• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2013"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KOORDINASI DAN KOMPETENSI PENGELOLA PROGRAM TERHADAP KINERJA PENGELOLA PROGRAM PENANGGULANGAN

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA BINJAI TAHUN 2013

TESIS

Oleh

BAMBANG SULISTIAWAN 117032020/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH KOORDINASI DAN KOMPETENSI PENGELOLA PROGRAM TERHADAP KINERJA PENGELOLA PROGRAM PENANGGULANGAN

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA BINJAI TAHUN 2013

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

BAMBANG SULISTIAWAN 117032020/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PENGARUH KOORDINASI DAN

KOMPETENSI PENGELOLA PROGRAM TERHADAP KINERJA PENGELOLA PROGRAM PENANGGULANGAN

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA BINJAI TAHUN 2013

Nama Mahasiswa : Bambang Sulistiawan Nomor Induk Mahasiswa : 117032020

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Dra. Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc ) (Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

Ketua Anggota )

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 31 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr.Dra.Sitti Raha Agoes Salim, M.Sc Anggota : 1. Siti Kahdijah Nasution, S.K.M, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KOORDINASI DAN KOMPETENSI PENGELOLA PROGRAM TERHADAP KINERJA PENGELOLA PROGRAM PENANGGULANGAN

TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA DINAS KESEHATAN KOTA BINJAI TAHUN 2013

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan unutk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, keuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, September 2013

(6)

ABSTRAK

Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu program kesehatan yang menjadi prioritas, dan menjadi salah satu agenda Millenium Development Goals (MDGs). Angka insidens dan prevalensi TB paru cenderung berfluktuasi setiap tahunnya khususnya di Indonesia. Indonesia menempati urutan kelima tertinggi angkat kesakitan TB Paru pada regional Asia Tenggara. Indikator keberhasilan program TB Paru salah satunya dilihat dari kinerja petugas TB Paru di unit pelayanan kesehatan dasar. Demikian halnya dengan Kota Binjai, penyakit TB paru masih menjadi permasalahan kesehatan.

Penelitian ini merupakan penelitian survai analitik dengan pendekatan eksplanatory research yang dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh koordinasi, kompetensi pengelola program penanggulangan Tuberkulosis Paru di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas yang terlibat dalam program penanggulangan TB Paru dan sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu sebanyak 36 orang. Pengumpulan data meliputi data primer dengan menggunakan kuesioner, dan data sekunder dari catatan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Binjai. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%

Hasil penelitian menunjukkan kinerja pengelola program TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai 63,89% termasuk kurang, 52,8% keterampilan petugas termasuk kategori kurang, 55,56% memiliki pengetahuan yang kurang dan sikap kurang terhadap upaya penanggulangan TB paru, serta 69,44% petugas TB paru kurang melakukan koordinasi. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa variabel kompetensi merupakan variabel dominan memengaruhi kinerja petugas TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

Dapat disimpulkan bahwa kinerja petugas kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan koordinasi petugas kesehatan, artinya peningkatan pengetahuan, sikap yang baik, keterampilan yang baik dan koordinasi yang baik akan meningkatkan kinerja petugas program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

Disarankan agar perlu penguatan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan peningkatan koordinasi pengelola program TB Paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

(7)

ABSTRACT

The handling of Lung Tuberculosis is one of the prioritized health programs and becomes one of the Millennium Development Goals (MDGs) agendas. The rate of the incident and the prevalence of lung tuberculosis tend to be fluctuating each year, particularly in Indonesia. Indonesia ranks the highest fifth of lung tuberculosis in the Southeast Asia. The indicator of the success in the lung tuberculosis program can be seen from the performance of health workers who handle lung tuberculosis in the basic health service unit. Lung tuberculosis still becomes the health problem at Binjai.

The research was an analytic survey with an explanatory research type in order to analyze the influence of coordination and competence of the organizer of lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office, in 2013. The population was all 36 health workers who were involved in the lung tuberculosis program, and all of them were used as the samples. The data consisted of primary data which were gathered by using questionnaires and secondary data which were obtained from the medical records at Puskesmas (Public Health Center) and the Health Office at Binjai. The data were analyzed by using multiple logistic regression tests at the level of reliability of 95%.

The result of the research showed that the performance of the organizer of the lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office was insufficient (63.89%), the skill of the health workers was insufficient (52.8%), the knowledge and attitude of the health workers in handling lung tuberculosis were insufficient (55.56%), and coordination of the health workers in handling lung tuberculosis was also insufficient (69.44%) The result of statistical test showed that the variables of knowledge and attitude influenced the performance of the health workers. The result of multivatriate analysis showed that the variable of attitude had the most dominant influence on the performance of the health workers in handling lung tuberculosis in the working area of Binjai Health Office.

It could be concluded that the performance of the health workers was influenced by their knowledge, attitude, skill, and coordination. It meant that good knowledge, good attitude, good skill, and good coordination would improve the performance of the health workers in the lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office.

It is recommended that knowledge, attitude, skill, and coordination of the organizer of lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office should be improved.

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis panjatkan puji dan syukur yang tiada henti dan tak terhingga kepada Allah SWT atas berkah dan rahmat serta pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Pengaruh Koordinasi dan Kompetensi Pengelola Program Terhadap Kinerja Pengelola Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2013”

Penyusunan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M.Kes) pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Proses penulisan tesis dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari banyak pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,

DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Y Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

6. Drs. Amru Nasution, M.Kes sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. dr. Heldy BZ, MPH sebagai komisi penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

8. Dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. dr. Melyani Bangun M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Binjai yang telah berkenan memberikan izin penulis melakukan penelitian di Puskesmas Kota Binjai.

10. Wasor (Wakil Supervisor) TB Dinas Kesehatan Kota Binjai yaitu Mukamil yang membantu memberikan data dan ikut survei ke Puskesmas.

