• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II _ SKRIPSI - Telaah Kitab Adab Al’Alim wa Al Muta’allim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BAB II _ SKRIPSI - Telaah Kitab Adab Al’Alim wa Al Muta’allim"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

15 1. Pengertian Etika

Istilah etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan.Yang dimaksud adalah kebiasaan baik maupun buruk. Dalam kepustakaan, umumnya kata etika diartikan sebagai ilmu. Makna etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya, adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak. Di dalam ensiklopedi pendidikan tersebut, diterangkan bahwa etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan, tentang baik dan buruk. Kecuali mempelajari nilai-nilai, etika merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Sebagai cabang filsafat yang mempelajari tentang tingakah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan baik atau buruk, ukuran yang digunakan adalah akal pikiran.1

Mengetahui keterangan etimologis tersebut, mungkin dapat dikaitkan dengan istilah dalam bahasa Indonesia yang berupa “ethos” yang cukup banyak digunakan dalam berbagai kombinasi seperti ethos kerja, ethos profesi dan lain sebagainya. Tetapi kata tersebut merupakan kata tidak langsung yang melalui bahasa Inggris, di mana kata tersebut termasuk kosa kata yang baku.2 Sehingga menelusuri arti etimologis saja belum cukup untuk mengerti maksud dari kata etika.3

Kata yang cukup dekat dengan istilah etika adalah kata moral. Istilah moral berasal dari bahasa Latin mores, bentuk jamak kata mos, yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, moral berarti ajaran tentang baik-buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,

1

Mohammad Daud Ali,Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), Cet.10, hal. 354

2

K. Bertens,Etika,(Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet.10, hal. 4

3

(2)

kewajiban, budi pekerti, akhlak. Moral adalah istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas suatu sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang layak dikatakan benar, salah, baik dan buruk. Dalam ensiklopedi pendidikan menyebutkan, sesuai dengan makna aslinya dalam bahasa Latin (mos), adat istiadat menjadi dasar untuk menentukan tolok ukur dari moral.4

Dengan demikian, etimologi kata etika sama dengan etimologi kata moral, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya yang berbeda; yang pertama berasal dari bahasa Yunani sedangkan yang kedua berasal dari bahasa Latin.5

Namun demikian, etika perlu dibedakan dengan moral. Ajaran moral merupakan rumusan sistematka terhadap anggapan tentang hal-hal yang bernilai serta kewajiban manusia. Sedangkan etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral, sehingga etika dapat diartikan sebagai filsafat yang merefleksikan ajaran moral, di mana filsafat memiliki lima cirri khas, yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik dan normatif. Sehingga etika tidak hanya sekedar melaporkan pandangan moral melainkan menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya.6

Selain kedua istilah etika dan moral, dikenal pula istilah akhlak. Adapun perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab akhlaq, yang bentuk jamaknya berupa khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat.7 Pada hakikatnya, akhlak adalah suatu kondisi atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan

4

Mohammad Daud Ali,Op. Cit.,hal. 353

5

K. Bertens,Op. Cit.

6

Tedi Priatna,Etika Pendidikan; Panduan bagi Guru Profesional, (Bandung : CV PUSTAKA SEIA, 2012), Cet.1, hal. 116

7

(3)

menjadi kepribadian. Dari sinilah timbul berbagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa memerlukan pemikiran.8

Dengan demikian, Etika, Moral, dan Akhlaq secara konseptual memiliki makna yang berbeda, namun pada ranah praktis, memiliki prinsip-prinsip yang sama, yakni sama-sama berkaitan dengan nilai perbuatan manusia. Seseorang yang sering kali berkelakuan baik kita sebut sebagai orang yang berakhlaq, beretika, bermoral, dan sekaligus orang yang mengerti susila. Sebaliknya, orang yang perilakunnya buruk di sebut orang yang tidak berakhlaq, tidak bermoral, tidak tahu etika atau orang yang tidak berasusila. Konotasi baik dan buruk dalam hal ini sangat bergantung pada sifat positif atau negatif dari suatu perbuatan manusia sebagai makhluk individual dalam komunitas sosialnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah akhlak sering juga disamakan dengan kesusilaan atau sopan santun. Bahkan, agar terdengar lebih “modern” dan “mendunia”, istilah akhlak, budi pekerti dan lain sebagainya sering diganti dengan kata moral dan etika. Pergantian tersebut sah-sah saja, asal mengetahui dan memahami perbedaan arti kata-kata yang dimaksud.9 Perbedaan pengertian etika, moral dan akhlak harus difahami, walaupun di masyarakat ketiga istilah tersebut disinonimkan dan dipakai silih berganti untuk menunjukkan sesuatu yang baik dan buruk.10

