PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ALASAN KETIDAKGADISAN (Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA.Bks)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sy)
Oleh :
LAILA WAHDAH NIM: 107044100297
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Laila Wahdah
NIM: 107044100297
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing
Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag NIP. 150321584
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-ASYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
Skripsi berjudul PEMBATALAN PERKAWINAN DENGAN ALASAN
KETIDAKGADISAN (Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA.Bks.) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juni 2011. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada
Program Studi Peradilan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA, MM
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua Majelis : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 195003061976031001
2. Sekretaris : Dra. Hj. Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
3. Pembimbing : Dr. Moh. Ali Wafa, S.Ag, M.Ag NIP. 150321584
4. Penguji I : Dra. Maskufah, M.Ag NIP. 196807031994032002
5. Penguji II : Arip Purqon, M.Ag
ا = Tidak dilambangkan ط = t Untuk Vokal Pendek /
ب = b ظ = z harokat dan tanwin
ت = t ع = „ = a pendek
ث = ts غ = gh = i pendek
ج = j ف = f = u pendek
ح = h ق = q konsonan
خ = kh ك = k = an
د = d ل = l = in
ذ = dz م = m = un
ر = r ن = n rangkap / double
ز = z و = w
س = s ھ = h
ش = sy ا = lâ
ص = s ء = ٰ
ض = d ي = y
Untuk Vokal Panjang Untuk Madd dan Diftong
ا = â Panjang ْوا = aw
ْوا = û
و = û Panjang ْيا = ay
ْيا = î
v
KATA PENGANTAR
Tiada kata selain rasa syukur yang paling dalam kehadirat Allah SWT, atas
hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang sangat
sederhana ini dengan baik dan tepat waktu.
Shalatullah wasalamuhu, semoga tetap tercurah limpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, dan sahabat, yang telah mengemban risalah
Islam, sehingga dengan bekal sunnah dan syiroh beliau, umat Islam terhantarkan
dalam upaya mengamal baktikan seluruh syari’at Allah SWT.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
cobaan. Walaupun harus melalui proses yang cukup sulit dan rumit, namun berkat
hidayah dan inayah Allah SWT sebagai manifestasi kasih sayang-Nya, penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini
hanyalah setitik debu untuk menuju jalan kesuksesan. Penulis juga sadar sepenuhnya
bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah membantu langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan
rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah berjasa, baik
berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi inin dengan baik. oleh karena itu penulis patut menghaturkan
vi Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., selaku Ketua Jurusan dan ibu Hj.
Rosdiana, MA., sebagai Sekertaris Jurusan Program Studi Ahwal
Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak. Dr. Muhammad Ali Wafa, S.Ag, M.Ag Selaku Dosen Pembimbing
yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya
untuk memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Ketua Pengadilan Agama Bekasi beserta staf jajarannya dan Bidan Ari
Rokhriyanti, Am. Keb yang telah membantu proses kelancaran dalam
memeroleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.
5. Seluruh Dosen dan civitas akademik Fakultas Syariah dan Hukum, terima
kasih atas ilmu dan bimbinganya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag
Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya
membantu mempelancar penyelesaian skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik moril
dan materill, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan
vii
7. Seluruh keluarga besarku, kakak-kakak ku As’ad Samsul Arifin Nurul
Hidayati, Nur Hasan dan Yulia, adik-adik ku Rosa rosmalayati Dan Ali zainal
abidin, serta ponakan ku Maulida dan Najmi Sharul Mubarok, yang senantiasa
memberi dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam
menempuh studi di kampus tercinta ini.
8. Teman-temanku tercinta, teman-teman seperjuangan di Peradilan Agama A
dan B angkatan 2007, semuanya yang tidak biasa disebutkan satu persatu,
yang senantiasa menebarkan benih-benih keceriaan dalam bingkai
kebersamaan. Semoga ukhuwah dan pertemanan yang kita jalin berjalan
dengan baik selamanya
9. Sahabat Delimaku, Astrian Widiyantri, Desi Amalia, Tajul Mutaqin, Mariah
dan Mariam Mahdalina, yang selalu berbagi dalam suka dan duka, yang setia
mendengarkan keluh kesah penulis dan selalu siap membantu penulis ketika
penulis mengalami kesulitan. Terimakasih atas persahabatan dan dukungan
yang kalian berikan. Semoga persahabatan kita abadi selamanya sampai tua
nanti.
Hanya kepada Allah-lah penulis berharap dan berdo’a agar beliau-beliau
mendapat balasan dari Allah dengan sebaik-baik balasan. Amin……..
Suatu kenyataan yang tak terpungkiri lagi terhadap kekurangan dan
kebodohan diri Penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, untuk itu kritik
dan saran konstruktif selalu Penulis harapkan untuk perbaikan di masa yang akan
viii
mereka yang mencintai ilmu pengetahuan, serta bagi generasi penerus. Amin ya
Rabbal Aalamin
Sebagai kata akhir, penulis panjatkan doa semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.
Jakarta, 31 Mei 2011
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah ... 1
B. Rumusan dan Pembatasan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
D. Metode Penelitian... 7
E. Review Studi Terdahulu ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Fasakh Dalam perkawinan ... 13
B. Sebab Jatuhnya Fasakh Dalam Perkawinan ... 17
C. Batalnya Perkawinan Dalam Prespektif UU No.1 tahun 1974 ... 21
D. Batalnya Perkawinan Dalam Prespektif Kompilasi Hukum Islam .. 24
BAB III KETIDAKGADISAN ISTRI SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PERKAWINAN A. Kegadisan dan Ketidakgadisan Menurut Islam ... 29
B. Ketidakgadisan Menurut Ilmu Kedokteran ... 34
x
2. Sebab-sebab Hilangnya Keperawanan ... 38
3. Ciri-ciri Keperawanan ... 40
C. Pengaruh Ketidakgadisan Dalam Keharmonisan Berumah tangga ... 43
D. Ketidakgadisan Sebagai Alasan Pembatalan Perkawinan ... 49
BAB IV ANALISIS PUTUSAN ( No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi ).