(10)

Ucapan terima kasih paling istimewa penulis hadiahkan kepada orang tua tercinta, H. Muhammad Kusni dan Hj. Saini ,istri tercinta Jamilah, SKM dan anak-anak tersayang Fadhillah Ardhi Majid, Rafidah Farha dan Fairiza Ahza yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah putus kepada penulis.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

Medan, Juli 2013 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Bambang Sulistiawan, lahir pada tanggal 17 Maret 1975 di Stabat, anak

keempat dari empat bersaudara dari pasangan Ayahanda H. Muhammad Kusni dan

Ibunda Hj. Saini.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar (SD) Negeri No.

054901 Stabat, selesai tahun 1988, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1

Stabat, selesai tahun1991, Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK) Depkes RI

Medan , selesai tahun 1994, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Helvetia

Medan, selesai tahun 2008.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Hipotesis Penelitian ... 12

1.5 Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1 Program Penanggulangan TB Paru ... 14

2.2 Kinerja Petugas TB Paru ... 29

2.3 Manajemen P2 TB Paru ... 32

2.4 Koordinasi ... 34

2.5 Kompetensi Pengelola Program P2 TB Paru ... 37

2.6 Uraian Tugas Petugas Pengelola Program P2 TB Paru ... 45

2.7 Landasan Teori ... 51

2.8 Kerangka Konsep ... 54

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 55

3.1. Jenis Penelitian ... 55

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 55

3.3. Populasi dan Sampel ... 56

3.4. Variabel dan Definisi Operasional ... 56

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 59

3.6. Metode Pengukuran ... 61

(13)

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 64

4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 64

4.2. Karakteristik Petugas TB Paru ... 65

4.3. Analisis Univariat ... 67

4.3.1.Kompetensi Petugas TB Paru ... 67

4.3.2.Koordinasi Petugas TB Paru ... 75

4.3.3.Kinerja Petugas TB Paru ... 76

4.4. Analisis Bivariat ... 78

4.4.1.Hubungan Kompetensi Petugas TB Paru dengan Kinerja Petugas TB Paru ... 79

4.4.2.Hubungan Koordinasi Petugas TB Paru dengan Kinerja Petugas TB Paru ... 80

4.5. Analisis Multivariat ... 81

BAB 5. PEMBAHASAN ... 84

5.1. Karakteristik Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 84

5.2. Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 85

5.3. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 88

5.3.1.Pengaruh Pengetahuan Terhadap Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 89

5.3.2.Pengaruh Sikap Terhadap Kinerja Petugas TB di Kota Binjai ... 91

5.3.3.Pengaruh Keterampilan Terhadap Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 93

5.4. Pengaruh Koordinasi Terhadap Kinerja Petugas TB Paru di Kota Binjai ... 95

5.5. KeterbatasanPenelitian ... 97

BAB 6. KESIMPULAN ... 99

6.1. Kesimpulan ... 99

6.2. Saran ... 100

6.2.1.Bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai ... 100

6.2.2.Bagi Puskesmas di Kota Binjai ... 100

6.2.3.Penelitian Selanjutnya ... 100

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1.1 Deskripsi Cakupan Penanggulangan TB Paru ... . 4 2.1 Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru ... 22 3.1 Dimensi dan Indikator Variabel Penelitian ... 58

4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lokasi Bertugas Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 65 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Petugas

TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 66

4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Pengetahuan

Kategori Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 68

4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 ... 69 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Sikap

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 70

4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Sikap Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 71 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Keterampilan

Dokter sebagai Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 72

4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Keterampilan

Perawat sebagai Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 73

4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Keterampilan

(15)

4.10 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Keterampilan

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 74

4.11 Distribusi Frekuensi Responden Berdasakan Indikator Koordinasi

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 75 4.12 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Koordinasi Petugas

TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 76

4.13 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Indikator Kinerja

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 77 4.14 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kategori Kinerja

Petugas TB Paru di Kota Binjai Tahun 2013 … ... 78

4.15 Hubungan Kompetensi Petugas TB Paru dengan Kinerja Petugas TB

Paru di Kota Binjai Tahun 2013… ... 79

4.16 Hubungan Koordinasi Petugas TB Paru dengan Kinerja Petugas TB

(16)

DAFTAR GAMBAR

(17)

ABSTRAK

Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru) merupakan salah satu program kesehatan yang menjadi prioritas, dan menjadi salah satu agenda Millenium Development Goals (MDGs). Angka insidens dan prevalensi TB paru cenderung berfluktuasi setiap tahunnya khususnya di Indonesia. Indonesia menempati urutan kelima tertinggi angkat kesakitan TB Paru pada regional Asia Tenggara. Indikator keberhasilan program TB Paru salah satunya dilihat dari kinerja petugas TB Paru di unit pelayanan kesehatan dasar. Demikian halnya dengan Kota Binjai, penyakit TB paru masih menjadi permasalahan kesehatan.

Penelitian ini merupakan penelitian survai analitik dengan pendekatan eksplanatory research yang dimaksudkan untuk menganalisis pengaruh koordinasi, kompetensi pengelola program penanggulangan Tuberkulosis Paru di wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai tahun 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas yang terlibat dalam program penanggulangan TB Paru dan sekaligus menjadi sampel penelitian yaitu sebanyak 36 orang. Pengumpulan data meliputi data primer dengan menggunakan kuesioner, dan data sekunder dari catatan puskesmas dan Dinas Kesehatan Kota Binjai. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik berganda pada taraf kepercayaan 95%

Hasil penelitian menunjukkan kinerja pengelola program TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai 63,89% termasuk kurang, 52,8% keterampilan petugas termasuk kategori kurang, 55,56% memiliki pengetahuan yang kurang dan sikap kurang terhadap upaya penanggulangan TB paru, serta 69,44% petugas TB paru kurang melakukan koordinasi. Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa variabel kompetensi merupakan variabel dominan memengaruhi kinerja petugas TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

Dapat disimpulkan bahwa kinerja petugas kesehatan dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, keterampilan dan koordinasi petugas kesehatan, artinya peningkatan pengetahuan, sikap yang baik, keterampilan yang baik dan koordinasi yang baik akan meningkatkan kinerja petugas program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

Disarankan agar perlu penguatan pengetahuan, sikap, keterampilan, dan peningkatan koordinasi pengelola program TB Paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

(18)

ABSTRACT

The handling of Lung Tuberculosis is one of the prioritized health programs and becomes one of the Millennium Development Goals (MDGs) agendas. The rate of the incident and the prevalence of lung tuberculosis tend to be fluctuating each year, particularly in Indonesia. Indonesia ranks the highest fifth of lung tuberculosis in the Southeast Asia. The indicator of the success in the lung tuberculosis program can be seen from the performance of health workers who handle lung tuberculosis in the basic health service unit. Lung tuberculosis still becomes the health problem at Binjai.

