BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum4,5.
Gambar 1. Anatomi nasofaring (Dikutip dari : Anatomi Nasofaring [ cited 2010 Jan 5]. Available from:
2.2. Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type5,9,10. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone)11. Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung5.
2.3.Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita7.
Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000 orang pertahun, dan merupakan masalah kesaehatan yang serius di daerah ini. Pada Cantonese “boat people” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun3.
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Korea dan Jepang sangat rendah3,7, meskipun pada beberapa di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia dan Singapura, insiden karsinoma nasofaring relatif tinggi3.
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk)3,7, disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000)7.
2.4.Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring ini adalah gabungan antara genetik, faktor lingkungan dan virus Ebstein Barr4,5,12,13.
2.4.1.Genetik
Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan A2, HLA-B17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring11.
Studi pada orang Cina dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma nasofaring3.
2.4.2.Lingkungan
Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring pada Cina Timur. Hal ini didukung dengan penelitian pada binatang dimana tikus yang diberikan diet ikan asin akan mendapat karsinoma pada rongga hidung pada dosis tertentu3.
pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi3,5,6.
2.4.3.Virus Ebstein Barr
2.5.Patogenesis
Gambar 3. Patogenesis karsinoma nasofaring (Dikutip dari: Tao Q, Anthony TC Chan. Nasopahryngeal Carcinoma: Molecular Pathogenesis and Therapeutic Developments in Expert
2.6.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
2.6.1.Gejala
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan karsinoma nasofaring.
Tabel 1. Formula Digby15
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis15.
Gejala Nilai
Massa terlihat pada nasofaring Gejala khas di hidung
Gejala khas pendengaran
2.6.2.Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior (tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15.
2.6.3.Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
1. Computed Tomografi (CT), dapat memperlihatkan penyebaran ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar tengkorak.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya6.
2.6.4.Serologi
asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat untuk mendukung diagnosis karsinoma nasfaring6,12. Virus Ebstein Barr dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma13.
2.6.5.Pemeriksaan Patologi
2.6.5.1.Biopsi aspirasi jarum halus pada kelenjar getah bening servikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah bening servikalis15.
2.6.5.2.Biopsi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%16. Pada kasus dengan tidak dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien dengan resiko tinggi karsinoma nasofaring5.
2.6.Gambaran Klinis
sulit digerakkan. Limfadenopati servikal ini merupakan gejala utama yang dikeluhkan oleh pasien6,17.
2.7.Klasifikasi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous cell carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit1,2,3,4,. Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991 membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan Basaloid Carcinoma5.
2.8.Makroskopis
2.8. Mikroskopis
2.10.1. Sitologi
2.10.1.1. Sitologi Squamous Cell Carcinoma
Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara inti yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat, berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratisasi tidak terlihat maka dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai squamous cell carcinoma18.
Gambar 4. Squamous cell carcinoma, inti polimorfis, khromatin kasar, batas sel jelas, sitoplasma kebiruan (Dikutip dari: Lubis M. ND. (2009). Peran IHC dan ICC dalam Pemeriksaan Sitologi dan
Histopatologi Karsinoma Nasopharyx. Simposium Telinga Hidung Tenggorok, Medan).
2.10.1.2. Sitologi Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang sel-sel radang limfosit diantara sel-sel epitel19,20,21.
Gambar 5. Kelompokan sel-sel epitel undifferentiated,dengan latar belakang limfosit. Tampak sitoplasma yang eosinofilik dan anak inti yang prominen (Dikutip dari: Orell, SR, Philips, J.
Fine-Needle Aspiration Cytology, Fourth Edition Elsevier, 2005).
2.10.2.Histopatologi
2.10.2.1. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya5,13.
Gambar 6. Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
2.10.2.2. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi non keratinizing squamous cell carcinoma memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau2,12. Sel-sel menunjukkan batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar. Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol5.
Gambar 7. Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby,
2004).
2.10.2.3. Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Sel-sel tumor sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil, epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang)2,12.
Gambar 8. Undifferentiated Carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant lymphoma2,12.
Gambar 10.Undifferentiated Carcinoma terdiri sel-sel yang tumbuh membentuk gambaran syncytial yang difus (Schmincke type). (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical
Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia: Mosby, 2004).
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring memiliki gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular, khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle12.
2.10.2.4. Basaloid Squamous Cell Carcinoma
palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas5.
Gambar 11. Basaloid Squamous Cell Carcinoma pada nasofaring.Sel-sel basaloid menunjukkan festoonin growth pattern, sel-sel basaloid berselang-seling dengan squamous differentiaton. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and
Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).
