• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku thaharah (bersuci) masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara tinjauan sosiologi hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku thaharah (bersuci) masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara tinjauan sosiologi hukum"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh: Khoirunnisa’ 106043101305

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoler

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh: Khoirunnisa’ 106043101305

Di bawah bimbingan Pembimbing

Drs. Noryamin Aini, MA. NIP 19630351 99103002

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan KK………. 34

Tabel 3.3 Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia………... 35

Tabel 3.4 Jumlah penduduk menurut agama………...……….……….. 36

Tabel 3.5 Jumlah sarana peribadatan……….…. 37

Tabel 3.6 Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan……….……. 39

Tabel 3.7 Jumlah sarana pendidikan………..………. 40

Tabel 4.1 Distribusi narasumber berdasarkan usia…………..…………...…... 42

Tabel 4.2 Distribusi narasumber berdasarkan jenis pendidikan……..….…..… 43

Tabel 4.3 Distribusi narasumber berdasarkan tingkat pendidikan…….…..…... 45

Tabel 4.4 Data narasumber berpengalaman mengikuti pendidikan agama..….. 46

Tabel 4.5 Distribusi narasumber dalam peran sosial keagamaan………...….…48

Tabel 4.6 Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman thaharah……... 50

Tabel 4.7 Data narasumber sumber pengetahuan tentang thaharah……… 65

vi 

(4)

 

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulias panjatkan atas segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini Shalawat serta Salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang berjasa besar kepasa kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.

Skripsi berjudul “PERILAKU THAHARAH (BERSUCI) DI MASYARAKAT BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA “TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM” penulis susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Serjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5)

ii 

 

dan Seketaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta. Terimakasih atas waktu nasehat dan solusinya selama ini.

3. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA. Dosen Pembimbing yang telah dengan sabar membimbing penulis, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan harapan dan ketentuan.

4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang penuh keiklasan mencurahkan ilmu pengetahuannya, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama masa studi.

5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.

6. Kepada Masyarakat Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara yang telah membantu memberikan data, informasi dan literatur yang relevan dengan penulisan skripsi ini

(6)

iii 

 

telah memberikan kontribusinya dalam penulisan skripsi ini, dan

9. Rekan-rekan jurusan PMH angkatan 2006 yang telah membantu dan menyemangati penulis dalam penulisan skripsi ini. Dan Teman-teman Kosan Ucha, Liana, Apriyanti, yang slalu memberikan support kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Mudah-mudahan segala jasa dan pengorbanan akan mendapat balasan dari Allah SWT. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi berkah bagi penulis dan semua pihak. Amin.

Jakarta, 10 Muharrom 1432 H

16 Desember 2010 M

(7)

iv DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. i

DAFTAR ISI………... iv

DAFTAR TABEL………... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah………... 3

C. Tujuan Penelitian………...….. 4

D. Review Studi Terdahulu………...……... 5

E. Metode Penelitian………...…………. 7

F. Sistematika Penelitian………...……….. 8

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM A. Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan……… 11

B. Kerangka Thaharah 1. Pengertian Thaharah………...……… 14

2. Jenis-jenis Thaharah...…………..…………...……. 15

3. Cara membersihkan najis.………...……… 17

4. Standar suci………... 20

C. Memahami Perilaku Hukum 1. Faktor dan Motif Tingkah laku seseorang………. 21

2. Kesadaran Hukum………... 26

3. Kepatuhan dan ketaatan hukum………..……... 29

(8)

v

BAB III KOMUNITAS DESA BUKIT KEMUNING LAMPUNG UTARA A. Keadaan Geografis………..…… 32 B. Keadaan Demografis………... 33 C. Keadaan Sosiologis……….…………. 35 1. Peran Keagamaan……….……….. 36 2. Peran Pendidikan……….……….. 48

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

A. Identitas Sumber Data………..……… 41 B. Pemahaman Masyarakat Tentang Thaharah………. 48 C. Perilaku Bersuci Masyarakat……… 64

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan……….. 71 B. Saran-saran……….. 72

DAFTAR PUSKATA 73

(9)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

Dalam setiap kitab fiqh, para fuqaha selalu membahas thaharah pada awal bab. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kebersihan atau kesucian dalam Islam. Seseorang tidak memenuhi syarat untuk beribadah saat ia memiliki hadats. Ia pun tidak dapat beribadah saat pakaian atau tempat yang akan dilaksanakannya peribadahan terkena najis. Karena urgensinya dalam penegakan tiang-tiang diin ini, Rasulullah Saw. bersabda tentang thaharah, “ath-Thahuur (suci) itu sebagian dari Iman”. (HR. Muslim)1

Thaharah memiliki urgensi yang sangat besar dalam Islam, baik yang hakiki, seperti kesucian pakaian, tubuh, dan tempat shalat dari najis, maupun yang hukmi, yaitu sucinya anggota wudhu dari hadats dan seluruh badan dari janabat. Hal ini dikarenakan thaharah merupakan syarat yang harus senantiasa terwujud demi kesahihan shalat yang minimal dilaksanakan lima kali sehari semalam. Disamping itu mengingat mendirikan shalat berarti berdiri dihadapan Allah SWT, maka melakukan thaharah berarti mengagungkan-Nya. Dengan demikian, melakukan thaharah berarti menyucikan ruh dan jasad sekaligus. Islam menempatkan kebersihan atau kesucian

1

(10)

sebagai sesuatu yang sangat penting, umpamanya saja kesahihan shalat ditentukan oleh kesucian.

Ungkapan “Bersih Pangkal sehat” mengandung arti betapa pentingnya

kebersihan bagi kesehatan manusia, baik perorangan, keluarga, masyarakat maupun lingkungan. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT. Ajaran kebersihan dalam Agama Islam berpangkal atau merupakan konsekusensi dari iman kepada Allah, berupaya menjadikan dirinya suci/bersih supaya berpeluang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian kebersihan dalam Islam mempunyai aspek ibadah dan aspek moral.

Disamping itu, thaharah dapat melindungi lingkungan dan masyarakat dari penjalaran penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena ia mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah dan kuman-kuman sepanjang hari. Kemudian memandikan seluruh badan setiap sehabis janabah juga cukup penting untuk melindungi badan dari berbagai kotoran, dan secara medis dapat dibuktikan bahwa upaya pencegahan berbagai penyakit adalah kebersihan. Pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.

(11)

bahwa air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan bukan termasuk najis. Padahal dalam pembahasan kitab fiqh jelas disebutkan bahwa kencing bayi laki-laki dan perempuan termasuk najis, serta berbeda tingkatan najis antara keduanya dan cara membersihkannya pun harus sesuai tingkatan najis tersebut.

Melihat thaharah itu penting dan cenderung diabaikan dan bertentangan dengan signifikasi thaharah itu dalam pembahasan kitab kuning, penulis mau melihat seperti apa thaharah itu dipraktekkan oleh masyarakat. Maka pada skripsi ini, penulis akan membahas bagaimana pemahaman masyarakat tentang thaharah, dan bagaimana masyarakat menyikapi dan melaksanakannya. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk mengangkat tema thaharah dalam pembahasan sosiologi hukum .

Berdasarkan pemikiran dan studi pendahuluan yang dilakukan oleh penulis, maka penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut problematika tersebut dan mengadakan penelitian dengan judul “Perilaku Thaharah (Bersuci) Masyarakat Bukit Kemuning Lampung Utara “Tinjauan Sosiologi Hukum)”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah di atas, pembahasan mengenai thaharah mempunyai cakupan yang cukup luas yaitu mengenai hadats dan najis. Tetapi dalam penelitian ini, pembahasan hanya dibatasi pada masalah membersihkan najis.

Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut:

(12)

2. Bagaimana perilaku bersuci masyarakat dalam kerangka sosiologi hukum?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulis

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah: a. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman masyarakat Bukit Kemuning

mengenai thaharah.

b. Untuk mengetahui perilaku masyarakat dalam kerangka sosiologi hukum.

2. Manfaat penelitian:

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk:

a. Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi perkembangan ilmu fiqh di masyarakat dalam masalah thaharah.

b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu kelengkapan dalam persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

(13)

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Sejauh pengamatan penulis, judul Perilaku Thaharah (bersuci) di Mayarakat ini belum disentuh oleh para penulis.

