MASALAH DAN BERPIKIR KRITIS SISWA KELAS VIII1 SMP NEGERI 1 SIANJUR MULAMULA MELALUI
MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN METAKOGNISI
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Pada
Program StudiPendidikan Matematika
OLEH:
GUBEL SIMANJORANG NIM. 8106172030
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
i ABSTRAK
Gubel Simanjorang. Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII1 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Metakognisi. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan. 2016.
Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk meningkatkan kemampaun pemecahan masalah siswa dengan pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, (2) Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah, dan (3) Untuk mendeskripsikan keefektifan penerapan pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatanmetakognisi. Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII1 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula yang berjumlah 30 orang siswa. Objek dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis melalui penerapan pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah meningkat sebesar 10%. Hal ini dapat dilihat dari hasil ketuntasan klasikal tes kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I diperoleh sebesar 70% dan perolehan ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 80%, (2) Kemampuan berpikir kritis siswa dengan pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah meningkat sebesar 16,67%. Hal ini dapat dilihat dari hasil ketuntasan klasikal tes kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus I diperoleh sebesar 63,33% dan perolehan ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 80%, dan (3) Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis siswa. Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis siswa.
ii
Gubel Simanjorang. Effort to improve the ability of Problem Solving and Critical Thinking Student Class VIII1 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula through Application of Problem Based Learning Model Approach Metacognition. Thesis. State University of Medan. Post Graduate Program. 2016.
The purpose of this study is (1) To improve the problem solving ability of students with the approach metacognition through the implementation of problem based learning, (2) To improve students' critical thinking with the approach metacognition through the implementation of problem based learning, (3) To describe the completeness solving skills problems and critical thinking skills of students with the approach of metacognition through the implementation of problem based learning, (4) to describe the students' response to the process of problem-based learning approach to metacognition, and (5) to describe the teacher's ability to manage learning for the implementation of problem-based learning approach metacognition progress. This research is a classroom action research. Subjects in this study were students of class VIII1 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula totaling 30 students. The object of this research is the the ability of problem-solving and critical thinking through the application of problem-based learning with the approach metacognition. The results showed that (1) ability of solving problems of students increased from the first cycle to the second cycle, (2) the results of critical thinking skills of students increased significantly from the first cycle to the second cycle, (3) Complete classical test problem solving ability mathematics student at cycle I obtained a 70% acquisition of classical completeness in cycle II reached 80%. And the classical completeness test students 'critical thinking skills of mathematics in the first cycle was obtained by 63.33% and the acquisition of classical completeness in cycle II reached 80%, (4) The results of students' response to problem-based learning with the approach metacognition showed a positive response, and (5) the ability of teachers to manage learning that are in either category. From these results, it can be concluded that the application of problem-based learning with the approach metacognition can enhance the problem solving and critical thinking of students.
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah menganugerahkan kasih dan rahmatNya sehingga penulis dapat mempersembahkan tesis ini kepada para pecinta dan pengembang ilmu pengetahuan, terkhusus para pendidik atau calon pendidik. Tesis ini berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kritis Siswa Kelas VIII1 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula mealalui Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Metakognisi”. Melalui karya tulis ini, penulis sudah berupaya seoptimal mungkin untuk memaparkan secara gamblang tentang peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis siswa yang diajar melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi.
Terima kasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu sejak mulai persiapan sampai selesainya penulisan tesis ini, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa yang senantiasa memberikan balasan atas amal baik kita masing-masing. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd selain Dosen Pembimbing I juga sebagai Direktur Pascasarjana Unimed yang sudah menjadi orangtua saya, telah mengorbankan waktu dan pikiran dalam membimbing penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
2. Prof. Dr. Pargaulan Siagian, M.Pd selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan masukan, arahan dan motovasi.
iv
Sekretaris Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan.
5. Para Bapak/Ibu Dosen di Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan
6. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan Program Studi Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Medan terkhusus Kelas B1 Angkatan XVIII. Dan terkhusus kepada sobat saya Andri Sitanggang, M.Pd, Marthin Sihombing, Purba Diamanson Purba, M.Pd, Daud Siagian, M.Pd, Sadar Rajagukguk yang telah banyak membatu penulisan dalam penyusunan tesis ini.
7. Bapak Edyson Simanihuruk selaku Kepala SMPN 1 Sianjur Mulamula, Gomgom Uli Basa Siahaan, S.Th, M.Pd selaku Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum, rekan-rekan guru terkhusus Guru Matematika Abangda Tondor Samosir, S.Pd, Namboru Hotmaria Simarmata, Hulahulai Tupa Maslin Nainggolan, S.Pd dan tim solid Pegawai TU: Leo Nadeak, Mr. Sarles Saragi, S.Kom, Naldes Simanjorang, dan itoku Ibu Sitohang, Ibu Sihombing yang telah membantu dan memfasilitasi penulis dalam melaksanakan penelitian.
8. Rekan-rekan dulu di Dinas Pendidikan Kabupaten Samosir terkhusus, dulunya satu Bidang di Pendidikan Luar Sekolah yaitu Pak Johansan Silalahi, Pak Ambittua Simbolon, SH, Jonner Manurung, S.Pd, Eva Leginah Sinurat, S.Pd dan Rosnelly Parhusip, S.Pd atas motovasi dan kerja sama yang baik sehingga tugas-tugas di kantor dapat terkendali dan penulis dapat mengakhiri studi ini.
v
10.Rasa haru dan hormat saya sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada orang tua, Alm. Ayahanda L. Simanjorang dan Ibunda B. Br. Sagala, Mertua Alm. G. Nainggolan dan T br Situngkir yang telah berjuang melebihi kemampuannya dan berdoa tiada pernah henti demi kesuksesan penulis dalam menyelesaikan perkuliahan. Terima kasih buat Istriku Tercinta Dumoran Nainggolan, S.Pd yang telah banyak berkorban untuk penulis dan Anak-anakku Firstman Agustinus Mangapul Simanjorang, Gio Vincent Simanjorang, Hieronymus Septian Simanjorang dan Ino March Simanjorang yang telahmenjadi insipirasi penyemangat peneliti dalam menjalani kehidupan ini.
Penulis menyadari bahwa pada penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, menyadari masih banyak kelemahan baik dari segi isi maupun tata bahasa, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi sempurnanya penelitian ini. Kiranya isi tulisan ini bermanfaat dalam membangun dunia pendidikan Indonesia.
