• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

RUDY MASHUDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 31 Oktober 2014

(3)

RINGKASAN

RUDY MASHUDI. Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Dibimbing oleh M. PARULIAN HUTAGAOL dan SRI HARTOYO.

Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dunia tidak hanya dipengaruhi oleh sektor formal, namun juga dipengaruhi oleh sektor informal. Sektor informal turut berkontribusi dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang di dunia (Loayza, 1997 : 1). Indonesia menjadi salah satu negara yang juga mengalami perkembangan sektor informal, terutama setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008/2009 (Mubarok, 2012 : 1). Fenomena perkotaan tersebut juga dialami oleh Kota Bogor yaitu penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL). Beberapa hasil pendataan dan penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa jumlah PKL di Kota Bogor semakin besar dari tahun ke tahun, dari 2.140 PKL di tahun 1996 menjadi 9.710 di tahun 2012. Lokasi PKL tersebar di 51 titik kota, dengan 3 kawasan prioritas yaitu Jalan MA Salmun, Jalan Nyi Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. 2 tiitk kawasan prioritas telah dibenahi yaitu di Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas, sedangkan Jalan Dewi Sartika masih dipenuhi PKL. Jumlah PKL di Jalan Dewi Sartika (Taman Topi) sebanyak 323 PKL (Kantor KUMKM, 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif strategi terhadap penataan PKL di Kota Bogor yang akan berdampak pada efektivitas penataan PKL, dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika (Sekitar Taman Topi), mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pembinaan PKL di Jalan Dewi Sartika serta merumuskan alternatif-alternatif strategi dan program dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, dengan mengambil 50 sampel responden untuk PKL di Jalan Dewi Sartika untuk mendapat gambaran karakteristik PKL dan 50 sampel pembeli/masyarakat untuk mendapat gambaran preferensi masyarakat tentang PKL. Selain itu penetapan startegi penataan PKL menggunakan analisa SWOT dan Analitical Hierarchy Process (AHP).

Hasil penelitian menggambarkan karakteristik umum PKL yang rata-rata berpendidikan rendah (54%) dan bermodal kecil (32%). PKL memiliki motivasi berdagang karena akibat PHK (34%). Sementara itu, masyarakat membutuhkan keberadaan PKL, namun merasa terganggu akibat banyak ruang publik yang digunakan sehingga tidak nyaman (40%). Dari hasil identifikasi faktor internal dan eksternal terhadap penataan PKL, yang kemudian dianalisis dengan Internal Factor Evaluation (IFE) dan Eksternal Factor Evaluation (EFE) dan analisis SWOT, dihasilkan empat strategi alternatif dalam penataan PKL antara lain : tinjau ulang Kebijakan tentang PKL, Meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL, Memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha, dan Mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota.

(4)

berurutan strategi yang diprioritaskan dalam penataan PKL di Kota Bogor adalah Review Kebijakan tentang PKL (0.350), meningkatkan Kemitraan Pemerintah dengan PKL (0.267), memfasilitasi Ruang Usaha dan Rasa Aman Berusaha (0.218), dan mengoptimalkan Sarana Prasarana Kota (0.165).

Penataan PKL menjadi agenda prioritas di Kota Bogor untuk dilaksanakan dengan pendekatan regulasi dan teknis yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Keberadaan PKL harus menjadi potensi ekonomi kota, tanpa menurunkan nilai esetika kota. Perlu kemitraan yang berkelanjutan antara Pemerintah, PKL, masyarakat, swasta, dan akademisi.

(5)

SUMMARY

RUDY MASHUDI. Street vendor structuring strategy on Dewi Sartika Street Bogor City. Supervisor by M. PARULIAN HUTAGAOL and SRI HARTOYO.

Tehe dynamic of world economic development is not only influenced by the formal sectors but also influenced by the informal sectors. The informal sectors contrbute the economic growth, mainly in developing countries in the world (Loayza, 1997). Indonesia has become one of the country wich has growth in informal sectors, especially after economic crisis in 1997 and 2008/2009 (Mubarok, 2012). Those city phenomena also happened to Bogor City in handling street vendors. Some data result and former research showed that street vendors in Bogor City became more and more in years, started from 2.140 street vendors in 1996 become 9.710 in 2012. They spread in 51 locations or place, with 3 priority locations wich are MA Salmun Street, Nyi Raja Permas Street, and Dewi Sartika Street. Two priority locations were structured in MA Salmun and Nyi Raja Permas streets. While Dewi sartika street still placed by the street vendors. The amount of street vendors in Dewi Sartika Street are 323 Street Vendors (KUMKM, 2014)

This research aimed to get the alternative strategy in structuring street vendor in Bogor city wich will imply to the effectivity of structuring sreet vendor, by indentifying and analyzing the cararcterisic of street vendor on Dewi sartika street (around Taman Topi), identify and analyze internal and external factors to make influence street vendor contruction in Dewi Sartika ang also to formulate the alternatives program and strategy in structuring street vendors in Dewi Sartika street. The research uses quantitative method, with 50 respondents form the street vendors on Dewi Sartika Street to get the characteristic description of street vendors 50 respondents from the buyers/ people to get preference people about street vendor. Beside that, determining of street vendor structuring strategy uses SWOT anlysis and Analitical Hierarchy Process (AHP).

The research result describes the general characteristic of street vendor has low education (54%) and small capital (32%). They have motivation to selling because retired (34%). Meanwhile, people need them even sometimes they feeldisturb because there are so many public places used in order they feel uncomfortable (40%). The result from identification of internal and external factors toward street vendor managed have been to analysis with Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) and also SWOT analysis, we have got 4 alternative strategy in structuring street vendor. Review the street vendor policy, increase government government partnership with them, facilitate the trade space and safety trading, optimize city infrastructure.

Moreover those 4 alternative strategy was analyzed using AHP matrix by looking at focus aspect, factor, actor, goals, and alternative strategy. With AHP measurements with Expert Choice 10, we have got sequencely strategy wich focused in structuring street vendors in Bogor city are reviewing policy about them (0.350), increasing government partnership with them (0.267), facilitate trade space and safety trading (0.218), and optimize city infrastucture (0.165).

(6)

vendor existency must become economic potential in this city without any decreasing an art value in this city. Needs continuing partnership between government, street vendors, community, private, and academician.

(7)

©Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)

STRATEGI PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA

DI JALAN DEWI SARTIKA KOTA BOGOR

RUDY MASHUDI

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional

pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Judul Tugas Akhir : Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor

Nama : Rudy Mashudi

NIM : H252110065

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS. Ketua

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS. M.Ec

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah Strategi Penataan Pedagang Kaki Lima di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor. Tesis ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.Ir. Manuntun Parulian Hutagaol,MS dan Bapak Dr. Ir. Sri Hartoyo selaku pembimbing. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada :

1. Istri saya, Riastuti Kusuma Wardani, SKM, MKM dan anak-anak saya Muhammad Danish Hafuza, Hasna Adzkia Shalihah, dan Muhammad Dzaki

Muta‟aali yang selalu memberikan dorongan, do‟a, dan semangat.

2. Bapak dan Ibu Mertua, Bapak Supriyono dan Ibu Tiningsih atas do‟a dan kebaikan-kebaikannya.

3. Keluarga Besar Bapak Usman Johan, atas bantuan dan dukungannya.

4. Bapak Dr. Ir. Ma‟mun Sarma, MS, M.Ec selaku Ketua Program Studi beserta seluruh civitas akademika Program Magister Profesional Manajemen Pembangunan Daerah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah angkatan XIII yang telah bersama dalam perkuliahan dan memberikan sumbangsih pemikiran, semangat serta motivasi sehingga kajian ini dapat diselesaikan.

