• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor penyebab tingginya perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Palembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor penyebab tingginya perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Palembang"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT

DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG

Oleh:

Rusmala Dewi Jayanti

103044128090

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI

GUGAT DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Disusun Oleh:

Rusmala Dewi Jayanti 103044128090

Dibawah Bimbingan:

Drs.H.A. Basiq Djalil, S.H., M.A Sri Hidayati, M.Ag

NIP:150 169 102 NIP:150 282 403

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

Pengesahan Panitia Ujian

Skripsi yang berjudul Faktor Penyebab Tingginya Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kota Palembang , telah diujikan dalam sidang munanqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Ahwal As-Sakhsiyyah.

Jakarta, September 2007 Disahkan oleh

Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH.MA.MM)

NIP: 150 210 422

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua : Drs.H.A Basiq Djalil. SH.MA (………) NIP: 150 169 102

Sekretaris : Kamarusdiana. S.Ag.MH (………)

NIP: 150 285 972

Pembimbing I : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, M.H (………) NIP: 150 169 102

Pembimbing II : Sri Hidayati. M.Ag (………) NIP: 150 282 403

Penguji I : Drs. H. Husni Thoyar, M.Ag ( ………) NIP: 150 050 919

(4)

KATA PENGANTAR

ﺮ ا

ﺮ ا

ﷲا

Subhanallah, Alhamdulillah, Allahu Akbar…

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang Maha Mengetahui. Yang Maha Mendengar. Yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hambaNya yang dhaif ini. Atas berkat, izin dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Hanya Dia-lah sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan. Dibandingkan dengan ilmu-Nya, maka ilmu yang Dia berikan kepada penulis ibarat setitik tinta yang dicelupkan di Samudera yang luas. Hanya Dia-lah satu-satunya tempat penulis memohon segala sesuatu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul : “FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA

KOTA PALEMBANG”

(5)

Penulis menyadari, bahwa selesainya skripsi ini tidak luput dari dorongan dan bantuan berbagai pihak, baik moril maupun materill, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya, terutama kepada :

1. Bapak Djohan Syafri dan Ibunda Hj. Tugirah, S.Pd, kakakku Darmawan Hertanto dan Adindaku Rini Sri Astuti yang tiada hentinya dan tiada lelahnya memberikan motivasi dan do’a kepada penulis serta memberikan bantuan moril terlebih lagi materil. Semoga Allah swt melimpahkan rahmt dan kasih sayangNya kepada kalian semua. Rabbifirli waliwalidayya waliman dakhala baitiya mu’minan wally mu’mininna wal mu’minnati. Amin Ya Rabbal Alamin.

2. Bapak Pof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

3. Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, S.H, M.A, selaku Ketua Jurusan Ahwal Syakhsiyyah dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H, selaku Sekretaris Jurusan Ahwal Syakhsiyyah

4. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, M.A dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku pembimbing skripsi penulis yang dengan kesabarannya membimbing penulis dan meluangkan waktu sibuknya untuk penulis.

(6)

dan seluruh staf dan karyawan di Pengadilan Agama Kota Palembang yang telah banyak membantu penulis selama melakukan riset di Pengadilan Agama Palembang.

6. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan IAIN Raden Fatah Palembang beserta karyawannya yang telah memberikan fasilitas serta kemudahan pada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan, Jazakumullah Khairan Katsiran.

7. Seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum, khususnya di program studi Ahwal Syakhsiyyah, Jazakumulllah Khairan Katsiran atas bimbingan dan ilmu yang diberikan selama penulis menimba ilmu di Fakultas Syari’ah dan Hukum ini.

8. Keluarga besar kosan Al-Kautsar Bapak H. Wanhar besarta keluarga dan teman-teman kos, ika, nur, e’em, rahmah dan yang lainnya,. Jazakumullah atas kebersamaannya.

9. Ayundaku Shinta Radesti, S.Si yang selalu memberikan motivasi kepada penulis lewat sms-smsnya dan setia mendengarkan curhat penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

(7)

karena Allah Swt. “Rabbi au ziqni an asykura ni’matakal lati anamta alaiya Wa ala waalidayya wa an a’ mala shalihan tardhohu wa adkhilni birahmatika fi i’ Badikasshalihin.” Semoga segala bantuan yang telah diberikan akan dibalas oleh Allah Swt dengan pahala yang berlipat ganda. Amin ya rabbal alamin.

Akhirnya hanya kepada Allah Swt semuanya penulis pasrahkan. “Hasbiyallahu laillahaillahu,’alaihi tawakaltu wahuwarabbul arsyil adzim”. Semoga skripsi ini bermanfaat, terutama bagi penulis, maupun bagi pembaca pada umumnya. Amin.

Jakarta, 16 Jumadil Akhir 1428 H. 1 Juli 2007 M.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 11

B. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian ... 25

C. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai ... 29

D. Prosedur Administrasi Cerai Gugat ... 32

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang ... 39

B. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Palembang... 49

(9)

D. Statistik Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang .. 58

BAB IV FAKTOR PENYEBAB CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG A. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang …………. 61

B. Latar Belakang Penggugat ……….…………. 62

C. Faktor-Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang ……….. 62

D. Analisa Tentang Tingginya Perkara Cerai Gugat ……… 74

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………. 77

B. Saran-Saran ………. 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(10)
[image:10.612.84.503.131.539.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama Palembang Tahun 2004-2006... 59 Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 59 Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 60 Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)

...60 Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun

(11)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN F. Latar Belakang Masalah ... 1

G. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

H. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

I. Metode Penelitian ... 7

J. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN E. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ... 11

F. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian ... 25

G. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai ... 28

H. Prosedur Administrasi Cerai Gugat ... 32

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG E. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang ... 38

(12)

G. Kompetensi Absolute dan Relatif Pengadilan Agama Palembang.. 52

H. Statistik Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang .. 57

BAB IV FAKTOR PENYEBAB CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA PALEMBANG A. Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang …………. 60

E. Latar Belakang Penggugat ……….…………. 61

F. Faktor-Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang ……….. 61

G. Analisa Tentang Tingginya Perkara Cerai Gugat ……… 72

BAB V PENUTUP C. Kesimpulan ………. 79

D. Saran-Saran ………. 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(13)
[image:13.612.84.506.139.539.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama Palembang Tahun 2004-2006... 58 Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 58 Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 59 Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)

...59 Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun

(14)
[image:14.612.87.501.148.512.2]

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama Palembang Tahun 2004-2006... 59 Tabel 3.2 Perkara Cerai Talak Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 59 Tabel 3.3 Perkara Cerai Gugat Yang Diterima dan yang Diputus Tahun

2004-2006... 60 Tabel 3.4 Perkara Cerai Gugat Selama Tiga Tahun (Tahun 2004 sampai Tahun2006)

...60 Tabel 4 Faktor Perceraian Dari Tahun 2004 Sampai Dengan Tahun

(15)

MOTTO :

J anganl ah mengambi l i l mu dar i

buk u s aj a. Bar ang s i apa t i dak per nah

mendat angi ul ama ( i l muan) , mak a i a

t i dak ak an ber ak ar dal am k emul i aan.

