• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas"

Copied!
134
0
0

Teks penuh

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG

MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS

TESIS

Oleh

FERY KURNIAWAN

077030011/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG

MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI

TINGKAT SALINITAS

TESIS

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Magister Sains Dalam Program Magister Biologi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

FERY KURNIAWAN

077030011/BIO

PROGRAM MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tesis : Keanekaragaman Jenis Fungi Pada Serasah Daun Avicennia marina Yang Mengalami Dekomposisi Pada Berbagai Tingkat Salinitas

Nama Mahasiswa : Fery Kurniawan

Nim : 077030011

Program Studi : Biologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir.Yunasfi, MS) (Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.) (Prof. Dr. Eddy Marlianto, MSc.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 16 Februari 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Yunasfi, MS.

Anggota : 1. Prof. Dr. Dwi Suryanto, MSc.

2. Prof. Dr. Erman Munir, MSc.

(5)

Fungi Diversity in A. marinaLeaf Litter During Decomposition at Various Salinity Level

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of salinity level on the divesity of fungi and the carbohydrates and protein content from A. marina leaf litter during the decomposition process. This research conducted at the Mangrove forest of Kalangan Teluk Tapian Nauli, Aek Horsik village, Badiri, Central Tapanuli, North Sumatera, Microbiology Laboratory of FMIPA USU and at Laboratory of Technology and Industrial Chemistry (PTKI), Medan. This research used randomized complete design with two factors, the first factor was the decomposition time of A. marina leaf litter (T0 = control; T1 = fifteen days; T2 = thirty days; T3 = forty five days T4 = sixty days; T5 = seventy five days; T6 = ninety days; T7 = one hundred and five days; T8 = one hundred and twenty days) and the second factor was the salinity levels (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

The results of this research showed that totally 22 species of fungi were isolated from A. marina leaf litter during decomposition at various salinity level. The highest species of fungi was 17 species at 0-10 ppt and 10-20 ppt salinity level, whereas the lowest species of fungi was 6 species at control. The highest population of fungi was 17.16 x 102 CFU/ml at >30 ppt salinity level. The lowest population of fungi was 11.65 x 102 CFU/ml at control. The frequency of the fungi species colonization during the decomposition process at various salinity level ranged from 12.5 to 100%. The highest species diversity indexs of fungi was 2.74 at 10-20 ppt salinity level and the lowest was 1.35 at control. The highest carbohydrates contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 75 days at 0-10 ppt salinity level was 18.370%. The highest protein contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 105 days at 0-10 ppt salinity level was 4.526%.

(6)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi dan kandungan karbohidrat dan protein serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli, Desa Aek Horsik, Badiri, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T0 = kontrol; T1 = hari 15; T2 = hari 30; T3 = hari 45; T4 = hari 60; T5 = hari 75; T6 = hari 90; T7 = hari 105; T8 = hari ke-120) dan Faktor kedua adalah tingkat salinitas (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 jenis fungi yang berasal dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Jumlah jenis fungi tertinggi dijumpai pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt, yaitu 17 jenis fungi dan jumlah jenis fungi terendah terdapat pada kontrol, yaitu 6 jenis. Populasi fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebanyak 17,16 x 102 CFU/ml. Populasi fungi terendah terdapat pada kontrol yaitu sebanyak 11,65 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk berbagai tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi pada tingkat salinitas 10-20 ppt, yaitu 2,74 dan yang terendah terdapat pada kontrol, yaitu 1,35. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 18,370%. Kandungan protein tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 105 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 4,526%.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan ridho-Nya dan berkat keyakinan, kesehatan, dan kesempatan yang telah diberikan-Nya penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan selesainya penyusunan tesis ini, penulis mengucapkan tarima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M.S sebagai Dosen Pembimbing I, atas perhatian, kesabaran dan kebaikan dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc, sebagai Dosen Pembimbing II atas segala perhatian dan kesabaran dalam memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc, dan Bapak Dr. Budi Utomo, SP, MP,

(8)

5. Ayahanda H. Roddani Hasibuan, BA. dan Ibunda Syaffrida Iriani Sitompul,

yang telah tulus ikhlas memberikan do’a, dana dan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sipirok tanggal 10 Desember 1983. Anak dari Bapak Roddani Hasibuan, BA. dan Ibu Syafrida Iriani Sitompul. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis dapat menamatkan sekolah dasar di SD Negeri 1 Sipirok tahun 1996, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 1 Sipirok tamat tahun 1999, dan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 16 Medan tamat tahun 2002, selanjutnya penulis masuk Universitas Negeri Medan pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Jurusan Pendidikan Biologi tamat tahun 2007.

(10)

DAFTAR ISI

(11)
(12)

DARTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol) pada Berbagai Tingkat Salinitas dan yang

Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 36 2. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi 37 3. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi dengan Lama Masa Dekomposisi dari 15 hari Sampai 120 hari pada Berbagai

Tingkat Salinitas 39

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Kerangka Pemikiran 6

2. Zonasi Mangrove Alami yang Masih Lengkap 13 3. Bentuk dan Ukuran Kantong Serasah yang Digunakan Untuk Penempatan Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas 49 9. Rata-rata Total Kadar Karbohidrat Serasah Daun A. marina yang

13. Jenis-Jenis Makrofauna yang Terdapat pada Berbagai Tingkat Salinitas dengan : A.Cacing Nereis (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt >30 ppt); 16. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Kontrol

dan pada Berbagai Tingkat Salinitas 58

(14)

pada Tingkat Salinitas 0-10 ppt 61 18. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt 62

19. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas 20-30 ppt 63

20. Hubungan Laju Dekomposisi dengan Pola Suksesi Berbagai Jenis Fungi

pada Tingkat Salinitas >30 ppt 64

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

N0 Judul Halaman

1. Ciri Maskroskopik dan Mikroskopik Fungi yang Ditemukan pada Serasah Daun A. marina yang Belum dan Telah Mengalami Dekomposisi

pada Berbagai Tingkat Salinitas 87

2. Data Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai

Tingkat Salinitas 109

3. Data Bobot Kering (g) Sisa Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas dan Lama Masa Dekomposisi 112 4. Rata-rata Laju Dekomposisi dan Lama Masa Serasah Terdapat di Lingkungan pada Berbagai Tingkat Salinitas 113 5. Kadar Karbohidrat (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada

Berbagai Tingkat Salinitas 114

6. Kadar Protein (%) Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15–105 Hari Tiap Ulangan di Lingkungan Pada Berbagai

Tingkat Salinitas 115

7. Data Analisis Sidik Ragam 116

8. Petak-petak Penempatan Kantong Berisi Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas (A). 0-10 ppt (B). 10 - 20 ppt; (C).20 - 30 ppt

(16)

Fungi Diversity in A. marinaLeaf Litter During Decomposition at Various Salinity Level

ABSTRACT

The aim of this research was to investigate the effect of salinity level on the divesity of fungi and the carbohydrates and protein content from A. marina leaf litter during the decomposition process. This research conducted at the Mangrove forest of Kalangan Teluk Tapian Nauli, Aek Horsik village, Badiri, Central Tapanuli, North Sumatera, Microbiology Laboratory of FMIPA USU and at Laboratory of Technology and Industrial Chemistry (PTKI), Medan. This research used randomized complete design with two factors, the first factor was the decomposition time of A. marina leaf litter (T0 = control; T1 = fifteen days; T2 = thirty days; T3 = forty five days T4 = sixty days; T5 = seventy five days; T6 = ninety days; T7 = one hundred and five days; T8 = one hundred and twenty days) and the second factor was the salinity levels (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

The results of this research showed that totally 22 species of fungi were isolated from A. marina leaf litter during decomposition at various salinity level. The highest species of fungi was 17 species at 0-10 ppt and 10-20 ppt salinity level, whereas the lowest species of fungi was 6 species at control. The highest population of fungi was 17.16 x 102 CFU/ml at >30 ppt salinity level. The lowest population of fungi was 11.65 x 102 CFU/ml at control. The frequency of the fungi species colonization during the decomposition process at various salinity level ranged from 12.5 to 100%. The highest species diversity indexs of fungi was 2.74 at 10-20 ppt salinity level and the lowest was 1.35 at control. The highest carbohydrates contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 75 days at 0-10 ppt salinity level was 18.370%. The highest protein contain on A. marina leaf litter during decomposition a long 105 days at 0-10 ppt salinity level was 4.526%.

