• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Kasus Penelantaran Anak Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Kasus Penelantaran Anak Tahun 2014"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Unt uk Memperol eh Gel ar Sarj ana S yari ah (S.S y)

Oleh: JUMILI

NIM : 1111044100090

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSHIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skirpsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakata, 19 Oktober 2015

(5)

v

Tahun 2014. Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta, 1437 / 2015. x + 75 halaman + 9 halaman lampiran.

Melihat jumlah penelantaran terhadap anak semakin tinggi dan meresahkan. Dari database KPAI selama bulan Januari 2014 sampai dengan Desember 2014 terdapat 573 kasus yang berkaitan dengan anak, 87 kasus termasuk kasus penelantaran terhadap anak yang meliputi penelantaran anak di bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, kesehatan, pendidikan, hak sipi, sosial, dan trafiking dan ekploitasi. Bentuk penelantaran yang dilakukan beranekaragam seperti Penelantaran anak / ekonomi (hak nafkah), penahanan anak dirumah sakit, anak putus sekolah, akta kelahiran anak, anak jalanan dan perdagangan anak. Faktor utamanya adalah ekonomi keluarga anak tersebut. Dalam menangani permasalahan diatas, menurut Pasal 76 huruf e UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, KPAI bertugas “melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak. Penelitian ini bertujuan untuk menegetahui jenis dan klasifikasi penelantaran terhadap anak dan sejauhmana keefektifitasan KPAI dalam melakukan tugasnya selaku Mediator selama tahun 2014.

Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Kualitatif. Langkah yang dilakukan penyusun untuk mendapatkan hasil yang diharapkan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak KPAI, beserta menganalisis data-data yang diperoleh dari KPAI dan kemudian dari data yang diperoleh disusun secara sistematis.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa kinerja KPAI selaku Mediator pada tahun 2014 kurang efektif, karena dari 87 kasus yang berkaitan dengan penelantaran terhadap anak yang menghasilkan kesepakatan mediasi berjumlah 19 kasus, selain itu, KPAI tidak bisa memenuhi SOP (Standar Oprasional Pelaksanaan) yang telah ditentukan. Adapun kendala yang dihadapi KPAI dalam melakukan tugasnya sebagai mediator adalah kurangnya keordinasi antara anggota, belum ada sertifikat buat para mediator dan kurangnya SDM.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para shahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan.

Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Efektivitas

Mediasi KPAI Terhadap Penelantaran Anak Tahun 2014” telah selesai

disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih dan jazakumullah khoiru jaza kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali penyusun dengan ilmu pengetahuan, maupun para staff yang telah membantu kelancaran administrasi.

(7)

vii

mengarahkan penyusun dalam pembuatan skripsi.

4. Dr. H. kamarusdiana MH. Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai.

5. Sri Hidayati M.Ag Yang telah membantu dan mempermudah penyusun dalam menjalankan penyusunan skripsi ini.

6. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaruf Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi.

7. Khusus kepada kedua orangtua, Ayahanda tercinta, M. Daud yang telah berjuang dengan keringat dan air mata demi pendidikan penyusun. Ibunda tercinta Fatmawati yang telah mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Kepada keduanya penyusun mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala perhatian, baik berupa moril ataupun materil yang selalu tercurahkan kepada penyusun.

8. Kakak-kakak Tercinta, Sulasmi, Saipul, Zumrowi, Nisla dan keluarga lainnya, yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penyusun dalam menjalankan pendidikan.

(8)

viii

ini, dengan harapan bisa lebih pantas untuk menjadi orang yang dia lihat, pahami dan dimengerti.

10.Teman-teman satu perjuangan angkatan 2011 Peradilan Agama, Badru Tamam, Fachry Alfian, Ibnu Iqbal Maulana, Rizaludin, Muhammad Rizkiandi, Muhammad Ali Muddin, Muhammad Nazir, Muhammad Abrar, Ahmad Firdaus, dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan mengisi hari dengan tawacanda yang itu menjadi semangat untuk belajar bersama.

11.Teman-teman Forsilawan dan Forsilawati Buntet Pesantren Cirebon, Ade Syamsul Falah, Ade Ratih, Dedi, ghozali, dan Forsilawan-Forsilawati lainnya yang telah membantu membangkitkan semangat penyusun dalam penyelesaian skripsi ini

12.Ahli WARNET Sugiatoro, yang selalu memberi arahan, masukan dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

13.Serta berbagai pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan seluruhnya, semoga amal baiknya diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini dan wawasan ilmu penyusun. Besar harapan penyusun, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Penulis

(9)

ix

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI SIDANG ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Kerangka Teori dan Konsep ... 9

F. Review Studi Terdahulu ... 12

G. Sistematika Penyusunan ... 1

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Anak ... 14

B. Pengasuhan Anak (Hadhanah) ... 17

C. Hak-hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua ... 21

D. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak ... 22

E. Anak Terlantar dan Penelantaran Anak ... 27

F. Efektifitas ... 32

G. Mediasi ... 34

(10)

x BAB III GAMBARAN UMUM KPAI

A. Sejarah Singkat Pembentukan ... 39

B. Tugas dan Fungsi ... 42

C. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan ... 43

D. Visi, Misi, Tujuan, serta Arah Kebijakan Dan Strategi ... 45

E. Kelembagaan KPAI Daerah ... 49

BAB IV ANALISIS PETA MASALAH A. Jenis, Klasifikasi dan Masalah Utama Penelantaran Anak ... 55