Setelah mengkaji penjelasan di atas, serta membandingkan dengan beberapa kata yang memiliki arti yang cukup dekat dengan istilah etika, maka istilah etika memiliki pengertian yang berbeda-beda. Pertama, kata etika dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku. Misalnya, etika Islam, etika Budha, etika Protestan, etika suku-suku Indian.

8

M Yatimin Abdullah,Studi Akhlak Dalam Perspektif AL Qur’an,(Jakarta : AMZAH, 2008), Cet.2, hal.4

9

Mohammad Daud Ali,Op. Cit.,hal.353

10

(4)

Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral, atau lebih dikenal dengan kode etik, seperti dalam istilah ERSI (Etika Rumah Sakit Indonesia).

Ketiga, etika yang memiliki arti ilmu tentang yang baik dan buruk. Etika dapat menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai tentang yang baik dan buruk) diterima dalam suatu masyarakat menjadi refleksi bagi penelitian sistematis dan metodis. Etika di sini sama artinya dengan filsafat moral.11

Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, di mana tindakan manusia tersebut ditentukan oleh bermacam-macam norma.12

2. Macam-macam Etika

Etika dapat dibagi menjadi tiga pendekatan yang dalam konteks ini sering diberikan, yaitu etika deskriptif, etika normative dan metaetika.13 a. Etika Deskriptif

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya, adat kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu, dalam kebudayaan-kebudayaan atau subkultur tertentu, dalam suatu periode sejarah dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, maka fungsinya tidak memberikan penilaian.14

b. Etika Normatif

Dalam etika normative, seseorang tidak bertindak sebagai penonton netral, tapi melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku manusia. Penilaian tersebut dibentuk atas dasar norma-norma

11

K. Bertens,Op. Cit.,hal. 6

12

Tedi Priatna,Op. Cit., hal. 104

13

K. Bertens,Op. Cit.,hal. 15

14

(5)

yang berlaku.15 Bahkan, dapat menyikapi norma-norma yang diterima oleh masyarakat atau diterima oleh seorang ahli lain, dengan mempertanyakan apakah norma-norma tersebut benar atau tidak.16

Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus; 1) Etika Umum.

Etika umum berbicara mengenai kondisi dasar cara manusia bertindak secara etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik dan buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan dengan ilmu pengetahuan yang membahas pengertian umum dan teori-teori.17

2) Etika Khusus.

Etika khusus merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus.18

Etika khusus dapat dibagi menjadi dua bagian :

a) Etika Individual, yang menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri.

b) Etika Sosial, yang berbicara mengenai kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.19 Demikian luasnya ruang lingkup dari etika social, sehingga etika social terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Pembahasan bidang yang paling actual saat ini adalah sebagai berikut :

1) Sikap terhadap sesama. 2) Etika keluarga

15

Ibid.,hal. 17

16

Ibid.,hal. 18

17

Tedi Priatna,Op. Cit., hal. 109

18

Ibid.

