The highest diversity of Hymenoptera was found in oil palm plantation (16 species), and the less diversity was in rubber plantation and village (9 species). Generally, number of species of Hymenoptera didn’t correlated significantly with temperature, light intensity and humidity.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Biologi

KEANEKARAGAMAN ORDO HYMENOPTERA DI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT, PERKEBUNAN KARET

DAN HUTAN KARET DI JAMBI

ARINTHA TRAYA PRASATYA SOEGIARSO

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi

Nama : Arintha Traya Prasatya Soegiarso NIM : G34080082

Disetujui oleh

Dr Ir Rika Raffiudin, MSi Pembimbing I

Dr Tri Atmowidi, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah keanekaragaman, dengan judul Keanekaragaman Ordo Hymenoptera di Perkebunan Kelapa Sawit, Perkebunan Karet dan Hutan Karet di Jambi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Ir Rika Raffiudin, MSi dan Bapak Dr Tri Atmowidi, MSi atas bimbingan dan arahan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra Hilda Akmal, MSi selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan yang telah bersedia menguji dan memberikan saran saat ujian dan penulisan karya ilmiah. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada program kerjasama IPB dan Universitas Göetingen yang telah mendanai penelitian ini melalui program start up funding Collaborative Research Centre (CRC) 990. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Subhan Zaelani selaku petugas lapangan dari Pusat Perlebahan Nasional (Pusbanas), keluarga Bapak Sukiwa di Bungku, Jambi, Fahri dan Elida Hafmi Siregar yang telah membantu selama pengamatan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Sih Kahono, Ibu Erna, Mas Anto, serta staff Laboratorium Entomologi LIPI Bogor yang telah membimbing proses identifikasi serangga.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, serta seluruh keluarga dan Wisnu Moko Rahayu atas segala doa dan kasih sayangnya, seluruh warga Zoo Corner (Mbak Kanthi, Sars, Esa, Ayoy, Hana, Faizal, Ical, Kania, Heca, Baher), teman-teman Biologi 45 IPB, teman-teman AGRIC, dan teman-teman Lylas yang selalu memberi semangat kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE PENELITIAN 2

Waktu dan Tempat 2

Metode 2

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Keanekaragaman Spesies Ordo Hymenoptera 4

Ciri-ciri Keseluruhan Serangga yang Dikoleksi 10

Deskripsi Trigona 11

Kondisi Lingkungan di Lokasi Penelitian 12

Hubungan Faktor Lingkungan dengan Jumlah Spesies 13

Keseimbangan Ekosistem 14

SIMPULAN 15

DAFTAR PUSTAKA 15

(10)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi pengamatan penelitian 3

2 Jumlah spesies dan kondisi lingkungan pada setiap habitat di Jambi 6 3 Keberadaan Trigona berdasarkan database stingless bee 9 4 Korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies Hymenoptera 13

DAFTAR GAMBAR

1 Peta lokasi pengamatan 3

2 Serangga dalam Famili Apidae 7

3 Serangga Hymenoptera herbivor 8

4 Serangga Hymenoptera predator 8

5 Rata-rata suhu pada setiap lokasi pengamatan 12 6 Rata-rata kelembapan udara pada setiap lokasi pengamatan 12 7 Rata-rata intensitas cahaya pada setiap lokasi pengamatan 12

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Deforestasi di Asia Tenggara merupakan yang paling besar jumlahnya dibandingkan dengan wilayah tropis lainnya dan dapat mengalami kehilangan biodiversitas sebesar 42% apabila hal tersebut terus terjadi (Sodhi et al. 2004). Salah satu contoh wilayah yang terdeforestasi adalah di Jambi yang merupakan wilayah dengan tingkat deforestasi di paling tinggi, dimana telah terjadi deforestasi dalam jumlah besar sepanjang tahun 1973-2002. Tutupan hutan yang menurun ini diakibatkan oleh berubahnya hutan menjadi perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit (Ekadinata & Vincent 2008).

Dari analisa citra landsat,Taher (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1990 Jambi masih memiliki tutupan lahan (vegetasi) berupa hutan yang masih dominan (2,4 juta ha atau sekitar 49,97% dari seluruh luas provinsi), tetapi pada tahun 2000 tutupan lahan hutan tersebut menurun menjadi sebesar 1,4 juta ha atau sekitar 29,66% dari luas Provinsi Jambi. Berdasarkan angka ini, terjadi pengurangan luas tutupan lahan hutan sekitar 20,31% dalam kurun waktu 10 tahun. Penurunan luas wilayah hutan alam yang berubah menjadi kebun karet dan kelapa sawit dalam jumlah besar dapat mengurangi keanekaragaman serangga karena ketersediaan sumber pakan serangga akan berkurang. Berdasarkan penelitian Danielsen et al. (2009), komposisi kesamaan avertebrata yang terdapat di hutan dengan yang terdapat di dalam pekebunan kelapa sawit di Malaysia menurun dari 31% menjadi 21%.