B. Efektivitas Mediasi KPAI terhadap Anak Terlantarkan Tahun 2014 ... 60

C. Kendala yang dihadapi KPAI dalam Menjalankan Tugasnya Sebagai Mediator Penelantaran Anak Tahun 2014 ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran-saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Undang-undang ... 76

2. Hasil Wawancara ... 77

3. Dokumentasi ... 81

4. Surat Keterangan Permohonan Wawancara ... 82

5. Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing ... 83

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Rumah tangga pada umumnya adalah sebagai sarana pembinaan moral sekaligus tempat membentuk kepribadian anak. Disinilah tempat awal anak berkembang dan belajar kehidupan dari orang tuanya. Orang tua merupakan guru sekaligus pengayom bagi kehidupan mereka. Tanpa orang tua kehidupan mereka terasa hampa dan kosong oleh karena itu kewajiban orang tua terhadap anak harus benar-benar diperhatikan.

Anak merupakan individu yang unik, yang mana antara satu anak dengan yang lainnya memiliki potensi yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan potensi terhadap anak tersebut, dibutuhkan pemahaman terhadap dunianya.

Persoalan mengasuh anak tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun menyangkut hartanya, perkara mengasuh anak yaitu dalam arti mendidik dan menjaganya.1Kewajiban mendidik serta merawat anak merupakan amanat yang dibebankan Allah pada pundak ayah dan ibu.

Dari setiap disiplin ilmu anak memiliki beberapa pengertian,sesuai dengan sudut pandang dan pengertian masing-masing. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah

1

(12)

2

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.2 Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum.

Sebagai negara hukum, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum guna melindungi anak-anak Indonesia, diantaranya adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 20, pasal 20A ayat (1), pasal 21, pasal 28B ayat (2), pasal 34.

2. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak. 3. Undang-Undang RI No 7 Tahun 1984, Tentang Penghapusan Segala

bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.

4. Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak. 5. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1997, Tentang Penyandang Cacat.

6. Undang-Undang RI No 20 Tahun 1999, Tentang Pengesahan Konvensi ILO Convention (mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja). 7. Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia

(HAM).

8. Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. 9. UU RI Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.

10.Kepres R.I. No 59 Tahun 2002, (R.A.N. Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak).

2

(13)

11.Kepres R.I. No 88 Tahun 1999, (R.A.N. Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak).3

Anak adalah pewaris dan pembentuk masa depan bangsa.4 Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, memegang teguh prinsip-prinsip nondiskriminasi, mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa.

Di Indonesia anak-anak mengalami persoalan yang kompleks. Secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi menindas, gambaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi Hak Anak masih jauh dari kenyataan, mereka masih menjadi bagian yang terpinggirkan, tereksploitasi, terepresi oleh lingkungan dan budaya di mana mereka hidupseperti dalam keluarga, masyarakat, pendidikan formal di sekolah dan sektor kehidupan lainnya. Modernisasi di negeri ini belum memperhatikan persoalan anak dengan baik, justru yang terjadi mereka menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung.5

Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial (social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penelantaran anak dan eksploitasi

3

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h. 13. 4

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, h.15. 5

(14)

4

anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.6

Dalam hal ini anak diposisikan sebagai pihak intervensi dalam perkara tersebut. Dalam perundang-undangan, anak yang masih dibawah umur tidak memiliki kecakapan untuk bertindak hukum baik mengenai dirinya sendiri maupun orang lain. Namun ketiadaan kecakapan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan hak asasi/dasarnya dalam mendapatkan keutuhan rumah tangga keluarganya. Ketiadaan kecakapan ini bisa diwakili melalui jalan advokasi terhadap anak yang bersangkutan yang orang tuanya sedang bercerai di pengadilan.

Namun pada kenyataanya, banyak dari hak-hak anak yang tidak terpenuhi, oleh karena itu diperlukan lembaga yang membantu dalam memenuhi hak-hak anak tersebut, salah satunya ialah KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia).

Menurut Pasal 76 UU NO 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak, memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak, mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak, menerima dan melakukan

6

(15)

penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak, melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan satu-satunya lembaga yang kompeten dan concern dalam membela hak-hak anak. Intervensi bisa diajukan oleh lembaga ini ketika proses persidangan dilakukan dan pengadilan harus mempertimbangkan hak intervensi ini sebagai bagian dari tuntutan pihak ketiga yang dirugikan.

Dari uraian latar belakang masalah ini, maka penyusun tertarik menganalis karya ilmiah dengan judul “Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Kasus Penelantaran Anak Tahun 2014”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan pemaparan latar belakang diatas dan untuk lebih mengerucutkan pembahasan, maka penyusun akan membatasi masalah tentang penanganan kasus penelantaran anak di KPAI selama tahun 2014. 2. Perumusan Masalah

Menurut Undang-undang anak harus dilindungi namun pada kenyataannya banyak hak-hak anak yang diterlantarkan.

(16)

6

1. Bagaimana jenis dan klasifikasi pelaku penelantaran anak dan masalah utamanya?

2. Bagaimana Efektivitasan mediasi KPAI dalam menangani kasus penelantaran terhadap anak di tahun 2014?

3. Apa kendala keefektivitasan KPAI dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator di tahun 2014?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jenis dan klasifikasi penelantaran anak beserta masalah utamanya.

