• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan, Sikap Orangtua dan Keluarga Terdekat terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan, Sikap Orangtua dan Keluarga Terdekat terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN

KELUARGA TERDEKAT TERHADAP

KESINAMBUNGAN PENANGANAN ANAK AUTISME DI

RUMAH

TESIS

Oleh

LINDA HERNIKE NAPITUPULU

077023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN

PENANGANAN

ANAK AUTISME DI RUMAH

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

LINDA HERNIKE NAPITUPULU 077023006/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

SURAT PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN PENANGANAN

ANAK AUTISME DI RUMAH

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Februari 2010

(4)

Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN

PENANGANAN ANAK AUTISME DI RUMAH

Nama Mahasiswa : Linda Hernike Napitupulu Nomor Induk Mahasiswa : 077023006

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas /

Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)) ( dr. Sri Sofyani, Sp.A (K) ) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)

(5)

Telah diuji pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)

Anggota : 1. dr. Sri Sofyani, Sp.A (K)

2. dr. Yazid Dimiaty, Sp.A (K)

(6)

ABSTRAK

Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat. Jumlah penderita anak autisme khususnya di Indonesia juga semakin meningkat. Pada tahun 2004 tercatat 475.000 penderita autis dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 orang anak yang lahir, menderita autisme. Penanganan anak autisme sangat sulit untuk dilakukan karena membutuhkan strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Untuk menjalankan terapi autisme di rumah, yang paling dibutuhkan adalah pemahaman dan penerimaan terhadap kondisi anak.

Jenis penelitian yaitu survei dengan tipe explanatory yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, sikap orangtua dan keluarga terdekat terhadap kesinambungan penanganan anak autisme di rumah. Populasi penelitian adalah orang tua dan keluarga terdekat anak autisme yang bersekolah di Yayasan Kids Smile, Pusat Rehabilitasi Anak Berkebutuhan Khusus (YPAC) dan Taman Pendidikan Islam yang ketiganya berlokasi di Medan. Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan (total sampling) orang tua dan keluarga terdekat dari anak yang menyandang autisme yaitu 60 orangtua dan 60 orang terdekat, jadi jumlah keseluruhan 120 orang. Data diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan memakai pedoman kuesioner Analisis data dilakukan dengan regresi logistik.

Hasil penelitian pada orang tua menunjukkan bahwa dari lima faktor (pengetahuan, sikap, umur, pendidikan, dan pekerjaan) yang diduga berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme di rumah, hanya satu faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme yaitu sikap orangtua. Pada orang terdekat, ada satu faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme yaitu pengetahuan orang terdekat.

Saran yang diajukan kepada: 1) orangtua dari anak penyandang autisme, agar bersikap mencintai dan menerima anak apa adanya; 2) orang terdekat dengan anak autisme, agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang anak autisme; 3) pemerintah, agar membuat suatu kebijakan untuk lebih memperhatikan kepentingan anak autisme; 4) yayasan yang menangani anak autisme, agar memberikan arahan kepada orangtua dan orang terdekat dalam menangani anak autisme di rumah.

(7)

ABSTRACT

Autism can happened at all of group of public. Amount of patients of autistic children specially in Indonesia also progressively increased. In the year 2004 noted 475.000 patient autism and now estimate every 1 of 150 child bearing, suffer autism. Handling of autistic children were hardly difficult to be done by requiring different strategy with other chlid generally. To implement therapy of autistic children at home, its need acceptance and understanding to condition of the child. To run autism therapy at home, which is most needed is an understanding and acceptance of the conditions of children.

This research was survey with explanatory type. It’s purpose was to analyze the influence of knowledge, attitude parents and nearest family on continuity of handling autistic children at home. Research population were family and closest family of autistic children in Kids Smile Institution, Rehabilitation Center of Child with Special Needs (YPAC) and Education Garden Of Islamic which located in Medan. Sample in this research were entirely (total sampling) from amount of families and closest family of autistic children, that were 60 parents and 60 closest family, so that total sample were 120 people. Data obtained by direct interview with questionnaire. Data analysis were done with logistic regression.

The result of the research at parent showed that from five factor (knowledge, attitude, age, education, and work) were estimated had influence on continuity of handling autistic children at home, there was only one factor which had significant influence that was parent’s attitude. At the closest family showed that there was one factor which had significant influence on continuity of handling of autistic children, that was knowledge of closest family.

It is suggested to: 1) the parent of autistic children, to love and receive their chlid just the way they are; 2) closest family of autistic children, to have a good knowledge concerning to the autistic children; 3) government, to make a policy to have more attention about autistic children; 4) Institution handling child of autistic children, to give instruction to parent and closest family in handling of autistic children at home.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penulisan tesis yang berjudul “ Pengaruh Pengetahuan, Sikap Orangtua dan

Keluarga Terdekat terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di

Rumah”.

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat dukungan dan bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan

terima kasih kepada :

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara dan dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi

S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan

Komunitas/ Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta

seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama

(9)

3. Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K) dan dr. Sri Sofyani, Sp.A (K) selaku

Dosen Pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, pemikiran, dan

bimbingan kepada penulis.

4. Ferry Novliady, S.Psi., M.Si dan dr. Yazid Dimiaty, Sp.A (K) selaku Dosen

Penguji yang telah banyak memberi masukan berupa saran dan kritikan demi

peningkatan kualitas dan esensi penelitian ini.

5. Tugi Rahayu, AMOT selaku Kepala Yayasan Penyandang Anak Cacat anak

penyandang Autisme, Nurasiah, S.Pd selaku Kepala Sekolah Taman

Pendidikan Islam yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian

diwilayah kerja mereka.

6. Buat keluarga penulis ; Bapak P. Napitupulu, Ibu R. Tambunan, Abang R.P

Napitupulu, Adik K.M. Napitupulu, S.L. Napitupulu, L.A. Napitupulu, Eda

D.W. Sitorus dan keponakan yang sangat kusayangi Tommy Revaldo B,

terima kasih atas doa, perhatian, dukungan material dan moral yang tidak

terbalaskan, semoga Tuhan yang membalas semuanya dengan kebahagiaan

dan sukacita.

7. Darwin Syamsul, S.Si., M.Si Apt selaku Ketua STIKes Helvetia dan

rekan-rekan Rismaini S, Tetty, Neni, Vivi, Semi, Sugi, Irma, Dilla yang sudah

memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama penulisan

penelitian ini.

8. Rekan-rekan satu angkatan di AKKm/E S2 FKM USU 2007 Dame Evalina,

(10)

Tampubolon, Saifuddin, Syaifullah, Fatma Deri, dan Tari terimakasih atas

semangat kebersamaan selama menjalani perkuliahan dan juga terimakasih

buat rekan-rekan PS-AKKm/Epidemiologi USU 2007.

9. Secara khusus buat Elmina Tampubolon, S.K.M., M.Kes, Dameria Evalina

Simangunsong, S.K.M., M.Kes, Rahmayani, S.K.M., M.Kes, Rismaini

Sembiring, S.K.M., M.Si, Vivi Eulis Diana, S.Si., M.E.M., Apt, Sriwahyu

Ningsih, AmKeb, dan Benri Simanjorang, ST terimakasih atas bantuan dan

semangat yang diberi kepada penulis selama penulisan penelitian ini.