Bar ang s i apa t i dak per nah menanggung

der i t a bel aj ar mak a i a t i dak ak an

mer as ak an l ez at ny a i l mu penget ahuan”

“ Wat t az awwadu Fai nna Khai r r az

Zaddi t Taqwa” , Ber bek al l ah dan Sebai k

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Segala sesuatu di alam wujud ini diciptakan oleh Allah Swt berpasang-pasangan, Allah Swt berfirman:

نوﺮﱠآﺬ

ﻜﱠ

وز

ء

ﱢ آ

و

Artinya: “Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. (az-Zariyat/51: 49)

Dan juga firman-Nya,

و

ﻰ ﺄ او

ﺮآﱠﺬ ا

وﱠﺰ ا

ﱠأ

Artinya: “Dan bahwa Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan” . (Al-Najm/53: 45)

Al Qur'an menjelaskan bahwa manusia (laki-laki) secara naluriah, di samping mempunyai keinginan terhadap harta dunia, anak keturunan dan yang lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya.

Perkawinan merupakan ikatan yang suci dan kokoh. Oleh sebab itu perkawinan oleh Al-Qur'an disebut dengan kata nikah dan misaq (perjanjian). Nikah secara bahasa ialah al-dhammu wa al-wath’u1 yang berarti berkumpul dan bersetubuh. Muhammad Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat 2:

1

Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuh, (Baerut: Darul Fikr, 1991), Juz VII, h. 29

2

(17)

“Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami isteri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”.

Segala sesuatu yang disyari'atkan Islam mempunyai tujuan sekurang-kurangnya mengandung hikmah tertentu tak terkecuali perkawinan. Tujuan perkawinan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan Al-Qur'an. Al-Qur'an menjelaskan:

ﱠنإ

ﺔ رو

ةﱠدﻮ

و

ﺎﻬ إ

اﻮ ﻜ

ﺎ اوزأ

ﻜ أ

نأ

ﺎ اء

و

نوﺮﱠﻜ

مﻮ

تﺎ

ﻚ ذ

Artinya: “Di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan isteri-isteri bagi para laki-laki dari jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram (sakinah), kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rahmah) di antara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat (pelajaran) bagi mereka yang mau berfikir”. (Ar-Rum/30: 21)

Ayat tersebut di atas mengungkapkan tujuan dasar dari setiap pembentukkan rumah tangga, yaitu di samping untuk mendapatkan keturunan yang shaleh adalah untuk dapat hidup tenteram adanya suasana sakinah yang disertai rasa kasih sayang.

Ikatan pertama pembentukkan rumah tangga telah dipatri oleh ijab kabul yang dilakukan waktu akad nikah. Kalimat ijab kabul sangat mudah untuk di ucapkan oleh calon suami dan wali calon isteri.

Artinya, bahwa ucapan ijab kabul sungguh gampang diucapkan namun berat pada pelaksanaannya karena memerlukan perhatian yang serius dan terus menerus.3

3

(18)

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami isteri penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dibina bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang berganti dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang dan suami isteri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih sayangnya maka akan berujung ke arah perceraian. Dalam sebuah rumah tangga sulit digambarkan tidak terjadinya sebuah percekcokan. Akan tetapi, percekcokan itu sendiri beragam bentuknya ada yang ibarat seni dan irama dalam kehidupan rumah tangga yang tidak mengurangi keharmonisan dan ada pula yang menjurus kepada kemelut berkepanjangan yang bisa mengancam eksistensi lembaga perkawinan.

(19)

juga menghilangkan prasangka-prasangka yang tidak berdasar dari suami isteri yang sedang berperkara terhadap hakim yang menangani perkaranya.4

Kasus perceraian di Kota Palembang, selama beberapa tahun ini tertinggi di Sumatera Selatan.5 Pengadilan Agama Palembang dalam kurun waktu 3 tahun yaitu dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 perkara yang diterima dan yang diputus untuk perkara perceraian semakin meningkat, khususnya gugatan perkara yang diajukan oleh pihak isteri. Banyaknya cerai gugat yang diajukan oleh pihak isteri ini , tentulah dilatar belakangi oleh banyak faktor.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik mengkajinya dalam skripsi yang berjudul “FAKTOR PENYEBAB TINGGINYA PERKARA CERAI GUGAT DI PENGADILAN AGAMA KOTA PALEMBANG”. Hal yang memotivasi penulis untuk mengadakan penelitian di Pengadilan Agama Palembang menyangkut judul diatas adalah dari penelitian tersebut diharapkan mampu memberikan jawaban dan penjelasan yang gamblang mengenai faktor penyebab perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Palembang. Di samping itu juga karena penulis adalah asli putri daerah tersebut ingin memberikan sebuah wacana dan pencerahan kepada masyarakat mengenai keberadaan Pengadilan Agama Palembang.

B. Batasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dan pembahasan dalam skripsi ini, perlu kiranya penulis membatasi masalah sehingga jelas masalah yang akan dibahas. Dalam

4

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar, Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), Cet. Ke- 1, h. 124-125

5

(20)

skripsi ini penulis membatasi masalahnya yaitu perkara cerai talak dan perkara cerai gugat. Namun yang menjadi fokus bahasannya adalah perkara cerai gugat. Selain itu juga membahas faktor yang menjadi penyebab tingginya perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Palembang. Untuk itu penulis memfokuskan dan mengefektifkan pengolahan datanya hanya pada perkara cerai gugat dari tahun 2004 sampai tahun 2006 yang terdapat di Pengadilan Agama Kota Palembang.

Dari latar belakang dan batasan masalah tersebut maka dapat penulis rumuskan sebagai berikut: “Perceraian hal yang sangat dibenci Allah, walaupun halal. Sebaliknya perkawinan merupakan hal yang terpuji dan BP4 merupakan lembaga perdamaian/penasehat yang memberi pengarahan serta pembinaan kepada suami isteri agar dapat menghindari perceraian. Namun kenyataan di lapangan jumlah perkara perceraian semakin banyak di tangani hakim. Hal ini penulis ingin telusuri penyebabnya untuk kemudian dapat diambil langkah yang lebih tepat untuk mengatasinya.”

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

(21)

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis

Bagi peneliti, penelitian ini merupakan suatu pengamalan antara teori yang telah didapatkan di perkuliahan dengan praktek yang ada di lapangan. Dan sebagai bahan evaluasi bagi tokoh masyarakat, Da’i, pendidik serta yang lainnya, untuk dapat menanamkan nilai-nilai atau dasar-dasar pemahaman agama yang kuat kepada masyarakat. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi dan wacana baru mengenai Pengadilan Agama yang ada di kota Palembang.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan lapangan penelitian khususnya di bidang hukum keluarga.

D. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode deskriptif yaitu berupaya menghimpun data dan informasi yang telah ada atau telah terjadi di lapangan.6 Bersifat eksploratif yaitu peneliti ingin menggali secara luas tentang sebab-sebab atau hal-hal yang mempengaruhi terjadinya sesuatu dan bertujuan untuk

6

(22)

menggambarkan keadaan sesuatu.7 Dalam hal ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan keadaan sesuatu yaitu apa saja yang menjadi sebab tingginya perkara cerai gugat yang terdapat di Pengadilan Agama Kota Palembang.

2. Sumber Data

Penentuan instrument penelitian ini berupa peneliti sebagai instrument peneliti utama dengan menggunakan pengamatan/observasi terlibat, wawancara, penggunaan dokumen dan sumber tertulis lainnya. Wawancara diperlukan untuk melakukan analisis dan interpretasi langsung dari hasil pengamatan. Menilik jenis penelitian ini, maka jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif dan kuantitatif yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber tertulis baik yang sifatnya primer dan skunder.