The research was an analytic survey with an explanatory research type in order to analyze the influence of coordination and competence of the organizer of lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office, in 2013. The population was all 36 health workers who were involved in the lung tuberculosis program, and all of them were used as the samples. The data consisted of primary data which were gathered by using questionnaires and secondary data which were obtained from the medical records at Puskesmas (Public Health Center) and the Health Office at Binjai. The data were analyzed by using multiple logistic regression tests at the level of reliability of 95%.

The result of the research showed that the performance of the organizer of the lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office was insufficient (63.89%), the skill of the health workers was insufficient (52.8%), the knowledge and attitude of the health workers in handling lung tuberculosis were insufficient (55.56%), and coordination of the health workers in handling lung tuberculosis was also insufficient (69.44%) The result of statistical test showed that the variables of knowledge and attitude influenced the performance of the health workers. The result of multivatriate analysis showed that the variable of attitude had the most dominant influence on the performance of the health workers in handling lung tuberculosis in the working area of Binjai Health Office.

It could be concluded that the performance of the health workers was influenced by their knowledge, attitude, skill, and coordination. It meant that good knowledge, good attitude, good skill, and good coordination would improve the performance of the health workers in the lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office.

It is recommended that knowledge, attitude, skill, and coordination of the organizer of lung tuberculosis program in the working area of Binjai Health Office should be improved.

(19)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Agenda Millenium Development Goals (MDGs) menitik beratkan pada upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diindikasikan dari beberapa indikator pencapaian. Salah satu indikator tersebut upaya pemberantasan penyakit menular, seperti HIV AIDS, Tuberkulosis (TB) Paru dan jenis penyakit menular lainnya. Indikator tersebut ditetapkan karena penyakit menular seperti tuberkulosis paru masih menjadi masalah kesehatan secara global dengan angka insiden rate-nya cenderung berfluktuasi setiap tahunnya, dan secara epidemiologi masih menjadi prioritas penanggulangan dalam program-program kesehatan, termasuk di Indonesia.

Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012, mendeskripsikan bahwa untuk wilayah regional Asia Tenggara merupakan regional dengan kasus TB paru tertinggi yaitu sebesar 40%, diikuti regional Afrika 26%, Pasifik Barat 19%, dan terendah pada regional Eropa 3%. Pada regional Asia Tenggara, negara tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk, diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk.

(20)

penduduk), (3) Sulawesi Utara 1.221 per 100.000 penduduk, (4) Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk, dan (5) DKI Jakarta 1.032 per 100.000 penduduk. Berdasarkan komposisi penduduk, diketahui prevalensi TB paru paling banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk, penduduk yang bertempat tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok pendidikan yang tidak sekolah 1.041 per 100.000 penduduk), petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dan pada penduduk dengan tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, (2012), diketahui peningkatan angka penjaringan suspek mempunyai range 8-123 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan peningkatan angka penjaringan suspek tertinggi adalah Provinsi Maluku (123 per 100.000 penduduk) dan Provinsi Sumatera Utara (8 per 100.000 penduduk)

(21)

dengan dua slide positif sebanyak 132 kasus (289 per 100.000 penduduk), sedangkan kasus Basil Tahan Asam (BTA) positif pada penduduk dengan satu slide positif sebesar 189 kasus (415 per 100.000 penduduk).

Berdasarkan cakupan data Multi Drug Resistance (MDR), diketahui bahwa di Indonesia angka kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB Paru diantara kasus TB Paru baru sebesar 2%, sementara MDR diantara kasus pengobatan ulang sebesar 20% (Kemenkes RI, 2011). Keadaan ini menunjukkan bahwa secara nasional cakupan pengobatan TB Paru masih rendah, dan masih tingginya penderita TB Paru yang resisten terhadap Obat Anti TB Paru, sehingga akan berpotensi terhadap peningkatan penularan TB Paru.

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2012, diketahui penemuan kasus baru TB Paru (+) sebanyak 14.302 jiwa (68,86%), dan dari 33 Kabupaten/Kota tertinggi adalah Kota Gunung Sitoli (163,41%), dan terendah Kabupaten Karo yaitu 39,75%, dan angka kesembuhan sebesar 75,32%. Angka tersebut menunjukkan kasus TB paru di Provinsi Sumatera Utara masih tinggi.

(22)

23,7 per 100.000 penduduk dan angka prevalensi Tb Paru 57 per 100.000 penduduk, demikian juga jumlah kematian akibat Tb Paru sebesar 0,4 per 100.000 penduduk, meskipun secara epidemiologi, kasus TB paru menurun selama 2 (dua) tahun terakhir. Secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Deskripsi Cakupan Penanggulangan TB Paru Di Kota Binjai (2011-2012)

Keterangan Tahun

2011 2012 Target

Prevalens TB Paru (per 100.000 penduduk)

57 46 0

Insidens TB Paru (per 100.000 penduduk)

23,7 19,4 0

Penemuan Kasus TB Paru BTA (+)

34,99% 43,10% 90%

Angka Kesembuhan Penderita TB Paru

97,18 94,27% 88%

Angka Drop Out Pengobatan 2,82% 5,73% 0%

Kesalahan Pemeriksaan Laboratorium (%)

12,70% 7,10% <5%

Angka Kematian TB Paru (per 100.000 penduduk)

0,4 0,32 0

Jumlah Penduduk (jiwa) 248.458 252.652 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Binjai, 2012

(23)

Menyikapi tingginya insiden kasus TB Paru di Indonesia termasuk di Kota Binjai, Kementerian Kesehatan RI telah mencanangkan berbagai program penanggulangan TB paru yang dimaksudkan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, dan dengan target 88% penderita TB paru BTA Positif sembuh, cakupan penemuan kasus TB Paru dapat mencapai 90% dari semua penderita baru BTA Positif.