Pendekatan menggunakan organisme yang dapat memberikan respon terhadap perubahan kondisi lingkungan, dapat digunakan untuk memahami dampak perubahan lingkungan (McGeoch dan Chown 1998). Salah satu cara pendekatan tersebut adalah melalui identifikasi spesies dan perkembangan serangga. Serangga merupakan bioindikator yang responsif untuk menilai perubahan yang terjadi dalam suatu habitat (Speight et al. 1999). Bioindikator dapat diartikan sebagai spesies atau kelompok spesies yang dapat menggambarkan dampak perubahan lingkungan dari sebuah habitat atau mengindikasikan keragaman dari kelompok takson di dalam suatu kawasan (McGeoch dan Chown 1998). Beberapa takson dapat digunakan sebagai bioindikator, misalnya serangga yang termasuk ke dalam ordo Hymenoptera.

(12)

2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keanekaragaman ordo Hymenoptera di perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, hutan karet dan pedesaan di Jambi.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2012 - April 2013. Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan hutan karet di sekitar Desa Bungku, Kecamatan Bajubang Barat, Muara Bulian, Jambi, Sumatera. Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Laboratorium Biosistematika Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Metode Lokasi Penelitian

Pengamatan Hymenoptera dilakukan di empat tipe habitat, yaitu perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, hutan karet dan pedesaan. Dipilih empat lokasi (plot) untuk setiap tipe habitat. Perkebunan kelapa sawit diberi kode HO (Harapan oilpalm plantation) dari HO1 hingga HO4. Perkebunan karet diberi kode HR (Harapan rubber plantation) dari HR1 hingga HR4 dan hutan karet diberi kode HJ (Harapan jungle rubber) dari HJ1 hingga HJ4. Tipe habitat hutan karet terdiri dari tumbuhan yang heterogen, namun tumbuhan yang dominan adalah pohon karet. Pengamatan Hymenoptera juga dilakukan di pedesaan, yang digunakan sebagai perbandingan antara habitat yang masih memiliki vegetasi dengan habitat yang tidak memiliki vegetasi di dalamnya.

(13)

3

Gambar 1 Peta lokasi pengamatan. Kode lokasi mengacu ke Tabel 1 Tabel 1 Lokasi pengamatan Hymenoptera di Jambi

No. Tipe Habitat Kode Plot Koordinat Lokasi

1

Perkebunan kelapa sawit

HO1 S 01.90988 E 103.26621

2 HO2 S 01.88351 E 103.26765

3 HO3 S 01.85786 E 103.30759

4 HO4 S 01.78723 E 103.27071

5

Perkebunan karet

HR1 S 01.91099 E 103.26664

6 HR2 S 01.87950 E 103.27459

7 HR3 S 01.85968 E 103.30055

8 HR4 S 01.80545 E 103.26470

9

Hutan karet

HJ1 S 01.92775 E 103.25191

10 HJ2 S 01.82558 E 103.29423

11 HJ3 S 01.84905 E 103.29970

12 HJ4 S 01.78535 E 103.27663

13

Pedesaan

BK S02.15084 – E102.80189

14 PK1 S01.95830 – E102.58936

15 PK2 S01.96350 – E102.59611

16 B1 S01.92726 – E103.26033

17 B2 S01.90878 – E103.26059

18 Si S01.79166 – E103.27502

19 Su S01.85686 – E103.30259

20 PA1 S01.84985 – E103.28758

21 PA2 S01.84247 – E103.28568

Koleksi Hymenoptera

(14)

4

merepresentasikan keseluruhan luas lokasi pengamatan. Serangga yang ditangkap merupakan perwakilan dari semua serangga yang terbang atau yang hinggap pada bunga di dalam lokasi pengamatan yang termasuk ordo Hymenoptera.

Pengukuran Kondisi Lingkungan

Pengukuran kondisi lingkungan berupa suhu, kelembapan udara dan intensitas cahaya diukur setiap 1 jam sekali selama pengambilan serangga pada setiap lokasi pengamatan. Suhu dan kelembapan udara diukur menggunakan termohigrometer, sedangkan intensitas cahaya diukur menggunakan lightmeter.

Pengawetan Serangga

Serangga yang telah ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam botol 2 ml yang telah diisi alkohol 70%. Serangga yang berukuran kecil dimasukkan ke

Serangga yang telah disimpan dalam alkohol 70% kemudian dimounting di LIPI, Bogor. Setelah melalui proses mounting, serangga dikeringkan di dalam oven selama tujuh hari, lalu disimpan di dalam freezer selama dua hari. Serangga kemudian diidentifikasi hingga tingkat famili berdasarkan Triplehorn dan Johnson (2004), tingkat genus berdasarkan Michener (2000), tingkat spesies untuk Trigona berdasarkan Sakagami et al. (1990) dan Ceratina berdasarkan Vecht (1952) di bawah mikroskop stereo. Serangga kemudian difoto menggunakan kamera Nikon D5100 dengan lensa AF-S DX Micro Nikkor 85mm f/3.5G ED VR.