(17)

KEANEKARAGAMAN JENIS FUNGI PADA

SERASAH DAUN Avicennia marina YANG MENGALAMI DEKOMPOSISI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas terhadap keanekaragaman jenis fungi dan kandungan karbohidrat dan protein serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi. Penelitian ini dilakukan di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli, Desa Aek Horsik, Badiri, Tapanuli Tengah Sumatera Utara, Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia Industri, Medan. Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak lengkap faktorial dengan 2 faktor yaitu faktor pertama adalah waktu pengambilan serasah (T0 = kontrol; T1 = hari 15; T2 = hari 30; T3 = hari 45; T4 = hari 60; T5 = hari 75; T6 = hari 90; T7 = hari 105; T8 = hari ke-120) dan Faktor kedua adalah tingkat salinitas (S1 = 0-10 ppt; S2 = 10-20 ppt; S3 = 20-30 ppt; S4 = >30 ppt).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 22 jenis fungi yang berasal dari serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas. Jumlah jenis fungi tertinggi dijumpai pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt, yaitu 17 jenis fungi dan jumlah jenis fungi terendah terdapat pada kontrol, yaitu 6 jenis. Populasi fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebanyak 17,16 x 102 CFU/ml. Populasi fungi terendah terdapat pada kontrol yaitu sebanyak 11,65 x 102 CFU/ml. Frekuensi kolonisasi fungi untuk berbagai tingkat salinitas berkisar antara 12,5% sampai 100%. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi pada tingkat salinitas 10-20 ppt, yaitu 2,74 dan yang terendah terdapat pada kontrol, yaitu 1,35. Kandungan karbohidrat tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 75 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 18,370%. Kandungan protein tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 105 hari pada tingkat salinitas 0-10 ppt, yaitu 4,526%.

(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai lebih kurang 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar baik hayati maupun non hayati. Pesisir merupakan wilayah perbatasan antara daratan dan lautan, oleh karena itu wilayah ini dipengaruhi oleh proses-proses yang ada di darat maupun yang ada di laut. Wilayah demikian disebut sebagai ekoton, yaitu daerah transisi yang sangat tajam antara dua atau lebih komunitas (Odum, 1971). Sebagai daerah transisi, ekoton dihuni oleh organisme yang berasal dari kedua komunitas tersebut yang secara berangsur-angsur menghilang dan diganti oleh spesies lain yang merupakan ciri ekoton, yaitu seringkali kelimpahan organisme lebih besar dari dari komunitas yang mengapitnya (Kaswadji, 2001).

(19)

Hutan mangrove merupakan daerah yang memiliki arti penting dan memberikan fungsi dan manfaat bagi manusia dan alam. Hutan mangrove tidak saja bermanfaat dalam menghasilkan kayu, namun juga berperan sebagai penyangga ekosistem laut maupun ekosistem daratan (Kartawinata et al., 1979).

Satu diantara beberpa manfaat hutan mangrove adalah menyediakan sejumlah makanan dan unsur hara bagi beberapa spesies hewan laut yang mempunyai peran penting bagi ekosistem. Unsur hara dan sejumlah besar bahan organik di hutan mangrove, sebagian besar berasal dari luruhan daun-daun mangrove yang disebut serasah daun serta organisme yang telah mati dan diuraikan oleh mikroorganisme (Alongi, 1994). Sebagian kecil daun-daun mangrove dimakan oleh hewan darat, selebihnya jatuh ke laut dan merupakan penyumbang bahan organik yang penting bagi rantai makanan. Daun-daun mangrove yang jatuh tersebut diuraikan oleh fungi dan bakteri menjadi substrat yang kaya protein (Feliatra, 2001).

(20)

mangrove dan kondisi lingkungan tempat tumbuh organisme seperti suhu air, pH air, salinitas air, kandungan oksigen terlarut dalam air, kandungan hara organik dalam air dan lain-lain. Dalam proses dekomposisi, semua faktor baik faktor fisik, kimia maupun biologis saling berinteraksi satu sama lain (Anderson and Swift, 1979).

Di lingkungan perairan, keterlibatan mikroorganisme pengurai seperti fungi dalam ekosistem setempat jelas tidak dapat diabaikan (Efendi, 1999). Fungi terdapat hampir di seluruh ekosistem yang terdapat di bumi dimana bertanggung jawab untuk mendegradasi dan mendaur ulang unsur-unsur atau elemen esensial seperti karbon, nitrogen dan fosfor (Alongi, 1994).

Di Indonesia banyak terdapat jenis mangrove Avicennia marina yang merupakan salah satu jenis mangrove yang toleran terhadap kisaran salinitas yang luas bila dibandingkan dengan jenis mangrove yang lain (Mac Nae, 1978). Selain itu A. marina juga dapat menghasilkan serasah dan sebanyak 310 g/m2 tiap bulan (Clarke, 1994).

(21)

1.2Pembatasan Masalah

Penelitian tentang dekomposisi di hutan mangrove Kalangan Teluk Tapian Nauli dibatasi pada serasah daun Avicennia marina. Adapun proses dekomposisi serasah ini dilakukan oleh mikroorganisme pengurai seperti bakteri dan fungi. Penelitian ini difokuskan untuk mengamati keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang dihubungkan dengan faktor salinitas air, kadar unsur hara seperti karbohidrat dan protein. Hal ini didasarkan pada kenyataan di lapangan bahwa kehidupan mangrove sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang bersifat salin dan dekomposisi serasah yang mempengaruhi kadar unsur hara seperti karbohidrat dan protein.

1.3Rumusan Masalah

(22)

1.4 Kerangka Pemikiran

(23)
(24)

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi jenis fungi dan keanekaragaman jenis fungi serta kuantitas karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas.

1.6 Hipotesis Penelitian

Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi jenis fungi, keanekaragaman jenis fungi serta kuantitas karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah daun A. marina.

1.7 Manfaat Penelitian

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Peranan Ekosistem Mangrove

Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, 1994 dalam Santoso, 2000).

Pada mulanya, hutan mangrove hanya dikenal secara terbatas oleh kalangan ahli lingkungan, terutama lingkungan laut. Kawasan hutan mangrove dikenal dengan istilah vloedbosh, kemudian dikenal dengan istilah “payau” karena sifat habitatnya yang payau. Berdasarkan dominasi jenis pohon yang terdapat di daerah tersebut yaitu bakau, maka kawasan mangrove juga disebut sebagai hutan bakau. Kata mangrove merupakan kombinasi antara mangue (bahasa portugis) yang berarti tumbuhan dan grove (bahasa Inggris) yang berarti belukar atau semak kecil (Arif, 2007).

(26)

pasang surut. Sehingga hutan mangrove juga disebut “hutan pasang” (Steenis, 1978). Berdasarkan Surat keputusan Dirjen Kehutanan no. 60/Kpts/Dj/I/1978, hutan mangrove dikatakan sebagai hutan yang terdapat di sepanjang pantai muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut, yakni tergenang pada waktu pasang dan bebas genangan pada waktu surut.