Akhirnya, dengan mengharap ridha Allah SWT semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 31 Oktober 2014

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Kajian 4

Kegunaan Kajian 4

Ruang Lingkup 4

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sektor Informal 5

Pedagang Kaki Lima 6

Pemberdayaan PKL 7

Manajemen Strategis 10

Analisis SWOT 13

Analytic Hierarchy Process (AHP) 14

Hasil Penelitian Terdahulu 16

3 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran 19

Lokasi dan Waktu Peneltian 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Pengumpulan Sampel 23

Metode Analisis Data 24

Keterbatasan Kajian 30

4 GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

Konidis Geografis dan Administrasi 30

Kependudukan dan Sumber Daya Manusia 31

Perekonomian Kota 33

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika Kota Bogor 38 Preferensi Masyarakat Terhadap PKL di Jalan Dewi Sartika 39

Strategi Penataan PKL di Jalan Dewi Sartika 39

Identifikasi Faktor Internal 39

Identifikasi Faktor Eksternal 43

Analisis SWOT 46

Internal Factor Evaluation (IFE) 46

Eksternal Factor Evalution (EFE) 47

Matriks SWOT 49

Analitical Hierarchy Process (AHP) 51

6 RANCANGAN PROGRAM PENATAAN PKL

Rancangan Program 55

7 SIMPULAN DAN SARAN

(13)

Saran 61

DAFTAR PUSTAKA 62

LAMPIRAN 66

RIWAYAT HIDUP 87

DAFTAR TABEL

1 Data PKL di Kota Bogor 2

2 Matrik SWOT 13

3 Matrik Perencanaan Strategis Kuantitatif 14

4 Skala Banding Secara Berpasangan dalam AHP 16

5 Penelitian Terdahulu 17

6 Metode Pengumpulan Data 22

7 Aspek Yang diteliti, Variabel, Sumber Data 23

8 Penentuan Nilai Bobot Faktor Strategis Internal 26

9 Penentuan Nilai Bobot Faktor Strategis Internal 26

10 Luas Wilayah Menurut Kecamatan 30

11 Luas Wilayah, Jumlah RT/RW, Jumlah Penduduk 31

12 Jumlah Kelahiran dan Kematian di Kota Bogor 31

13 Perkembangan Kontribusi Sektor dalam PDRB Tahun 2009 s.d 2013 Atas Dasar Harga Berlaku (HK) Kota Bogor

34

14 Nilai Dan Kontribusi Sektor dalam PDRB

K

ota Bogor Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2010 s.d 2013

35

15 Nilai inflasi Kota Bogor Tahun 2009-2013 36

16 PDRB Per kapita Atas Dasar harga konstan Tahun 2000 Tahun 2008 s.d 2012 Kota Bogor

36 17 Prosentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan di Kota Bogor 37 18 Jumlah Perkiraan Distribusi Angkatan Kerja Yang Bekerja Menurut

Tingkat Pendidikan

37

19 Indikator--‐indikator Utama Ketenagakerjaan 38

20 Jumlah Angkatan Kerja Yang Bekerja Menurut Lapangan Kerja 38 21 Matrik hasil perhitungan Internal Factor Evaluation 47 22 Matrik hasil perhitungan Eksternal Factor Evaluation 48

23 Matrik analisis SWOT 50

(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Manajemen Strategis 12

2 Kerangka Pemikiran 21

3 Indikator Faktor Internal dan Eksternal Strategi Penataan PKL 25

4 Struktur Hirarki AHP 28

5 Struktur Hirarki Penataan PKL di Kota Bogor 29

6 Hasil Perhitungan AHP pada aspek Faktor 52

7 Hasil Perhitungan AHP pada aspek Aktor 52

8 Hasil Perhitungan AHP pada aspek Tujuan 53

9 Hasil Perhitungan AHP pada aspek Alternatif Strategi 53

10 Dinamik Analisis Sensitivitas 54

11 Struktur Hirarki Strategi Penataan PKL di Kota Bogor 54

12 Konsep penataan PKL Yang diusulkan PKL 56

13 Kondisi Eksisting PKL Jalan Dewi Sartika 59

14 Rencana Penataan Alternatif 1 59

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuesioner Karakteristik PKL 66

2 Kuesioner Preferensi Masyarakat 67

3 Kuesioner Penentuan Bobot dan Rating Faktor Strategis Internal dan Eksternal Yang Mempengaruhi Penataan PKL di Kota Bogor

68

4 Kuesioner Analytical Hierarchy Process (AHP) 70

(15)

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dinamika pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dunia tidak hanya dipengaruhi oleh sektor formal, namun juga dipengaruhi oleh sektor informal. Sektor informal turut berkontribusi dalam kegiatan ekonomi, terutama di negara-negara berkembang di dunia (Loayza, 1997). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menjadi salah satu negara yang juga mengalami perkembangan sektor informal, terutama setelah masa krisis ekonomi tahun 1997 dan 2008/2009 (Mubarok, 2012).

Sektor informal di Indonesia sudah sejak lama menjadi tumpuan harapan banyak warga. Mereka memilih (baik dengan sukarela maupun terpaksa) masuk ke sektor informal karena karakteristik sektor ini relatif lebih sederhana. Para pekerja sektor informal tidak pernah dituntut harus memiliki tingkat pendidikan dan keahlian tertentu, asalkan mereka memiliki semangat dan ketekunan yang cukup besar untuk menjalankan usaha yang umumnya berskala kecil. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisir (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal namun tidak terdaftar (unregistered) (Bappenas, 2009).

Salah satu kegiatan sektor informal yang penuh dinamika di Indonesia adalah aktivitas yang dilakukan oleh Pedagang Kaki Lima (selanjutnya disebut PKL). Menurut Bappenas (2009) tumbuhnya usaha kecil-kecilan di perkotaan seperti PKL, pedagang asongan, penjual bakso dan sebagainya akibat dari proses migrasi tenaga kerja dari desa ke kota. Sejak dekade 1970-an Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta terjadi pula pergeseran struktur yang cepat dari sektor pertanian ke sektor non pertanian. Oleh karena umumnya sektor pertanian terdapat di desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi desa ke kota merupakan arah perpindahan tenaga kerja yang pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi. Hal yang menarik dari fenomena tersebut adalah banyaknya tenaga kerja yang bersifat swakarya dan swadaya, sehingga membentuk usaha-usaha informal, salah satunya PKL.

PKL merupakan kegiatan urban yang perkembangannya sangat fenomenal karena keberadaannya semakin tampak memenuhi ruang kota. Kegiatan ini dipahami sebagai kegiatan yang belum terwadahi, sehingga ruang publik menjadi satu-satunya tempat untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ruang publik telah menjadi suatu karakteristik yang identik dengan eksistensi PKL di kota-kota Indonesia (Siahaan, 2000)

(16)

Pemerintah Daerah dapat mengantisipasi berkembangnya PKL disetiap Kota/Kabupaten.

Fenomena perkotaan tersebut juga dialami oleh Kota Bogor. Kota dengan jumlah penduduk 1.004.831 jiwa (BPS,2013), menghadapi problematika penanganan sektor informal yaitu Pedagang Kaki Lima (PKL). Dalam dokumen Rencana Strategis Kota Bogor 2005 – 2009 dan RPJMD 2010 – 2014, penanganan PKL menjadi salah satu dari empat prioritas pembangunan di Kota Bogor. Namun, hingga awal tahun 2014 penanganan PKL belum menampakkan hasil sesuai rencana. Beberapa hasil pendataan dan penelitian terdahulu, menunjukkan bahwa jumlah PKL di Kota Bogor semakin besar dari tahun ke tahun (Disperindag; PINBUK; Ruhiyana, 2010; Mubarok : 2012; Rakhmawati, 2007). Terjadi peningkatan jumlah PKL dalam kurun waktu 15 tahun terakhir (data lihat pada Tabel 1). Hal ini terjadi karena adanya pengaruh krisis ekonomi yang mengakibatkan semakin tingginya angka pengangguran akibat PHK dan sulitnya lapangan kerja formal, sehingga menjadi PKL merupakan pilihan untuk tetap mendapatkan penghasilan (Ruhyana, 2010 dan Rakhmawati, 2007).