Analisis Data

Analisis data berupa korelasi jumlah spesies dalam suatu tipe habitat dengan kondisi lingkungannya menggunakan program R 2.14.2 (http://www.r-project.org/) untuk mendapatkan hasil Principle Component Analisys (PCA). Vektor korelasi dalam kuadran didapatkan dari regresi terhadap kondisi lingkungan dengan jumlah spesies yang didapatkan. Nilai korelasi Pearson dan nilai signifikansi dihitung menggunakan program Systat 10.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Spesies Ordo Hymenoptera

(15)

5 bryanti, Xylocopa collaris, X. confusa (Apidae), Reepenia sp., Lasioglossum sp., Agapostemon sp., Halictus sp., Megachile fulvifrons (Halictidae), Vespa tropica, V. bellicosa, Pseudepipona sp., Polistes sp., Stenodynerus sp. (Vespidae), Sphex aurulentus (Sphecidae), dan Monodontyx javanus (Pompilidae) (Tabel 2). Genus yang paling umum ditemukan pada ketiga habitat vegetasi tersebut adalah Trigona dan Apis. Di habitat pedesaan, ditemukan 9 spesies yaitu A. cerana, A. dorsata, A. andreniformis, T. laeviceps, T. geissleri, T. thoracica, T. fuscobalteata, X. latipes, X. confusa (Apidae) dan Lasioglossum sp. (Halictidae). Genus yang paling umum ditemukan adalah Trigona (4 spesies)(Tabel 2).

Di perkebunan kelapa sawit, ditemukan 16 spesies selama pengamatan. Spesies yang paling banyak ditemukan pada habitat ini adalah A. cerana, A. dorsata, dan Trigona. Selain Hymenoptera, terdapat juga serangga yang termasuk ke dalam ordo Diptera, famili Syrphidae, subtribe Eristalina, yaitu Palpada sp. dan Ornidia sp yang tertangkap pada habitat perkebunan kelapa sawit, namun data ini tidak dipublikasikan. Lalat dari famili Syrphidae termasuk lalat yang paling mirip dengan lebah yang biasa ditemukan pada bunga (Morse 1980). Jumlah spesies yang paling banyak di habitat perkebunan kelapa sawit terdapat pada HO2 (7 spesies). Lokasi yang memiliki jumlah spesies paling sedikit adalah HO1 (3 spesies). Banyak takson hewan yang berkurang keanekaragaman dan kelimpahannya pada konversi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pada lokasi tersebut umumnya terjadi kehilangan spesies yang hidup dalam jumlah yang besar (Foster et al. 2011).

Di lokasi HR, ditemukan 9 spesies dengan genus yang paling banyak ditemukan adalah Ceratina. Lokasi yang memiliki jumlah spesies yang terbanyak adalah HR3 (6 spesies). Di lokasi HR2 tidak ditemukan serangga. Habitat perkebunan karet merupakan habitat yang memiliki keanekaragaman serangga paling rendah dibandingkan dengan tipe habitat lainnya. Beberapa penelitian melaporkan penurunan jumlah fauna yang signifikan pada perkebunan, dibandingkan dengan hutan alami. Danielsen dan Heegaard (1995) melaporkan bahwa konversi hutan karet menjadi perkebunan kelapa sawit dan karet menuju ke arah berkurangnya diversitas hewan.

Di hutan karet, ditemukan 14 spesies, genus yang paling umum ditemukan adalah Trigona (7 spesies). Lokasi hutan karet yang paling banyak memiliki keanekaragaman spesies adalah HJ3 (7 spesies), sedangkan yang paling sedikit terdapat pada HJ1 (2 spesies). Pada umumnya, kekayaan spesies pada hutan karet lebih tinggi dibandingkan pada perkebunan karet. Hutan karet mendukung diversitas spesies pada lahan yang didominasi oleh tanaman monokultur (Cotter et al. 2009).

(16)

6

Tabel 2 Jumlah spesies Hymenoptera dan kondisi lingkungan pada setiap habitat di Jambi

34 Monodontonyx javanusa

35 Vespa bellicosaa

(17)

7

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h) (i)

(j) (k) (l)

(m) (n) (o)

(p) (q) (r)

(s) (t) (u)

(18)

8

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3 Serangga Hymenoptera herbivor: (a) Halictus sp., (b) Agapostemon sp., (c) Lasioglossum sp., (d) Reepenia sp. (Halictidae) dan (e) Megachile fulvifrons (Megachilidae)

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g)

Gambar 4 Serangga Hymenoptera predator: (a) Monodontyx javanus (Pompilidae), (b) Sphex aurulentus (Sphecidae), (c) Polistes sp., (d) Vespa bellicosa, (e) V. tropica, (f) Pseudepipona sp., dan (g) msp. (Vespidae)

(19)

9 Serangga Sphecidae betina melakukan perburuan terhadap Arthropoda untuk dijadikan makanan bagi keturunannya (Bohart dan Menke 1976). Famili Vespidae merupakan predator dari famili Apidae dan beberapa serangga herbivor lainnya (Michener 2000). Serangga Vespidae dapat menyerang lebah pada saat lebah mencari pakan atau pada saat lebah masuk ke sarang (Morse 1980). Proses predasi tersebut tidak ditemukan pada saat pengamatan.

