• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Konsep Seni Arsitektur Pada Karya Kenzo Tange Kenzo Tange No Sakuhin No Kenchiku No Bijūtsu No Gainen No Bunseki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Konsep Seni Arsitektur Pada Karya Kenzo Tange Kenzo Tange No Sakuhin No Kenchiku No Bijūtsu No Gainen No Bunseki"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KONSEP SENI ARSITEKTUR PADA KARYA KENZO TANGE

SKRIPSI

KENZO TANGE NO SAKUHIN NO KENCHIKU NO BIJ

Nj

TSU NO

GAINEN NO BUNSEKI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

SERY SIGALINGGING

NIM: 040708015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG

MEDAN

(2)

ANALISIS KONSEP SENI ARSITEKTUR PADA KARYA KENZO TANGE

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

SERY SIGALINGGING

NIM: 040708015

Pembimbing I

Pembimbing II

Drs. Eman Kusdiyana Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D

NIP. 131763366 NIP.131422712

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI S-1 SASTRA JEPANG MEDAN

(3)

Disetujui oleh:

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

Program Studi Sastra Jepang

Ketua Program Studi

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D

NIP.131422712

(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh,

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah

satu Ujian Sarjana dalam bidang Ilmu Sastra Jepang pada Fakultas Sastra Universitas

Sumatera Utara.

Pada : Pukul 14:00 WIB

Tanggal : 22 Desember 2008

Hari : Senin

Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan

Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D

NIP.132098531

Panitia Ujian

No. Nama Tanda Tangan

1. Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D ( )

2. Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum ( )

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena kasih karunia

dan kuasa-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi yang berjudul Analisis Konsep Seni Arsitektur Pada Karya Kenzo Tange

(Kenzo Tange No sakuhin No Kenchiku No Bijnjtsu No Gainen no Bunseki) ini diajukan

untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar kesarjanaan pada Fakultas Sastra Program

Studi Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih, penghargaan, serta

penghormatan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang elah membantu penulis

menyelesaikan studi dan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera

Utara.

2 Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Program Studi S-1

Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3 Drs. Bapak Eman Kusdiyana, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah menyediakan

waktu di sela-sela kesibukannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Dosen Pembimbing II, yang

telah memberikan arahan serta perhatiannya dalam proses penyusunan skripsi penulis ini.

5. Dosen Penguji Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca dan

menguji skipsi ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada semua Dosen Pengajar

(6)

banyak ilmu kepada penulis, sehingga penulis dapat meyelesaikan perkuliahan dengan

baik.

6. Almarhum Ayahanda H.Sigalingging, yang senantiasa memberikan semangat dan nasehat

kepada penulis semasa beliau hidup, juga kepada Ibunda R.Sibarani, yang dengan setia

merawat serta mengajarkan nilai-nilai yang baik terutama kepercayaan yang dilimpahkan

secara luar biasa kepada penulis.

7. Saudara-saudara terdekat yang selalu memberi dorongan dan dukungan dalam berbentuk

materi dan tenaga, yang diantaranya: kel. Bang Roma, kel. Bang Lambok, kel. Kak

Gelora, kel. Bang Tasyah, kel. Bang Harum, Monang & Grace, dan adik pudan Cerdas.

8. Seseorang yang dekat di hati Rusiono, yang selalu sabar dan setia memberi semangat dan

selalu, membantu saat penulis kekurangan biaya.

9. Teman-teman penulis sesama mahasiswa Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara

Stambuk 2004, yang dengan semangat tetap saling menguatkan dalam meyelesaikan studi

serta telah membagi begitu banyak hal selama menjalani proses belajar di Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara.

10. Teman-teman dekat penulis yang tergabung dalam Agatha Club: Grace, Lola, Santy, Eva,

Friska, Henny dan Lenny, semoga kita tetap dekat dimanapun Tuhan akan menempatkan

kita nantinya.

11. Teman dekat penulis lainnya yang tergabung dalam Gerobak Pasir Bersaudara:, Mariono

Babaliong, Fresong napeokon yang akrab dipanggil Menopous, Kolbuo Konstanti Novelo

dengan sebutan "BUS", Oneng Marhae-hae, Kepong-pong Mamboneng alias Eep

Saefullah dan Gelem, semoga semakin hari semakin dewasa dalam menjaga persahabatan

(7)

12. Teman dekat penulis yang lain: Endang, idama, dan lain-lain, serta semua pihak yang

telah membantu menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tidak ada yang sempurna dalam hidup ini, termasuk juga dalam

penulisan skripsi ini. Namun penulis tetap mencari kesempurnaan tersebut dalam suatu

nilai pekerjaan yang dilakukan secar maksimal. Maka dengan berangkat dari prinsip itu

jugalah, penulis berusaha merampungkan skripsi penulis tersebut.

Medan, Desember 2008

Penulis

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...…………..………...….i

DFTAR ISI………..………iii

BAB I PENDAHULUAN………...……....1

1.1. Latar Belakang Masalah………...………..1

1.2. Perumusan Masalah………….……….…..6

1.3. Ruang Lingkup Pembahasasan………..….9

1.4.Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………..……...9

1.5. Tujun dan Mamfaat Penelitian……….………….……13

1.6. Metode Penelitian………..………...14

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERANCANGAN DALAM ARSITEKTUR JEPANG 2.1. Arsitektur Tradisional Jepang……….………...16

2.1.1. Arsitektur Shinto………23

2.1.1.1. Asal Usul Arsitektur Shinto………23

2.1.1.2. Kompleks dan Bangunan Kuil………...26

2.1.2. Arsitektur Budha………29

2.1.2.1. Asal Usul Arsitektur Budha………30

2.1.2.2. Komplek dan Bangunan Kuil……….32

2.2. Arsitektur Modern Jepang……….34

(9)

2.2.2. Karakter dan Ciri Arsitektur Modern………36

2.3. Seni Arsitektur Kenzo Tange……….………37

2.3.1. Autobiografi dan Karir Kenzo Tange………38

2.3.2. Falsafah Arsitektur Kenzo Tange……….41

2.3.3. Konsep Arsitektur Kenzo Tange………..42

BAB III ANALISA SENI PERANCANGAN ARSITEKTUR KENZO TANGE 3.1. Analiasa Elemen Struktur Desain Kenzo Tange………….…………..44

3.2. Analisa Arsitektur Desain Kenzo Tange…….………..47

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpuan………62

4.2. Saran……….64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

ABSTRAK

Arsitaktur adalah bagian dari kebudayaan manusia yang berkaitan dengan berbagai segi

kehidupan, antara lain: seni, teknik, ruang/ tata ruang, geografi, dan sejarah. Namun ada

beberapa batasan dan pengeritian tentang arsitektur, tergantung dari segi mana kita

memandangnya.

Sejak Jepang memasuki masa modernisasi, perkembangan arsitektur semakin maju. Pada

saat itu mulai muncul arsitektur-arsitektur gaya baru yang terbuat dari batu dan batu-bata.

Contohnya pabrik-pabrik dan kantor-kantor pemerintahan. Tetapi perkembangan arsitektur gaya

baru tersebut tidak bertahan lama, karena pada tahun 1923 terjadi gempa besar yang

menghancurkan tokyo. Karena gempa resebut gerakan modernisasi arsitektur semakin meningkat

cepat, sehingga muncullah berbagai karya-karya arsitektur penting dan dan juga arsitek-arsitek

modern yang terkenal, salah satunnya adalah Kenzo Tange. Ia adalah bapak arsitektur modern

pringkat 6 di dunia.

Kenzo Tange banyak belajar teknik-teknik arsitektur dari arsitektur Barat. Tetapi dalam

desainnya ia tetap kembali pada kepribadian orang Jepang, yaitu sederhana dan menyatu pada

alam. Kenzo Tange berusaha memedukan gaya arsitektur tradisional dengan modern tampa

memisahkan nilai tradisionalnya. Gaya tradisionalnya dapat dilihat dari unsur kayu yang

dominan kayu dibiarkan tiak halus dan bermotif bergaris-garis. Kayu memiliki nilai kelenturan

yang tinggi, mudah dibentuk dan ringan, sehingga terkesan hangat, lunak, alami dan

menyegarkan. Tange juga memberikan unsur yang dekat dengan alam yang memberikan

kesederhanaan tetapi memiliki nilai keindahan juga. Gaya modern dapat dilihat dari penggunaan

beton, baja, dan juga bangunannya, seperti kolam renang dan juga National Gymnasium.

Meskipun terbuat dari beton, tetapi Tange menyusunnya seperti menyusun kayu. Tange memilih

arsitekturnya dengan bebas, gaya dan bentuknya disesuaikan menurt selera dan status sosial

ekonomi Jepang. Ia juga mengambil arsitektur kuil Shinto dan Budha sebagai bentuk

kesederhanaan dan kealamiaannya. Konsep keindahannya terlihat dari kesederhanaan,

keselarasan, dan keseimbangan yang menjadi inspirasi pada bidang bangunan. Percampuran

bentuk bangunan menghasilkan gaya tersendiriyang memperlihatkan pola piker akademis Tange.

Perpaduan yang dibuat Tange adalah prinsip umm keindahan, yang mempertemukan elemen

(11)

Selain membuat arsitektur yang bersifat institusional, ia juga membuat arsitektur

berdasarkan hitungan-hitungan kuantitatif. Tange memberikan isi bangunannya dalam ruang

berbentuk kota yang luas, sehingga kelihatan lebih megah. Cirri arsitektur Jepang dapat dilihat

dari bentuk kerpolosan bidang, tidak ada hiasan, garis tegak yang mendatar. Hasil karya Tange

sangat terkenal di dunia.