Medan, Februari 2017
Penulis,
vi
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 20
1.3 Batasan Masalah ... 21
1.4 Rumusan Masalah ... 21
1.5 Tujuan Penelitian ... 22
1.6 Manfaat Penelitian ... 23
1.7 Defenisi Operasional ... 23
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 25
2.1. Kemampuan Pemecahan Masalah ... 25
2.2. Kemampuan Berpikir Kritis ... 31
2.3. Pendekatan Metakognisi ... 39
2.4. Pembelajaran Berbasis Masalah ... 45
2.4.1. Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah ... 47
2.4.2. Sintak atau Langkah-Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah ... 48
2.5. Pendekatan Metakognisi dalam Pembelajaran Berbasis Masalah ... 49
2.6. Efektifitas Pembelajaran ... 55
2.7. Teori Belajar yang mendukung Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Metakognisi ... 57
2.8. Penelitian yang Relevan ... 66
2.9. Kerangka Konseptual ... 68
2.10. Hipotesis Tindakan ... 73
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 74
3.1. Jenis Penelitian ... 74
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 74
3.3. Subjek dan Objek Penelitian ... 74
3.4. Prosedur dan Desain Penelitian ... 75
3.5. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data ... 80
3.6. Uji Coba Instrumen ... 85
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 96
4.1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 96
4.1.1. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus I ... 96
4.1.2. Deskripsi Hasil Penelitian Siklus II ... 135
4.2. Pembahasan Penelitian ... 155
4.3. Keterbatasan Penelitian ... 163
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 164
5.1. Kesimpulan ... 164
5.2. Saran ... 165
viii
Halaman
1.1. Rata-rata Nilai Ujian Semester Genap Matematika Kelas VIII1,
VIII2 dan VIII6 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula ... 3
2.1. Keterampilan Berpikir Kritis dan Sub Keterampilannya... 35
2.2. Langkah-Langkah Pengembangan Pembelajaran Berbasis Masalah ... 48
2.3. Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Metakognisi ... 52
3.1. Kisi-Kisi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika ... 81
3.2. Kisi-Kisi Tes Kemampuan Berpikir Kritis ... 82
3.3. Kriteria Derajat Reliabilitas Butir Tes ... 83
3.4. Kriteria Koefisien Korelasi ... 84
3.5. Hasil Validasi Perangkat Pembelajaran ... 85
3.6. Hasil Validasi Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 86
3.7. Hasil Validasi Tes Kemampuan Berpikir Kritis Matematis ... 86
3.8. Hasil Analisis Uji Coba Reliabilitas Tes ... 88
3.9. Hasil Analisis Ujicoba Tes Pemahaman Pemecahan Masalah Matematika ... 90
3.10. Hasil Analisis Ujicoba Tes Berpikir Kritis Matematika ... 90
3.11. Kategori Respon Siswa dalam Mengikuti Pembelajaran... 94
3.12. Kriteria Keberhasilan ... 94
4.1. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 1 Siklus I ... 96
4.2. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 2 Siklus I ... 98
4.3. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 3 Siklus I ... 99
4.4. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 4 Siklus I ... 100
4.5. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Siklus I ... 101
4.6. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Perindikator Siklus I ... 102
4.7. Hasil Tes Berpikir Kritis Matematika Siswa Pada Siklus I ... 103
4.8. Hasil Tes Berpikir Kritis Matematika Siswa Perindikator Siklus I ... 105
4.9. Respon Siswa Kelas VIII1 Terhadap Komponen dan Kegiatan Pembelajaran Siklus I ... 106
4.10. Rangkuman Refleksi Siklus I ... 132
4.11. Tindakan Perbaikan pada Siklus I ... 134
4.12. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 1 Siklus II ... 136
4.13. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 2 Siklus II ... 137
ix
4.15. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Indikator 4
Siklus II ... 139 4.16. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Siklus II ... 140 4.17. Hasil Tes Pemecahan Masalah Matematika Siswa Perindikator
Siklus II ... 141 4.18. Hasil Tes Berpikir Kritis Matematika Siswa Pada Siklus I ... 143 4.19. Respon Siswa Kelas VIII1 Terhadap Komponen dan Kegiatan
1
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah
Didalam dunia yang terus berubah, mereka yang memahami dan dapat
mengerjakan matematika akan memiliki kesempatan dan peluang yang lebih besar
dalam menentukan masa depannya. Kemampuan dalam matematika akan
membuka pintu untuk masa depan yang produktif, dan sebaliknya kelemahan
dalam matematika akan membiarkan pintu tersebut tertutup (NCTM, 2000).
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi
modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin ilmu yang dapat
mengembangkan daya pikir manusia (BNSP, 2006). Disisi lain matematika
merupakan alat yang efisien dan diperlukan oleh semua ilmu pengetahuan, dan
tanpa bantuan matematika semuanya tidak akan mendapat kemanjuan yang berarti
(Sujono, 1988). Dengan demikian matematika berperan penting dalam kehidupan
dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Lebih jauh dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 mengatakan bahwa mata
pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah. Matematika yang diberikan di sekolah
sangat penting dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Matematika sebagai ilmu dasar mempunyai peranan penting dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi, bahwa tujuan pembelajaran matematika agar peserta
2
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat
dalam pemecahan masalah
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika
serta ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Sebuah artikel menarik bartajuk “Refleksi Kritis Pembelajaran
Matematika” keluaran PPPPTK Matematika memaparkan bahwa banyak diantara
guru-guru kita dijenjang sekolah dasar yang karena posisinya sebagai guru kelas
menjadikan mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus mengajarkan
matematika walaupun kurang menarik bagi mereka bahkan bisa jadi guru tersebut
tidak mengenal matematika secara memadai. Akibatnya pembelajaran matematika
tidak terlaksana secara utuh melainkan hanya bagian-bagian yang dikuasai guru
menyempurnakan pemahaman matematika, mereka merasa frustasi dan bahkan
tidak lagi bergairah dalam belajar matematika (Mansur, 2008).