Berdasarkan hasil pengamatan, genus Trigona memiliki jumlah spesies paling banyak ditemukan selama pengamatan (10 spesies) (Tabel 2), dan delapan spesies yang ditemukan termasuk ke dalam database stingless bee Schwarz (1939) (Tabel 3). Terdapat dua spesies endemik di Sumatera, yaitu Trigona minangkabau dan T. lieftincki (Sakagami et al. 1990). Salah satu spesies endemik yang ditemukan pada pengamatan ini adalah T. minangkabau (Gambar 2i).

Kekayaan dan kelimpahan stingless bee dipengaruhi oleh keanekaragaman struktur dan kondisi hutan lokal, seperti jarak dengan hutan primer, jarak dengan tepi hutan (Liow et al. 2001), keanekaragaman habitat, dan tingkat gangguannya (Salmah et al. 1990).

Tabel 3 Keberadaan Trigona berdasarkan database stingless bee (SC= Schwarz 1939, SN= Sakagami 1990)

No Genus Subgenus Spesies SC SN

1 Hypotrigona (Pariotrigona) pendleburyi +

2 scintillans +

3 Trigona (Lepidotrigona) nitidiventris* + +

4 trochanterica +

5 terminata* + +

6 ventralis ventralis * + +

7 (Homotrigona) fimbriata + +

8 (Heterotrigona) itama* + +

9 (Lophotrigona) canifrons + +

10 (Geniotrigona) thoracica* + +

11 (Tetrigona) apicalis + +

(20)

10

Ciri-ciri Umum Serangga yang Dikoleksi

Famili Apidae merupakan salah satu famili lebah yang paling tinggi keanekaragamannya. Apidae terdiri dari famili lebah sosial, lebah soliter dan lebah komunal. Banyak lebah Apidae memiliki alat mulut yang telah termodifikasi menjadi proboscis, yang memungkinkan untuk menghisap nektar. Apidae juga memiliki tungkai yang berseta dan kantong polen pada tungkainya, misalnya genus Apis dan Trigona (Michener 2000). Apidae dibagi ke dalam tiga subfamili, yaitu Apinae, Xylocopinae dan Nomadinae (Roig-Alsina dan Michener 1993). Dalam pengamatan ini hanya ditemukan subfamili Apinae dan Xylocopinae.

Subfamili Apinae terdiri dari semua lebah yang memiliki korbikula, salah satunya adalah lebah madu (Michener 2000). Lebah madu dapat dikenali dari tubuhnya yang berwarna coklat keemasan, bentuk sel marjinal dan submarjinal sayap depannya dan tidak adanya taji pada tibia belakang. Lebah madu merupakan spesies yang umum dan banyak diketahui dan merupakan lebah yang paling berperan penting dalam polinasi (Triplehorn dan Johnson 2004). Serangga dalam subfamili Xylocopinae memiliki ukuran yang sangat beragam, namun serangga-serangga tersebut memiliki karakter yang sama, yaitu memiliki basitarsus belakang yang panjang, ramping dan hampir tidak datar, dan juga relatif memiliki kepala yang rata (Michener 2000).

Famili Halictidae memiliki ukuran tubuh kecil hingga sedang. Beberapa spesiesnya berwarna metalik, umumnya dikenali melalui segmen pertama yang bebas dan melengkung pada venasi tengah sayapnya (Triplehorn dan Johnson 2004). Halictinae termasuk kelompok lebah yang memiliki alat mulut yang pendek (Alexander dan Michener 1995). Serangga pemotong daun (leaf-cutter bee) atau serangga famili Megachilidae memiliki labrum yang berbentuk seperti persegi panjang dengan gigi sebanyak tiga atau lebih. Serangga ini membawa bahan-bahan untuk membuat sarang mereka menggunakan mandibulanya (Michener 2000).

Famili Pompilidae atau spider wasp adalah serangga soliter yang ramping dengan tungkai panjang dan berduri, umumnya berukuran tubuh sekitar 35-40 mm dan berwarna gelap dengan sayap keabuan atau kekuningan (Day 1988). Famili Sphecidae dapat dibedakan dari tawon lainnya dengan memperhatikan pronotumnya yang lurus pada bagian batas posteriornya dan umumnya terdapat penyempitan diantara batas posterior dengan mesoskutumnya (membentuk seperti kerah). Secara lateral, pronotum berakhir pada cuping melingkar yang tidak mencapai tegula (O’Neill 2000).