Tange mengungkapkan ketidak-pedulian pada kata tradisional kuno, tetapi

bangunan-bangunannya yang berhasil, seluruhnya mengakar pada tradisi Jepang baik langsung maupun

tidak langsung, contohnya keharmonisan antara bentuk dengan bahan-bahan bangunan yang

diperlukan yang ada tersedia di selurh negeri Jepang.

Konsep perancangan arsitektur Kenzo Tange banyak sekali dipengaruhi oleh para arsitek

Eropa Barat, khusunya Le Corbusier. Dengan lihai ia menipulasi dengan bentuk-bentuk geometri

(kubisme) yang sederhana, lalu membbuhkan ornementasi, sehingga menarik. Oleh karena itu

melahirkan karya seni yang megah.

Perubahan-perbahan konsep rancangan Kenzo Tange, umumnya terjadi karena pengaruh

global. Yang dilakukan Kenzo Tange dalam konsep perancangannya adalah dengan memberikan

sentuhan pada bangunannya. Ada dua hal yang tampak jelas yang merupakan garis dasar

arsitektur Kenzo Tange serta konsep perancangannya. Pertama, kepiawaian atau kecakapan

permainan bangunan geometri sederhana, yang tidak dijumpai pada bangunan lain. kedua,

kejituan membuat bangunannya dalam ruang yang luas, sehingga terlihat megah dan mewah.

Dan tange selalu ingin menapilkan gedungnya terlihat menonjol. Oleh karena hasil karyanya,

tidak hanya menjadikan seni arsitektur di Jepang tetapi seni arsitektur di dunia juga berkembang

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah.

Setiap Bangsa memiliki arsitektur bangunan yang berbeda-beda, baik itu pada bangunan

kuno maupun bangunan modern. Dimana hal tersebut dapat mencerminkan dan menjadi sebuah

ciri khas dari suatu Negara.

Sebuah karya arsitektur dapat dibentuk oleh unsur-unsur, sistem, dan tatanan dasar yang

saling berkaitan untuk membentuk sebuah kesatuan terintegrasi yang memiliki suatu struktur

yang menyatu.

Arsitektur adalah bagian dari kebudayaan, yang berkaitan dengan berbagai segi

kehidupan antara lain: seni, teknik, ruang/tata ruang, geografi, dan sejarah. Oleh karena itu, ada

beberapa pengertian tentang arsitektur berdasarkan batasan-batasannya, tergantung dari segi

mana memandangnya.

Dipandang dari segi seni, arsitektur adalah segi bangunan, termasuk bentuk dan ragam

hiasnya. Dari segi teknik, arsitektur adalah sistem mendirikan bangunan, termasuk proses

perancangan konstruksi, struktur, dan dalam hal ini juga menyangkut aspek dekorasi dan

keindahan. Dari segi ruang, arsitektur adalah pemenuhan kebutuhan ruang oleh manusia atau

kelompok manusia untuk melaksanakan aktivitas tertentu. Sedangkan dari segi sejarah,

kebudayaan dan geografi, arsitetur dipandang sebagai ungkapan fisik dan peninggalan budaya

dari suatu masyarakat dalam batasan waktu dan tempat tertentu (Sumalyo Yulianto, 1997:1).

Sehubungan dengan hal tersebut, bangsa Barat pada umumnya memandang bahwa untuk

(13)

dipelajari lebih dalam lagi. Dengan perubahannya yang sangat cepat berkembang dan mendasar

pada budaya masyarakat Barat yang diakibatkan oleh Revolusi Industri, maka terjadi pula

perubahan besar dalam pandangan teori arsitektur.

Arsitektur pada Pasca Renaisanse terjadi percampuran antara gaya klasik yang sudah ada

seperti Yunani, Romawi, Abad Pertengahan, Romanesque dan Ghotik. Dengan demikian, hal ini

menandai adanya perubahan mendasar dalam arsitektur. Percampuran terjadi, selain karena

perubahan kebudayaan kebudayaan, pola pikir, namun karena telah lebih banyak pilihan bentuk

Selanjutnya di dalam arsitektur modern terdapat konsep tentang ruang yang di sebut

dengan “Open Plan” yaitu membagi bangunan dalam elemen-elemen struktur primer dan

skunder, kesemuanya itu bertujuan untuk mendapatkan fleksibilitas dan variasi di dalam

bangunan.

Pada arsitektur bangunan, biasanya perancang mempunyai beberapa pilihan dalam

membentukan proporsi suatu hal, diantaranya berdasarkan sifat materialnya, berdasarkan

bagaimana elemen-elemen bangunan bereaksi terhadap gaya dan bagaimana sesuatu itu dibuat

(Frank D.K. Ching, 2000: 126).

Sejak Restorasi Meiji pada tahun 1868, Jepang memasuki masa modernisasi dan

Westernisasi, serta masa pengenalan teknik bangunan batu dan batubata. Bangunan gaya baru

pada saat itu tersebar di seluruh negeri dan dipakai pada banyak pabrik yang dikelola pemerintah

dan kantor-kantor pemerintah. Gedung kantor dan perumahan yang menggunakan disain Barat

semakin umum. Namun, pada tahun 1923 bangunan batu dan batu-bata yang dibangun secara

(14)

Di Jepang, sejak tahun 1930 gerakan modernisasi arsitektur melonjak semakin cepat

perkembangan dan kemajuan yang mengakibatkan munculnya berbagai karya-karya arsitektur

penting.

Oleh karena itu, bila dilihat dari ciri-ciri bangunan arsitektur modern Jepang yang

sculptural dan monumental dengan ciri-ciri penonjolan elemen-elemen kontruksi, meskipun dari

bahan modern seperti beton bertulang, namun diperlukan juga tampilan ekspresif lainnya dalam

bentuk kayu.

Keanekaragaman ekspresi arsitektur Jepang juga mendapat perhatian sebagai hasil

keyakinan masyarakat Jepang bahwa arsitektur merupakan bagian dari budaya dan tidak

sepenuhnya digerakkan oleh ekonomi. Sejak Negara yang berpenduduk kurang lebih 123 juta

jiwa ini menggelar Japan EXPO, arsitektur Jepang bergerak progresif dan memberi pengaruh

pada arsitektur dunia. Dan dengan segala kemajuan yang dicapainya, Jepang tetap menghormati

tradisi, yaitu penghormatan bangsa Jepang terhadap leluhurnya. Hal ini tercermin dari beberapa

arsitektur yang bias selaras serta berdampingan dengan kemajuan yang dicapai.

Seorang arsitek besar Jepang pada abad ke-20, yaitu Sutemi Horiguchi yang tergabung

dalam asosiasi masyarakat modern pertama Jepang, berpendapat bahwa arsitektur seharusnya

merupakan ekspresi yang jujur dari struktur. Arsitektur Jepang pada saat itu mendapat pengaruh

besar dari Eropa, demikin juga Horiguchi yang menaruh perhatian besar terhadap

gagasan-gagasan arsitektur Eropa. Dan ia membandingkan arsitektur Yunani Kuno untuk mendapatkan

dasar-dasar dari arsitektur tradisional negaranya.

Sebelum Perang Dunia I, Horiguchi menjadi pelopor arsitektur konterporer dengan

(15)

modern lainnya adalah Bonchi Yamaguchi dan generasi berikutnya dalam modernisme arsitektur

Jepang yang paling terkenal adalah Kenzo Tange.

Kenjo Tange lahir di Imabari Prefektur Ehime pada tanggal 4 September 1913. Ia

memasuki dunia pendidikan di Departemen Arsitektur Universitas Tokyo pada tahun 1935 –

1938 dan Graduate School di Universitas Tokyo dari tahun 1942 – 1945. Sehingga pada tahun

1965 ia meraih gelar Ph. D. dari universitas Tokyo. Sejumlah Doktoral lainnya ia terima dari

perguruan tinggi di Eropa, Amerika dan Asia. Setelah mempunyai gelar Profesor, maka ia

menjadi pengajar di Universitas Tokyo pada tahun 1946 dan memasuki masa Purna Bhakti pada

tahun 1974, disamping menjadi Profesor tamu pada Masschussets Institute of Technology (1959

– 1960), dan Harvard University (1972). Tange memulai karirnya yang gemilang setelah

memenangkan sayembara terbuka yaitu perancangan Hiroshima Peace Center (HPC) pada tahun

1945-1955. Bukan hanya itu saja, Tange juga pernah mendapatkan penghargaan Pickcer pada

tahun 1987.

Karya arsitektur Kenzo Tange merefleksikan dan mengkristalkan perubahan politik dan

iklim Jepang, disamping peduli pada perkembangan kearah yang lebih baik, Kenzo Tange

memiliki minat utama pada arsitektur modern yang memiliki nilai tradisi Jepang. Kenzo Tange

mengekspresikan ketidak-pedulian terhadap isu tradisional kuno. Namun,

bangunan-bangunannya yang berhasil, seluruhnya mengakar pada tradisi Jepang baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Sebagai contoh hasil karya Kenzo Tange yaitu Hiroshima Peace Center (HPC), yaitu

monument untuk memperingati jatuhnya bom di Hiroshima. Pada bangunannya tersebut terdapat

tiga elemen utama, yaitu sebuah pelengkung sederhana beton bertulang exposed berpenampang

(16)

Community Center, keduanya berdenah segi empat panjang, disusun dalam tata-letak satu

dengan yang lainya terpisah membentuk sudut siku, sisi yang terpanjang disusun menghadap

kearah titik dimana elemen pertama tersebut berada. Aspek tradisional lainnya yang cukup

menonjol dari HPC yaitu bangunan yang sederhana, baik dari bentuk unit, tata unit, penonjolan

bangunan (kolom, balok,balustrade, dan lain-lain), juga disusun dalam komposisi garis dan

bidang-bidang horizontal searah, seimbang, dan serasi, seperti pada rumah , istana, dan kuil di

Jepang. Disamping itu, banyak karya-karyanya yang tetap berpegang teguh pada pola perpaduan

antara gaya tradisional dan modern.