Kegiatan pada Program Penanggulangan (P2) TB Paru yaitu kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan tersangka TB paru dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu atau lebih. Kegiatan pendukung mencakup kegiatan penanganan logistik yaitu penanganan tersedianya OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan penanganan tersedianya reagensia di laboratorium. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis atau tersangka TB Paru dengan pasive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif) (Depkes RI, 2009a).

(24)

pelaksana program TB paru di Puskesmas adalah seluruh petugas yang sudah dilatih tentang program penanggulangan TB Paru yaitu dokter, perawat dan tenaga laboratorium untuk petugas di Puskesmas satelit dibutuhkan tenaga yang telah dilatih terdiri dari dokter dan perawat dan bagi Puskesmas pembantu cukup 1 orang perawat sebagai petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas tersebut mempunyai tugas masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya dalam penanggulangan kasus TB. Tanpa penemuan suspek maka program pemberantasan TB paru dari penemuan sampai pengobatan tidak akan berhasil, sehingga proses penemuan suspek TB paru oleh petugas sangat menentukan keberhasilan program. Proses ini akan berhasil apabila kompetensi yang mencakup pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan petugas baik.

Tenaga kesehatan merupakan sumber daya manusia kesehatan yang pada satu sisi adalah unsur penunjang utama dalam pelayanan kesehatan, pada sisi lain ternyata kondisi kualitas saat ini masih kurang. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan dalam membuat perencanaan pelayanan kesehatan serta sikap perilaku dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan yang terjadi, ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat, misalnya kemampuan menguasai seluruh tugas-tugas sesuai dengan kompetensinya. Hal ini dapat dilihat bahwa masih lemahnya tingkat kinerja aparatur pelayanan publik dalam pelayanan kesehatan, termasuk di Puskesmas dalam program penanggulangan TB Paru (Hutapea & Thoha, 2008).

(25)

juga merupakan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan kemampuan dan perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan. Dalam konteks sebuah sistem, kompetensi adalah merupakan aspek input dan proses dari kinerja suatu pekerjaan. Menurut Amstrong (1994) dalam Yuyun (2009) kompetensi didefinisikan mencakup karakteristik perilaku yang dapat menunjukkan perbedaan antara orang yang berkinerja tinggi yang dalam hal ini menyangkut prestasi kerja yang ditunjukkan oleh seseorang.

Prestasi kerja atau kinerja seseorang akan me-representatif-kan kinerja organisasi, sama halnya dengan kinerja petugas pelaksana program penanggulangan TB paru Puskesmas akan mencerminkan pencapaian atau keberhasilan program Penanggulangan TB Puskesmas bahkan mencakup kewilayahannya. Unsur lain yang mempunyai kontribusi dalam pencapaian program penanggulangan TB Paru adalah manajemen puskesmas yang meliputi perencanaan, koordinasi, pengorganisasian, dan evaluasi. Salah satu unsur penting dalam manajemen tersebut adalah koordinasi. Koordinasi adalah fungsi manajemen yang berkaitan dengan kerjasama sesama tim maupun lintas program dalam melakukan serangkaian kegiatan-kegiatan yang dalam program penanggulangan TB Paru.

(26)

dasar yang dapat mempengaruhi kinerja yaitu bersifat internal atau disposisional dan yang bersifat eksternal atau situasional. Faktor internal (disposisional) yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja seseorang baik disebabkan karena kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak berusaha untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal (situasional) yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan, seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi. Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang memengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat para karyawan memiki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan kepada tindakan.

(27)

kotribusi terhadap upaya pencapaian program penanggulangan TB Paru, demikian juga dengan penelitian Froniatin (2008) di Puskesmas Margadana Kota Tegal menemukan bahwa pelaksanaan manajemen program P2TB Paru Strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) belum sesuai dengan pedoman P2TB Paru Strategi DOTS. Pelaksanaan manajemen program Tuberkulosis Paru Strategi DOTS di Puskesmas Margadana Kota Tegal tidak sesuai dengan pedoman program P2TB Strategi DOTS.

Penelitian Wulandari D, Damayanti N.A dan Iwan S.B (2012) Di Kabupaten Madiun, menjelaskan bahwa koordinasi dalam program TB Paru sangat penting, hal ini berkaitan dengan upaya penemuan kasus TB Paru, supervisi dan evaluasi pelaksanaan pengobatan TB Paru. Pada pelaksanaannya sangat dibutuhkan kemampuan dari petugas TB untuk melakukan koordinasi dan komunikasi yang efektif baik sesama petugs TB maupun dengan penderita TB Paru. Upaya koordinasi yang diilakukan mengacu pada prosedur dan pengorganisasian program penanggulangan TB Paru di wilayahnya, dengan memperhatikan karakteristik daerah guna memudahkan seluruh kegiatan dalam program TB Paru.

(28)

Secara regulasi, P2 TB paru sudah ditetapkan dan menjadi prioritas program rutin Dinas Kesehatan Kota Binjai yang meliputi 8 (delapan) puskesmas induk, dan 18 (puskesmas) pembantu, namun pencapaian P2 TB Paru juga masih sangat rendah, hal ini diasumsikan karena rendahnya motivasi dan kompetensi petugas pelaksana P2 TB di seluruh puskesmas di Kota Binjai. Jumlah tenaga pelaksana P2 TB paru puskesmas rujukan medik sebanyak 3 (tiga) orang, puskesmas satelit sebanyak 2 orang dan puskesmas pembantu sebanyak 1 orang, hal ini menunjukkan secara kuantitas jumlah petugas dinilai sudah memadai, untuk mengakomodir 252.625 jiwa, namun secara faktual pencapaian P2 TB masih belum maksimal.

Berdasarkan hasil survai awal yang dilakukan peneliti pada tanggal 23 Februari 2012, diketahui bahwa dari lima petugas TB puskesmas yang peneliti wawancarai, mayoritas (60%) mengatakan bahwa tidak memahami secara keseluruhan prosedur tetap dalam penemuan kasus TB, umumnya petugas TB menyatakan tidak ada evaluasi rutin terhadap target penemuan kasus TB di setiap wilayah kerja puskesmas, dan mayoritas petugas TB juga tidak memahami tentang prosedur logistik obat anti TB dan tidak memahami cara menyusun rencana program penanggulangan TB paru sesuai tugasnya masing-masing.