Ada beberapa skripsi yang telah membahas tema yang berkaitan dengan thaharah dalam kaitannya dengan kajian hukum. Namun penulis belum menemukan karya mirip dengan judul yang diangkat penulis. Adapun beberapa karya yang mempunyai korelasi dengan permasalahan yang akan diangkat oleh penulis antara lain:

1. Skripsi Muhson (0043119151) Tahun 2005 dengan judul “Studi Comparatif tentang Najis yang dimaafkan menurut Empat Madzhab (Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i, dan Madzhab Hanbali)”. Jurusan: PMH/

Syari’ah dan Hukum/ 2005 M. Skripsi ini membahas tentang thaharah secara

umumnya, serta secara khusus mengenai najis yang dimaafkan menurut madzhab empat. Keempat madzhab itu mewajibkan bersuci dari najis jika seseorang hendak melaksanakan ibadah ritual. Tetapi mereka semua mengakui akan adanya pengecualian-pengecualian yaitu adanya kemaafan dari najis-najis yang sekalipun hukumnya tetap najis tetapi tidak diharuskan untuk dibersihkan dengan adanya alasan-alasan tertentu.

2. Skripsi Abula’la al-Maududi (204043203066) Tahun 2010 dengan judul

(14)

Kencing Bayi”. Jurusan: PMH/ Syari’ah dan Hukum/ 2010 M. Skripsi ini membahas tentang adanya perbedaan antara kencing bayi perempuan dan bayi laki-laki di tinjau dari medis. Perbedaannnya adalah bayi laki-laki dan bayi perempuan usia dibawah dua tahun, pada jumlah leukosit, epitel dan bakteri dimana jumlahnya lebih dominan pada bayi perempuan dibandingkan bayi laki-laki. Kencing bayi laki-laki lebih cair (tidak pekat) daripada kencing bayi perempuan. Sedangkan ditinjau dari aspek sosiologisnya adalah najis pada bayi perempuan bukan disebabkan oleh perbedaan gender laki-laki dan perempuan atau dalam hal status sosiologis, akan tetapi lebih disebabkan oleh kualitas urin yang berbeda karena anatomi/bentuk organ.

(15)

yang obyektif tentang peranan-peranan yang berlaku dalam masyarakat tersebut, sehingga dalam menilai perilaku tersebut dari segi hukum akan terlihat akurat.

E. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini studi kasus (case study) yaitu suatu metode yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci masalah spesifik yang dihadapi.

1. Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan ini adalah dilakukan dengan cara berikut: a. Interview (wawancara)

Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah narasumber sebanyak 25 orang dari masyarakat desa tersebut, mereka terdiri atas tokoh masyarakat, tokoh agama, dan masyarakat biasa. Dalam hal ini penulis menggunakan metode interview terpimpin dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses interview terfokus pada permasalahan yang dimaksud.

b. Tehnik Observasi

(16)

Dengan hal ini penulis mengunakan metode observasi partisipan dan observasi tak terstruktur (metode penelitian sosiologis). Observasi ini dilakukan selama 2 Bulan, mulai bulan September hingga bulan Oktober Tahun 2010. Selain itu, penulis juga adalah bagian dari masyarakat yang diteliti.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data yang primer.

a. Sumber data yang primer adalah:

i. Narasumber, yakni orang atau keluarga yang dijadikan subyek penulisan, dalam hal ini adalah masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama, yang dianggap relevan dimintai keterangan.

ii. Informan, yakni orang memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti masyarakat setempat dan sebagiannya.

Selanjutnya penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

(17)

BABI PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Review Studi Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan

BAB II KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM Bab ini terdiri atas: Signifikasi Thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan. Kerangka Thaharah (Pengertian Thaharah, jenis-jenis thaharah, cara membersihkan najis, dan standar suci) dan Memahami Perilaku Hukum (faktor dan motif tingkah laku seseorang, kesadaran hukum, kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum).

BAB III KOMUNITAS MASYARAKAT BUKIT KEMUNING KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Bab ini meliputi Keadaan Geografis, Keadaan Demografis, dan Keadaan Sosiologis (peran pendidikan dan peran keagamaan)

BAB IV ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

(18)

BAB V PENUTUP

Terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran DAFTAR PUSTAKA

(19)

11

BAB II

KAJIAN TEORI TENTANG THAHARAH DAN PERILAKU HUKUM

Bab II ini akan membahas beberapa persoalan. Ada tiga hal yang dibahas. Pertama signifikansi thaharah terhadap kebersihan, kesehatan dan keindahan lingkungan. Kedua yaitu kerangka teori thaharah yang mencakup pengertian thaharah, jenis-jenis thaharah, cara membersihkan najis dan standar suci. Adapun ketiga yaitu memahami perilaku hukum, mencakup motif dan tingkah laku seseorang, kesadaran hukum, kepatuhan dan ketaatan hukum, dan budaya hukum.

A. Signifikansi Thaharah terhadap Kebersihan, Kesehatan dan Keindahan Lingkungan

Kata bersih sering diungkapkan untuk menyatakan keadaan lahiriyah suatu benda, seperti air bersih, lingkungan bersih, tangan bersih dan sebagiannya. Terkadang kata bersih memberikan pengertian suci, seperti air suci. Tetapi biasanya kata suci digunakan untuk ungkapan sifat batiniyah, seperti jiwa suci. Dalam hukum Islam setidaknya ada tiga ungkapan yang menyatakan “kebersihan” yaitu1,

1. Nazhâfah dan Nazîf, yaitu meliputi bersih dari kotoran dan noda secara lahiriyah, dengan alat pembersihnya benda yang bersih seperti air.

1

A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah )Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997(, h.

(20)

2. Thahârah, yaitu mengandung pengertian yang lebih luas meliputi kebersihan lahiriyah dan batiniyah.

3. Tazkiyah (penyucian)2, mengandung arti ganda yaitu membersihkan diri dari sifat atau perbuatan tercela dan menumbuhkan atau memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji.

Dalam syariat Islam, pelaksanaan thaharah dapat membawa kebersihan lahir dan batin. Orang yang bersih secara syara’ akan hidup dalam kondisi sehat. Karena hubungan antara kebersihan dan kesehatan sangat erat. Dalam suatu pepatah

dikatakan “kebersihan pangkal kesehatan”. Di samping itu, thaharah juga dapat

melindungi lingkungan dan masyarakat dari penularan penyakit, kelemahan, dan kelumpuhan, karena thaharah mencuci anggota badan yang lahir dan senantiasa akrab dengan debu, tanah, dan kuman-kuman sepanjang hari. Begitu pentingnya kebersihan menurut Islam, sehingga orang yang membersihkan diri atau mengusahakan kebersihan akan dicintai oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya :







(

ۺرق۹݆ا

/

٢

:

٢٢٢

)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai

orang-orang yang mensucikan diri”. (Al-Baqarah/2: 222)

Syariat Islam mengajarkan beragam thaharah. Umat Islam dalam thaharah

disyariatkan beristinja’, berkumur-kumur, memasukan air ke hidung, menggosok gigi

(siwak), mencukur rambut dan lain-lain sebagainya. Seluruh kegiatan ini

2

(21)

mewujudkan kebersihan lahiriyah sekaligus mengantisipasi kedatangan penyakit. Kemudian, untuk melaksanakan shalat, dan ibadah ghairu mahdhah lainnya, orang Islam diwajibkan berwudhu. Wudhu di samping membersihkan lahiriyah juga membersihkan diri secara batiniyah, karena shalat merupakan pendekatan diri kepada Allah SWT yang menuntut kebersihan lahir dan batin.

Selain itu, thaharah mempunyai implikasi terhadap keindahan lingkungan. Ada tiga lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia, yaitu lingkungan alam, lingkungan manusia dan lingkungan keluarga. Lingkungan alam adalah alam yang berada di sekitar kita. Lingkungan manusia adalah orang-orang yang melakukan interaksi dengan kita baik langsung maupun tidak langsung, dan dalam skala lebih kecil lagi adalah lingkungan keluarga yang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang terutama pada masa-masa awal kehidupannya3.