A. Deskripsi Kasus Perkara No: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi ... 51
B. Analisis Putusan No: 019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi Menurut
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
KompiLasi Hukum Islam ... 61
C. Analisis Penulis ... 65
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran-saran ... 73
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah SWT, berpasang - pasangan
antara laki-laki dan perempuan yang dilindungi secara hukum dalam ikatan
perkawinan yang sah sesuai dengan syari’at Islam dengan tujuan untuk
membentuk rumah tangga atau keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.1
Membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah seperti dengan
apa yang menjadi cita - cita suami isteri, pada kenyataannya banyak yang tidak
sesuai dengan harapan, yang disebabkan oleh beberapa persoalan, sehingga
perkawinan tersebut tidak dapat diteruskan lagi. Salah satu persoalan yang sering
muncul dan menimbulkan perselisihan adalah seksualitas dan virginitas
(keperawanan) dari pihak wanita. Hal ini dimungkinkan, sebab sebagian
masyarakat kita masih menganggap bahwa persoalan virginitas itu merupakan
sesuatu yang harus diperhatikan, dijaga dan tidak dapat diremehkan.
Oleh sebab itu, apabila seorang suami mendapatkan kondisi istrinya tidak
seperti yang diharapkan seperti ketika setelah terjadinya perkawinan atau
dikatakan sudah tidak gadis lagi, terlepas dari unsur kesengajaan ataupun unsur
ketidaksengajaan dan juga di luar sepengetahuan istri seperti akibat dari olah raga
yang tanpa disadarinya merupakan penyebab utama dari ketidakgadisan itu.
1
Dengan keadaan istri yang demikian, dapat dipastikan akan muncul reaksi
dari suami seiring dengan kenyataan yang dihadapinya. Reaksi ini akan timbul
bentuk yang beraneka ragam, tergantung dari penilaian masing-masing individu
yang mengalaminya. Bagi mereka yang dapat memahami dan menerima
kenyataan tersebut mungkin tidak ada masalah, namun bagi mereka yang tidak
dapat menerima tentu akan timbul masalah yang dapat berwujud kemarahan,
kecurigaan, kekecewaan dan merasa tertipu, yang selanjutnya akan berkembang
menjadi konflik di antara suami-istri tersebut, yang pada akhirnya mereka akan
mengambil jalan khiyar, yaitu meneruskan atau memutuskan perkawinan dengan
jalan yang baik.
Oleh karena itu hal tersebut seringkali dijadikan alasan oleh pihak suami
untuk menghentikan rumah tangganya dengan cara proses hukum yang disebut
pembatalan perkawinan2, sebagaimana yang tercantum pada pasal 27 ayat 2 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta KHI pasal 72 ayat 2 yang berbunyi ;
"Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan
perkawinan, apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah
sangka atau merasa tertipu mengenai diri suami atau istri.3
Pada prinsipnya secara yuridis formal, UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan telah menentukan batasan-batasan bagi para pihak untuk terjadinya
perceraian, dimana hal tersebut bersifat limitatif yang berarti tidak ada alasan lain
2
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional , (Jakarta:Reneka Cipta, 1991), hal. 67
3
3
yang dapat dijadikan landasan untuk melakukan pembatalan perkawinan. Akan
tetapi menghadapi kasus ketidakgadisan yang menyebabkan munculnya perasaan
kecewa, merasa tertipu, kecurigaan dan kemarahan dari pihak suami, maka
diperlukan interpretasi/penafsiran guna mendapatkan landasan hukum yang tepat
dalam upaya menyelesaikan persoalan tersebut.
Dalam sebuah pernikahan kita sering mendengar kata fasakh. Fasakh dapat
di artikan “ rusak”, akan tetapi dalam hukum pernikahan fasakh diartikan dengan
rusaknya tali perkawinan, seperti: adanya cacat dalam akad atau karena sebab lain
yang datangnya belakangan (setelah akad baru diketahui), maka dengan
sendirinya tali pernikahan menjadi rusak.4
Zaman modern sekarang ini banyak sekali masyarakat kita terpengaruh
pada pergaulan bebas seperti: free sex yang berakibat hilangnya kegadisan
sehingga banyak wanita yang telah kehilangan keperawananya di luar tali
pernikahan. Ini berakibat banyaknya perceraian dan pembatalan perkawinan yang
disebabkan oleh kekecewaan masing-masing suami-istri, karena melihat
kenyataan setelah menikah yang sama sekali tidak pernah mereka ketahui
sebelumnya.
Berdasarkan pemaparan di atas penulis mencoba melakukan penelitian
terhadap pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Bekasi dalam bentuk
skripsi dengan judul “Pembatalan Perrkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan
(Analisis Putusan Nomor: 019/Pdt.G/2007/PA. Bekasi )”.
4
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama
Bekasi, maka penulis melakukan pembatasan yaitu hanya pada putusan
mengenai pembatalan perkawinan dengan perkara Nomor: 019/Pdt.G/2007/ PA.Bekasi”.
2. Perumusan Masalah
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang pasal 22
yaitu“ Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat
-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
Namun pada kenyataanya masih banyak para pihak yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti
aturan hukum yang ada, sehingga pernikahannya menjadi rusak dan dapat
dibatalkan seperti: istri yang melakukan kebohongan mengenai hal kondisinya
yang sudah tidak perawan.
Sehubungan dengan permasalahan di atas dan untuk memudahkan
penulis dalam penulisan skripsi ini, maka yang akan menjadi rincian rumusan
permasalahan skripsi ini antara lain:
a. Apa saja alasan-alasan melakukan pembatalan perkawinan yang terdapat
dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang Perkawinan?
b. Apakah ketidakgadisan seorang istri dapat dijadikan sebagai alasan pihak
5
c. Bagaimana pertimbangan Majelis hakim Pengadilan Bekasi dalam
memutuskan perkara pembatalan perkawinan disebabkan ketidakgadisan
istri?
Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam
pembahasan skripsi ini.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam skripsi ini dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui apa saja alasan-alasan melakukan pembatalan
perkawinan yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI tentang
Perkawinan?
b. Untuk mengetahui hukum tentang ketidakgadisan istri dapat dijadikan
sebagai alasan suami untuk melakukan pembatalan perkawianan
c. Untuk mengetahui batasan-batasan sebagai alasan untuk melakukan
pembatalan perkawinan menurut UU No.1 Tahun 1974 dalam putusan
Hakim Pengadilan Agama Bekasi.