10.Rekan-rekan Guru Sekolah Minggu HKBP Bethesda Prumnas Mandala

Medan ; Sandra Nainggolan, Asima Siagian, Donna Tampubolon, Palti

Hutasoit, Siska Barimbing, Theresia Hasugian, Mariance Panggabean, Rinaldi

Silitonga, Elvi Sirait, Wita Sinaga dan Lia Ompusunggu terima kasih atas doa,

perhatian, semangat, yang tidak terbalaskan, semoga Tuhan yang membalas

semuanya dengan kebahagiaan dan sukacita.

11.Semua pihak termasuk informan yang sudah bersedia diwawancarai,

terimakasih atas informasi dan kerjasama yang baik selama di lapangan.

Kiranya penelitian ini mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya

pada berbagai pihak yang berkepentingan. Penulis juga sangat terbuka pada saran

dan kritikan yang bersifat membangun dari semua pihak demi peningkatan

kualitas penelitian ini. Salam sejahtera dan Tuhan memberkati kita semua. Amin.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Linda Hernike Napitupulu, lahir pada tanggal 22 Agustus 1976 di Kota

Medan Propinsi Sumatera Utara, anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan

Ayahanda P. Napitupulu dan Ibunda R. Tambunan.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar

Inpres 066663 Medan pada tahun 1983 dan diselesaikan pada tahun 1989, Sekolah

Menengah Pertama Negeri (SMPN) 15 Kota Medan pada tahun 1989 dan

diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Kota

Medan pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1995, Diploma III di

Akademi Kesehatan Lingkungan Kabanjahe pada tahun 1995 dan diselesaikan

pada tahun 1998, Strata Satu (S-1) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2006, Strata Dua

(S-2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi

Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi pada tahun 2007 dan diselesaikan pada tahun

2010.

Pada tahun 2007 sampai saat ini menjadi Pegawai Swasta di Yayasan

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Permasalahan ...5

1.3. Tujuan Penelitian...5

1.4. Hipotesis Penelitian ...6

1.5. Manfaat Penelitian ...6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme ... 7

2.1.1. Pengertian Autisme ... ...7

2.1.2. Penyebab Anak Autisme ... ..11

2.1.3. Diagnosa Autisme ... ..11

2.1.4. Karakteristik Anak Autisme ... ..15

2.2. Konsep Perilaku... ..18

2.2.1. Pengertian ... ..18

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan ... ..19

2.3. Orang Tua ... ..23

2.4. Keluarga Terdekat...23

2.5. Pengetahuan Orang Tua/Keluarga Terdekat...24

2.6. Sikap Orang Tua/Keluarga Terdekat...25

2.7. Kesinambungan Penanganan Dirumah...26

2.8. Landasan Teori...27

2.9. Kerangka Konsep...30

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... .31

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... .31

3.2.1. Lokasi Penelitian... .31

(13)

3.3. Populasi dan Sampel ... .32

3.3.1.Populasi ... .32

3.3.2.Sampel... .32

3.4. Metode Pengumpulan Data ... .33

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... .34

3.5.1.Jenis Variabel ... .34

3.5.2.Definisi Operasional ... .35

3.6. Metode Pengukuran ... .36

3.6.1.Variabel Independen ... .36

3.6.2.Variabel Dependen... .37

3.7. Metode Analisis Data... .39

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ...42

4.1.1.Keadaan Geografis ...42

4.1.2.Kependudukan ...42

4.1.3.Pelayanan Terapi Anak Autisme...42

4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan ...43

4.2.1.Distribusi Orangtua Berdasarkan Umur, Pendidikan danPekerjaan ...43

4.2.2.Distribusi Orang Terdekat Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan ...44

4.3.Analisis Bivariat ...46

4.3.1. Hubungan Umur, Pendidikan, & Pekerjaan Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...46

4.3.2. Hubungan Umur, Pendidikan, & Pekerjaan Orang terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...48

4.3.3. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...50

4.3.4. Hubungan Pengetahuan dan Orang Terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ..52

4.4.Analisis Multivariat ...54

4.4.1. Pengaruh Pendidikan, Pengetahuan, dan Sikap Terhadap KesinambunganPenanganan Anak Autisme Oleh Orangtua Dirumah...54

(14)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap

Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...58

5.2. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Orang Terdekat Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...60

5.3. Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme Oleh Orangtua di rumah ... 61

5.4. Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kesinam- bungan Penanganan Anak Autisme Oleh Orang Terdekat di rumah...62

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan...64

6.2. Saran ...64

DAFTAR PUSTAKA...67

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Hal

1. Aspek Pengukuran Karakteristik Responden ...38

2. Aspek Pengukuran Pengetahuan dan Sikap Responden Terhadap

Kesinambungan Penanganan Dirumah ...38

3. Distribusi Orangtua Berdasarkan Karakteristiknya...43

4. Distribusi Orang Terdekat Berdasarkan Karakteristiknya ...45

5. Hubungan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan Orangtua dengan

Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...47

6. Hubungan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan Orang Terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...49

7. Hubungan Pengetahuan Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah...50

8. Hubungan Sikap Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan

Anak Autisme di Rumah...51

9. Hungan Pengetahuan Orang Terdekat dengan Kesinambungan

Penanganan anak Autisme di Rumah...52

10.Hubungan Sikap Orang Terdekat dengan Kesinambungan

Penanganan anak Autisme di Rumah...53

11.Hasil Analisis Uji Regresi logistik Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Pendidikan Orangtua Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...55

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Hal

1. Model Teori Perilaku Menurut Green (1980)

dalam Notoadmodjo (2007) ... 29

2. Kerangka Konsep ... 30

3. Kurva Normal... 36

4. Kurva Normal Pengukuran Kesinambungan Penanganan Dirumah ... 37

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Kuesioner Penelitian ... 70

2. Print Out Komputer Program SPSS versi 15 ...86

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jawaban Pertanyaan...119

4. Surat Permohonan Izin Penelitian ...125

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Autisme merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia

walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Sampai saat ini belum dapat

ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat

dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat (Ginanjar, 2006).

Autisme atau autistic spectrum disorder adalah merupakan suatu kelompok

penyakit yang ditandai dengan keterlambatan pada perkembangan berbicara dan

kurangnya interaksi sosial (Jepson, 2003). Pada tahun 1960 dimulailah penelitian

neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya

abnormalitas pada otak. Pada tahun 1994 penelitian tentang ciri-ciri anak autisme

berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam

DSM-IV (diagnostic and statistical manual of mental disorder, edisi revisi keempat)

(Handojo, 2003).

Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di

desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan

budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya

memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana

yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik (Putera kembara, 2006).

Penanganan autisme sangat sulit untuk dilakukan karena membutuhkan

strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Selain tidak mampu

bersosialisasi, juga tidak dapat mengendalikan emosinya (Bastaman, 2000).

Penyandang autis seakan-akan hidup didunianya sendiri (Handojo, 2003).