(21)

11 Serangga dalam subfamili Vespinae dan Polistinae adalah serangga eusosial (Hunt 2007). Subfamili Polistinae atau yang dikenal dengan paper wasp bertubuh memanjang dan ramping dengan metasoma yang berbentuk seperti gelendong, umumnya berwarna kemerahan atau coklat dengan tanda kuning (Triplehorn dan Johnson 2004). Subfamili Vespinae memiliki ciri clypeus dengan potongan yang lebar dan berseta panjang pada bagian kepala dan tubuhnya (Buck et al. 2008).

Deskripsi Trigona

Pada umumnya, Trigona merupakan spesies yang berukuran kecil, berwarna hitam dan tidak menyengat. Lebah ini tersebar di daerah tropis dan subtropis selatan belahan dunia. Trigona dapat ditemukan dalam koloni yang anggotanya berupa seekor ratu dan pekerja betina yang jumlahnya berkisar dari hanya beberapa puluh sampai 180.000 individu atau lebih (Michener 2000). Berdasarkan hasil pengamatan, Trigona laeviceps merupakan spesies Trigona yang paling banyak ditemukan dan hampir terdapat pada setiap tipe habitat. Berdasarkan Sakagami et al. (1990) T. (Tetragonula) laeviceps (Gambar 2d) memiliki ukuran tubuh kurang dari 4 mm (sekitar 3,5 mm atau lebih); memiliki warna utama hitam, pada kepalanya (kecuali pada clypeus) dan pada mesosomal dorsumnya berwarna kehitaman; ruang malarnya linear atau lebih pendek dari setengah lebarnya flagellomere; gena terlihat jelas lebih pendek dari mata; jarak ocellocipital sekitar setengahnya dari diameter ocellar; memiliki dua gigi yang lemah pada mandibulanya; memiliki mesoscutal yang tidak berseta terutama pada bagian lateral yang pertama, tidak jelas terlihat; mesoscutellum terlihat jelas memproyeksikan ke belakang, memiliki kemiringan melebihi propodeum bagian posterior; propodeum tidak berseta dan berkilau; basitarsus belakang memiliki cakram elips pada bagian bawahnya mendekati bulu halus, berukuran setengah dari lebar dari tibia belakang atau lebih pendek; ukuran tibia belakangnya kurang dari 2 mm, seta pada bagian posteriornya terdiri dari seta bercabang; sayap depannya tidak berwarna atau hanya sedikit berwarna kecoklatan.

(22)

12

Kondisi Lingkungan di Lokasi Penelitian

Pengamatan lingkungan yang dilakukan pada setiap lokasi menunjukkan hasil yang bervariasi dengan kisaran suhu rata-rata pada tiga habitat utama, yaitu 25,6 – 32,4 oC. Suhu rata-rata yang paling tinggi terukur pada HR3 (25,6 oC) dan suhu rata-rata terendah terukur pada HJ3 (32,4 oC) (Gambar 9). Kisaran kelembapan udara adalah 72 – 89%, dengan kelembapan udara tertinggi terukur pada HJ3 (89%), dan kelembapan udara terendah terukur pada HR3 (72%) (Gambar 10). Kisaran intensitas cahaya pada ketiga habitat utama adalah sebesar 3204 – 30992 lux dengan intensitas cahaya tertinggi terukur pada HO3 (30992 lux) dan intensitas cahaya terendah terukur pada HR3 (3204 lux) (Gambar 11). Pengamatan lingkungan dilakukan untuk mengetahui korelasi kondisi lingkungan dengan jumlah spesies yang ditemukan selama pengamatan.

Gambar 5 Rata-rata suhu pada setiap lokasi pengamatan

Gambar 6 Rata-rata kelembapan udara pada setiap lokasi pengamatan

Gambar 7 Rata-rata intensitas cahaya pada setiap lokasi pengamatan

(23)

13

Hubungan Faktor Lingkungan dengan Jumlah Spesies

Secara umum, jumlah spesies memiliki korelasi positif dengan suhu, dengan nilai korelasi 0.11. Jumlah spesies Hymenoptera juga berkorelasi positif dengan intensitas cahaya dengan nilai korelasi 0.168. Namun, jumlah spesies dengan kelembapan udara memiliki korelasi negatif dengan nilai korelasi -0.089 (Tabel 4). Semakin besar nilai korelasi maka kedua faktor yang dikorelasikan memiliki korelasi yang kuat. Hasil PCA menunjukkan arah vektor dalam kuadran korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies. Di habitat perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet, jumlah spesies menunjukkan korelasi positif dengan suhu dan intensitas cahaya yang ditunjukkan dengan arah vektor yang searah, sedangkan jumlah spesies dengan kelembapan udara berkorelasi negatif yang ditunjukkan dengan arah vektor yang berlawanan (Gambar 12a).