2. Manfaat Penelitian
Meskipun dalam penulisan skripsi ini sifatnya sangat sederhana,
namun penulis sangat berharap setelah tersusunnya skripsi ini, penulis
mempunyai keyakinan ada beberapa manfaat yang sekiranya diperoleh baik
a. Secara Teoritis
Dapat memberikan pemikiran bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya khazanah Islam yang berhubungan dengan ilmu
hukum, terutama tentang ketidakgadisan istri sebagai alasan pembatalan
perkawinan.
b. Secara Praktis
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat dan penegak hukum sehingga mempunyai
wawasan yang lebih komferhensip khususnya khazanah ilmu pengetahuan
pada umumnya dan bagi disiplin pengetahuan yang berkaitan dengan
masalah ketidakgadisan istri sebagai alasan suami untuk melaksanakan
pembatalan perkawinan sehingga dapat dijadikan landasan dalam
pemecahan masalah fiqh dan memberi pengertian pada masyarakat tentang
ketidakgadisan istri sebagai alasan suami untuk melaksanakan pembatalan
perkawinan, sehingga diharapkan masyarakat dapat terhindar dari
pergaulan yang menyesatkan dan menyimpang dari norma-norma hukum.
D. Metodelogi Penelitian 1. Pendekatan masalah
Kajian penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu metode yang menggambarkan
7
dimaksud penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu adalah
penelitian hukum yang dilakukan untuk mengkaji aturan hukum yang bersifat
mengutus baik tertulis maupun tak tertulis. Dalam hal ini objeknya ialah
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan sebuah putusan
hakim di Pengadilan Agama.
2. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang di peroleh dari hasil kajian bahan hukum
terhadap Undang-undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
tentang pembatalan perkawinan dengan alasan ketidakgadisan, berserta
putusan Pengadilan Agama Bekasi No. 019/ Pdt.G/ 2007/ PA. Bekasi dan
hasil wawancara oleh hakim Pengadilan Agama Bekasi.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang
diambil dari buku-buku, internet yang terkait dengan permasalahan
3. Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data
sebagai berikut:
a. Interview atau wawancara yaitu Tanya jawab lisan antara dua orang yang
bertujuan untuk mendapatkan data dari tanggan pertama (primer). Adapun
maksud dari wawancara tersebut adalah untuk mengetahui kewenangan
badan Peradilan Agama dalam menangani kasus Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan.
b. Studi dokumentasi, terdiri dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, bahan hukum primer dalam skripsi ini adalah Undang-Undang
No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, KHI dan amar putusan Pengadilan
Agama Bekasi No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi, yang telah berkekuatan
hukum tetap. Sedangkan bahan hukum sekundernya adalah buku-buku
hukum lain yang mendukung dan memperjelas.
4. Metode Analisa Data
Data yang telah terkumpul diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan
untuk dapat menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Seleksi Data : setelah memperoleh data dan bahan-bahan penelitian baik
melalui studi dokumentasi, maupun wawancara, lalu diperiksa kembali
9
b. Klasifikasi Data : setelah data dan bahan diperiksa lalu di klasifikasikan
dalam bentuk dan jenis tertentu, kemudian diambil kesimpulan.
5. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah content analysist dan analisis
wacana. Dalam hal ini, setiap data akan dianalisis dari beberapa sudut
pandang. Data yang dianalisis merupakan data yang bersumber dari sumber
data, baik yang didapat melalui wawancara maupun studi dokumenter.
E. Review Study Terdahulu
Untuk menentukan arah pembahasan dalam penelitian skripsi ini, penulis
menelaah literature yang sudah membahas tentang judul yang akan di penulis
kemukakan dalam penulisan skripsi.
1. Nur Ulfah Mariana (Peradilan Agama) dengan judul “Pembatalan Perkawinan
Akibat Poligami Tanpa Izin Dari Istri Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus
Pengadilan Agama Jakarta Selatan)”, di dalam skripsi ini menjelaskan
implikasi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
dalam menerapkan hukum poligami yang tidak memenuhi persyaratan.
Sedangkan yang penulis bahas adalah Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan
Ketidakgadisan (Analisis Putusan No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi).
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
2. Maimunah “Putusan Perkara Pembatalan Perkawinan Di Pengadilan Agama
Jakarta Timur” ( Peradilan Agama), Nim:102044125012, di dalam skripsi ini
Menjelaskan pembatalan perkawinan karena sebelumnya si suami sudah
mempunyai istri, sehingga pernikahan dapat dibatalkan karena adanya
penipuan dalam hal status sosial yang dilakukan oleh salah satu pihak dan
diskripsi ini juga menjelaskan perbedaan KHI dan Undang-Undang No.1
tahun 1974 dalam pembatalan perkawinan. Sedangkan yang penulis bahas
adalah Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan Ketidakgadisan (Analisis
Putusan No. 019/ Pdt. G/ 2007/ PA. Bekasi). Menurut Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
F. Sistematika Penulisan
Agar penulisan skripsi ini tidak keluar dari pembahasan dan dari kerangka
yang telah ditentukan, maka penulis menggunakan sistematika pembahasan
sebagai berikut :
Bab pertama diawali dengan bab pendahuluan yang menggambarkan isi
skripsi diantaranya kerangka teori dan langkah-langkah penulisan secara
metodologi, review studi terdahulu dan sistematika penulisan, dalam bab
pendahuluan ini penulis menguraikan beberapa hal yang diperlukan, meliputi latar
belakang masalah yang diperlukan bagi pemahaman keseluruhan masalah yang
memuat beberapa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penulis sebagai problema
11
kegunaan penulisan skripsi ini yang diharapkan dapat menambah wawasan bagi
masyarakat tentang ketidakgadisan sebagai alasan pembatalan nikah. Kemudian
diterangkan penegasan judul yang berisi keterangan tentang isi judul tersebut,
serta dikemukan pula kajian pustaka sebagai uraian singkat mengenai hal-hal
yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dan dipaparkan metode yang
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan penulisan dan juga ditulis
sistematika pembahasan.
Bab kedua mengenai pembatalan perkawinan, bab ini merupakan pola
dasar pemikiran tentang hal-hal yang akan diuraikan secara diskriptif terkait
dengan masalah yang diangkat. Pertama, Pengertian fasakh dan Sebab jatuhnya
fasakh dalam pernikahan dan kedua, pengertian pembatalan perkawinan menurut
KHI serta menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
alasanya pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam Dan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, dan akibat pembatalan perkawinan menurut Kompilasi
Hukum Islam serta Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bab ketiga, mengenai tentang ketidakgadisan istri, mulai dari pengertian
ketidakgadisan menurut Islam, Ketidakgadisan menurut kedokteran, Sebab-sebab
hilang kegadisan,pengaruh ketidakgadisan dalam keharmonisan berumah tangga.
sampai tentang ketidakgadisan sebagai alasan pembatalan perkawinan oleh pihak
suami.