Kelesuan belajar matematika akan mengakibatkan mutu pendidikan
matematika di Indonesia rendah. Menurut catatan Human Development Report
2013 (HDR) prestasi belajar matematika rendah, pada tahun 2012 Human
Development Index (HDI) Indonesia menempati peringkat 121 dari 186 negara
dan berada pada ketegori medium human development (urutan ke-3 terbawah dari
4 kategori). Selain itu, Programme for International Student Assesment (PISA)
yang terakhir membuat penilaian tentang kemampuan literisasi matematika siswa
Indonesia menempati peringkat 61 dari 65 negara. Peringkat yang diperoleh
Indonesia ini kalah jauh dari Thailand yang menempati posisi ke-50. Posisi
terakhir ditempati oleh Kyrgizstan (Nadia, 2013). Hasil yang kurang memuaskan
juga berlaku di SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula. Rata-rata nilai ujian semester
genap tahun pelajaran 2015/2016 untuk tiga kelas dari enam kelas belum
mencapai ketuntasan seperti yang terlihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1.1. Rata-rata Nilai Ujian Semester Genap Matematika Kelas VIII1, VIII2 dan VIII6 SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula
VIII1 VIII2 VIII6
Usem 52,43 48,62 44,83
KKM 61 61 61
Sumber: Dokumen SMP Negeri 1 Sianjur Mulamula
Kualitas perolehan kompetensi yang dimiliki siswa tidak lepas dari
bagaimana kegiatan pembelajaran matematika yang terjadi di sekolah.
Pembelajaran matematika yang terjadi seharusnya dapat memberikan suatu
[image:13.595.72.528.142.640.2]pemikir-4
pemikir yang kompeten serta mampu menyelesaikan masalah. Diungkapkan oleh
Soedjadi (2004) bahwa: ”pendidikan matematika memiliki dua tujuan besar yang
meliputi (1) tujuan bersifat formal, yang memberi tekanan pada penataan nalar
anak serta pembentukan pribadi anak dan (2) tujuan yang bersifat material yang
memberi tekanan pada penerapan matematika serta kemampuan memecahkan
masalah matematika”. Selain itu, objek materi pelajaran yang diberikan guru juga
tidak lengkap bila dibandingkan dengan kurikulum internasional, misalnya
Cambridge. (Nadia, 2013). Ansari (2009:2) mengatakan:
Merosotnya pemahaman matematik siswa di kelas dapat dikarenakan beberapa hal, antara lain karena (a) dalam mengajar guru sering mencontohkan pada siswa bagaimana menyelesaikan soal (b) siswa belajar dengan cara mendengar dan menonton guru melakukan matematik, kemudian guru mencoba memecahkannya sendiri dan (c) pada saat mengajar matematika, guru langsung menjelaskan topik yang akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian contoh dan soal untuk latihan. Karakteristik pembelajaran matematika masa kini mengacu pada tujuan
jangka pendek (lulus ujian sekolah tingkat kabubaten ataupun tingkat nasional),
materi kurang membumi, lebih fokus pada kemampuan prosedural, komunikasi
satu arah, pengaturan ruang kelas yang monoton, dominasi soal rutin dan
pertanyaan-pertanyaan tingkat rendah (Shadiq, 2007).
Perubahan situasi dan tujuan pembelajaran di dalam kelas memerlukan
kepekaan guru, artinya seorang guru harus mampu mendiagnosis masalah yang
muncul dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Selain itu guru juga dituntut
mampu menganalisis dan mendeskripsikan akar penyebab dari masalah serta
mampu memilih pendekatan yang paling tepat untuk digunakan memecahkan
permasalahan pembelajaran nyata di dalam kelas, tidak hanya melulu berangkat
dari kajian yang bersifat teoritis akademis, karena bisa jadi permasalahan
pembelajaran di dalam kelas yang satu dengan kelas lainnya berbeda walaupun
dalam satu sekolah yang sama.
Menyadari permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran peneliti
berusaha berangkat dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, karena lokasi
penelitian merupakan sekolah yang pernah peneliti terlibat langsung dalam
kegiatan belajar mengajar, maka dari hasil pengamatan ada
permasalahan-permasalahan real pembelajaran matematika yang dihadapi oleh siswa-siswa di
sekolah tersebut. Peneliti berusaha mengidentifikasi permasalahan-permasalahan
yang muncul selama proses kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, berusaha
menemukan akar penyebab masalah, ingin menemukan dan menentukan alternatif
solusi pemecahan masalah yang paling tepat, efektif dan efisien untuk
memberikan solusi dari permasalahan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru matematika di SMPN 1 Sianjur
Mulamula diperoleh informasi bahwa masih banyak konsep matematika yang
masih sulit dipahami oleh peserta didik, lebih cenderung menghafal dari pada
memahami materi bangun ruang sisi datar. Sebagai tes diagnosa untuk mengetahui
kelemahan kemampuan pemecahan masalah siswa diberikan sebuah soal:
Suatu perusahaan makanan akan mengemas produknya dalam kotak yang
berbentuk balok dengan ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 5 cm.
Kotak kemasan terbuat dari kertas. Perusahaan memiliki persediaan 5 lembar
6
a. Berapakah banyak kemasan yang dapat dibuat dari selembar kertas?
b. Berapakah banyak kemasan yang dapat dibuat dari seluruh kertas?
Setelah soal ini diujikan kepada siswa banyak siswa menyelesaikannya
[image:16.595.70.526.173.704.2]seperti ini:
Gambar 1.1. Proses penyelesaian jawaban kemampuan pemecahan masalah siswa
Beberapa kesalahan siswa dan hasil analisis:
1. Tidak merumuskan masalah/menyusun model matematika. Siswa tidak
menuliskan secara lengkap apa yang diketahui dan apa yang ditanya.
2. Strategi yang digunakan kurang relevan. Untuk menghitung luas
3. Siswa salah melakukan perhitungan. Artinya siswa tidak hati-hati, tidak
menyadari kesalahan dalam perhitungan dan tidak merefleksi, atau tidak
mengevaluasi sendiri proses penyelesaiannya.
4. Siswa tidak ada yang menguji kebenaran jawaban.
Dari keseluruhan siswa yang berjumlah 30 orang dapat dilihat hanya 2 orang
(6,67%) yang menjawab dengan benar, 22 orang (73,33%) menjawab tetapi salah
dan 6 orang (20%) tidak menjawab sama sekali.
Berdasarkan pengamaatan peneliti, siswa sudah terbiasa belajar secara
individual dan diawal pembelajaran siswa terlihat kurang antusias untuk
menerima pembelajaran. Pembelajaran matematika yang berorientasi mengerjakan
soal-soal dengan menggunakan rumus-rumus yang ada di buku paket sehingga
pembelajaran kurang bermakna. Ketika siswa ditanya tentang hal apa yang belum
dimengerti, siswa tidak memberi respon ataupun pertanyaan. Matematika
dipandang sebagai ilmu yang abstrak, sisi keilmuannya bersifat kaku, metodenya
berpusat pada guru dan buku teks pelajaran, dan peserta didik pun diposisikan
sebagai objek pengurutan atau perangkingan bukan sebagai objek ajar yang layak
dihargai minat dan kecenderungannya dalam belajar. Guru sering tidak
mengaitkan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya dengan materi baru
yang sedang diajarkan. Kondisi pembelajaran yang berlangsung dalam kelas
membuat siswa pasif.