Tabel 1 Data PKL di Kota Bogor

No Tahun Jumlah PKL Sumber

1 1996 2.140 Pemkot Bogor

2 1999 6.340 Pusat Inkubasi Bisnis Usaha

Kecil (PINBUK)

3 2002 10.350 Dinas Perindustrian

Perdagangan dan Koperasi (Disperindag) Kota Bogor

4 2004 12.000 Renstra Kota Bogor 2005 - 2009

5 2009 7.782 LKPJ AMJ Walikota Bogor

2005-2009

6 2012 9.710 Kantor Koperasi dan UMKM

Kota Bogor Sumber : Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor (2012).

Menurut Mubarok (2012) dan Ruhyana (2010), tipologi karakter PKL di Kota Bogor penyebarannya mengikuti pola jaringan jalan dan beraglomerasi pada pusat-pusat kegiatan ekonomi seperti pasar, pertokoan, dan juga stasiun atau terminal. Menurut Rakhmawati (2007), cara berjualan PKL terbagi menjadi 3 kelompok yaitu : menggunakan badan jalan/ pasar tumpah, menggunakan selasar kios, dan juga menggunakan bangunan terlantar. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh aspek keterjangkauan atau aksesibilitas berdagang dengan calon pembeli. Tipologi ini menyebabkan ruang prasarana kota seperti trotoar, taman, bahkan badan jalan menjadi berubah fungsi dan membuat kesemrawutan kota.

(17)

Kondisi di lapangan justru menampakkan kesan semakin tidak tertangani, walaupun sudah ditetapkan perangkat kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Dalam keputusan tersebut telah ditetapkan 3 lokasi prioritas penataan yaitu di Jalan MA Salmun, Nyi Raja Permas, dan Jalan Dewi Sartika. Dari 3 (tiga) lokasi tersebut, 2 lokasi telah mendapatkan intervensi penataan yaitu di Jalan MA Salmun dan Nyi Raja Permas, namun di Jalan Dewi Sartika belum dilakukan penataan. PKL masih menempati trotoar, saluran drainase, dan sebagian badan jalan. Lokasi Jalan Dewi Sartika merupakan lokasi strategis karena berada diantara Pasar Kebon Kembang, Plaza Kapten Muslihat, pusat perkantoran dan Stasiun Kereta Api Bogor

Untuk itu, diperlukan strategi dalam penataan PKL di Kota Bogor, yang menyentuh kebutuhan PKL dan dapat menjadi solusi terhadap permasalahan PKL. Keberhasilan Kota Solo dalam memberikan pembinaan kepada PKL dan menata ruang publik kota, dapat menjadi inspirasi Pemerintah Kota Bogor dalam penataan PKL.

Perumusan Masalah

Sebagai bagian dari penggerak ekonomi kota, saat ini keberadaan PKL menjadi dilematis bagi pemerintah Kota Bogor. Karena disisi yang lain keberadaannya telah menimbulkan ketidaknyamanan, terutama pada ruang-ruang publik di Kota Bogor (LKPJ Walikota, 2012). Berbagai langkah telah diambil dan terus dikerjakan dalam upaya penataan dan pemberdayaan PKL, namun belum seluruhnya menampakkan hasil yang bisa menyelesaikan masalah PKL. Satu hal yang menjadi kunci dari keberhasilan penataan adalah mengetahui tentang data dan karakteristik PKL. Dalam proses penataan di Jalan Dewi Sartika diperlukan data yang akurat terkait karakteristik PKL yang berada di lokasi tersebut. Untuk itu, yang menjadi permasalahan pertama dalam penelitian ini adalah bagaimana karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika, ditinjau dari motivasi menjadi PKL, lama berjualan dilokasi tersebut, dan yang terkait dengan karakter usaha yang dilakukan di lokasi tersebut?

Pelaksanaan penataan PKL yang telah dan sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor, tidak terlepas dari arah kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya dalam bentuk regulasi atau Peraturan Daerah maupun Peraturan Walikota. Beberapa program dan kegiatan telah dilaksanakan, mulai dari penertiban, relokasi maupun penetapan zona-zona berdagang bagi PKL. Namun, hingga saat ini lokasi-lokasi prioritas penataan masih ditempati oleh PKL. Selain itu dalam kurun waktu pelaksanaan penataan dan pembinaan PKL telah menggunakan anggaran yang tidak sedikit. Dalam 10 tahun terakhir, hampir kurang lebih Rp. 10 Miliyar anggaran yang telah digunakan (Ruhyana : 2010). Dengan kondisi adanya potensi dan masalah dalam pembinaan tersebut, perlu diindentifikasi faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan secara internal, maupun faktor-faktor yang menjadi tantangan dan harapan dalam mengembangkan penataan dan pembinaan PKL di lokasi prioritas. Perlu dilakukan perumusan konsep yang fokus terhadap pembinaan PKL. Untuk itu, permasalahan kedua yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika?

(18)

dan pelibatan para pemangku kepentingan dalam pelaksanaannya. Pembinaan PKL dilokasi prioritas perlu strategi yang tepat agar sesuai dengan sasaran dan tujuan pembinaan PKL. Pembinaan PKL perlu dilakukan secara terencana, terinci, terpadu, dan berkelanjutan agar dapat dilaksanakan dengan program-program yang jelas dan tepat sasaran. Pelaksanaan program pembinaan PKL perlu redesign agar menghasilkan strategi dan program yang tepat bagi pembinaan PKL. Untuk itu, permasalahan ketiga yang perlu dirumuskan adalah apa strategi yang harus dilaksanakan Pemerintah Kota Bogor dalam penataan dan pemberdayaan PKL di Jalan Dewi Sartika?

Dalam pelaksanaan strategi perlu diturunkan pada program-program operasional yang akan menjadi agenda pelaksanaan penataan PKL di Jalan Dewi Sartika. Sehingga strategi yang telah dirumuskan akan dapat dilaksanakan dan menjadi keberhasilan dalam menata PKL. Untuk itu, permasalahan keempat yang perlu disusun adalah apa program-program penataan PKL di Jalan Dewi Sartika, dikaitkan dengan startegi yang telah dirumuskan ?

Tujuan Kajian

Kajian ini bertujuan untuk mendapatkan alternatif strategi terhadap penataan PKL di Kota Bogor yang akan berdampak pada efektivitas penataan PKL. Sedangkan tujuan khusus dari kajian ini, antara lain :

1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika (Sekitar Taman Topi).

2. Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.

3. Merumuskan alternatif-alternatif strategi dalam penataan PKL di Jalan Dewi Sartika dan menentukan strategi alternatif terbaik, dan

4. Menyusun Program-program yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Bogor dalam melakukan penataan dan pemberdayaan PKL.

Kegunaan Kajian

Kajian ini diharapkan memberikan manfaat dan kegunaan bagi para pihak yang terlibat dalam penataan dan pemberdayaan PKL. Secara khusus, antara lain :

1. Bagi pemerintah, diharapkan berguna menjadi alternatif dalam penataan PKL. Sehingga program dan rencana penanganan PKL dapat tercapai dan ruang kota semakin nyaman.