Bab keempat, analisis putusan (No:019/Pdt.G/2007/PA.Bekasi). Dari
permasalahan yang dibahas, dari analisa dapat diketahui jawaban dari beberapa
pertanyaan dalam rumusan masalah didepan membahas tentang kedudukan
ketidakgadisan istri sebagai alasan pembatalan perkawinan dalam putusan hakim
menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Bab kelima, merupakan bab terakhir berupa penutup yang berisikan
kesimpulan atau ringkasan dan gambaran umum dari sebuah pembahasan.
Kemudian dilanjutkan dengan saran-saran yang sesuai dengan tujuan pembahasan
13
BAB II
PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Pengertian Fasakh Dalam Perkawinan
Pengertian fasakh secara umum bisa dipahami sebagai memutuskan atau
membatalkan suatu ikatan pernikahan disebabkan suatu alasan yang telah
ditentukan oleh syara. Arti fasakh ialah merusak atau membatalkan ini berarti
bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusak atas permintaan salah satu pihak
oleh Pengadilan Agama.
Di dalam fiqih, batalnya perkawinan disebut juga dengan fasakh. Yang
dimaksud fasakh, secara etimologi atau menurut bahasa adalah:
"Fasakh adalah merusak pekerjaan atau akad”
Sedangkan secara terminology atau istilah syar’i, fasakh adalah
pembatalan akad perkawinan dan memutuskan tali perhubungan yang mengikat
antara suami dan istri.1
Fasakh artinya adalah batalnya perkawinan melalui pengadilan yang
hakikatnya hak suami istri disebabkan sesuatu yang diketahui setelah akad
berlangsung. Misalnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang
1
menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah
perkawinan.2
Sedangkan menurut Ali Hasabillah dalam bukunya al-furqah Baina
Zaujani, mengatakan tentang definisi fasakh secara terminology adalah suatu
yang merusak akad (perkawinan) dan dia tidak dinamakan talaq.3
Sayyid Sabiq dalam kitab karanganya Fiqih Sunnnah menyatakan, bahwa
memfasakh akad nikah adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian
antara suami istri, fasakh bisa terjadi karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
pada akad nikah atau karena hal-hal lain yang datang membatalkan kelangsungan
perkawinan.4
Adapun contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam
akad perkawinan adalah:
1. Setelah akad nikah ternyata istri adalah saudara susuan
2. Suami istri masih kecil diakadkan setelah dewasa, ia berhak untuk
meneruskan ikatan perkawinanya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini
disebut dengan khiyar baliq. Jika yang dipilih mengakhiri ikatan suami istri,
hal ini disebut dengan fasakh akad.
Dari definisi lain, Abdul Mujid mengartikan fasakh sebagai alasan
pembatalan perkawinan oleh istri karena antara suami dan istri terdapat cacat atau
2
( http:// makmun-anshory. Blogspot. com/ 2009/06/ khulu-dan-fasakh-dalam-hukum-Islam.
Html, diaskes di Jakarta 20 Desember 2011.
3
Ali Hasabillah, al-furqah Baina Zaujani,( Kairo : Daarul fikr, 1949), cet ke 1, hal. 169.
4
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terjemahan. Nor Hasanuddin, (Jakarta : Pena Pundi Aksara,
15
penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau suami tidak dapat memberi uang
belanja atau nafkah, menganiaya, murtad dan sebagainya.
Para ulama telah sepakat bahwa apabila salah satu pihak dari para istri
mengetahui ada aib pada pihak lainnya sebelum akad nikah dan ia menerima
secara tegas atau ada tanda yang menunjukan kerelaannya, maka hak untuk
meminta fasakh dengan alasan aib tersebut hilang.
Ada 8 (delapan) aib atau cacat yang membolehkan khiyar di antaranya:
Tiga berada pada keduanya (suami atau istri) yaitu gila, penyakit kusta dan supak.
Dua terdapat dalam laki-laki yaitu: unah (lemah sahwat), impoten. Tiga lagi dari
perempuan yaitu: tumbuh tulang dalam lubang kemaluan yang menghalangi
persetubuhan, dan tumbuh daging dalam kemaluan, atau basah karena penyakit
(keputihan) yang menyebabkan hilangnya kenikmatan bersetubuh.5
Selain fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu
fasid. Menurut Al-Jaziri yang dimaksud dengan nikah fasid nikah yang tidak
memenuhi syarat-syarat sahnya untuk melaksanakan pernikahan, sedangkan
fasakh atau nikah bathil adalah nikah yang tidak memenuhi rukun nikah yang
telah ditetapkan oleh syara. Hukum dari kedua bentuk perikahan itu adalah sama
saja yaitu tidak sah.6
5
Muhammad Jawad Mughnyiah, Fiqh Lima Madzhab, terjemahan, ( Jakarta: PT Lentera
Basretama, 2004), hal. 351
6
Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqhu Ala Al-Mazhibil Al-Arba’ah, Juz IV, (Beirut: Darul
Hukum Islam menganjurkan sebelum pernikahan dibatalkan terlebih
dahulu perlu diadakan penelitian yang mendalam untuk memperoleh keyakinan
bahwa semua ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam sudah tepenuhi.
Jika persyaratan tersebut masih belum lengkap atau masih terdapat halangan,
maka pelaksanaan akad pernikahan perlu dicegah.
Menurut Al-Jaziri jika perkawinan yang telah dilaksanakan oleh seseorang
tidak sah karena kekhilafan dan ketidaktahuan atau tidak sengaja dan belum
terjadi persetubuhan, maka perkawinan tersebut perlu dibatalkan, yang melakukan
perkawinan tersebut tidak berdosa, jika terjadi persetubuhan maka itu dipandang
sebagai wathi’syubhat, tidak dipandang sebagai perzinahan.7
Maka maksud dari fasid disini adalah merupakan suatu putusan
Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah
dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum, hal itu disebabkan tidak
terpenuhi persyaratan atau rukun nikah atau disebabkan dilanggarnya ketentuan
yang mengharamkan perkawinan tersebut.
Dari pemaparan tentang pengertian batal perkawinan secara literal di atas
dapatlah dikemukan bahwa secara sederhana yang dimaksud batalnya perkawinan
atau pembatalan perkawinan ialah rusak atau tidak sah perkawinanya kerena tidak
memenuhi salah satu syarat perkawinan atau diharamkan oleh agama.
