• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

ACHMAD TURMUZI

NIM 1110043200035

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Perbandingan Madzhab Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/ 2015M. xiii+55 halaman.

Penelitian ini menganalisis tentang Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 yang mana terdapat para pemohon yang ingin melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi dalam hal bertentangannya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan akhir dari kasus ini adalah Penolakan Keseluruhan dari permohonan para pemohon yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara ilmiah akni dalam studi Perbandingan Madzhab Hukum, dan secara praktis maupun akademis sebagai masukan bagi penulis bagi semua pihak yang tertarik untuk mendalami atau menganalisis Pernikahan Beda Agama yang terdapat didalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014.

Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat yuridis normative, yaitu penelitian yang mengacu kepada konflik norma hukum yang terjadi pada peraturan perundang-undangan. Kemudian dibantu dairi bahan-bahan hukum seperti buku, jurnal, tesis dan artikel yang mendukung pembahasan penelitian.

Dari hasil analisis dan berbagai tinjauan dapat disimpulkan bahwa Pernikahan Beda Agama tidak diakui di Negri ini maka sebab itu Mahkamah Konstitusi menolak segala permohonan yang diajukan oleh para pemohon.

Kata Kunci : Putusan, Mahkamah Konstitusi, Pernikahan Beda Agama

Pembimbing : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag.

(6)
(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah swt, yang telah

melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat

menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada

Baginda besar Nabi Muhammad saw, untuk keluarga, para sahabat dan seluruh umat di

segala penjuru dunia, khusunya kita semua. Amin.

Peyusun merasa bahwa skripsi dengan judul Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum

Islam ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi

ini terdapat banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis

sebagai manusia biasa, untuk itu saran dan kritikan yang membangun sangat penyusun

harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua

pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesaikan skripsi ini, semoga

(8)

viii

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas

Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Fahmi Muhammad Ahmadi, MSi, Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab

Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc.,MA, Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ahmad Bisyri Abd. Somad. M, Penasehat Akademik penulis.

5. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.ag, selaku Dosen Pembimbing skripsi yang selalu

meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan

motivasi dan masukan pada penulis.

6. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A dan Ahmad Bisyri Abd. Somad, M. Selaku penguji

skripsi, yang menguji dengan sangat teliti dan penuh keramahan.

7. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada

penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.

8. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.

9. Orang tua tercinta Papa H. Ma’muri Hasan dan Mama Hj. Ade Sylvia, yang telah

(9)

ix

bimbingan selama menjalani pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Arianne Meddina Syuhada, Ketulusan dan perhatiannya yang menemani penulis

saat menyusun skripsi ini tidak pernah berhenti, ketulusan memberikan motivasi dan

dukungan agar penulis tetap semangat dalam mengerjakan skripsi ini selalu ia

curahkan lewat kasih sayangnya kepada penulis. Thanks for everything my dear.

11. Sahabat-sahabat penulis Apriyanto F.W., M. Aidzbillah, Laka Ramadhan M,

Ilyas Fadhillah, Rany Putri Larasati, Ahmad Sandi, Fatimah Fajrin, Wiwin Winata,

Ramadhani, Bambang dll. Teman-teman Perbandingan Hukum. Anak-anak Bece

Kelvin, Benjo, Boby, Rejaw, Nanda, Eja, Risang, Ridho dll. Warsong Family, Beyo,

Emil, Kemal, Irvan, Edo, Bondan, Aldi, Bocil dll. Yang tidak pernah henti-hentinya

selalu memberikan semangat dan bimbingan kepada penulis dalam mengerjakan

skripsi ini.

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima

oleh Allah swt. Amin

Jakarta, 8 Oktober 2015

(10)

x

HALAMAN JUDUL...………...i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...………....ii

LEMBAR PERNYATAAN..………iii

ABSTRAK..………..iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...viii

BAB I: PENDAHULUAN...1

A. Latar belakang Masalah...………1

B. Perumusan dan Pembatasn Masalah...………..4

C. Tujuan penelitian..………...4

D. Review Studi Terdahulu....………..5

E. Metode penelitian….………...6

F. Sistematika penulisan.……….9

(11)

xi

BAB III: PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014………...23

A. Kedudukan pernikahan beda agama dalam hukum Islam..………...23

B. Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut

undang-undang 1945….……….29

BAB IV: ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

68/PUU-XII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM...34

A. Gugatan Pemohon dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014…..……...35

B. Analisis Putusan dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014…..………..40

C. Pelarangan Nikah Beda Agama dalam tinjauan konsep maslahat….50

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN……….52

A. Kesimpulan…..………..52

B. Saran..………53

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sebagai agama memandang pernikahan sebagai suatu yang sakral,

dimana sebuah pernikahan merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalam

abad kemajuan teknologi komunikasi modern dewasa ini pergaulan manusia

tidak lagi dapat dibatasi hanya dalam suatu lingkungan masyarakat yang kecil

dan sempit seperti golongan, suku, agama dan rasnya saja, tetapi hubungan

manusia telah berkembang dengan begitu pesatnya satu dengan yang lain

sehingga menembus dinding-dinding batas golongan, suku, ras dan agamanya.

Dalam kondisi pergaulan seperti itu, maka terjadinya perkawinan antar suku,

antar ras, antar golongan, dan antar agama, bukanlah sesuatu yang mustahil

untuk terjadi.Perkawinan yang terjadi di antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang masing-masing berbeda agama di Indonesia sudah sering

terjadi, terutama sekali pada masyarakat perkotaan yang heterogen.Dan

ternyata, perkawinan itu sejak dahulu sampai sekarang selalu menimbulkan

persoalan baik di bidang sosial, maupun di bidang hukum khususnya hukum

Islam.1

Dalam pandangan para ulama banyak terdapat perbedaan pendapat tentang

pernikahan beda agama. Dari madzhab Imam Malik dan Hanafiah berpendapat

1

(13)

pernikahan beda agama haram untuk dilakukan. Pendapat itu sangat berbeda

dengan apa yang telah di kemukakan oleh Madzhab Imam Syafi‟i bahwa

wanita-wanita Ahli Kitab yang merdeka dan boleh dinikahi adalah pengikut

dua kitab yang masyhur (yakniTaurat dan Injil), dan mereka adalah Yahudi

dan Nasrani. Adapun Majusi tidak termasuk dalam golongan yang dihalal

itu.2Tetapi jika kita lihat pada masa kini sudah tidak ada ahlul kitab yang berpegang pada kepercaya sebelumnya sebab sudah banyak

pembaruan-pembaruan yang di lakukan pada kitab injil tersebut.