Pada habitat hutan karet, jumlah spesies Hymenoptera berkorelasi positif dengan kelembapan udara dan berkorelasi negatif dengan suhu dan intensitas cahaya (Gambar 12b). Hal ini dikarenakan habitat hutan karet memiliki suhu udara dan intensitas cahaya yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua habitat vegetasi perkebunan. Sedikitnya sinar matahari yang masuk ke dalam habitat ini menyebabkan serangga melakukan pencarian pakan pada pohon yang lebih tinggi. Menurut Verma dan Dulta (1986), aktivitas mencari pakan Apis cerana terhambat dan berhenti lebih awal seiring dengan meningkatnya ketinggian pohon.

Tabel 4 Korelasi antara faktor lingkungan dengan jumlah spesies Hymenoptera

Parameter lingkungan Jumlah Spesies

Korelasi Pearson Probabilitas

Suhu 0.11 1

Kelembapan udara -0.089 1

Intensitas cahaya 0.168 1

(a) (b)

(24)

14

Korelasi jumlah spesies Hymenoptera dengan parameter lingkungan memiliki nilai probabilitas sebesar 1. Hal ini menunjukkan bahwa parameter lingkungan dan jumlah spesies tidak berkorelasi signifikan. Menurut Faheem et al. (2004), aktivitas mencari makan serangga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti ketinggian, temperatur udara, intensitas cahaya, kelembapan udara, kecepatan angin, dan curah hujan.

Suhu udara mempengaruhi serangga pollinator. Energi yang diperlukan pada saat serangga mencari pakan sebagian dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Heinrich 1979). Aktivitas pencarian pakan lebah juga sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu udara. Aktivitas pencarian pakan akan berhenti pada saat suhu udara lebih rendah dari 8 oC. Aktivitas lainnya berlangsung pada suhu antara 8-16 o

C, aktivitas optimum berlangsung pada suhu antara 16-32 oC dan aktivitas pencarian pakan akan berkurang pada saat suhu di atas 32 oC (Roberts 1979).

Faheem et al. (2004) melaporkan bahwa aktivitas serangga sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya, baik pada serangga nokturnal dan diurnal. Lebah madu beraktivitas pada saat intensitas cahaya sebesar 500 lux dan aktivitasnya menurun dan berhenti pada saat intensitas cahaya sebesar 10 lux (Levchenko 1961). Kelembapan udara juga mempengaruhi aktivitas serangga (Levesque dan Burger 1982) dan lebah (Cruden 1972).

Keseimbangan Ekosistem

Jumlah spesies hewan pada suatu habitat tidak hanya ditentukan oleh faktor lingkungannya, tapi juga oleh ketersediaan makanan. Makanan adalah salah satu faktor yang sangat penting dalam menentukan banyaknya hewan (Triplehorn dan Johnson 2004). Pada perkebunan kelapa sawit terdapat tanaman semak yang pada umumnya didominasi oleh tanaman Mimosa pudica.Pada tipe habitat perkebunan kelapa sawit masih ditemukan lebih banyak spesies dibandingkan tipe habitat lainya dan ditemukan 3 spesies predator yang termasuk ke dalam famili Vespidae, yaitu Sphex aurulentus, Polistes sp., dan Vespa tropica. Banyaknya spesies yang ditemukan pada saat pengamatan dikarenakan serangga masih bisa melakukan aktivitas pencarian pakan pada bunga kelapa sawit. Danielsen et al. (2009) melaporkan bahwa keanekaragaman avertebrata (nyamuk, lebah, kumbang, kupu-kupu, semut dan ngengat) tidak banyak berbeda antara pada perkebunan kelapa sawit dengan hutan. Namun, Foster et al. (2011) menyatakan bahwa pada perkebunan kelapa sawit terjadi kehilangan spesies yang lebih besar dalam jangka waktu yang panjang. Walaupun masih terdapat spesies herbivor dan predator, namun jika beberapa herbivor mencari pakan pada jenis tanaman yang sama dalam satu tempat maka tempat tersebut memiliki keanekaragaman yang rendah (Duffy 2002).

(25)

15 nektar atau polen yang dapat diambil oleh serangga pada pohon karet sangat terbatas.

Pada habitat hutan karet terdapat beberapa spesies serangga yang mencari pakan pada pohon-pohon yang tidak teramati oleh pengamat. Oleh karena itu, sebagian serangga tidak dapat dikoleksi. Walaupun kondisi hutan karet lebih tertutup dan lembab dibandingkan habitat perkebunan, serangga masih dapat hidup di habitat tersebut. Agroforestri ini ditanam dan dimiliki petani dengan komponen vegetasinya cukup besar, sebagai vegetasi hutan sekunder (Beukema et al. 2007). Sebagai agroforestri yang kompleks, habitat tersebut dapat menyediakan lebih banyak pengaruh ekologis yang positif dibandingkan dengan perkebunan karet (Angelsen 1995).