Pentingnya memiliki kemampuan pemecahan masalah matematika pada
peserta didik dikemukakan oleh Branca (dalam Sumarmo, 1994) sebagai berikut:
8
matematika, bahkan sebagai jantungnya matematika, (2) penyelesaian masalah
meliputi metode, prosedural, dan strategi merupakan proses inti dan utama dalam
kurikulum matematika, dan (3) penyelesaian matematika merupakan kemampuan
dasar dalam belajar matematika.
Dalam menyelesaikan masalah matematika diperlukan beberapa prasyarat yang meliputi pengetahuan konseptual/prosedural, strategi, komunikasi dan akurasi. Proses belajar mengajar matematika yang baik adalah guru harus mampu menerapkan suasana yang dapat membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mampu mencoba memecahkan persoalannya. Guru perlu membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir. Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa lebih mengaktifkan siswa, sehingga siswa “mengalami” apa yang dipelajarinya, bukan “mengetahuinya”. Pembelajaran matematika yang berorientasi target penguasaan materi, terbukti berhasil dalam kompetisi, mengingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak dalam memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.
Pada pembelajaran matematika, pemecahan masalah merupakan bagian yang sangat penting dikuasai oleh siswa. Sehingga Sumarmo (2009) mengatakan bahwa proses berpikir dalam pemecahan masalah memerlukan kemampuan intelektual tertentu yang akan mengorganisasikan strategi. Hal itu akan melatih orang berpikir kritis, logis dan kreatif yang sangat diperlukan dalam menghadapi perkembangan masyarakat. Pemecahan masalah menurut Suherman dkk (2001: 83) adalah:
penerapan aturan masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematik, dan lain-lain dapat dikembangkan secara lebih baik.
Ketidakmampuan siswa untuk menyelesaikan soal-soal pemecahan
masalah matematika sebagaimana diutarakan di atas sebagai indikator adanya
masalah yang dihadapi guru dilapangan. Fenomena seperti ini akan semakin
menarik untuk dikaji ketika ternyata kurikulum pembelajaran matematika yang
diterapkan di Indonesia justru mengacu pada rekomendasi National Council of
Teachers of Matematics (NCTM), yaitu menjadikan problem solving sebagai
fokus utama pembelajaran matematika. Kurikulum Bebasis Kompetensi Mata
Pelajaran Matematika SD, SMP dan SMA yang diterbitkan Pusat Kurikulum
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
menyatakan atau bahkan menetapkan bahwa pemecahan masalah, penalaran dan
komunikasi sebagai kompetensi dasar siswa yang harus dipenuhi dalam
pembelajaran matematika sekolah (Shadiq, 2003).
Dalam dunia pendidikan secara umum, proses-proses berpikir kritis dan
kreatif jarang dilatih, dan hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di
negara-negara lain (Munandar, 2004). Ironisnya, pengembangan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif yang sangat memungkinkan untuk dikembangkan
melalui pembelajaran matematika, pada umumnya pembelajaran matematika di
sekolah masih menekankan pada hafalan dan mencari jawaban dari soal-soal yang
sifatnya rutin atau prosedural.
Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti melakukan studi kasus awal
10
Tersedia 8 meter kawat untuk membuat model balok dengan ukuran perbandingan
panjang : lebar : tinggi = 7:2:3. Jika sebuah kerangka balok membutuhkan kawat
192 cm. Tentukan ukuran balok! Berapa banyak kerangka balok yang dapat
dibuat? Adakah sisa kawat tersebut? Berapa meter?
Setelah soal ini diujikan kepada siswa banyak siswa menyelesaikannya
[image:20.595.61.540.129.679.2]seperti ini.
Gambar 1.2. Proses Penyelesaian Jawaban Kemampuan Berpikir Kristis Siswa Beberapa kesalahan dalam tes berpikir kritis antara lain, siswa tidak
mampu mengidentifikasi dan menjastifikasi konsep soal, tidak mampu
melengkapi data pendukung dan menentukan aturan umum dengan lengkap dan
benar, siswa belum mampu menganalisis algoritma, siswa tidak mampu memberi
mejawab tetapi tidak benar 26 (86,67%) siswa yang berusaha atau tidak menjawab
4 (13,33%) siswa.
Selanjutnya peneliti mengadakan tanya jawab dengan siswa. Sebahagian
besar siswa menyatakan bahwa mereka kesulitan menentukan ukuran panjang,
lebar dan tinggi karena yang diketahui dalam bentuk perbandingan sehingga
kesulitan untuk menyelesaikannya. Misalnya soal “Perbandingan panjang: lebar
dan tinggi = 7:2:3”, panjang kawat yang dibutuhkan membuat model balok 192
cm. Siswa menentukan panjang balok dengan rumus dan
seterusnya untuk mencari lebar dan tinggi. Kutipan ini menunjukkan kegagalan
siswa berpikir kritis dalam matematika sehingga pembelajaran matematika yang
berorientasi berpikir kritis perlu diperhatikan.
Keterkaitan berpikir kritis dalam pembelajaran matematika adalah
perlunya mempersiapkan peserta didik agar menjadi pemecah masalah yang
tangguh, pembuat keputusan yang matang, dan seorang yang tak pernah berhenti
belajar. Menurut Jacqualine dan Brooks (Santrock, 2007:360), mengeluhkan
bahwa hanya sedikit sekali sekolah yang benar-benar mengajar murid untuk
berpikir kritis. Kemampuan berpikir sering diasosiasikan dengan aktifitas mental
dalam memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah. Pada saat belajar,
siswa menggunakan kemampuan berpikirnya untuk memahami pengetahuan dan
memecahkan masalah yang dihadapi. Karena matematika penting sebagai
pembimbing pola berpikir maupun pembentukan sikap.