Pada masa kini fenomena pernikahan beda agama atau pernikahan lintas

agama sering kita jumpai dalam masyarakat.Dan pernikahan beda agama itu

sendiri adalah perkawinan antara dua orang, pria dan wanita, yang tunduk

pada hukum yang berlainan karena beda agama.

Padahal peristiwa pernikahan sudah diatur didalam undang-undang no. 1

tahun 1974 dimana tepatnya pada pasal 2 ayat 1 mengatakan bahwa sebuah

perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya. Jika mengacu pada pasal 2 ayat 1

undang-undang no. 1 tahun 1974 tidak ditemukan aturan yang mengatur tentang

pernikahan beda agama sehingga pernikahan yang dilakukan di Indonesia

harus dilaksanakan menurut agamanya masing-masing.

Di dalam undang tersebut memang tidak mengatur bagaimana perkawinan

beda agama, akan tetapi pada pasal 2 ayat (1) yang berbunyi perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

2Imam Syafi‟I Abu Abdullah Muhammad bin Idris,

(14)

kepercayaannya.Dalam kasus yang akan di teliti penulis ini berdasarkan kasus

pada tanggal 4 september 2014 dengan perkara No. 68/PUU-XII/2014 berikut

nama-nama pemohon yang mengajukan gugatan ke mahkamah kosntitusi

sebagai berikut:

1. Damian Agata Yuvens, sebagai Pemohon I;

2. Rangga Sujud Widigda, sebagai Pemohon II;

3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;

4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;

5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V.

Di dalam isi permohonan tersebut pemohon bermaksud untuk mengadakan

pengujian materiil undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

terhadap UUD 1945.Gugatan tersebut diajukan dengan alasan sebagai berikut:

1. Pasal 2 ayat 1 undang-undang no 1 tahun 1974 melanggar hak kebebaasn

beragama selain itu pasal tersebut telah membatasi hak untuk

melangsungkan perkawinan shingga bertentangan dengan ketentuan pasal

28 B ayat 1 UUD 1945.

2. Penggugat melihat bahwa norma yang terkandung dalam pasal tersebut

dapat menimbulkan multitafsir sehingga ditakutkan akan terjadi

pertentangan antar norma yang berdampak tidak terpenuhinya hak atas

kepastian hukum yang adil.

3. Adannya sifat pemaksaan yang dilakukan oleh Negara agar tiap Negara

melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya

(15)

Bedasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk mencermati dan

meneliti kasus pernikahan beda agama dengan menggunakan konsep

perbandingan dari berbagai sumber dan undang-undang yang ada. Dimana penulis

ingin mengkaji hal tertersebut dalam sebuah karya ilmiah dan kemuadian dikemas

dalam judul

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014

Tentang Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Hukum Islam

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, tema yang akan dibahas akan sangat

luas apabila dipaparkan keseluruahan di dalam skripsi ini. Maka dari itu

penulis membatasi pembahasan dalam skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis

merumuskan masalahnya sebagai berikut :

1. Bagaimana Pandangan Hukum Islam terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 68/ PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan Beda Agama?

2. Bagaimana pendapat para ulama madzhab fiqih tentang pernikahan beda

agama?

Penulis juga memberikan Pembatasan Masalah sebagai berikut:

1. Nikah Beda Agama yang dibatasi hanya pada pendapat para ulama

madzhab fiqih dan kelembagaan Islam di Indonesia.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-XII/2014 Tentang Pernikahan

Beda Agama yang berisi penolakan pernikahan beda agama

3. Hukum Islam yang berdasarkan Nash Al-Qur'an, Sunnah dan Pendapat

(16)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari rumusan masalah yang di atas, maka ada tujuan–tujuan yang hendak

di capai dari penulisan ini. Tujuan dari penulisan ini diantaranya adalah :

1. Untuk megidentifikasi alasan – alasan yang digunakan oleh pemohon

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 68/PUU-PUU/2014

2. Untuk menjelaskan alasan–alasan yang digunakan hukum positif dan

hukum Islam dalam menyelesaikan perkara Pernikahan Beda Agama.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah

sebagai berikut :

a. Bagi masyarakat, adanya penelitian ini dapat memperluas wawasan

dan khazanah dalam bidang hukum yang terutama dalam bidang

penyelesaian kasus pernikahan beda agama.

b. Dengan penelitian ini kiranya bisa memberikan informasi dan

pengetahuan yang lebih bagi akademisi umum terutama dalam bidang

hukum penikahan bagaimana penerapan UU. No. 1 Tahun 1974 di

terapkan dalam sistem hukum positif maupun hukum Islam.

D. Review Studi Terdahulu

Dalam penelitian ini, penulis mencoba review (kajian) terdahulu, beberapa

hasil penelitian yang kiranya berkaitan dengan judul dan tema yang penulis

angkat untuk dijadikan penelitian. Dari beberapa hasil penelitian yang telah

(17)

(kajian) antara lain:

1. Dalam skripsi yang berjudul “Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran

Feminis Tentang Perkawinan Beda Agama” yang ditulis oleh Anih

Robbani pada tahun 2011 prodi Ahwal Al-syakhsiyyah konsentrasi

peradilan agama. Dalam tulisannya di bahas bagaimana perkawinan beda

agama dalam Islam serta derkripsi umum tentang feminism dan yang

terakhir tentang kritik dan apresiasi terhadap perkawinan beda agama.