Berdasarkan Liow et al. (2001), terdapat kecenderungan penurunan kepadatan jumlah spesies dan populasi pada beberapa takson di Asia Tenggara yang disebabkan oleh meningkatnya gangguan hutan, seperti penebangan atau perubahan hutan menjadi lahan monokultur. Salah satunya takson yang memiliki kecenderungan penurunan spesiesnya adalah lebah. Padahal, kelompok lebah memiliki fungsi ekosistem yang penting, seperti siklus nutrisi, predasi dan polinasi. Kelimpahan lebah memiliki potensi sebagai penyangga ekosistem dalam melawan perubahan yang disebabkan hilangnya spesies serangga lain (Fitzherbert et al. 2001).

SIMPULAN

Dalam penelitian ini didapatkan 6 famili Hymenoptera di tiga habitat vegetasi (perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet dan hutan karet) dan habitat pedesaan di sekitar Hutan Harapan, Jambi, Sumatera, yaitu Apidae, Halictidae, Megachilidae, Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae. Kelimpahan terbesar Hymenoptera di habitat tersebut pada genus Apis dan Trigona. Spesies endemik yang ditemukan pada penelitian ini ialah Trigona minangkabau. Famili Apidae, Halictidae dan Megachilidae merupakan spesies herbivor, sedangkan famili Pompilidae, Sphecidae dan Vespidae merupakan serangga predaor. Keanekaragaman Hymenoptera yang paling tinggi terdapat pada habitat perkebunan kelapa sawit, dan paling rendah pada perkebunan karet dan pedesaan. Secara umum, jumlah spesies yang ditemukan memiliki korelasi positif dengan suhu dan intensitas cahaya, namun berkorelasi negatif dengan kelembapan udara.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander BA, Michener CD. 1995. Phylogenetic studies of the families of short-tongued bees. Univ Kansas Sci Bull. 55:377-424.

Angelsen A. 1995. Shifting cultivation and “deforestation”, a study from Indonesia. Wor Develop. 23: 1713-1729.

(26)

16

Bohart RM, Menke AS. 1976. Sphecid Wasps of the World: A Generic Revision. Barkeley (US): Univ of California Pr.

Buck M, Marshall SA, Ceung DKB. 2008. Identification atlas of the Vespidae (Hymenoptera, Aculeata) of the northeastern Neartic region. Canada J Arthrop Identif . 5: 1-492.

Carpenter JM. 1981. The phylogenetic: relationships and natural classification of the Vespoidea (Hymenoptera). Syst Entomol. 7: 11-38.

Carpenter JM, Cumming JM. 1985. A character analysis of the North American

Cruden RW. 1972. Pollinators in high-elevation ecosystem: Relative effectiveness of birds and bees. Sci. 176: 1439-1440.

Danielsen F, Heegaard M. 1995. Impact of logging and plantation development on species diversity – a case study from Sumatra. Di dalam: Sandbukt O. 1995. Centre for Development and the Environment. Oslo (NO): University of Oslo. hlm. 73-92.

Danielsen F, Beukema H, Burgess ND, Parish F, Brühl CA, Donald PF, Murdiyarso D, Phalan B, Reijnders L, Struebig M et al. 2009. Biofuel plantations on forested lands: double jeopardy for biodiversity and climate. Conserv Biol. 23:348-358.

Day MC. 1988. Spider Wasp (Hymenoptera: Pompilidae). London (GB): Royal Entomological Society of London.

Devanesan S, Premila KS, Shailaja KK. 2011. Influence of climate change on rubber honey production. Nat Rubb Res. 24: 170.

Duffy JE. 2002. Biodiversity and ecosystem function: the consumer connection. OIKOS 99:201-219.

Ekadinata A,Vincent G. 2008. Dinamika tutupan lahan Kabupaten Bungo, Jambi. Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL, Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). hlm. 53-62.

Faheem M, Aslam M, Razaq M. 2004. Pollination ecology with special reference to insects-a review. J Res (Sci). 15: 395-409.

Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, Bruhl CA, Donald PF, Phalan B. 2008. How will oil palm expansion affect biodiversity? Trends Ecol Evol. 23:538–545.

Foster WA, Snaddon JL, Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV et al. 2011. Establishing the evidence base for maintaining biodiversity and ecosystem function in the oil palm landscape of South East Asia. Phil Trans R Soc B. 366 : 3277-3291.

Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of the World: An identification Guide to Families. Ottawa (CA): Agriculture Canada Publication.

(27)

17 Levchenko IA. 1961. Twilight vision of bees. Pchelovodstvo. 38: 5-6.

Levesque CM, Burger JF. 1982. Insects (Diptera, Hymenoptera) associated with Minuartia groenlandica (Caryophyllaceae) on Mount Washin gton, New Hampshire, and their possible role as pollinators. Arct Alp Res. 14: 117-124.

Liow LH, Sodhi NS, Elmqvist T. 2001. Bee diversity along a disturbance gradient in tropical lowland forests of Southeast Asia. J App Ecol. 38: 180–192. McGeoch MA, Chown SL. 1998. Scaling up the value of bioindicators. TREE. 13:

46-47.