19

(6)

3) Etika profesi. 4) Etika politik. 5) Etika lingkungan. 6) Etika ideologi.20 c. Metaetika

Istilah ini diciptakan untuk menunjukkan bahwa yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan di badang moralitas.21 Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan factual. Kalau sesuatu ada atau merupakan kenyataan (factual), apakah dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought: normatif).22

3. Aliran-aliran Etika

Dari beberapa pengertian diatas, tampak jelas bahwa etika merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu perilaku manusia yang kemudian dijadikan standarisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang bermoral atau tidak bermoral. Ada beberapa madzhab dalam etika, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Egoisme

Egoisme adalah tindakan atau perbuatan memberi hasil atau menfaat bagi diri sendiri untuk jangka waktu selama diperlukan atau dalam waktu yang lama.23

1) Hedonisme

Para hedonis berpendapat bahwa ukuran makmur atau tidaknya suatu kehidupan, bahagia atau tidaknya suatu kehidupan hanya dapat diidentifikasi dengan kesenangan meteri.24

20

Ibid.,hal. 110

21

K. Bertens,Op. Cit.,hal. 19

22

Ibid.,hal. 21

23

(7)

2) Eudaemonisme

Eudaemonisme berasal dari bahasa Yunani eudemonia yang berarti bahagia atau kebahagiaan yang lebih tertuju pada rasa bahagia.25 b. Deontologisme

Deontologisme berpendapat bahwa baik-buruknya atau benar-salahnya suatu tindakan diukur berdasarkan sifat-sifat tertentu dari perbuatan yang dilakukan bukan diukur berdasarkan akibat yang ditimbulkan.

1) Deontologisme tindakan

Baik-buruknya suatu tindakan dapat dirumuskan untuk situasi tertentu tanpa ada peraturan umum.26

2) Deontologisme peraturan

Baik-buruknya suatu tindakan diukur pada satu atau beberapa peraturan yang berlaku umum dan bersifat mutlak.27

c. Utilitarianisme

Utilitarianisme berpendapat bahwa baik-buruknya tindakan diukur dari akibat yang ditimbulkan.28

1) Utilitarianisme tindakan

Segala tindakan mengakibatkan kelebihan sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat baik sebesar mungkin.29

2) Utilitarianisme peraturan

Memiliki semboyan untuk bertindak sesuai dengan kaidah yang penetapannya menghasilkan lebih banyak kebaikan.30

24

Ibid.

25

Ibid.

26

Ibid.,hal. 107

27

Ibid.

28

Ibid.

29

Ibid.,hal 108

30

(8)

d. Theonom

Kehendak Allah merupakan ukuran baik dan buruk suatu tindakan.31 1) Teori theonom murni

Suatu perbuatan dianggap benar apabila sesuai dengan kewajiban yang diperintahkan Allah.32

2) Teori theonom kodrat

Kebaikan dari suatu perbuatan bergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat mewujudkan nilai-nilai manusiawi atau tidak.

4. Pendidikan Etika

Proses internalisasi etika dalam diri peserta didik tidak dapat dilakukan secara instan, namun melalui proses yang sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohani peserta didik.33 Salah satu teori yang terkenal adalah apa yang dikemukakan oleh Lawrence Kohlberg yang mengurutkan perkembangan menjadi tiga tahap, dan setiap tahap terdapat dua perngkat.

Tahap pertama, prekonvensional. Dalam tahap ini, ada dua peringkat yang dilalui, yaitu orientasi ketaatan dan sanksi pada peringkat pertama, di mana pendidik mengajarkan mana perbuatan baik dan tidak baik. Jika anak didik berbuat baik, pendidik memberikan ganjaran, penghargaan atau hadiah, tetapi jika melakukan perbuatan tidak baik, pendidik akan memberikan sanksi hukuman sehingga anak didik akan belajar melakukan perbuatan baik dan tidak lagi mengulangi perbuatan yang tidak baik .Dan pada peringkat kedua berorientasi pada asas dan alat atau instrumen. Pada peringkat ini anak didik belajar memahami asas nilai baik dan asas tersebut merupakan instrumen untuk melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh lingkungan.34

Tahap kedua, peringkat konvensional. anak didik belajar terhadap nilai-nilai yang menjadi alasan untuk berbuat baik untuk memenuhi kehendak

31

Ibid.

32

Ibid.