Tentunya di skripsi ini tidak membahas tentang analisis kasusnya.

2. Dalam skripsi yang berjudul “Perkawinan Beda Agama Implikasinya

Terhadap Keberagaman Anak” yang ditulis oleh Dalman. CAS pada tahun

2013 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Agama. Dalam

tulisannya dibahas tentang bagaimana penjelasan perkawinan beda agama

dan bagaimana pengertian dan faktor-faktor yang menentukan

perkembangan anak serta yang terakhir bagaimana bagaimana implikasi

beda agama terhadap keberagaman anak. Dalam skripsi ini tidak

dijelaskan pandangan para madzhab tentang pernikahan beda agama.

3. Dalam skripsi “Penyelundupan Hukum Dalam Praktik Pernikahan Beda

Agama (Studi Kasus di ICRP dan DKCS Provinsi DKI Jakarta)” yang

ditulis oleh Maya Ulfahsari pada tahun 2011. Program Studi Ahwal

As-Syakhsiyyah konsentrasi Peradilan Agama. Dalam tulisannya dibahas

pengertian perkawinan menurut fiqh dan hukum positif dan pengertian

beda agama menurut hukum Islam dan hukum positif serta tentang profil

(18)

Dari sekian banyak studi terdahulu yang telah penulis baca, tulisan

tersebut membahas masalah tindak pernikahan beda agama. Akan tetapi

penulis mempunyai judul dan isi yang jelas berbeda dengan studi review yang

telah dibaca oleh penulis sebelumnya. Penulis mencoba meneliti pernikahan

beda agama (analisis Putusan MK No.68/PUU-XII/2014).

E. Metode Penelitian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata Metode mempunyai

definisi cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar

tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Kata penelitian secara ilmiah,

dilakukan oleh manusia, untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah

mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap

gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab-akibatnya, atau

kecenderungan–kecenderungan yang timbul.3

Dalam penelitian ini, penulis mempunyai beberapa metode antara lain:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dengan menggunakan kajian pendekatan hukum

normatif yaitu mengumpulkan peraturan perundang–undangan dari

bidang-bidang tertentu, yang menjadi pusat perhatian dari

peneliti.Klasifikasi dapat dibuat atas dasar kronologi, bagian-bagian yang

diatur oleh peraturan tersebut, dan seterusnya.Kemudian diadakan suatu

analisa, dengan mempergunakan pengertian-pengertian dasar dari sistem

3

(19)

hukum, analisa hanya dilakukan terhadap pasal-pasal yang isinya

merupakan kaedah (hukum).4 Penelitian hukum normatif mencakup:5 a. Penelitian terhadap azas-azas hukum,

b. Penelitian terhadap sistematika hukum,

c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.

d. Penelitian perbandingan hukum.

Pada skripsi ini, penulis melakukan penelitian terhadap azas-azas

hukum, yaitu penelitian terhadap unsur-unsur hukum yang dilakukan

dengan cara hukum. Baik unsur ideal yang menghasilkan kaidah-kaidah

hukum melalui filsafat hukum, maupun dan unsur nyata yang terjadi

dimasyarakat yang menghasilkan tata hukum tertentu.6 Dalam skripsi ini yang menjadi tumpuannya adalah peraturan perundang-undangan dan

ditopang oleh pendapat-pendapat para ahli terkait penerapan Pernikahan

beda agama.

2. Jenis dan Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis

data.Data yang digunakan yaitu data Primer dan data Sekunder.Untuk

penelitian normatif data primer yang digunakan adalah undang-undang

yang di terapkan atau berlaku di Indonesia yang berkaitan dengan masalah

yang penulis kaji.Sedangkan sumber sekundernya adalah berupa komentar

dan buku-buku, dokumen-dokumen, serta artikel-artikel yang terkait.

4

Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta , cetakan ke-3, 1984, h.. 255. 5

Ibid, h.. 51 6

(20)

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi

kepustakaan. Yaitu dengan menelusuri bahan–bahan tertulis atau pustaka

yang terkait dengan judul dan masalah yang penulis teliti.Baik berupa

putusan ataupun dokumen-dokumen resmi yang di keluarkan yang terkait

dengan skripsi ini.

4. Analisis Data

Penelitian ini menggunakan content analysis, yaitu menganalisa

dengan mendeskripsikan putusan Terhadap Pernikahan Beda Agamayang

dipadukan dengan komentar-komentar dan studi kepustakaan yang terkait.

5. Teknik Penulisan

Penulisan skripsi ini menggunakan acuan dari Buku Pedoman

Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah penulisan dalam membahas permasalahan,

penulis menyusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada Bab ini penulis membahas tentang latar belakang masalah,

batasan masalah dan perumusan masalah, tujuan serta maanfaat

(21)

sistematika penulisan.

BAB II PERNIKAHAN BEDA AGAMA

Pada Bab ini penulis membahas bagaimana penjelasan tentang

pernikahan beda agama menurut pandangan hukum positif dan

hukum Islam.

BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM

PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014

Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut

undang-undang 1945. Dan Kedudukan pernikahan beda agama dalam

hukum Islam

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

68/PUU-XII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Pada bab ini penulis akan menganalisis gugatan yang digunakan

para pemohon dalam perkara No. 68/PUU-XII/2014 menurut

hukum Islam.

BAB V PENUTUP

(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA

A. Pengertian dan Ruang lingkup Pernikahan Beda Agama Menurut

Hukum Islam

Pada hakikatnya manusia diciptakan di dunia ini berpasang-pasangan dan

membuat keturunan merupakan salah satu tujuan pernikahan, dengan melakukan

pernikahan bagi umat muslim telah melakukan salah satu sunnah Rasul-Nya.

Tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk membangun ikatan tali persaudaraan

keluarga juga untuk mencapai keluarga yang sakinah dan mawaddah.