Kenzo Tange tidak setuju pada pandangan yang menganggap arsitektur sebagai mode,

sehingga ia memiliki semacam siklus dan mengabaikan fungsi. Menurutnya juga, walaupun ada

kemiripan, namun perbedaannya sungguh banyak. Ini dapat dilihat dari kurun waktu untuk

adanya perubahan trend, bila untuk mode apalagi fashion cukup dalam waktu setahun sudah

mengalami suatu perubahan, tetapi untuk arsitektur mungkin butuh waktu 50-100 tahunan untuk

mengalami perubahan.

Lalu dalam perkembangannya, pandangan Kenzo Tange mengenai Changing Sosiety

(perubahan masyrakat) patut disimak, karena ia sendiri juga mengalami suatu proses perubahan,

baik dalam pola pikir maupun karya-karyanya yang menggabungkan pola-pola tradisonal yang

dipengaruhi oleh gaya-gaya bangunan suci Shinto (ajaran agama asli Jepang yang

mengedepankan kedekatan terhadap alam) dan Budha, yang mengacu pada bangunan sederhana

dengan gaya-gaya modern yang didominasi oleh para arsitek Eropa Barat yang pada akhirnya

menjadikan Kenzo Tange sangat populer di kalangan dunia arsitektur.

Dari keterangan diatas kita dapat mengetahui bahwa arsitektur Jepang mengalami suatu

(17)

perubahannya tersebut tidak terlepas dari nilai-nilai budaya, yaitu masih adanya mengandung

nilai agam Shinto dan Budha yang mengedepankan kedekatan terhadap alam dan mengacu pada

kesederhanaan. Adanya arsitek Jepang, yaitu Kenzo Tange yang menciptakan sebuah seni

arsitektur dengan konsep perpaduan antara gaya modern yang menggunakan bahan seperti beton

dengan gaya tradisonal yaitu menggunakan bahan dari kayu yng memiliki nuansa nilai-nlai

Shinto dan Budha, yang hasilnya tak kalah dengan yang lainnya, membuat penulis berminat

untuk menjadikannya suatu obyek penelitian, melalui skripsi yang berjudul “Analisis Konsep

Seni Arsitektur Pada Karya Kenzo Tange

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan arsitektur Jepang adalah berdasarkan kebudayaan sendiri, namun tidak

terlepas dari penggunaan dasar-dasar arsitektur China kuno. Pada awalnya bangunan-bangunan

di Jepang didirikan seluruhnya dari kayu. Hingga sekarang bangunan dari kayu masih ada

betahan di Jepang, walaupun di antaranya sudah berusia lebih 1200 tahun. Alasan kayu

digunakan sebagai bahan kontruksi, yaitu karena kayu memiliki kelenturan yang lebih tinggi

sehingga bangunan dapat menahan guncangan gempa yang sering melanda Jepang dibanding

bangunan yang terbuat dari batu atau batu bata.

Dalam perkembangan selanjutnya arsitektur Jepang yang sangat dipengaruhi Shintoisme

(ajaran agama asli Jepang yang mengedepankan kedekatan terhadap alam) dan Budhisme, yang

mengacu pada kesederhanaan serta mengalami modernisasi (pem-Barat-an) sejak tahun 1858,

dimana pada saat itu Jepang mulai menjalankan diplomasi dengan Negara-negara Eropa Barat.

Dengan demikian arsitektur di Jepang berkembang seiring dengan situasi politik dan

(18)

yang ada di Barat yang sudah dimulai sejak renaisanse, namun pada pasca Perang Dunia ke-II

modernisme Jepang telah terlihat jelas. Pelopor arsitektur Jepang yang paling terkenal hingga

sekarang adalah Kenzo Tange. Ia merupakan arsitektur ke-6 yang terkenal di dunia. Kenzo yang

memiliki konsep kesederhanaan, sehingga semakin memperindah bangunannya. Salah satu

sebagai contoh, Hiroshima Peace Center, yang dirancang oleh Kenzo Tange (1949-1955). HPC

terdiri dari tiga elemen utama, yang mencerminkan kesederhanaan. Aspek tradisional lainnya

yang cukup menonjol dari HPC adalah kesederhanaan, baik dari bentuk unit, tata unit , penojolan

bangunan (kolom, balok, balustrade,dan lain-lain) juga disusun dalam komposisi garis dan

bidang-bidang horizontal searah, seimbang, dan serasi, seperti pada rumah, istana, dan kuil di

Jepang. Disamping itu juga, banyak karya-karyanya yang tetap berpegang teguh pada pola

perpaduan antara gaya arsitektur tradisional,yaitu memiliki nilai agama Shinto dan Budha yang

selalu mengedepankan kedekatan terhadap alam dan mengacu pada kesederhanan yang

dipadukan dengan arsitektur gaya modern,yaitu penggunaan bahan dan kontrruksi yang modern.

Dalam aersitektur bangunan terdapat konsep tentang ruang yang disebut dengan Open

Plan, yaitu membagi bangunan dalam eleme-elemen primer dan skunder, semua itu bertujuan

untuk mendapatkan fleksibilitas dan fariasi di dalam bangunan.

Pada arsitektur bangunan, biasanya perancang mempunyai beberapa pilihan dalam

pembentukan suatu hal, diantaranya berdasarkan materialnya, berdasarkan bagaimana

elemen-elemen bangunan bereaksi terhadap gaya dan bagaimana sesuatu itu dibuat.

Dalam perancangannya, Kenzo Tange sangat piawai dalam permainan bangunan

geometri sederhana, yang tidak di jumpai pada bangunan lain. Dan kejituannya mendapatkan

(19)

Berdasarkan uraian diatas, untuk memudahkan arah sasaran yang ingin dikaji, maka

permasalahan yang ingin penulis ajukan dalam bentuk pertnyaan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana elemen struktur dan kontruksi pada desain-desain Kenzo Tange?

2. Apa yang menjadi falsafah dan konsep perancangan pada karya-karya arsitek Kenzo Tange?

3. Bagaimana perancangan arsitektur pada bangunan-bangunan yang di buat oleh Kenzo

Tange?

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan.

Dalam penelitian ini, maka penulis membatasi pembahasannya pada analisa arsitektur

Kenzo Tange, yang dilihat dari falsafah suatu budaya yang memiliki nilai-nilai Shinto dan

Budha. Dimana agama Shinto selelu mangedepankan kedekatan terhadap alam dan suatu

kemurnian. Begitu juga sama halnya dengan Budha yang mengacu pada bangunan yang

sederhana, selarah, dan seimbang.

Agar penulisan ini lebih akurat, maka penulis akan mendeskripsikan tentang Arsitek dan

perancangan dalam arsitektur modern, yakni: timbulnya arsitektur modern, perkembangan,

teori-teori, serta karakter dan ciri arsitektur. Khususnya penulis akan menguraikan tentang

arsitektur jepang, yaitu: arsitektur modern Jepang, arsitektur tradisional Jepang, serta

menjelaskan bagaimana perancangan arsitektur Kenjo Tange, kosep/ falsafah tentang seni.

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan menurut Ienage Saburo dalam bukunya yang berjudul “Nihon Bungkashi”

(20)

bidang-bidang, seperti ilmu pengetahuan, kesenian, agama, pemikiran moral, dan lain-lain, (Saburo

Ienage, 1988:1).

Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik. Oleh karena itu, melalui karya

seni seperti karya seni bangunan, manusia dapat mengespresikan ide-ide, nilai-nilai, cita-cita,

serta perasaan-perasaannya. Karya-karya seni merupakan media komunikasi, sehingga seorang

seniman dapat mengkomunikasikan suatu permasalahan maupun suatu pengalaman batin kepada

orang lain, (Maran Rafael Raga, 2000: 46). Oleh karena itu, arsitektur adalah seni yang

merupakan bagian dari kebudayaan, yang memiliki kaitan dengan usaha manusia dalam

menyelenggarakan hidupnya.

Arsitektur sudah ada sejak adanya manusia pertama hidup di bumi ini, untuk melindungi

dirinya dari alam, (hujan, terik matahari, dan lain-lain), ataupun dari gangguan dari mahluk

lainnya, baik binatang maupun manusia dari kelompok lain. Sejak itu hingga sekarang dan masa

yang akan datang, arsitektur akan selalu berkembang dalam bentuk yang semakin kompleks

sejalan dengan perkembangan peradaban dan budaya, termasuk pada ilmu pengetahuan,

tehnologi, dan tuntutan kebutuhan manusia baik secara kuantitatif maupun kualitatif, (Sumalyo

yulianto, 1997: 1).