Dalam hubungan dengan hukum Islam, kebersihan dan keindahan lingkungan ini merupakan wujud nyata dari ajaran thaharah. Sebagai contoh, menurut syara’ seseorang dilarang melakukan buang air besar atau kecil di tempat-tempat tertentu, seperti di bawah pohon tempat orang berteduh, di dalam saluran air dan di tengah jalan. Hal tersebut bertujuan untuk menyelamatkan kenyamanan dan kebersihan lingkungan.

3

(22)

B. Kerangka Thaharah 1. Pengertian Thaharah

Secara etimologi kata “thahârah/

ۺ

را

ݓط

adalah masdar atau kata benda yang

diambil dari kata kerja

رݓٌطي

رݓط

yang berarti bersuci

4

. Sedangkan menurut istilah thahârah mempunyai banyak definisi sebagaimana dikemukakan oleh para imam mazhab5 berikut ini:

a. Hanafiyyah: thaharah adalah membersihkan hadats dan khobats.

b. Malikiyyah: thaharah adalah sifat hukum yang diwajibkan sifat itu agar bisa melaksanakan shalat, dengan pakaian yang membawanya untuk melaksanakan shalat, dan pada tempat untuk melaksanakan shalat.

c. Syafi’iyyah: thaharah adalah suatu perbuatan yang mengarah untuk

memperbolehkan shalat dari berupa wudhu, membasuh, tayamum, dan menghilangkan najis.

d. Hanabilah: thahaharah adalah menghilangkan hadats dan apa-apa yang semacamnya, dan menghilangkan najis.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa thaharah ada dua macam yaitu bersuci dari hadats yang khusus pada tubuh secara hukum dan bersuci dari najis pada tubuh, pakaian dan tempat. Bersuci dari hadats itu ada tiga macam, yaitu thaharah kubra (mandi), thaharah shugra (wudhu), dan pengganti keduanya manakala

4

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 868

5

(23)

keduanya tidak dapat dilakukan (tayammum). Sedang bersuci dari najis juga ada tiga macam, membersihkan diri, menyapu dan memercikkan air.6

2. Jenis-jenis Thaharah

Berdasarkan dalil qathi yang telah disepakati bahwa thaharah itu wajib menurut syara’. Salah satu dalilnya adalah perintah wudhu dan mandi jinabah sebagaimana tercantum dalam QS. al-Maidah (5): 6 berikut ini:

                                ( ۩م݆ا هܑئ / ۵ : ٦ )

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika

kamu junub Maka mandilah”.(QS. al-Maidah/5: 6)

Thaharah yang wajib itu adalah wudhu, mandi janabah, mandi haid, mandi nifas, (bersuci dengan air), tayamum sebagai penggantinya (bersuci dengan tanah) manakala tidak ada air atau seseorang berhalangan menggunakannya, atau menghilangkan najis.

Adapun sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudhu atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk bertayamum, sebagaimana ganti dari wudhu atau mandi. Kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Para fuqaha sepakat tentang

6

(24)

kebolehan bersuci dengan air yang suci atau air mutlak, yaitu air yang hanya disebut “air” tanpa embel-embel sifat, seperti air musta’mal atau embel-embel nisbah, seperti air mawar.

Adapun air sebagai sarana thahârah terdapat beberapa macam7:

a. Air Mutlak, ialah air suci lagi mensucikan. Air mutlak ini terdapat beberapa definisi. Sebagian pendapat menyatakan bahwa air mutlak ialah air yang dalam penyebutannya lepas dari segala ikatan apapun yang sifatnya tetap.8 Kemudian menurut definisi yang lain, bahwa air mutlak ialah air yang tetap menurut keadaan aslinya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air hujan, salju, air embun, air mata air, air sumur, air sungai dan air laut.

b. Air Musyammas, yaitu air yang terkena langsung panas matahari. Air tersebut adalah suci, karena ia tidak terkena najis dan mensucikan, yakni dapat menghilangkan hadas dan najis karena ia masih tetap disebut air mutlak. Namun terdapat perbedaan di kalangan ulama’ dalam menggunakan air yang panas karena matahari dapat menimbulkan penyakit belang. Air seperti ini dihukumi makruh.

c. Air Musta’mal, yaitu air suci namun tidak menyucikan. Ia adalah air yang sudah dipakai untuk mengangkat hadats atau bentuk ibadah lainnya seperti

7

A.Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah, h. 20

8

(25)

memperbarui wudhu. Air yang jenis ini makruh dipakai untuk mengangkat hadats akan tetapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis.9

d. Air Mutanajis. Air ini terdapat dua keadaan yaitu: pertama bila najis itu mengubah salah satu diantara rasa, warna atau baunya. Dalam keadaan ini para ulama’ sepakat bahwa air itu tidak dapat dipakai untuk bersuci. Kedua bila air tetap dalam keadaan mutlak, dengan arti salah satu diantara ketiga

sifatnya tadi tidak berubah. Hukum air seperti ini suci dan menyucikan.10 Di samping empat air yang disebut di atas, para ulama sepakat tentang

kebolehan bersuci dengan daun dan batu ketika beristinja yaitu ketika luarnya, baik air kencing maupun faces11, selagi najisnya wajar. Demikian halnya mereka juga sepakat atas disyaratkannya bersuci dengan tanah sebagai thaharah hukmiyah dan atas sucinya khamar menjadi cuka.

3. Cara menghilangkan najis

Najis adalah kotoran yang bagi setiap muslim wajib menyucikannya, dan menyucikan apa yang dikenainya.12

9

Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subul al-Salâm, jilid I, (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.h), h. 30

10

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah Mahyuddin Syaf, Jilid 1, (Bandung: PT.

Alma’arif, 2003), h, 34

11

Faces (Biologi): kotoran manusia

12

(26)

Allah SWT berfirman:





(

رثܑما

/

٤٧

:

٧

)

Artinya: “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Mudatstsir/74: 4).

Najis dibagi ke dalam tiga tingkat yaitu Najis Mughallazhah (tebal, berat), Najis Mukhaffafah (ringan/enteng) yaitu air kencing laki-laki yang belum memakan suatu makanan apapun selain air susu ibunya, dan Najis Mutawassithah (pertengahan/sedang). Adapun najis sedang ini dibagi menjadi dua bagian yaitu13:

a. Najis „Ainiyyah, yaitu najis yang bendanya berwujud, seperti darah,

nanah, air kencing dan sebagainya.

b. Najis Hukmiyyah, yaitu najis yang bendanya tidak berwujud, seperti bekas kencing, arak yang sudah kering.

Dalam hal ini, terdapat dua macam benda najis yang menjadi suci dengan sebab peralihan sifat, yaitu najis yang disamak dan khamar dengan beralih menjadi cuka. Selain kedua macam ini, tidak ada zat najis yang menjadi suci atau disucikan. Namun, sesuatu yang dikenai najis dapat dibersihkan kembali dengan cara tertentu sesuai dengan jenis najis yang mengenainya. Dalam hal ini, ada tiga macam cara membersihkan najis yaitu14:

1) Menurut jumhur ulama, jika suatu benda terkena najis yang berasal dari anjing dan babi, seperti kotorannya, air liurnya dan lain-lain, maka cara

13Moh. Rifa’I,

Ilmu Fiqh Islam Lengkap, (Semarang: CV. Toha Putra, 1978), h, 49.

