PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN
KELUARGA TERDEKAT TERHADAP
KESINAMBUNGAN PENANGANAN ANAK AUTISME DI
RUMAH
TESIS
Oleh
LINDA HERNIKE NAPITUPULU
077023006/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN
PENANGANAN
ANAK AUTISME DI RUMAH
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
LINDA HERNIKE NAPITUPULU 077023006/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
SURAT PERNYATAAN
PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN PENANGANAN
ANAK AUTISME DI RUMAH
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2010
Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN, SIKAP ORANGTUA DAN KELUARGA TERDEKAT TERHADAP KESINAMBUNGAN
PENANGANAN ANAK AUTISME DI RUMAH
Nama Mahasiswa : Linda Hernike Napitupulu Nomor Induk Mahasiswa : 077023006
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas /
Epidemiologi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)) ( dr. Sri Sofyani, Sp.A (K) ) Ketua Anggota
Ketua Program Studi, Dekan,
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (dr. Ria Masniari Lubis, M.Si)
Telah diuji pada Tanggal :
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K)
Anggota : 1. dr. Sri Sofyani, Sp.A (K)
2. dr. Yazid Dimiaty, Sp.A (K)
ABSTRAK
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat. Jumlah penderita anak autisme khususnya di Indonesia juga semakin meningkat. Pada tahun 2004 tercatat 475.000 penderita autis dan sekarang diperkirakan setiap 1 dari 150 orang anak yang lahir, menderita autisme. Penanganan anak autisme sangat sulit untuk dilakukan karena membutuhkan strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Untuk menjalankan terapi autisme di rumah, yang paling dibutuhkan adalah pemahaman dan penerimaan terhadap kondisi anak.
Jenis penelitian yaitu survei dengan tipe explanatory yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, sikap orangtua dan keluarga terdekat terhadap kesinambungan penanganan anak autisme di rumah. Populasi penelitian adalah orang tua dan keluarga terdekat anak autisme yang bersekolah di Yayasan Kids Smile, Pusat Rehabilitasi Anak Berkebutuhan Khusus (YPAC) dan Taman Pendidikan Islam yang ketiganya berlokasi di Medan. Sampel dalam penelitian ini adalah keseluruhan (total sampling) orang tua dan keluarga terdekat dari anak yang menyandang autisme yaitu 60 orangtua dan 60 orang terdekat, jadi jumlah keseluruhan 120 orang. Data diperoleh dengan cara wawancara langsung dengan memakai pedoman kuesioner Analisis data dilakukan dengan regresi logistik.
Hasil penelitian pada orang tua menunjukkan bahwa dari lima faktor (pengetahuan, sikap, umur, pendidikan, dan pekerjaan) yang diduga berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme di rumah, hanya satu faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme yaitu sikap orangtua. Pada orang terdekat, ada satu faktor yang secara signifikan berpengaruh terhadap kesinambungan penanganan anak autisme yaitu pengetahuan orang terdekat.
Saran yang diajukan kepada: 1) orangtua dari anak penyandang autisme, agar bersikap mencintai dan menerima anak apa adanya; 2) orang terdekat dengan anak autisme, agar lebih meningkatkan pengetahuan tentang anak autisme; 3) pemerintah, agar membuat suatu kebijakan untuk lebih memperhatikan kepentingan anak autisme; 4) yayasan yang menangani anak autisme, agar memberikan arahan kepada orangtua dan orang terdekat dalam menangani anak autisme di rumah.
ABSTRACT
Autism can happened at all of group of public. Amount of patients of autistic children specially in Indonesia also progressively increased. In the year 2004 noted 475.000 patient autism and now estimate every 1 of 150 child bearing, suffer autism. Handling of autistic children were hardly difficult to be done by requiring different strategy with other chlid generally. To implement therapy of autistic children at home, its need acceptance and understanding to condition of the child. To run autism therapy at home, which is most needed is an understanding and acceptance of the conditions of children.
This research was survey with explanatory type. It’s purpose was to analyze the influence of knowledge, attitude parents and nearest family on continuity of handling autistic children at home. Research population were family and closest family of autistic children in Kids Smile Institution, Rehabilitation Center of Child with Special Needs (YPAC) and Education Garden Of Islamic which located in Medan. Sample in this research were entirely (total sampling) from amount of families and closest family of autistic children, that were 60 parents and 60 closest family, so that total sample were 120 people. Data obtained by direct interview with questionnaire. Data analysis were done with logistic regression.
The result of the research at parent showed that from five factor (knowledge, attitude, age, education, and work) were estimated had influence on continuity of handling autistic children at home, there was only one factor which had significant influence that was parent’s attitude. At the closest family showed that there was one factor which had significant influence on continuity of handling of autistic children, that was knowledge of closest family.
It is suggested to: 1) the parent of autistic children, to love and receive their chlid just the way they are; 2) closest family of autistic children, to have a good knowledge concerning to the autistic children; 3) government, to make a policy to have more attention about autistic children; 4) Institution handling child of autistic children, to give instruction to parent and closest family in handling of autistic children at home.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan tesis yang berjudul “ Pengaruh Pengetahuan, Sikap Orangtua dan
Keluarga Terdekat terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di
Rumah”.
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara dan dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi
S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan
Komunitas/ Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara serta
seluruh jajarannya yang telah memberikan bimbingan dan dorongan selama
3. Prof. dr. Guslihan Dasatjipta, Sp.A (K) dan dr. Sri Sofyani, Sp.A (K) selaku
Dosen Pembimbing yang telah banyak menyediakan waktu, pemikiran, dan
bimbingan kepada penulis.
4. Ferry Novliady, S.Psi., M.Si dan dr. Yazid Dimiaty, Sp.A (K) selaku Dosen
Penguji yang telah banyak memberi masukan berupa saran dan kritikan demi
peningkatan kualitas dan esensi penelitian ini.
5. Tugi Rahayu, AMOT selaku Kepala Yayasan Penyandang Anak Cacat anak
penyandang Autisme, Nurasiah, S.Pd selaku Kepala Sekolah Taman
Pendidikan Islam yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan penelitian
diwilayah kerja mereka.
6. Buat keluarga penulis ; Bapak P. Napitupulu, Ibu R. Tambunan, Abang R.P
Napitupulu, Adik K.M. Napitupulu, S.L. Napitupulu, L.A. Napitupulu, Eda
D.W. Sitorus dan keponakan yang sangat kusayangi Tommy Revaldo B,
terima kasih atas doa, perhatian, dukungan material dan moral yang tidak
terbalaskan, semoga Tuhan yang membalas semuanya dengan kebahagiaan
dan sukacita.
7. Darwin Syamsul, S.Si., M.Si Apt selaku Ketua STIKes Helvetia dan
rekan-rekan Rismaini S, Tetty, Neni, Vivi, Semi, Sugi, Irma, Dilla yang sudah
memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama penulisan
penelitian ini.
8. Rekan-rekan satu angkatan di AKKm/E S2 FKM USU 2007 Dame Evalina,
Tampubolon, Saifuddin, Syaifullah, Fatma Deri, dan Tari terimakasih atas
semangat kebersamaan selama menjalani perkuliahan dan juga terimakasih
buat rekan-rekan PS-AKKm/Epidemiologi USU 2007.
9. Secara khusus buat Elmina Tampubolon, S.K.M., M.Kes, Dameria Evalina
Simangunsong, S.K.M., M.Kes, Rahmayani, S.K.M., M.Kes, Rismaini
Sembiring, S.K.M., M.Si, Vivi Eulis Diana, S.Si., M.E.M., Apt, Sriwahyu
Ningsih, AmKeb, dan Benri Simanjorang, ST terimakasih atas bantuan dan
semangat yang diberi kepada penulis selama penulisan penelitian ini.