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer berupa, (i) Studi dokumentasi yaitu mengumpulkan data-data yang terdapat di Pengadilan Agama Palembang berupa putusan hakim dan dokumentasi tentang sejarah Pengadilan Agama Palembang. (ii) Interview (wawancara) yang dimaksudkan untuk menggali keterangan-keterangan dan informasi penting dari narasumber yang berkaitan dengan skripsi ini. Narasumber tersebut adalah Hakim di Pengadilan Agama Palembang. Interview dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa tape recorder.

7

(23)

3. Pengolahan dan Analisa Data

Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode deskriptif analitik yaitu teknik analisa data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil observasi di lapangan kemudian data tersebut di analisa secara kuantitatif untuk mencari seberapa besar tingkat perkara yang telah diterima dan yang telah diputus oleh Pengadilan Agama Palembang. Data kuntitatif ini diproses dengan 2 (dua) cara8 yaitu pertama dijumlahkan, dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh persentase, kedua diklasifikasikan, dijumlahkan sehingga menjadi suatu susunan urut data untuk selanjutnya dibuat tabel. Kemudian di proses lebih lanjut menjadi perhitungan untuk diambil kesimpulan. Pada akhirnya data tersebut diintrpretasikan dengan merujuk pada buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dijabarkan dalam skripsi ini.

4. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisannya, penulis berpedoman pada buku penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.

E. Sistematika Penulisan

8

(24)

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu dari masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Bab pertama berisi Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi Pengertian dan Prosedur Perceraian, memuat pengertian dan dasar hukum perceraian, hikmah dan akibat hukum perceraian, perbedaan cerai gugat dan permohonan cerai dan prosedur administrasi cerai gugat.

Bab ketiga berisi Gambaran Umum Pengadilan Agama Palembang, memuat sejarah singkat pengadilan agama Palembang, struktur organisasi pengadilan agama Palembang, kompetensi absolute dan relatif pengadilan agama Palembang dan statistik perkara perceraian di pengadilan agama Palembang.

Bab keempat berisi tentang Faktor Penyebab Cerai Gugat di Pengadilan Agama Palembang memuat, perkara cerai gugat di pengadilan agama Palembang, latar belakang Penggugat, faktor-faktor penyebab cerai gugat di Pengadilan Agama Palembang dan analisa tentang tingginya perkara cerai gugat

Bab kelima berisi Penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran Daftar Pustaka

(25)

BAB II

PENGERTIAN DAN PROSEDUR PERCERAIAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian dan Macam-Macam Perceraian

Keutuhan dan kelanggengan kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang di gariskan Islam. Akad nikah merupakan suatu perjanjian untuk selamanya dan langgeng hingga meninggal dunia. Karena itu, perkawinan dinyatakan sebagai ikatan yang paling kokoh. Ikatan kokoh antara suami isteri oleh al-Qur’an disebut dengan mitsaqan ghalidzan.9 Allah Swt berfirman :

آو

وﺬ ﺄ

ﺪ و

ﻰﻀ أ

ﻜﻀ

ﻰ إ

نﺬ أو

ﺎ ﺎ

Artinya:” Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu sekalian perjanjian yang kuat”. ( An-Nisa/4:21)

Ikatan kokoh tersebut bisa menjadi tidak kokoh lagi, jika di dalam kehidupan rumah tangga suami isteri tersebut sering terjadi perselisihan. Perselisihan tersebut terkadang sulit untuk didamaikan yang menyebabkan pihak suami ataupun isteri menuntut cerai. Islam adalah agama yang solutif yaitu setiap masalah senantiasa dicari jalan keluarnya. Seperti masalah shiqoq (percekcokan) ini, ketika masalah percekcokan dalam rumah tangga tersebut terjadi, maka

9

(26)

penyelesaiannya haruslah diselesaikan lewat hakam terlebih dahulu baik dari pihak isteri ataupun dari pihak suami untuk mendamaikan kedua belah pihak. Sebagaimana diataur dalam Qs.An-Nisa:35 :

قﺎ

نإو

إ

اﺪ ﺮ

نإ

ﺎﻬ هأ

ﺎ ﻜ و

هأ

ﺎ ﻜ

اﻮ ﺎ

ﺎ ﻬ

اﺮ

نﺎآ

ا

نإ

ﺎ ﻬ

ا

Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada shiqoq (percekcokan/ persengketaan) antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam ini bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (An-Nisa/4:35)

Jika kedua orang hakam yang ditunjuk untuk persoalan shiqoq ini menghendaki hubungan suami isteri diteruskan, maka kedua suami isteri tersebut tetap harus melanjutkan hubungan suami isteri (perkawinan) mereka. Akan tetapi, andaikan lewat jalur hakam ini masalah shiqoq tidak dapat diselesaikan dan di antara suami isteri tetap saling bertengkar, maka tidak ada cara lain, perceraian merupakan salah satu jalan (solusi) agar tidak terjadi pertengkaran yang terus menerus karena cinta dan kasih sayang sudah tidak dapat dibina lagi.

(27)

sebagai langkah terakhir dari usaha merukunkan rumah tangga, putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan yang baik.10

Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami isteri. Dilihat dari sisi pihak-pihak yang berakad, maka sebab putusnya ikatan perkawinan ada yang merupakan hak pada suami dan ada juga yang merupakan hak pada isteri.11 Putusnya perkawinan atas kehendak dari suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu disebut dengan talak yang merupakan haknya. Sedangkan putusnya perkawinan atas kehendak isteri dan merupakan haknya disebut dengan khulu’.12 “Perceraian” dalam istilah ahli fiqh disebut dengan “talak” atau “furqah”. Talak berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. Furqah berarti bercerai lawan dari berkumpul.

Talak sendiri dalam hadits Nabi Saw dikatakan sebagai perkara yang dibenci, namun halal untuk dilakukan. Sebagaimana Hadits Rasulullah Saw,

ﺮ آ

ﺎ ﱠﺪ

,

او

فﱢﺮ

ﺪ ﺎ

ﺪﱠ

ﺎ ﱠﺪ

,

برﺎ

رﺎ د

,

ﷲا

ﻰﱠ

ﱢ ﱠ ا

ا

لﺎ

ﱠ و

) :

ﷲا

ﻰ إ

ل

ا

ﺾ ا

ق ﱠ ا

ﱠ وﱠﺰ

) (

دواد

ﻮ ا

اور

(

13

Artinya :” Dikatakan Katsir Ibnu Ubaid, dikatakan Muhammad bin Khalid dari Mu’arif bin Wasil, dari Muharib bin Ditsar, dari Umar dari Nabi Saw berkata : “(perbuatan halal di sisi Allah adalah Talak)”.