14

(27)

menyucikannya ialah benda itu dicuci dengan air sebanyak tujuh kali, satu kali di antaranya dicampurkan debu/tanah. Adapun salah satu di antaranya dicampur dengan tanah berdasarkan hadits Rasul SAW:

إ

غ݆ݔ اܒ

بْْ݆݇݃ا

ْمكܑح۪ ءانإ يف

هْقريْ݇ف

:

رارم عْ۹س هْ݇ܛْغيْ݆ ڰمث

(

هاݔر

م݇ܛم

)

15

Artinya:“Apabila ada anjing menjilat kedalam menjana dari kalian, maka bersihkanlah dengan tanah, kemudian membasuhnya tujuh kali". (HR. Muslim)

2) Khusus untuk membersihkan sesuatu yang terkena kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan cukup dipercikan dengan air. Cara ini sesuai dengan hadits A’isyah ra. Bahwa seorang anak yang masih menyusu dibawa kepada Rasulullah saw. Lalu anak itu kencing dipangkuan beliau, Rasulullah saw, meminta air, kemudian beliau menyiraminya, tetapi tidak sampai membasuhnya16. Ulama juga membedakan cara membersihkan antara kencing bayi laki-laki dan kencing bayi perempuan itu berdasarkan hadits sebagai berikut:

ْ݄ݕب ڱܜريݔ ۻيراجْ݆ا ْ݄ݕب ݅ܛْغي

ڲي۹ڰص݆ا

(

هاݔر

ܐݔاܐ ݕب۪ ݔ يرا܏۹݆ا

)

17

Artinya:“Kencing bayi perempuan (cara mensucikannya) disiram, dan kencing bayi laki-laki diciprati air”. (HR. Bukhari dan Abu Dawud)

15

Al-Iman Abi al-Husein Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahih Muslim, Jilid 1, (Riyadh: Dar al-Salam, 1998M/1419H), h. 131

16Ibn Ruš

yd al-Qurţubi, Bidāyat al-Mujtahid wan Nihāyat al-Muqtaşid, Jilid 1, (Bairut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2007), h, 84

17

(28)

Menurut para ulama, hukum kencing bayi laki-laki dibedakan dari bayi perempuan karena air kencing bayi perempuan lebih bau dan lebih kotor daripada kencing bayi laki-laki.18

3) Cara membersihkan najis lainnya, dibedakan berdasarkan keadaannya yaitu najis „ainiyah (yang ada zat dan sifat-sifatnya) atau hukmiy (yang zat dan sifat-sifatnya tidak ada lagi), seperti kencing yang telah kering.

a) Najis „ainiy adalah najis yang bendanya berwujud, seperti darah,

nanah, air kencing dan sebagainya. Cara mennyucikannya dengan menghilangkan zatnya terlebih dahulu, hingga hilang wujud, bau dan warnanya, kemudian menyiram dengan air sampai bersih lalu dikeringkan. Bau dan warna yang sangat sukar hilangnya dapat dimaafkan.19

b) Sedangkan najis hukmiy Cara menyucikannya cukup dengan mengalirkan air pada bekas najis itu.

4. Standar Thaharah

Di dalam kamus ilmiah, kata standar berarti alat penopang atau yang dipakai untuk menjadi patokan.20 Adapun disebut standar thaharah yaitu patokan atau ukuran

18

Yusuf Qardhawi, Fiqhu at-thaharah, h. 59.

19

Khatib al-Syarbaini, Al-Iqnâ’filhall Alfâzi Abî Syujâ’i, (Bandung: Al-Ma’arif, T.th), h, 77.

20

(29)

sesuatu di katakan suci/bersih. Dalam hal ini, kajian-kajian fiqh khususnya dalam bab thaharah tidak menjelaskan secara konkrit apa yang disebut dengan standar thaharah. Adapun disebut standar thaharah atau yang menjadi tolak ukuran sesuatu itu dikatakan suci/bersih harus terhindar dari tiga sifat yaitu:

a. Warna. Apabila wujud najis itu sudah tidak terlihat lagi oleh pancaindra; b. Bau. Apabila aroma bau yang terdapat dalam najis sudah tidak tercium; c. Bentuk atau wujudnya.

Maka dari itu, tiga sifat tersebut harus terpenuhi jika seseorang akan membersihkan najis yang merupakan suatu tolak ukur dikatakan suci/bersih.

C. Memahami Perilaku Hukum

1. Faktor dan Motif Tingkah Laku Seseorang

(30)

waktu yang relatif singkat, jika terjadi motivasi yang pertama mendapat hambatan atau tidak mungkin dipenuhi.21

Adapun pengertian perilaku dalam kamus ilmiah adalah tindakan, perbuatan, atau sikap.22 Oleh sebab itu setiap manusia memiliki apa yang dinamakan perilaku (behavior), yaitu suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur perilaku adalah gerak sosial (social action), yakni suatu gerak yang terikat dalam empat syarat,23 yaitu:

a. Diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, b. Terjadi pada situasi tertentu,

c. Diatur oleh kaedah-kaedah tertentu, d. Terdorong oleh motivasi tertentu

Adapun beberapa teori yang menjelaskan tentang motivasi dan perilaku sebagai berikut.24

1) Teori Kognitif

Manusia adalah makhluk rasional. Berdasarkan rasionya manusia bebas memilih dan menentukan apa yang akan dia perbuat, entah baik maupun buruk. Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya.

21

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, (Yogyakarta: Kanisus, 1992), h. 10.

22

Achmad Maulana, Kamus Ilmiah Populer lengkap, h. 394

23

Soerjono Soekanto dan Soleman B.Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta:Rajawali Pers,1983), h. 6.

24

(31)

Makin intelegen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin lebih baik perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Dalam teori ini, tingkah laku tidak digerakkan oleh motivasi, melainkan oleh rasio. Setiap perbuatan yang dilakukannya sudah dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang sungguh-sungguh bertanggungjawab atas segala perbuatannya.

2) Teori Hedonistis

Bila di dalam teori kognitif sangat ditekankan soal rasio dan kehendak, di dalam teori hedonistis hal itu justru tidak dihiraukan. Teori ini mengatakan bahwa segala perbuatan manusia, baik disadari maupun tidak baik itu timbul dari kekuatan luar maupun dari kekuatan dalam, pada dasarnya mempunyai tujuan tunggal yaitu mencari hal-hal yang menyenangkan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan.

Di dalam teori ini tingkah laku seseorang itu dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tingkah laku mendekati rangsangan yang dirasa akan membawa kenikmatan dan tingkah laku menjauhi rangsang yang dirasa akan membawa rasa tidak enak. Unsur pokok motivasi adalah antisipasi. Teori hedonistis ini menggunakan

(32)

hakikatnya telah membawa keadaan yang menimbulkan rasa enak atau tidak enak.25

3) Teori Insting

Setiap orang telah membawa “kekuatan biologis” sejak lahirnya. Kekuatan biologis ini membawa seseorang bertindak menurut cara tertentu. Demikianlah dasar pemikiran naluri. Kekuatan naluriah yang seolah-olah memaksa seseorang untuk berbuat dengan cara tertentu, untuk mengadakan pendekatan kepada rangsang dengan jalan tertentu. Kesadaran nurani, disebut dengan nilai-nilai batiniyah dan sikap-sikap yang terkait, pemahaman mengenai apa yang sah dan yang tidak dan apa yang layak dan tidak pantas dipatuhi.26

4) Teori Keseimbangan

Teori keseimbangan (homeostasis) berpendapat bahwa tingkah laku manusia terjadi karena adanya ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Teori ini sangat erat hubungannya dengan teori dorongan yang akan dibahas kemudian. Bila digali lebih jauh teori keseimbangan ini menghasilkan dua bentuk tingkah laku yaitu tingkah laku mendekat untuk mencari keseimbangan, dan tingkah laku menjauh untuk menghindari terjadinya keadaan tidak seimbang. Misalnya seorang yang terkena panas sinar matahari, akan pergi ketempat teduh untuk menghindari

25

Martin Handoko, Motivasi Daya Penggerak Tingkah laku, h. 12

26

(33)

panasnya matahari, (menjauh), tetapi sekaligus mencari keseimbangan baru (mendekat).

5). Teori Dorongan

Teori dorongan ini diperkenalkan oleh Robert Woodworth pada tahun 1918. Pada waktu itu Woodworth mengartikan dorongan sebagai suatu tenaga dari dalam diri kita yang menyebabkan kita berbuat sesuatu. Oleh karena itu kata motif juga mempunyai arti dorongan yang menimbulkan dan mengarahkan tingkah laku manusia.