10.Rekan-rekan Guru Sekolah Minggu HKBP Bethesda Prumnas Mandala
Medan ; Sandra Nainggolan, Asima Siagian, Donna Tampubolon, Palti
Hutasoit, Siska Barimbing, Theresia Hasugian, Mariance Panggabean, Rinaldi
Silitonga, Elvi Sirait, Wita Sinaga dan Lia Ompusunggu terima kasih atas doa,
perhatian, semangat, yang tidak terbalaskan, semoga Tuhan yang membalas
semuanya dengan kebahagiaan dan sukacita.
11.Semua pihak termasuk informan yang sudah bersedia diwawancarai,
terimakasih atas informasi dan kerjasama yang baik selama di lapangan.
Kiranya penelitian ini mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
pada berbagai pihak yang berkepentingan. Penulis juga sangat terbuka pada saran
dan kritikan yang bersifat membangun dari semua pihak demi peningkatan
kualitas penelitian ini. Salam sejahtera dan Tuhan memberkati kita semua. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Linda Hernike Napitupulu, lahir pada tanggal 22 Agustus 1976 di Kota
Medan Propinsi Sumatera Utara, anak kedua dari lima bersaudara dari pasangan
Ayahanda P. Napitupulu dan Ibunda R. Tambunan.
Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar
Inpres 066663 Medan pada tahun 1983 dan diselesaikan pada tahun 1989, Sekolah
Menengah Pertama Negeri (SMPN) 15 Kota Medan pada tahun 1989 dan
diselesaikan pada tahun 1992, Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 10 Kota
Medan pada tahun 1992 dan diselesaikan pada tahun 1995, Diploma III di
Akademi Kesehatan Lingkungan Kabanjahe pada tahun 1995 dan diselesaikan
pada tahun 1998, Strata Satu (S-1) di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sumatera Utara pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2006, Strata Dua
(S-2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi
Kesehatan Komunitas/ Epidemiologi pada tahun 2007 dan diselesaikan pada tahun
2010.
Pada tahun 2007 sampai saat ini menjadi Pegawai Swasta di Yayasan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ...x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1
1.2. Permasalahan ...5
1.3. Tujuan Penelitian...5
1.4. Hipotesis Penelitian ...6
1.5. Manfaat Penelitian ...6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Autisme ... 7
2.1.1. Pengertian Autisme ... ...7
2.1.2. Penyebab Anak Autisme ... ..11
2.1.3. Diagnosa Autisme ... ..11
2.1.4. Karakteristik Anak Autisme ... ..15
2.2. Konsep Perilaku... ..18
2.2.1. Pengertian ... ..18
2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan ... ..19
2.3. Orang Tua ... ..23
2.4. Keluarga Terdekat...23
2.5. Pengetahuan Orang Tua/Keluarga Terdekat...24
2.6. Sikap Orang Tua/Keluarga Terdekat...25
2.7. Kesinambungan Penanganan Dirumah...26
2.8. Landasan Teori...27
2.9. Kerangka Konsep...30
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian... .31
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian ... .31
3.2.1. Lokasi Penelitian... .31
3.3. Populasi dan Sampel ... .32
3.3.1.Populasi ... .32
3.3.2.Sampel... .32
3.4. Metode Pengumpulan Data ... .33
3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... .34
3.5.1.Jenis Variabel ... .34
3.5.2.Definisi Operasional ... .35
3.6. Metode Pengukuran ... .36
3.6.1.Variabel Independen ... .36
3.6.2.Variabel Dependen... .37
3.7. Metode Analisis Data... .39
BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian ...42
4.1.1.Keadaan Geografis ...42
4.1.2.Kependudukan ...42
4.1.3.Pelayanan Terapi Anak Autisme...42
4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan ...43
4.2.1.Distribusi Orangtua Berdasarkan Umur, Pendidikan danPekerjaan ...43
4.2.2.Distribusi Orang Terdekat Berdasarkan Umur, Pendidikan dan Pekerjaan ...44
4.3.Analisis Bivariat ...46
4.3.1. Hubungan Umur, Pendidikan, & Pekerjaan Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...46
4.3.2. Hubungan Umur, Pendidikan, & Pekerjaan Orang terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...48
4.3.3. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...50
4.3.4. Hubungan Pengetahuan dan Orang Terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ..52
4.4.Analisis Multivariat ...54
4.4.1. Pengaruh Pendidikan, Pengetahuan, dan Sikap Terhadap KesinambunganPenanganan Anak Autisme Oleh Orangtua Dirumah...54
BAB 5 PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Orangtua Terhadap
Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...58
5.2. Pengaruh Pengetahuan dan Sikap Orang Terdekat Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di rumah ...60
5.3. Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme Oleh Orangtua di rumah ... 61
5.4. Variabel yang Paling Berpengaruh Terhadap Kesinam- bungan Penanganan Anak Autisme Oleh Orang Terdekat di rumah...62
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan...64
6.2. Saran ...64
DAFTAR PUSTAKA...67
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Hal
1. Aspek Pengukuran Karakteristik Responden ...38
2. Aspek Pengukuran Pengetahuan dan Sikap Responden Terhadap
Kesinambungan Penanganan Dirumah ...38
3. Distribusi Orangtua Berdasarkan Karakteristiknya...43
4. Distribusi Orang Terdekat Berdasarkan Karakteristiknya ...45
5. Hubungan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan Orangtua dengan
Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...47
6. Hubungan Umur, Pendidikan, dan Pekerjaan Orang Terdekat dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...49
7. Hubungan Pengetahuan Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah...50
8. Hubungan Sikap Orangtua dengan Kesinambungan Penanganan
Anak Autisme di Rumah...51
9. Hungan Pengetahuan Orang Terdekat dengan Kesinambungan
Penanganan anak Autisme di Rumah...52
10.Hubungan Sikap Orang Terdekat dengan Kesinambungan
Penanganan anak Autisme di Rumah...53
11.Hasil Analisis Uji Regresi logistik Pengaruh Pengetahuan, Sikap, dan Pendidikan Orangtua Terhadap Kesinambungan Penanganan Anak Autisme di Rumah ...55
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Hal
1. Model Teori Perilaku Menurut Green (1980)
dalam Notoadmodjo (2007) ... 29
2. Kerangka Konsep ... 30
3. Kurva Normal... 36
4. Kurva Normal Pengukuran Kesinambungan Penanganan Dirumah ... 37
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1. Kuesioner Penelitian ... 70
2. Print Out Komputer Program SPSS versi 15 ...86
3. Distribusi Responden Berdasarkan Jawaban Pertanyaan...119
4. Surat Permohonan Izin Penelitian ...125
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Autisme merupakan fenomena yang masih menyimpan banyak rahasia
walaupun telah diteliti lebih dari 60 tahun yang lalu. Sampai saat ini belum dapat
ditemukan penyebab pasti dari gangguan autisme ini, sehingga belum dapat
dikembangkan cara pencegahan maupun penanganan yang tepat (Ginanjar, 2006).
Autisme atau autistic spectrum disorder adalah merupakan suatu kelompok
penyakit yang ditandai dengan keterlambatan pada perkembangan berbicara dan
kurangnya interaksi sosial (Jepson, 2003). Pada tahun 1960 dimulailah penelitian
neurologis yang membuktikan bahwa autisme disebabkan oleh adanya
abnormalitas pada otak. Pada tahun 1994 penelitian tentang ciri-ciri anak autisme
berhasil menentukan kriteria diagnosis yang selanjutnya digunakan dalam
DSM-IV (diagnostic and statistical manual of mental disorder, edisi revisi keempat)
(Handojo, 2003).