Kata „nikah‟ atau „zawaj‟ yang berasal dari bahasa Arab dilihat dari makna

etimologinya (bahasa) berarti “berkumpul atau mendidih”, atau dengan ungkapan

lain bermakna “akad dan setubuh” yang secara syara‟ berarti akad pernikahan.

Secara terminologi (istilah) „nikah‟ atau „zawaj‟ adalah :

1. Akad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis

dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan dan bersetubuh.

2. Akad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang

perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis

antara keduanya.7

Sedangkan menurut ahli ushul ada tiga golongan:

7

(23)

1. Golongan pertama yaitu ahli ushul Hanafi mengartikan arti aslinya

bersetubuh, sedangkan arti majazi adalah akad, dimana dengannya

menjadi halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita.

2. Golongan kedua yaitu ahli ushul Syafi‟iyah mengartikan sebaliknya,

yakni arti asalnya akad dan sedang arti majazinya bersetubuh.

3. Golongan ketiga yaitu ahli ushul Abu Hanifah mengartikan nikah itu

berkumpul antara akad dan bersetubuh.8

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan

perkawinan menurut hokum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat

atau Mitsaqan Ghalizan, untuk mentaati perintah Allah daln melaksanakannya

merupakan ibadah.9

Dari berbagai pengertian pernikahan diatas dapat kita simpulkan bahwa

pengertian pernikahan itu sendiri adalah intinya terjadi Akad, suatu pernikahan

harus disahkan oleh Akad. Apabila sudah terjadi Akad maka sudah berhak dari

masing-masing pasangan pria dan wanita untuk bersetubuh, karena agama sudah

menghalakan hubungan tersebut dengan melangsungkan pernikahan. Dalil atas

dasar-dasar perintah untuk melangsung pernikahan terdapat di dalam Al-qur‟an

Q.S. An-Nisa Ayat 3 dan Q.S An-Nur ayat 32 :

8

A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam perpektif fiqih dan kompilasi hokum islam, Cet.I (Jakarta; Qalbun Salim, 2005), h.34

9

(24)





















Artinya:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". (Q.S. AN-Nisa : 3)



















Artinya:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui". (Q.S. An-Nur : 32)

Pernikahan beda Agama merupakan masalah khilafiyah dalam agama

Islam, dimana terdapat macam-macam perbedaan pendapat mengenai pernikahan

beda agama tersebut. Terlepas dari itu kita sebagai umat Islam harus mentolerir

beragam berbedaan pendapat tersebut dengan cukup mencermati dan menganalisis

pendapat para ulama. Pernikahan beda agama apabila dilihat cara atau sudut

pandang fiqh terdapat riwayat dimana ada seorang sahabat Rasul yaitu Utsman bin

Affan yang mengawini wanita Yahudi Nailah binti Al-Fara Fisah yang akhirnya

(25)

Riwayat-riwayat tersebut yang dipakai alasan bagi golongan yang membolehkan laki-laki

muslim mengawini wanita ahli kitab.10 Disamping itu ada juga sahabat nabi yang menentang kebolehan tersebut, seperti khalifah Umar bin Khattab yang mana pada

saat sahabat Rasul Talhah bin Ubaidillah dan Hudzaifah bin Al-Yamami

menta‟wilkan salah satu ayat Al-quran surat Al-maidah ayat 5 yang artinya

“Dihalalkan mengawini wanita beriman yang baik-baik dan ahl Al-Kitab yang

baik-baik”, Khalifah Umar bin Khattab marah atas takwil yang dibacakan oleh

Ubaidillah karena dianggap tidak sesuai dengan pengertian umum dari ayat dalam

surat Al-Mujadilah : 4 yang artinya “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang

menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman/ orang-orang itu

bukan dari golongan kamu”. Dalam riwayat tersebut dinyatakan bahwa Umar

hendak memberi ganjaran kepada mereka akan tetapi mereka berdua berkata

kepada Umar “Janganlah bersedih wahai Amirul Mu‟minin kami telah

menceraikannya”. Umar berkata “Kalau halal menceraikan wanita ahli kitab

tentunya halal pula mengawininya oleh sebab itu aku akan lepaskan mereka dari

kamu sekalian.”11

Terdapat banyak kemungkinan yang dapat kita pahami dari

pernyataan Umar bin Khattab antara lain Umar melarang pernikahan beda agama

karena dalam kapasitasnya sebagai seorang Khalifah. Dan kemungkinan lainnya

Umar melarang pernikahan beda agama adalah bertujuan sebagai tindakan

preventif agar jangan sampai ada lagi orang Islam yang mengawini wanita

non-muslim atau ahl Al-Kitab.

10

A. Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam perpektif fiqih dan kompilasi hokum islam, Cet.I (Jakarta; Qalbun Salim, 2005), h.38

11

(26)

Perbedaan pendapat tentang pernikahan beda agama juga terjadi di

kalangan para Imam madzhab yakni madzhab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟I,

Imam Maliki, Imam Hambali yaitu sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim

dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan

mengawini wanitaahlu al-kitab (Yahudi dan Nasrani), yang terpenting adalah ahlu

alkitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud

dengan ahlu al-kitabadalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab

yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya kepada

Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan

kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.

Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlu al-kitab dzimmi atau

wanita kitabiyah yang ada di Daaral-Harbi boleh hukmnya, hanya saja menurut

mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada di Daar al-Harbi

hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan

mengandung mafasid (kerusakan-kerusakan) yang besar, sedangkan perkawinan

dengan wanita ahlu al-kitabzimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka

adalah karena wanita ahlu al-kitab dzimmi ini menghalalkan minuman arak dan

menghalalkan daging babi.

2. Mazhab Maliki

Pandangan mazhab Maliki tentang hukum perkawinan beda agama ini

(27)

a. Menikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah

(wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang

tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi

wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri

yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan

agama ayahnya, maka hukumnya haram.

b. Menikah dengan kitabiyah tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak

melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini

menggunakan pendektan Sad al-Zarai‟ (menutup jalan yang mengarah

kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan

muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.