Pada penjelasan di atas, proses terjadinya tingkah laku, dan juga peran motif di dalam menggerakkan tingkah laku manusia, secara singkat dapat dikatakan bahwa kejadian tingkah laku dapat disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh individu. Individu bertingkah laku, karena dia ingin memuaskan kebutuhan yang dirasakannya. Kebutuhan yang dirasakan individu ditimbulkan oleh suatu dorongan tertentu, dan kebutuhan yang terdapat dalam diri individu tersebut menimbulkan motif untuk berbuat memenuhi kebutuhan. Motif diarahkan pada suatu tujuan konkrit yang diduga dapat memuaskan kebutuhan yang dirasakan, maka individu berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan konkrit itu. Dengan demikian dapatlah dibuat skema proses terjadinya tingkah laku27.

27

(34)

Diagram: Skema Alur Prilaku

2. Kesadaran Hukum

Kesadaran artinya keadaan ikhlas yang muncul dari hati nurani dalam mengakui dan mengamalkan sesuatu sesuai dengan tuntunan yang terdapat di dalamnya. Kesadaran hukum artinya tindakan dan perasaan yang tumbuh dari hati nurani dan jiwa yang terdalam dari manusia sebagai individu atau masyarakat untuk melaksanakan pesan-pesan yang terdapat dalam hukum. Kesadaran hukum dapat diartikan sebagai proses imanasi normatif, yakni kesatuan transendental antara kehidupan manusia yang isoterik dengan peraturan dan hukum yang membawa kehidupan pribadi dan sosialnya.28

Banyak ahli sosiologi memberikan definisi tentang kesadaran dan definisi merekapun cukup beragam, umpamanya yang dikemukakan oleh AW.Widjaja.29 Dia menjelaskan bahwa kesadaran dapat berjalan seimbang, selaras dan serasi dan sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupan manusia dan masyarakat jika peraturan tersebut sesuai dengan kaedah-kaedah yang berlaku di masyarakat. Dalam buku Kesadaran

28

Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, (Bandung: Putaka Setia, 2007), h, 197

29

AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, (Jakarta:CV. Era Swasta, 1984), h.52

DORONGAN KEBUTUHAN

MOTIF PERBUATAN TUJUAN

(35)

Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila ini terdapat dua penjelasan kesadaran, yaitu:

a. Kesadaran kehendak yang berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku manusia yang bersifat rohaniah dan batiniah yang bersumber pada adat, kebiasaan berupa kesadaran moral dan etika dan tanggung jawab.

b. Kesadaran hukum berupa tindakan, perbuatan, sikap dan perilaku manusia sebagai anggota masyarakat bersifat jasmaniah/ lahiriah yang bersumber pada ketentuan dan peraturan berupa kesadaran hukum disertai dengan tanggung jawab.

Oleh karena itu, baik kesadaran kehendak (dinamis) dan kesadaran hukum (statis) itu bersifat manusiawi, tidak sebagai robot yang selalu dipaksakan.30 Adapun yang dimaksud dengan kesadaran hukum juga mempunyai arti keadaan masyarakat yang tahu, mengerti dan merasa akan perintah-perintah dan larangan-larangan hukum, dan mau meninggalkan larangan tersebut dengan tanpa adanya paksaan atau tekanan, baik fisik maupun psikis, dan dari manapun datangnya31.

Terdapat empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan satu tahapan bagi tahapan berikutnya.32 Yaitu:

30

AW. Widjaja, Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila, h.16.

31

Ahmad Manshur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum. (Jakarta: Proyek Pembinaan Kemahasiswaan, 1985), h. 1.

32

(36)

1) Pengetahuan hukum merupakan pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku tertentu yang diatur oleh hukum. Maksud disini adalah pengetahuan seseorang terhadap hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis, serta menyangkut perilaku yang dilarang oleh hukum atau perilaku yang diperbolehkan oleh hukum.

2) Pemahaman hukum dalam arti di sini adalah sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu. Artinya seseorang warga masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman mengenai aturan-aturan tertentu, terutama dalam segi isinya. Pengetahuan hukum dan kesadaran/ketaatan hukum, secara teoritis bukan merupakan dua indikator saling bergantung, akan tetapi seseorang yang berperilaku sesuai dengan aturan norma mungkin tidak menyadari apakah perilaku tersebut sesuai dengan pengetahuan hukum atau tidak.

3) Sikap terhadap peraturan hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya suatu penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang dimanfaatkan atau yang menguntungkan jika hukum itu ditaati. Artinya seseorang mempunyai kecenderungan untuk mengadakan penilaian tertentu terhadap hukum yang ditaati.

(37)

3. Kepatuhan dan Ketaatan terhadap Hukum

Kesadaran hukum berkaitan dengan kepatuhan hukum. Hal yang membedakannya yaitu dalam kepatuhan hukum ada rasa takut akan sanksi. Hal ini merupakan perumusan dari kalangan hukum mengenai penilaian tersebut, yang telah dilakukan secara ilmiah, nilai nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada atau tentang hukum yang diharapkan ada. Indikator kesadaran hukum adalah pengetahuan hukum, pemahaman hukum dan sikap hukum. Adapun pola perilaku hukum adalah kepatuhan. Ada sanksi positif dan negatif. Ketaatan merupakan variabel tergantung. Ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan diperoleh dengan dukungan sosial. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat mematuhi hukum.33 Yaitu:

a. Compliance: kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum tersebut.

b. Identification: terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan baik dengn mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum tersebut.

33

(38)

c. Internalization: Seseorang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari pribadi yang bersangkutan. Dan kepentingan kepentingan para warga yang terjamin oleh wadah hukum yang ada.

4. Budaya Hukum

Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat menghindarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Sementara itu L.M. Friedmann34 mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga komponen dimaksud adalah: struktur, substansi, dan kultur atau budaya.

Dalam hal ini akan dijelaskan mengenai kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Selanjutnya Friedmann merumuskan budaya hukum sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum.35 Berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah bagian dari budaya hukum.

34

Lawrence M Friedmann. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, h. 17

35

(39)

Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa hal yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Friedmann juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal culture. Esmi Warassih Pujirahayu36 mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku, kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi budaya hukum seseorang.

Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa,

“penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan

masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri”.

36

Esmi Warassih, Pemberdayaan Masyarakat dalam Mewujudkan Tujuan Hukum (Proses

Penegakan Hukum dan Persoalan Keadilan); Pidato Pengukuhan Guru Besar. Fakultas Hukum

(40)

32

A. Letak Geografis

Secara Georgrafis Kelurahan Bukit Kemuning merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Bukit Kemuning Lampung Utara yang terletak di jalur lintas Sumatera dengan posisi 1400 bujur Timur dan 4450 lintang Selatan. Luas wilayah + 17.000 hektare, dengan batas-batas:

o Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Desa Muara Aman o Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Desa Sukamenanti

o Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tanjung baru Timur o Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Kabupaten Way Kanan

Penduduk Desa Bukit Kemuning terdiri dari berbagai macam suku yaitu Suku Semendo, Ogan, Jawa, Sunda, Padang, Lampung dan Batak. Mata pencarian penduduk mayoritas pada sektor pertanian dan perdagangan. Secara topografis, wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagian besar daerahnya merupakan daerah tinggi. Iklim Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikategorikan iklim sejuk.1

Adapun luas wilayah Kecamatan Bukit Kemuning terbagi dalam 14 lingkungan dengan masing-masing luas wilayah Kelurahan Bukit Kemuning sebagai berikut:

1

(41)
[image:41.612.112.503.141.533.2]

Tabel 3.1

Luas wilayah berdasarkan lingkungan kelurahan

Sumber: Data Lapangan 2010

B. Keadaan Demografis Kelurahan Bukit Kemuning

Berdasarkan data monografis kelurahan Bukit Kemuning bulan Juni 2010 tercatat ada 18.129 jiwa yang mendiami kelurahan Bukit Kemuning dengan persentase antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan relatif seimbang.