Autisme dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di
desa dikota, berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan
budaya di dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya
memiliki kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana
yang lebih dini dengan hasil yang lebih baik (Putera kembara, 2006).
Penanganan autisme sangat sulit untuk dilakukan karena membutuhkan
strategi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Selain tidak mampu
bersosialisasi, juga tidak dapat mengendalikan emosinya (Bastaman, 2000).
Penyandang autis seakan-akan hidup didunianya sendiri (Handojo, 2003).
Perkembangan anak penyandang autisme tertinggal jauh dibanding anak
normal seusianya. Anak autis akan menjadi abnormal selamanya, bila tidak
mendapat penanganan, pendidikan dan perlakuan yang intensive (Budhiman,
autisme masa kanak-kanak dapat dikoreksi yang dilakukan pada usia sedini
mungkin (Handojo, 2003).
Penelitian menunjukkan jumlah penderita autisme meningkat dari tahun
ketahun. Pada tahun1987, ratio penderita autisme 1 : 5.000. Ini berarti, diantara
5000 anak, ada satu anak yang menderita autisme. Angka ini meningkat menjadi 1
: 500 pada tahun 1997, kemudian meningkat terus menjadi 1 : 150 artinya ada
sebanyak satu orang anak yang menderita autisme dari 500 kelahiran anak pada
tahun 2000 (Asteria, 2008). Di Kanada dan Jepang pertambahan ini mencapai 40
persen sejak 1980. Di California sendiri pada tahun 2002 di-simpulkan terdapat 9
kasus autis per-harinya (Judarwanto, 2008). Di Amerika Serikat disebutkan
autisme terjadi pada 15.000 - 60.000 anak dibawah 15 tahun. Kepustakaan lain
menyebutkan prevalens autisme 10-20 kasus dalam 10.000 orang, bahkan ada
yang mengatakan 1 diantara 1000 anak. Di Inggris pada awal tahun 2002 bahkan
dilaporkan angka kejadian autis meningkat sangat pesat, dicurigai 1 diantara 10
anak menderita autisme. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2,6
- 4 : 1, namun anak perempuan yang terkena akan menunjukkan gejala yang lebih
berat (Putera kembara, 2008).
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 2 April sebagai
"Hari Autisme Sedunia" (World Autism Awareness Day). Dengan adanya
penetapan ini membuktikan bahwa dunia sudah mengakui bahwa autisme saat ini
telah menjadi suatu keprihatinan bagi masyarakat dunia, karena terdapat lebih dari
35.000.000 jiwa yang menjadi penyandang autisme diseluruh dunia. PBB telah
memasukkan masalah autisme kedalam kategori krisis dan akan mendapatkan
prioritas utama untuk penanggulangannya. Seluruh anggota PBB menyetujui
untuk menindaklanjuti masalah autisme (Imron, 2008).
Saat ini di Indonesia pun sudah banyak ditemukan kasus autisme. Jumlah
penderita anak autisme di Indonesia semakin meningkat, pada tahun 2004 tercatat
475.000 penderita autis (Mira, 2006). Laporan terakhir tahun 2005
normal diseluruh dunia termasuk Indonesia telah mencapai 1:100 (Depdiknas RI,
2004).
Dengan masalah autisme yang sudah menjadi masalah dunia, diharapkan
juga menjadi masalah yang harus ditangani oleh negara, pemerintah setempat.
Bahkan hingga ke tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Selama ini masih menjadi
kendala karena tidak ada kesepahaman berbagai pihak mengenai autisme (Safaria,
2005).
Propinsi Sumatera Utara khususnya dikota Medan, memiliki jumlah
penduduk yang semakin meningkat. Banyaknya jumlah penduduk ini dikarenakan
adanya urban yang meningkat dari tahun ketahun. Penduduk kota Medan terdiri
dari beragam suku, warga negara keturunan dan warga negara asing.
Masalah autisme adalah masalah yang sangat kompleks. Penelitian tentang
berbagai penyebabnya juga telah dan masih terus dilakukan dinegara maju, oleh
karena itu pengetahuan tentang autis pun terus berkembang. Berbagai terapi pun
telah dibuka untuk menangani masalah autisme. Disamping itu, sekolah-sekolah
khusus anak autis juga sudah ada dikota Medan (Hadiyanto, 2008).
Setiap kehidupan manusia diawali dengan beberapa tahap perkembangan.
Perkembangan manusia berawal dari masa prenatal sampai menjelang akhir
kehidupan yang dikenal dengan usia lanjut. Dalam setiap periode perkembangan
terdapat berbagai tugas perkembangan yang harus dilalui dan stiap aspek
per-kembangan baik fisik, emosi, intelegensi maupun sosial. Identidikasi dalam setiap
perkembangan anak sejak awal penting untuk diketahui orang tua (ibu), karena
setiap periode perkembangan anak akan menentukan perkembangan selanjutnya.
Adapun kenyataan di lapangan pada saat ini kesibukan orang tua yang semuanya
bekerja membuat peran dalam mendidik anak cenderung berkurang yang
meng-akibatkan kurangnya ikatan emosional dengan anaknya (Sitta, 2009).
Berkembangnya sekolah/tempat terapi yang ada dikota Medan saat ini
memberikan solusi bagi para orang tua dalam perawatan anak mereka yang
berkaitan dan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama yang lain. Orang tua
mendidik anaknya dirumah dan disekolah untuk mendidik anak diserahkan kepada
pihak sekolah atau guru, agar berjalan dengan baik kerja sama antara orang tua
dan sekolah harus dilakukan agar dapat memperlakukan anak seperti anak normal
seusianya.
Banyak orang tua menyerahkan sepenuhnya penanganan tersebut pada
sekolah terapi atau sekolah khusus. Mereka hanya menyediakan biaya dan
prasarananya saja. Tetapi ada juga mereka yang selalu ingin mencampuri proses
terapi yang sedang berlangsung sehingga anak-anak ini terdistraksi (teralih)
konsentrasi dan perhatiannya dari materi. Kelancaran proses terapi menjadi sangat
terganggu bahkan terhenti. Kedua sikap ini sangat merugikan dan menghambat
kemajuan terapi sianak sehingga penanganan yang menyeluruh tidak dapat
terlaksana dengan baik (Puterakembara, 2006).
1.2. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut didapat suatu permasalahan yang akan diteliti
yaitu bagaimanakah pengaruh pengetahuan, sikap orang tua dan keluarga terdekat
terhadap kesinambungan penanganan anak autisme dirumah.
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap orang tua terhadap
kesinambungan penanganan anak autis dirumah.
2. Untuk menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap keluarga terdekat
terhadap kesinambungan penanganan anak autis dirumah.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ho : Tidak ada pengaruh pengetahuan dan sikap orang tua dan keluarga terdekat
Ha : Ada pengaruh pengetahuan dan sikap orangtua dan keluarga terdekat
terhadap kesinambungan penanganan anak autisme dirumah.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi sekolah/terapi untuk dapat menghimbau orang tua
dan keluarga terdekat agar dapat melakukan penanganan yang tepat
dirumah.
2. Memberikan informasi tentang anak autis untuk peningkatan pengetahuan
orang tua dan keluarga terdekat sehingga penanganan dirumah dapat
dilakukan dengan tepat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Autisme
2.1.1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari kata “ Autos” yang berarti diri sendiri, “ isme” yang
berarti suatu aliran, artinya suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya
sendiri. Anak yang mengalami gangguan autisme ini menunjukkan kegagalan
membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respons/minat
terhadap orang-orang/anak-anak sekitarnya. Autisme pertama kali dilaporkan oleh
Kanner pada tahun 1943 (Safaria, 2005).