2.11.Staging Klinik
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya T1 : Tumor terbatas pada nasofaring
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan atau fossa nasal T2a : Tanpa perluasan ke parafaring
T2b : Dengan perluasan ke parafaring
T4 :Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai syaraf otak, fossa infratemporal, hipofaring atau orbita
N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula
M menggambarkan metastase jauh M0 : Tidak ada metastase jauh M1 : Terdapat metastase jauh
Berdasarkan TNM tersebut diatas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium I : T1, N0, M0
Stadium IIA : T2a, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0, T2a, N1, M0 atau T2B, N0-1, M0 Stadium III : T1-2, N2, M0 atau T3, N0-2, M0
Stadium IVA: T4, N0-2, M0 Stadium IVB: Tiap T, N3, M0
2.12.Imunohistokimia
Marker untuk karsinoma nasofaring meliputi cytokeratin 5/6, 8, 13 dan 19, pancytokeratin (EA1/EA3), p53, p63, epidermal growth factor receptor (EGFR), Vascular endothelial growth factor (VEGF), EBV, proliferating cell nuclear antigen, Ki-67 dan c-erB2, Cathepsin L2,5,11,12,22,23.
Gambar 12.Nonkeratinizing Squamous Cell Carcinoma, imunoreaktif terhadap pancytokeratin pada epitel permukaan dan pada kelompokan sel pada stroma. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW.
Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).
Gambar 13. Nonkeratinizing Squamous Cell Carcinoma, imunoreaktif terhadap cytokertin dan biasanya memberikan gambaran “meshwork”. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P.
Sidrasky D. Pathology and Genetic Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).
Pada sebagian besar kasus karsinoma nasofaring imunoreaktif terhadap p63, marker untuk sel basal yang secara normal mewarnai sel basal dan sel parabasal pada bagian bawah epitel squamous5.
Gambar 14. Karsinoma nasofaring, baik bagian sel-sel karsinoma dan sel basal imunoreaktif terhadap p635. (Dikutip dari: Barnes L. Eveson JW. Reichart P. Sidrasky D. Pathology and Genetic
Head and Neck Tumours. Lyon: IARC Press, 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Chua et al dan Leong et al menunjukkan ekspresi dari EGFR meningkat pada karsinoma nasofaring. Dijumpai pada pada fase II pada penelitian dari cetuximab yang dikombinasikan dengan carboplatin. Respon keseluruhan 17% dan parsial respon atau penyakit yang stabil 66%. EGFR dapat menjadi target yang viabel untuk penelitian selanjutnya12.
Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan faktor angiogenik.
Guang-wu et al melaporkan bahwa VEGF diekspresikan pada 10% pada nasofaring normal, 40% pada pasien dengan tumor jinak nasofaring dan 80% pada karsinma nasofaring. Juga dilaporkan bahwa ekspresi VEGF lebih tinggi pada pasien karsinoma nasofaring lanjut11.
dengan kemoterapi neoadjuvan yang diikuti dengan radiasi. 94 pasien, termasuk seluruh pasien dengan metastase, dijumpai EBV DNA pada plasma, dan tidak dijumpai EBV DNA pada kontrol. Imunoterapi berdasarkan EBV latent membrane protein pada penelitian sebelumnya11.
Gambar 15. Pewarnaan imunohistokimia untuk EBER pada nasopharyngeal carcinoma. (Dikutip dari: Rosai J. Rosai and Ackermans Surgical Pathology,Volume one, Ninth Edition, Philadelphia:
Mosby, 2004).
Overekspresi protein dijumpai pada 47% jaringan tumor primer dan 89% pada metastase pada jaringan kelenjar getah bening leher. Sebagian besar literatur menyatakan bahwa cathepsin L berperan dalam invasi tumor dan metastasis. Sehingga, cathepsin L memiliki konstribusi pada metastasis karsinoma nasofaring dan dapat digunakan sebagai biomarker yang potensial untuk prognosis karsinoma nasofaring23.
(a) (b)
Gambar 16. a dan b overekspresi cathepsin L pada karsinoma nasofaring dan metastase pada kelenjar getah bening. (Dikutip dari: Xu, X. Et al Expression of cathepsin L in nasopharyngeal carcinoma and its clinical significance, Experimental Oncology, Volume 31, June, 2009)
2.13.Penatalaksanaan
Pengobatan standar dengan menggunakan radioterapi, dengan angka ketahan hidup sekitar 50-70%, tetapi beberapa penulis menganjurkan untuk mengkombinasikan dengan kemoterapi7,13,16.
2.14.Prognosis
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia muda), staging klinik dan lokasi dari metatase regional ( lebih baik pada yang homolateral dibandingkan pada metastase kontralateral dan metastase yang terbatas pada leher atas dibandingkan dari leher bawah)13. Studi terakhir dengan menggunakan TNM Staging System menunjukkan 5 years survival rate untuk stage I 98%, stage II A-B 95%, stage III 86%, dan stage IV A-B 73%6. Secara mikroskopis, prognosis lebih buruk pada keratinizing squamous cell carcinoma dibandingkan dengan yang lainnya.
Untuk non keratinizing squamous cell carcinoma, prognosis buruk bila dijumpai :
1.Anaplasia dan atau plemorfism.
2.Proliferasi sel yang tinggi ( dihitung dari mitotik atau dengan proliferasi yang dihubungkan dengan marker imunohistokimia ).
3.Sedikitnya jumlah sel radang limfosit.
4.Tingginya densitas dari S-100 protein yang positif untuk sel-sel dendritik.