33

FX, Sudarsono, "Pendidikan Etika yang Terpinggirkan dan Terlupakan", Dinamika Pendidikan Majalah Ilmu Pendidikan, Th. XIV, No. 1, Mei, 2007, hal. 18

34

(9)

pendidik serta lingkungannya. Pada tahap ini terdapat dua peringkat, yaitu peringkat yang berorientasi pada interpersonal, di mana anak didik dilatih untuk menempatkan diri yang didasari pada nilai-nilai dan tata aturan yang ditetapkan dalam lingkungan sosial budaya tertentu. Dan peringkat yang berorientasai pada undang-undang dan peraturan hukum negara dan pemerintah.35

Tahap ketiga, Post-Konvensional. Pada tahap ini anak didik tidak lagi hanya menerima dan melakukan, tetapi juga mencoba untuk mengkaji dan mengkritisi dari sudut pandang tertentu yang dikembangkan sendiri. Oleh karena itu, peringkat selanjutnya berorientasi pada kontrak sosial, baik tertulis maupun tidak tertulis dan peringkat terakhir berorientasi pada prinsip nilai etika yang berlaku universal.36

Sedangkan dalam Islam, pendidikan etika Islam diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang mengahasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah. Pendidikan etika Islam juga berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) dan menanamkan tanggung jawab.37Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ali 'Imran ayat 19 yang berbunyi :

)

:

(

Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS: Ali Imran Ayat: 18)

35

Ibid.,hal. 20

36

Ibid.,hal. 21

37

(10)

Oleh karena itu, jika berpredikat muslim yang benar-benar menjadi penganut agama yang baik dan harus menaati ajaran Islam dan menjaga agar rahmat Allah tetap berada pada dirinya, maka harus mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajarannya yang didorong oleh iman sesuai dengan akidah Islamiah.38

Dengan demikian, pendidikan etika Islam merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal dan informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam.39

B. Belajar dan Mengajar

1. Pengertian Belajar dan Mengajar

Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran (sasaran didik), sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pengajar.40

Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan manakala terjadi interaksi guru-siswa, siswa-guru pada saat pengajaran berlangsung. Inilah makna belajar dan mengajar sebagai suatu proses.41

Pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.42

38

Ibid.

39

Ibid.,hal. 23

40

Nana Sudjana,Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar,(Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2011), Cet.12, hal. 28

41

Ibid.

42

(11)

Tidak semua perubahan perilaku sebagaimana digambarkan di atas merupakan hasil belajar. Ada diantaranya terjadi dengan sendirinya karena proses perkembangan. Seperti halnya bayi dapat memegang sesuatu setelah mencapai usia tertentu. Perubahan perilaku dalam proses belajar adalah akibat dari interaksi dengan lingkungan yang biasanya berlangsung secara sengaja. Kesengajaan tersebut tercermin dari adanya beberapa faktor, diantaranya kesiapan, motivasi dan tujuan yang ingin dicapai.43

Di samping itu, perubahan tidak selalu harus menghasilkan perbaikan ditinjau dari nilai-nilai sosial. Seorang penjahat mungkin sekali menjadi seorang yang sangat ahli, tetapi dari segi pandangan sosial hal itu bukanlah berarti perbaikan.44

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan di atas, Hilgard dan Brower mendefinisikan belajar dengan perubahan dalam perbuatan melalui aktivitas, praktek dan pengalaman.45

Sama halnya dengan belajar, mengajar pun pada hakikatnya adalah suatu proses, yaitu proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar peserta didik sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong peserta didik melakukan proses belajar. Pada tahap berikutnya, mengajar adalah proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam melakukan proses belajar.46

Dalam konsep tersebut, tersirat bahwa peran pendidik adalah memimpin belajar (learning manager) dan fasilitator belajar. Mengajar bukanlah menyampaikan pelajaran, melainkan suatu proses membelajarkan pesera didik.47

43

Muhammad Ali,Guru Dalam Proses Belajar Mengajar,(Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), Cet.14, hal. 15

44

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2012), Cet.8, hal. 45

45

Ibid.