2. Bagi PKL, kajian ini memberikan gambaran tempat berdagang yang sesuai dengan karakteristik PKL, selain memberikan jaminan keamanan dalam berdagang sehingga tidak selalu dihantui oleh program penertiban dari pemerintah.

(19)

Ruang Lingkup Batasan Kajian

Besarnya jumlah PKL dan banyaknya titik PKL di Kota Bogor, maka kajian ini dibatasi untuk lokasi di kawasan prioritas penataan PKL yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa pertimbangan antara lain :

1. Lokasi tersebut menjadi lokasi prioritas sejak Perda nomor 13 tahun 2005 tentang penataan PKL, namun hingga saat ini belum tertangani.

2. Terdapat jumlah PKL yang cukup besar di lokasi tersebut. Menurut hasil pemetaan dari Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor tahun 2014, jumlah PKL sebanyak 323 PKL.

3. Lokasi berada di pusat kota, sehingga dapat mencerminkan wajah kota.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Sektor Informal

Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal (Mubarok, 2012). Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya kesulitan dalam membuat batasan yang jelas antar kedua

tipe ekonomi ini. “Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa

sektor ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak

digunakan dibandingkan istilah sektor informal.

Banyak pakar yang mengemukakan definisi sektor informal dan secara sederhana sektor informal adalah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, modal kecil, dan berusaha dengan pola yang sangat sederhana. Sethuraman (1978) menyebutkan bahwa,

“kebanyakan kegiatan sektor informal sifatnya masih sub sistem, oleh karena itu sektor informal dapat diartikan sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri. Sehingga mereka dihadapkan pada kendala seperti modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor ketrampilan”.

Selanjutnya Sarjono (2005:15) mengatakan bahwa :

“penelitian tentang sektor informal mengenai pelaku migran sirkuler sektor informal di kota dan dampaknya terhadap intensitas migrasi desa-kota menyebutkan bahwa kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenudi di desa. Pengungkapan perasaan tidak menyenangkan di daerah asal dipandang sebagai faktor pendorong dan

”kesempatan kerja sempit”.

(20)

(1) terjadi transformasi sosial di sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima pada arus individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima. (2) bahwa pada sektor atau pelaku perubahan yang terlibat atau subyek pada

transformasi sektor informal pedagang kaki lima, berlangsung perubahan secara kelindan dengan kompleksitas permasalahan ekonomi seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial.

(3) bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontitum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi per atau inter karakteristik baik dengan perluasan maupun pengambil alihanan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan. Kenyataan transformatif menunjukkan keduanya dapat terjadi secara bersamaan atau tidak sendiri-sendiri.

Pedagang Kaki Lima

Pemahaman PKL saat ini telah berkembang dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam pandangan pemerintah disebutkan bahwa PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap (Permendagri nomor 41/2012 pasal 1). Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Kelima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga (kaki) gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dari beberapa pandangan tersebut dapat diambil satu benang merahnya bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah mereka yang berjualan di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak permanen, bermodal kecil dan dilakukan secara pribadi atau berkelompok.

Pedagang Kaki Lima juga memiliki karakteristik tersendiri. Ramli (1992:58) melihat karateristik PKL dari pola daganganya yaitu :

(1) Kebanyakan PKL menjual barang dagangnya dengan harga luncur (sliding price system);

(2) terdapat proses tawar menawar yang merefleksikan penetapan harga secara perkiraan saja dan tanpa pembukuan yang ketat;

(3) berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari jual beli yang dilakukan dan bukan untuk mencari langganan tetap;

(4) ada mekanisme utang-mengutang kepada grosir atau kreditor.

Disamping itu menurut Kurniadi dan Tangkilisan (2003) lebih merinci lagi karakteristik dari PKL yaitu :

(1) Kelompok ini merupakan pedagang yang kadang-kadang juga berarti produsen sekaligus;

(21)

(3) Pedagang kaki lima umumnya bermodal kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya

merupakan ”alat” bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi

sebagai imbalan jerih payah;

(4) Pada umumnya kelompok Pedagang Kaki Lima ini merupakan kelompok marginal, bahkanada pula yang tergolong pada kelompok sub marginal;

(5) Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh para pedagang kaki lima yang mengkhususkan diri dalam hal penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang jauh lebih murah.

(6) Omset pedagang kaki lima ini pada umumnya memang tidak besar;

(7) Para pembeli umumnya para pembeli yang mempunyai daya beli rendah (berasal dari apa yang dinamakan lower income pockets);

(8) Kasus dimana pedagang kaki lima berhasil secara ekonomi, sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang hierarki pedagang yang sukses, agak langka; (9) Pada umumnya usaha para pedagang kaki lima merupakan famili enterprise, atau

malah one man enterprise;

(10) Barang yang ditawarkan pedagang kaki lima biasanya tidak standar, dan shifting jenis barang yang diperdagangkan para pedagang seringkali terjadi;

(11) Tawar menawar antar pedagang dan pembeli merupakan ciri khas usaha perdagangan pedagang kaki lima

(12) Terdapat jiwa kewirausahaan yang kuat pada para pedagang kaki lima.

Pemberdayaan PKL

Konsep Pemberdayaan PKL

Konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini

mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, emporing, and sustainable” (Kartasasmita, 1996).

Pemberdayaan memiliki tujuan 2 arah, pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan kedua memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok PKL sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan atau pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan sumberdaya yang mereka miliki, yang diharapkan mampu mendorong peningkatan pendapatan usaha dan penataan usaha PKL itu sendiri.

(22)

Pelaksanaan Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Bogor

Upaya penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor tetap dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi masyarakat, baik bagi pelaku PKL maupun bagi masyarakat konsumennya, disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, sehingga dengan demikian upaya penanganan didasarkan pada konsep pembinaan, penataan dan penertiban.

Penataan dan penertiban PKL senantiasa berlandasakan kepada peraturan yang telah ditetapkan antara lain :

1) Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. 2) Perda Kota Bogor nomor 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum.

3) Peraturan Walikota Bogor Nomor 25 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL.

4) Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45-146 tahun 2008 tentang Penunjukan Lokasi Pembinaan dan Penataan Usaha PKL sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45.-63 Tahun 2010 tanggal 4 Pebruari 2010.

Tujuan dari penataan PKL adalah mewujudkan Kota Bogor yang bersih, indah dan nyaman dengan PKL yang tertib dan teratur berdasarkan peraturan dan perundang-undangan. Sedangkan sasaran penataan PKL adalah Kota Bogor Bersih, bebas macet dan kumuh akibat PKL serta tertatanya PKL yang tidak mengganggu ketertiban umum. Sesuai dengan RPJMD Kota Bogor tahun 2010 – 2014, strategi secara umum dalam penataan Pedagang Kaki Lima (sektor informal) adalah mengalokasikan ruang untuk kegiatan sektor informal dengan strategi sebagai berikut :

1. Menata ruang kegiatan sektor informal yang ada 2. Mengalokasikan ruang baru untuk sektor informal

3. Melibatkan masyarakat dalam pengendalian ruang sektor informal. Rencana penataan PKL dilaksanakan melalui :

1. Menempatkan sektor informal di lokasi yang direncanakan

2. Menata kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan sektor informal

3. Membatasi pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan sektor informal dengan pembatasan area dan pengaturan waktu berdagang

4. Mengoptimalkan fungsi pasar untuk mengakomodir kebutuhan ruang sektor informal

5. Mengintegrasikan kegiatan sektor formal dan sektor informal

6. Melibatkan pemangku kepentingan dalam menjaga fasilitas publik agar tidak digunakan untuk kegiatan sektor informal

7. Mewajibkan setiap pengembang perumahan untuk mengalokasikan ruang bagi kegiatan sektor informal

Sedangkan strategi yang ditempuh dalam penanganan PKL tahun 2010-2014 difokuskan pada :

1. Penataan Lokasi PKL

a. Penegasan titik lokasi PKL, berikut dengan pengaturan jenis komoditas, model desain berjualan, dan waktu berjualan.