(29)

kurangnya pemahaman petugas pembuatan sediaan sputum untuk diperiksa. Selain itu pada pengelola program juga masih ditemui tidak langsung membuat daftar suspek TB maupun penderita TB dalam buku register, sehingga berdampak terhadap pencatatan dan pelaporan kasus TB puskesmas. Berdasarkan aspek koordinasi, wawancara singkat dengan wakil supervisor TB, bahwa masih terbatasnya pertemuan rutin tentang pencapaian program TB puskesmas, namun hanya sebatas koordinasi jika ditemukan kasus TB, dan itupun berdasarkan laporan masyarakat yang mengantar suspek TB ke puskesmas, artinya koordinasi yang diciptakan bukan berdasarkan rencana kerja, namun bersifat mendadak, dan tidak terencana dengan baik. Kondisi ini juga disebabkan oleh minimnya pelatihan tentang TB Paru baik bagi petugas laboratorium, maupun petugas penemuan kasus, dan kalau pun ada hanya sekali dalam setahun dengan pelaksana Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, bukan terencana di Dinas Kesehatan Kota Binjai.

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pengaruh koordinasi dan kompetensi pengelola program terhadap kinerja pengelola program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

1.2. Permasalahan

(30)

Kesehatan Kota Binjai yang dilihat dari rendahnya cakupan pengobatan TB Paru, rendahnya cakupan penemuan kasus, tingginyanya kasus-kasus Drop Out pengobatan penderita TB paru, serta masih tingginya angka insiden dan prevalens kasus TB paru. Permasalahan lain adalah minimnya sumber daya manusia dari aspek kualitas, yang dilihat dari minimnya pendidikan dan pelatihan informal petugas kesehatan dalam upaya peningkatan penanggulangan TB paru, dan dari aspek manajemen salah satu faktor yang diasumsikan menyebabkan rendahnya cakupan keberhasilan program TB paru adalah rendahnya koordinasi dilintas internal Dinas Kesehatan Kota Binjai dan koordinasi antar unit dalam program penanggulangan TB Paru. Maka permasalahan dalam penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh koordinasi dan kompetensi pengelola program terhadap kinerja pengelola program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai”.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh koordinasi dan kompetensi pengelola program terhadap kinerja pengelola program penanggulangan TB paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai.

1.4. Hipotesis Penelitian

(31)

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah : 1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai

Bagi Dinas Kesehatan Kota Binjai menjadi masukan dalam rencana program kerja tahunan maupun triwulan dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan bagi penderita TB Paru di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai, khususnya dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pengelola program.

2. Bagi Puskesmas di Wilayah Dinas Kesehatan Kota

Bagi Puskesmas di Wilayah Dinas Kesehatan Kota menjadi masukan dalam menyusun rencana kerja secara teknis operasional dengan upaya peningkatan kualitas SDM pengelola program TB, guna mereduksi angka kesakitan TB paru dan meningkatkan cakupan pengobatan TB paru di wilayah kerjanya masing-masing di Kota Binjai.

3. Bagi Penelitian Berikutnya

(32)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru 2.1.1. Tuberkulosis Paru dan Klasifikasi TB Paru

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2009a).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi dalam 2 bagian yaitu ; (1) TBC paru BTA (Basil Tahan Asam) positif (sangat menular) yaitu sekurang-kurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak, memberikan hasil yang positif. Satu pemeriksaan dahak memberikan hasil yang positif dan foto rontgen dada menunjukkan TBC aktif; (2) TBC paru BTA negatif, yaitu pemeriksaan dahak hasilnya masih meragukan. Jumlah kuman yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi syarat positif dan hasil foto rontgen dada menunjukkan hasil positif (Depkes RI, 2009a).

2.1.2. Cara Penularan dan Risiko Penularan

(33)

langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 3.) Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 4.) Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Seseorang dapat terpapar dengan TB hanya dengan menghirup sejumlah kecil kuman TB. Penderita TB dengan status TB BTA positif dapat menularkan sekurang-kurangnya kepada 10-15 orang lain setiap tahunnya. Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB (Depkes RI, 2009a). Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negative. menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien. TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2.1.3. Gejala Klinis Pasien TB

(34)

bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.

Mengingat prevalensi TB Paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke Unit Pelayanan Kesehatan dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.1.4. Tujuan Penangulangan TB Paru

Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,sehingga penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah (1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 88% dari semua penderita baru BTA positif yang ditemukan,dan (2) tercapainya cakupan penemuan penderita secara bertahap sehingga pada tahun 2015 dapat mencapai 90% dari perkiraan semua penderita baru BTA positif, serta target ini diharapkan dapat menurunkan tingkat prevalensi dan kematian akibat TB hingga dan mencapai tujuan millenium development goal (MDG) pada tahun 2015

Kebijakan penanggulangan Tuberkulosis Paru mencakup:

(35)

perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana,tenaga, sarana dan prasarana).

2) Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS

3) Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program penanggulangan TB

4) Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya Multi Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB).

5) Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan lain serta Dokter Praktek Swasta (DPS). 6) Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerja sama dan

kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas TB) 7) Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan

untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.

8) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan kepada pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.

(36)

10)Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan terhadap TB.

11)Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.

12)Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium Development Goals (MDGs).

Sedangkan strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan program P2 TB paru adalah melalui (1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas, (2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan secara bertahap dan sistematis, (3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial, (4) kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan sumber daya, dan (5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan.

2.1.5. Kegiatan Program TB Paru

(37)

dengan passive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi yang aktif).

Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan, tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh. Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan (Biyanti, 2002)

Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10 mg/kgbb/hari.

Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh (WHO, 2006)

(38)

pengambil keputusan, termasuk dukungan dana, (b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c), kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d) Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) (WHO, 2000).

WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination (FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian obat, dan mengurangi efek samping (WHO, 2003).