46

Nana Sudjana,Op. Cit,hal. 29

47

(12)

Sedangkan dalam Islam, konsep belajar lebih identik dengan pencarian ilmu. Meskipun tidak sesederhara pemaknaan istilah mancari ilmu. Misalnya Az Zarnuji dalam kitab Ta'lim Al Muta'allim Thariq Al Ta'allum

menggunakan istilah "ta'allum" dalam diskursus belajar, yang memiliki makna lebih dari makna belajar secara denotatif.48

Berdasarkan atas kandungan kitab Ta'lim Al Muta'allim Thariq Al Ta'allum dapat dipahami bahwa belajar adalah mengembangkan semua potensi diri seefektif mungkin, baik jasmani maupun rohani untuk mempelajari, menguasai secara baik, menghayati serta mengamalkan ilmu-ilmu yang dituntut.49

Disamping itu, belajar harus memiliki nilai transedental ilahiah sebagai suatu yang bernilai ibadah. Oleh karena itu, belajar menuntut kesungguhan, keikhlasan dan pengamalan dalam kehidupan, untuk semata-mata mengharap ridha Allah dan memperoleh kebahagian dunia akhirat.50 Dengan demikian, belajar memiliki prasyarat yang harus dimiliki setiap pencari ilmu.

"Ingatlah, engkau tak akan dapat ilmu, kecuali dengan enam hal # Aku akan jelaskan padamu secara global dengan gamblang. Kecerdasan, minat besar, kesabaran, bekal yang cukup# petunjuk guru, dan waktu yang lama."

Dari bait tersebut, dapat dimengerti bahwa ada beberapa prasyarat di dalam pencarian ilmu atau proses belajar, yaitu cerdas, minat besar (semangat), kesabaran, bekal yang cukup, petunjuk guru dan membutuhkan waktu yang lama.51

48

Siswadi, "Konsep Belajar Menurut Az Zarnuji",Insania,Vol.11, No.1, Januari-April, 2006, hal. 76-86

(13)

2. Teori Belajar

Pada mulanya, teori belajar dikembangkan oleh para ahli psikologi dan dicobakan tidak langsung kepada manusia di sekolah, tetapi menggunakan percobaan dengan binatang dan berharap bahwa hasil percobaan tersebut akan dapat diterapkan pada proses belajar mengajar untuk manusia.52

Pada tingkat perkembangan berikutnya, baru para ahli mencurahkan perhatian pada proses belajar mengajar untuk manusia di sekolah. Karena prosesnya begitu kompleks, maka timbul beberapa teori tentang belajar. dalam hal ini secara global ada tida teori, yaitu teori Ilmu Jiwa Daya, Ilmu Jiwa Gestalt dan Ilmu Jiwa Asosiasi.53

a. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Daya

Menurut teori ini, jiwa manusia terdiri dari bermacam-macam daya. Masing-masing daya dapat dilatih dalam rangka untuk memenuhi fungsinya.54 Seseorang hanya memanfaatkan semua daya yang sudah tersedia dengan cara melatihnya sehingga ketajamannya dirasakan ketika dipergunakan untuk suatu hal. Daya-daya tersebut seperti daya mengenal, daya mengingat, daya berfikir, daya fantasi dan sebagainya.55

Akibat dari teori ini, maka belajar hanyalah melatih semua daya yang telah dimiliki. Sedangkan pengaruh teori ini dalam belajar adalah ilmu pengetahuan yang dipadat hanyalah bersifat hafalan belaka. Dan penguasaan bahan yang bersifat hafalan biasanya jauh dari pengertian. Oleh karena itu, menurut para ahli jiwa daya, bila ingin berhasil dalam belajar, latihlah semua daya yang ada dalam diri.56

52

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta : Rajawali Press, 2011), Cet.19, hal. 29

53

Ibid.,hal. 30

54

Ibid.

55

Syaiful Bahri Djamarah,Psikologi Belajar,( Jakarta : Rineka Cipta, 2011), Cet 3, hal.18

56

(14)

b. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Gestalt

Psikologi Gestalt memandang bahwa belajar terjadi bila diperoleh

insight(pemahaman).Insighttimbul secara tiba-tiba, bila individu telah dapat melihat hubungan antara unsur-unsur dalam situasi problematis. Dengan kata lain, insight adalah semacam reorganisasi pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba, seperti ketika menemukan ide baru atau menemukan pemecahan masalah.57

Selain itu, teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian didahului oleh keseluruhan. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan.58

Dari aliran ilmu jiwa Gestalt tersebut memberikan beberapa prinsip belajar. antara lain :

1) Manusia bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.

2) Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.

3) Manusia berkembang sebagai keseluruhan sejak kecil sampai dewasa, lengkap dengan segala aspek-aspeknya.

4) Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas. 5) Belajar hanya berhasil, apabila tercapai kematangan untuk

memperolehinsight

6) Tidak ada belajar tanpa kemauan 7) Belajar akan berhasil jika ada tujuan.

8) Belajar merupakan proses jika seseorang terus aktif.59

57

Muhammad Ali, Guru dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2010), Cet. 14, hal. 19

58

Syaiful Bahri Djamarah,Op. Cit.,hal. 19

59

(15)

c. Teori Belajar Menurut Ilmu Jiwa Asosiasi

Teori asosiasi berprinsip bahwa keseluruhan itu sebenarnya terdiri dari penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsurnya. Penyatupaduan bagian-bagian melahirkan konsep keseluruhan. Teori asosiasi disebut juga dengan teori sarbond yang merupakan singkatan dari stimulus, respons,dan bond. Stimulus berarti rangsangan, respons berarti tanggapan, dan bond berarti dihubungkan. Rangsangan diciptakan untuk memunculkan tanggapan kemudian dihubungkan antara keduanya dan terjadilah asosiasi.60

Dari aliran ilmu jiwa asosiasi ada dua teori yang sangat terkenal, yaituTeori Konektionisme dari Thorndike dan Teori Conditioning dari Ivan Pavlov.

1) Teori Konektionisme

Dasar dari belajar adalah asosiasi antara kesan panca indra (sense impresion) denganimpulsuntuk bertindak (impuls to action) Dengan kata lain, belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi.61 Ada beberapa prinsip dasar dalam teori ini, diantaranya sebagai berikut :

a) Law of effect

Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat, kalau disertai dengan perasaan senang atau puas, dan kurang erat atau bahkan lenyap jika disertai perasaan tidak senang.62 b) Law of multiple response

Belajar dilakukan berulang-ulang sehingga muncul respons dengan tepat.63

60

Syaiful Bahri Djamarah,Op. Cit.,hal. 23

61

Sardiman,Op. Cit.,hal. 33

62

Ibid.

63

(16)

c) Law of exercise / Law of use and disuse

Hubungan stimulus dan respons akan bertambah erat apabila sering digunakan dan berkurang bahkan lenyap apabila jarang atau tidak pernah digunakan.64

d) Law of assimilation / Law of analogy

Seseorang dapat menyesuaikan diri atau memberi respons yang sesuai dengan situasi sebelumnya.

2) Teori Conditioning

Dalam praktik kehidupan sehari-hari terdapat suatu pola yang menjadi kebiasaan karena adanya suatu tanda. Misalnya, anak sekolah mendengar lonceng, kemudian berkumpul, pengendara motor akan berhenti jika melihat lampu merah dan kembali berkendara apabila lampu menyala hijau.65

Beberapa contoh di atas merupakan bentuk nyata yang terlihat di kehidupan sehari-hari. Bentuk-bentuk kelakuan seperti itu terjadi karena adanya conditioning. Karena kondisinya diciptakan, maka sudah menjadi kebiasaan. Kondisi yang diciptakan tersebut merupakan syarat, memunculkan reflek bersyarat.66

3. Prinsip Belajar dan Mengajar

Berdasarkan konsep dan teori-teori belajar tersebut di atas, dapat ditarik sejumlah prinsip belajar dan mengajar sebagai berikut :

a. Belajar senantiasa bertujuan yang berkenaan dengan pengembangan perilaku siswa

b. Belajar didasarkan atas kebutuhan dan motivasi tertentu.

c. Belajar dilaksanakan dengan latihan daya-daya, membentuk hubungan asosiasi dan melalui penguatan.

64

Ibid.

65

Ibid.