10

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Bogor: Kencana Prenada Media, 2003), Cet. Ke-1, h.124

11

Acmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet. Ke-1, h.117

12

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakrata: Prenada Media, t.th), h.197

13

(28)

Perkara halal di sini menurut Yusuf Qardhawi memberikan pengertian, bahwa talak itu suatu rukhsah (keringanan) yang diadakan semata-mata karena darurat yaitu ketika memburuknya hubungan suami isteri dan keduanya benar-benar mengajukan perceraian.14 Di masa dulu talak merupakan hak “prerogatif” pria (suami) yang bisa dipergunakan “kapan saja” dan “dimana saja”. Karena di masa lampau banyak penyalahgunaan wewenang talak, maka kini dengan dibentuknya hukum keluarga kontemporer diadakan rambu-rambu pemakaiannya. Artinya hak talak itu tetap berada ditangan suami, tetapi penggunaannya harus di depan sidang Pengadilan Agama.15

Dilain pihak isteri juga mempunyai hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab putusnya ikatan perkawinan. Perbuatan hukum tersebut disebut dangan khulu’ yaitu pihak isteri meminta agar pihak suami bersedia memutus ikatan perkawinan, bersedia menceraikan dan pihak isteri menyediakan pembayaran yang besarnya disetujui oleh pihak suami (yang lazim paling besar tidak melebihi mahar)16 atau dengan kata lain isteri mempunyai hak untuk mengajukan perceraian dari suaminya dengan membayar ‘iwadh (tebusan) dengan cara mengembalikan mahar yang pernah suami berikan kepadanya.17 Adapun lebih jelasnya, Talak menurut pengertian bahasa ialah pelepasan ikatan yang kokoh. Kata “talak” diambil dari “ithlaq” yang berarti melepaskan dan meninggalkan. Talak

14

Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal Haram Dalam Islam, terj. Muammal Hamidi, (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980), h.284

15

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet ke-2, h.103-107

16 Ahmad Kuzari, Op., Cit., h.12 17

(29)

menurut pengertian istilah (syara’) ialah pelepasan akad perkawinan.18 Menurut Amir Syarifuddin dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perceraian yang bernama talak, yaitu:19

Pertama, kata ”melepaskan” atau membuka atau menanggalkan mengandung arti bahwa talak itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat yaitu ikatan perkawinan.

Kedua, kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa talak itu mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini. Bila ikatan perkawinan itu membolehkan hubungan antara suami dan isteri maka dengan telah dibuka ikatan itu status suami dan isteri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.

Ketiga, kata dengan lafaz “tha-la-qa” dan sama maksudnya dengan itu mengandung arti bahwa putusnya perkawinan itu melalui suatu ucapan dan ucapan yang digunakan itu adalah kata-kata talak.

Talak memang banyak macamnya, tetapi bila ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami rujuk kembali kepada bekas isteri, maka talak terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Talak Raj’i

18

Al- Shan’any, Op., Cit, h.609

19

(30)

Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.20

b. Talak Bain

Talak bain yaitu talak yang terjadi ketiga kalinya atau talak sebelum isteri dicampuri atau talak tebusan isteri kepada suaminya. Talak bain ini terdiri dari 2 (bagian), yaitu:

1) talak bain sughra 2) talak bain kubra.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 119, ayat (1) dijelaskan, bahwa: “Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam masa iddah”. Dan dalam ayat (2) diterangkan, bahwa: “Talak ba’in shugra sebagaimana tersebut pada ayat satu adalah (a) talak yang terjadi qobla al dukhul (sebelum dicampuri), (b) talak dengan tebusan atau khulu’ dan (c) talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pada pasal 120 Kompilasi Hukum Islam (KHI), mengenai talak ba’in kubro dijelaskan, bahwa: “Talak ba’in kubro adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah lagi dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul (setelah dicampuri) dan habis masa iddahnya.”

20

(31)

Mengenai ketentuan talak ba’in kubro, diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230 yang menyatakan:

نﺈ

ﺎﻬ

ﺎ وز

نﺈ

ﺎﻬ

حﺎ

ﺎ ﻬ

نأ

ﺎ اﺮ

نإ

نأ

دوﺪ

ا

ﻚ و

دوﺪ

ا

ﺎﻬ

مﻮ

نﻮ

Artinya:” Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (al-Baqarah/2::230)

Dewasa ini talak bukan lagi merupakan hak mutlak suami untuk menjatuhkannya karena menjatuhkan talak harus terlebih dahulu dipenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut hukum perkawinan di Indonesia, talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya hubungan perkawinan. Ikrar talak diucapkan di depan sidang Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi-saksi, baik dari pihak keluarga maupun dari orang dekat. Setelah Pengadilan memutuskan dan diucapkan ikrar talak di depan sidang Pengadilan oleh suami, maka putuslah hubungan suami terhadap isteri atau hubungan kedua suami isteri tersebut.21

Perceraian (talak) ditinjau dari cara dan waktu menjatuhkannya terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: (1) talak sunni dan (2) talak bid’i.

21

(32)

Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 121 menyatakan: “Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut”. Sedangkan talak bid’i dalam pasal 122 dinyatakan:”Talak bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut”.

Dari penjelasan di atas ada pergeseran pemahaman talak (perceraian) antara ketentuan fiqh dan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan di Indonesia. Dalam fiqh talak dapat dilakukan kapan saja ia suka dan dimanapun ia mau, tetapi perceraian dalam aturan hukum perkawinan di Indonesia harus melalui sidang Pengadilan Agama agar tercapai ketentuan hukum yang tidak semena-mena oleh suami untuk mentalak isterinya.

Hukum Islam memberi jalan kepada isteri yang menghendaki perceraian dengan menggunakan jalan khulu’ sebagaimana hukum Islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan isterinya dengan jalan talak.

(33)

arab secara etimologi berarti menangguhkan atau membuka pakaian.22 Dihubungkan dengan kata khulu’ dengan perkawinan karena dalam al-Qur’an disebutkan bahwa suami itu sebagai pakaian bagi isterinya dan isteri itu pakaian bagi suaminya. Dalam surat al-Baqarah(2) ayat 187 dijelaskan:

...

ه

سﺎ

أو

سﺎ

...

Artinya: “…mereka merupakan pakaian bagimu dan kamu merupakan pakaian bagi mereka…”. (al-Baqarah/2: 187)

Dalam arti istilah hukum dalam beberapa kitab fiqh, khulu’ diartikan dengan:“Putus perkawinan dengan menggunakan uang tebusan, menggunakan ucapan talak atau khulu”.23

Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat. Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ adalah:

a. Suami yang menceraikan isterinya dengan tebusan

b. Isteri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan c. Uang tebusan atau ‘iwadh

d. Alasan untuk terjadinya khulu’

Sedangkan yang menjadi syarat dari khulu’ antara lain:

22

Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.231

23

(34)

Pertama, syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana yang berlaku dalam talak adalah seseorang yang ucapannya telah dapat diperhitungkan secara syar’i, yaitu akil, baliqh dan bertindak atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan. Seluruh mazhab, kecuali Hambali sepakat bahwa baligh dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan khulu’. Hambali mengatakan bahwa khulu’ sebagimana halnya dengan talak, dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz ( telah mengerti sekalipun belum baligh).24 Bila suami masih belum dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila, maka yang akan menceraikan dengan nama khulu’ adalah walinya.25

Kedua, isteri yang di khulu’, para ulama mazhab sepakat bahwa isteri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya itu wajib sudah baligh dan berakal sehat. Isteri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut: a. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau

yang telah diceraikan, namun masih dalam iddah raj’i.

b. Ia adalah seseorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia harus seseorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah pengampuan dan sudah cerdas bertindak atas harta. Kalau tidak memenuhi persyaratan ini, maka yang melakukan khulu’ adalah walinya.