2.1.6. Evaluasi Program Penanggulangan TB Paru

(39)

biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing. Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana maupun dengan masyarakat sasaran.

Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan benar. Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada indikator–indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur dan dapat dicapai.

(40)

seperti: Sahih (valid), Sensitif dan Spesifik (sensitive and specific), Dapat dipercaya (realiable), Dapat diukur (measureable), Dapat dicapai (achievable).

2.1.7. Indikator Keberhasilan Program TB Paru

[image:40.612.118.534.308.669.2]

Berdasarkan serangkaian kegiatan penanggulangan Tuberkulosis Paru yang meliputi pencegahan, penemuan kasus dan pengobatan, maka berikut dapat dijabarkan indikator keberhasilan Program TB paru, pada tabel berikut:

Tabel 2.1. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru

No Indikator Sumber

Data Waktu

Pemanfaat Indikator

UPK Kab/

Kota Prop

insi Pu sat

1. Angka Penjaringan Suspek

Daftar suspek Data Kependudukan

Triwulan    

2. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa dahaknya Daftar suspek Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan

Triwulan    

3. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara seluruh pasien TB paru

Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan

Triwulan    

4. Proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Penemuan

Triwulan    

5. Angka Konversi Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Konversi

Triwulan    

6. Angka Kesembuhan Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan Hasil Pengobatan

Triwulan    

7. Kesalahan laboratorium

Laporan Hasil Uji Silang

(41)

Tabel 2.1. (Lanjutan)

No Indikator Sumber

Data Waktu

Pemanfaat Indikator

UPK Kab/

Kota Prop

insi Pu sat

8. Angka Notifikasi Kasus

Laporan Penemuan Data Kependudukan

Tahunan    

9. Angka Penemuan Kasus

Laporan Penemuan data perkiraan jumlah pasien baru BTA positif

Tahunan -   

10. Angka Keberhasilan Pengobatan Kartu Pengobatan Register TB Kab/Kota Laporan hasil Pengobatan

Tahunan    

Sumber : Kemenkes (2011)

Adapun penjelasan dari seluruh indikator tersebut adalah: 1) Angka Penjaringan Suspek :

Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya diantara 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu dalam 1 tahun. Angka ini digunakan untuk mengetahui akses pelayanan dan upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).

[image:41.612.182.455.525.593.2]
(42)

2) Proporsi Pasien TB BTA Positif Diantara Suspek.

Proporsi Pasien BTA (+) adalah persentase pasien BTA positif yang ditemukan diantara seluruh suspek yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek.

3) Proporsi Pasien TB Paru BTA Positif Diantara Semua Pasien TB Paru Tercatat. Adalah persentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang diobati.

(43)

4) Proporsi Pasien TB Anak Diantara Seluruh Pasien TB

Adalah persentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB Tercatat dengan rumus:

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.

5) Angka Konversi (Conversion Rate)

Angka konversi adalah persentase pasien TB paru BTA positif yang mengalami konversi menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. Angka konversi dihitung tersendiri untuk tiap klasifikasi dan tipe pasien, BTA postif baru dengan pengobatan kategori-1, atau BTA positif pengobatan ulang dengan kategori-2. Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat kecenderungan keberhasilan pengobatan dan untuk mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.

(44)

Angka minimal yang harus dicapai adalah 80 %. Angka konversi yang tinggi akan diikuti dengan angka kesembuhan yang tinggi pula. Selain dihitung angka konversi pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka konversi untuk pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan dengan kategori dua.

6) Angka Kesembuhan (Cure Rate)

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Angka kesembuhan dihitung tersendiri untuk pasien baru BTA positif yang mendapat pengobatan kategori 1/pasien BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2. Angka ini dihitung untuk mengetahui keberhasilan program dan masalah potensial, dengan rumus:

(45)

kesembuhan pasien baru TB paru BTA positif, perlu dihitung juga angka kesembuhan pasien TB paru BTA positif yang mendapat pengobatan ulang dengan kategori dua. 7) Kesalahan Laboratorium

Indikator kesalahan laboratorium menggambarkan mutu pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung laboratorium pemeriksa pertama. Cara menilai kesalahan pembacaan sediaan, yaitu:

Hasil Pembacaan sediaan di UPK

Hasil Pembacaan di laboratorium uji silang Negatif 1-9 BTA/100

LP

1+ 2+ 3+

Negatif Benar KKNP KBNP KBNP KBNP

1-9 BTA/100 LP KKPP Benar Benar KG KG

1+ KBPP Benar Benar Benar KG

2+ KBPP KG Benar Benar Benar

3+ KBPP KG KG Benar Benar

Keterangan :

Benar : Tidak ada kesalahan

KG : Kesalahan Gradasi Kesalahan Kecil

KKNP : Kesalahan Kecil Positif Palsu Kesalahan Kecil KBNP : Kesalahan Besar Negatif Palsu Kesalahan Besar KBPP : Kesalahan Besar Positif Palsu Kesalahan Besar KG adalah perbedaan baca pada sediaan positf yaitu minimal 2 gradasi.

Kesalahan yang tidak dapat diterima ádalah sebagai berikut: 1. Setiap kesalahan besar negatif palsu (KBNP)

(46)

Pada dasarnya kasalahan laboartorium dihitung pada masing-masing laboratorium pemeriksa, di tingkat kabupaten/kota. Kabupaten/kota harus menganalisa jumlah laboratorium pemeriksa yang ada di wilayahnya yang melaksanakan uji silang, disamping menganalisa kesalahan pembacaan sediaan setiap laboratorium baik pada PRM/PPM/RS/BP4 maupun UPK yang lain, supaya dap atmengetahui mutu pemeriksaan sediaan dahak secara mikroskopis. Bagi laboratorium yang memiliki kesalahan yang tidak dapat diterima, maka perlu dilakukan tindakan perbaikan.

8) Angka Notifikasi Kasus (Case Notification Rate = CNR)

Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari tahun ke tahun di wilayah tersebut, dengan rumus:

Angka ini berguna untuk menunjukkan "trend" atau kecenderungan meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.