7
Abdurrahman Al-Jaziri., Al-Fiqhu Ala Al-Mazhibil Al-Arba’ah,jilid IV, (Beirut: Darul
17
Jadi pembatalan perkawinan mengangap perkawinan yang telah dilakukan
sebagai peristiwa yang tidak sah atau diangap tidak pernah ada. Dengan begitu
perkawinan tersebut cacat menurut hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
B. Sebab Jatuhnya Fasakh Dalam Perkawinan
Ada beberapa hal yang menyebabkan perkawinan dapat rusak atau
difasakhkan, dengan fasakh tersebut akad perkawinanya tidak berlaku lagi
Sebab-sebab itu antara lain:
1. Apabila seorang laki-laki menipu seorang perempuan atau sebaliknya.
Misalnya seorang laki-laki mandul, maka si perempuan atau laki-laki berhak
mengajukan Fasakh manakala dia memngetahui, kecuali bila ia memilih untuk
tetap menjadi suami atau istri dan Ridha digauli. Umar bin Khatab berkata
kepada laki-laki yang mandul dan akan mengawini seorang perempuan:“
Beritahukan padanya bahwa kamu mandul, biarkan dia memilih“.
2. Seseorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan yang mengaku perawan
tetapi ternyata janda, maka laki-laki tersebut berhak minta ganti rugi
maharnya sebanyak sekitar mahar seorang gadis atau janda.
3. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan, kemudian kedapatan bahwa
si istri cacat tidak dapat di campuri. Misalnya selalu ishtihadhah atau selalu
keluar darah dari rahimnya, Istihadhah adalah aib, karena itu ia dapat
4. Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan tetapi di tubuh perempuan ada
penghalang yang menyebabkan si istri tidak dapat di gauli, misalnya
kemaluanya tersumbat, tubuh daging atau robek, atau ada tulangnya, suami
boleh mengajukan fasakh dan membatalkan akadnya.
5. Seorang laki-laki mengawini seorang perempuan tetapi perempuan itu
mengidap penyakit atau cacat seperti supak, kusta atau gila.8
Wanita boleh dikembalikan lagi kepada keluarganya karena mengidap
salah satu dari lima cacat, yaitu: gila, lepra, sopak, lubang kemaluan mampat
(rataq) ataupun terdapat didalamnya tulang (qarn) yang menggangu
persetubuhan.9
Sebaliknya, laki-laki pun boleh ditolak dengan lima cacat: gila, lepra,
sopak, batang zakar putus ataupun tidak berdaya (impoten). Karena dengan
pernikahan dimaksudkan agar hubungan bisa langeng, sedangkan dengan adanya
penyakit-penyakit tersebut kesenangan bersama tak bisa dicapai. Maka disini
diperbolehkan memilih, apakah perkawinan akan diteruskan atau tidak, agar
memimbulkan bahaya pada kedua belah pihak yang tiada berkesudahan. Karena
Islam tentu tidak menghendaki baha apapun hal-hal yang menimbulkan bahaya:
َو َرَرَض َا َا
َرَرِض (dalam keadaan darurat tidak apa-apa jika tidak melakukan suatu
kewajiban).
8
Alhamdani H.SA, alih bahasa Drs. Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam
(Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 52
9
19
Demikianlah hal-hal yang berkaitan dengan cacat yang menyebabkan
laki-laki dan perempuan berhak membatalkan akadnya apabila salah satu pihak
mempunyai cacat yang tidak diketahui pada waktu akad di langsungkan. Maka
suami berhak mengajukan fasakh dan membatalkan perkawinanya, maka si
perempuan juga berhak mengajukan fasakh apabila suami mempunyai cacat yang
menyebabkan ia lari dari suaminya.10
Fasakh juga dapat terjadi ketika seorang suami atau istri terbukti melangar
syarat-syarat pernikahan yang sebelumnya telah disepakati oleh kedua belah
pihak ketika terjadinya akad pernikahan dan dihadiri oleh hakim misalnya ketika
seseorang calon suami atau istri mengajukan syarat seperti merdeka, cakap, kaya,
perawan atau perjaka, terbebas dari aib seperti: “ saya nikahkan kamu dengan syarat bahwa kamu perawan atau merdeka ”. Ketika telah terjadi pernikahan dan
diketahui istrinya didapati tidak perawan karena sebab zina maka pernikahan
tersebut akan fasakh dengan sendirinya. Hal ini dapat terjadi karena adanya salah
satu syarat yang tidak terpenuhi atau telah mengingkari syarat nikah dan juga
adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Namun ketika tidak adanya syarat yang disebutkan dalam akad pernikahan
dan didapati istrinya sudah tidak perawan maka suami dapat memilih antara
mempertahankan pernikahan atau membatalkanya, ini semua berdasarkan yang
telah dijabarkan oleh Sayyid Ad-Dimyati dalam kitabnya I’anatu Tholibin.11
10
Syaikh Kamil Muhamad’Uwaidah, Fikih Wanita,. hal.434
11
Ad-Dimyati,I’anatut Thalibin, (ttp. Kerjasama Syirkahal-Ma’arif Lithobi an-Nashr dengan
ا
Artinya: “Dan diperbolehkan atas suami dan istri untuk memilih dengan berbagai syarat yang telah terjadi ketika akad bukan sebelum akad. Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau memiliki keturunan yang baik atau kecakapan atau keperawanan atau keperjakaan atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan engkau dengan syarat bahwasanya kamu masih gadis atau merdeka. Maka jika telah jelas dengan apa-apa yang telah disyaratkan maka jatuhlah fasakh sekalipun tanpa ada qadhi (hakim) seperti telah disyaratkan sebuah kegadisan akan tetapi diketahui bahwa ia tidak gadis maka
diperbolehkanya kepergiannya (wanita) atas keinginan suami dan ia
telah mengingkari sebuah kejujuran. Atau telah hilang keperjakaan maka perempuan berhak untuk meningalkanya kerena ia telah
mengingkari syarat nikah. Maka berdasarkan pendapat ulama semua
adalah hak istri untuk menfasakhnya juga. Akan tetapi berdasarkan
pendapat yang dibenarkan bahwa bagi istri untuk mengembalikan
mahar jika di thalaq sebelum dukhul ”.
Mengenai sebab merasa tertipu oleh pihak lawan berakad maka dapat
memohon kepada pihak Pengadilan Agama karena terdapat hal-hal yang tidak
mungkin mendatangkan ketentraman dalam pergaulan hidup berumah tangga
mereka. Misalnya ada pengakuan sebagai anak kandung dan ternyata anak asuh
saja, atau istri mengaku gadis tetapi ternyata tidak gadis dan sebagainya.12
12
Achma Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1995), cet ke-1,
21
Maka disini telah terjadi unsur penipuan atau pembohongan dari pihak
perempuan yang dilarang oleh syari’at, aib yang ada pada diri perempuan telah di
tutup-tutupinya atau oleh keluarganya. Padahal pernikahan itu harus bersendikan
kejujuran dan ketulusan, untuk mencapai tujuan pernikahan dan apabila terjadi
penipuan maka tujuan tersebut tidak akan tercapai dengan baik.