Snedaker (1978) memberikan pengertian panjang mengenai hutan mangrove, yakni suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh di sepanjang garis tropika dan subtropika yang terlindung dan memiliki semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob. Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona intertidal tropika dan subtropika berupa rawa atau hamparan lumpur yang dibatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan sebutan bagi organisme yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan disebut halofita (halophitic vegetation).

(27)

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang surut air laut) dan kedua sebagai individu spesies (Macnae, 1968). Supaya tidak rancu, Macnae menggunakan istilah “mangal” apabila berkaitan dengan komunitas hutan dan “mangrove” untuk individu tumbuhan. Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Khazali (1999), penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Hutan mangrove banyak ditemui di pantai, teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung. Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati yang tertinggi di dunia dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit dan 2 spesies parasit (Nontji, 1993).

(28)

Pada wilayah pesisir yang terbuka, jenis pohon yang dominan dan merupakan pohon perintis umumnya adalah Api-api (Avicennia spp.) dan Pidada (Sonneratia spp.). Api-api umumnya hidup pada tanah berpasir agak keras, sedangkan Pidada pada tanah yang berlumpur lembut. Pada daerah yang terlindung dari hempasan ombak, komunitas mangrove biasanya didominasi oleh Bakau (Rhizophora spp.). Lebih ke arah daratan (hulu), pada tanah lempung yang agak pejal, biasanya tumbuh komunitas Tanjang (Bruguiera spp.). Nipah (Nypa fruticans) merupakan sejenis palma dan merupakan komponen penyusun ekosistem mangrove, yang seringkali tumbuh di tepian sungai lebih ke hulu, dan mendapatkan pengaruh aliran air tawar yang dominan. Komunitas Nipah tumbuh secara optimal di kiri-kanan sungai-sungai besar di Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya (Soerianegara, 1998).

Ekosistem mangrove merupakan tempat berlangsungnya kehidupan berbagai jenis organisme yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).

(29)

dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang mendominasi (Arif, 2007).

Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut. 1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemui berasosiasi dengan Sonnetaria spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan air laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pionir, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran dari jenis tumbuhan ini. 2. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonnetaria. Pada zona

ini, tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut.

3. Zona Bruguiera, terletak di belakang Zona Rhizophora. Pada zona ini tanah berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan. 4. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini

sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari sungai ke laut.

(30)

laut. Pembagian zonasi berdasarkan vegetasi yang mendominasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Zonasi Mangrove Alami yang Masih Lengkap (Arif, 2007)

(31)

Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber nutrisi untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Abdullah, 1984).

Nontji (1993) melaporkan bahwa kurang lebih 80 spesies dari Crustaceae,dan 65 spesies Mollusca terdapat di ekosistem mangrove di Indonesia. Tumbuhan mangrove termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan unsur hara penting bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik, khususnya udang Penaeidae dan ikan bandeng (Chanos chanos).

2.2.Proses Dekomposisi Serasah

Dekomposisi dapat didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika yang dipandang sebagai reduksi komponen-komponen organik menjadi berat molekul yang lebih rendah melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim protease, selulase, ligninase yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati (Sunarto, 2003).

(32)

(5) larutan eter, alkohol, lemak, minyak, lilin, resin dan pigmen, (6) protein. Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim-enzim tertentu yang dimiliki oleh jenis-jenis organisme tertentu (Dix and Webster, 1995).

Selulosa merupakan suatu polimer glukosa yang terdapat di alam yang menyusun komponen dinding sel tumbuhan. Komponen lain yang juga menyusun dinding sel tumbuhan seperti hemiselulosa dan lignin. Selulosa merupakan homopolisakarida yang tersusun atas unit-unit β-D-glukopiranosa (500-10000 residu gula) yang terikat satu sama lain melalui ikatan β-1,4 glikosidik. Hemiselulosa merupakan polimer glukosa yang dibangun oleh ikatan β-1,4 glikosidik dengan rantai lurus atau bercabang yang relatif pendek (100-300 residu gula) dibandingkan dengan selulosa. Lignin merupakan suatu polimer kompleks dengan bobot molekul yang tinggi dan tersusun oleh unit-unit fenilpropanoid yaitu alkohol kumaril, alkohol koniferil dan alkohol sinapil (Robinson, 1991).

(33)

Selulase Selulase Selobiose

Selulosa Rantai panjang Selobiosa Glukosa Anhidroglukosa β-1,4

Filed et al. (1993); Evans et al. (1994) menyatakan bahwa kelompok peroksidase (lignin peroksidase/LiP dan manganese peroksidase/MnP) yang menggunakan H2O2

dan lakase (polifenol oksidase) yang menggunakan molekul oksigen berperan dalam proses degradasi lignin.

Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu sebagai lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan. Serasah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arif, 2007).

Menurut Nybakken (1993) terdapat tiga tahap proses dekomposisi serasah yaitu (1) proses leaching merupakan mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air, (2) penghawaan (wathering) merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air dan (3) aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan proses dekomposisi.

(34)

dan magnesium. Ketika gugur ke permukaan substrat, daun-daun yang banyak mengandung unsur hara tersebut tidak langsung mengalami pelapukan atau pembusukan oleh mikroorganisme, tetapi memerlukan bantuan hewan-hewan yang disebut makrobentos. Makrobentos ini memiliki peranan yang sangat besar dalam penyediaan hara bagi pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon mangrove maupun bagi mangrove itu sendiri. Makrobentos berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil, yang kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil lagi yaitu mikroorganisme. Pada umumnya keberadaan makrobentos dapat mempercepat proses dekomposisi serasah daun tersebut (Hogart, 1999).

Kecepatan dekomposisi serasah daun hingga dapat menyatu ke dalam tanah mineral juga tergantung pada faktor fisik dan jenis tumbuhan itu sendiri. Pada komunitas tumbuhan tertentu, produksi serasah akan tinggi sedangkan kecepatan pelapukan serasah akan berlangsung lambat. Dalam hal ini, serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix and Webster, 1995).

(35)

Lama proses dekomposisi daun jenis-jenis pohon mangrove telah banyak diteliti, dengan hasil yang menunjukkan adanya perbedaan kecepatan waktu. Dekomposisi serasah mangrove jenis api-api memerlukan waktu sekitar 20 hari, sedangkan dekomposisi mangrove jenis bakau memerlukan waktu selama 40 hari (Boonruang, 1984).

Lama dekomposisi serasah daun juga berhubungan dengan kandungan fenol yang besar dan nisbah C : N yang besar sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi bagi hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm) ternyata lebih menyukai daun-daun dengan tingkat polifenol yang kecil dan nisbah C : N kecil. Daun-daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N kecil umumnya memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih kuat (Dix and Webster, 1995).

2.3. Peranan Mikroorganisme Fungi dalam Proses Dekomposisi Serasah

(36)

sederhana. Fungi dapat hidup dimana saja, sehingga penyebarannya di alam menjadi sangat luas, misalnya dalam tanah, dalam air, pada bahan-bahan organik, bahan makanan dan dapat hidup sebagai parasit pada tanaman, hewan atau pada tubuh manusia dan ada juga yang bersimbiosis dengan jasad hidup lain (Tarigan, 1988).

Fungi lebih tahan terhadap pengaruh kondisi lingkungan yang ekstrim bila dibandingkan dengan kebanyakan mikroorganisme lainnya. Fungi dapat tumbuh dalam suatu substrat atau medium makanan yang mengandung konsentrasi gula yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Fungi juga lebih tahan terhadap suasana asam jika dibandingkan dengan organisme lainnya. Substrat yang dibutuhkan mikroorganisme untuk kelangsungan hidupnya berhubungan erat dengan susunan kimia yang berupa protein, karbohidrat, asam nukleat, mineral-mineral seperti N, S, C, P, Ca, Fe, Mg, dan Mn. Fungi umumnya dapat menggunakan banyak sumber makanan dari senyawa kimia yang sederhana sampai yang kompleks. Sebagian fungi mempunyai enzim pektinase, amilase, protease dan lipase untuk mengolah makanannya (Tarigan, 1988).