2. Untuk mengetahui keefektivitasan mediasi yang dilakukan KPAI dalam kasus penelantaran terhadap anak di tahun 2014.

3. Untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi KPAI dalam melakukan tugasnya sebagai mediator di tahun 2014.

2. Manfaat Penelitian

a. Dapat memberikan manfaat bagi penyusun dan para pecinta penelitian hukum dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang permasalahan terhadap anak kususnya penelantaran terhadap anak. b. Dapat memeberikan informasi dan gambaran yang komprehensif serta

(17)

c. Dapat menambah ilmu pengetahuan sebagai bahan perbandingan bagi penyusun selanjutnya.

D. Metode Penelitian

Untuk memudahkan dalam penyusunan dan penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan berbagai metode diantaranya sebagai berikut:

1. Metode Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka, yaitu upaya mengindentifikasi secara sistematis den melakukan analisi terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, obyek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua lamgkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan dan perpustakaan konseptual meliputi artikel-artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teori-teori atau ide-ide tentang apa yang baik dan yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam bidang masalah.

b. Riset Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan menentukan objek penelitian yaitu petugas KPAI. Untuk mendapatkan data serta informasi di lapangan, penyusun mengumpulkan data dari sumber data terutama yang diambil dari obyek penelitian yaitu KPAI.

2. Metode Interview

(18)

8

penyusun menggunakan interview terstruktur, maksudnya adalah penyusun membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada petugas KPAI.

3. Metode Observasi

Observasi yaitu penyusun untuk mencari bahan penelitian dengan melakukan pengamatan dan pencatatan. Disini penyusun menagamati fakta yang dilapangan yang berhubungan lansung dengan mediasi yang dilakukan KPAI terhadap kasus penelantaran anak.

4. Metode Penyusunan

Dari data data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif.

5. Analisi Data

(19)

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut Agung Kurniawan Efektivitas adalah kemampuan melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.7

Menurut Supriono Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.8

Menurut Efendi Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. 9 Berdasarkan pengertian Efektivitas tersebut bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.10

7

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Yogyakarta: Pembaruan 2005), h. 109. 8

Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Erlangga, 2000) h. 29. 9

Effendy, Kamus Komunikasi. Bandung, (Bandung: Informatika, 1989), h. 14. 10

(20)

10

Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi:

“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,

atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang

dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak.

Namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 23 Tahun 2004 tentang Ketentuan Umum, dapat juga disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.

2. Kernagka Konsepsi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna).

(21)

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak “berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa.

Mediasi dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan.11

Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.12

Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi:

“setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan,

atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang

dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak.

11

Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Gitamedia Press), h. 441. 12

(22)

12

F.Review Studi Terdahulu

Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penyusun tidak melakukan plagiasi atau duplikasi maka penyusun menjabarkan review studi terdahulu sebagai berikut.

Dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kinerja Komisi Perlindungan Anak

Dalam Menanggulangi Perdagangan Anak” yang ditulis oleh Ifada Imaniah (105045101487) Jurusan kepidanaan Islam. Menjelaskan tentang upaya dan pencegahan terhadap perdagangan anak dan penanggulangan yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penelantaran Terhadap Anak (Persepektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak)” yang ditulis oleh Farhan (105044101364) Jurusan Peradilan Agama.

Menjelaskan mengenai seputar kejahatan terhadap anak yang bersifat fisikal (pshsical abuse) dan seksual (sexual abuse) dan dikaitkan dengan kepidanaannya. Kemudian penyusun juga memaparkan komparasi antara hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2002 yang terkait dengan adopsi anak.

(23)

yang disusun oleh mahasiswa yang bernama Farhan terfokus pada kekerasan seksual terhadap anak sedangkan dalam skrpsi ini terfokus pada penelantaran terhadap anak.

G. Sistematika Penyusunan

Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini:

BAB KESATU berisi, pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Konsepsi, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penyusunan.

BAB KEDUA berisi, pengertian anak, pengasuhan anak (hadlonah), Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, kewajiban orang tua terhadap anak, anak terlantar dan penelantaran anak, efektivitas, mediasi dan KPAI.

BAB KETIGA berisi, sejarah singkat pembentukan, tugas dan fungsi, bentuk organisasi KPAI, visi, misi, tujuan serta arah kebijakan dan straetgi KPAI, kelembagaan KPAD, implementasi tugas dan fungsi KPAI.

BAB KEEMPAT berisi, jenis, klasifikasi serta masalah utamanya, dan efektivitas mediasi KPAI terhadap anak yang diterlantarkan tahun 2014 dan kendala keefektivitasan KPAI dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator di tahun 2024.

(24)

14 BAB II

LANDASAN TEORI A. Pengertian Anak

Anak adalah titipan dari Allah yang diberikan kepada kedua orang tua untuk dijaga dirawat, dan diperhatikan yang harus diberikan kepada anak agar kelak anak akan menjadi Anugrah yang terindah, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat at-Tahriim ayat 6 :

لپنلۡ ٿُيڀلۡ ٱپولۡ ٿُ پݩٿ ٱلڂاڃوٿ لڂاوٿ پماپءل پ يڀ ذَ ٱلاپهُأڃَٰپي

ل ٞ پاڀِل ٌپَڀِڃٰٰپلپملاپ ۡهپلپَلٿُپٗاپَڀِۡن ٱپول ٿُاذ ن ٱلاپ ٿُوٿ پولااٗ

ل پٶو ٿرپمۡؤٿيلاپمل پٶوٿلپ ۡپيپولۡ ٿُ پرپمٱلڃاپملپ ذَ ٱل پٶو ٿصۡ پيل ذَل ُاپد ڀݫ

Artinya :

Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaga nya malaikat-malaikat yang kasar, dan tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahnya”

Masyarakat pada umumnya memahami pengertian anak adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.1 Walapun dilahirkan bukan dari hubungan yang sah dalam kaca mata hukum. sehingga pada definisi ini tidak dibatasi oleh usia. Yang dimaksudkan adalah anak biologis dari kedua orang tua anak tersebut seperti ayah adalah anaknya kakek dan nenek.

Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.2 Menurut ajaran Islam, Anak adalah amanah Allah SWT dan tidak dapat

1

W.JS Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), h. 38-39.

2

(25)

dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak diartikan bahwa “manusia yang masih kecil” atau “anak-anak yang masih kecil (belum dewasa)”.3 Yang dimaksudkan adalah manusia yang berumur dibawah 6 (enam) tahun.

Dalam setiap disiplin ilmu pengertian tentang anak dipahami berbeda-beda, menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang diartikan adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau dalam kedudukan arti khusus sebagai subyek hukum. Kedudukan anak dalam arti tersebut meliputi pengelompokan kedalam subsistem dari pengertian sebagai berikut.4

1. Menurut Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, anak mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena menjadi dasar kedudukan anak pada pengertian ini, yaitu anak adalah subyek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk mencapai kesejahteraan. Pengertian politik menurut Undang-Undang 1945 melahirkan dan mendahulukan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara atau dengan

3

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka. 1998), h. 31.

4

(26)

16

kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab terhadap masalah social yuridis dan politik yang ada pada seorang anak. 2. Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan

dalam pengertian anak yang bermakna “penafsiran hukum secara negatif”

dala arti seorang anak yang berstatus sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab atas tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia yang belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan

Anak, anak adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah. Anak adalah makhluk sosial sama seperti orang dewasa, namun karena ketidak cakapan hukum anak membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuan, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa bantuan orang lain anak tidak dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.5

4. Pengertian anak dalam pandang Psikologi berbeda dengan perspektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai individu berusia dibawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah individu yang berusia anatar 3-11 tahun. Diatas usia 11 tahun seseorang sudah dianggap remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda perkembangan fisik, yang memang sangat jelas membedakan anak dengan individu yang sudah memasuki

5

(27)

masa remaja, perbedaan juga didasarkan perkembangan kognisi dan moral individu.6

Keluarga menjadi benteng pertahanan yang pertama sekaligus yang terakhir dalam membentuk moral generasi bangsa. Sejatinya keluarga adalah pondasi primer bagi perkembangan, perilaku dan tingkah laku anak.

B. Pengasuhan Anak (hadhanah)

Pengasuhan atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturan nya sangat jelas. Sejak anak masih dalam kandungan ia telah memiliki ahliyah wujub naqishah,7 yaitu kepantasan untuk memiliki hak-hak. Janin berhak memiliki warisan, wakaf dan lain-lainnya disamping secara pasti ia memiliki nasab orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku secara efektif apabila ia telah lahir.

Secara etimologi kata hadhanah (al-hadhanah) berarti “al-janb” yang berarti disamping atau berada dibawah ketiak,8 atau juga bisa juga berarti meletakkan sesuatu dalam pengakuan.9 Maksudnya adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.

Secara terminologi menurut Zahabi dalam kitab Al-Syari’ah al Islamiyah: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib

al-Jafariyah hadhanah adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan

6

LBH Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum” (LBH Jakarta: Jakarta, 2012), h. 12.

7

Ali Hasballah, ushul Tasyiri’ al-islamy, (Indonesia: Menara Kudus, tth. ), h. 394-395. 8

Abu Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut. Dar AlKutub, 1987), Juz II. h. 212. 9

(28)

18

memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.10

Muhammad Syarbani, dalam kitab al-Iqna’, mendefinisikan hadhanah sebagai usaha mendidik atau mengasuh anak yang belum mandiri atau mampu dengan perkara-perkaranya, yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnya dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila, seperti mempertahankan dengan memandikan badannya, pakaiannya, menghiasinya, memberi minyak padanya, dan sebagainya.11

Dalam pemeliharaan ini mencakup beberapa masalah seperti agama, ekonomi, pendidikan dan sosial beserta segala sesuatu yang menjadikan kebutuhan anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa.12

Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, ia juga merujuk kepada pendapat fuqaha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia.

10

Muhammad Husein Zahabi, Al-Syari’ah al Islamiya: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib al-Ja’fariyah, (Mesir: Dar al Kutub al Hadisah, 1968), h. 398.

11

Muhammad Syarbani, Al-Iqna’, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h. 489. 12

(29)

Pengertian anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berdasarkan Pasal 1 huruf g, pemeliharaan anak yang biasanyadisebut hadhanah merupakan kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.13 Menurut Pasal 98 ayat 1 KHI, batas usia anak yang mampu berdidri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun.14

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat beberapa pasal tentang pemeliharaan anak, dan untuk lebih jelasnya penyusun kemukakan pasal-pasal tersebut sebagai berikut:

Menurut Pasal 156 KHI akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. b. ayah.

c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. f. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

13

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,(Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h. 2.