C. Batalnya Perkawinan Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974 1. Pengertian Fasakh
Masalah pembatalan perkawinan sudah diatur dalam Undang-undang
Perkawinan yang dinyatakan dengan tegas pada pasal 22 yaitu“ Perkawinan
dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”.
Dalam penjelasannya, kata ”dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa
batal atau bisa tidak batal, apabila menurut ketentuan hukum agamanya
masing-masing tidak menentukan lain. Istilah “dapat”nya perkawinan dapat
menimbulkan salah faham karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian
batal (nieting) tersebut. Batal berarti nieting zonder kracht (tidak ada
kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nieting
verklaad, sedangkan absolute nieting adalah pembatalan mutlak.13
13
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat
difasidkan jadi relative nieting. Dengan demikian perkawinan ini dapat
dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena
adanya pelangaran terhadap ketentuan aturan tertentu.14
Pada dasarnya terjadinya pembatalan perkawinan bisa disebabkan
dua kemungkinan. Pertama, adanya pelangaran terhadap prosedur
perkawinan. Misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak
dihadiri para saksi dan alasan prosedur lainya. Kedua, adanya pelanggaran
terhadap materi perkawinan. Misalnya perkawinan dilakukan dengan
ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami istri.15
Mengenai konsep pembatalan perkawinan di dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkwinan yang diatur dalam pasal 22, 24,26 ayat 1
dan 2, dalam pasal 27 ayat 1 dan 2 (mengatur mengenai sebab-sebab batalnya
perkawianan), pasal 23 (para pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan),16 pasal 25 (tempat mengajukan pembatalan perkawinan, pasal 28
ayat 1 mulai (berlaku pembatalan perkawinan), pasal 28 ayat 2 (akibat hukum
pembatalan perkawinan), pasal 26 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) (gugur hak
pembatalan perkawinan).
14
Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Direktorat Pembinanan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, Tahun 2001, hal. 154
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Juli 2006), cet ke-3, hal. 107
16
Abdul Mannan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Pedata: Wewenang Peradilan Agama,
23
2. Sebab Jatuhnya Fasakh
Di dalam Undang-undang perkawinan. Pasal 22 Perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan. Pasal 24 “Barang siapa karena perkawinan masih
terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih
adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4
Undang-undang ini”. Pasal 26 (1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai
pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau
yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan
pembatalannya oleh keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2) Hak untuk membatalkan oleh suami
atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka
setelah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya
sah.
Pasal 27, (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri
dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
D. Batalnya Perkawinan Dalam Perspektif Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Fasakh
Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab
putusnya perkawinan ialah merusakkan atau membatalkan hubungan
perkawinan yang telah berlangsung. Secara definitif, sulit untuk memberikan
rumusan tentang pembatalan perkawinan, namun untuk sekedar memberikan
batasan agar dipahami apa yang dimaksud pembatalan perkawinan tersebut,
maka pembatalan perkawinan diartikan sebagai suatu tindakan guna
memperoleh keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang
dilaksanakan batal.
Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan definisi pembatalan
perkawinan secara konkrit, namun Kompilasi Hukum Islam hanya
menguraikan mengenai konsepsi dari pembatalan perkawinan serta hal-hal
yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam mengenal dua macam pembatalan
perkawinan yaitu: perkawinan batal demi hukum dan perkawinan dapat
dibatalkan.
Perkawinan batal demi hukum yaitu Perkawinan yang melangar
larangan perkawinan yang mutlak, sehingga perkawinan mutlak harus
dibatalkan. Sedangkan perkawinan dapat dibatalkan yaitu yang melangar
25
perkawinan tanpa sengaja. Kekurangan syarat, sehingga perkawinan dapat
dibatalkan dan bisa pula tidak dapat dibatalkan.
Dalam mengemukan jenis perkawinan yang dibatalkan, Kompilasi
Hukum Islam mengaturnya dalam beberapa pasal: pasal 70,71 dan 72 ayat 1
dan ayat 2 (mengatur mengenai sebab-sebab batalnya perkawinan) pasal 74
ayat 1 (tempat pengajuan gugatan pembatalan perkawinan), ayat 2 (saat di
mulai berlakunya pembatalan perkawinan), pasal 75 dan 76 (akibat hukum
pembatalan perkawinan), pasal 73 ayat 3 (gugur hak pembatalan
perkawinan).17
Dengan demikian, jelaslah bahwa Kompilasin Hukum Islam secara
eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan yaitu, pertama
perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada pasal 70 dan kedua
perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada pasal 71.
2. Sebab Jatuhnya Fasakh
Sehubungan dengan sahnya perkawinan, selain harus memenuhi
syarat-syarat dan rukun perkawinan, perlu diperhatikan juga
ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Apabila dikemudian hari
diketemukan penyimpangan terhadap syarat sahnya perkawinan maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Batalnya perkawinan menjadikan ikatan
perkawinan yang telah ada menjadi putus. Ini berarti bahwa perkawinan
tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami isteri yang
perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah kawin sebagai suami isteri.
17
Fasakh disebabkan oleh dua hal18:
a. Disebabkan oleh perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau
terdapat adanya halangan perkawinan.
b. Disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak
memungkinkan rumah tangga itu dilanjutkan.
Beberapa faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan atau
fasakh tersebut, ialah:19
a. Syiqaq
Yaitu adanya pertengkaran antara suami isteri yang terus menerus.
Ketentuan tentang syiqaq ini terdapat dalam QS: an-Nisa ayat 35 yang
berbunyi:
ءاسنلا
:
4
/
35
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam20 dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.21
18
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 253
19
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, hal. 245-252
20
Hakam ialah juru pendamai.