24

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h.462

25

(35)

Ketiga: adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau ‘iwadh. Para ulama mazhab sepakat bahwa harta tebusan (dalam khulu’) hendaknya mempunyai nilai dan jumlahnya boleh sama, kurang atau lebih banyak dari pada mahar. Dalam peraturan hukum perkawinan di Indonesia besarnya ‘iwadh ditentukan oleh Menteri Agama, sebelum adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ‘iwadh yang harus dibayar sebesar Rp.10,- seperti yang tertera di dalam buku Akta Nikah. Akan tetapi pada saat ini besarnya ‘iwadh ditentukan menurut peraturan yang telah ditetapkan itu.26

Kempat, shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau “ ‘iwadh”. Menurut para ulama ucapan khulu’ itu ada dua macam :

a. Menggunakan lafaz yang jelas dan terang atau sharih. Yang termasuk ke dalam lafaz yang sharih untuk khulu’ itu adalah pertama, lafaz khulu’ seperti ucapan suami “ saya khulu’ kamu dengan ‘iwadh sebuah sepeda motor”. Kedua, lafaz tebusan, seperti ucapan suami, “saya bercerai denganmu dengan tebusan sekian”. Ketiga, lafaz fasakh, seperti ucapan suami “ saya fasakh kamu dengan ‘iwadh sebuah kitab Al-Qur’an “.

b. Menggunakan lafaz kinayah yaitu lafaz lain yang tidak langsung berarti perceraian tapi dapat dipergunakan untuk itu. Terjadinya khulu’ dengan lafaz kinayah ini disyaratkan harus disertai dengan niat. Umpamanya ucapan suami, “

26

(36)

pergilah pulang ke rumah orang tuamu dan kamu membayar ‘iwadh sejuta rupiah “

Kelima, adanya alasan untuk terjadinya khulu’. Baik dalam ayat Al-Qur’an maupun dalam hadits Nabi terlihat adanya alasan untuk terjadinya khulu’ yaitu isteri khawatir tidak akan mungkin melaksanakan tugasnya sebagai isteri yang menyebabkan dia tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah.

Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang Perkawinan. Namun di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa “Khulu adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan dan ‘iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya”. Dan di pasal 124 yang berbunyi “Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan pasal 116”.

Putusnya ikatan perkawinan dalan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan disebut dengan kata “perceraian”, sehingga sama dengan penggunaan hak talak oleh suami dan penggunaan hak khulu’ oleh isteri pun hanya diperkenankan apabila mempunyai alasan seperti yang tersebut dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu

(37)

Pengaturan perceraian (talak) dalam Islam diatur melalui ketentuan al-Qur'an dan Sunah Nabi Saw. Dengan adanya ketentuan tersebut dapat dijadikan landasan bahwa agama Islam membolehkan perceraian.

a. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 229:

نﺎ ﺈ

وأ

فوﺮ

كﺎ ﺈ

نﺎ ﺮ

ق

ا

...

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik…”. (al- Baqarah/2:229)

b. Surat at-Thalaq ayat 1, dalam penggalannya menyebutkan:

ﻜ ر

ا

اﻮ او

ةﺪ ا

اﻮ

أو

ﻬ ﺪ

هﻮ

ءﺎ ا

اذإ

ا

ﺎﻬ أ

...

Artinya: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu…”. (at-Thalaq/65:1)

c. Hadits Rasulullah Saw:

ﱠﺪ

آ

,

ﱠﺪ

ﱠﺪ

ﱢﺮ

ف

و

ا

,

رﺎ

ب

د

رﺎ

,

ا

ﱠ ا

ﷲا

و

لﺎ

) :

ا

ا

ل

إ

ﷲا

ﱠﺰ

و

ﱠ ا

ق

) (

دواد

ﻮ ا

اور

(

27

Artinya : ”Dikatakan Katsir Ibnu Ubaid, dikatakan Muhammad bin Khalid dari Mu’arif bin Wasil, dari Muharib bin Ditsar, dari Ibnu Umar dari Nabi Saw berkata : “(perbuatan halal disisi Allah Talak)”. (HR. Abu Daud)

Dasar hukum disyariatkannya khulu’ ialah firman Allah dalam surat al- Baqarah ayat 229 :

27

(38)

نﺈ

ا

دوﺪ

أ

ﺎ ﺎ

نأ

إ

ﺎﺌ

هﻮ

اوﺬ ﺄ

نأ

و

تﺪ ا

ﺎ ﻬ

حﺎ

ا

دوﺪ

أ

.

..

Artinya: “…Tidak halal bagi kamu mengambil sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak dapat menjalankan hukum Allah, jika kamu khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya…” (al-Baqarah/2:229)

Dasar hukum dari hadits :

ﱠﺪ

أ

ذ

ه

ﱠﺪ

ا

ﱠه

بﺎ

ا

ﱠﺪ

ا

سﺎ

أ

ﱠن

ا

أة

أ

ﱠ ا

ﷲا

و

:

رﺎ

ل

ﷲا

,

أ

و

د

,

و

ﻜﱢ

أ

آ

ا

ا

م

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

) :

أ

ﱢد

؟

(

:

.

لﺎ

ر

ل

ﷲا

ﷲا

و

) :

ا

ا

و

(

لﺎ

أ

ﷲا

ا

سﺎ

)

ىرﺎ ا

اور

(

28

Artinya: “Dikatakan Azhar Ibnu Jamil, dikatakan Abdul Wahab Tsaqafi, dikatakan Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas r.a. Sesungguhnya isteri Tsabit bin Qais datang menghadap Nabi Saw, seraya berkata : Ya Rasulullah, Tsbit bin Qais itu tidak ada yang saya cela akhlaknya dan agamanya. Akan tetapi, saya tidak mau kufur dalam Islam.29 Lalu Rasulullah Saw, bersabda :Apakah kamu mau mengembalikan kebunnya ? Dia menjawab: Ya, Lalu Rasulullah Saw, bersabda: terimalah kebun itu dan talaqlah isterimu satu kali.” Dikatakan Abu Abdillah mengikuti padanya dari Ibnu Abbas. (HR.Bukhari)

28

Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Beirut: Darr Al-Fikr, 1994), Juz.ke-3, h. 208-209

29

(39)

B. Akibat Hukum dan Hikmah Perceraian

1.

Akibat Hukum Perceraian

a. Akibat terhadap anak

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 105, dijelaskan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Untuk anak yang sudah mumayyiz hak pengasuhannya diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih di antara ayah atau ibunya. Selain itu, biaya pemeliharaan ditanggug oleh ayahnya.30

b. Akibat terhadap masa iddah

Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.31 Untuk seorang janda waktu tunggunya ditentukan sebagai berikut:32

• Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari (seratus tiga puluh hari);

• Apabila perkawinan putus karena peceraian, waktu tunggu yang masih haid

ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (Sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (Sembilan puluh) hari, • Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam

keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;

30

KHI, h.52-53

31

KHI pasal 153 ayat (1)

32

(40)

• Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam

keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinannya karena perceraian sedang janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang dalam menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid. Dalam hal keadaan isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.33

c. Akibat terhadap nafkah

Dalam hal nafkah, Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149 menjelaskan, bilamana perkawinannya putus karena talak, maka bekas suami wajib:

• Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau

benda, kecuali isteri tersebut qobla al dukhul;

• Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama masa iddah,

kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;

33

(41)

• Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;

• Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur

21 tahun.

2.

Hikmah Perceraian

Meski Allah dan rasul-Nya membenci perceraian namun membolehkannya, karena di dalamnya mengandung manfaat atau hikmah yang bisa diambil dari pasangan suami isteri yang menganggap perceraian lebih baik bagi mereka.

Walaupun talak itu itu dibenci terjadi dalam suatu rumah tangga, namun sebagai jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh dilakukan. Hikmah dibolehkannya talak yaitu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukkan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga rumah tangga akan menimbulkan mudarat kepada kedua belah pihak dan orang di sekitarnya. Dalam rangka menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian, talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.34 Dengan kata lain hikmahnya adalah melepaskan pergaulan suami isteri yang tidak terdapat lagi kerukunan hidup berumah tangga dan juga untuk menghindari mafsadat yang lebih buruk.35

34

Amir Syarifuddin, Op., Cit., h.201

35

(42)

Adapun hikmah dari khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami isteri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan isterinya menggunakan cara talak, isteri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’. Hal ini didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh isterinya, kecuali dengan cara lain.36

C. Perbedaan Cerai Gugat dan Permohonan Cerai

Di dalam perundang-undangan dijelaskan ada pembedaan terhadap perkara perceraian, yaitu cerai talak dan cerai gugat. Hal ini disebabkan karena karakteristik hukum Islam menghendaki demikian. Sehingga proses atas kehendak suami berbeda dengan proses atas kehendak isteri.