3. Mazhab Syafi’i

Demikian halnya dengan mazhab Syafi‟i, juga berpendapat bahwa boleh

menikahi wanita ahlu al-kitab.Yang termasuk golongan wanita ahlu

al-kitabmenurut mazhab Syafi‟i adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani

keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun

termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini

adalah :

a. Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel,

dan bukan bangsa lainnya.

b. Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada surat Al-Maidah ayat 5

menunjukkan kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa

(28)

Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah

wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak Nabi Muhammad sebelum diutus

menjadi Rasul, yaitu semenjak sebelum Al-Qur‟an diturunkan, tegasnya orang

-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur‟an diturunkan tidak

termasuk Yahudi dan Nasrani kategori ahlu al-kitab, karena tidak sesuai dengan

bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4. Mazhab Hambali.

Mazhab Hambali mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita

musyrik, dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Narani. Mazhab ini lebih

kebanyakan pengikutnya cenderung mendukung pendapat guru Ahmad bin

Hambal, yaitu Imam Syafi‟i. Tetapi tidak membatasi, bahwa yang

termasuk ahlual-kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel saja, tetapi

menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut agama Yahudi dan Nasrani

sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.12

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para imam madzhab dapat

kita lihat perbedaan-perbedaan yang terjadi bagaimana haram atau tidaknya

pernikahan beda agama itu sendiri, sikap kita terhadap perbedaan pendapat para

imam madzhab cukup dengan mentolerir dari masing-masing pendapat yang

dikemukakan oleh para imam tersebut.

Pandangan-pandangan lain tentang pernikahan beda agama menurut

ulama-ulama kontemporer contoh nya seperti apa yang di kemukan oleh Yusuf

Qardawi, dengan merujuk kepada pendapat jumhur bahwa hukum asal mengawini

12

Diakses pada tanggal 28 Desember 2013 dari

(29)

wainta ahl kitab adalah mubah. Menurutnya, hal ini sesuai dengan Q.S.

al-Maidah (5): ayat yang membolehkannya. Setelah mengurai beberapa pendapat

para ulama tentang perkawinan ini, ia berkesimpulan bahwa pendapat jumhur

tentang kebolehan pria muslim mengawini wanita ahl al-kitab itulah yang tepat.

Qardhawi mengemukakan tiga alasan, Pertama, Q.S. al-Maidah (5): ayat 5 ini

turun belakangan daripada Q.S. al-Baqarah (2): ayat 221, oleh karena tidak

mungkin Q.S. al-Maidah (5) ayat 5 dinasakh kan oleh Q.S. al-Baqarah (2): ayat

221 kedua, Q.S. al-Mumtahanah(60); ayat10 adalah umum untuk ditakhsis oleh

Q.S. al-Maidah (5): ayat 5, ketiga, lafaz musyrik dalam Q.S. al-Baqarah (2):ayat

221 tidak mencakup lafaz ahl al-kitab sama sekali dalam bahasa al-Qur‟an. Untuk

menguatkan pendapatnya yang ketiga ini ini, ia mengemukakakan dalil dalam

al-Qur‟an yang memang membedakan keduanya seperti Q.S. al-Bayyinah (98): ayat

1. Akan tetapi, meskipun Yusuf Qardhawi membolehkan bentuk perkawinan ini,

ia kemudian memberikan syarat-syarat yang sangat ketat. Diantaranya ialah

dipastikan tidak terdapat fitnah dan madarat akibat dari perkawinan ini.

Menurutnya, apabila dapat menimbulakn madarat bagi umum, maka perkawinan

itu terlarang secara umum, dan apabila menimbulkan madarat secara khusus pada

orang atau kondisi tertentu, maka ia juga terlarang untuk orang atau kondisi

tertentu.13

B. Pernikahan Beda Agama Menurut Pandangan Hukum Positif di

Indonesia.

13

(30)

Pada dasarnya, agama-agama yang secara hukum diakui di negara

Republik Indonesia, dalam ajaran-ajarannya tidak membenarkan perkawinan

beda agama secara sah.14 Hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama. Sah nya suatu

perkawinan diatur di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dimana diterangkan di dalam pasal 2 UU perkawinan sebagai

berikut:

1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaan. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UU perkawinan

dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan

kepercayaannya itu.

2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP

No.9/1975). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka

pencatatan dilakukan pleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi mereka

yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan di

luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan

Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

14

(31)

Di dalam Undang-Undang tersebut memang tidak mengatur larangan

perkawinan beda agama. Tetapi, secara implisit undang-undang dengan secara

tidak langsung menyerahkan urusan perkawinan kepada masing-masing agama.

Ketidak tegasan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan ini banyak

menjadi perdebatan bagi kalangan pakar hukum di Indonesia, diantarnya menurut

Bismar Siregar, Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur

tentang Perkawinan Beda Agama, menurutnya perkawinan Beda Agama tidak

dibenarkan.15 Dan diantara yang berpendapat bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang sahnya Perkawinan Beda Agama perkawinan ini

sah karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.16

15

Bismar Siregar, Perkawinan Beda Agama Tidak Dibenarkan, (Jakarta; Pelita,1992), h.4 16

(32)

BAB III

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERUNDANG-UNDANGAN

INDONESIA

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 68/PUU-XII/2014

A. Kedudukan Pernikahan Beda Agama Dalam Hukum Islam

Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam,

tidak hanya memuat ajaran-ajaran mengenai masalah akidah atau akhlak

semata. Tetapi, juga mengatur aspek kehidupan umat manusia yang lain

seperti hukum Islam, dalam konteks ini hukum pernikahan. Tidak semua

konteks perkawinan sudah diketahui dan dipahami dengan baik oleh setiap

umat muslim di Indonesia, contoh nya dalam kasus perkawinan beda

agama.