66

(17)

d. Belajar bersifat keseluruhan yang menitikberatkan pemahaman berfikir kritis, dan reorganisasi pengalaman.

e. Belajar membutuhkan bimbingan.

f. Belajar dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu.

g. Belajar sering dihadapkan pada masalah dan kesulitan yang perlu dipecahkan.

h. Hasil belajar dapat ditransfer ke dalam situasi lain.67 C. Etika dalam Belajar dan Mengajar.

Pada dasarnya, etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, tetapi mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.68 Baik dalam pengertian etika sebagai norma moral yang menjadi pegangan suatu kelompok, kode etik maupun ilmu tentang baik dan buruk.69

Sedangkan belajar dan mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses. Dan dalam konsep tersebut akan selalu berlangsung dengan melibatkan unsur subyek atau pihak-pihak sebagai aktor penting. Aktor penting tersebut dinamakan pula sebagai subyek penerima di satu pihak dan subyek pemberi di pihak yang lain. Bahkan karena begitu pentingnya kedudukan kedua subyek tersebut dalam aktivitas pendidikan, keduanya menjadi unsur dasar yang membentuk aktivitas pendidikan. Dengan demikian, ketiadaan kedua subyek tersebut berarti juga ketiadaan aktivitas pendidikan. Dalam prakteknya, subyek penerima adalah peserta didik, sedangkansubyek pemberiadalah pendidik.70

Dengan demikian, etika dalam belajar dan mengajar dapat diartikan sebagai konsep bagaimana peserta didik bertindak yang benar dalam proses belajar dan

67

Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung : Penerbit Sinar Baru Algensindo, 2012), Cet.8, hal.54-55

68

Tedi Priatna,Op. Cit., hal. 104

69

K. Bertens,Op. Cit.,hal. 6

70

(18)

bagaimana pendidik bertindak yang benar dalam proses mengajar sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

1. Etika Pesera Didik (Etika Belajar)

Etika peserta didik merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dalam proses belajar baik secara langsung maupun tidak langsung.71 Al Ghazali merumuskan ada sebelas kewajiban peserta didik :

a) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqatub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak didik dituntut untuk mensucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela. b) Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan ukhrawi.

c) Bersikap tawadhu' (rendah hati) dengan cara meninggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.

d) Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran. e) Mempelajari ilmu yang terpuji, baik untuk ukhrawi maupun duniawi. f) Belajar dengan bertahap dengan cara memulai pelajaran yang mudah

menuju pelajaran yang sulit.

g) Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian hari beralih pada ilmu lainnya, sehingga anak didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.

h) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. i) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum ilmu duniawi.

j) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang dapat bermanfaat dalam kehidupan dunia dan akhirat.

k) Anak didik harus tunduk pada nasehat pendidik.72

Etika peserta didik seperti apa yang dirumuskan oleh para pakar pendidikan perlu disempurnakan dengan empat akhlak peserta didik dalam menuntut ilmu :

71

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Penerbit KALAM MULIA, 2008), Cet.7, hal.118-119

72

(19)

a) Peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran dan penyakit jiwa sebelum menuntut ilmu, sebab belajar merupakan ibadah yang harus dikerjakan dengan hati yang bersih.

b) Peserta didik harus mempunyai tujuan menuntut ilmu dalam rangka menghiasi jiwa dengan sifat keimanan, mendekatkan diri kepada Allah SWT.

c) Peserta didik harus tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan sabar dalam menghadapi tantangan dan cobaan yang datang.

d) Peserta didik harus ikhlas dalam menuntut ilmu dan menghormati pendidik, berusaha memperoleh kerelaan dari pendidik dengan mempergunakan beberapa cara yang baik.73

2. Kode Etik Guru (Etika Mengajar)

Konsep etika mengajar tercermin dalam kode etik guru sebagai norma-norma yang harus diindahkan guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini seseuai dengan pengertian Kode Etik menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian.74 Kode etik guru tersebut ada dua macam, yaitu Kode Etik Guru Indonesia dan Kode Etik Jabatan Guru. a) Kode Etik Guru Indonesia.

1) Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila.

2) Guru mempunyai kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan anak didik masing-masing. 3) Guru mengadakan komunikasi terutama dalam memperoleh

informasi tentang peserta didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan.

4) Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua murid sebaik-baiknya demi kepentingan peserta didik.