(37)

mengkonsumsi zat hara yang berupa detritus, diantara berbagai fauna ini ada yang berperan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme. Dekomposer awal ini akan meremas-remas atau mencacah substansi sisa bagian pohon yang kemudian dikeluarkan kembali sebagai kotoran. Cacing maupun kepiting dan sebangsanya pada umumnya memanfaatkan sisa tumbuhan yang tidak berfungsi, misalnya daun, ranting, bunga, kulit batang dan akar. Mereka memakan daun-daun yang berguguran sehingga sesungguhnya sebagian besar daun itu tidak mengalami proses pembusukan seperti biasanya melainkan mengalami proses pembusukan sebagai hasil dari ekskresi (Macnae, 1968).

Dalam subsistem dekomposisi, organisme middle atau mesofauna atau mesobentos juga berperan dalam perombak awal bahan tanaman, serasah, dan bahan organik lainnya (misalnya kayu dan akar). Mesobentos mengkonsumsi bahan-bahan tersebut dengan cara melumat dan mengunyah (ingested) serta mencampurnya dengan sisa-sisa bahan organik sehingga menjadi bagian yang lebih kecil siap didekomposisi oleh mikroba tanah (Handayanto, 1996).

Makrobentos pada umumnya mempercepat proses dekomposisi. Setelah itu, fungi akan berperan sangat besar dalam proses degradasi daun karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Bell, 1974).

(38)

mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati. Proses dekomposisi 0leh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan misalnya air, keasaman, suhu, oksigen, substrat dan inhibitor. Beberapa jenis daun sangat sulit mengalami pelapukan karena adanya kandungan unsur-unsur kimia di dalam lembaran daun sehingga beberapa dekomposer seperti fungi tidak dapat segera membusukkannya (Dix and Webster, 1995).

2.4 Kadar karbohidrat dan Total Protein Serasah Daun A. marina yang

Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Serasah yang berupa cabang, ranting dan daun yang jatuh dari tajuk tumbuhan merupakan bahan dasar yang dapat menghasilkan bahan-bahan organik yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dan organisme untuk tumbuh dan berkembang pada lingkungan tempat hidupnya. Untuk dapat menghasilkan bahan-bahan organik tersebut maka serasah harus terdekomposisi terlebih dahulu. Dalam proses dekomposisi serasah terlibat berbagai komponen yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya sehingga serasah yang mempunyai bentuk utuh dapat diuraikan menjadi bahan-bahan organik yang bentuknya lebih sederhana. Fungi menguraikan senyawa organik seperti lignin, selulosa, karbohidrat dan protein menjadi lebih sederhana (Yunasfi, 2006).

(39)

menjadi selulosa yang merupakan penyusun dinding sel tumbuhan. Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau keton dengan rumus empirik (CH2O)n, merupakan

zat padat berwarna putih yang sukar larut dalam pelarut organik, tetapi larut dalam air kecuali beberapa polisakarida atau disebut juga senyawa karbonil alami dengan beberapa gugus hidroksi dan disebut juga turunan aldehida atau keton dari alkohol polihidroksi atau zat-zat yang pada hidrolisisnya menghasilkan derivat-derivat tersebut. Karbohidrat dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu monosakarida (satu unit aldehida atau keton), oligosakarida (beberapa unit monosakarida), dan polisakarida, molekul besar liniar atau bercabang yang banyak mengandung unit monosakarida (Iswari et al., 2006).

Protein merupakan makromolekul yang berlimpah di dalam sel, menyusun setengah dari berat kering. Protein terdiri dari rantai polipeptida yang panjang, yang disusun oleh 100 sampai 1000 unit asam amino yang disatukan oleh ikatan peptida. Protein sederhana hanya menghasikan asam amino dengan hidrolisis. Protein konjugasi mengandung beberapa komponen tambahan lain seperti ion logam atau gugus prostetik organik. Beberapa protein berbentuk serabut dan bersifat tidak larut, yang lain berbentuk globular dengan rantai polipeptida yang berlipat-lipat. Terdapat 20 jenis asam amino yang terkandung dalam protein. Enzim berperan dalam pengubahan karbohidrat, lemak, protein dan beberapa zat lainnya yang terdapat dalam medium (Iswari et al., 2006).

(40)

membebaskan sejumlah energi. Reaksi ini melibatkan sejumlah enzim. Jumlah enzim yang dihasilkan oleh sel mikroorganisme sangat sedikit tetapi mempunyai daya yang besar untuk melakukan perubahan-perubahan kimia yang terjadi di dalam sel (Tarigan, 1988).

(41)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli 2009 sampai November 2009 yang bertempat di kawasan hutan mangrove Teluk Tapian Nauli Desa Aek Horsik, kecamatan Badiri Tapanuli Tengah (luas 604,2 hektar dan secara geografis terletak pada 1o 27’ - 1o 40’ LU dan 98o 45’ - 98o 55’ BT). Isolasi dan Identifikasi fungi dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FMIPA USU dan analisis karbohidrat dan protein dilakukan di Laboratorium Pendidikan Teknologi Kimia industri.

3.2Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan adalah: Serasah daun Avicennia marina, Media Agar yaitu Potato Dextrose Agar (PDA), antibiotik chloramphenicol, alkohol 96%, alkohol 70%, desinfektan, air laut dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, 30 > ppt, aquades, kapas.

(42)

alumunium foil, gelas Beaker, labu Erlenmeyer, gelas ukur, corong, spatula, batang pengaduk, bunsen, spiritus, hockeystick, mancis, pipet mikro, propipet, pipet serologi (0,1, 1,0, 2,0, 5,0 10 ml), pipet volumetri, sprayer, kertas saring, kertas lebel, kaca objek, kaca penutup, pinset, kotak penyimpan biakan, kotak slide, kamera dan rol meter.

3.3 Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel fungi yang meliputi jumlah jenis fungi, populasi fungi, frekuensi kolonisasi berbagai jenis fungi dan keanekaragaman jenis fungi.

2. Variabel serasah yang meliputi laju dekomposisi serasah, bobot serasah sisa pada tiap tahap dekomposisi, kandungan kimia serasah yaitu karbohidrat dan total protein yang terdapat pada serasah pada tiap tahap proses dekomposisi.

3.4 Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) faktorial dengan tiga ulangan yang terdiri atas dua faktor, yaitu:

(43)

Faktor kedua adalah tingkat salinitas atau plot (S) yang terdiri atas: S1 = Tingkat salinitas 0-10 ppt

S2 = Tingkat salinitas 10-20 ppt S3 = Tingkat salinitas 20-30 ppt S4 = Tingkat salinitas >30 ppt

3.5 Metode Pengambilan Data

3.5.1 Pengumpulan Serasah Daun A. marina

Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan penampung serasah yang terbuat dari jaring kasa nilon yang berukuran 2x2 m sebanyak 10 kain nilon yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara kedua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi hal ini dimaksudkan untuk menghindari air saat pasang.. Serasah daun A. Marina yang sudah menguning atau gugurdikumpulkan sekitar 4800 gram (50 g serasah x 9 perlakuan x 3 ulangan x 4 kelompok) dan kontol 150 gram (50 g serasah x 3 ulangan. Serasah daun A. marina yang terkumpul dipisahkan menurut komponennya yaitu daun, bunga, hipokotil, dan ranting.

3.5.2 Penempatan Serasah Daun di Lokasi Penelitian

(44)

serasah di tempatkan pada lokasi penelitian pada berbagai tingkat salinitas yang telah diukur dengan hand refraktometer (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, dan >30 ppt).