14

(30)

20

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pengertian pemeliharaan anak (Hadhanah) dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak, Kata “Kuasa Asuh” sebagaimana dijelaskan dalam pasal

1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemanpuan, bakat, serta minatnya. Berdasarkan

penjelasan dari Pasal 1 Angka 11 UU Perlindungan Anak kata “Kuasa Asuh”

(31)

tuanya. Tanggung jawab melindngi anak berdasarkan UU di atas, secara tegas dikontruksikan dengan pelibatan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara guna melakukan kepentingan yang terbaik bagi anak.

C. Hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

Pembahasan hak dan kewajiban anak dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 terdapat pada Bab III, dari pasal 4 sampai dengan pasal 19. Di antaranya Pasal 4 yang berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” pasal 5 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan” dan Pasal 8 yang berbunyi: “Setiap anak berhak

memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan

fisik, mental, spiritual, dan sosial’.

Anak harus patuh dan ta’at kepada kedua orang tuanya, selama kedua orang tuanya tidak memerintahkan kepada sesuatu yang buruk dan dapat merugikan dirinya sendiri serta orang lain. Menurut Pasal 298 Ayat 1 KUH Perdata jo. 46 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya.15 Menurut Soetojo Prawirohadmidjojo dan Marthalena Pohan,16 ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan dari pada norma hukum. Meskipun demikian, pelanggaran yang dilakukan oleh

15

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 81.

16

(32)

22

anak yang masih minderjaring dapat memberikan alasan kepada orang tuanya yang menjalan kan kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan koreksi terhadap anak. Kewajiban anak tersebut tidak hanya berlaku pada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, tetapi juga pada anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan beberapapun umurnya didalam kewajiban terhadap orang tua yang mengakuinya.

Berbuat baik, patuh dan ta’at kepada kedua orang tua, banyak dijelaskan

dalam al-qur’an dan hadits seperti firman Allah dalam Surah Al-ahqaf Ayat 15 sebagai berikut:

لپ پض پوپولاا ۡرٿ لܐٿ همٱل ٿ ۡتپلپ پَلۖاً ٰ پ ݩۡحِالڀ ۡيپڀِٰپوڀبل پ ٰٰ پݩِ َۡ

ٱلاپ ۡي ذّپوپو

ل پٶوٿثٰٰپلپثلܐٿ ٿُٰٰ پصڀفپولܐٿ ٿُۡ پَپولۖاا ۡرٿ ل ٿ ۡت

لڃ ڀتذن ٱل پ پتپ ۡ ڀل پرٿَ ۡݫٱل ۡٶٱلڃ ڀِۡعڀزۡوٱل ڀځبپٗلپٴاپ لاٌپ پ سل پنڀپبۡٗٱلپ پلپبپولܐٿ ذد ٿݫٱلپ پلپبلاپذِالڃٰذَپحلۚاًرۡ پݫ

ل پ ۡ پ ۡٱل

لپولٿ ٰى پضۡرپتلااحڀلٰٰ پّل پلپ ۡۡٱل ۡٶٱپول ذّپ ڀِٰپول ٰ پَپَپول ذ پيپَ

ل پ ڀمل ڀځّ

ِ

اپول پ ۡيپنِال ٿ ۡبٿتل ڀځِّالۖڃ ڀتذيڀځٗٿذل ڀِل ڀِل ۡحڀل ّۡٱ

ل پنڀ ڀل ۡݩٿ ۡن ٱ

ل

Artinya:

“Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya

mencapai empat puluh tahun, dia berdo’a,”Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk

agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

D. Kewajiban Orang tua Terhadap Anak

(33)

penelantaran terhadap anak, baik dalam pendidikan, sosial, ekonomi dan agama anak tersebut, guna kepentingan terbaik baginya.

Berdasarkan pasal 77 ayat (3) dan (4) Komplasi Hukum Islam, tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri yaitu: “suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan

jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya” dan “suami istri wajib memelihara kehormatannya”.17

Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 huruf a, b, c dan d UU RI Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak;

2. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan

4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak.

Berdasarkan Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Hak antara Orang tua dan Anak, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya” dan “Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

17

(34)

24

Dalam Perspektif Fiqih Syari’at Islam merupakan sarana perlindungan

anak dari tindak eksploitasi. Hukum Islam sebagai salah satu norma yang dianut dalam masyarakat perlu dijadikan landasan dalam mengkaji persoalan perlindungan anak.

Orang tua seharusnya menyayangi anaknya dengan segala prilaku, pemberian, termasuk dalam memerintahkan sesuatu kepada anaknya. Suatu perintah harus dilandasi kasih sayang, bukan amarah, kebencian, sehingga cenderung bersifat eksploitatif atau memaksakan atas kehendak sendiri. Begitu juga sebaliknya, anak seharusnya menghormati orang tuanya dengan tulus dan ikhlas, bukan karena keterpaksaan.