Perkembangan anak penyandang autisme tertinggal jauh dibanding anak

normal seusianya. Anak autis akan menjadi abnormal selamanya, bila tidak

mendapat penanganan, pendidikan dan perlakuan yang intensive (Budhiman,

(19)

autisme masa kanak-kanak dapat dikoreksi yang dilakukan pada usia sedini

mungkin (Handojo, 2003).

Penelitian menunjukkan jumlah penderita autisme meningkat dari tahun

ketahun. Pada tahun1987, ratio penderita autisme 1 : 5.000. Ini berarti, diantara

5000 anak, ada satu anak yang menderita autisme. Angka ini meningkat menjadi 1

: 500 pada tahun 1997, kemudian meningkat terus menjadi 1 : 150 artinya ada

sebanyak satu orang anak yang menderita autisme dari 500 kelahiran anak pada

tahun 2000 (Asteria, 2008). Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40

persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9

kasus autis per-harinya (Judarwanto, 2008). Di Amerika Serikat disebutkan

autisme terjadi pada 15.000 - 60.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain

menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada

yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan

dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10

anak menderita autisme. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6

- 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih

berat (Putera kembara, 2008).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 2 April sebagai

"Hari Autisme Sedunia" (World Autism Awareness Day). Dengan adanya

penetapan ini membuktikan bahwa dunia sudah mengakui bahwa autisme saat ini

telah menjadi suatu keprihatinan bagi masyarakat dunia, karena terdapat lebih dari

35.000.000 jiwa yang menjadi penyandang autisme diseluruh dunia. PBB telah

memasukkan masalah autisme kedalam kategori krisis dan akan mendapatkan

prioritas utama untuk penanggulangannya. Seluruh anggota PBB menyetujui

untuk menindaklanjuti masalah autisme (Imron, 2008).

Saat ini di Indonesia pun sudah banyak ditemukan kasus autisme. Jumlah

penderita anak autisme di Indonesia semakin meningkat, pada tahun 2004 tercatat

475.000 penderita autis (Mira, 2006). Laporan terakhir tahun 2005

(20)

normal diseluruh dunia termasuk Indonesia telah mencapai 1:100 (Depdiknas RI,

2004).

Dengan masalah autisme yang sudah menjadi masalah dunia, diharapkan

juga menjadi masalah yang harus ditangani oleh negara, pemerintah setempat.

Bahkan hingga ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Selama ini masih menjadi

kendala karena tidak ada kesepahaman berbagai pihak mengenai autisme (Safaria,

2005).

Propinsi Sumatera Utara khususnya dikota Medan, memiliki jumlah

penduduk yang semakin meningkat. Banyaknya jumlah penduduk ini dikarenakan

adanya urban yang meningkat dari tahun ketahun. Penduduk kota Medan terdiri

dari beragam suku, warga negara keturunan dan warga negara asing.

Masalah autisme adalah masalah yang sangat kompleks. Penelitian tentang

berbagai penyebabnya juga telah dan masih terus dilakukan dinegara maju, oleh

karena itu pengetahuan tentang autis pun terus berkembang. Berbagai terapi pun

telah dibuka untuk menangani masalah autisme. Disamping itu, sekolah-sekolah

khusus anak autis juga sudah ada dikota Medan (Hadiyanto, 2008).

Setiap kehidupan manusia diawali dengan beberapa tahap perkembangan.

Perkembangan manusia berawal dari masa prenatal sampai menjelang akhir

kehidupan yang dikenal dengan usia lanjut. Dalam setiap periode perkembangan

terdapat berbagai tugas perkembangan yang harus dilalui dan stiap aspek

per-kembangan baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial. Identidikasi dalam setiap

perkembangan anak sejak awal penting untuk diketahui orang tua (ibu), karena

setiap periode perkembangan anak akan menentukan perkembangan selanjutnya.

Adapun kenyataan di lapangan pada saat ini kesibukan orang tua yang semuanya

bekerja membuat peran dalam mendidik anak cenderung berkurang yang

meng-akibatkan kurangnya ikatan emosional dengan anaknya (Sitta, 2009).

Berkembangnya sekolah/tempat terapi yang ada dikota Medan saat ini

memberikan solusi bagi para orang tua dalam perawatan anak mereka yang

(21)

berkaitan dan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama yang lain. Orang tua

mendidik anaknya dirumah dan disekolah untuk mendidik anak diserahkan kepada

pihak sekolah atau guru, agar berjalan dengan baik kerja sama antara orang tua

dan sekolah harus dilakukan agar dapat memperlakukan anak seperti anak normal

seusianya.

Banyak orang tua menyerahkan sepenuhnya penanganan tersebut pada

sekolah terapi atau sekolah khusus. Mereka hanya menyediakan biaya dan

prasarananya saja. Tetapi ada juga mereka yang selalu ingin mencampuri proses

terapi yang sedang berlangsung sehingga anak-anak ini terdistraksi (teralih)

konsentrasi dan perhatiannya dari materi. Kelancaran proses terapi menjadi sangat

terganggu bahkan terhenti. Kedua sikap ini sangat merugikan dan menghambat

kemajuan terapi sianak sehingga penanganan yang menyeluruh tidak dapat

terlaksana dengan baik (Puterakembara, 2006).

1.2. Permasalahan

Dari latar belakang tersebut didapat suatu permasalahan yang akan diteliti

yaitu bagaimanakah pengaruh pengetahuan, sikap orang tua dan keluarga terdekat

terhadap kesinambungan penanganan anak autisme dirumah.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap orang tua terhadap

kesinambungan penanganan anak autis dirumah.

2. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap keluarga terdekat

terhadap kesinambungan penanganan anak autis dirumah.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada pengaruh pengetahuan dan sikap orang tua dan keluarga terdekat

(22)

Ha : Ada pengaruh pengetahuan dan sikap orangtua dan keluarga terdekat

terhadap kesinambungan penanganan anak autisme dirumah.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan bagi sekolah/terapi untuk dapat menghimbau orang tua

dan keluarga terdekat agar dapat melakukan penanganan yang tepat

dirumah.

2. Memberikan informasi tentang anak autis untuk peningkatan pengetahuan

orang tua dan keluarga terdekat sehingga penanganan dirumah dapat

dilakukan dengan tepat.

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Autisme

2.1.1. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata “ Autos” yang berarti diri sendiri, “ isme” yang

berarti suatu aliran, artinya suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya

sendiri. Anak yang mengalami gangguan autisme ini menunjukkan kegagalan

membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respons/minat

terhadap orang-orang/anak-anak sekitarnya. Autisme pertama kali dilaporkan oleh

Kanner pada tahun 1943 (Safaria, 2005).

Autisme adalah gangguan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan

orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang

tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan

stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesib untuk mempertahankan

keteraturan didalam lingkungannya (Handojo, 2005).

Autisme menurut istilah ilmiah kedokteran dan psikologi termasuk dalam

gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Secara

khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi

perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan

keterampilan sosial dan berbahasa seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap

realitas, dan gerakan-gerakan motorik.

Anak yang mengalami gangguan autisme ini menunjukkan kegagalan

membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respons

terhadap dan / atau kurangnya minat kepada orang-orang/ anak-anak disekitarnya.

Hal ini terlihat ketika masa bayi anak yang terlihat kurang mampu membentuk

perilaku melekat (attachment behavior) yang wajar, terutama pada ibunya

(Safaria, 2005).