Autisme adalah gangguan ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang
tertunda, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan
stereotipik, rute ingatan yang kuat, dan keinginan obsesib untuk mempertahankan
keteraturan didalam lingkungannya (Handojo, 2005).
Autisme menurut istilah ilmiah kedokteran dan psikologi termasuk dalam
gangguan perkembangan pervasif (pervasive developmental disorders). Secara
khas gangguan yang termasuk dalam kategori ini ditandai dengan distorsi
perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan
keterampilan sosial dan berbahasa seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap
realitas, dan gerakan-gerakan motorik.
Anak yang mengalami gangguan autisme ini menunjukkan kegagalan
membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respons
terhadap dan / atau kurangnya minat kepada orang-orang/ anak-anak disekitarnya.
Hal ini terlihat ketika masa bayi anak yang terlihat kurang mampu membentuk
perilaku melekat (attachment behavior) yang wajar, terutama pada ibunya
(Safaria, 2005).
Gejala kekurangmampuan anak membentuk perilaku ini terlihat ketika
suka menyendiri, perhatiannya hanya tertuju pada satu objek yang sedang
dimainkannya dan tidak peduli dengan kejadian-kejadian disekitarnya. Anak juga
kurang mampu melakukan kontak mata dengan ibu atau ayahnya. Jika nama anak
tersebut dipanggil, seolah-olah anak tidak mendengarnya dan jika diajak bicara,
anak tidak menatap mata orang yang mengajaknya bicara. Anak juga kurang
mampu menunjukkan respon ekspresi wajah yang wajar seperti tertawa atau
tersenyum ketika digelitik atau diajak bermain oleh kedua orang tuanya. Anak
juga menunjukkan perilaku menghindar atau mengabaikan (acuh tak acuh) apabila
disayang dan diberikan kontak fisik seperti dielus, diraba, digelitik, dicium,
diayun-ayun atau sambil dipanggil namanya oleh kedua orang tuanya sehingga
orang tua sering menduga bahwa anaknya mengalami gangguan pendengaran atau
tuli.
Anak autisme memperlakukan orang-orang disekitarnya tanpa perbedaan
individual (interchangeable), sebagai contoh biasanya anak menangis ketika akan
digendong atau melihat orang asing didekatnya, atau menunjukkan ekspresi takut
dan meronta-ronta. Perilaku yang ditunjukkan anak selalu tidak terduga. Anak
dapat saja mengacuhkan ibunya, tetapi tiba-tiba dekat dengan ayahnya. Anak
seperti terlihat tidak dapat membedakan mana ayah-ibunya dan mana orang lain
yang bukan keluarganya. Jika ditinggal oleh ibunya sendiri, maka anak ini tidak
menunjukkan kecemasan atau rasa takut, seolah-olah dia tidak peduli apakah
ibunya sedang menunggunya atau tidak berada disampingnya. Anak juga
menunjukkan perilaku yang dapat melekat secara mekanis pada individu tertentu,
kadang-kadang bukan pada ibunya tetapi pada kakek/neneknya atau orang lain
selain kedua orang tuanya.
Dalam masa kanak-kanak selanjutnya anak menunjukkan
kekurangmampuan untuk membina permainan kooperatif atau berkawan dengan
anak-anak sebayanya. Anak lebih suka menyendiri, akan tetapi dengan makin
terbentuk kesadaran dan kelekatan anak terhadap orang tua dan orang lain yang
sering dikenalnya.
Respon anak terhadap lingkungan dapat memunculkan bentuk yang
beraneka ragam, yaitu berupa resistensi terhadap perubahan sedikit saja dalam
lingkungannya misalnya anak itu menjerit apabila tempat duduknya dimeja makan
diganti. Kadang-kadang ada kelekatan dengan benda aneh misalnya anak
bersikeras memakai gelang karet atau seutas tali. Perilaku ritualistik yang
mencakup gerakan motorik seperti menepuk tangan atau gerakan tangan
berulang-ulang yang aneh atau memaksa terlaksananya urutan peristiwa tersebut
sebelum tidur. Anak dapat terpukau oleh gerakan-gerakan, dan hal itu dapat
berupa menatap berkelanjutan pada kipas angin atau perhatian berlebihan pada
benda berputar.
Musik yang beraneka macam jenisnya juga dapat menjadi sumber
perhatiannya. Anak juga sangat tertarik kepada kancing, salah satu bagian tubuh,
main air atau topik yang berurutan seperti jadwal jam kereta api atau data-data
tahun bersejarah. Tugas yang mencakup daya ingat jangka panjang misalnya
mengingat secara tepat semua kata-kata dari lagu-lagu yang pernah didengarnya
bertahun-tahun yang lalu, mungkin dilakukan dengan luar biasa.
Autisme dikatakan sebagai gangguan perkembangan pervasif disebabkan
oleh banyak segi perkembangan psikologis dasar anak yang terganggu pada saat
yang sama secara berat. Gangguan ini berbeda dengan gangguan perkembangan
spesifik dalam dua hal sebagai berikut :
(1) Pertama, pada gangguan perkembangan spesifik hanya satu fungsi spesifik
saja yang terkena, sedangkan dalam gangguan perkembangan pervasif
beberapa fungsi psikologis dasar anak terganggu.
(2) Kedua, pada gangguan perkembangan spesifik anak berlaku seolah-olah
sedang melewati suatu tahap perkembangan normal yang lebih dini karena
gangguannya adalah terlambat perkembangannya sedangkan anak-anak yang
kualitatif berat yang tidak normal bagi setiap tahap perkembangan manapun
karena gangguannya berupa distorsi atau penyimpangan dalam
perkembangan.
Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara
menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi, dan psikomotorik anak. Oleh
sebab itu bisa juga dikatakan sebagai gangguan neurobiologis yang disertai
dengan beberapa masalah, seperti automunitas, gangguan pencernaan, dysbiosis
pada usus, gangguan integrasi sensori, dan ketidakseimbangan susunan asam
amino (Safaria, 2005).
2.1.2. Penyebab Anak Autis
Faktor genetika memegang peranan penting pada terjadinya autisme. Bayi
kembar satu telur akan mengalami gangguan autisme yang mirip dengan saudara
kembarnya. Juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu
keluarga besar mengalami gangguan yang sama.
Pada anak yang menderita autisme ditemukan adanya masalah neurologis
dengan cerebral cortex, cerebellum, otak tengah, otak kecil, batang otak, pons,
hipotalamus, hipofisis, medula dan saraf-saraf panca indera seperti saraf
penglihatan atau saraf pendengaran.
Selain itu pengaruh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang
buruk, perdarahan, keracunan makanan pada masa kehamilan dapat menghambat
pertumbuhan sel otak yang dapat menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung
terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi dan interaksi (Safaria, 2005).
2.1.3. Diagnosa Autisme
Menurut DSM-IV-R (Diagnostik and Statistical Manual of Mental
Disorder) untuk autisme masa kanak yaitu :
(1). Harus ada sedikitnya enam gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial, yang timbal balik .
Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala dibawah ini :
a. Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai :
kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak
gerik yang kurang tertuju
b. Tak bisa bermain dengan teman sebaya
c. Tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain
d. Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh
minimal satu dari gejala-gejala dibawah ini :
a. Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak berkembang (dan
tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain
tanpa bicara)
b. Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi
c. Sering menggunakan bahasa yang aneh dan berulang-ulang
d. Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa
meniru
3. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat
dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala dibawah ini :
a. Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat
khas dan berlebih-lebihan
b. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang
tak ada gunanya
c. Ada gerakan-gerakan yang aneh yang khas dan berulang-ulang
d. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda
(2). Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam
bidang :
1. Interaksi sosial
3. Cara bermain yang kurang variatif
(3) Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa
Kanak ( Handojo, 2003).