Dalam QS. al-An’am (6): 151, Allah Swt berfirman:

لۡي پ ݫلܑڀ ڀبلڂاوٿ ڀ ۡۡٿتل ذَٱلۖۡ ٿُۡيپلپَلۡ ٿُهّپٗلپٵذرپحلاپملٿلۡتٱلڂاۡوپناپ پتلۡلٿ

لاڄل

ل ۡ ڀځمل ٿ پدٰٰپنۡوٱلڂاڃوٿلٿلۡ پتل پَپولۖاا ٰ پ ݩۡحِالڀ ۡيپڀِٰپوۡن

أڀبپولۖا

ل ٖ ٰٰپلۡمِا

ل پسۡ ذ ن ٱلڂاوٿلٿلۡ پتل پَپولۖپ پطپبلاپمپولاپ ۡۡڀمل پرپ پظلاپمل پݪڀحٰپوپ ۡن

ٱلڂاوٿبپرۡپتل پَپولۖۡٿُذَ

اپولۡ ٿُٿ ٿز ۡرپل ٿ ۡذَ

ِ

ل ڀتذن ٱل

لٿُٰى ذّپولۡ ٿُڀنٰپذل ۚڀځ پِۡن أڀبل ذَِالٿذَ

ٱلپٵذرپح

لپٶوٿلڀ ۡ پتلۡ ٿُذلپ پنلܑڀ ڀبل

ل

ل

Artinya:

Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi.

Islam telah melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut.

Ayat di atas menegaskan bahwa orang tua wajib melindungi masa depan

anaknya karena kata “membunuh” dalam ayat di atas, tidak hanya berarti

(35)

masa depan yang suram. Maksudnya orang tua yang tidak memberikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada anak bisa dikatakan membunuh, seperti anak tidak diberikan nafkah dan disuruh kerja di dunia malam (club, diskotik).

Dalam ayat lain Allah Swt berwasiat agar setiap orang tua berpikir serius dan mempersiapkan anak-anaknya, agar di kemudian hari tidak menjadi orang yang lemah dan hina. QS. an-Nisa’(4): 9

لٿنوٿ پيۡنپولپ ذَ ٱلڂاوٿ ذتپيۡلپفلۡمڀ ۡهپلپَلڂاوٿفاپخلاً ٰٰپ ڀضلاٌذيڀځٗٿذلۡمڀ ڀ ۡلپخل ۡ ڀملڂاوٿ پرپتل ۡوپنلپ يڀ ذَ ٱل پݪۡخپيۡنپو

لاًديڀد پسل اَ ۡوپ لڂاو

ل

Artinya:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya

meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang

benar”(Q.S. an-Nisa (4) : 9)

Abdurrahman bin Muhammad, seorang mufti Hadhramiyah, menyatakan: tidak di perbolehkan menjual anak demi mencukupi kebutuhan mereka, karena memperdagangkan orang merdeka hukumnya haram.18 Maksudnya menjual adalah memperdagangkan anaknya untuk medapatkan uang guna mendukung perekonomian keluarga. Dalam genangan kebodohan dan kemalangan, karena memang sudah menjadi tabiat anak-anak sejak mereka dilahirkan selalu membutuhkan bimbingan, arahan, perhatian, dan asuhan.19

Tindak pidana pembunuhan dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa (misdrjn tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa

18

Abdurrahman bin Muhammad, Bugyah al-Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ), h. 243.

19

(36)

26

orang lain.20 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat agar mati. Pembunuhan artinya orang atau alat hal membunuh. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.21

Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada paal 338 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjaraselama-lamanya

lima belas tahun.”

1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain;

2. Pembunuhan itu sengaja, artinya diniatkan untuk membunuh;

3. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh.22

Dari penejelasan di atas bisa disimpulkan kewajiban orang tua terhadap anak adalah memberikan bimbingan yang baik, arahan yang bertujuan kepentingan terbaik bagi anak, perhatian dengan memberikan kasih dan sayang dan memberikan pengasuhan atau pemeliharaann (hadhanah).

20

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nywa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), h. 55.

21

Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24. 22

(37)

E. Anak Terlantar dan Penelantaran Anak 1. Anak Terlantar

Anak terlantar adalah anak yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari orang tua terhadap proses tumbuh kembang anak, atau penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses perkembangan anak.23 Seperti anak yang dikucilkan, tidak terurusnya pendidikan anak dan tidak diberikan perawatan kesehatan yang selayaknya. Dengan demikian anak akhirnya hidup dan mencari kebutuhannya sendiri.

Menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak terlantar ialah dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh-kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

2. Penelantaran Anak

Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak

memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak,

23

(38)

28

misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan

pendidikan dan kesehatan yang layak.24.

Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi: “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak.25

Namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 23 Tahun 2004 tentang Ketentuan Umum, dapat juga disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.26

Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya.27

Tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga bila dikaitkan dengan ketiga kategori di atas, berdasarkan sifatnya, penelantaran dapat digolongkan

24

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. Ke-1 (Bandung: Nusantara, 2006), h. 37.

25

Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

26

Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

27

(39)

pada kategori omisionis, karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah Undang-Undang, sehingga bila ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan.

Sebutan tindakan penelantaran tidak hanya berlaku saat masih menjadi pasangan utuh dalam rumah tangga, penelantaran pun dapat terjadi pada pasangan suami isteri yang telah bercerai, ayah sebagaimana dalam Undang-Undang ditunjuk sebagai yang menanggung biaya anak bila mampu.28 Dikatakan melakukan tindakan penelantaran bila anak yang masih di bawah tanggung jawabnya tidak diperhatikan hak-hak dan kepentingannya.

Mengingat terjadinya tindakan penelantaran keluarga khususnya anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakan hukum.