Gejala kekurangmampuan anak membentuk perilaku ini terlihat ketika

(24)

suka menyendiri, perhatiannya hanya tertuju pada satu objek yang sedang

dimainkannya dan tidak peduli dengan kejadian-kejadian disekitarnya. Anak juga

kurang mampu melakukan kontak mata dengan ibu atau ayahnya. Jika nama anak

tersebut dipanggil, seolah-olah anak tidak mendengarnya dan jika diajak bicara,

anak tidak menatap mata orang yang mengajaknya bicara. Anak juga kurang

mampu menunjukkan respon ekspresi wajah yang wajar seperti tertawa atau

tersenyum ketika digelitik atau diajak bermain oleh kedua orang tuanya. Anak

juga menunjukkan perilaku menghindar atau mengabaikan (acuh tak acuh) apabila

disayang dan diberikan kontak fisik seperti dielus, diraba, digelitik, dicium,

diayun-ayun atau sambil dipanggil namanya oleh kedua orang tuanya sehingga

orang tua sering menduga bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran atau

tuli.

Anak autisme memperlakukan orang-orang disekitarnya tanpa perbedaan

individual (interchangeable), sebagai contoh biasanya anak menangis ketika akan

digendong atau melihat orang asing didekatnya, atau menunjukkan ekspresi takut

dan meronta-ronta. Perilaku yang ditunjukkan anak selalu tidak terduga. Anak

dapat saja mengacuhkan ibunya, tetapi tiba-tiba dekat dengan ayahnya. Anak

seperti terlihat tidak dapat membedakan mana ayah-ibunya dan mana orang lain

yang bukan keluarganya. Jika ditinggal oleh ibunya sendiri, maka anak ini tidak

menunjukkan kecemasan atau rasa takut, seolah-olah dia tidak peduli apakah

ibunya sedang menunggunya atau tidak berada disampingnya. Anak juga

menunjukkan perilaku yang dapat melekat secara mekanis pada individu tertentu,

kadang-kadang bukan pada ibunya tetapi pada kakek/neneknya atau orang lain

selain kedua orang tuanya.

Dalam masa kanak-kanak selanjutnya anak menunjukkan

kekurangmampuan untuk membina permainan kooperatif atau berkawan dengan

anak-anak sebayanya. Anak lebih suka menyendiri, akan tetapi dengan makin

(25)

terbentuk kesadaran dan kelekatan anak terhadap orang tua dan orang lain yang

sering dikenalnya.

Respon anak terhadap lingkungan dapat memunculkan bentuk yang

beraneka ragam, yaitu berupa resistensi terhadap perubahan sedikit saja dalam

lingkungannya misalnya anak itu menjerit apabila tempat duduknya dimeja makan

diganti. Kadang-kadang ada kelekatan dengan benda aneh misalnya anak

bersikeras memakai gelang karet atau seutas tali. Perilaku ritualistik yang

mencakup gerakan motorik seperti menepuk tangan atau gerakan tangan

berulang-ulang yang aneh atau memaksa terlaksananya urutan peristiwa tersebut

sebelum tidur. Anak dapat terpukau oleh gerakan-gerakan, dan hal itu dapat

berupa menatap berkelanjutan pada kipas angin atau perhatian berlebihan pada

benda berputar.

Musik yang beraneka macam jenisnya juga dapat menjadi sumber

perhatiannya. Anak juga sangat tertarik kepada kancing, salah satu bagian tubuh,

main air atau topik yang berurutan seperti jadwal jam kereta api atau data-data

tahun bersejarah. Tugas yang mencakup daya ingat jangka panjang misalnya

mengingat secara tepat semua kata-kata dari lagu-lagu yang pernah didengarnya

bertahun-tahun yang lalu, mungkin dilakukan dengan luar biasa.

Autisme dikatakan sebagai gangguan perkembangan pervasif disebabkan

oleh banyak segi perkembangan psikologis dasar anak yang terganggu pada saat

yang sama secara berat. Gangguan ini berbeda dengan gangguan perkembangan

spesifik dalam dua hal sebagai berikut :

(1) Pertama, pada gangguan perkembangan spesifik hanya satu fungsi spesifik

saja yang terkena, sedangkan dalam gangguan perkembangan pervasif

beberapa fungsi psikologis dasar anak terganggu.

(2) Kedua, pada gangguan perkembangan spesifik anak berlaku seolah-olah

sedang melewati suatu tahap perkembangan normal yang lebih dini karena

gangguannya adalah terlambat perkembangannya sedangkan anak-anak yang

(26)

kualitatif berat yang tidak normal bagi setiap tahap perkembangan manapun

karena gangguannya berupa distorsi atau penyimpangan dalam

perkembangan.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara

menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Oleh

sebab itu bisa juga dikatakan sebagai gangguan neurobiologis yang disertai

dengan beberapa masalah, seperti automunitas, gangguan pencernaan, dysbiosis

pada usus, gangguan integrasi sensori, dan ketidakseimbangan susunan asam

amino (Safaria, 2005).

2.1.2. Penyebab Anak Autis

Faktor genetika memegang peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi

kembar satu telur akan mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara

kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu

keluarga besar mengalami gangguan yang sama.

Pada anak yang menderita autisme ditemukan adanya masalah neurologis

dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons,

hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf

penglihatan atau saraf pendengaran.

Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang

buruk, perdarahan, keracunan makanan pada masa kehamilan dapat menghambat

pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung

terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi (Safaria, 2005).

2.1.3. Diagnosa Autisme

Menurut DSM-IV-R (Diagnostik and Statistical Manual of Mental

Disorder) untuk autisme masa kanak yaitu :

(1). Harus ada sedikitnya enam gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2

(27)

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, yang timbal balik .

Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala dibawah ini :

a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai :

kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak

gerik yang kurang tertuju

b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya

c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik

2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh

minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini :

a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan

tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain

tanpa bicara)

b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi

c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang

d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa

meniru

3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat

dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala dibawah ini :

a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat

khas dan berlebih-lebihan

b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang

tak ada gunanya

c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan berulang-ulang

d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda

(2). Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam

bidang :

1. Interaksi sosial

(28)

3. Cara bermain yang kurang variatif

(3) Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa

Kanak ( Handojo, 2003).

Pada gangguan perkembangan berbahasa tipe reseptif, anak pada umumnya

ada kontak mata dan seringkali berusaha untuk berkomunikasi dengan

gerakan-gerakan, sedangkan pada autisme infantil terdapat kurangnya respon yang

pervasif. Kelompok gangguan ini ditandadi oleh abnormalitas kualitatif dalam

interaksi sosial dan pola komunikasi, munculnya kecenderungan minat dan

gerakan yang terbatas, stereotipik dan berulang. Abnormalitas kualitatif ini

merupakan gambaran yang meluas (pervasif) dari fungsi individu dalam segala

situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya (Safaria, 2005).