(23)

c. Mewajibkan pusat perbelanjaan modern menyediakan ruang untuk PKL khususnya makanan dengan insentif yang menarik

d. Meredesain pasar yang ada agar nyaman bagi penjual dan pembeli khususnya komoditas hasil pertanian

e. Pendataan regristrasi PKL untuk pengendalian jumlah PKL, dengan memberikan tanda khusus resmi

2. Penertiban PKL

a. Penertiban PKL yang lebih tegas diluar lokasi titik PKL (strickly forbidden area) khususnya di jalan arteri dan kolektor

b. Target penertiban PKL yakni 6 titik lokasi 3. Pembinaan PKL

a. Pembinaan dan penyuluhan peningkatan disiplin PKL

b. Pembinaan dan pemantauan kebersihan, keamanan dari komoditas yang dijual PKL dengan target 300 PKL

c. Kelembagaan pengelolaan

 Perlu dibentuk tim kerja khusus penanganan PKL

 Rencana kerja serta monitoring evaluasi yang terjadwal dan terukur.

 Pemantauan dan penertiban PKL dilaksanakan bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat.

 Perlu ada peninjauan kembali terhadap Perda Nomor 13 Tahun 2005, khususnya mengenai kebijakan dan kriteria lokasi PKL.

Program penataan PKL di Kota Bogor dilakukan secara lintas sektoral dan terpadu dengan SKPD terkait yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, SatPol PP, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Dinas Bina Marga dan SDA, Dinas lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PD. Pasar Pakuan Jaya, Kantor Kesbang dan Politik serta Kecamatan dan Kelurahan yang tentunya disesuaikan dengan tupoksi masing – masing. Program – program tersebut dijabarkan melalui kegiatan – kegiatan yang ada di SKPD masing – masing.

Dalam upaya mendapatkan formulasi terbaik untuk menata PKL, Kantor Koperasi dan UMKM juga telah melaksanakan kegiatan Kajian Penataan PKL Kota Bogor yang telah selesai dilaksanakan pada bulan Desember 2012 yang diharapkan dapat menghasilkan konsep penataan PKL berdasar pada aspirasi berbagai stakeholder seperti pemerintah kota, PKL dan warga masyarakat. Kegiatan ini difokuskan dalam mencari solusi terbaik tentang langkah penataan PKL dengan fokus yang direkomendasikan antara lain yaitu :

1. Penataan PKL dalam bentuk relokasi dengan 3 (tiga) tahap penangann yaitu :  Jangka pendek dengan pola infil (dimasukkan) pada ruas jalan tertentu sekitar

lokasi semula dengan persyaratan tertentu;

(24)

2. Pembentukan kantong-kantong PKL bagi PKL yang memiliki kesamaan komoditas yang diperjualbelikan yang diarahkan pada penggunaan asset pemkot dan sesuai rencana tata ruang;

3. Kerjasama pembangunan kios di komplek tempat hiburan, obyek wisata, pusat perbelanjaan dan lingkungan tempat pendidikan;

4. Pemberdayaan paguyuban PKL sebagai sarana komunikasi; 5. Pembentukan Koperasi PKL;

6. Pembinaan usaha dan pembinaan mental wirausaha; 7. Penertiban dan penegakan perda.

Hasil nyata dari pelaksanaan penataan dan penertiban PKL di Kota Bogor selama tahun 2012 antara lain :

1. Kesepakatan dengan PKL di sekitar Suryakencana dengan melakukan pergeseran dan penataan PKL malam hari di 3 lokasi antara lain di Jalan Otista, Jalan Lawang Saketeng dan Jalan Roda sehingga fungsi pedestrian dan jalan di wilayah Suryakencana dapat berjalan dengan baik pada malam hari. Hal ini dilaksanakan dalam upaya membuka akses jalan Suryakencana pada malam hari dan PKL dapat tetap mencari nafkah sampai Kota Bogor memiliki fasilitas penampungan PKL yang representatif.

2. Pemeliharaan jalan Pajajaran sebagai etalase Kota Bogor agar tetap bebas dari PKL

3. Kerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM dalam rangka penataan PKL di Jalan Roda, Papandayan, Tegal Gundil dan Gang Selot melalui kegiatan penataan, pelatihan dan perbaikan sarana prasarana PKL.

4. Kerjasama dengan PT. KAI melalui kegiatan penataan 200 PKL di sepanjang Jalan Nyi Raja Permas dengan membuat pedestrian yang nyaman untuk pejalan kaki dan penempatan PKL di dalam pusat jajanan PKL yang dilewati oleh pejalan kaki yang menuju ke Stasiun Besar Kota Bogor.

Dalam pelaksanaan pemberdayaan PKL beberapa startegi yang dilakukan di Kota Bogor (Kantor Koperasi dan UKM, 2013), antara lain :

1. Peningkatan kemampuan berusaha 2. Fasilitasi akses permodalan

3. Fasilitasi bantuan sarana dagang 4. Penguatan kelembagaan

5. Fasilitasi peningkatan produksi

6. Pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, dan 7. Pembinaan dan bimbingan teknis.

Manajemen Strategis

Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektivittas. Delapan istilah kunci dalam manajemen strategis yaitu : perencanaan strategi, pernyataan visi dan misi, peluang dan ancaman, kekuatan dan kelemahan, tujuan jangka panjang, strategi, sasaran dan kebijakan (David, 2004).

(25)

internal dan eksternal. Sehingga menjadi alat untuk memberikan kekuatan, motivasi kepada stakeholder agar perusahaan tersebut dapat memberikan kontribusi secara optimal (Rangkuti, 2004).

Tugas utama dari manajemen strategis adalah memberikan secara menyeluruh

misi dari suatu bisnis, artinya mengajukan pertanyaan “apa bisnis kita ?” pertanyaan

ini mengiring pada penetapan objektif, pengembangan strategi dan membuat keputusan sekarang untuk hasil dimasa depan, lebih lanjut mengemukakan bahwa proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap : perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David, 2004). Perumusan strategi termasuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan objektif jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan.

Implementasi strategi menuntut perusahaan untuk menetapkan objektif tahunan, melengkapi dengan kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang dirumuskan untuk dilaksanakan. Hal ini termasuk mengembangkan budaya mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif, mengubah arah usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan menghubungkan kompensasi dengan prestasi organisasi, implementasi strategi tersebut sering disebut tahap tindakan manajemen strategis.

Evaluasi strategis adalah tahap akhir dalam manajemen strategis. Semua strategi dapat dimodifikasi dimasa depan karena faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Ada tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu : (1) meninjau faktor-faktor ekternal dan internal yang menjadi dasar strategi (2) mengukur prestasi, dan (3) mengambil tindakan korektif. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan merupakan jaminan keberhasilan dimasa depan. Mengenai misi, sasaran dan strategi organisasi yang sudah ada merupakan titik awan yang logis untuk manajemen strategis karena situasi dan kondisi perusahaan saat ini mungkin menghalangi strategi tertentu dan mungkin bahkan mendikte tindakan tertentu. Proses manajemen strategis bersifat dinamis dan berkelanjutan. Apapun yang akan terjadi, keputusan strategis mempunyai konsekuensi berbagai fungsi utama dan pengaruh jangka panjang.