73

Ibid.,hal 120

74

(20)

5) Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolah maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan.

6) Guru secara mandiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan profesinya.

7) Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru baik berdasarkan hubungan kerja maupun di dalam hubungan keseluruhan.

8) Guru secara bersama-sama memelihara, membina dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya. 9) Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijakan

Pemerintah dalam bidang pendidikan.75 b) Kode Etik Jabatan Guru.

1) Guru sebagai manusia Pancasilais hendaknya menjunjung tinggi dan mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.

2) Guru selaku pendidik hendaknya berekad untuk mencintai anak-anak dan jabatannya, serta selalu menjadikan dirinya suri teladan bagi peserta didik.

3) Setiap guru berkewajiban selalu menyelaraskan pengetahuan dan meningkatkan kecakapan profesi dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

4) Setiap guru diharapkan selalu memperhitungkan masyarakat sekitarnya, sebab pada hakekatnya pendidikan merupakan tugas pembangunan dan tugas kemanusiaan.

5) Setiap guru berkewajiban meningkatkan kesehatan dan keselaranan jasmaniahnya, sehingga berwujud penampilan pribadi yang sebaik-baiknya, agar dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya pula. 6) Di dalam hal berpakaian dan berhias, seorang guru hendaknya

memperhatikan norma-norma estetika dan sopan santun.

75

(21)

7) Guru hendaknya bersikap terbuka dan demokratis dalam hubungan dengan atasannya dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan hierarki kepegawaian.

8) Jalinan hubungan antara seorang guru dangan atasannya hendaknya selalu diarahkan untuk meningkatkan mutu dan pelayanan pendidikan yang menjadi tanggung jawab bersama.

9) Setiap guru berkewajiban untuk selalu memelihara semangat korps dan meningkatkan rasa kekeluargaan dengan sesama guru dan pegawai lainnya.

10) Setiap guru hendaknya bersikap toleran dalam menyelesaikan setiap persoalan yang timbul, atas dasar musyawarah dan mufakat demi kepentingan bersama.

11) Setiap guru dalam pergaulan dengan murid-murid, tidak dibenarkan mengaitkan persoalan politik dan ideologi yang dianutnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

12) Setiap guru hendaknya mengadakan hubungan yang baik dengan intansi, organisasi atau perorangan dalam melaksanakan kerjanya. 13) Setiap guru berkewajiban berpartisipasi secara aktif dalam

melaksanakan program dan kegiatan sekolah.

14) Setiap guru diwajibkan mematuhi peraturan-peraturan dan menekankan self dicipline serta menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat secara fleksibel.76

76

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks ini penglibatan individu dalam sesuatu isu kesihatan diandaikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan proses pendedahan kepada maklumat kesihatan, usaha

Santunan Kematian Masyarakat Pandeglang atau disingkat dengan SAKTI MAPAN merupakan program Pemerintah Kabupaten Pandeglang dalam rangka memberikan jaminan sosial

Uji Efektivitas Trichoderma harzianum dan Pemberian Arang Batok Kelapa Sebagai Pengendalian Hayati Penyakit Lanas ( Phytophtora Nicotianae de Hann ) Pada Tanaman

fitur – fitur untuk berinteraksi di antara sesama pengguna yaitu wall/dinding, in- box, chatting, dan lain – lain. Facebook mudah diakses mulai dari

〔商法五六一〕株主の死亡を始期とする自己株式取得の効力大阪地裁平成二五年四月一六日判決 来住野, 究Kishino, Kiwamu 商法研究会Shoho

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis kepada Bapak Rudi Sinamo, S.Pd (Kepala Bidang Pariwisata Kabupate Pakpak Bharat) penulis menarik kesimpulan

Jawaban A : Salah, karena tidak memiliki Main Verb, kalimat tersebut hanyalah satu frasa yang artinya : Satu Negara Maju Dengan Satu Indikator dari Tingkat Produktifitas yang

Pada penelitian ini yang menjadi objek observasi adalah kegiatan pengasuhan yang dilakukan oleh pendidik, kegiatan penuangan informasi pengasuhan anak usia dini pada