Begitu juga dengan arsitektur Jepang yang mengalami perubahan, yaitu hingga pada

zaman Restorashi Meiji 1868, dimana pada saat itu jepang mengalami kemajuan pada gaya

arsitekturnya. Walaupun demikian bukan berarti arsitektur Jepang terlepas dari gaya arsitektur

tradisionalnya. Begitu juga dengan arsitek terkenal Kenzo Tange sejak abad ke-20. Ia seorang

perancang yang memiliki konsep tersendiri pada karya-karya seninya. Dengan demikian, semua

(21)

2. Kerangka Teori

Dalam penelitian suatu karya seni, diperlukan satu atau lebik teori pendekatan yang sesuai

dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dipandang dari segi seni, arsitektur adalah segi

bangunan, termasuk bentuk dan ragam hiasnya (Sumalyo Yulianto, 1997:1)

Dalam Ensiklopedia Umum (1990:1274), arsitektur adalah seni dan ilmu dalam

merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang keseluruhan

lingkungan binaan, mulai level makro, yaitu perencanaan kota/ perkotaan, lansekap, hingga level

mikro, yaitu desain perabot dan desain produk. Arsitektur juga menunjukkan hasil-hasil proses

perancangan tersebut.

Sementara itu menurut Joyce M.Laurens (2004:26), arsiutektur adalah keseluruhan proses

mulai dari pemikiran, ide, gagasan, kemudian menjadi karya/ rancangan, dan diwujudkan

menjadi hasil karya nyata yang dilakukan secara sadar (bukan berdasarkan naluri) dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan akan ruang guna mewadahi aktivitas dan kegiatan yang diinginkan

serta menemukan aksistensi dirinya.

Dalam penelitian ini, ada juga menggunakan konsep nilai Shinto dan Budha. Menurut

Alen (1969:195) hubungan yang kuat antara struktur-struktur bangunan dengan keselarasan

alam, terlebih dahulu telah diterapkan dalam arsitektur kuil-kuil Shinto di Jepang, dan hubungan

ini merupakan karakteristik orang Jepang sejak dahulu. Alen juga mengatakan bahwa kuil-kuil

Budha juga didasarkan atas kedekatannya dengan alam ataupun merupakan bagian dari alam.

Menurut Sumalyo Yulianto (1997:2), arsitektur modern adalah perkembangan dari klasik

berubah secara revolusioner sejalan dengan Revolusi Industri mulai awal abad XIX, dengan

terjadinya perubahan besar-besaran dalam pola hidup dan pola pikir. Sedangkan arsitektur

(22)

keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana dan warna yang

sederhana. Yang dimaksud “sederhana” disini adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi

batasan , lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang diberi batasan “lebih sederhana” lagi.

Pendekatan selanjutnya yang digunakan penulis adalah pendekatan semiotic. Berasal dari

bahasa Yunani smeion, yang berarti tanda. Dalam arti yang lebih luas, semiotika berarti ilmu

tentang proyeksi tanda-tanda, cara kerjanya, dan fungsinya terhadap kehidupan manusia

(Sachari, 2005:62)

Seperti halnya, Kenzo Tange yang memiliki konsep perancangan yang menarik, yaitu

penggabungan antara struktur modern yaitu menggunakan beton bertulang exposed dengan

tradisional yang juga masih menggunakan bahan dari kayu, yang kemudian hasilnya menjadi

lebih berkesan mewah dan elegan. Kenzo Tange juga menggunkan aspek tradisionalnya yang

cukup menonjol, diantaranya: bentuk unit, tata unit, penonjolan elemen bangunan, dan

sebagainya, (Sumalyo Yulianto, 1996: 416). Dalam konsep perancangannya, Tange juga

memberikan sentuhan dekoratif pada bangunannya. Hal ini terjadi karena tidak terlepas dari

pengaruh perubahan masyarakat, dan ia melihat bahwa pasar menghendaki hal tersebut. Selain

itu, Tange juga memperlihatkan bagimana menuangkan karakter arsitektur Jepang yang

kemudian dikenal luas sebagai “sentuhan khas” Jepang. Oleh karena itu, yang merupakan garis

dasar arsitektur Kenzo Tange serta konsep perancangannya yaitu kepiawaian permainan

bangunan geometri sederhana, yang tidak dijumpai pada bangunan lain dan kejituan

menempatkan massanya dalam ruang berskala kota, sehingga tampak megah, dan ia selalu ingin

menampilkan gedungnya terlihat menonjol. Dengan demikian, karyanya tersebut mendapat

(23)

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

1. Tujuan Penelitian.

Setiap kegiatan yang dilakukan seseorang tentu saja mempunyai maksud dan tujuan yang

hendak diperoleh, dan jika tidak demikian maka kegiatan yang dikerjakan tersebut adalah hal

yang sia-sia. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap “Analisis Konsep

Seni Arsitektur Pada Karya Kenzo Tange”, juga memiliki tujuan.

Sesuai dengan pokok-pokok permasalahan, sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka

adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui bagaimana arsitektur di Jepang, baik modern maupun tradisional

2. untuk mengetahui konsep-konsep arsitektur yang digunakan oleh Kenzo Tange

terhadap karya-karyanya.

2.

Manfaat Penelitian.

Hasil penelitian ini diharapkan agar nantinya bermamfaat bagi pihak-pihak tertentu,

seperti:

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai

perkembangan arsitektur di Jepang. Dan untuk mengetahui bagaimana Kenzo Tange dalam

melakukan perancangan serta filosofi dari Kenzo Tange.

2. Bagi masyarakat luas pada umumnya dan para pelajar/mahasiswa bahasa maupun sastra

Jepang khususnya, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan

(24)

1.6. Metode Penelitian.

Metode adalah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan. Dalam penulisan skripsi ini,

penulis menggunakan metode deskriptif. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30), penelitian yang

bersifat deskriftif yaitu memberi gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data dengan membaca buku-buku atau refrensi

yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Hal ini bertujuan untuk menemukan masalah yang

ada, teori-teori, dan penarikan kesimpulan serta saran-saran.

Untuk mengumpulkan data-data dan bahan-bahan yang berhubungan dengan tema

tersebut, maka penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu

mengumpulkan data-data yang menggunakan bahan-bahan pustaka.

Bahan-bahan pustaka tersebut diperoleh dari perpustakaan Universitas Sumatera Utara,

perpustakaan jurusan sastra Jepang USU, Universitas Medan (UNIMED), perpustakaan Konsulat

(25)

BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PERANCANGAN DALAM ARSITEKTUR JEPANG

2.1. Arsitektur Tradisional Jepang.

Jepang dalam perkembangan arsitektur modern adalah satu-satunya negara di Timur

(Asia) yang mempunyai tradisi yang berbeda dengan negara-negara lain. Di Jepang tradisi adat,

termasuk Shintoisme (ajaran agama asli Jepang yang mengedepankan kedekatan dengan alam),

menjadi dasar pola pikir dan hidup serta budaya, terungkap dalam fisik arsitektural, konsep

arsitektur modern purism yang berkaitan dengan kemurnian, harmoni dan keseimbangan sudah

berabad-abad menjadi kosep perancangan bangunan di Jepang. Dalam arsitektur Jepang

keindahan dipancarkan oleh keheningan, “kesunyian”, bersihdan polos. Perumusan arsitektur Mies

Van der Rohe, “semakin sedikit semakin baik” yang sangat tekenal menjadi konsep dasar

arsitektur modern fungsionalnisme, secara praktis sudah dilaksanakan oleh orang-orang Jepang

beraliran Shinto dan Budha Zen. Demikian pula arsitektur modern cubism menyatukan ruang

luar dan ruang dalam dengan bukaan pintu dan jendela selebar bidang dengan berbagai bentuk

dan penerapan oleh arsitek-arsitek Barat, juga konsep menyatunya manusia dengan alam dari

kepercayaan Shinto, sudah dikerjakan oleh arsitek-arsitek Jepang beratus-ratus tahun lalu.

Budaya Jepang sangat kuat terungkap dalam ciri arsitektur Jepang antara lain dalam

bentuk kepolosan bidang-bidang, tampa hiasan selain garis-garis tegak datar terbentuk oleh

rangka, kolom dan balok yang menjadi kerangka dari bidang.

Dibanding dengan aritektur Barat hanya sedikit memang dikemukakan di dalam

buku-buku arsitektur tentang arsitek dan arsitektur modern Jepang. Pada awal abad ke-20 modernisme

arsitektur Jepang belum seperti perkembangan yang ada di Barat, namun setelah perang dunia II,

(26)

termasuk seni dan arsitektur. Budaya tradisional Jepang baik Shinto ataupun Katsura dapat

menerima konsep-konsep modernisme, karena sebenarnya hanya kesamaan dan tradisi Jepang

yang mengacu pada kesederhanaan. Falsafah “sederhana itu indah” seperti konsep kemurnian

dari De stilj dan arsitektur internasional, dipadukan dengan penonjolan secara jujur

elemen-elemen kontruksi kolom, balok, bidang dan lain-lain sudah sejak lama menjadi konsep arsitektur

tradisional Jepang.

Sedangkan menurut Plato dalam Sutrisno,1993:26, dikatakan yang indah dan sumber dari

segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpanya nada yang sederhana, warna yang

sederhana. Yang dimaksud dengan “sederhana” disini adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat

diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang diberi batasan “lebih sederhana” lagi.

Meskipun demikian, yang majemuk juga dapat dialami sebagai sesuatu yang indah jika tersusun

secara harmonis berdasarkan sesuatu yang benar-benar sederhana. Berdasarkan keindahan yang

majemuk itu, dengan sendirinya kita bisa mendapat kesan, bahwa pandangan Plato tentang yang

indah sebagai sesuatu yang secara fisik paling sederhana bergeser kepandangan, bahwa yang

indah adalah yang paling “bersatu”. Kesan sepintas itu adalah keliru. Ia setuju bahwa

“kebersatuan” atau “keterpaduan” adalah gejala yang ikut menandai keindahan. Plato tetap mau

mempertahankan kesederhanaan sebagai ciri khas dari keindahan, baik dalam alam maupun

dalam karya seni.