No Lingkungan Luas wilayah 1 Luas wilayah I 1.57 KM2 2 Luas wilayah II 1.48 KM2 3 Luas wilayah III 1.37 KM2 4 Luas wilayah IV 1.19 KM2 5 Luas wilayah V 1.05 KM2 6 Luas wilayah VI 1.26 KM2 7 Luas wilayah VII 1.05 KM2 8 Luas wilayah VIII 0.98 KM2 9 Luas wilayah IX 1.06 KM2 10 Luas wilayah X 1.15 KM2 11 Luas wilayah XI 1.07 KM2 12 Luas wilayah XII 1.68 KM2 13 Luas wilayah XIII 1.47 KM2 14 Luas wilayah XIV 0.52 KM2

(42)
[image:42.612.117.503.182.631.2]

Kelurahan Bukit Kemuning mempunyai jumlah penduduk per tahun 2010 sebanyak 18.129 jiwa. Jumlah penduduk laki-laki 9.163 jiwa dan perempuan 8.966 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) 4.157 KK dengan perincian data sebagai berikut:

Tabel 3.2

Jumlah penduduk berdasarkan KK

NO Lingkungan KK

Jumlah Jiwa

Laki-laki Perempuan Jumlah

1 I 338 827 780 1.607

2 II 452 903 901 1.804

3 III 433 905 894 1.799

4 IV 362 862 829 1.691

5 V 261 738 728 1.466

6 VI 469 935 953 1.888

7 VII 325 773 782 1.555

8 VIII 443 928 925 1.853

9 IX 246 699 680 1.379

10 X 167 397 382 779

11 XI 133 259 254 513

12 XII 141 277 258 535

13 XIII 223 362 346 708

14 XIV 164 298 254 552

Jumlah 4.157 9.163 8.966 18.129

(43)
[image:43.612.115.515.149.540.2]

Berikut ini adalah tabel data mengenai jumlah jiwa berdasarkan klasifikasi usia, yaitu:

Table 3.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia No Klasifikasi Usia Jumlah Jiwa %

1 0-4 1.707 9

2 5-9 1.693 9

3 10-14 1.617 9

4 15-19 2.026 11

5 20-24 1.922 11

6 25-29 2.394 13

7 30-39 2.699 15

8 40-49 2.363 13

9 50-59 1.132 6

10 60+ 576 3

Jumlah 18.129 100

Sumber: Data Lapangan 2010 C. Keadaan Sosiologis

(44)

adalah Ogan, Jawa, Padang, Lampung dan Batak. Kesukuan yang beragam tetap menjadikan faktor utama yang menyediakan pola hidup masyarakat di Kelurahan Bukit Kemuning dalam lingkungan kebersamaan, aman, damai, dan dapat menghilangkan perbedaan. Berikut penjelasan keadaan sosiologis Kelurahan Bukit Kemuning:

1. Bidang Keagamaan

[image:44.612.114.532.167.687.2]

Masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning mayoritas beragama Islam. Agama Islam menjadi nilai-nilai tersendiri dalam tata kehidupan bermasyarakat, yang mana dengan agama akan terasa lebih mudah untuk mencapai suatu keinginan bersama. Sebab agama menjadi faktor pemersatu masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial. Adapun jumlah penduduk Kelurahan Bukit Kemuning yang beragama Islam sebanyak 18129 jiwa dan pemeluk agama lain yang ada di Kelurahan Bukit Kemuning di antaranya Kristen 64 jiwa, agama Hindu 2 jiwa, dan agama Budha berjumlah 23 jiwa.

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk menurut Agama

No Agama Jiwa

1 Islam 18.040

2 Kristen 64

3 Hindu 2

4 Budha 23

5 Aliran Kepercayaan lainya -

Jumlah 18.129

(45)
[image:45.612.114.503.252.507.2]

Adapun dalam ibadah dibutuhkan yang namanya tempat/sarana ibadah agar terjalinnya suatu masyarakat yang dinamis. Sarana peribadatan bagi masyarakat setempat cukup memadai. Terdapat Masjid 19 buah dan mushalla 15 buah. Sedangkan bagi mereka yang beragama lain selain Islam tidak memiliki tempat ibadah dan mereka melakukan peribadatannya di rumah mereka sendiri. Sarana tempat ibadah di Bukit Kemuning dapat dilihat di tabel berikut:

Tabel 3.5

Jumlah sarana pribadatan No Sarana kepribadatan Jumlah

1 Masjid 19

2 Mushalla 15

3 Gereja -

4 Vihara -

5 Pura -

Sumber : Monografi 2010

Adapun tempat/sarana ibadah untuk agama Kristen yang disebut dengan gereja itu terdapat satu tempat. Sebagai gantinya, ada satu rumah kosong yang dijadikan tempat berkumpulnya kelompok penganut agama Kristen. Kelompok penganut agama Kristen menganggap rumah itu gereja. Namun, di pemerintahan daerah, tempat tersebut tidak diakui atau disebut ilegal.

(46)

berada di lingkungan masyarakat Bukit Kemuning tergolong berkelompok-kelompok. Dikatakan berkelompok, mengingat bahwa masyarakat Bukit Kemuning adalah masyarakat transmigran yang di dalamnya terdapat berbagai macam suku.2

Masjid merupakan tempat ibadah, tempat masyarakat berbagi dalam ilmu agama dan tempat perkumpulan pengajian-pengajian. Ini menunjukkan bahwa masjid merupakan salah satu tempat perkumpulan umat Islam. Bedanya di daerah Bukit Kemuning ini, terlaksananya kegiatan yang ada di masjid tergantung kepada lingkungan rumah yang berada di sekitarnya.

2. Bidang Pendidikan

Masyarakat di Kelurahan Bukit Kemuning pada umumnya berpendidikan sekolah dasar (SD), SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Namun ada juga masyarakat yang tidak mengenyam bangku pendidikan, yakni, sebanyak 1832 jiwa. Ini menunjukkan bahwa terdapat bermacam ragam pendidikan di masyarakat Bukit Kemuning. Hal ini dapat dilihat di tabel 3.6 sebagai berikut:

2

(47)
[image:47.612.114.519.142.531.2]

Tabel 3.6

Jumlah jiwa berdasarkan tingkat pendidikan No Tingkat Pendidikan Jiwa

1 Tidak sekolah 1.832

2 Taman kanak-kanak 2.930

3 SD/Sederajat 5.102

4 SMP/MTS 4.420

5 SMA/MA 3.531

6 D3 219

7 S1 95

Sumber : Monografi 2010.

Berdasarkan tabel di atas mayoritas masyarakat Bukit Kemuning mengenyam bangku pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bukit Kemuning sudah memilki perhatian yang cukup baik terhadap pendidikan.

Tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada keilmuan yang mereka dapatkan, yakni keterkaitan ilmu keagamaan dalam memahami ilmu-ilmi fiqh khususnya di bidang thaharah. Contoh masyarakrat yang bersekolah di tingkat SMP mereka dalam memahami ilmu agama masih kurang baik. Berbeda dengan masyarakat yang mendapat pendidikan agama seperti di sekolah MTs dan MA.

(48)
[image:48.612.114.523.134.516.2]

Tabel. 3.7

Jumlah sarana pendidikan

No Sarana pendidikan Jumlah

1 SD 10

2 Ibtidaiyah 3

3 SMP 2

4 MTs 2

5 SMA 1

6 MA 2

7 STAI 1

Jumlah 17

Sumber: data monografi 2010

(49)

41

BAB IV

ANALISIS SOSIOLOGIS TERHADAP PERILAKU THAHARAH MASYARAKAT BUKIT KEMUNING

A. Identitas Sumber Data

Data penelitian dalam skripsi ini didasarkan pada hasil wawancara dengan 25 narasumber, yang terdiri dari 23 orang dari masing-masing keluarga yang terpilih menjadi narasumber, dan 2 orang tokoh agama. Data yang diperoleh penulis berdasarkan narasumber yang ada pada Kelurahan Bukit Kemuning, yang secara langsung diberikan oleh pihak kelurahan setempat.

Pada bagian pertama ini, terlebih dahulu penulis kemukakan mengenai identitas sumber data yang terdiri dari usia, pendidikan (tingkat pendidikan dan jenis pendidikan), pengetahuan agama dan peran sosial keagamaan. Pengetahuan tentang identitas sumber data diharapkan dapat menjadi satu bahan pertimbangan dalam membuat kesimpulan nanti karena pengetahuan identitas sumber data dapat mempermudah penulis dalam menganalisis permasalahan yang terjadi. Misalnya: pendidikan akan berpengaruh terhadap pemahaman narasumber mengenai pemaknaan dan peralaksanaan tentang thaharah.