Anak dengan autisme infantil selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam

interaksi sosialnya. Ini terlihat dengan ketidakmampuan anak mengapresiasikan

secara kuat isyarat sosio-emosional. Anak tampak kurang responsif terhadap

emosi orang lain, kurang mampu dalam menggunakan isyarat sosial seperti

tersenyum, tertawa, melakukan kontak mata. Anak juga menunjukkan kurang

mampu (lemah) dalam integrasi perilaku sosial, ekspresi emosional, dan

komunikasi khususnyaberkaitan dengan kurangnya respon anak dalam proses

timbal balik sosio-emosionalnya.

Anak menunjukkan ketidakmampuan secara kualitatif dalam keterampilan

komunikasi. Ini terlihat dalam kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan

bahasa yang ada, kurangnya keserasian dan interaksi timbal balik dalam

percakapan, buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang

dalam kreativitas serta fantasi dalam proses berpikir. Anak juga kurang mampu

dalam menggunakan variasi irama atau tekanan mudulasi komunikatif serta

kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.

Anak juga menunjukkan pola perilaku, minat, dan kegiatan yang terbatas,

pengulangan dan steriotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku

(29)

kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan dalam pola bermain anak,

terutama sekali dalam masa dini kanak-kanak, terdapat kelekatan yang aneh

terhadap benda yang tidak lembut seperti bola, sendok, balok, kunci, dan lain-lain.

Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan

yang sebenarnya tidak perlu. Anak juga dapat menjadi preokupasi yang steriotipik

dengan perhatian pada tanggal, rute, dan jadwal. Sering juga terdapat steriotipik

motorik, sering menunjukkan perhatian yang khusus terdapat unsur sampingan

dari benda seperti baunya atau rasanya. Anak juga sering menunjukkan penolakan

terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari lingkungan

pribadinya seperti perpindahan kursi yang biasa dipakainya, mebel baru, hiasan

dinding yang diubah, dan lain-lain (Judarwanto, 2008).

2.1.4. Karakteristik Anak Autis

Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang :

1. Komunikasi :

a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.

b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi

kemudian sirna.

c. Kata-kata yang digunakan tidak sesuai dengan artinya.

d. Berbicara tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat

dimengerti oleh orang lain.

e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi.

f. Senang meniru atau membeo (echolalia).

g. Bila senang meniru, dapat hafal kata-kata atau nyanyian tanpa

mengerti artinya.

h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit

berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.

(30)

inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.

2. Interaksi Sosial :

a. Anak autis lebih suka menyendiri.

b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.

c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.

d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.

3. Gangguan Sensoris :

a. Sangat sensitif terhadap sentuhan seperti tidak suka dipeluk.

b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga

c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.

d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

4. Pola Bermain :

a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.

b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.

c. Tidak kreatif, tidak imajinatif.

d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu

rodanya diputar-putar.

e. Senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda

sepeda.

f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus

dan dibawa kemana-mana.

5. Perilaku :

a. Dapat berprilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)

b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,

mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan

mata kepesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang

diulang-ulang.

c. Tidak suka pada perubahan.

(31)

6. Emosi :

a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis

tanpa alasan.

b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak

diberikan keinginannya.

c. Kadang suka menyerang dan merusak.

d. Kadang-kadang anak berprilaku yang menyakiti dirinya sendiri.

e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain

(Budhiman, 2005).

2.2. Konsep Perilaku

2.2.1. Pengertian

Menurut Robert Kwick (1974) yang dikutip oleh (Notoatmojo, 2005)

menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang

dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Sedangkan menurut Skinner (1938)

yang dikutip oleh (Notoatmojo, 2005), seorang ahli psikologi mengemukakan

bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan

tanggapan (respons) atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari

luar).

Perilaku manusia terjadi melalui proses :

Stimulus Organisme Respons. Sehingga teori Skinner ini disebut

teori S-O-R (Stimulu-Organisme-Respons). Berdasarkan teori S-O-R tersebut,

maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih

belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih

terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap

terhadap yang bersangkutan. Bentuk anobservable behavior atau cover behavior

(32)

merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih

bersifat terselubung (covert behavior).

3. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimuli tersebut sudah

berupa tindakan nyata atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau

observable behavior (Notoatmojo, 2005).

2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan dibedakan antar perilaku tertutup (covert) dengan

perilaku terbula (overt) tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi

pada orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perilaku adalah

keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama

antara faktor internal dengan eksternal. Menurut Notoatmojo (2005) yang

mengutip pendapat Bloom (1908) seorang ahli psikologis pendidikan membagi

perilaku manusia kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni : a). kognitif

(cognitive), b). efektif (effective), c). psikomotor (psychomotor). Dalam

perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil

pendidikan kesehatan, yakni :

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui pancaindera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telingan. Pengetahuan dan kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmojo, 2007).

Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari

oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmojo (2007),

(33)

didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : awareness

(kesadaran), interest, evaluation, trial dan adoption.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses

diatas didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku

tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak

didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama

(Notoatmojo, 2007).

2. Sikap (attitude)

Sikap adalah respons tertutup terhadap stimulus atau objek tertentu yang

sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak

senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Manifestasi sikap

tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmojo,

2007).

Menurut Thursonte yang dikutip Ahmadi (2002) menyatakan sikap

sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang

berhubungan dengan objek psikologi. Orang dikatakan memiliki sikap positif

terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang

favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek

psikologi bila ia tidak suka atau sikap unfavorable terhadap objek psikologi.

Sikap terbentuk dari 3 (tiga) komponen utama yaitu :

(1). Komponen afektif, komponen ini berhubungan dengan perasaan dan emosi

tentang seseorang atau sesuatu,

(2). Komponen kognitif, sikap tentunya mengandung pemikiran atau

(34)

(3). Komponen perilaku, sikap terbentuk dari tinggkah laku seseorang dan

perilakunya, sering juga dijumpai seseorang tidak dapat memutuskan apakah

ia suka atau tidak suka.

Kekuatan sikap tergantung dari banyak faktor, faktor yang terpenting

adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Faktor-faktor yang

mempengaruhi sikap antaralain :

(1). Pengalaman pribadi, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman

pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional,

(2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu

cenderung untuk memiliki sikap yang terarah dengan sikap orang yang

dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan

untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut,

(3). Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis

pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya,

(4). Media massa, dalam pemberitaan surat kabar atau media komunikasi

lainnya, berita yang disampaikan secara objektif dipengaruhi oleh sikap

penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya,

(5). Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari

lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem

kepercayaan sehingga konsep tersebut mempengaruhi sikap,

(6). Faktor emosional, kadangkala suatu bentuk sikap merupakan pernyataan

yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi

atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

3. Tindakan atau Praktik (practice)

Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).

Agar terwujudnya sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung

(35)

faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Didalam

tindakan ada beberapa tingkatan yaitu ;

(1). Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek

sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tindakan

yang pertama.

(2). Responsi terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu

dengan urutan benar sesuai dengan contoh-contoh, adalah merupakan

tindakan tingkat kedua.

(3). Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan

sesuatu dengan secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan

maka ia sudah mencapai yang ketiga.

(4). Adopsi (adoption), adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmojo, 2007).