12
Perlunya mengembangkan kemampuan berpikir kritis karena (1) tuntutan zaman yang menghendaki warga negara dapat mencari, memilih, dan menggunakan informasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) setiap warga negara senantiasa berhadapan dengan berbagai masalah dan pilihan sehingga dituntut mampu berpikir kritis dan kreatif, (3) kemampuan memandang sesuatu dengan cara yang berbeda dalam memecahkan masalah, dan (4) berpikir kritis merupakan aspek dalam memecahkan permasalahan secara kreatif agar peserta didik dapat bersaing secara adil dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran
matematika di sekolah ataupun perguruan tinggi, yang menitikberatkan pada
sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan
unsur lainnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa anggapan yang saat ini berkembang pada
sebagian besar peserta didik adalah matematika bidang studi yang sulit dan tidak
disenangi. Hanya sedikit yang mampu memahami matematika sebagai ilmu yang
dapat melatih kemampuan berpikir kritis. Disamping itu, pembelajaran
matematika yang diharapkan saat ini adalah pembelajaran yang berorientasi
kepada siswa. Siswa dituntut untuk aktif membangun sendiri pengetahuannya
sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Namun pada kenyataanya masih banyak
ada guru yang menggunakan paradigma lama yaitu pembelajaran yang berpusat
pada pada guru (teacher centered). Anggapan guru bahwa belajar matematika
adalah penuangan ilmu atau transfer of knowledge secara utuh dari pikiran guru
kepikiran siswa. Guru sebagai pemberi informasi dan peserta didik
mendengarkan, guru memberikan contoh soal dan mengerjakannya kemudian
meberikan soal yang akan dikerjakan peserta didik yang mirip dengan contoh soal
mengemukakan ide atau gagasan sehingga tingkat berpikirnya rendah sementara
tujuan yang ingin dicapai adalah berpikir rasional, kritis, logis, kreatif dan
bernalar yang merupakan dari berpikir tingkat tinggi.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis peserta
didik juga tidak lepas dari proses pembelajaran yang diterimanya. Dimana selama
ini model pembelajaran yang diterapkan didalam proses pembelajaran cenderung
ceramah, teoritik dan kurang berhubungan langsung dengan kehidupan nyata dan
kurang relevan dengan karakteristik materi pembelajaran yang akan disampaikan.
Oleh karena itu perlu disadari bahwa dunia modern sekarang ini sering terjadi
perubahan-perubahan yang tak terduga disertai dengan banyak
persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan masalah dengan cara atau teknik baru,
yang diperoleh pemikiran-pemikiran kritis dan kreatif. Sementara itu tidak sedikit
sumber daya manusia yang ada tidak berdaya untuk memcahkan
persoalan-persoalan tersebut.
Bersandar pada alasan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa
kemampuan berpikir kritis peserta didik sangat penting untuk dikembangkan.
Oleh karena itu, guru hendaknya mengkaji dan memperbaiki kembali
praktik-praktik pembelajaran yang selama ini dilaksanakan, yang mungkin hanya sekedar
rutinitas belaka. Dalam studi pendahuluan yang telah dilakukan, diberikan tes
berpikir kritis dengan indikator berpikir kritis sebagai berikut: (1) menganalisis,
(2) mensintesis, (3) merumuskan masalah ke dalam model matematika dan
memecahkan masalah, (4) membuat kesimpulam, (5) memberi dan
14
Suatu strategi dan pendekatan dalam pembelajaran matematika hendaknya
dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika dan berpikir
kritis peserta didik. Maka mutlak diperlukan adanya pembelajaran matematika
yang lebih banyak melibatkan peserta didik untuk lebih aktif dan bersemangat.
Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang didesain
sedemikian rupa sehingga mengakibatkan keterlibatan siswa secara aktif dan
merespon kesadaran metakognisinya.
O’Neil & Brown (1997) menyatakan bahwa metakognisi sebagai proses
dimana seseorang berpikir tentang berpikir dalam rangka membangun strategi
untuk memecahkan masalah. Sedangkan Anderson & Kathwohl (2001)
menyatakan bahwa pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kognisi,
secara umum dengan kesadaran dan pengetahuan tentang kognisi diri seseorang.
Karena itu dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa
yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Sedangkan kemampuan metakognisi
merujuk kepada cara untuk meningkatkan kesadaran mengenai proses berpikir dan
pembelajaran yang berlaku sehingga bila kesadaran ini terwujud, maka seseorang
dapat mengawal pikirannya dengan merancang, memantau dan menilai apa yang
dipelajarinya.
Dalam pembelajaran matematika pendekatan metakognisi dapat dilihat
dari peserta didik yang dapat mengemukakan ide-ide matematika ketika
berdiskusi dalam berkelompok. Aktifitas metakognisi akan terjadi jika ada
interaksi antara beberapa individu yang membicarakan suatu masalah. Dalam
permasalahan, merencanakan strategi penyelesaian, membuat keputusan tentang
apa yang dilakukan, serta melaksanakan keputusan tersebut. Apabila keputusan
yang diambil kurang tepat, maka mereka akan mencoba alternatif lain atau
membuat pertimbangan. Proses menyadari adanya kesalahan, memonitor hasil
pekerjaan serta mencari alternatif lain merupakan beberapa aspek-aspek
metakognisi yang perlu dalam penyelesaian masalah.
Gambaran di atas menunjukkan pendekatan metakognisi sangat penting
dalam proses penyelesaian masalah maupun dalam proses pembelajaran untuk
menemukan konsep. Kenyataan yang terjadi dalam banyak kelas matematika
adalah peserta didik kurang memanfaatkan metakognisinya ketika menyelesaikan
masalah, sehingga mereka tidak memahami apa yang dipelajarinya. Melalui
proses pembelajaran yang dirancang dengan baik, akan muncul aspek-aspek
metakognisi yang sangat membantu peserta didik untuk memahami materi atau
menyelesaikan masalah dengan berpikir kritis.
Untuk permasalahan di atas guru perlu memperbaiki model, metode
ataupun pendekatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pemahaman
dan berpikir kritis siswa. Guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi,
pendekatan, metode dan teknik yang melibatkan siswa aktif secara mental, fisik
dan sosial. Dalam pembelajaran matematika siswa diarahkan untuk mengamati,
bertanya, menggali informasi, mengolah informasi dan mengkomunasikan
(pendekatan saintifik). Prinsip belajar aktif ini dapat menumbuhkan pembelajaran
matematika yang kreatif dan kritis. Guru diharapkan tidak berperan sebagai
16
agar dapat mengkonstruksi pengetahuan melalui aktifitas seperti pemecahan
masalah, penalaran dan berkomunikasi sebagai wahana pelatihan berpikir kritis
dan kreatif. Sullivan (dalam Bansu, 2009) mengatakan:
Bahwa peran dan tugas guru sekarang adalah memberi kesempatan belajar maksimal pada peserta didik dengan jalan (1) melibatkan secara aktif dalam eksplorasi matematika, (2) mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman yang telah ada pada mereka, (3) mendorong agar mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai strategi, (4) mendorong agar berani mengambil resiko dalam menyelesaikan soal, (5) memberi kebebasan berkomunikasi untuk menjelaskan idenya dan mendengarkan ide temannya.