Para pihak yang dirugikan dapat melaporkan tindakan penelantaran ini kepada pihak kepolisian. dari beberapa pasal dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang memberikan ancaman pidana hanya beberapa saja yang merupakan delik aduan, sementara kebanyakan yang lainnya adalah delik biasa, disini kemudian dituntut peran aktif dari penegak hukum, khususnya parata kepolisian untuk proaktif dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.29

28 Lihat Pasal 41 Undang – Undang Nomor. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. 29

(40)

30

1. Macam-macam Penelantaran anak30

a. Penelantaran Fisik merupakan kasus terbanyak.

b. Penelantaran Pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.

c. Penelantaran Secara Emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan pasangannya. Bisa dengan pemberian perhatian yang berbeda terhadap anak-anaknya, seperti kakak lebih disayang dari pada adiknya.

d. Penelantaran Fasilitas Medis. Hali ini terjadi karena ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis utuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter.

2. Penyebab Penelantaran anak

Penelantaran anak seringkali terjadi pada keluarga yang memiliki banyak masalah. Kecanduan obat atau alkohol maupun penyakit menahun bisa menyebabkan kesulitan keuangan sehingga pemberian makan, perawatan dan perhatian kepada anak berkurang.

Biasanya penelantaran anak itu terjadi pada keluarga yang tidak mampu,31 mungkin saja dikarenakan seorang orang tua tunggal (single

30

http://puskesmaskebumen1.blogspot.co.id/2011/02/mengenal-kekerasan-terhadap-anak-kta.html. Diakses, Kamis 11 Mey 2015. 22.18. WIB.

31

(41)

parent), ini juga bisa terjadi pada seoarang wanita yang hamil diluar nikah alhasil anak yang dikandungnya ditelantarkan setelah dilahirkan.

Terkadang juga dikarenakan pada orang tua yang jiwanya terganggu, entah bagaimana dia sangat membenci anaknya sehingga menelantarkannya.32

3. Gejala Penelantaran Anak

Seorang anak yang ditelantarkan bisa mengalami kekurangan gizi (malnutrisi),33 lemas atau kotor atau pakaiannya tidak layak. Pada kasus yang berat, anak mungkin tinggal seorang diri atau dengan saudara kandungnya tanpa pengawasan dari orang dewasa. Anak yang ditelantarkan bisa meninggal akibat kelaparan.

4. Dampak Penelantaran Anak

Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.34

5. Pengobatan Penelantaran Anak

a. Memberi pengobatan bila diperlukan, anak yang terlantar biasanya mengalami luka-luka akibat tinggal seorang diri, karena masih kecil belum bisa jaga diri.

32

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/;#sthash. AEfZlcAO.dpbs. Diakses, Kamis 11 Mey 2015. 22.20. WIB.

33

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/05/19/nolj27-tiga-dari-lima-anak-utomo-positif-gizi-buruk. Diakses, Kamis 4 Juni 2015. 08.20. WIB.

34

(42)

32

b. Melindungi, kita sebagai orang dewasa selayaknya melindungi,

mungkin jika kita jumpai anak terlantar dan sekiranya kita bisa bantu layaknya kita beri perlindungan walau tidak secara langsung, paling tidak kita bisa mengirimnya ke Komnas Perlindungan Anak. Atau

tempat lain missal panti asuhan dengan alasan kuat.

F. Efektivitas

Efektivitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective yang berarti berhasil, tepat atau manjur.35 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna).36

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.37

Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadapap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan flosofis.38

35

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1996).

36

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 250.

37

http://koleksi.org/pengertian-efektivtas-menurut-para-ahli/ Selasa, 20 Oktober 2015. 09.00. WIB.

38

(43)

Menurut Agung Kurniawan Efektivitas adalah kemampuan

melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.39

Menurut Supriono Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar

kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian

sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.40

Menurut Efendi Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang

direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.41 Berdasarkan pengertian Efektivitas tersebut bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana

suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan.

Jadi, efektivitas berarti tercapainya keberhasilan suatu tujuan sesuai

dengan rencana dan kebutuhan yang diperlukan, baik dalam penggunaan data, sarana maupun waktunya.

Faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundang-undangan, adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan

fungsi dari penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan

39

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Yogyakarta, Pembaruan 2005), h. 109.

40

Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Erlangga, 2000) h. 29. 41

(44)

34

terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundangan-undangan

tersebut.42

G. Mediasi

Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan.43 Dari pengertian mediasi tersebut mengandung tiga unsur penting. Pertama mediasi sebagai proses penyelesaian perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam peneyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasehat dalam arti tidak mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan.

J. Folberg dan A Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi.44 Kedua ahli ini menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bersengketa dan dan dibantu oleh pihak yang tidak berpihak kepada salah satu pelapor dan terlapor (netral). Mediator dapat mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa, dan para pihak dapat mempertimbangkan tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam penyelesaian sengketa.

42

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta: Kencana Mprenada Media Group, 2009), h. 378-379.

43

Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Gitamedia Pres), h. 441. 44

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional,

(45)

Menurut Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara para pihak melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki wewenang memutus.45 Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.

Di Indonesia, pengertian mediasi secara lebih konkret dapat ditemukan pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 butir 6). Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa (Pasal 1 butir 5).