2.3. Orang Tua

Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu adalah orang yang paling dekat

dengan anak. Keluarga sangat berperan dalam membantu perkembangan anak

terutama orang tua. Banyak orang tua belum menyadari adanya gangguan autis

pada anaknya diusia 1 bulan sampai 2 tahun. Orang tua berpikir anaknya hanya

terlambat dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya. Namun, seiring

waktu berjalan mulai terlihat keanehan yang diderita oleh anaknya. Sampai batas

ini orang tua kemudian mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang aneh dan anak

diperiksakan ke dokter atau psikolog profesional.

Perilaku agresif, merusak, dan menyakiti diri sendiri merupakan perilaku

yang paling berat untuk dihadapi. Bagi orang tua inilah periode awal kehidupan

anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani (Sabrina,

(36)

2.4. Keluarga Terdekat

Lingkungan merupakan tempat terdekat dimana anak berada sehari-hari,

lingkungan ini berupa lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Setiap anak

membutuhkan lingkungan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangannya

serta membutuhkan lingkungan fisik yang dapat mendukung kegiatan belajar dan

bermain anak. Lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh

positif dalam perkembangan anak. Perencanaan lingkungan fisik termasuk

gedung, interior, ruang-ruang luar, penataan ruang dan peralatan yang digunakan

pada lingkungan fisik untuk anak akan memberikan pengaruh bagi perilaku anak

(Sidhartani, 2006).

Orang-orang yang berada disekitar anak juga sangat mempengaruhi pola

perilakunya. Dukungan dari orang-orang terdekat sangat membantu terhadap

proses penanganan anak autis. Masyarakat luas sebagai sumber informasi juga

dapat memberikan masukan kepada orang tua yang ingin mengetahui lebih

banyak lagi tentang anak autisme.

Lingkungan yang sangat membantu anak penyandang autis adalah

lingkungan keluarga yang terdiri dari kakek-nenek, saudara sekandung, sepupu,

paman-bibi, pembantu-baby sitter yang memberikan pengaruh positif terhadap

penyandang autisme. Keluarga dapat mengarahkan dan mengajar anak tersebut

pada saat orang tua tidak berada dirumah atau bersama-sama berdampingan saling

menangani pengasuhan anak yang menderita autisme tersebut.

2.5. Pengetahuan Orang Tua/ Keluarga Terdekat

Autisme, bagi sebagian orang tua/keluarga adalah kasus gangguan otak

yang dianggap tabu dan memalukan jika itu terjadi pada anaknya. Padahal deteksi

dini dan memberikan bimbingan yang tepat akan menolong buah hati menjalani

kehidupan dengan lebih baik. Karena dianggap kasus yang agak memalukan,

orang tua lebih memilih diam atau malah menyembunyikan dugaan gejala autisme

(37)

autistik harus ditangani, membuat masalah kian pelik. Apalagi jika si anak

'terpaksa' harus belajar di sekolah umum, berbaur dengan anak-anak 'normal' lain

yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Menurut riset yang dilansir harian

Kompas, di Indonesia diperkirakan terdapat 475.000 anak dengan gejala gangguan

spektrum autisme, yang perlu ditangani dengan lebih serius (PT. Informasi Lintas

Globalindo, 2008).

Pada tahun 2001, data dari hasil penelitian Center for Disease Control and

Prevention, USA dari 150 kelahiran terdapat satu anak yang terkena autis.

Sedangkan di Indonesia terdapat 340.000 anak autis dari 200 juta pada tahun

2003. Dengan adanya data ini, para orang tua/keluarga setidaknya memiliki

pengetahuan tentang autisme agar dapat mengetahui apakah anaknya terkena

gangguan autisme atau tidak (Praptono didik, Jeni, 2007).

2.6. Sikap Orang Tua/Keluarga Terdekat

Berdasarkan dari pengalaman keluarga yang memiliki anak dengan

autisme, respon atau sikap orang tua terhadap autisme antara lain: Pertama-tama

orang tua akan shock dan tidak percaya (menolak) kalau buah hatinya menderita

autisme, kemudian orangtua akan depresi dan bersedih melihat keadaan anaknya,

lalu akan masuk ke tahap berpikir rasional dan optimis. Orang tua manapun tidak

akan mau kalau anaknya tidak normal, mereka akan selalu berusaha agar anaknya

bisa normal seperti anak-anak lainnya. Orang tua yang optimis akan mencari

informasi mengenai pengobatan dan terapi yang cocok untuk anaknya yang

menderita autisme. Setelah itu, orangtua akan menerima keadaan anaknya dan

berusaha terlibat penuh dalam pengobatan dan terapi anaknya yang menderita

autisme (Kartika Henry, 2008).

Sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah kelanjutan

pe-ngertian yaitu dengan segala kelemahan dan kelebihannya ia seharusnya mendapat

tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang

(38)

luas tentang autisme sehingga ibu akan me-mahami arti dari autisme yang

se-benarnya.

2.7. Kesinambungan Penanganan Dirumah

Anak dengan gangguan autisme membutuhkan kesabaran yang besar untuk

membimbingnya, tidak saja bagi orang tua tetapi orang-orang disekitarnya.

Perilaku anak autis sering diluar kontrol dan ini tentu saja menimbulkan stres

tersendiri bagi orang tua maupun orang-orang disekitarnya.

Orang tua dan lingkungan keluarga merupakan orang yang paling berperan

dalam penanganan anak penyandang autisme ini. Mereka melakukan usaha untuk

mengubah perilaku negatif anak tersebut menjadi perilaku positif yang

dimunculkan, seperti dirumah mengulang kembali terapi yang dilakukan

disekolah khusus tempat anaknya berlatih. Anak belajar melalui banyak cara

antara lain melalui peniruan, observasi dan penguatan baik itu positif maupun

negatif. Misalnya ketika orang tua melihat anaknya mampu menyapu kamarnya

sendiri maka orang tua akan memuji atas tindakannya tersebut dan ketika mereka

melihat anak merusak barang-barang dikamarnya maka orang tua tersebut akan

memberi hukuman pada anaknya (Safaria, 2005).

Penderita autisme memerlukan program terapi khusus sebagai usaha

penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Tujuan program terapi ini

bukanlah untuk merubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar

pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.

Usaha penanganan ini dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang disesuaikan

dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis terapi yang biasa diberikan pada anak

autis antara lain adalah terapi wicara, terapi perilaku dan terapi okupasi yang pada

umumnya merupakan suatu rangkaian terapi yang harus diberikan pada anak autis.

Ketiga jenis terapi ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga yang menyediakan

(39)

2.8. Landasan Teori

Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang

mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974)

dalam Notoadmodjo (2007). Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan

meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada

faktor perilaku ini sangat strategis.

Selanjutnya Green dan Marshall dalam Notoadmodjo (2007) menjelaskan

bahwa perilaku dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :

faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung

(enabling factor) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong

(reinforcing factor). Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha

intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.

Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah atau

mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat.

Beberapa komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan

langsung dengan perilaku antara lain pengetahuan, umur, pendidikan, pekerjaan

dan menyadari kemampuan dan keperluan seseorang atau masyarakat terhadap

apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan motivasi dari individu atau

kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan.

Faktor enabling memudahkan penampilan seseorang atau masyarakat untuk

melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber-sumber daya pelayanan

kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan dan kesanggupan.

Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan

transportasi atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi

keterampilan orang, organisasi atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan

perilaku.

Menurut Notoadmodjo (2005), faktor enabling adalah faktor pemungkin

atau pendukung seperti fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang

(40)

Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan

adanya umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi

dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback dari orang tua, saudara,

lingkungan atau orang-orang yang berperan dan mendukung. Reinforcing dapat

positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang didalam

lingkungannya.

Orang tua dan keluarga terdekat memegang peranan penting dalam

penanganan anak autisme dirumah. Mereka harus menjadi semacam organizer

dari semua orang yang mau terlibat dalam penanganan anak autisme tersebut

[image:40.595.123.502.345.666.2]

(Handojo, 2003).

Gambar 1.

Model Teori Perilaku Menurut Green (1980) dalam Notoadmodjo (2007)

Proses perubahan

Predisposisi factors

(Pengetahuan, pendidikan,

pekerjaan, penghasilan, umur)

Enabling factors

(ketersediaan sumber/fasilita

Reinforcing factors

(sikap dan perilaku orang tua, keluarga

terdekat)

Pelatihan

Promosi Kesehatan Komunikasi

(41)

2.9. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori dan tujuan penelitian, maka kerangka konsep

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Independent Variabel Dependent

[image:41.595.111.539.257.627.2]

Gambar 2.

Kerangka Konsep

Karakteristik : - Umur

- Tingkat Pendidikan - Pekerjaan

Kesinambungan Penanganan Dirumah

(42)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei dengan tipe

explanatory yang ditujukan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, sikap

orang tua dan keluarga terdekat terhadap kesinambungan penanganan anak

autisme dirumah.

Menurut Singarimbun (1985), survei explanatory adalah menjelaskan

hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.

3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yayasan Kids Smile yaitu klinik dan sekolah

khusus autisme yang terletak dijalan Danau Singkarak Medan, Pusat Rehabilitasi

Anak Berkebutuhan Khusus (Yayasan Penyandang Anak Cacat) dijalan

Adinegoro No.2 Medan dan Taman Pendidikan Islam dijalan Sisingamangaraja

Medan. Lokasi ini dipilih karena penulis kesulitan mendata anak penyandang

autisme yang ada dikota Medan, oleh sebab itu penulis memilih Yayasan Kids

Smile, Pusat Pelatihan Terpadu Anak Berkebutuhan Khusus (Yayasan

Penyandang Anak Cacat) dan Taman Pendidikan Islam sebagai tempat penelitian

karena merupakan sekolah khusus bagi anak penyandang autisme.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan dengan melakukan survei awal terlebih dahulu,

kemudian melakukan penelusuran pustaka, konsultasi, penyusunan proposal,

(43)

bulan Mei 2009, pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan atau

seminar hasil.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah orang tua dan keluarga terdekat anak

yang bersekolah di yayasan anak penyandang autisme tersebut. Menurut catatan,

ada sebanyak 30 orang anak di Yayasan Kids Smile, Pusat Rehabilitasi Anak

Berkebutuhan Khusus (Yayasan Penyandang Anak Cacat) 20 orang anak, dan

Taman Pendidikan Islam 10 orang anak yang sedang menjalani terapi di yayasan

tersebut. Jumlah populasi yang ada sebanyak 60 orang tua dan 60 orang terdekat,

jadi jumlah keseluruhan populasi dari masing-masing anak adalah 120 orang.

3.3.2. Sampel

Sampel yang diambil adalah keseluruhan (total sampling) dari jumlah

orang tua dan keluarga terdekat dari anak yang menyandang autisme yaitu

sebanyak 120 orang.

Kriteria Inklusi :

a. Orang tua/keluarga terdekat yang bersedia menjadi subjek penelitian

b. Orang tua/keluarga terdekat yang punya waktu

c. Mempunyai anak autis

d. Ibu yang mendapat pelatihan penanganan anak autis

Kriteria Ekslusi :

a. Ibu yang bekerja full time atau ibu yang bekerja lebih dari 10 jam/hari

diluar rumah dalam seminggu.

(44)

Data-data dan keterangan yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh

dengan cara wawancara langsung dengan orang tua dan keluarga terdekat anak

penyandang autisme dengan memakai pedoman kuesioner.

Sebelum kuesioner dijadikan alat ukur (instrumen) yang sah maka

sebelumnya dilakukan uji validitas dan reabilitas.

Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan instrumen

sebagai alat ukur yang dapat mengukur dengan valid dalam arti terdapat kesamaan

antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek

yang diteliti. Pengujian ini dilakukan sebelum kuesioner yang telah dibuat

dibagikan kepada seluruh responden. Uji validitas dilakukan dengan mengukur

korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel, dengan syarat jika

nilai r hitung > r tabel maka dinyatakan valid, jika r hitung < r tabel maka

dinyatakan tidak valid (Arikunto, 2002)

Nilai r tabel dalam penelitian ini dengan sampel 20 orang dan jumlah

pertanyaan 30 butir untuk pengetahuan, pada taraf signifikansi 95% didapat r tabel

= 0,361. Sedangkan untuk sikap dan kesinambungan penanganan anak autisme di

rumah dengan jumlah pertanyaan masing-masing 18 butir, pada taraf signifikansi

95% didapat r tabel = 0, 468. Nilai r hasil kemudian dibandingkan dengan nilai r

tabel, bila r hasil lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut valid. Nilai r

hasil dapat dilihat pada kolom “Corrected item-Total Correlation”.

Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari ke-30 pertanyaan untuk

pengetahuan ditemukan pertanyaan ke – 28 tidak valid, sehingga pertanyaan ini

dibuang. Sedangkan untuk pertanyaan tentang sikap dan kesinambungan,

semuanya pertanyaan valid.

Untuk mengetahui reliabilitas adalah dengan membandingkan nilai r hasil

dengan r tabel, dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai “Alpha

Cronbach” dengan ketentuan bila r Alpha > r tabel, maka perrtanyaan tersebut

reliabel. Nilai alpa dalam uji kuisioner ini diperoleh 0,9202 untuk variabel

pengetahuan, 0,9217 untuk variabel sikap dan 0,9067 untuk variabel

kesinambungan. Nilai r Alpha lebih besar dari nilai r tabel maka pertanyaan

(45)

3.5. Variabel dan Definisi Operasional

3.5.1. Jenis Variabel

1. Variabel Dependent (Variabel terikat) : Kesinambungan penanganan dirumah.

2. Variabel Independent (Variabel bebas) : Pengetahuan, Sikap Orang Tua dan

Keluarga Terdekat.

3. Variabel Perancu : Umur, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan

3.5.2. Definisi Operasional

1. Orang tua adalah ayah atau ibu (orang tua kandung/ orang tua tiri) yang

menjadi orang paling dekat dengan anak autis untuk mengawasi

perkembangan sosio- emosional anak penyandang autisme secara langsung.

2. Keluarga terdekat adalah orang-orang yang berada disekitar anak autis

seperti adik, kakak, kakek, nenek, sepupu, paman, bibi, pembantu atau

pengasuh anak (baby sitter), yang mengawasi anak penyandang autisme

dirumah sehari-hari secara langsung untuk melatih perkembangan

sosio-emosional anak penyandang autime.