Pada gangguan perkembangan berbahasa tipe reseptif, anak pada umumnya
ada kontak mata dan seringkali berusaha untuk berkomunikasi dengan
gerakan-gerakan, sedangkan pada autisme infantil terdapat kurangnya respon yang
pervasif. Kelompok gangguan ini ditandadi oleh abnormalitas kualitatif dalam
interaksi sosial dan pola komunikasi, munculnya kecenderungan minat dan
gerakan yang terbatas, stereotipik dan berulang. Abnormalitas kualitatif ini
merupakan gambaran yang meluas (pervasif) dari fungsi individu dalam segala
situasi, meskipun dapat berbeda dalam derajat keparahannya (Safaria, 2005).
Anak dengan autisme infantil selalu dijumpai hendaya kualitatif dalam
interaksi sosialnya. Ini terlihat dengan ketidakmampuan anak mengapresiasikan
secara kuat isyarat sosio-emosional. Anak tampak kurang responsif terhadap
emosi orang lain, kurang mampu dalam menggunakan isyarat sosial seperti
tersenyum, tertawa, melakukan kontak mata. Anak juga menunjukkan kurang
mampu (lemah) dalam integrasi perilaku sosial, ekspresi emosional, dan
komunikasi khususnyaberkaitan dengan kurangnya respon anak dalam proses
timbal balik sosio-emosionalnya.
Anak menunjukkan ketidakmampuan secara kualitatif dalam keterampilan
komunikasi. Ini terlihat dalam kurangnya penggunaan sosial dari kemampuan
bahasa yang ada, kurangnya keserasian dan interaksi timbal balik dalam
percakapan, buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurang
dalam kreativitas serta fantasi dalam proses berpikir. Anak juga kurang mampu
dalam menggunakan variasi irama atau tekanan mudulasi komunikatif serta
kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau mengartikan komunikasi lisan.
Anak juga menunjukkan pola perilaku, minat, dan kegiatan yang terbatas,
pengulangan dan steriotipik. Ini berbentuk kecenderungan untuk bersikap kaku
kegiatan baru atau kebiasaan sehari-hari yang rutin dan dalam pola bermain anak,
terutama sekali dalam masa dini kanak-kanak, terdapat kelekatan yang aneh
terhadap benda yang tidak lembut seperti bola, sendok, balok, kunci, dan lain-lain.
Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin seperti upacara dari kegiatan
yang sebenarnya tidak perlu. Anak juga dapat menjadi preokupasi yang steriotipik
dengan perhatian pada tanggal, rute, dan jadwal. Sering juga terdapat steriotipik
motorik, sering menunjukkan perhatian yang khusus terdapat unsur sampingan
dari benda seperti baunya atau rasanya. Anak juga sering menunjukkan penolakan
terhadap perubahan dari rutinitas atau dalam tata ruang dari lingkungan
pribadinya seperti perpindahan kursi yang biasa dipakainya, mebel baru, hiasan
dinding yang diubah, dan lain-lain (Judarwanto, 2008).
2.1.4. Karakteristik Anak Autis
Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang :
1. Komunikasi :
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada.
b. Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi
kemudian sirna.
c. Kata-kata yang digunakan tidak sesuai dengan artinya.
d. Berbicara tanpa arti berulang-ulang dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti oleh orang lain.
e. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi.
f. Senang meniru atau membeo (echolalia).
g. Bila senang meniru, dapat hafal kata-kata atau nyanyian tanpa
mengerti artinya.
h. Sebagian dari anak ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit
berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
2. Interaksi Sosial :
a. Anak autis lebih suka menyendiri.
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman.
d. Bila diajak bermain, ia tidak mau dan menjauh.
3. Gangguan Sensoris :
a. Sangat sensitif terhadap sentuhan seperti tidak suka dipeluk.
b. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
c. Senang mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda.
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Pola Bermain :
a. Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya.
b. Tidak suka bermain dengan anak sebayanya.
c. Tidak kreatif, tidak imajinatif.
d. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu
rodanya diputar-putar.
e. Senang akan benda-benda yang berputar seperti kipas angin, roda
sepeda.
f. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa kemana-mana.
5. Perilaku :
a. Dapat berprilaku berlebihan (hiperaktif) atau kekurangan (hipoaktif)
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakkan tangan seperti burung, berputar-putar, mendekatkan
mata kepesawat TV, lari/berjalan bolak-balik, melakukan gerakan yang
diulang-ulang.
c. Tidak suka pada perubahan.
6. Emosi :
a. Sering marah-marah tanpa alasan yang jelas, tertawa-tawa, menangis
tanpa alasan.
b. Temper tantrum (mengamuk tak terkendali) jika dilarang atau tidak
diberikan keinginannya.
c. Kadang suka menyerang dan merusak.
d. Kadang-kadang anak berprilaku yang menyakiti dirinya sendiri.
e. Tidak mempunyai empati dan tidak mengerti perasaan orang lain
(Budhiman, 2005).
2.2. Konsep Perilaku
2.2.1. Pengertian
Menurut Robert Kwick (1974) yang dikutip oleh (Notoatmojo, 2005)
menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang
dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Sedangkan menurut Skinner (1938)
yang dikutip oleh (Notoatmojo, 2005), seorang ahli psikologi mengemukakan
bahwa perilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan
tanggapan (respons) atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar).
Perilaku manusia terjadi melalui proses :
Stimulus Organisme Respons. Sehingga teori Skinner ini disebut
teori S-O-R (Stimulu-Organisme-Respons). Berdasarkan teori S-O-R tersebut,
maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu :
1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)
Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih
belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih
terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap
terhadap yang bersangkutan. Bentuk anobservable behavior atau cover behavior
merupakan respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang masih
bersifat terselubung (covert behavior).
3. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)
Perilaku terbuka ini terjadi bila respons terhadap stimuli tersebut sudah
berupa tindakan nyata atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar atau
observable behavior (Notoatmojo, 2005).
2.2.2. Domain Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan dibedakan antar perilaku tertutup (covert) dengan
perilaku terbula (overt) tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi
pada orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, perilaku adalah
keseluruhan pemahaman dan aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama
antara faktor internal dengan eksternal. Menurut Notoatmojo (2005) yang
mengutip pendapat Bloom (1908) seorang ahli psikologis pendidikan membagi
perilaku manusia kedalam 3 (tiga) domain, ranah atau kawasan yakni : a). kognitif
(cognitive), b). efektif (effective), c). psikomotor (psychomotor). Dalam
perkembangannya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk pengukuran hasil
pendidikan kesehatan, yakni :
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui pancaindera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telingan. Pengetahuan dan kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmojo, 2007).
Pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) yang dikutip oleh Notoatmojo (2007),
didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni : awareness
(kesadaran), interest, evaluation, trial dan adoption.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses
diatas didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku
tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama
(Notoatmojo, 2007).
2. Sikap (attitude)
Sikap adalah respons tertutup terhadap stimulus atau objek tertentu yang
sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak
senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Manifestasi sikap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmojo,
2007).
Menurut Thursonte yang dikutip Ahmadi (2002) menyatakan sikap
sebagai tingkatan kecenderungan yang bersifat positif atau negatif yang
berhubungan dengan objek psikologi. Orang dikatakan memiliki sikap positif
terhadap suatu objek psikologi apabila ia suka atau memiliki sikap yang
favorable, sebaliknya orang yang dikatakan memiliki sikap negatif terhadap objek
psikologi bila ia tidak suka atau sikap unfavorable terhadap objek psikologi.