9) Angka Penemuan Kasus (Case Detection Rate = CDR)

(47)

jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut. Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien baru BTA positif pada wilayah tersebut,dengan rumus:

Target Case Detection Rate Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional minimal 90%.

10) Angka Keberhasilan Pengobatan

Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan persentase pasien TB BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien TB BTA positif yang tercatat. Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan angka pengobatan lengkap.

2.2. Kinerja Petugas TB Paru

(48)

secara menyeluruh untuk memenuhi kebutuhan yang ditetapkan dari setiap kelompok yang berkenaan melalui usaha-usaha yang sistematik dan meningkatkan kemampuan organisasi secara terus menerus untuk mencapai kebutuhannya secara efektif.

Menurut Nawawi (1997) kinerja adalah hasil pelaksanaan suatu pekerjaan baik bersifat fisik (material) maupun non fisik (non material) dalam suatu tenggang waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja adalah prestasi kerja karena diartikan sebagai hasil pelaksanaan pekerjaan dalam periode tertentu merupakan prestasi yang dicapai oleh karyawan terhadap target atau sasaran yang telah ditentukan dengan berbagai persyaratannya, yang dibebankan kepada karyawan tersebut, dan untuk mengetahui prestasi atau hasil yang telah dicapai oleh karyawan tersebut, tentunya harus dilaksanakan penilaian kinerja, yaitu dengan membandingkan kinerja aktual dengan standar-standar yang telah ditetapkan.

Dari beberapa pengertian diatas, disimpulkan bahwa kinerja adalah proses yang dilakukan dan hasil yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan suatu fungsi pekerjaan dalam suatu periode waktu tertentu. Dengan demikian indikator pengukuran kinerja dapat dikembangkan dari hasil yang dicapai (kinerja hasil) dan proses dalam mencapai hasil (kinerja proses).

Menurut Ilyas (2001) yang mengutip pendapat Gibson (1987) ada tiga faktor yang memengaruhi kinerja seseorang, yaitu faktor individu, faktor psikologis dan organisasi.

(49)

yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu.

2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur. 3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu

terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan.

Menurut Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2003) indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan dengan dikategorikan dalam beberapa kelompok antara lain :

a. Masukan (input) adalah sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, dan lain sebagainya.

b. Keluaran (output) adalah sesuatu berupa produk /jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dari program berdasarkan masukan yang digunakan.

(50)

seberapa jauh setiap oleh masyarakat produk / jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat.

d. manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat,dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik.

e. Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh capaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan.

Indikator – indikator tersebut secara langsung atau tidak langsung dapat mengidentifikasikan sejauh mana keberhasilan pencapaian sasaran. Penetapan indikator harus didasarkan pada perkiraan yang nyata dengan memperhatikan tujuan dan sasaran yang ditetapkan serta data dana pendukung yang harus diorganisasi. Indikator kinerja yang dimaksud hendaknya 1) spesifik dan jelas, 2) dapat diukur secara objektif, 3) relevan dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai,dan 4) tidak bias.

2.3. Manajemen P2 TB Paru

(51)

bekerja sama dan bekerja secara ikhlas serta bergerak untuk mencapai tujuan. Pemantauan adalah pengamatan terus menerus terhadap masukan, waktu pelaksanaan kegiatan P2 TB dan masalah – masalah yang timbul serta upaya mengatasinya. Pengendalian merupakan kegiatan untuk mengikuti kemajuan pelaksanaan kegiatan P2TB agar sesuai dengan rencana yang telah dibuat sebelumnya. Hal ini dilakukan oleh petugas TB dengan cara melakukan supervisi ke unit pelayanan kesehatan. Evaluasi atau penilaian merupakan suatu cara yang sistematis untuk memperbaiki kegiatan – kegiatan yang sedang berjalan serta untuk meningkatkan perencanaan yang lebih baik dengan menyeleksi alternatif – alternatif tindakan yang akan datang.

Evaluasi program dapat dilakukan pada setiap tahap pelaksanaan program. Evaluasi secara umum dibedakan atas tiga jenis yaitu:

a. Evaluasi pada tahap awal program

Evaluasi ini dilakukan pada saat merencanakan program. Evaluasi ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa rencana yang disusun benar – benar sesuai dengan masalah yang ditemukan.

b. Evaluasi pada tahap pelaksanaan

Evaluasi ini dilakukan pada saat program dilaksanakan dan mempunyai tujuan utama yaitu mengukur apakah program yang sedang dilakukan tersebut telah sesuai dengan rencana atau tidak, apakah terjadi penyimpangan– penyimpangan. c. Evaluasi pada tahap akhir program

(52)

program yaitu: memperbaiki manajemen program, mempertimbangkan penyediaan dana, memperluas cakupan program, mengetahui hasil program, sebagai alat untuk memperbaiki kebijaksanaan pelaksanaan program dan perencanaan program yang akan datang. Hasil evaluasi akan memberikan pengalaman mengenai hambatan atau pelaksanaan program yang lalu, dan selanjutnya dipergunakan untuk memperbaiki kebijaksanaan dan pelaksanaan program yang akan datang.

2.4. Koordinasi

Salah satu unsur penting dalam manajemen pelaksanaan program kesehatan seperti program penanggulangan TB paru adalah koordinasi. Menurut Robbin (2006) koordinasi adalah pengetahuan sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mengusahakan tercapainya suatu tujuan bersama, sedangkan menurut Sondang (2006) lebih lanjut menekankan bahwa koordinasi dalam suatu organisasi akan tercapai melalui (1) Konfirmasi lengkap, (2) Pertemuan berkala, (3) Pembentukan panitia gabungan, (4) Wawancara dengan bawahan/pihak terlibat, dan (5) Memorandum berantai.

(53)

penyesuaian bersama. Penyesuaian bersama juga disebut integrasi horisontal, melibatkan susunan struktural dan integrasi proses, yang didasarkan pada pemahaman bersama ( Robbin, 2006).

Hasibuan (2006) berpendapat bahwa: “Koordinasi adalah kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan unsur-unsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi”. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidang-bidang fungsional) pada suatu organisasi untuk mencapai tujuan secara efisien dan efektif (Handoko 2003).