Gambar 3. Bentuk dan Ukuran Kantong Serasah yang Digunakan Untuk Penempatan Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas

Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan di atas dibuat satu plot berukuran 170 cm x 500 cm dengan jumlah plot keseluruhan sebanyak empat plot (Gambar 4). Kantong serasah yang berisi serasah daun A marina ditempatkan secara acak pada plot-plot ini (Lampiran 8, hlm: 117). Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut maka keempat ujung kantong serasah diikatkan pada potongan pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang 50 cm dan diameter 1,5 cm.

5 cm

30 Cm 40

Cm

(45)

Keempat potongan bambu yang sudah diikatkan dengan kantong serasah, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai kedalaman 40 cm. Sebanyak 3 kantong berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali dua minggu dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-120 (sebanyak 11 kali pengambilan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Pada hari ke-120, semua serasah diperkirakan telah mengalami dekomposisi dengan sempurna.

Gambar 4. Letak Plot untuk Penempatan Kantong Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas

> 30 ppt

Hutan Mangrove

B T

U

S

20 – 30 ppt

10 – 20 ppt

0 – 10 ppt

150 M

(46)

3.5.3 Isolasi Fungi dari Serasah DaunA. marina

(47)

lemari pendingin agar sub-biakan tidak cepat mati. Sub-biakan digunakan sebagai bahan untuk identifikasi fungi.

Gambar 5. Metode pengeceran serasah daun A. marina untuk isolasi fungi pada cawan petridish

3.5.4 Identifikasi Fungi dari Serasah DaunA. marina

Biakan murni fungi diremajakan pada media PDA pada cawan petri dan diinkubasi selama 5-7 hari pada suhu ruang. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopiknya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna hifa, dan warna massa spora atau konidia. Pengamatan fungi secara mikroskopik dilakukan dengan metode Block square yaitu spora fungi dari hasil biakan murni digoreskan pada seluruh bagian pinggir potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm kemudian diletakkan pada kaca obyek dan ditutup dengan gelas penutup. Biakan pada

(48)

kaca obyek ini ditempatkan dalam cawan Petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah atau dengan kertas saring yang dibasahi. Biakan kaca obyek ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh dan berkembang. Fungi yang berkembang diamati ciri mikroskopiknya yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, tipe percabangan hifa. Ciri-ciri yang didapatkan ditabulasi, kemudian dicocokan dengan kunci identifikasi fungsi (Rifai, 1973., Samson et al., 1984, Gandjar et al., 1999). Setelah diidentifikasi dicatat jumlah tiap-tiap jenis fungi, populasi, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi fungi yang terdapat pada serasah A. marina. Kegiatan ini dilakukan tiap kali pengambilan serasah dari lapangan selama masa proses dekomposisi yaitu mulai dari hari ke-0 (kontrol) sampai hari ke-120.

3.6. Penentuan Kuantitas Karbohidrat dan Total Protein yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi

3.6.1 Penentuan Kuantitas Karbohidrat

Kadar karbohidrat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dapat diketahui dengan menghitung kadar abu dengan cara sebagai berikut:

(49)

ke dalam tanur listrik pada suhu 400-6000C. Contoh uji diangkat seluruhnya setelah menjadi abu yang berwarna putih dan didinginkan dalam eksikator. Setelah satu jam, abu ini ditimbang dengan bobot (Z).

Penentuan kadar abu ditentukan dengan rumus (1). Kadar Abu =

X = Bobot cawan porselin Y = Bobot contoh uji awal

Z = Bobot contoh setelah menjadi abu

Penentuan kadar karbohidrat dilakukan dengan menggunakan rumus (2). Kadar Karbohidrat = (Bobot kering –Abu) x 100% (2)

Berat contoh uji awal

3.6.2 Penentuan Kadar Protein

Analisis protein dilakukan dengan 3 tahap yaitu: tahap destruksi, tahap destilasi dan tahap titrasi. Adapun secara rinci metode analisis diuraikan sebagai berikut: sebanyak 0,3 g bobot kering contoh uji (X) dimasukkan ke dalam labu dekstruksi, kemudian ditambahkan 3 sendok kecil katalis campuran selen dan 20 ml H2SO4 pekat secara homogen. Campuran ini selanjutnya dipanaskan dengan alat

(50)

larutan menjadi jernih dan berwarna hijau kekuningan. Proses ini dilakukan diruang asam (tahap dekstruksi).

Setelah labu dekstruksi didinginkan, larutan contoh uji dimasukkan ke dalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300 ml air yang tidak mengandung N. Selanjutnya ke dalam larutan dimasukkan beberapa butir batu didih dan ditambahkan 100 ml NaOH 33%. Proses penyulingan ini dilakukan sampai semua N ditangkap oleh H2SO4 yang ada dalam labu Erlenmeyer atau bila 2/3 cairan dalam labu telah

menguap (tahap destilasi).

Sisa H2SO4 yang terdapat pada labu Erlenmeyer dititrasi kembali dengan

menggunakan larutan NaOH 0,3 N. Proses titrasi berakhir setelah terjadi perubahan warna menjadi biru kehijauan yang menandakan titik akhir titrasi. Volume NaOH dicatat sebagai Z ml, selanjutnya dibandingkan dengan blanko Y ml (tahap titrasi). Kadar protein dapat ditentukan dengan rumus (3).

Kadar Protein = (Y-Z) x N NaOH x 0,014 x 6,25 x 100% (3) X

dengan:

(51)

3.7 Analisis Data

3.7.1 Keanekaragaman Jenis Fungi

Analisis keanekaragaman jenis fungi dilakukan dengan menggunakan Indeks Diversitas Shannon-Winner (1949) dalam Ludwig dan Reynold (1988):

H = ∑ (pi) Ln (pi)

H = - ∑ │( ni /N ) ln ( ni / N ) │ (4) Keterangan :

H`= Indeks Keanekaragaman Jenis Pi = ni/N

Ni = Nilai kuantitatif suatu jenis

N = Jumlah nilai kuantitatif semua jenis dalam komunitas S = Jumlah Total Spesies

3.7.2 Laju Dekomposisi Serasah

Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan persamaan (Olson, 1963) : (5)

Xt / X0 = e – kt (5)

Xt = X0. e – kt

1n Xt = 1n X0 – kt

dengan:

Xt = Berat serasah setelah waktu pengamatan ke-t

(52)

e = Bilangan logaritma natural (2,72) k = Laju dekomposisi serasah

t = Waktu pengamatan

3.7.3 Model Linear dan Analisis Ragam untuk Rancangan Acak Kelompok

Model linear untuk rancangan acak kelompok dapat ditulis dengan rumus: Yij = µ + τi + β j + ε ij (6)

dengan:

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-I dan kelompok ke-j µ = Rataan umum (nilai tengah populasi)

τi = Pengaruh perlakuan ke-i

β j = Pengaruh kelompok ke-j

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1. Hasil.

4.1.1. Jenis-jenis Fungi pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Dekomposisi dan yang Telah Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Hasil isolasi fungi dari serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol) dan yang telah mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas didapatkan 22 jenis fungi (Tabel 1).

(54)

Dari 22 jenis fungi tersebut terdapat 6 kelompok fungi yaitu kelompok Aspergillus sebanyak 7 jenis, Penicillium sebanyak 9 jenis, Trichoderma sebanyak 3 jenis, Arthrinium, Curvularia dan Mucor masing-masing sebanyak 1 jenis.