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) dirancang untuk merangsang
berpikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi pada masalah (Sudarman, 2007).
PBM dikembangkan terutama untuk membantu kemampuan berpikir, pemecahan
masalah, dan keterampilan intelektual dan belajar menjadi pembelajar yang
otonom. Keuntungan PBM adalah mendorong kerja sama antar siswa dalam
menyelesaikan tugas. PBM melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya
sendiri, yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan
membangun pemahaman tentang fenomena tersebut. Sehingga pembelajaran yang
selama ini terpusat pada guru akan menjadi pembelajaran yang berpusat pada
siswa.
Kenyataan masih ada guru yang melaksanakan proses pembelajaran
yang tidak membuat persiapan atau perencanaan sehingga pelaksanaan
pembelajaran yang terjadi secara konvensional. Hal ini terbukti ketika
peneliti melakukan supervisi terhadap beberapa orang guru dalam
pelaksanaan proses pembelajaran pada pertengahan semester ganjil tahun
menerapkan model pembelajaran berbasis masalah. Peneliti merupakan
wakil kepala sekolah bidang kurikulum di sekolah tersebut. Setelah selesai
supervisi dilanjutkan dengan berdiskusi di kantor tentang pelaksanaan
proses pembelajaran, ada guru yang mengaku tidak pernah mendengar
model pembelajaran berbasis masalah. Sehingga proses pembelajaran yang
berlangsung adalah monoton atau tidak bermakna.
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model
pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan
penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata
dari permasalahan yang nyata. Pembelajaran yang dimulai dari suatu masalah
akan mengubah pembelajaran yang selama ini berpusat pada guru menjadi
berpusat pada siswa. Menurut Rusman (2010:245) mengatakan bahwa:
Melalui PBM peserta didik mempresentasikan gagasannya, peserta didik terlatih merefleksikan persepsinya, mengargumentasikan kepihak lain sehingga guru pun memahami proses berpikir siswa, dan guru dapat membimbing serta menginterpretasikan ide baru berupa konsep dan prinsip. Dengan demikian pembelajaran berlangsung sesuai dengan kemampuan peserta didik sehingga interaksi antar guru dan siswa menjadi terkondisi dan terkendali.
Menurut Barrows (1980) PBM adalah pembelajaran sebagai hasil dari
kegiatan menuju pemahaman menyelesaikan masalah. Pengajaran berdasarkan
masalah merupakan pembelajaran yang efektif untuk proses berpikir tingkat
tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah
jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan meraka sendiri tentang dunia
18
Hasil penelitian Sinaga (2007:319) menunjukkan bahwa dengan
menggunakan model pembelajaran matematika berdasarkan masalah berbasis
budaya batak (PBM-B3) menunjukkan ketercapaian ketuntasan belajar siswa
secara klasikal, prosentase waktu ideal untuk setiap kategori aktivitas siswa dan
guru sudah dipenuhi, rata-rata nilai kategori kemampuan guru mengelola
pembelajaran termasuk kategori cukup baik dan respon siswa dan guru terhadap
komponen dan kegiatan pembelajaran adalah positif. Karena itu penerapan model
PBM dapat dijadikan alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
dan kemampuan siswa memecahkan masalah serta meningkatkan minat siswa
dalam belajar matematika.
Selanjutnya Arends (Trianto 2011:92), pembelajaran berdasarkan
masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa
mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun
pengetahuan sendiri, mengembangkan inkuiri, dan keterampilan berpikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
Pembelajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk
membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya pada siswa.
Pembelajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa
mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah dengan proses
jawaban yang bervariasi, dan keterampilan intelektual, belajar berbagai
peran orang dewasa dengan melibatkan siswa dalam pengalaman nyata
atau simulasi dan menjadi siswa yang otonom dan mandiri.
mendukung model pembelajaran berbasis masalah dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
yaitu pendekatan metakognisi. Suzana (2004) mendefenisikan pembelajaran
dengan pendekatan metakognisi sebagai pembelajaran yang menanamkan
kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang
siswa ketahui, apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana
melakukannya. Pembelajaran dengan pendekatan metakognisi menitikberatkan
pada aktivitas belajar siswa, membantu dan membimbing peserta didik jika
menemui kesulitan, serta membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa
yang dilakukan saat belajar matematika. Aspek metakognisi sebagai bagian terkait
dari pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognisi sangat penting
untuk dapat dikembangkan agar siswa mampu memahami dan mengontrol
pengetahuan yang telah didapatnya dalam kegiatan pembelajaran. Adapun aspek
aktivitas metakognitif yang dikemukan oleh Flavell (Suzana, 2004) adalah: (1)
kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan
bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan
menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi,
membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan.
Pendekatan metakognisi diyakini membuat pembelajaran menjadi lebih
bermakna. Pembelajaran dengan pendekatan metakognisi menitikberatkan pada
aktifitas belajar siswa, membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, serta
membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk
20
pendekatan metakognisi dapat mendukung model pembelajaran berbasis masalah
dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan berpikir
kritis siswa. Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penelitian
tentang upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa melalui pembelajaran berbasis masalah dengan
pendekatan metakognisi.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dikemukakan beberapa permasalahan
sebagai berikut:
1. Siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika.
2. Siswa cenderung berlaku pasif selama pembelajaran berlangsung.
3. Pembelajaran yang dilakukan tidak bermakna, karena tidak mengaitkan
konten dengan konteks.
4. Kurangnya kemampuan siswa untuk mengungkapkan gagasan atau ide.
5. Kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
6. Pemilihan pendekatan pembelajaran yang kurang relevan dengan tujuan
dan karakteristik pembelajaran matematika.
7. Kemampuan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan permasalahan
belum optimal.
8. Kemampuan pemecahan masalah yang masih rendah sehingga proses
jawaban yang masih monoton.
10. Model pembelajaran yang diterapkan cenderung teoritik dan kurang
berhubungan dengan kehidupan nyata.