Pada suatu organisasi, proses manajemen strategi terdiri dari tiga tahap, yaitu : perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Sasaran jangka panjang berarti lebih dari satu tahun, dapat ditentukan sebagai hasil spesifik yang ingin dicapai sebuah organisasi dengan melaksanakan misi dasarnya. Sasaran perlu untuk keberhasilan organisasi karena menyatakan arah, mambantu dalam evaluasi, menciptakan sinergi, mengungkapkan prioritas, memfokuskan koordinasi dan menyediakan dasar untuk perencanaan, pengorganisasian, memotivasi dan mengendalikan aktivitas secara efektif. Sasaran tahunan adalah patokan jangka pendek yang harus dicapai oleh organisasi dalam rangka mencapai sasaran jangka panjang, harus dapat diukur, kuantitatif, menantang, realistik, konsisten dan mempunyai prioritas.

(26)

mendasar dari manajemen strategi adalah bahwa perusahaan perlu merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang eksternal dan menghindari atau mengurangi dampak ancaman ekternal untuk sukses merupakan hal yang penting dilaksanakan dengan pengumpulan serta memahami informasi eksternal yang disebut dengan mengamati lingkungan (environmental scanning) atau evaluasi industri.

Kekuatan internal dan kelemahan internal adalah aktivitas dalam kendali organisasi yang prestasinya luar biasa baik atau buruk. Kekuatan dan kelemahan muncul dalam aktivitas manajemen, pemasaran, keuangan/akutansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan sistem informasi komputer serta bisnis, mengenali dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan organisasi dalam berbagai bidang fungsional dari bisnis adalah aktivitas manajemen strategis. Diagram manajemen strategis dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Manajemen Strategis

David (2004), menyatakan bahwa manajemen strategis menawarkan manfaat berikut ini :

1. Memungkinkan mengenali, menetapkan prioritas dan memanfaatkan berbagai peluang.

2. Menyediakan pandangan objektif mengenai masalah manajemen.

3. Menjadi kerangka kerja untuk memperbaiki koordinasi dan pengendalian aktivitas.

4. Meminimalkan pengaruh kondisi dan perubahan yang merugikan.

5. Memungkinkan keputusan utama yang lebih baik mendukung sasaran yang telah ditetapkan.

6. Memungkinkan alokasi waktu dan sumber daya yang lebih efektif untuk mengenali peluang.

7. Memungkinkan sumber daya yang lebih kecil dan waktu lebih sedikit dicurahkan untuk mengoreksi kesalahan atau keputusan.

8. Menciptakan kerangka kerja untuk berkomunikasi internal diantara staf. 9. Membantu memadukan tingkah laku individual menjadi total

(27)

11. Memberikan dorongan untuk pemikiran ke depan.

12. Menyediakan pendekatan kerjasama terpadu dan antusias dalam menangani berbagai masalah dan peluang.

13. Mendorong tingkat disiplin dan formalitas yang tepat pada manajemen dari suatu bisnis.

Analisis SWOT

Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala (ancaman) yang dimiliki oleh objek yang diteliti di Kota Bogor. Rangkuti (1997) menyatakan bahwa matrik SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategi perusahaan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor-faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dengan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi. Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 2

Tabel 2 Matriks SWOT

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi W – O Ciptakan strategi yang meminimalkan

Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi W – O Ciptakan strategi yang meminimalkan

kelemahan dan menghindari ancaman Sumber : Rangkuti (2000)

Dalam analisis SWOT, Rangkuti (2000) menggunakan matriks yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu :

1. Strategi SO : strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya.

2. Strategi ST : strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul.

3. Strategi WO : strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada.

(28)

Tabel 3 Matriks perencanaan strategis kuantitatif

Faktor-Faktor Kunci Bobot

Alternatif-alternatif Strategi

AS (Strategi 1)

TAS (Strategi 1)

AS (Strategi 2)

TAS (Strategi 2) Peluang

1. 2. Dst Ancaman 1.

2. Dst Kekuatan 1.

2. Dst

Kelemahan 1.

2. Dst

Jumlah Total

Keterangan : AS (Attract Score) TAS (Total Attract Score) Sumber : David (2004)

Analytic Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg pada tahun 1970-an. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada skala preferensi diantara berbagai set alternatif (Falatehan,2011:1).

AHP adalah salah satu bentuk pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah dalam kelompok-kelompoknya, kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki.

(29)

didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak.

Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari :

1. Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensinya itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala.

2. Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dapat dipenuhi maka elemen-elemen yang

dibandingkan tersebut tidak homogenous dan harus dibentuk suatu‟cluster‟

(kelompok elemen-elemen) yang baru.

3. Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah keatas, Artinya perbandingan antara elemen dalam satu level dipengaruhi atau tergantung oleh elemen-elemen dalam level di atasnya.

4. Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap.

Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip: prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi.

a. Menyusun Hirarki

Ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah.

b. Menentukan Prioritas

Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. c. Konsistensi Logis

Ialah menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

(30)

sampai 9 (Falatehan,2011).

Tabel 4 Skala banding secara berpasangan dalam AHP

Intensitas Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain 7 Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain. 9 Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain 2, 4, 6, 8  Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

 Jika untuk aktivitas ke-i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

Hasil Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penataan dan pemberdayaan PKL memberikan gambaran tentang karakteristik PKL, peran pemerintah dan upaya solusi yang direkomendasikan. Beberapa fokus penyelesaian nampaknya masih perlu beberapa pendekatan yang mendekatkan pada solusi nyata bagi pemberdayaan PKL. Lemahnya penegakan aturan dan pendekatan solusi kreatif masih menjadi masalah bagi penataan PKL.

Hasil penelitian Mubarak (2012) dengan pendekatan analisis regresi dan AWOT menyimpulkan bahwa strategi pendekatan pemberdayaan PKL di Kota Bogor perlu dilakukan dengan beberapa tahapan. Dimulai dari proses pendataan dan pemetaan, dialog antara pemerintah dan PKL, menyiapkan ruang relokasi bagi PKL, pembatasan jumlah pedagang dan kerjasama dengan swasta dalam penyiapan ruang bagi PKL.

Penelitian Akliyah (2008) tentang kajian penataan PKL di Tasikmalaya dengan pendekatan partisipatif, menyimpulkan 2 alternatif penataan PKL antara lain: Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu berupa pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berdagang. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan PKL di jalan-jalan ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung PKL.

Agustinus (2010), dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) pada penelitian strategi penataan PKL di Jakarta Utara, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi adalah penentuan lokasi strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi.

Penelitian Nazir (2010), Dewi Suci, dkk (2008), Winarti (2012), dan Iswanto (2007) telah memberikan gambaran mengenai karater PKL dari aspek pendapatan, penggunaan ruang publik dalam berdagang, faktor modal PKL, pengorganisasian PKL, dan upaya rancang ulang desain ruang untuk PKL.

(31)
(32)

Lima Di Kota

(33)

(FT-UTP)

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 70% ditopang oleh sektor informal (Gusman, 2013). Salah satu bentuk kegiatan sektor informal adalah tumbuh dan berkembangnya kegiatan pedagang kaki lima (PKL) di perkotaan, termasuk didalamnya adalah Kota Bogor. Kota Bogor merupakan salah satu dari kawasan Jabodetabekpunjur, secara regional menjadi kawasan yang strategis. Pola hubungan Jakarta – Bogor memberikan peluang tumbuhnya PKL terutama di pusat-pusat kegiatan seperti terminal dan stasiun. Selain itu, Kota Bogor yang berada di tengah wilayah Kabupaten Bogor menambah peluang perkembangan tersebut semakin besar.