Ada dua bentuk perkara perceraian di Pengadilan Agama, yaitu (1) perkara permohonan (voluntair) dan (2) perkara gugatan (kontensius). Perkara voluntair ialah perkara yang sifatnya permohonan dan di dalamnya tidak terdapat sengketa, sehingga tidak ada lawan. Pada dasarnya perkara permohonan tidak dapat diterima, kecuali kepentingan undang-undang menghendaki demikian. Sedangkan perkara kontensius ialah perkara gugatan/permohonan yang di dalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak. Perkara ijin ikrar talak meskipun dengan istilah permohonan, tetapi karena mengandung sengketa maka termasuk perkara kontensius.37

36

Ibid, h.234

37

(43)

Yang dimaksud dengan cerai talak (permohonan cerai) adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131 Kompilasi Hukum Islam (KHI).38 Dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 66 ayat 1 diterangkan bahwa pengertian cerai talak yaitu : “Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”. Dengan demikian, apabila suami hendak mengucapkan ikrar talak, ia tidak mengajukan gugatan cerai melainkan mengajukan permohonan ijin untuk mengucapkan ikrar talak.39 Pengadilan Agama akan menilai, apakah sudah selayaknya suami mentalak isterinya dengan melihat alasan-alasan sehingga terciptalah suatu perceraian yang baik, sebagaimana yang dikehendaki oleh agama Islam.

Sedangkan cerai gugat ialah perceraian suami isteri yang inisiatif perceraiannya itu berasal dari isteri.40. Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 73 ayat (1), diterangkan bahwa: “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat”. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 132 ayat (1) dinyatakan “gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya, pada

38

A. Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN JKT, 2006), h. 65

39

A. Mukti Arto, Op., Cit, h. 202-203

40

(44)

Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami”.

Dalam perkara cerai gugat ini, maka isteri tidak mempunyai hak untuk menceraikan suami. Dan oleh sebab itulah ia harus mengajukan gugatan untuk bercerai dan hakim yang akan memutuskan perkawinan dengan kekuasaannya.41 Pada pasal 73 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama tersebut telah menetapkan secara permanen bahwa dalam perkara cerai gugat yang bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat adalah “isteri”. Pada pihak lain, “suami” di tempatkan sebagai pihak tergugat. Dengan demikian, masing-masing telah mempunyai jalur tertentu dalam upaya menuntut perceraian. Jalur suami melalui upaya cerai talak sedangkan jalur isteri melalui upaya cerai gugat.

Perkara cerai gugat jika dihubungkan dengan tata tertib beracara yang diatur dalam hukum acara benar-benar murni bersifat “contentiosa”, ada sengketa yakni sengketa perkawinan yang menyangkut perkara perceraian. Ada pihak-pihak yang sama-sama berdiri sebagai subjek perdata. Isteri sebagai penggugat dan suami sebagai tergugat.42

Di dalam PP No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di dalam pasal 20 ayat (1) dijelaskan:” gugatan perceraian

41

A. Mukti Arto, Op., Cit, h. 203

42

(45)

diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat”.43

Akibat hukum dari cerai gugat ini adalah jatuh talak ba’in shugro. Produk putusannya adalah dengan petitum;

1. Menerima dan mengabulkan gugatan penggugat

2. Menetapkan jatuh talak 1 (satu) bai’in shugro dari tergugat kepada penggugat

3. Memberitahukan Panitera Pengadilan Agama untuk mengirimkan salinan putusan itu setelah berkekuatan hukum tetap kepada Pejabat Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama yang mewilyahi tempat kediaman penggugat dan tergugat dilangsungkan, untuk dicatat ke daftar yang disediakan untuk itu.

4. Menetapkan biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.44 D. Prosedur Administrasi Cerai Gugat

Dalam cerai gugat, isteri atau kuasa hukumnya mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal isteri sebagai penggugat. Kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami. Jika isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami maka gugatan harus ditujukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat kediaman suami. Gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri harus

43

Gugatan perceraian dimaksud dapat dilakukan oleh seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dan oleh seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama Islam

44

(46)

mencantumkan alasan yng menjadi dasar gugatannya dan harus pula dilengkapi dengan persyaratan berikut:

1. Kartu Tanda Penduduk (KTP)

2. Surat keterangan untuk cerai dari Kepala Desa/Lurah 3. Kutipan Akta Nikah

4. Membayar uang muka biaya perkara menurut peraturan yang berlaku

5. Surat izin cerai dari atasan atau kesatuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Polisi Republik Indonesia (POLRI).

Pengadilan agama yang bersangkutan akan memeriksa gugatan perceraian tersebut selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah surat gugatan perceraian didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama. Dalam pemeriksaan tersebut, hakim harus memanggil suami sebagai tergugat dan juga isteri sebagai penggugat untuk meminta penjelasan langsung dari kedua belah pihak dan hakim harus terus berupaya mendamaikan mereka pada setiap persidangan.

Apabila hakim berhasil mendamaikan suami isteri yang sedang berperkara itu, maka mereka tidak dapat lagi mengajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan yang sama. Akan tetapi apabila tidak berhasil mendamaikan mereka sehingga terdapat alasan kuat yang membolehkan perceraian, maka hakim menjatuhkan putusannya. Terhadap keputusan tersebut para pihak dapat mengajukan upaya banding dan kasasi.

(47)

membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada kutipan akta nikah itu bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera. Selanjutnya panitera Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai kepada suami isteri selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan cerai gugat itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Setelah itu, selambat-lambatnya 30 hari setelah putusan cerai gugat itu mempunyai kekuatan hukum tetap, panitera Pengadilan Agama berkewajiban pula mengirimkan satu helai salinan putusan cerai gugat tanpa bermaterai kepada penghulu yang wilayahnya meliputi tempat kediaman suami isteri untuk mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.

Setelah menerima satu helai salinan putusan cerai gugat di panitera Pengadilan agama, penghulu yang mewilayahi tempat tinggal isteri berkewajiban mendaftarkan perceraian tersebut dalam sebuah buku pendaftaran cerai gugat model C. Buku pendaftaran cerai tersebut harus ditandantangani oleh penghulu. Kemudian penghulu memasukkannya dalam data peristiwa terjadinya cerai gugat.