4.1.2. Jenis-Jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi (Kontrol)

Hasil isolasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan (kontrol) diperoleh 6 jenis fungi yang bervariasi yaitu fungi dari kelompok Aspergillus, Arthrinium dan Trichoderma. Pada kontrol, fungi dari kelompok Aspergillus ini mendominasi baik dari segi jenis maupun dari segi jumlah dengan jenis fungi Aspergillus sp.1 menempati urutan tertinggi pertama dari segi jumlah yaitu memiliki rataan jumlah koloni sebesar 5,33 x 102 CFU/ml yang diikuti oleh Aspergillus sp.4 dengan rataan jumlah koloni sebesar 3,66 x 102 CFU/ml sedangkan fungi dari jenis Trichoderma sp.1 dan Arthrinium phaeospermum memiliki rata-rata jumlah koloni terendah yaitu sebesar 0,33 x 102 CFU/ml (Tabel 2).

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml) dari Tiap Jenis Fungi pada Serasah Daun A.marina yang Belum Mengalami Proses Dekomposisi

No. Jenis Fungi Rataan Jumlah Koloni x 102 (CFU/ml)

1. Aspergillus sp. 1 5,33

2. Aspergillus sp. 2 1

3. Aspergillus sp. 3 1

4. Arthrinium phaeospermum 0,33

5. Aspergillus sp. 4 3,66

6. Trichoderma sp. 1 0,33

(55)

4.1.3. Jenis-Jenis Fungi yang Terdapat pada Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Hasil isolasi fungi yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas diperoleh jenis-jenis fungi sebanyak 16 jenis. Dari 16 jenis fungi tersebut terdapat 5 kelompok fungi yaitu kelompok Aspergillus sebanyak 3 jenis, Penicillium sebanyak 9 jenis, Trichoderma sebanyak 2 jenis, Curvularia dan Mucor masing-masing sebanyak 1 jenis sedangkan Arthrinium phaeospermum merupakan jenis fungi yang telah muncul sebelumnya pada kontrol.

(56)
(57)
(58)

7. Penicillium sp. 2 0,33 0 0 0 0 0 0 0,67 1 0,13 2 8 25,00

8. Penicillium sp. 8 0 0 0,33 0,33 0 0 0 0 0,66 0,08 2 8 25,00

9. Penicillium sp. 3 0 0 0 0 0 0,33 0 1 1,33 0,17 2 8 25,00

10. Penicillium sp. 4 0 0 0 0 0 0 2,33 1,33 3,66 0,46 2 8 25,00

11. Curvularia lunata 0 0 0 0 0 0,67 0 0,67 1,34 0,17 2 8 25,00

12. Trichoderma sp. 2 0 0 0 0 0 0,33 0,33 0 0,66 0,08 2 8 25,00

13. Penicillium sp. 5 6 0 0 0 0 0 0 0 6 0,75 1 8 12,50

14. Penicillium sp. 6 0 0 0 0,33 0 0 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

15. Mucor plumbeus 0 0 0 0 0 0,33 0 0 0,33 0,04 1 8 12,50

16. Trichoderma sp. 3 0 0 0 0 0,67 0 0 0 0,67 0,08 1 8 12,50

Total 137,29 17,16

(59)

Pada tingkat salinitas 0-10 ppt, terdapat 17 jenis fungi yang berhasil diisolasi dari serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi dari 15 hari sampai 120 hari dengan 5 jenis fungi merupakan fungi pioner yang telah muncul sebelumnya pada kontrol yaitu Aspergillus sp.1, Aspergillus sp.2, Aspergillus sp.3, Arthrinium phaeospermum, Trichoderma sp.1 sedangkan 12 jenis fungi lagi merupakan kemunculan jenis fungi baru yaitu Penicillium sp.1, Aspergillus sp.5, Aspergillus sp.6, Penicillium sp.2, Penicillium sp.3, Penicillium sp.4, Curvularia lunata, Trichoderma sp.2, Penicillium sp.5, Penicillium sp.6, Aspergillus sp.7, Penicillium sp.7 (Lampiran 1).

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah koloni terbanyak ditempati oleh jenis Aspergillus sp.1 yaitu sebesar 6,46 x 102 CFU/ml sedangkan rata-rata jumlah koloni terendah ditempati oleh jenis Penicillium sp.6 dan Penicillium sp.7 yaitu sebesar 0,04 x 102 CFU/ml. Dari 8 kali pengamatan, Aspergillus sp.1 muncul sebanyak 6 kali dengan frekuensi kolonisasi fungi tertinggi yaitu sebesar 75% sedangkan frekuensi kolonisasi terendah ditempati oleh jenis Aspergillus sp.6, Penicillium sp.2, Penicillium sp.3, Penicillium sp.4, Curvularia lunata, Trichoderma sp.2, Penicillium sp.6, Aspergillus sp.7 dan Penicillium sp.7 yaitu sebesar 12,50%.

(60)

sedangkan pada tingkat salinitas 0-10 ppt didapatkan jumlah total koloni dan rata-rata jumlah koloni yang lebih banyak yaitu masing-masing sebesar 133,30 x 102 CFU/ml dan 16,66 x 102 CFU/ml.

Pada tingkat salinitas 10-20 ppt juga ditemukan 3 jenis fungi baru yaitu Penicillium sp.8, Penicillium sp.9 dan Trichoderma sp.3 (Lampiran 1) sedangkan sisanya 14 jenis fungi merupakan fungi yang telah muncul pada tingkat salinitas sebelumnya (0-10 ppt). Jenis fungi yang paling banyak ditemukan adalah Aspergillus sp.1 dengan rata-rata jumlah koloni terbanyak yaitu sebesar 4,33 x 102 CFU/ml sedangkan jenis fungi yang paling sedikit ditemukan adalah Penicillium sp.9, Penicillium sp.4 dan Trichoderma sp.3 dengan rata-rata jumlah koloni terendah yaitu masing-masing sebesar 0,04 x 102 CFU/ml (Tabel 3).

Dari 8 kali pengamatan, kemunculan Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 masing-masing sebanyak 3 kali yaitu Aspergillus sp.1 muncul pada 15, 45 dan 90 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi sedangkan Aspergillus sp.2 muncul pada 15, 30 dan 45 hari setelah serasah mengalami proses dekomposisi. Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 memiliki frekuensi kolonisasi tertinggi yaitu masing-masing sebesar 37,50% sedangkan Aspergillus sp.3, Arthrinium phaeospermum, Aspergillus sp.5, Penicillium sp.3, Penicillium sp.9, Penicillium sp.4, Penicillium sp.6, Trichoderma sp.3 dan Aspergillus sp.7 memiliki frekuensi kolonisasi terendah yaitu masing-masing sebesar 12,50%.

(61)

semuanya merupakan jenis-jenis fungi yang telah muncul pada kontrol dan tingkat salinitas sebelumnya. Jenis fungi pada tingkat salinitas ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt namun jumlah total koloni dan rata-rata jumlah koloni pada tingkat salinitas ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah total dan rata-rata koloni pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt dan lebih rendah dari jumlah total dan rata-rata koloni pada tingkat salinitas >30 ppt.

Pada tingkat salinitas 20-30 ppt, Aspergillus sp.2 menempati urutan pertama terbanyak dari segi jumlah total koloni maupun rata-rata koloni yaitu masing-masing sebesar 84,66 x 102 CFU/ml dan 10,58 x 102 CFU/ml. Aspergillus sp.1 menempati urutan kedua terbanyak dari segi jumlah total koloni maupun rata-rata koloni yaitu 21,66 x 102 CFU/ml dan 2,71 x 102 CFU/ml sedangkan posisi terendah ditempati oleh kelompok Aspergillus sp.5, Aspergillus sp.6, Curvularia lunata, Trichoderma sp.3 dan Aspergillus sp.7 dengan jumlah total koloni dan rata-rata koloni masing-masing sebesar 0,33 x 102 CFU/ml dan 0,04 x 102 CFU/ml (Tabel 3). Dari delapan kali pengamatan, kemunculan koloni Aspergillus sp.2 dan Trichoderma sp.1 masing-masing sebanyak 4 kali dimana Aspergillus sp.2 muncul pada lama masa dekomposisi 15, 90, 105 dan 120 hari sedangkan Trichoderma sp.1 muncul pada lama masa dekomposisi 15, 45, 60 dan 90 hari dengan frekuensi kolonisasi masing-masing jenis sebesar 50%.