Menurut G.R Terry dalam Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi adalah suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat, dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan.

(54)

koordinasi secara efektif maka ada beberapa manfaat yang didapatkan. Handoko (2003) berpendapat bahwa Adapun manfaat koordinasi antara lain:

a. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan terlepas satu sama lain, antara satuan-satuan organisasi atau antara pejabat yang ada dalam organisasi.

b. Menghindari suatu pendapat atau perasaan bahwa satuan organisasi atau pejabat merupakan yang paling penting.

c. Menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan antara bagian dalam organisasi.

d. Menghindari terjadinya kekosongan pekerjaan terhadap suatu aktifitas dalam organisasi.

e. Menimbulkan kesadaran diantara para pegawai untuk saling membantu.

Hasibuan (2006) berpendapat bahwa koordinasi penting dalam suatu organisasi, yakni:

a. Untuk mencegah terjadinya kekacauan, percecokan, dan kekembaran atau kekosongan pekerjaan.

b. Agar orang-orang dan pekerjaannya diselaraskan serta diarahkan untuk pencapaian tujuan perusahaan.

c. Agar sarana dan prasarana dimanfaatkan untuk mencapai tujuan.

d. Supaya semua unsur manajemen dan pekerjaan masing-masing individu pegawai harus membantu tercapainya tujuan organisasi.

(55)

2.5. Kompetensi Pengelola Program P2 TB Paru

Kompetensi adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan atau melakukan suatu pekerjaan atau tugas yang dilandasi atas keterampilan dan pengetahuan serta didukung oleh sikap kerja yang dituntut oleh pekerjaan tersebut (Wibowo, 2008). Ruky (2003) mengutip pendapat Spencer & Spencer dari kelompok konsultan Hay & Mac Ber bahwa kompetensi adalah “an underlying characteristic of an individual that is casually related to criterion – referenced effective and/or superior performance in a job or situation” (karakteristik dasar seseorang yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, membuat generalisasi terhadap segala situasi yang dihadapi, serta bertahan cukup lama dalam diri manusia)

Menurut Boyatzis (Thoha, 2008), kompetensi didefenisikan sebagai “kapasitas yang ada pada seseorang yang bisa membuat orang tersebut mampu memenuhi apa yang diisyaratkan oleh pekerja dalam suatu organisasi sehingga orang tersebut mampu mencapai hasil yang diharapkan Kompetensi adalah kemampuan dan karakter yang harus dimiliki oleh seorang pegawai negeri sipil berupa pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan dalam pelaksanaan tugasnya secara profesional, efektif dan efisien (Depkes, 2008).

Ada lima karakteristik dasar yang mempengaruhi kompetensi seseorang, menurut Spencer dan Spencer (Thoha, 2008), yaitu:

(56)

laku seperti mengendalikan, mengarahkan, membimbing dan memilih untuk menghadapi kejadian atau tujuan tertentu.

2) Traits, adalah naluri yang secara konsisten dapat memberikan respon yang cepat dan tepat terhadap keadaan atau informasi yang diterima, atau karakteristik fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap informasi atau situasi tertentu.

3) Self concept, adalah sikap perilaku, sistem nilai atau persepi diri atau imajinasi seseorang yang dianut dan dipercayai dapat menguatkan dan meyakinkan sesuai dengan harapannya, serta dapat menuntun menjadi individu yang efektif diberbagai lingkungan kerja, jika keyakinan tersebut didukung rasa percaya diri yang besar.

4) Knowledge, yaitu sekumpulan informasi dan pengetahuan yang dimiliki seseorang dalam bidang tertentu.

5) Skill, adalah kemampuan untuk mengerjakan atau menyelesaikan tugas – tugasfisik atau mental tertentu secara nyata dilakukan.

(57)

penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam suatu pekerjaan atau perusahaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja yang disyaratkan.

2.5.1 Pengetahuan (Knowledge)

(58)

orang melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Menurut Roger (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, maka dalam diri orang tersebut telah terjadi proses yang berurutan yaitu : (1) Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus atau objek. (2) Interest yaitu merasa tertarik terhadap suatu stimulus. (3) Evaluation yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut terhadap dirinya. (4) Trial dimana subjek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus. (5) Adoption yaitu dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu :

(59)

dipelajari antara lain : menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

2) Memahami (comprehension), suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau mengerti harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.

3) Aplikasi (application), kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. Misalnya dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus pemecahan masalah (problem solving cycle) didalam pemecahan masalah kesehatan dari kasus yang diberikan.

4) Analisis (analysis), suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja; dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokan dan sebagainya.

(60)

meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.

6) Evaluasi (evaluation), kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2.5.2 Sikap (Attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang sifatnya masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata menunjukan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu, dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Menurut Notoatmodjo (2008) bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi baru merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi yang sifatnya masih tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka dan tingkah laku yang terbuka.

(61)

penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berfikir, keyakinan dan emosional memegang peranan yang sangat penting. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu : 1) Menerima (Receiving), diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek).

2) Merespons (Responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang tersebut telah menerima ide.

3) Menghargai (Valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4) Bertanggungjawab (Responsible), bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi. 2.5.3 Keterampilan atau Tindakan (Practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (over behaviour). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Ada empat tingkatan dalam praktik atau tindakan, yakni :

(62)

2) Respon terpimpin (Guided Respons), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua. 3) Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan

benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.

4) Adaptasi (adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recal). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden. Keterampilan adalah kemampuan dan penguasaan teknis operasional mengenai bidang tertentu yang bersifat kekaryaan, ber

Gambar

Tabel 1.1. Deskripsi Cakupan Penanggulangan TB Paru Di Kota Binjai (2011-2012)
Tabel 2.1. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru
Tabel 2.1. (Lanjutan)
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 5.5 Diagram pie berdasarkan tipe penderita pada penderita TB Paru di Dinas Kesehatan Kota Tanjung Balai tahun 2017 Berdasarkan gambar 5.5 dapat dilihat bahwa

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh status gizi pendek terhadap kejadian TB paru pada balita di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota Depok setelah di kontrol dengan variabel