(48)

pada kolom akta nikah yang bersangkutan. Catatan itu berisi tempat dan tanggal kejadian perceraian serta tanggal dan nomor putusan Pengadilan tersebut.45

Ringkasnya prosedurnya adalah sebagai berikut: 1. Gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Agama

a. Cerai gugat dilakukan oleh seorang isteri yang perkawinannya dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam.

b. Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama (pasal 40 ayat 1 jo pasal 63 ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama setempat, yaitu wilayah tempat tinggal isteri. Surat gugatan yang didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Agama harus dilengkapi dengan perlengkapan-perlengkapan administrasi dan surat-surat. Termasuk diantaranya mereka yang hendak bercerai harus melampirkan surat keterangan dari kelurahan atau Kepala desa masing-masing.46

2. Pemanggilan Pihak-Pihak

a. Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa perceraian baik suami maupun isteri atau kuasa hukum mereka dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Hakim menanyakan kepada semua pihak-pihak yang berkaitan atau

45

A. Sutarmadi, Op., Ci t, h. 69-71

46

(49)

kepada wakilnya tentang segala sesuatu yang dianggap perlu untuk dapat menjatuhkan suatu putusan yang tepat.47

b. Panggilan dilakukan oleh juru sita/juru sita pengganti

c. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai di tempat tinggalnya, panggilan disampaikan melaui Lurah atau Kepada desa.

d. Panggilan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh yang bersangkutan atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum siding.

e. Panggilan terhadap para pihak yang tempat kediamannya berada di wilayah Pengadilan lain, dilakukan melalui Pengadilan Agama di tempat kediaman pihak yang dipanggil.

3. Pemeriksaan

a. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah berkas atau surat gugatan didaftarkan di Kepaniteraan. b. Pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup, demikian juga dalam memeriksa saksi-saksi (pasal 80 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan pasal 33 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).

4. Pembuktian

47

(50)

Jadi Hakim dalam proses perdata terutama harus menemukan dan menentukan peristiwanya atau hubungan hukumnya dan kemudian memperlakukan atau menerapkan hukumnya terhadap peristiwa yang telah ditetapkannya itu.48 Tentang alasan cerai gugat hakim harus membuktikan posita yang dijadikan alasan isteri untuk menggugat cerai suaminya. Posita yang dijadikan alasan tersebut harus dibuktikan dengan bukti-bukti tertulis maupun lisan ataupun lewat saksi-saksi yang dihadirkan.

5. Putusan

Pengadilan Agama setelah memeriksa gugatan cerai dan berkesimpulan bahwa: a. Isteri mempunyai alasan yang cukup untuk bercerai

b. Alasan-alasan tersebut telah terbukti

c. Kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan, maka Pengadilan Agama memutuskan bahwa gugatan cerai dikabulkan dengan suatu “putusan”. Putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam suatu gugatan perceraian apabila ternyata :

a. Penyebab perceraian itu timbul dari suami atau tidak dapat diketahui dengan pasti maka perkawinan diputuskan dengan talak ba’in.

b. Apabila penyebab perceraian itu timbul dari isteri maka perkawinan diputuskan dengan khulu’, sehingga isteri diwajibkan membayar tebusan khulu’ yang

48

(51)

besarnya dipertimbangkan oleh Hakim secara adil dan bijaksana. Terhadap putusan Hakim para pihak dapat mengajukan banding.

6. Biaya Perkara

(52)

BAB III

GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA PALEMBANG

A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Palembang49

Pengadilan Agama yang ada di Palembang merupakan bagian dari pengadilan yang ada di Indonesia dan tak dapat dipisahkan, dengan demikian tentu saja pengadilan ini memiliki latar belakang sejarah yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui, terutama para peneliti yang berkeinginan mengetahui tentang eksistensi dari Pengadilan Agama kelas I A Palembang, untuk itu pada BAB III ini akan diuraikan tentang sejarah Pengadilan Agama Palembang dan perkembangannya dari zaman kesultanan sampai saat reformasi sekarang ini.

1. Zaman Kesultanan Palembang

Palembang, yang menurut ungkapan De La Faille sebagai suatu kota khas Melayu kuno, yang terletak di tepi sungai Musi, tempat dimana Ogan dan Komering bermuara di dekat pulau Kemaro yang menjadi sebuah kesultanan ditahun 1675, yaitu di masa pemerintahan Ki Mas Hindi (1662-1706) yang bergelar Pangeran Ratu.

Walaupun dalam banyak catatan sejarah dinyatakan Islam masuk ke Palembang dari Demak dimulai dari tahun 1440, namun sejak timbulnya kesultanan Palembang itulah agama ini dapat tersebar secara rata keseluruh pedalamannya .

49

(53)

Pangeran Ratu sendiri di tahun 1681 memberi gelar dirinya sebagai Sultan Jamaluddin yang bermaksud penamaan itu sebagai suatu usaha untuk menampakkan identitas agamanya. Bahkan ditahun 1690, beliau disebut-sebut juga sebagai Sultan Ratu Abdurrahman.

Menurut sebuah tulisan Melayu di tahun 1822 yang dikutip oleh De Roo De La Faille, anggota Raad Van Indie ( Dewan Hindia Belanda) yang banyak membuat telaah ilmiah tentang permasalahan adat asli dengan kebijaksanaan pemerintahan Hindia Belanda, dalam tradisi kesultanan Palembang dikenal tentang empat “Mancanegara”, yaitu para pembesar negara yang mendampingi Sultan, seperti halnya “Catur Manggala” dalam tradisi Jawa.

Pembesar pertama ialah Pepatih, bergelar Pangeran Natadiraja yang memegang seluruh urusan kerajaan, baik di Ibukota maupun di daerah hulu sungai. Pembesar kedua ialah Pangeran Nata Agama, Kepala alim ulama yang mengadili hal-hal sesuai dengan hukum agama. Pembesar ketiga, Kyai Tumenggung Karta, bawahan pepatih yang melaksanakan tugas-tugas pengadilan menurut hukum adat di dalam negeri Palembang serta jajahannya. Putusan Tumenggung harus diperkuat oleh Sultan sebelum dilaksanakan. Adapun pembesar keempat, juga merupakan bawahan pepatih, ialah Pangeran Citra, kepala dari yang disebut “Pangalasan”, yaitu hulubalang-hulubalang Sultan yang bersenjata lengkap.

(54)

Pertama dari Pangeran Nata Agama yang berwenang dalam urusan-urusan keagamaan seperti perkawinan, kelahiran, kematian, kewarisan, perwalian, kelalaian atau pelanggaran terhadap hukum-hukum agama.

Kedua dari Kyai Tumenggung dalam memutuskan perkara-perkara pidana. Pembagian ini diakui oleh Van Sevenhoven yang pernah menjabat Komisaris Raad Van Indie.

Dari penjelasan diatas, terlepas dari kecenderungan banyak para ahli Belanda yang ingin memisahkan hukum adat dengan Islam, dapat ditarik kesimpulan berdasarkan wewenang mengadili dari Pangeran Nata Agama, maka lembaga seperti Peradilan Agama di Palembang sudah ada sejak abad ke 17, yaitu sejak terbentuknya kesultanan Palembang itu sendiri.

2. Masa Sesudah Hapusnya Kesultanan Palembang

Masa surutnya kesultanan Palembang boleh dikatakan di mulai ketika di tahun 1790 Belanda mengadakan perundingan dengan Sultan Mohammad Badaruddin untuk memaksa agar Sultan memenuhi kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kontrak dan melunasi hutang-hutang yang diberikan Pemerintah Batavia di tahun 1731 daan 1742 kepada neneknya Sultan Badaruddin Lemah Abang.

(55)

Walaupun demikian, lembaga Peradilan Agama yang menjadi wewenang dari Pangeran Nata Agama tetap berjalan. Tentu saja bukan sebagai aparat pemerintahan seperti di zaman Sultan, melainkan sebagai pejabat tradisional yang lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Penghulu, dengan wewenang yang lebih sempit meliputi urusan perkawinan, waris, hibah, waqaf, penentuan awal puasa dan hari raya.

Masih berjalannya fungsi Pangeran Nata Agama ini terbukti dari produk hukum tertua yang berhasil diketemukan berbentuk Penetapan Hibah.