Menurut Immanuel Khan dalam (Wiyormartono, 200:29-30), keterepaduan adalah prinsip

umum keindahan, yaitu pertemuan-pertemuan elemen yang terjalin dalam proporsi yang tepat.

Hal tersebut merupakan sebagai kesempurnaan, yang tidak mungkin lagi ditambah maupun

(27)

karakteristik yang digunakan. Suasana yang indah dan sesuai dengan institusi tempatnya sangat

tergantung pula pada penataan dan jenis perlengkapan, dan cahaya yang menggugah rasa untuk

tinggal atau suka-ria. Penilaian atas dasar kecocokan antara suasana dan dunia yang terjadi

disuatu tempat terkait erat dengan dampaknya pada sifat-sifat tubuh manusia (menyegarkan,

mengendurkan, santai,menghilangkan kelesuan dan lain-lain). Khant percaya bahwa, karya-karya

yang punya kekayaan estetika yang tinggi tak lepas dari keteriakatan dengan pengalaman spritual

religius.

Sebagai contoh arsitektur tradisional Jepang yaitu taman. Dalam bahasa Jepang, kata

taman disebut sebagai “tei-en” yang merupakan gabungan dari dua buah huruf kanji, yaitu tei

(kalau berdiri sendiri dibaca niwa) yang berarti “pekarangan”, dan en (kalau berdiri sendiri

dibaca sono) yang berarti kebun atau taman. Sulit dikatakan taman yang bagaimana yang

benar-benar representatif khas Jepang karena taman Jepang merupakan hasil perkembangan sejarah,

mencakup pengaruh pengaruh dari luar (China), selera estetis, prinsip kepercayaan (unsur

Shintois dan Bhudis), pengaruh alam lokal, kehendak pemiliknya.

Batuan-batuan merupakan unsur yang menjadi ciri dari pertama Jepang, sekaligus

menjadi kerangka dasar. Tiada taman tampa bebatuan, itulah prinsipnya. Meskipun demikian,

pada hakekatnya sebuah taman yang khas Jepang mencakup beberapa unsur pokok, yaitu

pepohonan, batu, air dan juga pasir. Membangun taman khas Jepang memerlukan daya kreasi

dan imaginasi yang kuat, karena taman Jepang harus tampak alami dan menyatu dengan alam

sekitarnya. Konsepnya memang berbeda dengan konsep pertamanan Barat yang mengatur

batu-batu besar serta pepohonan secara geometris.

Taman Jepang tidak terasing atau terlepas dari alam sekitarnya, karena keduanya saling

(28)

taman atau alam mini yang diatur dengan tangan manuasia) yang diberi bingkai. Para perancang

taman Jepang selalu mengikuti tiga prinsip dasar komposisi, yakni skala (membuat alam dalam

skala yang lebih kecil dan lengkap), simbolisasi (misalnya ada taman pasir yang melambangkan

ombak lautan), dan “pemandangan pinjaman” (mengaitkan pemandangan indah yang ada di

dekatnya).

Prinsip pertama, skala yang diperkecil. Dengan memperkecil skala pemandangan alam,

misalnya pegunungan dan sungai, kemudian menyatukannya dalam sebuah area terbatas (taman).

Gagasan yang ada di balik ini adalah ‘membawa’ pemandangan indah sebuah desa pegunungan,

dalam bentuk sebuah taman. Tempatnya biasanya di tengah kota. Prinsip kedua, simbolis.

Misalnya pegunungan pasir putih yang bisa menimbulkan kesan pemandangan laut dengan

ombaknya. Kemudian, dalam hal “pemandangan pinjaman”. Pemandangan yang terdapat pada

latar –belakang taman yang dibangun, misalnya sebuah gunung atau lautan yang berada di luar

atau mungkin agak jauh dari taman, menjadi bagian yang integral dari komposisi alam dari

taman itu sendiri.

Secara umum, ada dua tipe taman Jepang, yakni tipe tsukiyama, yaitu berbukit yang

terdiri dari bukit-bukit dan kolam, serta tipe hiraniwa, yaitu taman datar yang merupakan

kawasan datar tanpa perbukitan ataupun kolam. Tipe datar biasanya untuk area yang terbatas,

kemudian menjadi populer dengan adanya upacara minum teh yang memerlukan adanya

chashitsu (ruang upacara minum teh) yang dikelilingi taman yang sangat alami.

Taman-taman yang diketahui di Jepang berasal dari pada masa Asuka (593-710) dan

Nara (710-794). Di kawasan Yamato (sekarang, prefektur Nara), para perancang taman milik

keluarga kekaisaran serta kelurga kaum penguasa menciptakan tiruan pemandangan lautan,yakni

(29)

pinggirannya dibuat seolah merupakan tepi pantai. Ketika itu agama budha masuk dari benua

asia melalui semenanjung Korea. Para imigran dari situ membawa pengaru terhadap

taman-taman Jepang, wujudnya berupa bebatuan air mancur dan jembatan yang berasal dari China.

Bekas-bekas taman antara lain terdapat di Heijokyo di kota Nara (taman nibo no miya)

Ibukota Jepang pindah dari nara ke Kyoto pada tahun 794 ketika mulai masa heian

(794-1185). Keluarga bangsawan Fujiwara makin kuat kekuasaannya. Saat itu berkembang seni

budaya aristokrat dan kaum bangsawan (aristokrat) hidup di rumah-rumah besar yang di bangun

dalam gaya shinden-zukuri. Taman-taman yang terletak di sekitar rumah-rumah besar yang di

bangun dalam gaya shinden-zukur. Taman-taman yang terdapat di sekitar rumah-rumah besar

tersebut juga tak kalah mengahnya, lengkap dengan kolam-kolam dan air mancur guna

membawa kesan sejuk karena musim panas dan lembab. Jenis taman ini mencakup gaya

funa-asobi (perahu untuk bersenang-senang), ini biasanya mempunyai kolam-kolam berbentuk oval

dan cukup besar untuk berperahu dan memancing. Pavilyun pemancingan pun didirikan yang

menjorok ke kolom dan di huhubungkan dengan koridor ke bangunan utama. Ada pula gaya

shuyu (berjalan-berjalan), dengan jalan-jalan setapak bagi para pengunjung agar dapat menyusuri

satu bagian dan pindah ke bagian lain. Jenis ini biasanya terdapat di komplek kuil atau

rumah-rumah besar dalam masa Heian, Kamakura dan Muromachi. Contoh konkrit yang masih ada

sekarang adalah taman Kuil Saihoji di Kyoto.

Pada abad ke-10 para aristokrat (bangsawan) Jepang makin taat dalam menjalankan

Budhisme. Taman-taman pun dibangun berdadasarkan pemikiran gagasan Joudo (negeri murni)

sebagaimana yang digambarkan dalam kitap suci dan catatan religius. Titik pokoknya adalah

sebuah kolam, dengan sebuah jembatan yang langsung menghubungkan dengn sebuah pulau di

(30)

bangunan mencakup 7 bangunan dasar yakni, pagoda, balaiurung utama, balairung ceramah,

menara lonceng, tempat penyimpanan sutra, asrama dan ruang makanan. Keseluruhan kompleks

kuil di kelilingi tembok tanah liat yang berpintu pada masing-masing sisi. Taman yang ada

merupakan taman kering berupa bentangan pasir putih yang bermotip bagaikan ombak lautan

berkat sapuan penggaruk khusus atau biasa juga berupa kombinasi berupa batu-batuan yang

disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan alam pegunungan, lengkap dengan lembah

dan lain-lain.

Kemudian taman zen sebuah sekte dalam Budhisme, yang mementingkan peri laku

meditasi ini disebut juga sebagai taman mikrokosmik, taman karesansia (taman kering) dan ada

pula taman upacara minum teh. Taman ini terkait dengan ritual upacara minum teh, oleh karena

itu penampilannya diupayakan sangat alami sebagi bentuk rumah minum teh. Ciri-cirinya

antara lain lentera batu, bebatuan injakan, kelompok-kelompok pohon. Biasanya di lengkapi

dengan sebuah sumur atau kolam air yang kecil tempat para peserta upacara minum teh

mengambil air untuk mencuci tangan secara simbolis.

Taman yang terdapat di Istana Katsura di Kyoto merupakan contoh khas dari taman

gaya Kaiyu, kreasi masa dini Edo (1600-1868). Taman ini bercirikan sebuah kolom di tengah

dan bebrapa gubuk minum teh yang mengelilinginya. Taman Korokuen di Okayama(dibangun

1626) di tokyo merupakan salah satu yang paling megah di antara berbagai taman sejenis di

ibukota jepang. Taman di istana hama di tokyo juga merupakan taman gaya kaiyu

yangindah,dengan 3 jembatan.contoh-contoh lain adalah Kairakuen di Kito (Prefektur Ibaraki),

Konrokuen di Kanazawa (Prefektur Isihkawa).

Kayu berarti banyak kesenangan, taman jenis ini dibangun untuk para penguasa

(31)

batu-batu yang indah, pohon-pohon untuk mereproduksi dalam bentuk yang lebih kecil sebagai

pemandangan alam yang terkenal, terdiri dari sejumlah taman kecil dengan kolom

masing-masing.

Mulai masa Meiji (1868-1912) pegeruh Barat yang masuk terasa hingga perancangan

taman Jepang, memakai ruang yang luas, termasuk lapangan rumput yang besar-besar. Salah satu

contohnya adalah taman nasional Shinjuku Gyoen di Tokyo.