1. Data narasumber berdasarkan usia.

(50)

diketahui usia narasumber. Pemahaman mengenai thaharah mereka bisa diperoleh melalui pendidikan formal keagamaan, kebiasaan yang mereka lakukan dalam bersuci, juga dari pemahaman yang berkembang di lingkungannya. Pengalaman mereka dalam pelaksanaan thaharah bisa didapat dari proses melihat dan meniru, atau dari pengetahuan mengenai aturan yang ada pada kitab fiqih.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan usia. Tabel 4.1

No Usia f %

1 15-25 Tahun 3 12

2 26-35 Tahun 10 40

3 36-50 Tahun 8 32

4 Diatas 50 Tahun 4 16

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan tahun 2010

Dari tabel di atas terlihat bahwa usia narasumber beragam. Namun demikian, umumnya yang menjadi narasumber adalah antara usia 26 – 50 tahun.

2. Data narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan

[image:50.612.114.503.244.513.2]
(51)

mendapatkan pendidikan agama, dimana mereka mempelajari thaharah secara lebih mendetail. Keragaman pengalaman pendidikan memberikan pemaknaan thaharah yang berbeda. Jenis pendidikan ini juga berpengaruh pada pola perilaku narasumber dalam bersuci atau tata cara dalam membersihkan najis. Orang yang pernah mempelajari dan mengikuti pendidikan agama akan lebih memahami mengenai hukum dan tata cara pelaksanaan thaharah dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan agama.

[image:51.612.112.519.227.521.2]

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan latar belakang pendidikan. Tabel 4.2.

Distribusi narasumber Berdasarkan Pendidikan (jenis pendidikan)

No Jenis Pendidikan f %

1 Agama 6 24

2 Umum 19 76

Jumalah 25 100

Sumber: diolah dari data Lapangan tahun 2010

(52)

3. Data narasumber berdasarkan tingkat pendidikan.

Tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses penalaran suatu fenomena keilmuan sebagaimana diuraikan dalam teori kognitif bahwa tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berfikirnya. Makin inteligen dan berpendidikan, seseorang otomatis akan semakin baik perbuatan-perbuatannya, dan dia secara sadar pula melakukan perbuatan-perbuatan untuk mematuhi keinginan/kebutuhan tersebut. Penalaran ini akan berpengaruh terhadap pemaknaan sebuah fenomena, yang dalam hal ini thaharah.

(53)
[image:53.612.113.519.159.500.2]

Tabel 4.3

Distribusi narasumber berdasarkan pendidikan (tingkat pendidikan)

No Tingkat pendidikan f %

1 SD/MI 8 32

2 SMP/MTS 5 20

3 SMA 6 24

4 Aliyah 3 12

5 S1 3 12

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan 2010

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat tingkat pendidikan narasumber yang diwawancarai. Mayoritas narasumber hanya mengenyam pendidikan sampai bangku Sekolah Dasar (SD).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan narasumber dominan dari pendidikan umum, dengan tingkat pendidikan yang dominan yaitu pendidikan dasar (SD). Hal ini akan berpengaruh pada pemahaman masyarakat tentang thaharah yang akan di bahas dalam sub bab berikutnya.

4. Data narasumber berdasarkan pengetahuan agama

(54)

seperti pesantren kilat. Pengetahuan agama ini akan berpengaruh terhadap pengetahuan narasumber mengenai thaharah secara keilmuan. Sehingga narasumber mampu memahami dengan baik istilah serta makna thaharah.

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan pengetahuan agama:

Tabel 4.4

No Pengetahuan Agama f %

1 Ya 10 40

2 Tidak 15 60

Jumlah 25 100

Sumber: Diolah dari data lapangan 2010

Mengenai pengetahuan agama narasumber yang pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus, yaitu sebanyak 10 narasumber, sedangkan sebanyak 15 narasumber atau 60%, tidak memiliki pengalaman atau tidak pernah mengikuti pendidikan agama secara khusus.

5. Narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat.

[image:54.612.112.523.191.510.2]
(55)

keagamaan. Peran kedua kelompok masyarakat ini akan berpengaruh pada pola perilaku bersuci, pemahaman istilah, makna serta urgensi thaharah dalam pandangan mereka. Kelompok masyarakat biasa pemahamannya terhadap thaharah diyakini cenderung lebih sederhana, sebatas pengetahuan mengenai fungsi thaharah sebagai syarat dalam melakukan ibadah. Hal ini dimungkinkan karena dalam kesehariannya mereka tidak berkecimpung dalam masalah keagamaan secara intensif dalam lingkungan bermasyarakat.

Berbeda dengan kelompok masyarakat biasa, tokoh agama memahami thaharah lebih sesuai dengan literatur fiqih. Hal ini dimungkinkan karena tokoh agama dalam kesehariannya mereka berkecimpung secara intensif dalam hal keagamaan di lingkungan masyarakat bahkan terkadang mereka menjadi tempat rujukan untuk bertanya seputar masalah keagamaan sehingga mereka harus mampu memiliki pemahaman yang lebih baik dari masyarakat biasa. Lebih jelasnya akan tergambar dalam analisis yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.

[image:55.612.145.495.535.674.2]

Berikut ini adalah tabel distribusi narasumber berdasarkan peran sosial di masyarakat

Tabel 4.5

No Peran sosial f %

1 Biasa 23 92

2 Tokoh agama 2 8

Jumlah 25 100

(56)

Berdasarkan tabel di atas, mayoritas narasumber adalah masyarakat biasa, sedangkan tokoh agama hanya 2 orang. Di sini penulis ingin mengetahui perilaku thaharah masyarakat awam.

B. Pemahaman Masyarakat tentang Thaharah

Pada bagian kedua ini, penulis mendeskripsikan jawaban narasumber tentang pemahaman mengenai thaharah. Hal ini meliputi pemaknaan istilah thaharah, faktor yang terkait dengan pemaknaan thaharah, analisis makna menurut narasumber, dan kebermaknaan /kegunaan thaharah dalam ibadah.

1. Pemahaman tentang istilah dan makna thaharah

(57)

Secara umum, masyarakat Kelurahan Bukit Kemuning dapat dikatakan kurang memahami konsep thaharah secara detail. Mereka lebih memahami istilah thaharah dengan istilah bersuci. Hal ini seperti diungkapkan oleh narasumber pertama Ibu Mediana (umur 26 tahun) yang latar belakang pendidikannya SMP dan kurang memiliki pengetahuan agama mencoba memahami thaharah sebagai berikut:

Saya kurang memahami istilah thaharah. Tetapi saya lebih paham dengan menggunakan istilah bersuci. Karena istilah bersuci sudah dikenalkan sejak saya sekolah SMP oleh guru agama dan istilah thaharah juga tidak begitu dipahami oleh masyarakat khususnya orang awam seperti saya ini.1

[image:57.612.117.514.361.601.2]

Pemahaman istilah bersuci lebih dikenal oleh masyarakat, karena bersuci merupakan istilah yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Gambaran narasumber tentang pemahaman terhadap istilah thaharah dapat di lihat pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6

Distribusi narasumber berdasarkan pemahaman tentang thaharah

No Alternatif Jawaban f %

1 Sangat paham 4 16

2 Paham 8 32

3 Kurang paham 11 44

4 Tidak paham 2 8

Jumlah 25 100

Sumber: diolah dari data lapangan tahun 2010

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.6, dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah masih kurang. Hal ini

1

(58)

dapat kita lihat pada data tabel 4.6 di atas, sebanyak 44% narasumber kurang memahami istilah thaharah. Pemahaman masyarakat mengenai istilah thaharah dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu faktor pendidikan. Pengetahuan mengenai istilah thaharah ini didapatkan melalui proses belajar dalam pendidikan agama secara formal, atau secara khusus pernah mengikuti pembahasan thaharah dari pengajian atau dari pendidikan agama non-formal.