Perkawinan campuran atau perkawinan beda agama yang dimaksud

disini adalah perkawinan antara seorang yang beragama Islam (muslim,

muslimah) dengan non-muslim. Non-muslim (orang yang tidak beragama

Islam) secara garis besar dikelompokkan ke dalam musyrik dan Ahlu

kitab.17 Dalam konteks hukum perkawinan, ada beberapa golongan yang status hukumnya dipandang sama dengan orang musyrik; antara lain

mulhid (atheis), murtad (orang yang keluar dari agama Islam), dan majusi

(penyembah api).18 Sedangkan Ahlu kitab yang mana kebanyakan dari

17

Maria Ulfa Anshor & Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta; KAPAL perempuan, 2004, h. 40

(33)

kaum wanita, sudah pernah dibahas di bab sebelumnya dimana yang

dimaksud mereka yang menganut agama samawi yang disampaikan oleh

para Nabi sebelum Muhammad SAW, serta memiliki kitab suci. Dalam

ajaran Islam (al-Qur‟an) yang dimaksud dengan Ahlu-kitab adalah

pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.

Adapun kedudukan hukum dari masing-masing permasalahan

diatas dimulai dari perkawinan laki-laki muslim dengan wanita musyrik

atau sebaliknya, agama Islam sangat tegas melarang apabila terjadi hal

tersebut. Tercantum didalam al-Qur‟an surat al-Baqarah (2) : 221:

                                                                  Artinya:

"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (Q.S. Al-Baqarah : 221)

Berdasarkan keterangan ayat diatas, perkawinan antara laki-laki

muslim dengan wanita musyrik atau sebaliknya dalam hukum Islam

hukumnya haram dan batal perkawinannya. Keharaman perkawinan ini

(34)

zaman dan sepanjang masa, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan

para ahli hukum Islam (fuqaha). Jika perkawinan tersebut masih terjadi

dan masih tetap dilaksanakan, perkawinan tersebut tidak sah dan

dipandang tidak pernah terjadi (wujuduh ka‟adamihi), serta tidak pula

menimbulkan akibat akibat-akibat hukum perkawinan, seperti kehalalan

hubungan seksual, kewarisan, dan sebagainya.19

Sementara itu, kedudukan hukum dari perkawinan antara laki-laki

muslim dengan wanita kitabiyah (Ahlu-kitab) yang mana itu pemeluk

agama Yahudi dan Nasrani pada dasarnya adalah boleh atau sah dan

dihalalkan. Pernyataan ini berdasarkan pada firman Allah surat al-Ma‟idah

(5): 5 :























Artinya:

"Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman

19

(35)

(tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi". (Q.S. Al-Maidah : 5)

Pada prinsipnya pandangan para ulama mengenai hal ini terpola

kepada tiga pendapat:

a. Pertama, melarang secara mutlak. Sebagian ulama melarang secara

mutlak pernikahan antara muslim dan non-Muslim, baik yang

dikategorikan musyrik maupun ahlu kitab dan larangan itu berlaku

baik bagi perempuan maupun muslim maupun laki-laki muslim.

b. Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan

pernikahan laki-laki muslim dan perempuan non-muslim dengan syarat

perempuan non-muslim itu dari kelompok ahlu kitab, tetapi tidak

sebaliknya.

c. Ketiga, membolehkan pernikahan antara muslim dan non-muslim dan

kebolehan itu berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Dalam al-Fiqh

al-Islamy wa Adillatuh, Wahbah al-Zuhaili menulis “ Ulama sepakat

atas bolehnya perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan „ahli

kitab‟. Dasarnya adalah surah Al-Maidah ayat 4. Beberapa orang

sahabat Nabi menikahi perempuan ahl al-kita contohnya Utsman bin

Affan menikahi Nailah binti al Farafishah yang Nasrani.20

Dari ketiga pendapat tersebut yang menjadi bahan perdebatan

adalah pendapat ketiga dimana perndapat tersebut dengan jelas

membolehkan tanpa syarat pernikahan beda agama dan atas dasar nash

20

(36)

al-Qur‟an. Mengenai soal ini, al-Juzairi punya pandangan sendiri,

sebagai mana dikemukakan dalam karyanya, al-Fiqh ala al-Madzahib

al-Arba‟ah. Menurutnya, “Ayat ini menunjukkan halalnya laki-laki

muslim menikahi perempuan ahlu kitab berdasarkan „nash‟ (teks

eksplisit), meskipun perempuan tersebut mengatakan, „Al-Masih (Isa)

adalah „ilah (tuhan‟ atau „tsalitsu tsalatsah‟ (satu dari tiga oknum),

padahal itu musyrik, Allah membolehkannya karena mereka

(perempuan) menganut agama langit dan mempunyai kitab suci”.21

Nilai yang tersirat dari pendapat al-Juzairi yang berpendapat

pernikahan itu boleh karena ada sejumlah persamaan prinsip antara dua

agama itu; pengakuan akan adanya Tuhan, keimanan kepada para

utusan Tuhan, dan kepercayaan pada hari akhir. Beberapa prinsip ini

menurutnya dapat menjamin “istiqomah” (stabilnya) kehidupan

pernikahan mereka.

Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bagaimana Perkawinan Beda

Agama sebaiknya dihindarkan diatur didalam pasal 40 huruf c dan

pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara

laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim

dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum

Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan

seorang wanita karena keadaan tertentu;

21

(37)

a) karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan

denganpria lain;

b) seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria

lain;

c) seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya

perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim

(baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini

memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang

dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.

Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut:

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan

seorang pria yang tidak beragama Islam.22

Sementara itu dikalangan ulama-ulama Indonesia termasuk

didalamnya yaitu salah satu fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)

sangat tegas memberikan argumen tentang pernikahan beda agama.

Melalui fatwanya yang dikeluarkan pada 1 Juni 1980 MUI (Majelis

Ulama Indonesia) yaitu sebagai berikut :

1. Perkawinan wanita muslimah dengan pria non-Muslim adalah

haram hukumnya;

2. Seorang laki-laki Muslim di haramkan mengawini wanita

bukan Muslim.