(62)

jenis pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt namun rata-rata jumlah koloni fungi pada tingkat salinitas ini lebih besar dari rata-rata jumlah koloni fungi pada tingkat salinitas 0-10 ppt dan 10-20 ppt.

Jenis fungi yang mendominasi pada tingkat salinitas >30 ppt adalah Aspergillus sp.1 dengan rata-rata jumlah koloni sebesar 8,42 x 102 CFU/ml. Penicillium sp.2 dan Aspergillus sp.2 menempati urutan kedua terbanyak dengan rata-rata jumlah koloni masing-masing sebesar 2,42 x 102 CFU/ml dan 1,83 x 102 CFU/ml sedangkan rata-rata jumlah koloni yang terendah ditempati oleh Penicillium sp.8 dan Penicillium sp.4 yaitu dengan rata-rata jumlah koloni masing-masing sebesar 0,04 x 102 CFU/ml (Tabel 3).

(63)

4.1.4. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Jumlah jenis fungi yang terdapat pada daun serasah A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, >30 ppt dan pada kontrol dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tingkat salinitas 20-30 ppt didapatkan jumlah jenis fungi yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan salinitas 0-10 ppt, 10-20 ppt dan >30 ppt.

Gambar 6. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai Tingkat Salinitas

4.1.5. Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas

(64)

didapatkan pada kontrol yaitu pada serasah daun yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan dengan jumlah populasi sebesar 11,65 x 102 CFU/ml.

Gambar 7. Perbandingan Populasi Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai Tingkat Salinitas

4.1.6. Frekuensi Kolonisasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas

(65)

Aspergillus sp.3 yaitu sebesar 50,00%. Jenis fungi ini mengkolonisasi serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada 15, 30, 45 dan 75 hari.

Pada tingkat salinitas 10-20 ppt, frekuensi kolonisasi fungi berkisar antara 12,50 sampai 37,50% dengan frekuensi kolonisasi tertinggi ditempati oleh Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 (Tabel 3). Kedua jenis fungi ini sama-sama mengkolonisasi serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada hari ke-15 dan ke-45. Pada hari ke-30, serasah daun A. marina hanya dikolonisasi oleh Aspergillus sp.2 sedangkan pada hari ke-90, serasah daun A. marina dikolonisasi oleh Aspergillus sp.1. Frekuensi kolonisasi fungi tertinggi kedua ditempati oleh Trichoderma sp.1, Penicillium sp.1, Penicillium sp.2, Penicillium sp.8, Curvularia lunata dan Penicillium sp.5 dengan nilai frekuensi kolonisasinya masing-masing sebesar 25,00%.

Pada tingkat salinitas 20-30 ppt, frekuensi kolonisasi fungi berkisar antara 12,50% sampai 50,00% (Tabel 3). Aspergillus sp.2, Trichoderma sp.1 dan Penicillium sp.5 memiliki frekuensi kolonisasi tertinggi yaitu sebesar 50,00% sedangkan Aspergillus sp.6, Aspergillus sp.5, Penicillium sp.2, Curvularia lunata, Trichoderma sp.3 dan Aspergillus sp.7 memiliki frekuensi kolonisasi terendah yaitu sebesar 12,50%.

(66)

frekuensi kolonisasi tertinggi kedua yaitu 62,50%. Jenis fungi ini mengkolonisasi serasah daun A. marina mulai dari masa dekomposisi 15, 45, 60, 90 dan 105 hari.

4.1.7. Penentuan Kadar Karbohidrat dan Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas

Hasil analisis sidik ragam penentuan kadar karbohidrat serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas menunjukkan bahwa adanya perbedaan sangat nyata baik pada taraf 5% dan 1% (Lampiran 7). Rata-rata total kadar karbohidrat berbeda sangat nyata antara tingkat salinitas yang satu dengan tingkat salinitas lainnya. Rata-rata total karbohidrat tertinggi terdapat pada tingkat salinitas 0-10 ppt yaitu sebesar 14,835% selanjutnya diikuti dengan tingkat salinitas 10-20 ppt yaitu sebesar 13,682% kemudian menurun ke bawah yaitu pada tingkat salinitas >30 ppt sebesar 13,092% (Gambar 8).

(67)

Hasil analisis sidik ragam juga memperlihatkan bahwa lama masa dekomposisi juga berpengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat yang terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas (Gambar 9). Perubahan kadar karbohidrat total serasah daun A. marina pada kontrol dan pada tingkat salinitas >30 ppt menunjukkan pola yang sama yaitu sama-sama mengalami penurunan pada lama proses dekomposisi 105 hari dengan persentase masing-masing sebesar 13,787% (kontrol) dan 15,629% (>30 ppt) sedangkan pada tingkat salinitas 10-20 ppt dan 20-30 ppt menunjukkan pola kenaikan kadar karbohidrat yang sama yaitu pada lama masa dekomposisi 105 hari dengan persentase masing-masing sebesar 18,028% (10-20 ppt) dan 17,374% (20-30 ppt). Pada tingkat salinitas 10-20 ppt dan 20-30 ppt terjadi kenaikan kadar karbohidrat pada lama masa dekomposisi 105 hari.

(68)

Hasil analisis sidik ragam kadar protein serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas menunjukkan perbedaan sangat nyata baik pada taraf 5% dan 1% (Lampiran 7). Rata-rata total kadar protein berbeda sangat nyata untuk berbagai tingkat salinitas dimana kadar protein tertinggi terdapat pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas 0-10 ppt yaitu sebesar 4,363% kemudian mengalami penurunan pada tingkat salinitas 10-20 ppt dan 20-30 ppt yaitu menjadi 4,330% dan 4,285%. Kadar protein mengalami kenaikan kembali pada tingkat salinitas >30 ppt yaitu sebesar 4,332% (Gambar 10).

Gambar 10. Rata-rata Total Kadar Protein Serasah Daun A. marina yang Mengalami Proses Dekomposisi pada Berbagai Tingkat salinitas

(69)

Analisis sidik ragam juga menunjukkan bahwa lama masa dekomposisi serasah di lapangan berpengaruh nyata terhadap kadar protein serasah daun A. marina. Perubahan kadar protein serasah pada keempat tingkat salinitas menunjukkan pola yang hampir sama yaitu mengalami kenaikan pada masa dekomposisi 15 hari sampai masa dekomposisi 75 hari kemudian mengalami penurunan kembali pada masa dekomposisi 105 hari (Gambar 11). Meskipun terjadi penurunan pada masa dekomposisi 105 hari namun hasil penurunan tersebut tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan dengan rata-rata kadar protein pada masa dekomposisi 75 hari.

(70)

Gambar 11. Rata-rata Total Kadar Protein Serasah daun A. marina Setelah Mengalami Berbagai Lama Masa Dekomposisi di Lingkungan pada Berbagai Tingkat Salinitas

4.1.8. Penentuan Laju Dekomposisi Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas

(71)

Gambar 12. Perbandingan Bobot Kering Serasah Daun A. marina pada Berbagai Tingkat Salinitas

(72)

Gambar 13. Jenis-jenis Makrofauna yang Terdapat pada Berbagai Tingkat Salinitas dengan: A. Cacing Nereis (0-10 ppt, 10-20 ppt, 20-30 ppt, >30 ppt); B. Uca sp.(>30 ppt); C. Metanoides sp. (>30 ppt); D. Cerethidea sp. (>30 ppt)

Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah daun A. marina terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 14. Laju dekomposisi terbesar terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas >30 ppt dengan nilai k sebesar 6,56/tahun dan lama masa serasah terdapat di lingkungan yaitu 0,15 tahun sedangkan laju dekomposisi terendah terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 20-30 ppt dengan nilai k sebesar 4,92/tahun dan lama masa serasah terdapat di lingkungan yaitu 0,20 tahun.