3. Pengetahuan adalah pemahaman orang tua dan keluarga terdekat tentang

anak autis yang meliputi penyebab dan cara penanganan yang tepat pada

anak penyandang autisme.

4. Sikap adalah respon positif atau negatif orang tua dan keluarga terdekat

terhadap anak autisme.

5. Kesinambungan penanganan anak autis di rumah adalah kelanjutan

perlakuan-perlakuan khusus yang dilakukan di rumah, yang dilakukan

selama rata-rata 8 jam perhari atau selama dia bangun dengan mengajaknya

berkomunikasi, mengajarkan disiplin dan tidak melakukan kekerasan pada

(46)

Baik Kurang

Sedang

3.6. Metode Pengukuran

Pengukuran pengkategorian didasarkan pada interval menggunakan

[image:46.595.187.454.186.269.2]

konsep Azwar (2004), dengan kurva normal yaitu:

Gambar 3.1. Kurva Normal

3.6.1. Variabel Independen

1. Pengetahuan

Pengetahuan, menggunakan skala ordinal didasarkan pada 30 pertanyaan

dengan alternatif jawaban : ”Benar” diberi nilai 1 dan ”Salah” diberi nilai 0,

dengan skor tertinggi 30. Kemudian akumulasi dari total skor variabel

pengetahuan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu :

a. Baik, apabila responden memperoleh nilai 21 - 30

b. Sedang, apabila responden memperoleh nilai 11 - 20

c. Kurang, apabila responden memperoleh nilai 0 - 10

2. Sikap

Sikap, menggunakan skala ordinal didasarkan pada 18 pertanyaan dengan

alternatif jawaban : ”sangat setuju” diberi nilai 5, ”setuju” diberi nilai 4,

”ragu-ragu” diberi nilai 3, ”tidak setuju” diberi nilai 2 dan ”sangat tidak setuju” diberi

nilai 1, dengan skor tertingginya adalah 90. Kemudian akumulasi dari total skor

variabel sikap dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu :

a. Mendukung, apabila responden memperoleh nilai 61 - 90

b. Kurang mendukung, apabila responden memperoleh nilai 31 - 60

(47)

µ - σ µ + σ

Dilaksanakan Kurang Dilaksanakan

3.6.2. Variabel Dependen

Pengukuran variabel dependen yaitu kesinambungan penanganan

dirumah didasarkan pada skala ordinal dari 18 pertanyaan yang diajukan dengan

menggunakan skala Likert yaitu “selalu” diberi skor 3, “tidak selalu” diberi skor

2, “tidak pernah” diberi skor 1. Kemudian akumulasi dari total skor dari variabel

dependen dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu :

a. Dilaksanakan, jika responden memperolah nilai ≥μ + σ

b. Kurang dilaksanakan, jika responden memperolah nilai ≤μ + σ

Pengukuran pengkategorian tersebut didasarkan pada interval yang

[image:47.595.170.442.351.407.2]

menggunakan konsep Azwar (2004) dengan kurva normal, yaitu :

Gambar 3.2. Kurva Normal Pengukuran Kesinambungan Penanganan

Dirumah

Keterangan :

σ = Standar Deviasi dengan rumus :

1 ) ( 2

2

    

n n x x

μ = Rata-rata dengan rumus :

n x

(48)
[image:48.595.109.515.118.314.2]

Tabel 3.1.

Aspek Pengukuran Karakteristik Responden

No. Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 2 3 4 5

1. Umur Kuesioner 1. 20 – 30 thn 2. 30 – 50 thn 3. > 50 thn

Rasio

3. Pendidikan Kuesioner 1. SD 2. SMP 3. SMA

4. Diploma/Sarjana

Ordinal

4. Pekerjaan Kuesioner 1. Ibu Rumah Tangga 2. Pegawai Negeri 3. Pegawai Swasta 4. Wiraswasta

Nominal

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Pengetahuan dan Sikap Responden Terhadap Kesinambungan Penanganan Dirumah

No .

Nama Variabel Alat Ukur Kriteria Jumlah Indikat or

Skala Ukur

1 2 3 4 5 6

1. Pengetahuan Kuesioner 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang

30 Ordinal

2. Sikap Kuesioner 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang

18 Ordinal

3. Kesinambungan Kuesioner 1. Dilaksanakan 2. Kurang dilaksanakan

18 Ordinal

3.7. Metode Analisa Data

Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berupa data kategorik

yang berskala nominal. Analisa data dilakukan dalam usaha untuk mencapai

tujuan penelitian. Analisa data penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap analisis

[image:48.595.94.547.382.559.2]
(49)

1. Analisis Univariat

Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing

variabel yang diteliti. Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah data

kategorik, sehingga analisis univariat dilakukan dengan menggunakan

distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara 2 variabel,

yaitu variabel independen dan variabel dependen dalam penelitian ini. Uji

yang dilakukan adalah uji Chi- Square pada tingkatkepercayaan 95% (α =

0,05), bila p< 0,05 maka variabel diatas dinyatakan berhubungan secara

signifikan.

3. Analisis Multivariat

Metode analisa data menggunakan uji regresi logistik ganda yaitu salah satu

pendekatan model matematis yang digunakan untuk menganalisis hubungan

satu atau beberapa variable independen dengan sebuah variable dependen

katagorik yang bersifat dikotom/binary, dengan rumus :

Z = α + β1X1 + β2X2 + …… + βiXi

Model logistik dikembangkan dari fungsi logistik dengan nilai Z merupakan

penjumlahan linear

Gambar

Gambar 1. Model Teori Perilaku Menurut Green (1980) dalam Notoadmodjo (2007)
 Gambar 2.
Gambar 3.1. Kurva Normal
Gambar 3.2. Kurva Normal Pengukuran Kesinambungan Penanganan µ - σ  µ + σ
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen Rencana Program Investasi Jangka Menengah (RPIJM) Kota Lhokseumawe merupakan dokumen perencanaan yang penting dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yang

Keberlanjutan finansial usahatani gambir dapat dilihat dari kemampuan usahatani gambir dapat mencukupi kehidupan petani gambir dan keluarga petani, serta dapat

Pengamatan yang dimaksud tentu menggunakan instrumen-instrumen yang berbasis teknologi, seperti kamera digital dengan sistem kerja CCD, dudukan teleskop yang mampu

Dengan adanya Pertemuan Senior Official Meeting (SOM) antara Polri dan AFP pada tanggal 3-6 November yang merupakan bagian dari program kerja tahunan dari

Fern xylem offers many distinctive features: (1) presence of numerous vessels and various numbers of tracheids in most species; (2) presence of vessels in both roots and rhizomes

 Di setiap SMP dan MTs tersedia ruang laboratorium IPA yang di lengkapi dengan meja dan kursi yang cukup untuk 36 peserta didik dan minimal satu set peralatan praktek IPA

• Produk Inersia untuk suatu area terhadap sepasang sumbu dalam bidang sama dengan produk inersia terhadap sumbu yang sejajar sumbu berat ditambah hasil kali

Puji syukur penulis ucapkan atas karunia yang diberikan Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kajian Bentuk Tindak Tutur Penjual dan Pembeli