2.1.1. Arsitektur Shinto.

Dalam bahasa Jepang arsitektur Shinto disebut dengan Jinja Kenchiku, merupakan

arsitektur bangunan terletak di daerah kuil Shinto. Daerah ini bukan saja menggambarkan tempat

di mana dewa utau para dewa didirikan, melainkan juga berfungsi sebagai tempat di mana orang

dapat memuja dan dapat merayakan perayaan festival untuk dewa (kami). Sehinga ada gedung

untuk kami dan gedung untuk para pemuja. Karena sebagian kuil Shinto diabadikan untuk

kenangan sejarah, arsitektur Shinto telah mempengaruhi desain Mausoleum, terutama sejak

priode Kamakura (1185-1333).

2.1.1.1. Asal Usul Arsitektur Shinto.

Shinto pada dasarnya merupakan agama panteistik yang meyakini keberadaan kami dan

setiap obyek atau fenomena alami. Pada awalnya kuil Shinto dibangun tampa suatu rancangan

apapun karena pada saat itu sebuah rancangan dalam membangun sebuah kuil Shinto tidaklah

diperlukan. Di zaman primif dulu, sering sekali bukit-bukit yang indah ataupun daerah hutan

yang terjal diabadikan sebagai lokasi sakral (kannabi), begitu juga dengan gunung berapi yang

(32)

sungai, pohon-pohon besar dan bebatuan yang berbentuk aneh atau bebatuan yang berukuran

besar. Tebing batu yang terjal atau tebing terjal mungkin dianggap sebagai tempat duduk kami

dan disebut iwakura. Tempat hunian sementara bagi kami selama perayaan festival (otabisho),

juga dianggap sakral.

Sehingga obyek alam yang merupakan kami itu sendiri atau tempat yang

mengindikasikan keberadaan kami, ditandai sebagai tempat sakral dan tempat daerah sakral

ditandai dengan tali jerami (shimenawa) di sekitar lokasi tersebut. Pagar-pagar yang lebih luas

dapat dipergunakan, seperti pagar kayu yang dipacakkan secara horizontal (mizugaki) yang

secara keseluruhan memblokade pandangan ke dalam enclosure ataupun aragaki, yang

memungkinkan pemuja untuk melihat di antara plank-plank yang tersusun secara vertikal di

pagar tersebut.

Arsitektur Shinto merujuk pada bangunan-bangunan yang terletak di dalam kuil Shinto.

Daerah-daerah di sekitar kuil tersebut tidak hanya didisain dimana dewa-dewa (kami) diletakkan,

tetapi juga melayani sebagai tempat dimana orang-orang dapat menyembah dan menyelenggaran

upacara-upacara dan perayaan-perayaan keagamaan yang berhubungan dengan para dewa

tersebut.

Arsitektur kuil Shinto diperoleh dari gubuk zaman dulu, dengan lebih modifikasi dari

pengaruh Buddha dalam setiap desain khasnya. Modelnya yang asli mempertahankan atap dari

jerami. Gubuk zaman dahulu tidak memiliki lantai, tetapi dalam kuil Shinto kita menemukan

lantai yang agak tinggi beberapa kaki dari permukaan tanah, yang disusun seperlunya untuk

berbeda di sekeliling tangga menuju pintu masuk (B.H. Chamberlain, 1981:38).

Seperti rumah orang Jepang zaman dahulu, kuil Shinto dibuat seluruhnya dari bahan

(33)

tanah untuk menyokong dinding dan atap jeraminya. Atap jerami tersebut salah satunya terdiri

dari kulit pohon cemara putih Jepang, hinoki, ataupun dari kayu yang sangat tipis, dan bubungan

atapnya dibuat dari kayu yang bersilang atau bercabang yang bernama chigi. Chigi ini mungkin

diambil dari dinding yang berbentuk segitiga pada ujung atap atau dalam bahasa Jepangnya

adalah hafu. Chigi dianggap sebagai ornamen yang harus ada, karena merupakan simbol suci

dari kuil Shinto. Batang kayu yang pendek yang dibentangkan secara horizontal bersilang

dengan bubungan atap dinamakan katsuogi. Bentuk Chigi yang mengarah ke atas memiliki

simbol menuju Surga dan Katsuogi yang horizontal memiliki arti Bumi.

Begitu juga dengan torii mulai dijadikan sebagai gerbang pada pagar yang dikelilingi

daerah sakral dan menandai titik terjauh yang dapat dimasuki oleh pemuja biasa. Torri adalah

nama sebuah gerbang kuil Shinto yang khas dan unik. Berbentuk dua balok yang tegak lurus dan

dua balok dibentangkan horizontal. Torri merupakan sejenis gerbang yang didirikan di depan

kuil Shinto sebagai bagian dari kompleks kuil Shinto. Torri merupakan simbol yang sangat

diperlukan dalam menandakan lingkungan suci kuil Shinto. Torri memiliki bentuk yang sangat

sederhana dalam strukturnya dan memiliki karakteristik jiwa bangsa Jepang yang diperlihatkan

ke seluruh dunia. Torri melambangkan jalannya dewa dan sebagai perlambangan dari

persembahan kepada Amaterasu Omikami (Dewi Matahari).

Kuil Okinawa di Prefektur Nara dan Kuil Kanasana di Prefektur Saitama

mengilustrasikan jenis-jenis kuil Shinto, dimana terdapat daerah sakral. Bahkan menurut survey

pada tahun 1940, ada kira-kira 110.000 kuil Shinto di Jepang. Namun kuil-kuil ini dapat

(34)

2.1.1.2.

Komplek dan Bangunan Kuil

.

Bangunan kuil diposisikan sesuai dengan lingkungan dan tidak mengikuti aturan yang

homogen. Dari gerbang terdekat, jalur atau lorong akan mengarah kepada gedung kuil utama

(honden) dan sering pula lentera batu menandai jalan atau lorong tersebut. Untuk

mempertahankan keaslian tempat kuil ini, wadah baskom air diberikan bagi para pemuja untuk

mencuci tangan dan mulutnya. Sering pula kuil-kuil ini terletak yang berhubungan dengan

candi-candi Budha.

Ada dua sumber utama gaya arsitektur bagi hodden. Yang pertama adalah tipe gedung

temporer yang dibangun untuk acara tertentu, yaitu untuk tempat tinggal kami. Gaya gedung ini

barangkali menggambarkan periode agrarian mula-mula di Jepang, yakni sekitar 300 Sesudah

Masehi. Contoh jenis struktur ini dapat dilihat pada gedung Suki dan Yuki, yang dibangun

sebagai bagian dari seremoni perayan formal kekaisaran. Gedung kuil utama dari kuil Sumiyoshi

di Osaka menyerupai tipe bangunan temporer dan dijelaskan berfungtsi untuk melestarikan

keberadaan gedung-gedung agama purbakala.

Sumber kedua gaya arsitektur honden adalah bentuk-bentuk arsitektur dalam negeri, baik

dalam bentuk took (storehouse tradisional) dan tempat tinggal. Apa yang disebut gaya shimmei

adalah gaya gedung yang menghasilakan bentuk persegi-empat yang berukuran dua bay kali

empat bay (salah satu bay sebagai jarak di antara dua pilar) dari granary dan treasure storehouse

Jepang pra-sejarah. Kuil Ise paling jelas menggambarkan gaya bangunan ini. Kuil terdalam,

yaitu Naiku yang disakralkan untuk Amaterasu Omikami (Dewi Matahari) dan leluhur

tradisional dari keluarga kaisar Jepang menurut kepercayaan agama Shinto. Gedung-gedung

Naiku dibangun di atas tanah dan dimasuki melalui lorong-lorong ke sisi terpanjangnya.

(35)

dengan chigi, yaitu komponen-komponen ornamental yang melintas di atas atap. Katsuogi

terletak secara horizontal di sepanjang ridge dan memiliki el veranda yang melingkari bangunan.

Kuil terluar, yaitu geki yang berada di Kuil Agung Ise diabadikan untuk dewa Grain, yaitu

Yoyouke no Ookami dan sama seperti naiku. Kuil di Izumo di prefektur Shimane, seperti kuil

ise bersumber dari era mitos, dimana banngunannya menggambarkan gaya reditential periode

Kofun (300-710). Ketika dewa Okuninushi no Mikoto yang memerintah daerah tersebut,

membangun istananya sendiri, beliau dikatakan telah meniru design Istana Kaisar di daerah

Yamato. Bangunan utama Kuil Izumo (Izumo Taisha) dimodelkan berdasarkan istana ini. Gaya

Izumo Taisha dari arsitektur Shinto menggambarkan sifat-sifat kontruksi yang mengindikasikan

arsitektur residential dengan balok yang dibangun secara langsung ke dalam tanah dan lantai

dibangun lebih tinggi. Gedung utama kuil di Izumo adalah berbentuk kuadran dua bay dengan

sebuah tiang tengah dan atap berdinding kirizuma. Beranda yang mengelilingi gedung dijangkau

oleh tangga menuju pusat ujung dinding dan pintu menuju daerah kuil, ada pada sisi kanan.