Sikap terbentuk dari 3 (tiga) komponen utama yaitu :
(1). Komponen afektif, komponen ini berhubungan dengan perasaan dan emosi
tentang seseorang atau sesuatu,
(2). Komponen kognitif, sikap tentunya mengandung pemikiran atau
(3). Komponen perilaku, sikap terbentuk dari tinggkah laku seseorang dan
perilakunya, sering juga dijumpai seseorang tidak dapat memutuskan apakah
ia suka atau tidak suka.
Kekuatan sikap tergantung dari banyak faktor, faktor yang terpenting
adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap. Faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap antaralain :
(1). Pengalaman pribadi, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman
pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional,
(2). Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu
cenderung untuk memiliki sikap yang terarah dengan sikap orang yang
dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut,
(3). Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya,
(4). Media massa, dalam pemberitaan surat kabar atau media komunikasi
lainnya, berita yang disampaikan secara objektif dipengaruhi oleh sikap
penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya,
(5). Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari
lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem
kepercayaan sehingga konsep tersebut mempengaruhi sikap,
(6). Faktor emosional, kadangkala suatu bentuk sikap merupakan pernyataan
yang didasari emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi
atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.
3. Tindakan atau Praktik (practice)
Sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Agar terwujudnya sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain. Didalam
tindakan ada beberapa tingkatan yaitu ;
(1). Persepsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek
sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tindakan
yang pertama.
(2). Responsi terpimpin (guided response), yaitu dapat melakukan sesuatu
dengan urutan benar sesuai dengan contoh-contoh, adalah merupakan
tindakan tingkat kedua.
(3). Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan
maka ia sudah mencapai yang ketiga.
(4). Adopsi (adoption), adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah
berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa
mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmojo, 2007).
2.3. Orang Tua
Orang tua yang terdiri dari ayah dan ibu adalah orang yang paling dekat
dengan anak. Keluarga sangat berperan dalam membantu perkembangan anak
terutama orang tua. Banyak orang tua belum menyadari adanya gangguan autis
pada anaknya diusia 1 bulan sampai 2 tahun. Orang tua berpikir anaknya hanya
terlambat dalam proses perkembangan dan pertumbuhannya. Namun, seiring
waktu berjalan mulai terlihat keanehan yang diderita oleh anaknya. Sampai batas
ini orang tua kemudian mulai berpikir bahwa ada sesuatu yang aneh dan anak
diperiksakan ke dokter atau psikolog profesional.
Perilaku agresif, merusak, dan menyakiti diri sendiri merupakan perilaku
yang paling berat untuk dihadapi. Bagi orang tua inilah periode awal kehidupan
anaknya yang merupakan masa-masa tersulit dan paling membebani (Sabrina,
2.4. Keluarga Terdekat
Lingkungan merupakan tempat terdekat dimana anak berada sehari-hari,
lingkungan ini berupa lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Setiap anak
membutuhkan lingkungan yang disesuaikan dengan usia dan perkembangannya
serta membutuhkan lingkungan fisik yang dapat mendukung kegiatan belajar dan
bermain anak. Lingkungan fisik yang ada diharapkan dapat memberikan pengaruh
positif dalam perkembangan anak. Perencanaan lingkungan fisik termasuk
gedung, interior, ruang-ruang luar, penataan ruang dan peralatan yang digunakan
pada lingkungan fisik untuk anak akan memberikan pengaruh bagi perilaku anak
(Sidhartani, 2006).
Orang-orang yang berada disekitar anak juga sangat mempengaruhi pola
perilakunya. Dukungan dari orang-orang terdekat sangat membantu terhadap
proses penanganan anak autis. Masyarakat luas sebagai sumber informasi juga
dapat memberikan masukan kepada orang tua yang ingin mengetahui lebih
banyak lagi tentang anak autisme.
Lingkungan yang sangat membantu anak penyandang autis adalah
lingkungan keluarga yang terdiri dari kakek-nenek, saudara sekandung, sepupu,
paman-bibi, pembantu-baby sitter yang memberikan pengaruh positif terhadap
penyandang autisme. Keluarga dapat mengarahkan dan mengajar anak tersebut
pada saat orang tua tidak berada dirumah atau bersama-sama berdampingan saling
menangani pengasuhan anak yang menderita autisme tersebut.
2.5. Pengetahuan Orang Tua/ Keluarga Terdekat
Autisme, bagi sebagian orang tua/keluarga adalah kasus gangguan otak
yang dianggap tabu dan memalukan jika itu terjadi pada anaknya. Padahal deteksi
dini dan memberikan bimbingan yang tepat akan menolong buah hati menjalani
kehidupan dengan lebih baik. Karena dianggap kasus yang agak memalukan,
orang tua lebih memilih diam atau malah menyembunyikan dugaan gejala autisme
autistik harus ditangani, membuat masalah kian pelik. Apalagi jika si anak
'terpaksa' harus belajar di sekolah umum, berbaur dengan anak-anak 'normal' lain
yang tidak memiliki kebutuhan khusus. Menurut riset yang dilansir harian
Kompas, di Indonesia diperkirakan terdapat 475.000 anak dengan gejala gangguan
spektrum autisme, yang perlu ditangani dengan lebih serius (PT. Informasi Lintas
Globalindo, 2008).
Pada tahun 2001, data dari hasil penelitian Center for Disease Control and
Prevention, USA dari 150 kelahiran terdapat satu anak yang terkena autis.
Sedangkan di Indonesia terdapat 340.000 anak autis dari 200 juta pada tahun
2003. Dengan adanya data ini, para orang tua/keluarga setidaknya memiliki
pengetahuan tentang autisme agar dapat mengetahui apakah anaknya terkena
gangguan autisme atau tidak (Praptono didik, Jeni, 2007).
2.6. Sikap Orang Tua/Keluarga Terdekat
Berdasarkan dari pengalaman keluarga yang memiliki anak dengan
autisme, respon atau sikap orang tua terhadap autisme antara lain: Pertama-tama
orang tua akan shock dan tidak percaya (menolak) kalau buah hatinya menderita
autisme, kemudian orangtua akan depresi dan bersedih melihat keadaan anaknya,
lalu akan masuk ke tahap berpikir rasional dan optimis. Orang tua manapun tidak
akan mau kalau anaknya tidak normal, mereka akan selalu berusaha agar anaknya
bisa normal seperti anak-anak lainnya. Orang tua yang optimis akan mencari
informasi mengenai pengobatan dan terapi yang cocok untuk anaknya yang
menderita autisme. Setelah itu, orangtua akan menerima keadaan anaknya dan
berusaha terlibat penuh dalam pengobatan dan terapi anaknya yang menderita
autisme (Kartika Henry, 2008).
Sikap menerima setiap anggota keluarga sebagai langkah kelanjutan
pe-ngertian yaitu dengan segala kelemahan dan kelebihannya ia seharusnya mendapat
tempat dalam keluarga. Setiap anggota keluarga berhak atas kasih sayang orang
luas tentang autisme sehingga ibu akan me-mahami arti dari autisme yang
se-benarnya.
2.7. Kesinambungan Penanganan Dirumah
Anak dengan gangguan autisme membutuhkan kesabaran yang besar untuk
membimbingnya, tidak saja bagi orang tua tetapi orang-orang disekitarnya.
Perilaku anak autis sering diluar kontrol dan ini tentu saja menimbulkan stres
tersendiri bagi orang tua maupun orang-orang disekitarnya.