Michener CD. 2000. The Bees of The World. Baltimore (US): The John Hopkins Univ Pr.

Morse RA. 1980. Honey Bee Pests, Predators, and Disease. London (GB): Cornell Univ Pr.

O’Neill KM. 2000. Solitary Wasp: Behavior and Natural History. California (US): Comstock Publication.

Roberts RB. 1979. Energetics of cranberry pollination. Proc 4th Int Symp Poll Md Agric Exp Stn Spec Misc. 1: 431-440.

Sakagami SF, Ohgushi R, Roubik DW. 1990. Natural History of Social Wasps and Bees in Equatorial Sumatra. Sapporo (JP): Hokkaido Univ Pr.

Salmah S, Inoue T, Sakagami SF. 1990. An analysis of apid bee richness (Apidae) in central Sumatra. Di dalam: Sakagami SF, Ohgushi R, Roubik DW, editor. Natural History of Social Wasps and Bees in Equatorial Sumatra. Sapporo (JP): Hokkaido Univ Pr. hlm 139-174.

Schwarz HF. 1939. The Indo-Malayan species of Trigona. Bull Amer Mus Nat Hist. 76:83-141.

Sodhi NS, Koh LP, Brooke BW and Ng PK. 2004. South East Asian biodiversity: an impeding disaster. Trends Ecol Evol. 19:654–660.

Speight MR, Hunter MD, Watt AD. 1999. Ecology of Insects, Concept and Aplications. Oxford (GB): Blackwell Science.

Taher, M. 2005. Potret Perubahan Kondisi Hutan Jambi 1990-2000: Dasawarsa Hilangnya Sejuta Hektar Hutan. Di dalam: Adnan H, Tadjudin D, Yuliani EL, Komarudin H, Lopulalan D, Siagian YL, Munggoro DW, editor. Belajar dari Bungo: Mengelola Sumberdaya Alam di Era Desentralisasi. Bogor (ID): Center for International Forestry Research (CIFOR). hlm. 37-49.

Triplehorn CA, Johnson NF. 2004. Borror and DeLong’s Introduction To the Study of Insect 7th Edition. Stamford (US): Cengage Learning.

Vecht JvD. 1952. A preliminary revision of the oriental species of the genus Ceratina (Hymenoptera, Apidae). Zoologishe Verhandelingen 16. Leiden (NZ): E.J. Brill.

(28)

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Januari 1990 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Saso Soegiarso Soegito dan Prapti Nirmalawati. Penulis lulus dari SMP Negeri 5 Bogor pada tahun 2005 dan lulus dari SMA Negeri 3 Bogor pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Jurusan Biologi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis memiliki pengalaman sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Ekologi Dasar pada tahun 2010, Avertebrata dan Fungsi Hayati Hewan pada tahun 2011, Vertebrata pada tahun 2012 dan Fungsi Hayati Hewan pada tahun 2013. Penulis aktif sebagai anggota UKM Bola Basket IPB (AGRIC) sejak tahun 2008.

Gambar

Tabel 1 Lokasi pengamatan Hymenoptera di Jambi
Tabel 2 Jumlah spesies Hymenoptera dan kondisi lingkungan pada setiap habitat di Jambi
Gambar 2 Serangga dalam famili Apidae: (a) Apis cerana, (b) A.dorsata, (c) A.
Gambar 3 Serangga Hymenoptera herbivor: (a) Halictus sp., (b) Agapostemon sp.,
+4

Referensi

Dokumen terkait

temuan pada tikus putih jantan dengan pemberian ekstrak air (seduhan) akar pasak bumi, antara lain (1) terjadi peningkatan kadar testosteron serum yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada karyawan unit Direktorat IT Solution & Supply kantor telkom Japati Bandung mengenai faktor – faktor stres yang

Kempiskan adonan, tusuk-tusuk dengan garpu lalu potong adonan kecil-kecil & bulatkan (kira2 sebesar bola golf) Lalu pipihkan adonan kedalam loyang yang telah diberi sedikit

Hasil penelitian dari hasil pengolahan atau perhitungan kuisioner pada Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Usaha Ternak Sapi Potong dengan

(4) Apakah terdapat pengaruh signifikan secara simultan keterlibatan kerja, disiplin kerja,dan kompensasi kerja terhadap produktivitas kerja karyawan pada Pabrik

Pengembangan kapas di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat dilakukan di lahan tadah hujan dengan musim hujan yang

Menurut nashr al-din al- thusi, rida adalah tidak merasa kecewa, baik secara lahiriah maupun batiniah, dan baik hati, perkataan maupun perbuatan, atas segala yang terjadi dalam

In vitro study was using Hep-G2 cells and samples were divided into four groups; 2 control group treatment, 1 experiment group exposed to 727µM chlorogenic acid, 1 experiment