Setelah pengenalan paham ajaran Budha, sifat pemujaan Shinto menjadi berubah dan

arsitektur kuil juga berkembang. Gedung-gedung kuil mengadopsi elemen-elemen dari arsitektur

Budha dan banyak kuil dicat dengan warna merah China (chinnabar) pada balok dan cat putih

pada dindingnya. Warna metal dan ornamen kayu juga ditambah, sering menggunakan motif

dekorasi yang sama dengan candi-candi Budha. Kuil yang paling penting menambah jumlah

precint, dan honden itu sendiri diperluas untuk memberikan daerah yang beratap untuk para

pemuja. Perubahan-perubahan ini terjadi selama periode Nara (710-794) dan Heian (794-1185)

dan empat bentuk gedung yang berbeda, dikembangkan untuk honden. Gaya bangunan tersebut

adalah gaya nagare (nagare-zukuri), gaya Kasuga (kasuga-zukuri), gaya Hachiman

(36)

Diantara bangunan-bangunan kuil utama yang ada, gaya Nagare adalah yang paling

umum, dengan gaya kasuga sebagai gaya kedua yang paling umum. Nagare dicirikan oleh Kuil

Kamo yang ada di Kyoto. Kuil ini dibedakan oleh ukurannya yang kecil bila dibandingkan

dengan kuil-kuil yang lebih kuno dan oleh bentuk kontruksi dengan base tanah. Karakteristik

yang kedua adalah atap ataupun canopi diperluas sampai menutupi tangga dan daerah di depan

kuil. Pada gaya Nagare, seluruh atapnya berada pada satu sisi mengarah ke depan dan ke bawah,

sehingga pemujaan dilaksanakan di sisi tersempit dari struktur berukuran dua bay kali tiga bay

tersebut. Pada gaya Kasuga, yang diberi nama untuk keempat kuil kecil yang berdiri di barisan

Kuil Kasuga di Nara, atap pont telah ditambahkan kepada ujung dinding dari kuadran satu bay

untuk menutup tangga yang mengarah ke pintu kuil. Pada gaya Hachiman, yang terlihat pada

Kuil Iwashimizu Hachiman dan berbagai kuil lainnya yang diabadikan untuk dewa perang

Hachiman. Sebuah gedung tersendiri untuk para pemuja, telah ditambahkan di depan gedung kuil

utama sehingga atapnya menyantuh eave. Gaya Hie yang ditemukan, terutama pada Kuil Taisha

(Hie Taisha) di luar Kyoto, memiliki atap pent yang ditambah ke bagian depan dan dua sisi kuil

utama dan meniru desain gedung pemujaan (kondo) dari candi Budha.

Pada periode Heian, gaya Ishinoma (yang kemudian disebut gaya gongen) memisahkan

kuil dari gedung pemujaan dengan ruang intervensi. Daerah di antara kedua gedung paralel ini

dilapisi dengan batu dan ditutupi dengan atap gable yang disusun tegak lurus terhadap kedua

bubungan yang sejajar. Contoh Kuil Shinto dapat lihat pada lampiran satu.

2.1.2. Arsitektur Budha.

Dalam masa periode antara abad ke-6 sampai dengan abad ke-8, Jepang memasuki

(37)

perkembangan yang begitu pesat, dan daerah Asuka menjadi pusat pemerintahannya (ibukota),

yang kemudian dalam pejalanan sejarah, pindah ke Nara. Pada pertengahan abad ke-6 ini, boleh

dikatakan Budhism telah banyak mengespresikan dan mendasari karya-karya seni di Jepang

secara terus-menerus dengan aspek-aspek yang berbeda-beda hingga ke zaman berikutnya.

Sealama Zaman Asuka, sedikitnya ada sekitar 50 kuil Budha yang di bangun. Pada masa

ini kuil-kuil Budha dibangun berdasarkan kepemilikan kelompok-kelompok keluarga

bangsawan, bukan berdasarkan kepemilikan kekaisaran. Kuil-kuil Budha ini, selain tempat

pengajaran agama Budha, juga dijadikan sebagai tempat penyebaran kebudayaan-kebudayaan

baru yang berasal dari luar. Kuil ini juga menjadi tempat penyimpanan banyak benda-benda seni

agama Budha. Menurut (Suzuki, 1980:1959), komposisi struktur arsitektur Budist memiliki tujuh

struktur utama, yaitu :

1. Gerbang masuk utama (nandaimōn)

2. Gerbang dalam (chumōn)

3. Aula utama (kōndo)

4. Pagoda (tō)

5. Aula tempat belajar (kodō)

6. Aula tempat makan (jikidō)

7. Asrama para pendeta (sōbo)

2.1.2.1. Asal Usul Arsitektur Budha.

Dalam konsep ajaran Budha, manusia dilihat sebagai bagian dari alam bukan sebagai

penguasa alam. Kesederhanaan yang digambarkan dari tiap kuil didasarkan atas kesetaraan

(38)

hubungan vertikal (Allen, 1969:261), yang ditekankan dalam setiap garis-garis bangunannya.

Kesan horizontal yang kuat ini dapat dilihat dari dua bangunan utama kuil , yaitu pagoda (tō) dan

aula utama (kōndo), yang terdapat pada Kuil Hōryūji. Pagoda memiliki struktur vertikal yang

kuat dengan bentuknya yang menjulang tinggi ke atas. Tetapi bentuk vertikal ini kemudian di

netralkan dengan bentuk-bentuk horizontal yang kuat dari tiap atapnya pada tiap tingkatnya.

Pada aula utama (kōndo), garis horizontal juga ditegaskan secara kuat dari bentuk

atapnya yang melebar secara luas kesamping, melebihi unsur bangunan lainnya. Sama seperti

pagoda, kedua bangunan ini dipertegas oleh bentuk horizontal yang kuat pada atapnya.

Material kayu pada seluruh komponen bangunan Kuil Hōryūji, yang pada masa itu sangat

banyak terdapat di seluruh kepulauan Jepang, memiliki ketahanan terhadap gempa yang

frekuensinya sangat tinggi di Jepang. Material kayu ini juga memperkuat kesan kesederhanaan

dalam kuil tersebut.

Kuil Hōryūji secara fungsional juga dikonsep sebagai tempat pemujaan kepada sang

Budha, sebagai pusat pembelajaran terhadap ajaran-ajaran dan doktrin agama Budha, dan pada

beberapa bagian bangunan dikonsep bagi para pendeta yang tinggal di kuil tersebut. Tetapi,

konsep utama kuil ini adalah sebagai media tempat berkumpul para penganut agama Budha.

Bentuk-bentuk yang sederhana dalam arsitektur Kuil Hōryūji didasarkan pada konsep-konsep

kesederhanaan itu sendiri dalam ajaran Budhism

Bagian bangunan Kuil Hōryūji yang paling menonjolkan nialai religius agama Budha

adalah bangunan aula utama (kōndo), yang di dalamnya terdapat tiga patung utama Budha.

Kōndo adalah merupakan bangunan utama yang berfungsi sebagai tempat pemujaan dan

(39)

2.1.2.2. Komplek dan Bangunan Kuil

Kompleks Kuil Hōryūji terbagi menjadi dua bagian. Bagian timur (tōin atau higashi no

in) yang terdiri dari 14 bangunan, dan bagian barat (saiin atau nishi no in) terdiri dari 31

bangunan (Skripsi Reynold, 2007:33).

Jalan masuk utama dari sisi selatan kompleks utama Kuil Hōryūji adalah melalui gerbang

besar selatan (nandaimōn), kemudian sesudahnya langsung menuju gerbang tengah (chūmon).

Disisi kiri dan kanan chūmon ini menyatu dengan koridor yang mengelilingi dan menutupi

kompleks utama kuil tersebut, yang ditopang oleh pilar-pilar kayu yang besar.

Di kompleks utama kuil (saiin garan), terdapat dua aula utama (kōndo) dan pagoda

(tō)dengan posisi bersebelahan secara menyamping. Fungsi kōndo adalah tempat utama

diletakkannya patung-patung Budha, yaitu patung Budha Yakushi Nyorai, patung Budha

Trishaka, dan patung Buddha Amida Nyorai. Sedangkan pagoda berfungsi sebagai tempat

penyimpanan beberapa bagian tulang ataupun abu dari Sang Budha, yang diyakini tertanam pada

bagian bawah pusat pondasi pagoda.

Disebelah utara kompleks utama Kuil Hōryūji terdapat bangunan aula tempat belajar

(kodō). Di dalam kōdō ini terdapat patung Budha yang tebuat dari kayu dan patung-patung

malaikat penjaga. Sebelah barat kodō, terdapat aula tempat penyimpanan kitab-kitad ajaran

Budha (kyozō).

Sebelah selatan bagian luar kompleks utama Kuil Hōryūji terdapat sebuah kuil kecil,

yang merupakan bagian dari aula utama kōndo. Kuil ini disebut tamamushi no zushi, yang

berasal dari nama seekor serangga yang mempunyai sayap berwarna-warni, yang kemudian

(40)

Diluar komplek utama Kuil Hōryūji terdapat beberapa kelompok bangunan yang

sebagian dibuat sebagai bentuk peringatan terhadap pangeran Shōtoku. Yang pertama adalah

aula kudara kannon, yang di dalamnya terdapat patung Kudara Kannon. Terletak di sebelah

timur komplek utama kuil, dengan material utama kayu camphor, berbentuk ramping dan

sederhana.

Di sebelah kanan aula kudara kannon terdapat aula daihozo den. Bangunan ini terdiri dari

dua bagian. Yang pertama adalah sebagai tempat penyimpanan patung pangeran Shōtoku ketika

masih kanak-kanak dan patung perunggu Yumachigae Kannon. Aula ini dipercaya oleh para

penganut Buddha dan para pengikut Pangeran Shōtoku dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat

dalam kehidupan, dan dapat berkah kesederhanaan. Bagian kedua bangunan juga terdapat

banyak patung-patung Pangeran Shōtoku dalam ukuran yang lebih kecil. Namun, unsur yang

paling terpenting dalam bangunan ini adalah dua altar buddha, yaitu altar tamamushi dan altar

tachibana.

Kemudian di sebelah timur daihozo den terdapat banguna kuil Toin Garan (kuil timur).