Orang tua dan lingkungan keluarga merupakan orang yang paling berperan
dalam penanganan anak penyandang autisme ini. Mereka melakukan usaha untuk
mengubah perilaku negatif anak tersebut menjadi perilaku positif yang
dimunculkan, seperti dirumah mengulang kembali terapi yang dilakukan
disekolah khusus tempat anaknya berlatih. Anak belajar melalui banyak cara
antara lain melalui peniruan, observasi dan penguatan baik itu positif maupun
negatif. Misalnya ketika orang tua melihat anaknya mampu menyapu kamarnya
sendiri maka orang tua akan memuji atas tindakannya tersebut dan ketika mereka
melihat anak merusak barang-barang dikamarnya maka orang tua tersebut akan
memberi hukuman pada anaknya (Safaria, 2005).
Penderita autisme memerlukan program terapi khusus sebagai usaha
penanganan gangguan perkembangan yang dialami. Tujuan program terapi ini
bukanlah untuk merubah anak autis menjadi normal, melainkan melatih anak agar
pada akhirnya mereka dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat.
Usaha penanganan ini dilakukan melalui beberapa jenis terapi yang disesuaikan
dengan kebutuhan anak. Beberapa jenis terapi yang biasa diberikan pada anak
autis antara lain adalah terapi wicara, terapi perilaku dan terapi okupasi yang pada
umumnya merupakan suatu rangkaian terapi yang harus diberikan pada anak autis.
Ketiga jenis terapi ini biasanya diselenggarakan oleh lembaga yang menyediakan
2.8. Landasan Teori
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat (Blum, 1974)
dalam Notoadmodjo (2007). Oleh sebab itu, dalam rangka membina dan
meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya yang ditujukan kepada
faktor perilaku ini sangat strategis.
Selanjutnya Green dan Marshall dalam Notoadmodjo (2007) menjelaskan
bahwa perilaku dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni :
faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), faktor-faktor yang mendukung
(enabling factor) dan faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong
(reinforcing factor). Oleh sebab itu, pendidikan kesehatan sebagai faktor usaha
intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor pokok tersebut.
Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah atau
mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat.
Beberapa komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan
langsung dengan perilaku antara lain pengetahuan, umur, pendidikan, pekerjaan
dan menyadari kemampuan dan keperluan seseorang atau masyarakat terhadap
apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan dengan motivasi dari individu atau
kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan.
Faktor enabling memudahkan penampilan seseorang atau masyarakat untuk
melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber-sumber daya pelayanan
kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan dan kesanggupan.
Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan
transportasi atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi
keterampilan orang, organisasi atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan
perilaku.
Menurut Notoadmodjo (2005), faktor enabling adalah faktor pemungkin
atau pendukung seperti fasilitas, sarana atau prasarana yang mendukung atau yang
Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan
adanya umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi
dukungan sosial, pengaruh dan informasi serta feedback dari orang tua, saudara,
lingkungan atau orang-orang yang berperan dan mendukung. Reinforcing dapat
positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang didalam
lingkungannya.
Orang tua dan keluarga terdekat memegang peranan penting dalam
penanganan anak autisme dirumah. Mereka harus menjadi semacam organizer
dari semua orang yang mau terlibat dalam penanganan anak autisme tersebut
[image:40.595.123.502.345.666.2](Handojo, 2003).
Gambar 1.
Model Teori Perilaku Menurut Green (1980) dalam Notoadmodjo (2007)
Proses perubahan
Predisposisi factors
(Pengetahuan, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, umur)
Enabling factors
(ketersediaan sumber/fasilita
Reinforcing factors
(sikap dan perilaku orang tua, keluarga
terdekat)
Pelatihan
Promosi Kesehatan Komunikasi
2.9. Kerangka Konsep
Berdasarkan landasan teori dan tujuan penelitian, maka kerangka konsep
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Variabel Independent Variabel Dependent
[image:41.595.111.539.257.627.2]
Gambar 2.
Kerangka Konsep
Karakteristik : - Umur
- Tingkat Pendidikan - Pekerjaan
Kesinambungan Penanganan Dirumah
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei dengan tipe
explanatory yang ditujukan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, sikap
orang tua dan keluarga terdekat terhadap kesinambungan penanganan anak
autisme dirumah.
Menurut Singarimbun (1985), survei explanatory adalah menjelaskan
hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Yayasan Kids Smile yaitu klinik dan sekolah
khusus autisme yang terletak dijalan Danau Singkarak Medan, Pusat Rehabilitasi
Anak Berkebutuhan Khusus (Yayasan Penyandang Anak Cacat) dijalan
Adinegoro No.2 Medan dan Taman Pendidikan Islam dijalan Sisingamangaraja
Medan. Lokasi ini dipilih karena penulis kesulitan mendata anak penyandang
autisme yang ada dikota Medan, oleh sebab itu penulis memilih Yayasan Kids
Smile, Pusat Pelatihan Terpadu Anak Berkebutuhan Khusus (Yayasan
Penyandang Anak Cacat) dan Taman Pendidikan Islam sebagai tempat penelitian
karena merupakan sekolah khusus bagi anak penyandang autisme.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan dengan melakukan survei awal terlebih dahulu,
kemudian melakukan penelusuran pustaka, konsultasi, penyusunan proposal,
bulan Mei 2009, pengumpulan data, analisa data serta penyusunan laporan atau
seminar hasil.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah orang tua dan keluarga terdekat anak
yang bersekolah di yayasan anak penyandang autisme tersebut. Menurut catatan,
ada sebanyak 30 orang anak di Yayasan Kids Smile, Pusat Rehabilitasi Anak
Berkebutuhan Khusus (Yayasan Penyandang Anak Cacat) 20 orang anak, dan
Taman Pendidikan Islam 10 orang anak yang sedang menjalani terapi di yayasan
tersebut. Jumlah populasi yang ada sebanyak 60 orang tua dan 60 orang terdekat,
jadi jumlah keseluruhan populasi dari masing-masing anak adalah 120 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel yang diambil adalah keseluruhan (total sampling) dari jumlah
orang tua dan keluarga terdekat dari anak yang menyandang autisme yaitu
sebanyak 120 orang.
Kriteria Inklusi :
a. Orang tua/keluarga terdekat yang bersedia menjadi subjek penelitian
b. Orang tua/keluarga terdekat yang punya waktu
c. Mempunyai anak autis
d. Ibu yang mendapat pelatihan penanganan anak autis
Kriteria Ekslusi :
a. Ibu yang bekerja full time atau ibu yang bekerja lebih dari 10 jam/hari
diluar rumah dalam seminggu.
Data-data dan keterangan yang diperoleh dalam penelitian ini diperoleh
dengan cara wawancara langsung dengan orang tua dan keluarga terdekat anak
penyandang autisme dengan memakai pedoman kuesioner.
Sebelum kuesioner dijadikan alat ukur (instrumen) yang sah maka
sebelumnya dilakukan uji validitas dan reabilitas.
Pengujian validitas instrumen diperlukan untuk mendapatkan instrumen
sebagai alat ukur yang dapat mengukur dengan valid dalam arti terdapat kesamaan
antara data yang terkumpul dengan data yang sesungguhnya terjadi pada objek
yang diteliti. Pengujian ini dilakukan sebelum kuesioner yang telah dibuat
dibagikan kepada seluruh responden. Uji validitas dilakukan dengan mengukur
korelasi antara variabel atau item dengan skor total variabel, dengan syarat jika
nilai r hitung > r tabel maka dinyatakan valid, jika r hitung < r tabel maka
dinyatakan tidak valid (Arikunto, 2002)
Nilai r tabel dalam penelitian ini dengan sampel 20 orang dan jumlah
pertanyaan 30 butir untuk pengetahuan, pada taraf signifikansi 95% didapat r tabel
= 0,361. Sedangkan untuk sikap dan kesinambungan penanganan anak autisme di
rumah dengan jumlah pertanyaan masing-masing 18 butir, pada taraf signifikansi
95% didapat r tabel = 0, 468. Nilai r hasil kemudian dibandingkan dengan nilai r
tabel, bila r hasil lebih besar dari r tabel, maka pertanyaan tersebut valid. Nilai r
hasil dapat dilihat pada kolom “Corrected item-Total Correlation”.