3. Perubahan Nata Agama Menjadi Raad Agama

Tidak dapat dipastikan secara historigrafi kapan sebenarnya terjadi perubahan istilah dan wewenang dalam mengadili perkara-perkara di bidang agama dari Nata Agama yang di kepalai oleh seorang Pangeran Penghulu kepada Raad Agama yang di ketuai oleh Hoofd (kepala) Penghulu. Sebab walaupun dalam Memorandum Tentang Pengadilan Agama Di Seluruh Indonesia” disebut bahwa dasar dari Pengadilan Agama di beberapa daerah di Sumatera selain Sumatera Timur, Aceh dan Riau adalah pasal 12 Staatsblad 1932 No.80 tentang Pembentukan Pengadilan Agama yang mengandung ketentuan bahwa Hoofd Van Gewestelijk Bastuur yakni kepala daerah setempat mempunyai kekuasaan menunjuk: “godsdienstige rechters”50 untuk mengadili perkara-perkara di bidang agama. Namun pada kenyataannya di Palembang pada tahun 1906 telah ada produk hukum

50

(56)

Raad Agama berbentuk Penetapan Hibah, Penetapan Nomor :7/1906 tertanggal 28 April 1906 tentang Penetapan Hibah dengan formasi majelis yang di pimpin oleh seorang Hoofd Penghulu. Dengan bergantinya dari Nata Agama menjadi Raad Agama, berarti lembaga tersebut berada dibawah Peradilan Umum yang disebut Landraad dan pengangkatan Hoofd Penghulu sendiri sepenuhnya berada di tangan pemerintah kolonial Belanda.

Sampai dengan tahun 1918 Hoofd Penghulu pada Raad Agama Palembang adalah Sayid Abdurrahman, yang kemudian diganti oleh Kiagus Muhammad Yusuf di tahun 1919. Pada tanggal 19 Februari 1922, ditunjuk sebagai Hoofd Penghulu Kiagus Haji Nangtoyib bin Kiagus Haji Muhammad Azhari, yang bertugas sampai dengan tanggal 14 Februari 1942 yaitu sampai awal masa pendudukan Jepang

Pada masa pendudukan Jepang ini, hampir tidak ada perubahan yang berarti dalam bidang Tata Hukum di Indonesia, termasuk susunan kekuasaan peradilan, kecuali mengenai tata pemerintahan dan pergantian nama-nama badan peradilan.

(57)

Di Palembang sampai pada masa Proklamasi kemerdekaan, penghulu pada Tihoo Hoin atau Landraad51 tetap dipegang oleh Kiagus Haji Nangtoyib dengan tugas-tugas Sooryoo Hoin.

4. Ditengah Suasana Revolusi Kemerdekaan

Dalam suasana gejolak revolusi kemerdekaan, Mahkamah Syar’iyah di Palembang dibentuk pada tanggal 1 Agustus 1946 yang di ketuai oleh Ki H. Abubakar Bastary. Pembentukkan Mahkamah ini diakui sah oleh wakil Pemerintah Pusat Darurat di Pematang Siantar dengan kawatnya tanggal 13 Januari 1947.

Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama karena pecahnya clash (pendudukan) II dan Palembang jatuh kembali ke tangan pihak Belanda. Dengan sendirinya Mahkamah Syar’iyah yang baru lahir itu bubar karena Pemerintahan Militer Belanda lebih setuju bidang Peradilan Agama diletakkan di bawah kekuasaan Pengadilan Adat.52 Hal ini terbukti dari usaha mereka selain merestui berdirinya suatu Pengadilan Agama Islam yang lain dari Mahkamah Syar’iyah yang sudah ada, mereka juga membentuk pengadilan banding yang disebut “Rapat Tinggi” yang baru di Palembang.

Sesudah kedaulatan, atas instruksi Gubernur Sumatera Tengku Mohammad Hasan di bentuk Pengadilan Propinsi di Palembang pada tahun 1950 dengan ketuanya Ki. H. Abubakar Bastary. Pengadilan ini walaupun menyandang predikat Propinsi, bukanlah pengadilan tingkat banding. Terbukti dengan persetujuan

51

Lihat Daniel S.Lev, terj. Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum, (Jakarta: PT. Intermasa, t.th), h.34

52

(58)

Residen Palembang tanggal 25 September 1950 Nomor : A/14/9658, pengadilan ini mengadakan sidang keliling ke daerah Ogan Komering Ilir (OKI) sebanyak dua kali, ke daerah-daerah Ogan Komering Ulu (OKU) dan Lubuk Linggau masing-masing satu kali. Menurut catatan Ki. H. Abu Bakar Bastary, selama berdirinya pengadilan ini berhasil menyelesaikan sebanyak 228 perkara.

Seperti halnya Mahkamah Syar’iyah Palembang, Pengadilan Agama Propinsi ini pun tidaklah berumur panjang. Pada bulan Nopember 1951, atas perintah Kementerian Agama melalui Biro Peradilan Agama Pusat, Pengadilan ini dibekukan. Sebagai gantinya, Kementerian Agama mengaktifkan kembali secara resmi Pengadilan Agama Palembang sebagai lanjutan dari Raad Agama Palembang dengan Penetapan Menteri Agama No.15 Tahun 1952 tentang Kedudukan Kekuasaan Pengadilan Agama di kota Palembang53 dan menunjuk kembali Kiagus Haji Nangtoyib sebagai ketuanya.

Inilah Pengadilan Agama pertama di Sumatera yang diaktifir kembali secara resmi, sementara di tempat-tempat lain masih diperlukan pembicaraan-pembicaraan dengan pihak Kementerian Kehakiman.

Pada tahun 1955 Kiagus Haji Nangtoyib mulai menjalani masa pensiun dan digantikan oleh Ki. H. Abubakar Bastary.

53

(59)

5. Perkembangan sesudah PP. No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura54

Sebagai realisasi dari PP. No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura, pada tanggal 13 Nopember 1957 Menteri Agama mengeluarkan Penetapan Nomor 58 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Sumatera. Dengan demikian di Palembang di bentuk sebuah Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah yang mempunyai daerah hukum meliputi Kotamadya Palembang dan sebuah Pengadilan Agama Syar’iyah Propinsi yang juga berkedudukan di Palembang

Gambar

Tabel  3.1  Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Tabel  3.1  Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Tabel  3.1  Perkara perceraian yang diterima dan diputus pada Pengadilan Agama
Tabel 3.1 Perkara Perceraian Yang Diterima dan Diputus Pada Pengadilan Agama Palembang Tahun
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini terkait dengan fenomena meningkatnya jumlah kasus peceraian, kususnya cerai gugat di Pengadilan Agama Kota Jambi. Oleh karena itu melalui penelitian ini

Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat Pengadilan,dalam

Setelah persidangan dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum oleh ketua majelis, maka para pihak yang berperkara dipanggil masuk persidangan. Penggugat menghadap sendiri

Idaman Lain, sehingga pertengkaran tidak terbendung yang mengakibatkan (KDRT) Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pengadilan Agama adalah lembaga yang menampung dan

Pernikahan tetap dapat dilaksanakan oleh pasangan yang belum memenuhi syarat usia yang telah ditentukan, dengan mengajukan permohonan dispensasi nikah kepada Pengadilan

(Feminisme adalah keyakinan yang berasal dari Barat berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik antara.. 148 Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan

Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah karena salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat

Di Pengadilan Agama Lumajang jumlah cerai gugat lebih banyak hampir tiga kali lipat jumlah cerai talak dari kurun waktu bulan Januari 2020 sampai dengan bulan Juni 2020 terdapat