Ajaran Islam memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi di antara manusia sebaiknya dengan jalan perdamaian (islah), ketentuan ini adalah sejalan dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hujurat Ayat (9) yang berbunyi:

تفئٓاط

م ا

ينم ل

ْا لتتق

لع ا

دح تغب ف ۖا نيب ْا حلصأف

رخأل

ْا لتقف

يتل

رمأ ٓ ل ءٓيفت تح يغبت

ۚهلل

ب ا نيب ْا حلصأف تءٓاف ف

لدعل

قأ

ْۖآ طس

هلل

ّحي

يطسق ل

٩

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al- Hujurat :9)

45

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,

(46)

36

Berdasarkan ayat diatas jika dua golongan orang beriman bertengkar maka damaikanlah mereka, perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah sangat mencintai orang yang berlaku adil.46

H. Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Pengertian tentang komisi perlidungan anak, penyusun terlebih dahulu

menjelaskan pengertian satu persatu dari tiga suku kata di atas.

Pertama pengertian “komisi” menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu

sekolompok orang yang ditunjuk atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan sebuah tugas tertentu.47

Kata “perlindungan”, secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata lindung, yaitu yang dalam konteks ini berarti menyelamatkan atau memberikan pertolongan supaya terhindar dari bahaya.48 Secara sederhana kata perlindungan memiliki tiga unsur, yaitu adanya subjek yang melindungi, adanya objek yang terlindungi, serta adanya instrumen hukum sebagai upaya tercapai perlindungan tersebut.

Anak adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu, dalam hal pengertian anak disini tidak dibatasi oleh usia. Namun untuk diberikan perlindungan anak perlu dibatasi oleh usia dan penyusun dalam hal ini membatasi usia 18 tahun selama ia belum menikah.

Ketika kata “perlidungan” dengan kata “anak” digabungkan maka

46

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 151.

47

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Akses Pada: . http://artikata.com/arti-335802-komisi.html. Tanggal 12 Maret 2015. Pukul 20.40 WIB

48

(47)

definisinya juga cukup sangat spesifik. Beberapa pengertian tentang kedua kata ini (baca: perlidungan anak) sering juga didefinisikan dengan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta mendapatkan perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Ditinjau secara garis besar, disebutkan perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian:

1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam Bidang Hukum publik dan Bidang Hukum keperdataan.

2. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan dan Sosial.

Arif Gosita mengatakan perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Hukum perlindungan anak dalam hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.49 Sedangkan Bismar Siregar menyebutkan bahwa aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingatkan secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.50

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak Tentang Ketentuan Umum, menyebutkan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi

49

Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta Akademi: Presindo, 1989), h. 52. 50

(48)

38

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

(49)

39 A. Sejarah Singkat Pembentukan

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

(50)

40

tetapi masih banyak terjadi kasus-kasus terhadap anak seperti pembunuhan anak, pencabulan dan lain-lain.

Percepatan pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia terlihat

semenjak tahun 1999, pasca gerakan “reformasi” 1998. Namun demikian

perhatian Indonesia pada permasalahan anak sudah terlihat jauh sebelumnya, yaitu dengan keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi Hak Anak yang dikeluarkan PBB Melalui Sidang Umum Tahun 1989, yang ditindaklanjuti dengan meratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan convention on the rights of the child (konvensi tentang hak-hak anak).

(51)

terakhir UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Keberadaan UU Perlindungan Anak merupakan bentuk upaya Negara untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak melalui dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Undang-undang ini mencoba memperjelas aturan-aturan yang berkaitan dengan penghormatan, pemenuhan hak dan perlindungan anak yang semua terdapat di dalam Konvensi Hak Anak. Namun pada kenyataannya UU tersebut belum berjalan dengan semestinya hal ini dapat dilihat dari realita anak-anak di Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera seperti anak yang putus sekolah dan anak korban diskriminasi.

(52)

42

B. Tugas dan Fungsi

Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas:

1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;

2. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.

Pada 17 Oktober 2014, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014, yang salah satunya merinci tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai berikut:

a. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak;

b. Memberikan masukan dan usula

Gambar

Susunan Keanggotaan KPAI Periode 2014 Table 3.1 – 2017
Table 3.2 Kasus Pengaduan Berdasarkan Klaster atau Bidang
Table 4.1 Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan KPAI
Table 4.2 Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014
+2

Referensi

Dokumen terkait

Keterlambatan bicara dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata, yang ditandai dengan pengucapan yang tidak jelas dan dalam berkomunikasi hanya dapat menggunakan bahasa

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab terjadinya kasus pencabulan pada anak yaitu karena pergaulan, kurang perhatian orang tua, ekonomi yang

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) Faktor penyebab terjadinya kasus pencabulan pada anak yaitu karena pergaulan, kurang perhatian orang tua, ekonomi yang

Pertama , jelas bahwa tindakan pemberian grasi terhadap Corby oleh Presiden Yudhoyono adalah tindakan inkonsistensi, tidak satunya kata dengan perbuatan, yang

Kartu nama dibuat dengan sederhana dan informatif pada media yang cukup tebal (100-400gram) agar tidak mudah rusak ketika dimasukkan ke dalam dompet atau tempat kartu nama.

Sedangkan kaitannya dengan hak anak korban tindak pidana dalam kasus yang sedang peneliti kaji, hukum pidana Islam sendiri tidak mengatur secara khusus terkait

35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sedangkan bagi remaja atau anak yang melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika dianggap sebagai korban sebagaimana

Namun hal itu tidak menutup sama sekali peluang diadilinya kasus tersebut di Pengadilan Pidana Internasional, karena masih ada Pasal 12 ayat (2) dan (3)