1.3. Batasan Masalah
Melihat permasalahan di atas yang terlalu luas, maka yang menjadi fokus
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pendekatan
metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah.
2. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan pendekatan
metakognisi melalui pembelajaran berbasis masalah.
3. Meningkatkan keefektifan proses pembelajaran berbasis masalah
dengan pendekatan metakognisi ditinjau dari tujuan pembelajaran,
ketuntasan pembelajaran, respon siswa terhadap pembelajaran dan waktu
pelaksanaan pembelajaran.
1.4. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peningkatan kemampaun pemecahan masalah siswa dengan
pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis
masalah?
2. Bagaimana peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa dengan
pendekatan metakognisi melalui penerapan model pembelajaran berbasis
masalah?
3. Bagaimana keefektifan penerapan pembelajaran berbasis masalah dengan
22
1.5. Tujuan Penelitian
1. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa yang diajar
melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan
pendekatan metakognisi.
2. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa yang diajar melalui
penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan
pendekatan metakognisi.
3. Untuk menganalisis keefektifan penerapan pembelajaran berbasis masalah
dengan pendekatan metakognisi.
1.6. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan:
1. Sebagai informasi tentang alternatif pembelajaran matematika bagi
usaha-usaha perbaikan proses pembelajaran.
2. Bagi guru, sebagai bahan pertimbangan tentang pembelajaran matematika
sehingga dapat merancang pembelajaran yang lebih baik dengan
mengaktifkan siswa menemukan sendiri alternatif penyelesaiannya.
3. Bagi siswa, dapat terlibat aktif dalam pembelajaran, terlatih menjalankan
proses dalam membangun pengetahuan sehingga akan meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah dan berpikir kritis siswa dengan
pendekatan metakognisi sehingga memperoleh pengalaman baru dan
belajar lebih bermakna.
4. Semua pihak yang berkepentingan untuk dapat dijadikan sebagai rujukan
1.7. Defenisi Operasional
Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap apa yang akan
diteliti, beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kesulitan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitannya dengan
matematika pemecahan masalah merupakan proses psikologis yang
melibatkan pengembangan pemahaman aktifitas intelektual tidak hanya
sekedar aplikasi dari dalil-dali atau teorema-teorema yang dipelajari.
2. Kemampuan berpikir kritis siswa dalam matematika adalah kemampuan untuk
menguji,menghubungkan, dan mengevaluasi aspek-aspek yang fokus pada
masalah, mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi yang sudah
dipelajari sebelumnya, menentukan jawaban yang rasional, melukiskan
kesimpulan yang valid dan melakukan analisis dan refleksi.
3. Pendekatan metakognisi adalah pelaksanaan pembelajaran yang menuntun
siswa untuk belajar lebih aktif dengan kesadaran berpikirnya sendiri sehingga
dalam pembelajaran itu menimbulkan kesadaran pengaturan diri dalam
memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi inforamasi yang
dihadapinya dan menyelesaikan masalah serta melakukan refleksi tentang
tindakan-tindakan yang dilaksanakannya.
4. Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model
pembelajaran dimana siswa menemukan berbagai konsep dan
24
mengembangkan inkuiri, dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri.
5. Respon siswa terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran adalah pendapat
siswa tentang senang/tidak senang dan baru/tidak baru terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran, siswa berminat mengikuti pembelajaran dengan pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi pada kegiatan pembelajaran berikutnya, komentar siswa terhadap keterbacaan buku siswa, lembar kegiatan siswa, penggunaan bahasa dan penampilan guru dalam pelaksanaan pembelajaran.
164
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan pada bab sebelumnya
serta hasil analisis data dan pembahasan penelitian dengan menerapkan
pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi didalam
pembelajaran dengan fokus kemampuan pemecahan masalah matematika dan
berpikir kritis matematika, maka peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan pemecahan masalah siswa dengan pendekatan metakognisi
melalui penerapan model pembelajaran berbasis masalah meningkat
sebesar 10%. Hal ini dapat dilihat dari hasil ketuntasan klasikal tes
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I diperoleh
sebesar 70% dan perolehan ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai
80%.
2. Kemampuan berpikir kritis siswa dengan pendekatan metakognisi melalui
penerapan model pembelajaran berbasis masalah meningkat sebesar
16,67%. Hal ini dapat dilihat dari hasil ketuntasan klasikal tes kemampuan
berpikir kritis siswa pada siklus I diperoleh sebesar 63,33% dan perolehan
ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 80%
3. Penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan
metakognisi efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
165
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka ada beberapa
hal saran yang perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang berkepentingan
terhadap penggunaan pembelajaran berbasis masalah dalam proses pembelajaran
matematika, yaitu:
1. Bagi Guru Matematika
a) Para guru matematika disarankan untuk menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan metakognisi
sebagai model pembelajaran alternatif dalam proses pembelajaran mata
pelajaran matematika
b) Dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah pendekatan
metakognisi sebaiknya para guru mempersiapkan dengan baik
perangkat pendukung seperti lembar kerja kelompok beserta buku
pendukung seperti buku siswa.
c) Penerapan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa
dan karakteristik mata pelajaran sangat mempengaruhi hasil belajar
siswa. Maka guru perlu merancang dan mengembangkan model
pembelajaran yang berkaitan dengan pembelajaran.
d) Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pembelajaran berbasis
masalah pendekatan metakognisi hendaknya pembagian kelompok
harus heterogen secara akademik, suku dan ras. Sehingga akan
2. Bagi Siswa
a) Hendaknya siswa melibatkan dirinya secara aktif dalam diskusi
kelompok dan lebih bertanggungjawab dengan tugas yang diberikan
kepada tim kelompoknya.
b) Para siswa harus lebih disiplin dalam menggunakan waktu pada saat
diskusi kelompok, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan
baik.
3. Bagi Kepala Sekolah
a) Hendaknya memberikan workshop atau pelatihan dalam penggunaan
model-model pembelajaran.
b) Memberikan pelatihan kepada guru-guru dalam melakukan penelitian
tindakan kelas, sehingga dapat memberikan pengalaman dan
pembelajaran bagi guru dalam upaya memperbaiki pembelajaran.
c) Mengintruksikan kepada para guru untuk menciptakan pembelajaran
yang melibatkan keaktifan siswa, dengan menerapkan pembelajaran
berbasis masalah.
4. Bagi peneliti selanjutnya, agar mempersiapkan bahan pendukung yang
relevan dalam mengakomodasi siswa untuk mengembangkan kemampuan
pemecahan masalah dan berpikir kritis matematika siswa.