Adapun pemahaman masyarakat mengenai makna thaharah (bersuci) terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh peran masing-masing di dalam lingkungan masyarakat. Kelompok masyarakat biasa, memaknai thaharah atau bersuci sebagai upaya membersihkan diri dari hadats dan najis yang dapat menghalangi dalam melakukan ibadah shalat maupun ibadah-ibadah lainnya. Dalam pandangan mereka, thaharah dimaknai sebagai proses pemenuhan syarat untuk beribadah.

Implikasi dari pemaknaan tersebut, banyak di antara mereka dalam tata cara membersihkan najis tidak sesuai dengan tata cara yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat biasa ini dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap najis, serta proses sosialisasi ilmu yang didapatkan oleh masyarakat. Kedua hal tersebut akan dibahas pada sub bab berikutnya.

(59)

hanya sebatas proses pemenuhan syarat formal dalam beribadah mahdhoh saja, tetapi juga melihatnya dari aspek-aspek kebersihan, kesehatan, kesopanan dan kenyamanan dalam sudut pandang manusia2. Seseorang dikatakan bersih tidak hanya bersih dari kotoran yang termasuk dalam kategori najis, tetapi juga dari hal-hal yang dipandang kotor oleh manusia. Umpamanya saja, seorang petani setelah melakukan aktivitasnya di sawah badannya masih terlihat kotor oleh lumpur sawah kemudian dia shalat. Secara hukum petani tersebut sah dalam melakukan ibadah shalat. Tetapi jika dilihat dari sudut pandang kebersihan dan kesopanan manusia, maka petani tersebut harus membersihkan semua kotoran yang melekat di badannya baik yang bersifat najis atau tidak.

Aspek kesehatan dan kenyamanan juga penting sebagai salah satu fungsi dari thaharah menurut kelompok agamawan, karena seperti diungkapkan dalam pepatah

“di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Apabila seseorang senantiasa

menjaga kebersihan badan dan lingkungannya, maka badan dan lingkungannya tersebut akan terpelihara juga kesehatannya. Apabila tubuh dan lingkungan seseorang terjaga kesehatannya maka dia senantiasa memiliki jiwa yang kuat, tentunya untuk beribadah, serta senantiasa memiliki keteraturan baik dalam beribadah maupun dalam mejaga lingkunganya. Sehingga tercipta lingkungan yang sehat, bersih yang implikasinya memberikan kenyamanan bagi siapapun untuk beribadah dan bermuamalah.

2

(60)

2. Pemahaman masyarakat mengenai najis

Thaharah merupakan kegiatan yang harus diperhatikan sebelum kita melaksanakan ibadah apapun. Tanpa berthaharah maka ibadah yang dilaksanakan menjadi rusak atau mengurangi nilai pahala yang didapatkan. Adapun bersuci dari najis adalah bagian dari thaharah, yakni bersihnya tubuh, pakaian, dan tempat dari kotoran yang memiliki unsur-unsur najis baik dari sifatnya maupun dari hukumnya.

Dalam teori yang diungkapkan dalam berbagai literatur kitab fiqih, najis diartikan sebagai kotoran yang wajib bagi semua umat islam untuk menyucikannya dan menyucikan apa yang dikenainya. Benda yang termasuk najis seperti kencing, faces, mazi, wadhi, muntah, darah, mani hewan selain manusia, nanah, cairan luka yang membusuk, (ma’al-quruh), „alaqah, bangkai, khamr, anjing, babi dan anak keduanya, susu binatang yang tidak halal dimakan dan cairan kemaluan wanita3.

Pemahaman masyarakat Bukit Kemuning dalam hal najis masih beragam, ada yang memahami secara detail, tetapi lebih banyak yang memahaminya sekelumit saja. Masyarakat yang memahami najis secara mendetail adalah dari kelompok tokoh agama. Mereka memahami najis bukan hanya mengetahui jenis-jenis bendanya, tetapi juga dari hukum-hukumnya seperti jenis najis menurut tingkatannya, serta tata cara membersihkannya.

Tetapi lebih banyak masyarakat yang memahami najis sekelumit saja. Kebanyakan mereka merupakan masyarakat biasa yang memang tidak berkecimpung

3

(61)

dalam masalah keagamaan. Penjelasan mengenai najis ini pun masih kurang mendalam. Pembahasan yang mereka ungkapkan hanya sebatas jenis-jenis najis tidak sampai pada hukum dan tata cara membersihkan yang sesuai dengan kitab fiqih. Mereka mengetahui jenis najis sebatas pada sesuatu yang sering mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari seperti yang diungkapkan oleh bapak Heru (umur 40 Tahun) yang latar belakang pendidikannya SMA yang hanya mendapatkan pendidikan agama dibangku sekolah saja menjadi salah satu narasumber. Menurutnya najis itu adalah segala macam kotoran seperti kencing, anjing, bangkai, darah, dan nanah.4

Dalam pemahaman jenis najis serta tingkatannya secara umum masyarakat di Bukit Kemuning masih belum memahaminya dengan jelas. Masih banyak di antara mereka yang memandang suatu najis dari pemahaman sendiri dan tidak sesuai dengan penjelasan yang ada dalam kitab-kitab fiqih, misalnya, dalam masalah najis dari kencing bayi. Banyak di antara mereka yang memahaminya tidak sesuai dengan penjelasan dalam kitab fiqih. Hal tersebut dapat tergambar dari pendapat beberapa narasumber mengenai air kencing bayi sebagai berikut:

a. Kencing bayi perempuan yang masih berumur 3 bulan dan belum makan apa-apa maka belum dihukumi najis begitu juga bayi laki-laki.5

4

Wawancara pribadi dengan bapak Heru, Jumat 24 September 2010 pukul 15.00 WIB

5

(62)

b. Kencing anak bayi perempuan maupun bayi laki-laki sama saja asalkan belum makan apa-apa selain ASI ibunya maka belum dikatakan najis6 c. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi

laki-laki termasuk najis berat (mughaladzah). Sedangkan kencing bayi perempuan najisnya ringan (mukhafaffah)7.

d. Kencing bayi laki-laki berbeda dengan bayi perempuan. Kencing bayi laki-laki yang berumur di bawah 2 Tahun dan belum makan apapun selain minun Asi termasuk najis mukhaffah. Sedangkan kencing bayi perempuan dari bayi pun sudah dikatakan najis.8

Dari keempat pendapat tersebut hanya jawaban keempat yang dapat dikatakan sesuai dengan kitab fiqih. Kebanyakan masyarakat menjawab pada tiga jawaban pertama. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman masyarakat Bukit Kemuning masih sangat kurang. Pemahaman mereka masih didasarkan atas pengetahuan sendiri, bukan dari pemahaman literatur fiqih. Be

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2 Jumlah penduduk berdasarkan KK
Table 3.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Struktur Usia
Tabel 3.4 Jumlah Penduduk menurut Agama
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tugas khusus yang diberikan oleh dosen pembimbing adalah menghitung neraca massa suatu unit produksi di PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sehingga dapat dihitung massa produk

Hasil analisis parameter fisika kimia perairan pada Tabel 1 terlihat bahwa pada masing-masing sampel air laut yang diambil di Perairan Porong Sidoarjo memiliki

Kadar fosfat dan oksigen terlarut di perairan Bolaang Mongondow umumnya bervariasi dan berbeda antara lapisan permukaan dengan di dekat dasar, sedangkan kadar nitrat di

Dari penjadwalan yang telah dilakukan maka didapatkan hasil masing-masing makespan pada penjadwalan eksisting perusahaan dengan aturan FCFS, dan menggunakan metode

Hasil .penelitian ini sejalan dengan penelitian Ari Fatmawati (2015) yang berjudul “ Pengaruh citra merek, harga dan kualitas produk terhadap keputusan pembelian

Secara serentak ketiga variabel mempunyai pengaruh yang penting terhadap (Y), yang berarti kinerja karyawan dapat meningkat apabila pemimpin menerapkan gaya

Atau, andaikan Anda sedang mengejar seorang kekasih. Lalu, dengan tidak bijaksana Anda membuat perbandingan antara diri Anda dengan orang lain yang sebenarnya tidak pernah ada.

Hidroksiapatit dapat disintesis dari tulang sapi sebagai bahan baku dengan menggunakan metode presipitasi.Pengaruh pH dan waktu reaksi dalam sintesis hidroksiapatit