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari ke-30 pertanyaan untuk
pengetahuan ditemukan pertanyaan ke – 28 tidak valid, sehingga pertanyaan ini
dibuang. Sedangkan untuk pertanyaan tentang sikap dan kesinambungan,
semuanya pertanyaan valid.
Untuk mengetahui reliabilitas adalah dengan membandingkan nilai r hasil
dengan r tabel, dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai “Alpha
Cronbach” dengan ketentuan bila r Alpha > r tabel, maka perrtanyaan tersebut
reliabel. Nilai alpa dalam uji kuisioner ini diperoleh 0,9202 untuk variabel
pengetahuan, 0,9217 untuk variabel sikap dan 0,9067 untuk variabel
kesinambungan. Nilai r Alpha lebih besar dari nilai r tabel maka pertanyaan
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Jenis Variabel
1. Variabel Dependent (Variabel terikat) : Kesinambungan penanganan dirumah.
2. Variabel Independent (Variabel bebas) : Pengetahuan, Sikap Orang Tua dan
Keluarga Terdekat.
3. Variabel Perancu : Umur, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan
3.5.2. Definisi Operasional
1. Orang tua adalah ayah atau ibu (orang tua kandung/ orang tua tiri) yang
menjadi orang paling dekat dengan anak autis untuk mengawasi
perkembangan sosio- emosional anak penyandang autisme secara langsung.
2. Keluarga terdekat adalah orang-orang yang berada disekitar anak autis
seperti adik, kakak, kakek, nenek, sepupu, paman, bibi, pembantu atau
pengasuh anak (baby sitter), yang mengawasi anak penyandang autisme
dirumah sehari-hari secara langsung untuk melatih perkembangan
sosio-emosional anak penyandang autime.
3. Pengetahuan adalah pemahaman orang tua dan keluarga terdekat tentang
anak autis yang meliputi penyebab dan cara penanganan yang tepat pada
anak penyandang autisme.
4. Sikap adalah respon positif atau negatif orang tua dan keluarga terdekat
terhadap anak autisme.
5. Kesinambungan penanganan anak autis di rumah adalah kelanjutan
perlakuan-perlakuan khusus yang dilakukan di rumah, yang dilakukan
selama rata-rata 8 jam perhari atau selama dia bangun dengan mengajaknya
berkomunikasi, mengajarkan disiplin dan tidak melakukan kekerasan pada
Baik Kurang
Sedang
3.6. Metode Pengukuran
Pengukuran pengkategorian didasarkan pada interval menggunakan
[image:46.595.187.454.186.269.2]konsep Azwar (2004), dengan kurva normal yaitu:
Gambar 3.1. Kurva Normal
3.6.1. Variabel Independen
1. Pengetahuan
Pengetahuan, menggunakan skala ordinal didasarkan pada 30 pertanyaan
dengan alternatif jawaban : ”Benar” diberi nilai 1 dan ”Salah” diberi nilai 0,
dengan skor tertinggi 30. Kemudian akumulasi dari total skor variabel
pengetahuan dikategorikan menjadi dua kategori yaitu :
a. Baik, apabila responden memperoleh nilai 21 - 30
b. Sedang, apabila responden memperoleh nilai 11 - 20
c. Kurang, apabila responden memperoleh nilai 0 - 10
2. Sikap
Sikap, menggunakan skala ordinal didasarkan pada 18 pertanyaan dengan
alternatif jawaban : ”sangat setuju” diberi nilai 5, ”setuju” diberi nilai 4,
”ragu-ragu” diberi nilai 3, ”tidak setuju” diberi nilai 2 dan ”sangat tidak setuju” diberi
nilai 1, dengan skor tertingginya adalah 90. Kemudian akumulasi dari total skor
variabel sikap dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu :
a. Mendukung, apabila responden memperoleh nilai 61 - 90
b. Kurang mendukung, apabila responden memperoleh nilai 31 - 60
µ - σ µ + σ
Dilaksanakan Kurang Dilaksanakan
3.6.2. Variabel Dependen
Pengukuran variabel dependen yaitu kesinambungan penanganan
dirumah didasarkan pada skala ordinal dari 18 pertanyaan yang diajukan dengan
menggunakan skala Likert yaitu “selalu” diberi skor 3, “tidak selalu” diberi skor
2, “tidak pernah” diberi skor 1. Kemudian akumulasi dari total skor dari variabel
dependen dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu :
a. Dilaksanakan, jika responden memperolah nilai ≥μ + σ
b. Kurang dilaksanakan, jika responden memperolah nilai ≤μ + σ
Pengukuran pengkategorian tersebut didasarkan pada interval yang
[image:47.595.170.442.351.407.2]menggunakan konsep Azwar (2004) dengan kurva normal, yaitu :
Gambar 3.2. Kurva Normal Pengukuran Kesinambungan Penanganan
Dirumah
Keterangan :
σ = Standar Deviasi dengan rumus :
1 ) ( 2
2
n n x x
μ = Rata-rata dengan rumus :
n x
Tabel 3.1.
Aspek Pengukuran Karakteristik Responden
No. Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 2 3 4 5
1. Umur Kuesioner 1. 20 – 30 thn 2. 30 – 50 thn 3. > 50 thn
Rasio
3. Pendidikan Kuesioner 1. SD 2. SMP 3. SMA
4. Diploma/Sarjana
Ordinal
4. Pekerjaan Kuesioner 1. Ibu Rumah Tangga 2. Pegawai Negeri 3. Pegawai Swasta 4. Wiraswasta
Nominal
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Pengetahuan dan Sikap Responden Terhadap Kesinambungan Penanganan Dirumah
No .
Nama Variabel Alat Ukur Kriteria Jumlah Indikat or
Skala Ukur
1 2 3 4 5 6
1. Pengetahuan Kuesioner 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang
30 Ordinal
2. Sikap Kuesioner 1. Baik 2. Sedang 3. Kurang
18 Ordinal
3. Kesinambungan Kuesioner 1. Dilaksanakan 2. Kurang dilaksanakan
18 Ordinal
3.7. Metode Analisa Data
Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah berupa data kategorik
yang berskala nominal. Analisa data dilakukan dalam usaha untuk mencapai
tujuan penelitian. Analisa data penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap analisis
[image:48.595.94.547.382.559.2]1. Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan untuk menjelaskan karakteristik masing-masing
variabel yang diteliti. Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah data
kategorik, sehingga analisis univariat dilakukan dengan menggunakan
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel yang diteliti.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara 2 variabel,
yaitu variabel independen dan variabel dependen dalam penelitian ini. Uji
yang dilakukan adalah uji Chi- Square pada tingkatkepercayaan 95% (α =
0,05), bila p< 0,05 maka variabel diatas dinyatakan berhubungan secara
signifikan.
3. Analisis Multivariat
Metode analisa data menggunakan uji regresi logistik ganda yaitu salah satu
pendekatan model matematis yang digunakan untuk menganalisis hubungan
satu atau beberapa variable independen dengan sebuah variable dependen
katagorik yang bersifat dikotom/binary, dengan rumus :
Z = α + β1X1 + β2X2 + …… + βiXi
Model logistik dikembangkan dari fungsi logistik dengan nilai Z merupakan
penjumlahan linear