21
Departemen Agama RI, Al-Quran Dan Terjemahannya, (Bandung: Gema Risalah Press,
27
b. Adanya cacat
Yaitu cacat yang terdapat pada diri suami atau istri, baik cacat jasmani
atau cacat rohani atau jiwa. Cacat tersebut mungkin terjadi sebelum
perkawinan, namun tidak diketahui oleh pihak lain atau cacat yang berlaku
setelah terjadi akad perkawinan, baik ketahuan atau terjadinya itu setelah
suami isteri bergaul atau belum.
c. Ketidakmampuan suami memberi nafkah
Pengertian nafkah disini berupa nafkah lahir atau nafkah batin, karena
keduanya menyebabkan penderitaan dipihak isteri.
d. Suami gaib (al-mafqud)
Maksud gaib disini adalah suami meninggalkan tempat tetapnya dan tidak
diketahui kemana perginya dan dimana keberadaannya dalam waktu yang
lama.
e. Dilanggarnya perjanjian dalam perkawinan
Sebelum akad nikah suami dan isteri dapat membuat perjanjian
perkawinan. Pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan tersebut dapat
menyebabkan terjadinya pembatalan perkawinan.
Sebab-sebab perkawinan dapat batal demi hukum dan dapat dibatalkan
oleh Pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan
perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedur perkawinan. Kedua, pelanggaran
tehadap meteri perkawinan.22 Perkawinan yang dapat dibatalkan adalah suatu
22
Abdull Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Perdata: Wewenang Peradilan Agama, (Jakarta;
perkawinan yang berlangsung antara calon suami istri, namun salah satu
pihak dapat meminta kepada Pengadilan supaya perkawinan tersebut
dibatalkan.23
Adapun alasan pembatalan perkawinan karena terdapat sesuatu pada
suami atau istri yang menyebabkan tidak mungkin melanjutkan hubungan
perkawinan baik karena diketahui bahwa salah satu di antara rukun dan syarat
tidak terpenuhi atau terjadi sesuatu dikemudian hari, maka perkawinan
dihentikan baik oleh hakim atau dengan sendirinya seperti kebohongan
mengenai kondisi istri yang sudah tidak perawan lagi. Adapun alasan
pembatalan perkawinan karena adanya kesalahan yang terjadi pada waktu
akad atau sesuatu yang terjadi kemudian setelah akad itu yang mencegah
kelangsungan hubungan perkawinan itu.24
Apabila pembatalan perkawinan telah terjadi, baik dalam bentuk
pelanggaran terhadap hukum perkawinan, atau terdapatnya halangan yang
tidak memungkinkan dilanjutkannya perkawinan, maka terjadilah akibat
hukum berupa tidak diperbolehkannya suami rujuk kepada mantan isterinya
selama isteri itu menjalani masa iddah. Akan tetapi apabila keduanya
berkeinginan untuk melanjutkan perkawinannya, mereka harus melakukan
akad nikah baru. Akibat lainnya ialah pembatalan perkawinan tersebut tidak
mengurangi bilangan thalaq.25
23
Salim HS., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Sinar Grafika, 2003) cet
ke-2, hal.71
24
Amir Syarifuddin, Gari-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003 ) cet ke-2, hal. 133
25
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan
29
BAB III
KETIDAKGADISAN ISTRI SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Kegadisan dan Ketidakgadisan Menurut Islam
Dalam Islam sendiri, memang masalah keperawanan tidak pernah
disinggung secara tegas, hanya ada beberapa masalah hukum yang dikaitkan
dengan keperawanan ini, diantaranya tentang perwalian bagi wanita yang akan
menikah, selebihnya Islam bisa dibilang tidak terlalu mempermasalahkan
keperawanan. Bahkan Rasulullah SAW, beberapa kali menikah dengan
wanita-wanita yang bukan perawan lagi. Jadi ada orang yang mempermasalahkan
keperawanan dan mencari dasar dalam Islam, dia tidak akan menemukannya.
Islam hanya mempermasalahkan bagaimana cara hilangnya keperawanan
itu, apakah melalui prosedur tetap yang benar, yakni melalui pernikahan yang sah,
atau diobral sebagai sedekah dengan alasan cinta buta, ekonomi atau
alasan-alasan lain yang lebih bersifat duniawi. Dalam hal ini Islam sangat ketat dan
sangat tegas mengatur prosedur menghilangkan keperawanan ini, yang hanya bisa
dilakukan melalui satu prosedur tetap, yaitu pernikahan yang sah. Sedangkan
alasan-alasan lain yang lebih bersifat duniawi, Islam dengan tegas menetapkan
proses penghilangan keperawanan itu sebagai tindakan melawan hukum dengan
hukuman yang sangat berat.1Misalnya seorang gadis yang melakukan hubugan
1
badan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya atau disebut dengan berzina, maka
ia wajib dihukum rajam sebanyak 100 kali rajam.
Keperawanan secara bahasa bermakna virginity atau kesucian atau
kegadisan, yang dima’nai seorang wanita yang belum pernah melakukan
hubungan seksual atau sengama. Wanita yang masih perawan disebut gadis.2
Keperawanan atau kevirgin berasal dari kata رْكب-ركْبا perawan ٌركب atau
ةيرزعلا kata yang biasanya di tandai dengan adanya selaput darah pada diri seorang
wanita,3 dalam Islam adalah Farji vagina seorang wanita yang secara syara belum
pernah dimasuki oleh sesuatu atau dukhul. Dalam kata lain kemaluan seseorang
wanita belum pernah bersetubuh sehingga kemaluan dari farjinya masih utuh dari
penjamahan apapun termasuk kecelakaan secara fisik. Sedangkan secara istilah
keperawanan adalah selaput tipis yang ada dalam kemaluan wanita, yang disebut
juga dengan kegadisan.4
Perawan adalah yang belum pecah selaput daranya, atau juga istilah
perawan mengandung arti belum pernah melakukan hubungan seksual. Sementara
itu istilah tidak perawan digunakan bagi perempuan yang sudah pernah
melakukan hubugan seksual.
2
http://id. Wikipedia.org/wiki/perawan, diaskes tanggal 10 Februari 2011
3
Ahmad Warson Munawir, Al- Muawir kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Agustus 1984),
hal. 110
4M. Nu’amin Yasin,
31
Demikian halnya laki-laki disebut perjaka jika ia belum pernah mengauli
wanita, dalam sebuah hadits disebutkan:
Artinya: “Seseorang perjaka yang sudah melakukan hubungan seksual dengan
seseorang gadis, maka hukumnya didera seratus kali dan dibuang dari negerinya selama setahun”.(HR. Muslim)5
Keperawanan menjadi sesuatu yang sangat penting dalam Islam, karena
yang dimaksud adalah kesucian seorang wanita dengan cara memelihara dirinya
dari hubungan atau pergaulan yang menyimpang dari syariat, yang mengandung
dosa dan murka dari Allah, bukan perawan dalam arti utuh yaitu selaput darah
perempuan yang mengalir tidaknya darah di malam pertama, karena itu tidak
menjadi tolak ukur keperawanan seorang perempuan.