Komplek ini dibangun pada tahun 739, yang dipersembahkan kepada pendeta Buddha Gyoshin

Sozui kepada Pangeran Shōtoku (Suzuku, 1980:374). Contoh bangunan Kuil Hōryūji dapat

dilihat pada lampiran dua.

2.2. Arsitektur Modern Jepang

Sejak tahun 1930 gerakan modern Jepang melonjak semakin cepat berkembang dan

(41)

Bila dilihat dari ciri bangunan arsitektur modern Jepang yang scruptural dan monumental

dengan penonjolan elemen-elemen kontruksi, meskipun dari bahan yang modern seperti beton

bertulang, tetapi diperlukan dan tampil dalam bentuk yang ekspresif, seperti kayu. Para arsitek

tokoh modernisme Jepang, setelah menyelesaikan pendidikan arsitektur di negara kelahirannya

kemudian bekerja dan belajar pada pelopor arsitektur modern, seperti Le Corbusier dan Mies

Van der Rohe.

Seorang arsitek besar Jepang pada abad XX, yaitu sutemi Horiguchi yang tergabung dalam

asosiasi masyarakat modern pertama Jepang, berpendapat bahwa arsitektur harusnya merupakan

ekspresi yang jujur dari struktur, arsitektur Jepang pada masa itu mendapat pengaruh besar dari

Eropa, demikian juga Horiguchi menaruh besar pada gagasan arsitektur Eropa. Ia

membandingkan Yunani Kuno untuk mendapatkan dasar-dasar dari arsitektur tradisional

negaranya.

Sebelum Perang Dunia I, Horiguchi menjadi pelopor arsitektur kontenporer dengan

proyek-proyek yang cenderung tradisional dengan kontruksi balok dan kolom. Pelopor arsitektur modern

lainnya adalah Bonchi Yamaguchi dan generasi berikutnya dalam modernisme arsitektur Jepang

yang paling terkenal adalah Kenzo Tange.

2.2.1. Perkembangan Arsitektur Modern

Kata modern selalu memiliki pengertian yang baru tau mutahir, termasuk didalamnya

sikap dan cara berfikir, serta bertindak sesuai dengan zaman, sehingga sesuatu yang modern

selalu menjadi harapan yang ingi dicapai seseorang, demikian pula arsitektur modern

diharapkan dapat melahirkan suatu nilai-nilai baru yang dapat memenuhi tuntutan perwadahan

(42)

kemajuan peradaban, serta rasionalisme yang juga tercermin dalam yaga arsitektur. Gagasan

modernisme dalam arsitektur dan tumbuh sejak akhir abad ke-19 di Eropa Barat, yang

mengakibatkan oleh berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa

tersebut, Revolusi Industri berkembang pesat dalam bentuk rasionalisme dan penggunaan mesin

secara besar-besaran. Dari kegiatan ini terjadi ledakan tuntutan jenis dan tipelogi bangunan yang

sebelumnya tidak ada, dengan cara mengklasifikasikan, seperti: banguna pabrik, perkotaan,

perkantoran, apartemen, bioskop, stasiun kereta api, lapangan terbang dan hangar pesawa.

Hal yang dapat dilihat adalah sebagai berikut”

1. Timbulnya sistem pabrikasi, dimana bahan banguna dibuat di pabrikdan

menggunakan mesin-mesin. Sehingga bangunan dapat dilakukan dalam relatif

singkat.

2. Terjadi spesialisasi dan terpisahnya dua keahlian, yaitu arsitek dalam hal yang

berkaitan dengan fungsi, ruang, dan bentuk. Sementara dilain pihak ada ahli struktur

dan kontruksi dalam hal perhitungan dan pelaksanaan.

Gerakan Avant Garde memberikan kehidupan baru dalam teori perencanaan dan

pelaksanaan arsitektur. Pada kongres CIAM tahun 1928, artsitektur modern mengktistal menjadi

suatu aliran yang disebut dengan “Intenational Style”. Penyebaran sebagai style yang universal

sangat pesat ke seluruh dunia sebagai sesuatu yang baru karena tidak beridentitas lokalitas/

regionalisme. Dalam pendangan arsitektur modern selanjutnya (1910-1940) terjadi dalam pola

dan keindahan arsitektur, dimana keindahan muncul semata-mata oleh adanya fungsi dari

elemen-elemen bangunan. Oleh karena itu, disebut sebagai aliran arsitektur fungsional dan sering

(43)

2.2.2. Karakter dan Ciri Arsitektur Modern

Di dalam arsitektur terdapat konsep tentang ruang yang disebut open plan, yaitu

membagi bangunan dalam elemen-elemen struktur primer dan skunder, kesemuanya itu

bertujuan untuk mendapatkan fleksibilitas dan variasi di dalam bangunan. Karakter dari

arsitektur modern menurut Bruno Taut (http://pusht.petra.ac.td.journals/interior) daladalah:

1. Syarat utama dari bangunan adalah bangunan mencapai kegunaan yang semaksimal

mungkin.

2. Material dan sistem bangunan yang digunakan ditempatkan sesudah syarat di atas

tersebut.

3. Keindahan tercapai dari hubungan langsung antara bangunan dan kegunaannya,

tepatnya penggunaan material dan keindahan sistem kontruksi.

4. Estetika dari arsitektur baru tidak mengenal perbedaan antara depan dengan belakang,

fasade dengan rencana lantai, jalan dengan halaman dalam, tidak ada detail yang

berdiri sendiri tetapi bagian yang diperlukan bagi keseluruhan.

5. pengulangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindarkan, tetapi

merupakan alat yang penting bagi ekspresi artistik.

Sedangkan ciri-ciri arsitektur modern, dimana terlihat keseragaman dalam penggunaan

skala manusia, yaitu:

1. Bangunan kebanyakan bersifat fungsional, artinya sebuah bangunan dapat mencapai

tujuan semaksimal mungkin, bila sesuai dengan fungsinya.

2. bentuk bangunan sederhana dan bersih yang berasal dari seni kubisme (bentuk-bentuk

geometris) dan abstrak, yang terdiri dari bentuk-bentuk yang aneh tetepi intinya

(44)

3. Kontruksi dan pemakaian bahan-bahan buatan pabrik yang diperlihatkan secara jujur

tidak diberi ornamen atau ditempel-tempel.

4. Interior dan eksterior terdiri dari garis-garis vertikal dan horizontal.

Sebagai salah satu contoh dari arsitektur modern Jepang dapat dilihat pada lampiran tiga.

2.3. Seni Arsitektur Kenzo Tange

Menurut Hegel dalam Wiryomartono, 2001: 39-41, seni adalah manifestasi dari manusia

untuk membawa keindahan alam raya ke dalam alam budaya. Seni bukanlah pruduk alam. Seni

adalah buah karya yang diciptakan untuk manusia secara mendasar, kurang atau lebih melalui

medium indrawi dan dialamatkan tujuan yang mengikatnya dengan manusia. Menurut Hegel,

bahwa karya seni adalah untuk membawa kejelasan, mana yang alami dan mana yang kultural.

Sejarah prinsip-prinsip alami dipenuhi oleh sebuah karya, sejauh itu pula yang harus dikenali

oleh manusia sebagai subjeknya, yakni sebagai penggugah rasa dan perasaan. Karya seni secara

hakiki akan membuat manusia, baik sebagai seniman maupun sebagai pengamatnya merasa

nyaman dan lebih betah. Karya seni disajikan untuk pemahaman indrawi yang melibatkan rasa

dan perasaan.

Menurut Nietzsche, seni bukan hanya menampilkan suasana tenang, damai, elegan, dan

anggun, namun juga bisa memberikan guratan dan dorongan dalam mengenali daya-daya

kehidupan. Karya perlu menggugah emosi sedalam mungkin dan setinggi mungkin (ekstasis).

Menurut Haidegger, karya sebagai barang yang terjadi karena adanya bentuk material,

yang artinya daya sumbang. Bentuk atau penampakan dalam rupa serta wujud tidak bisa lepas

dari maksud, daya sumbang, dan material yang digunakan. Bentuk terima kasih pada bahan yang

Referensi

Dokumen terkait

Gereja HKBP Parapat juga menerapkan arsitektur Neo Vernakular, seperti dinding menggunakan batu bata dan disertai adanya ornamen arsitektur tradisional Batak Toba yang terdapat

Bangunan rumah di Jepang memiliki desain arsitektur yang berbeda dan khas, khususnya pada rumah tradisional Jepang atau Minka.. Minka merupakan hunian untuk

Kedua skripsi tersebut sama-sama menggunakan kajian struktural akan tetapi dengan judul yang berbeda dan juga menjelaskan tentang unsur-unsur instrinsik yang ada di

Perwujudan dari desain ekologi arsitektur adalah bangunan yang berwawasan lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan konsep arsitektur hijau yang merupakan bagian dari

Ledak Sari City Hotel, Kuta Bali ini merupakan schematic design dari sebuah hotel kota di daerah pariwisata Kuta Bali. Konsep desain memadukan antara arsitektur tradisional Bali

Contoh peninggalan arsitektur pada budaya Jepang adalah rumah tradisional yang bergaya Gassho Zukuri yang memiliki keindahan yang unik dari rumah tradisional yang lainnya

Perwujudan dari desain eko-arsitektur adalah bangunan yang berwawasan lingkungan yang sangat erat kaitannya dengan konsep arsitektur hijau yang merupakan bagian

Pendekatan Arsitektur Bali diterapkan pada perancangan ini karena selaras dengan konsep bangunan kesenian yang diperlukan, mengacu pada konsep-konsep dasar dari Arsitektur Bali seperti