5. Bagi lembaga terkait, perlu adanya pelatihan dan pengembangan model
pembelajaran khususnya pembelajaran berbasis masalah pendekatan
metakognisi dalam proses pembelajaran sebagai upaya untuk
167
DAFTAR PUSTAKA
Adibah, F. 2013. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Inkuiri di Kelas VIII MTs Negeri 2 Surabaya. Jurnal Widyaloka IKIP Widyadarma Surabaya. Vol. 1. No. 1.
Alatas, F. 2014. Hubungan Pemahaman Konsep dengan Keterampilan Berpikir Kritis Melalui Model Pembelajaran Treffinger pada Mata Kuliah Fisika Dasar. Jurnal Edusains. Volume. VI. No. 01.
Anderson, O. W. dan Krathwol, D. R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching, and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives). New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Ansari, B. I. 2009. Komunikasi Matematik. Yayasan PeNA Banda Aceh Divisi Penerbitan: Banda Aceh.
Arikunto, S. 2006. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Barrows, H. S. dan Tamblyn, R. M. Problem Based Learning an Approach to Medical Education. New York: Springer Publishing Company.
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan pembelajaran. Jakarta. PT Rineka cipta.
Cardelle, M. E. 1995. Effect of Teaching Metacognitive Skills to Students with Low Mathematics Ability. In M. J. Dunkin & N. L. Gage (Eds.), Teaching and Teacher Education: An International Journal of Research and Studies. 8, 109-111. Oxford: Pergamon Press.
Diana. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Metakognitif Berbasis Masalah Terhadap Belajar Siswa Kelas IV Semester Genap di Gugus XV Kecamatan Buleleng Tahun Pelajaran 2011-2012. Jurnal PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2. No.1.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta: Jakarta.
Ennis, R. H. 1996. Critical Thinking. New Jersey: Prentice Hall. University of Illions.
Fauzi, K. M. A. 2013. Kemampuan Koneksi Matematis Siswa dengan Pendekatan Pembelajaran Metakognitif di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Pendidikan Matematika Paradikma. Vol. 6. No. 1.
Goss, M. 1995. Metakognitive knowledge, Believes, And Classroom Mathematics. Darwin: Merga 18 GALTHA.
Haryani, D. 2012. Membentuk Siswa Berpikir Kritis Melalui Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Hasratuddin. 2010. Membangun Karakter Melalui Pembelajaran Matematika.
Jurnal Paradikma. Vol. 5. No. 2.
Hasratuddin. 2015. Mengapa Harus Belajar Matematika? Medan. Perdana
Publishing.
Herman, T dan Suryadi, D. 2008. (Eksplorasi Matematika) Pembelajaran Pemecahan Masalah. Jakarta: Karya Duta Wahana.
Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.
Malang: Universitas Negeri Malang (UM PRESS).
Istianah, E. 2013. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Matematik dengan Pendekatan Model Eliciting Activities (Meas) pada Siswa. Infinity Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung. Vol. 2. No. 1.
Jacob, C. 2003. Mengajar Keterampilan Metakognitif dalam Rangka Upaya Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Belajar Matematika. Jurnal Matematika, Aplikasi dan Pembelajarannya, 2(1), 17-18. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.
Kadir. 2003. Panduan Pengajaran Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata
Pelajaran Matematika. Cetakan Pertama. Jakarta: CV. Irfandi Putra.
Lambertus. 2009. Pentinngnya Melatih Keterampilan Berpikir Kritis dalam Pembelajaran Matematika di SD. Jurnal Forum Kependidikan. Vol. 28. No. 2.
Liberna, H. 2013. Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa Melalui Penggunaan Metode Improve pada Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel. Jurnal Formatif. Vol. 2. No. 3.
169
Kelas V SD Gugus 8 Blahbatuh. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. Vol. 2. No. 1.
Martha, I. R. & Setianingsih, R. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif ditinjau dari Tipe Kecerdasan Musikal, Interpersonal, dan Logik Matematik pada Materi Persegi dan Persegi Panjang. Jurnal Ilmiah Pendidikan Matematika MathEdunesa. Vol. 3. No. 1.
Murtadho, F. 2013. Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi: Alternatif Sarana Pengoptimalan Latihan Menulis Argumentasi. Prosiding 2nd International Seminar on Quality and Affrodable Education (ISQAE).
National Council of Teacher of Mathematics. 1989. Principles Standars for School Mathematics. Reason. VA: NCTM.
National Council of Teacher of Mathematics. 1991. Professional Standard for Teaching Mathematics. Reason. V : NCTM.
National Council of Teacher of Mathematics. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, VA: NCTM.
Nitko, A. J.1996. Educational Assesment Of Student. Eagleworld Cliffs: Merril.
O’Neil Jr, H. F. dan Brown, R. S. 1997. Differential Effects of Question Formats in Math Assessment on Metacognition and Affect. Los Angeles: Cresst-CSE University of California.
Perkins. D. H. 1986. Thinking Frames. Educational Leadership.
Piaget. J. 1997. The Child Construction Of Quantities. London. Ract Ledge and Kegan Paul.
Polya. G. 1973. How To solve It. Princeton University Press.
Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru. Rajagrafindo Persada : Jakarta.
Russeffendi, E.T. 1991. Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sagala, S. 2010. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Sharples, J dan Mathews, B. 1989. Learning How To Learn: Investigating Effective Learning Strategies. Victoria: Office of Schools Administration Ministry of Education.
Silver, E. A. dan Smith, M. S. 1996. Building Discourse Communities in Mathematics Calssrooms: A Worthwile but Challengging Journey. In P.c. Elliot, dan M. J. Kenney. (Eds). 1996 Yearbook. Communication in Mathematics K-12 and Beyond. Reston, V A: NCTM
Sudjana, N. 2005. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT. Remaja Rosda karya.
Sumarmo, U. 1999. Implementasi Kurikulum 1994 pada Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah. Laporan Penelitian Bandung: FPMIPA IKIP Bandung.
Syaiful. 2011. Metakognisi Siswa dalam Pembelajaran Matematika Realistik di Sekolah Menengah Pertama. Jurnal Edumatica. Vol 01. No. 02.
Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. JICA:
FMIPA UPI Bandung.
Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Walle De Van A John. 1994. Sekolah Dasar dan Menengah Matematika
Pengembangan dan pengajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wijaya, C. 1999. Pendidikan Remedial. Sarana Pembangunan Mutu Sumber