Keperawanan dalam Islam sangat urgent dengan sebab:
1. Membedakan status janda dan status gadis dalam ikatan perkawinan
2. Membedakan gadis baik-baik atau gadis sholeha dengan gadis binal yang
statusnya gadis tetapi keperawananya sudah diumbar kemana-mana.
3. Menurut ad-Dimyati dalam kitab Inatut Thalibin menjelaskan
5
Artinya: “Dan di perbolehkan bagi suami dan istri untuk memilih dengan sebagai syarat yang telah terjadi ketika akad bukan sebelum akad Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau memiliki keturunan yang baik atau kecakapan atau keperawanan atau keperjakaan atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan
engkau dengan syarat.6
Seperti syarat pada salah satu suami atau istri adalah merdeka atau
memiliki keturunan yang baik atau kecakapan atau kegadisan atau keperjakaan
atau bersih dari aib-aib seperti saya menikahkan engkau dengan syarat
bahwasanya kamu masih gadis atau kamu merdeka”.
Dalam al-Qur’an Allah memerintahkan setiap orang beriman, baik
laki-laki maupun perempuan, untuk senantiasa menjaga kehormatanya dan
menjauhkan hal-hal yang dapat membawa kepada ternodanya kesucian, Allah
berfirman:
رونلا
:
24
/
30
Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".(Q.S. An-Nur:30).
Sedangkan pada kaum wanita yang beriman, Allah lebih detail lagi dalam
menekankan pentingnya mereka menjaga kehormatan dan menghindari diri dari
6
Ad- Dimyati, I’anatut Thalibin, (ttp. Kerjasama Syirkahal-Ma’arif Lithobi an-Nashr dengan
33
perbuatan yang dapat membawa kepada timbulnya permasalahan dan menodai
kesucian. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
رونلا
:
24
/
31
Ajaran dalam Islam tentang keperawanan sudah sangat jelas, Islam
mengharuskan setiap umatnya, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjaga
kehormatannya dan tidak menyerahkan kesuciannya, kecuali pada pasangan hidup
yang sah menurut ajaran agama, jadi setiap wanita wajib menjaga virginitasnya
(keperawananya) dan hanya boleh menyerahkan kepada sang suami.
Berdasarkan keterangan di atas penulis bisa menyimpulkan bahwa Islam
sangat menjunjung tinggi permasalahan kegadisan, dapat dijadikan sebagai khiyar
syarat dalam akad nikah dengan syarat ketika khiyar tersebut harus dihadiri oleh
hakim, maka akibat hukumnya ketika setelah akad nikah dan sang istri terbukti
telah kehilang kegadisanya, maka pernikahan fasakh dengan sendirinya. Hal yang
demikian seperti khiyar syarat dalam jual beli.
B. Keperawanan Menurut Ilmu kedokteran 1. Keperawanan Menurut Ilmu kedokteran
Menurut kamus kedokteran Vir-gin (I-Virgo) adalah seseorang yang
belum pernah melakukan hubungan seksual. Vir-gin-al berkenaan dengan
seorang perawan/keperawan. Vir-gin-ity (L.Virginitas) adalah keadaan masih
perawan.7Keperawanan adalah belum pernah berhubungan seksual, dalam
bahasa Inggris, perawan disebut virginity.8Kata perawan atau virgin berasal
dari kata virgo dalam bahasa Yunani dan Latin yang berarti gadis atau
7
.Dorlan, W.A.Newman, kamus kedokteran Dorland, alih bahasa, dr Huriawati Hartanto,dkk,
( Jakarta : penerbit Buku kedokteran EGC, 2002) ,edisi-29, hal. 2398
8
35
perawan. Kata “perawan” dalam bahasa Indonesia memiliki akar kata “rawan”
atau mudah terkena sesuatu atau patah atau robek. Bisa juga kata rawaniotu
mengambarakan sifat yang mudah terpengaruh. Dengan demikian, secara
etimologis, pada awal kata “ perawan ” tidak hanya menunjuk pada pada
wanita saja, tetapi bisa juga dikenakan laki-laki. Analogi kata “perjaka” dan
“keperjakaan” malah mengaburkan makna yang tersirat didalamnya. Seakan
-akan “perjaka” tidak memiliki sifat yang rentan seperti yang di jelaskan di
atas.9
Seperti yang di jelaskan bahwa seorang perawan adalah seorang
wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual atau senggama.
Secara umum „perawan’ juga direlasikan dengan kesucian. Secara istilah
Islami, keperawanan bukan sekadar masih utuhnya selaput dara di vagina,
melainkan setiap wanita yang belum pernah melakukan aktivitas-aktivitas
seksual.
Bagi beberapa orang yang mempunyai pemikiran yang cukup terbuka,
kehilangan keperawanan bukanlah suatu hal yang perlu dirisaukan, atau
bahkan dipermasalahkan. Bahkan kalau kita sempat berkeliling dunia maya,
dan masuk kebeberapa forum yang membahas tentang pengalaman mereka
yang telah kehilangan keperawanan, beberapa diantaranya sepertinya
“bangga”dengan status barunya itu.
9
Dr. Pribakti B,ApOG (K), Tips dan Trik Merawat Organ Intim Panduan Peraktis Kesehatan
Dalam zaman pertengahan, virginitas menjadi istilah seksual yang
menunjukan pada wanita hatero seksual yang secara fisik belum pernah di
masuki alat kelamin pria. Keperawanan di anggap pemberian Tuhan yang
hanya boleh di lepaskan untuk suami. Wanita diharapkan menahan diri sampai
perkawinan. Seseorang wanita di anggap menjatuhkan kehormatan keluarga
kalau ia berhubungan seks sebelum menikah. Jika melangar akan dihukum
berat. Pada zaman itu, untuk membuktikan keperawanan dipakai cara medis
atau mistik.
Berbicara tentang keperawanan berarti menyangkut dengan selaput
dara (hymen) karena kebanyakan orang mengangap bahwa seseorang diangap
masih virgin ketika pertama kali bersengama mengeluarkan darah atau sobek
selaput daranya. Akan tetapi saya jelas-jelas kurang setuju apabila ukuran
sebuah virginitas diukur pada ada atau tidaknya hymen. Ya, hymen, atau
selaput dara. Keperawanan tidak identik