(73)

Gambar 14. Rata-Rata Laju Dekomposisi dan Lama Masa Serasah Terdapat di Lingkungan pada Berbagai Tingkat Salinitas

Perubahan bentuk serasah daun A. marina dari yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan dan perubahan bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 hari sampai 120 hari pada tingkat salinitas 10-20 ppt dapat dilihat pada gambar 15.

A. B. C.

(74)

Gambar 15. Bentuk Serasah Daun A. marina yang Mengalami Dekomposisi Selama 15-165 Hari pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt dengan: (A). Kontrol; (B). 15 hari; (C). 30 hari; (D). 45 hari; (E). 60 hari; (F). 75 hari; (G). 90 hari; (H). 105 hari; (I). 120 hari

4.1.9. Indeks Keanekaragaman jenis Fungi

Nilai rata-rata indeks diversitas shannon untuk keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas berkisar antara rendah sampai sedang. Indeks keanekaragaman jenis fungi tertinggi terdapat pada tingkat salinitas 10-20 ppt yaitu sebesar 2,74 sedangkan indeks keanekaragaman jenis fungi terendah terdapat pada tingkat salinitas 20-30 ppt yaitu sebesar 2,49. Indeks keanekaragaman jenis fungi pada berbagai tingkat salinitas lebih besar bila dibandingkan dengan indeks keanekaragaman jenis fungi pada serasah daun A. marina yang belum mengalami proses dekomposisi (kontrol) yaitu sebesar 1,35 (Gambar 16).

Tingginya nilai indeks diversitas fungi pada tingkat salinitas 10-20 ppt disebabkan karena jumlah jenis fungi yang terdapat pada tingkat salinitas ini juga tinggi yaitu sebesar 17 jenis sedangkan rendahnya nilai indeks diversitas fungi pada kontrol dan pada tingkat salinitas 20-30 ppt disebabkan karena jumlah jenis

(75)

fungi yang ditemukan juga sedikit yaitu 6 jenis fungi pada kontrol dan 14 jenis fungi pada tingkat salinitas 20-30 ppt.

Gambar 16. Perbandingan Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Kontrol dan pada Berbagai Tingkat Salinitas

Dari Gambar 16 dapat dilihat adanya pola hubungan keanekaragaman jenis fungi dengan laju dekomposisi serasah daun A. marina di lapangan. Semakin banyak jenis fungi maka serasah daun A. marina akan semakin cepat terdekomposisi. Pada tingkat salinitas 10-20 ppt dan >30 ppt terdapat jumlah jenis fungi yang tinggi sehingga serasah daun A. marina lebih cepat terdekomposisi bila dibandingkan dengan kontrol dan pada tingkat salinitas 20-30 ppt yang memiliki jumlah jenis fungi yang rendah.

(76)

dan Trichoderma sehingga ketiga genus fungi ini diduga sebagai fungi pendegradasi serasah daun A. marina. Selain itu, Arthrinium phaeospermum dan Curvularia lunata merupakan kedua jenis fungi yang sering muncul pada kontrol dan berbagai tingkat salinitas kecuali Curvularia lunata tidak ditemukan pada kontrol sehingga diduga kedua jenis fungi ini juga merupakan fungi pendegradasi serasah daun A. marina.

4.1.10. Pola Suksesi Fungi

Kehadiran dari berbagai jenis fungi mencerminkan pola suksesi fungi yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Kehadiran Aspergillus sp.1 dan Arthrinium phaeospermum pada kontrol dan semua tingkat salinitas diduga merupakan dekomposer awal serasah daun A. marina sedangkan Penicillium, Trichoderma dan Curvularia lunata merupakan jenis-jenis fungi yang muncul pada berbagai tingkat salinitas. Kehadiran fungi pada serasah daun umumnya bersifat saprofit dan berperan sebagai pengurai bahan organik. Fungi tersebut berperan besar dalam menjaga kelangsungan daur unsur hara khususnya daur karbon, nitrogen, dan fosfor (Hobbie et al., 2003).

(77)

Berdasarkan pola suksesi, jenis fungi yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun pada tingkat salinitas 0-10 ppt (Gambar 17), 10-20 ppt (Gambar 18), 20-30 ppt (Gambar 19), dan >30 ppt (Gambar 20) dapat dilihat bahwa keberadaan jenis fungi pada serasah umumnya bervariasi dengan lama masa dekomposisi tertentu.

(78)

Gambar 17. Hubungan Laju Dekomposisi Dengan Pola Suksesi Jenis Fugi pada Tingkat Salinitas 0-10 ppt

(79)

fungi pada minggu pertama berhubungan dengan tingginya laju dekomposisi serasah. Tingginya laju dekomposisi serasah disebabkan oleh adanya kehadiran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi (Polunin, 1986).

Gambar 18. Hubungan Laju Dekomposisi Dengan Pola Suksesi Jenis Fugi pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt

(80)

tinggi akan merusak struktur sel miselium dan hifa fungi. Secara teori dapat diasumsikan bahwa pada serasah daun yang banyak dikolonisasi oleh fungi maka proses dekomposisi juga berlangsung lebih cepat sehingga laju dekomposisi serasah akan lebih besar. Menurut Gilmour (1990) bahwa konsentrasi ion Na+ yang terlalu tinggi bersifat toksin di dalam sel dan membran sel. Membran sel lebih permeabel terhadap ion K+ dibandingkan dengan Na+. NaCl yang terlalu tinggi dapat merusak struktur makromolekul dan enzim di dalam protoplasma.

Gambar 19. Hubungan Laju Dekomposisi Dengan Pola Suksesi Jenis Fugi pada Tingkat Salinitas 10-20 ppt

(81)

serasah daun A. marina. Namun keberadaan jenis organisme makrozobentos dalam penelitian ini tidak termasuk dalam variabel yang diamati. Keberadaan organisme dan mikroorganisme pada serasah daun A. marina terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan makanan dari serasah daun yang mengalami dekomposisi.

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.
Gambar 3.  Bentuk   dan    Ukuran    Kantong     Serasah    yang   Digunakan   Untuk Penempatan Serasah pada Beberapa Lokasi di Lapangan dengan Berbagai Tingkat Salinitas
Gambar 5. Metode  pengeceran  serasah  daun  A. marina  untuk isolasi fungi pada       cawan petridish
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dendogram berdasarkan penanda morfologi dan pola pita isozim peroksidase, shikimate dehidrogenase, dan esterase menunjukan bahwa talas dengan jenis yang sama dari ketinggian

terhadap pH tanah sedangkan pemberian isolat bakteri pereduksi sulfat tidak. berpengaruh nyata terhadap

Ciri ini sangat penting kerana pemimpin sebenarnya adalah seorang daie (pendakwah) yang bertanggungjawab untuk menyeru ummat ke arah penghayatan Islam yang sebenar

Seperti pada blok Way Pemerihan dan Way Canguk yang memiliki satwa mangsa harimau yang cukup banyak, tetapi survai harimau dan satwa mangsanya pada periode pengamatan

Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis.. Perancangan Percobaan: Untuk Menganalisis

Kempen Hijaukan Sekolah- Membuat Buku Skrap 9..

Penelitian menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan untuk mendapatkan, gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena recording IB pada ternak

Sedangkan risiko tidak sistematis adalah bagian dari risiko yang dapat dihilangkan melalui diversifikasi.Risiko ini terkadang disebut juga risiko unik (unique risk),