(34)

walaupun belum ada data yang menunjukkan besaran kontribusinya. Selain itu, PKL telah menjadi bagian dari masalah pengangguran yang dihadapi Kota Bogor. PKL banyak menyerap tenaga kerja. Namun disisi yang lain, karakter PKL yang berjualan di ruang-ruang publik seperti trotoar, taman, maupun badan jalan telah menimbulkan efek negatif terhadap estetika kota. Selain itu, akibat tidak tertatanya lapak-lapak PKL yang berjualan menampakkan kekumuhan. Belum lagi, ruang milik jalan yang seharusnya digunakan oleh pengendara menjadi lebih sempit, yang berdampak terhadap kemacetan lalu lintas.

Melihat adanya potensi dan masalah yang ditimbulkan oleh keberadaan PKL, maka Pemerintah Kota telah mengeluarkan kebijakan mengenai penataan PKL berupa Peraturan Daerah nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Namun setelah 9 tahun kebijakan tersebut dikeluarkan hingga saat ini belum menunjukkan hasil, terutama di kawasan prioritas penanganan. Tentunya hal ini memerlukan keterlibatan berbagai pihak untuk dapat berkontribusi terhadap penataan dan pemberdayaan PKL. Pendekatan-pendekatan yang telah dilakukan selama ini perlu di evaluasi untuk mendapatkan gambaran efektivitas penanganan. Selain itu, perlu dilakukan pemetaan yang didasarkan pada kondisi riil di lapangan agar diketahui secara lebih detail tentang karakteristik PKL dimasing-masing lokasi, terutama lokasi prioritas penanganan PKL.

Kondisi karakteristik dilapangan dan efktivitas kebijakan yang telah dilaksanakan, dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam penataan PKL di Kota Bogor. Langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Kota Bogor selama ini (LKPJ Walikota Bogor, 2012), antara lain :

1. Penataan Lokasi PKL

a. Penegasan titik lokasi PKL, berikut dengan pengaturan jenis komoditas, model desain berjualan, dan waktu berjualan.

b. Mewajibkan pengembang menyediakan pasar tradisional skala lingkungan di perumahan-perumahan

c. Mewajibkan pusat perbelanjaan modern menyediakan ruang untuk PKL khususnya makanan dengan insentif yang menarik

d. Meredesain pasar yang ada agar nyaman bagi penjual dan pembeli khususnya komoditas hasil pertanian

e. Pendataan regristrasi PKL untuk pengendalian jumlah PKL, dengan memberikan tanda khusus resmi

2. Penertiban PKL

a. Penertiban PKL yang lebih tegas diluar lokasi titik PKL (strickly forbidden area) khususnya di jalan arteri dan kolektor

b. Target penertiban PKL yakni 6 titik lokasi 5) Pembinaan PKL

a. Pembinaan dan penyuluhan peningkatan disiplin PKL

b. Pembinaan dan pemantauan kebersihan, keamanan dari komoditas yang dijual PKL dengan target 300 PKL

(35)

gambar Kerangka Pemikiran

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di lokasi prioritas pembinaan PKL di Kota Bogor, sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota Bogor nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan PKL, salah satunya yaitu di Jalan Dewi Sartika Bogor. Pemilihan dilakukan secara purposif sesuai dengan maksud dan tujuan kajian ini.

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai September 2014. Kegiatan yang dilakukan meliputi persiapan penelitian, pengumpulan data dan informasi, pengolahan data dan analisis data, serta penulisan dan konsultasi.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan penelitian survei, yaitu penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data utama. Menurut Durianto et al (2001), penelitian survei

Perkembangan Ekonomi Kota Bogor

Sektor Formal Sektor Informal

Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor Analisis Deskriptif

 Karakter PKL

 Persepsi Masyarakat

Penataan PKL Di Kota BogoR

Indentifikasi Faktor-Faktor Internal Indentifikasi

Faktor-Faktor Eksternal

Matriks EFE Matriks IFE

Alternatif Strategi Penataan PKL

Strategi Penataan PKL Di Kota Bogor

Analytic Hierarchy Process(AHP)

Program Penataan & Pemberdayaan PKL Di Kota Bogor

(36)

adalah metode penelitian deskriptif yaitu metode penelitian untuk membuat gambaran suatu kejadian. Metode survei dilakukan bila data yang dicari sebenarnya sudah ada di lapangan atau obyek penelitiannya telah jelas.

Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif, yaitu:

a. Data Primer. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan mengenai kondisi riil PKL dan hasil pengisian kuesioner dari responden penelitian. Data primer yang digunakan berupa pemberian kuesioner kepada subyek penelitian dengan wawancara secara intensif dan mendalam (in-depth interview).

b. Data Sekunder. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait yaitu Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Satpol PP Kota Bogor, PD Pasar Pakuan Jaya, dan pihak-pihak lain yang relevan dengan penelitian. Data sekunder yang digunakan berupa Kota Bogor dalam Angka, kajian dan pemetaan PKL di Kota Bogor, Masterplan Penataan PKL dan data penunjang lainnya.

Tabel 6 Metode pengumpulan data

No Jenis Data

a. Kondisi Umum Kota Bogor b. Data PKL Kota Bogor

c. Rencana Tata Ruang Wilayah d. Peraturan/Kebijakan tentang

Data/informasi yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dengan beberapa cara di bawah ini :

a. Observasi, yaitu pengamatan kondisi lapangan secara langsung.

b. Studi literatur, yaitu mendalami berbagai informasi penting seperti literatur dan teori yang berkaitan budaya kerja, organisasi, manajemen sumberdaya manusia, dan hasil-hasil penelitian terdahulu.

(37)

Tabel 7 Aspek yang diteliti, variabel, sumber data, dan teknik pengumpulan data

N o

Aspek Variabel Sumber Data Teknik

Pengumpulan

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif untuk identifikasi karakter PKL dan persepsi masyarakat, metode SWOT untuk identifikasi dan analisis faktor-faktor internal dan eksternal, dan metode Analitycal Hirarki Process (AHP) untuk analisis alternatif strategi.

Untuk analisis deskriptif tentang karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika, populasi PKL yang dipilih antara lain pedagang di Jalan Dewi Sartika sebanyak 50 PKL dari jumlah 323 PKL (Kantor Koperasi dan UMKM, 2014). Sedangkan untuk masyarakat dipilih 50 orang secara acak.

Sementara untuk analisis SWOT dan AHP, sampel ditentukan sebanyak 7 orang yang terdiri dari :

1. Unsur anggota DPRD Kota Bogor

2. Asisten Walikota Bidang Pembangunan dan Kemasyarakatan 3. Bappeda Kota Bogor

4. Kantor Satpol PP

5. Kantor Koperasi dan UMKM

(38)

Pada pengambilan sampel dilakukan 2 kali dengan aktor yang sama untuk informasi yang terkait analisis SWOT dan untuk analisis AHP.

Metode Analisis Data

Analisis Deskriptif Karakteristik PKL di Jalan Dewi Sartika

Analisis deskriptif tentang karakteristik PKL didapatkan dari pengolahan data yang didapat dari hasil kuesioner yang telah didapat dari hasil pengisian oleh 50 PKL di Jalan Dewi Sartika. Pengolahan data deskriptif menggunakan perangkat lunak SPSS versi 10.

Analisis deskriptif karakteristik PKL sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran tentang profil PKL di Jalan Dewi Sartika, pola berdagang, permodalan dan saran terhadap penataan PKL oleh pemerintah. Gambaran tentang PKL ini akan membantu pada pola pendekatan terhadap penataan PKL di Jalan Dewi Sartika.