22

(38)

Tentang antara laki-laki dengan wanita ahli kitab terdapat

perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadat-nya

lebih besar daripada maslahatnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI)

memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.23 Selanjutnya dalam MUNAS MUI tahun 2005 Majelis Ulama Indonesia

menegaskan kembali pelarangan pernikahan beda agam yang berisi:

“Perkawinan Beda Agama adalah haram dan tidak sah.”

“Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut

qaul mu‟tamad adalah haram [dan] tidak sah.”24

B. Kedudukan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974 menurut

undang-undang 1945.

Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak

adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung

prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama

ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam

masyarakat kita. Dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau

azas-azas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan

dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan

tuntutan zaman.

Adapun penjelasan azas-azas atau prinsip yang tercantum dalam

undang-undang ini adalah sebagai berikut :

23

Majelis Ulama Indonesia, Himpunan dan Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia

(Jakarta: Sekertariat Majelis Ulama Indonesia Masjid Istiqlal,1995), h. 91 24

(39)

a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal, untuk itu suami dan istri perlu saling membantu dan

melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan

materiil.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaan

masing-masing. Dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan

tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan

peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, missal nya kelahiran,

kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte

resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila

dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari

yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri

lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami

dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila

dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu

harus matang jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan

(40)

baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik

dan sehat.

e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia

kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan han dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami.25

Dari azas-azas diatas yang paling menjadi perbincangan bagi

kalangan ahli-ahli hukum yaitu point dimana syarat sah nya perkawinan

bila dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing,

itu merupakan isi dari UU No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1. Selanujutanya

kita menilik lebih jauh makna dari pasal 2 ayat 1 dalam Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Menurut Soenarto Soerodibroto S.H.

(dalam tulisannya di salah satu surat kabar Harian Kompas 1 Oktober

1975) berpendapat “ kata “dan” dalam pasal 2 ayat 1 UUP itu berarti

kumulatif”, maksudnya perkawinan adalah sah apabila dilaksanankan

menurut agama dan kepercayaan, yang berarti bahwa apabila hanya

dilakukan menurut agamanya saja perkawinan itu belum sah.26 Penafsiarnnya berdasarkan gramatikal dari bunyi pasal tersebut . Pendapat

25

Drs. H. Saidus Syahar, S.H., Undang-undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya,Bandung, Alumni, 1981, h. 135-136

26

(41)

tersebut di bahas dan ditentang oleh Drs. K.H. Hasbullah Bakry S.H.(juga

dalam surat kabar yang sama pada tanggal 29 Oktober 1975) berpendapat

“ kata “dan” dalam pasal 2 ayat 1 UUP itu tidak berarti kumulatif

melainkan alternatif. Maksudnya pernikahan sah apabila memenuhi

syarat-syarat rukun Hukum Perkawinan Fiqih Islam, tanpa tatacara adat apapun

telah dianggap sah.27

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur

secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama. Perkawinan

yang sah adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan

kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU

Perkawinan. Hal ini berarti UU Perkawinan telah menyerahkan

sepenuhnya pada ajaran dari agama masing-masing. Namun,

permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak

tersebut memperbolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama.

Misalnya, dalam ajaran Islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki

yang tidak Bergama Islam (al-Baqarah (2):221). selain itu, juga dalam

ajaran Kristen Perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6: 14-18).

Tetapi acuan lain dari larangan perkawinan beda agama terdapat

dalam pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang

berbunyi:

“Untuk perkawinandan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan

27

(42)

berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordonansi

Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen

Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling

op de gemengde Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain

yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam

Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”28

Undang-Undang Perkawinan sebagai UU Perkawinan nasional

bermaksud mengadakan unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa

menghilangkan kebhinekaan (nuances) yang masih harus dipertahankan

dan masih harus di tolerir karena masih berlakunya hukum perdata positif

yang beraneka ragam dalam masyarakat. Dengan kata lain

Undang-Undang Perkawinan hanyalah merupakan suatu batasan yang mana hukum

dari agama itu sendiri yang menentukan sah atau tidaknya perkawinan

tersebut.

28

(43)

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.

68/PUUXII/2014 MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Perkawinan sebagai jembatan untuk mencapai tujuan yaitu

keluarga sungguh sangat lekat dengan adanya unsur agama dan adat.

Dalam hal ini di Indonesia, Perkawinan diatur pada UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974. Pada bab ini penulis akan menganalisis bagaimana

alasan-alasan yang digunakan pemohon dalam perkara yang diajukan ke

Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya kita perlu mengetahui apa saja latar

belakang yang menjadikan pernikahan beda agama ini mejadi polemik

bagi masyarakat Indonesia. Sebagai contoh kasus dimana putusan MA

1400K/Pdt/1986 menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu

memperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus

ini bermula dari perkawinan yang hendak di catatkan oleh Andy

VonnyGani P. (perempuan/ Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik

Nelwan (laki-laki/ Kristen). Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa

(44)

Andy Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan

menurut hukum Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk

mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus

melangsungkan dan mencatatatkan perkawinan tersebut.

Kasus diatas menjadi salah satu contoh bagaimana polemic

perkawinan beda agama yang saat ini sering kita temui di kalangan

masyarakat, dan pada akhirnya harus ada yang mengalah dan memutuskan

untuk berpindah agama dan mengikuti agama dari pihak yang lain untuk

tetap melangsungkan pernikahan. Sebab dari masing-masing agama yang

ada di Indonesia tidak ada aturan yang mejelaskan dengan spesifik tentang

perkawinan beda agama, cara lain untuk tetap melangsungkan perkawinan

tersebut yaitu dengan sebagaimana yang terjadi pada contoh kasus diatas.

A. Pokok Gugatan dalam Perkara No. 68/PUU-XII/2014

Kronologi terjadinya perkara yang telah diajukan oleh beberapa

kelompok alumnus dan mahasiswa dari Universitas Indonesia berawal dari

maraknya perkawinan beda agama yang terjadi di negeri ini dan juga

masih belum ada keterangan yang jelas dari UU perkawinan tersebut.