Analisis Deskriptif Persepsi Masyarakat tentang PKL di Jalan Dewi Sartika Analisis deskriptif tentang persepsi masyarakat terhadap PKL didapatkan dari pengolahan data yang didapat dari hasil kuesioner yang telah didapat dari hasil pengisian oleh 50 masyarakat yang memandang berkembangnya PKL di Jalan Dewi Sartika. Pengolahan data deskriptif menggunakan perangkat lunak SPSS versi 10. Analisis deskriptif terhadap persepsi masyarakat sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran tentang tanggapan masyarakat terhadap keberadaan PKL di Jalan Dewi Sartika, harapan dan saran terhadap penataan PKL oleh pemerintah.

Penentuan Indikator Faktor-Faktor Internal dan Faktor-Faktor Eksternal Agar penelitian lebih terfokus dan tepat dalam pengidentifikasian faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan pengidentifikasian faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) harus ditentukan dahulu indikator yang termasuk dalam faktor internal dan eksternal.

(39)

Gambar 3 Indikator Faktor Internal dan Eksternal Strategi Pemberdayaan PKL di Kota Bogor

Analisis Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) dan EFE (External Factor Evaluation)

Matriks IFE bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan internal dan mengukur sejauh mana kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam mengembangkan pembinaan PKL di Kota Bogor, sedangkan matriks EFE bertujuan untuk mengidentifikasi faktor lingkungan eksternal dan mengukur sejauh mana peluang dan ancaman yang di hadapi dalam mengembangkan pembinaan PKL di Kota Bogor.

Tahap-tahap yang dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci dalam matriks IFE dan EFE adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi Faktor – Faktor Internal dan Eksternal

Langkah awal yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor internal yaitu mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dalam pembinaan PKL di Kota Bogor. Daftarkan kekuatan terlebih dahulu, baru kemudian kelemahan. Identifikasikan faktor eksternal dengan melakukan pendaftaran semua peluang dan ancaman dalam pembinaan PKL di Kota Bogor. Daftarkan peluang terlebih dahulu baru kemudian ancaman. Daftar harus spesifik dengan menggunakan persentase, rasio atau angka perbandingan. Hasil kedua identifikasi faktor – faktor diatas menjadi faktor penentu eksternal dan internal yang selanjutnya akan diberi bobot.

b. Penentuan Nilai Bobot Variable

Pemberian bobot setiap faktor dimulai dengan hasil survey dari responden dengan skala mulai dari 1 (tidak penting/kelemahan utama), 2 (kurang penting/kelemahan kecil), 3 (penting/kekuatan kecil), dan 4 (sangat penting/kekuatan utama) terhadap faktor-faktor internal dan dan skala dari 1 (tidak penting/tidak berpengaruh), 2 (kurang penting/kurang berpengaruh) 3 (penting/kuat pengaruhnya), dan 4 (sangat penting/sangat kuat pengaruhnya). Terhadap faktor-faktor eksternal yang sudah didaftarkan. Kemudian Penentuan bobot akan dilakukan dengan menjumlahkan nilai skala dengan jumlah responden yang telah memilih skala tersebut. Setelah jumlah didapat dibagi dengan jumlah responden sehingga didapat angka rata-rata nilai dan kemudian dibagi total bobot faktor-faktor internal dan total bobot faktor-faktor eksternal untuk mendapatkan nilai bobot.

Bentuk penilaian pembobotan dapat dilihat pada Tabel 8 dan Tabel 9 Faktor Internal

Pemerintah Kota Bogor (SKPD-SKPD)

Faktor Eksternal 1.PKL

2.Paguyuban/ Komunitas PKL

3.Masyarakat 4.Aktor-aktor pada

(40)

Tabel 8 Penentuan nilai bobot faktor strategis internal

Tabel 9 Penentuan nilai bobot faktor strategis eksternal

No. Faktor Strategis Eksternal

Bobot

Rata-rata

Nilai Bobot

1 2 3 4 N Jumlah

Jumlah

c. Penentuan Rating

Penentuan rating yang dilakukan oleh masing-masing responden, selanjutnya akan disatukan dalam matriks gabungan IFE dan EFE. Untuk memperoleh nilai rating pada matriks gabungan dilakukan dengan menggunakan metode rata-rata dan setiap hasil yang memiliki nilai desimal akan dibulatkan. Adapun ketentuan pembulatan dalam matriks gabungan ini adalah jika pecahan desimal berada pada kisaran dibawah 0,5 (<0,5) dibulatkan kebawah, jika hasil rating diperoleh hasil desimal dengan nilai sama atau diatas 0,5 (>0,5) dibulatkan keatas. Pembulatan ini tentunya tidak akan mempengaruhi hasil perhitungan secara signifikan.

Selanjutnya dilakukan penjumlahan dari pembobotan yang dikalikan dengan rating pada tiap faktor untuk memperoleh skor pembobotan. Jumlah skor pembobotan berkisar antara 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan IFE dibawah 2,5 maka kondisi internal pembinaan PKL di Kota Bogor lemah. Untuk jumlah skor faktor eksternal berkisar 1,0 – 4,0 dengan rata-rata 2,5. Jika jumlah skor pembobotan EFE 1,0 menunjukkan pembinaan PKL di Kota Bogor tidak dapat memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman yang ada. Jumlah skor 4,0 menunjukkan pembinaan PKL di Kota Bogor merespon peluang maupun ancaman yang dihadapinya dengan baik.

Analisis Matriks SWOT

SWOT adalah singkatan dari kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weaknesses) lingkungan internal suatu daerah serta peluang (Opportinities) dan ancaman (Threats) lingkungan ekternal yang dihadapi daerah. Analisis SWOT merupakan alat untuk memaksimalkan peranan faktor yang bersifat positif, meminimalisasi kelemahan yang terdapat dalam tubuh organisasi dan menekan dampak ancaman yang timbul. Hasil analisis SWOT berupa sebuah matriks yang terdiri dari empat kuadran. Masing-masing kuadran merupakan perpaduan strategi

No. Faktor Strategis Internal

Bobot

Rata-rata

Nilai Bobot

1 2 3 4 N Jumlah

Gambar

Tabel 1 Data PKL di Kota Bogor
Gambar 1 Manajemen Strategis
Tabel 5 Penelitian terdahulu
gambar  Kerangka Pemikiran Kota Bogor
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Aset tetap dengan biaya perolehan Rp 100 000 dan • Aset tetap dengan biaya perolehan Rp 100.000 dan akumulasi penyusutan Rp 55.000 dilakukan revaluasi dan menghasilkan g nilai Rp

Kelebihan dari sistem pengembangan otomatisasi AC dan lampu pada penelitian ini adalah adanya unsur Artificial Intelegence yang diterapkan pada Raspberry Pi

Dengan Metode Repasted Division pada siklus Kedua Putaran I Jumlah siswa yang nilainya diatas KKM mencapai 28 siswa ( 75,6%) dan hasil akhir penelitian pada putaran II

Maka diperlukan adanya inovasi untuk mengukuhkan kembali peran perpustakaan YPI PIP melalui inovasi yang berorientasi pada kebangkitan perpustakaan ini, diantaranya

Sistem selanjutnya akan meneruskan ke proses eksekusi perintah dengan data audio yang di- sintesa pada proses Speech to Text, nama perilaku robot, dan koordinat posisi yang didapat

Rubik merupakan permainan puzzle mekanik berbentuk kubus yang mempunyai enam warna yang berbeda pada setiap sisinya.. Ditemukan pada tahun 1974 oleh Profesor

Berdasarkan hasil penilaian organoleptik terhadap warna sagu lempeng dengan penambahan daging ikan madidihang menunjukkan bahwa semakin banyak komposisi ikan yang diberikan dalam

Wilayah Kabupaten Blitar yang berada di daerah pesisir meliputi :  Wilayah Kecamatan Bakung dengan desa pantai yang terdiri dari Desa Bululawang, Desa. Sidomulyo dan