Maka dari itu mereka mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi

terkait uji materiil dari UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 terhadap

Undang-Undang Dasar 1945. Terdapat nama-nama dari para pemohon

sebagai berikut :

(45)

2. Rangga Sujud Widigda, sebagaiPemohon II;

3. Varida Megawati Simarmata, sebagai Pemohon III;

4. Anbar Jayadi, sebagai Pemohon IV;

5. Luthfi Saputra, sebagai Pemohon V;

Yang manapadatanggal 4 September 2014 permohonan diajukan ke

Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil dari UU Perkawinan No. 1

Tahun 1974 terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dan adapun

kedudukan hukum dari sang pemohon adalah perseorangan warga Negara

Indonesia yang merasa berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya

atas Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Dalam pokok gugatan yang dimaksud penggugat dalam hal ini ingin

melakukan uji materil terhadap Undang-undang No 1 tahu 1974 tentang

perkawinan pada pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Namun dalam hal ini penggugat merasa dirugikan hak-hak

konstitusionalnya atas pasal diatas, untuk itu pengugat memilki alasan

untuk melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi yang isinya :

1. Pemaksaan yang dilakuan oleh Negara agar tiap warga negara

melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan

(46)

Tahun 1974 merupakan pelanggaran terhadap hakatas kebebasan

beragama yang diakui melalui Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2),Pasal

28I ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945;

2. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah

membatasi hak untuk melangsungkan perkawinan sehingga

bertentangan degnan ketentuan Pasal 28Bayat (1) UUD 1945;

3. Norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

membuka ruang penafsiran yang amat luas dan menimbulkan

pertentangan antar norma sehingga tidak dapat menjamin terpenuhinya

hak atas kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam Pasal

28D ayat (1) UUD 1945;

4. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan

dengan ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD

1945 mengenai hak atas persamaan di hadapan hukum karena

menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga

negaranya secara berbeda;

5. Pembatasan yang ditentukan melalui Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1tahun 1974 tidak sesuai dengan konsep pembatasan terhadap

hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD

1945;

6. Keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(47)

dalam bidanghukum perkawinan dan merupakan norma yang tidak

memenuhi standar sebagai peraturan perundang-undangan;

7. Keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

justru bertentangan dengan tujuannya sendiri, yaitu agar tiap

perkawinan didasari padahukum agamanya masing-masing, selain itu

ketentuan a quo tersebut menyebabkan permasalahan dalam hubungan

suami-istri dan orang tua-anak.

Adapun norma-norma yang diajukan untuk di uji oleh para

pemohon adalah sebagai berikut:

A. Norma Materiil

Norma yang diajukan, yaitu :

 Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaan nya itu…

B. Norma Undang-UndangDasar 1945

Norma yang dijadikan sebagai dasar pengujian, yaitu :

 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945

Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam

hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum

dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

(48)

Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan

keturunan melalui perkawinan yang sah.

 Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum.

 Pasal 28E ayat (1) danayat (2) UUD 1945

1. Setiap orang bebas memeluk dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,

memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih

tempattinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya,

serta berhak kembali.

2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini

kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai

dengan hati nuraninya.

 Pasal 28I ayat (1) UUD 1945

Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin

,bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

(49)

 Pasal 29 ayat (2) UUD 1945

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat

menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Jika kita lihat dari norma-norma yang diujikan tersebut sangat jelas

bahwasanya para pemohon ingin mengklarifikasi masalah yang

menimbulkan pertentangan antara UU No.1 Tahun 1974 dengan UUD

1945. Pada hari kamis 4 September 2014 bertempat di Ruang Sidang

Gedung Mahkamah Konstitusi RI yang beralamat, Jl. Medan Merdeka

Barat No. 6, Jakarta Pusat.

B.Analisi Putusan dalam Perkara No. 68/PUU-XII/2014

Amar putusan dari perkara No. 68/PUU-XII/2014 menyatakan

bahwa Mahkamah Konstitusi dengan tegas menolak permohonan para

Pemohon untuk keseluruhannya. Keputusan tersebut diputuskan dalam

Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh sembilan hakim

konstitusi yaitu Hamdan Zoelva selaku ketua merangkap anggota, Arief

Hidayat, Anwar Usman, Aswanto, Wahiduddin Adams, Ahmad Fadlil

Sumadi, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, dan Maria Farida Indrati,

masing-masing sebagai anggota, pada hari senin, tanggal 15 Desember

(50)

Dalam hal ini penulis mempunyai pandangan berbeda yang

menjadikan pernikahan beda agama memang tidaka dapat

dilangsungkan dikarenakan dilarang oleh agama. Berpedoman dari

Nash Al-qur'an dan Hadits juga pandangan para ulama yang tidak

membolehkan pernikahan beda agama dilaksanakan. Yang mana sudah

pernah dijelaskan ayat yang menjadi dasar larangan pernikahan beda

agama terdapat di Q.S. Baqarah : 221, Q.S. Maidah : 5, Q.S.

Al-Mumthanah : 10 sebagai berikut:



Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan menunjukkan penetapan tersangka sebagai upaya paksa atau bukan dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

(2) Manfaat secara praktis: Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberi masukan pada para penegak hukum semua pihak yang berkompeten

Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.. 4) Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 bertentangan dengan Pasal 27

Unsur melawan hukum dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mancakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun dalam arti materil,

Masyarakat hukum adat tidak lagi dapat mengambil manfaat dari hutan adat yang mereka kuasai.Sebaliknya dapat terjadi masyarakat hukum adat kenyataannya tidak ada tetapi objek

Bahwa terhadap ketentuan pasal a quo agar ada kejelasan makna dan memberi kepastian hukum, perlindungan hukum dan jaminan hukum yang adil, mohon ditambah kalimat: “atau tidak

Pertama: sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, dimana asas due pro- cess of law sebagai salah

Sesuai dengan analisa hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa choice of forum baik secara litigasi (Peradilan Umum) maupun non litigasi untuk menyelesaikan