• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stres dan koping lansia di panti werdha upt. Pelayanan sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Stres dan koping lansia di panti werdha upt. Pelayanan sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

STRES DAN KOPING LANSIA DI PANTI WERDHA UPT.

PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA DAN ANAK BALITA

WILAYAH BINJAI DAN MEDAN

SKRIPSI

Oleh

WILDANUL HUSNA KS

091121031

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

PRAKATA

Segala puji kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya yang telah dilimpahkan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat selesai tepat waktu dengan judul “ Stres dan Koping Lansia di Panti Werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia & Anak Balita Wilayah Binjai & Medan ” Di dalam penyusunan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dedi Ardinata, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan

2. Bapak Iwan Rusdi, S.Kp. MNS, selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis

3. Ibu Rosina Tarigan, S.Kp. M.Kep. Sp.KMB, CWCC, selaku Pembimbing II yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis dalam penyusunan skripsi ini

4. Ibu Nur Afi Darti, S.Kp. M.Kep. selaku penguji dalam sidang skripsi ini 5. Seluruh staff dan dosen yang mengajar di Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

6. Kedua orangtua yang telah banyak memberikan dukungan moril dan materil dalam proses penyusunan skripsi ini

7. Seluruh rekan yang ada di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang banyak memberikan bantuan dan dukungan kepada Penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal penulisan maupun isi, oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

4. Aspek fisiologik……….. 43

5. Masalah pisiologik……….. 45

Bab 4. Metodologi Penelitian ……….. 54

1. Desain Penelitian ... 54

2. Populasi Dan Sampel ... 54

3. Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 55

4. Pertimbangan Etik ... 55

5. Instrumen Penelitian ... 56

6. Validitas Instrumen Penelitian ... 57

7. Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 57

(5)

Bab 5. Hasil dan Pembahasan……… 60

1. Hasil Penelitian ... 60

2. Pembahasan………. 65

Bab 6. Kesimpulan dan Saran ... 70

1. Kesimpulan ... 70

2. Saran ………71

Daftar Pustaka Lampiran-lampiran 1. Surat Persetujuan Menjadi Responden ... 74

2. Instrumen Penelitian ... 75

3. Daftar Riwayat Hidup ... 79

4. Daftar Distribusi Frekuensi Stres Lansia ... 80

5. Daftar Distribusi Frekuensi Koping Lansia ... 82

6. Surat Izin Penelitian ... 84

7. Surat Keterangan Penelitian dari Dinas Sosial ... 86

8. Distribusi Frekuensi Data Kuesioner ... 87

9. Master Data ... 90

10.Tabel Validitas ... 91

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

DAFTAR SKEMA

(8)
(9)
(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional, telah diwujudkan hasil yang positif diberbagai bidang yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang medis atau ilmu kedokteran sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan penduduk serta meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibat jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat (Bandiyah, 2009).

(11)

harapan hidup 65-70 tahun dan pada tahun 2020 akan meningkat 11,09% dengan umur harapan hidup 70-75 tahun (Bandiyah, 2009).

Meningkatnya umur harapan hidup dapat dipengaruhi oleh majunya pelayanan kesehatan, menurunnya angka kematian bayi dan anak, perbaikan gizi dan sanitasi, dan meningkatnya pengawasan terhadap penyakit infeksi. Secara individu pada usia di atas 55 tahun terjadi peroses penuaan secara alamiah. Hal ini akan menimbulkan masalah fisik, mental, sosial, ekonomi, dan psikologis. Dengan bergesernya pola perekonomian dari pertanian ke industri maka pola penyakit juga bergeser dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (degeneratif). Faktor yang mempengaruhi ketuaan bisa dikarenakan hereditas (keturunan,genetik), nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres (Nugroho, 2000).

(12)

Kurangnya perhatian yang memadai terhadap populasi lanjut usia ini menciptakan ruang kosong, yang kemudian diisi oleh dunia kedokteran atau medis. Di satu sisi, perhatian besar dari kalangan kedokteran ini harus disambut secara positif oleh dunia keperawatan sehingga masalah kesehatan lanjut usia dapat teratasi. Kesehatan merupakan aspek sangat penting yang perlu diperhatikan pada kehidupan lanjut usia. Semakin tua seseorang, cenderung semakin berkurang daya tahan fisik mereka. Dalam kaitan ini, kajian terhadap keperawatan lanjut usia (keperawatan gerontik dan geriatrik) perlu ditingkatkan (Nugroho, 2008).

(13)

Dalam penelitian ini berdasarkan data dilapangan penyebab stres yang dapat diteliti hanya stres fisik, stres fisiologi, dan stres psikologi atau emosional. Stres merupakan sumber dari berbagai penyakit pada manusia. Apabila stres tidak cepat ditanggulangi atau diatasi dengan baik, maka akan dapat berdampak lebih lanjut seperti mudah terjadi gangguan atau terkena penyakit. Untuk mencegah dan mengatasi stres agar tidak sampai ketahap yang paling berat, maka dapat dilakukan dengan cara: pengaturan diet, istirahat dan tidur, olah raga dan latihan teratur, berhenti merokok, pengaturan waktu, dan lain-lain. Ada juga manajemen stres yang lain adalah dengan cara meningkatkan strategi koping yaitu koping yang berfokus pada emosi dan koping yang berfokus pada masalah (Hidayat, 2004).

Dari survey awal yang ada di panti werdha banyaknya lansia stres dikarenakan merasa tersisih atau dicampakkan di panti werdha, terlantar/ kurangnya perhatian dari keluarga, dan tidak siap karena pensiun dari pekerjaan. Berdasarkan dari data di atas tidak bisa dipungkiri bahwa banyak lansia yang stres dan tidak bisa menerima kalau mereka di tempatkan di panti werdha, kurang siap menerima karena kematian pasangan atau orang yang dia sayangi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang stres dan koping lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai.

1.2. Perumusan masalah

(14)

1.3. Pertanyaan Penelitian.

Adapun pertanyaan penelitian adalah : Bagaimana Stres Dan Koping Lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan.

1.4. Tujuan penelitian

Untuk mengetahui Gambaran Stres Dan Koping Lansia di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai Dan Medan.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak yaitu:

1. Bagi peneliti

Memberi informasi, pengalaman dan menambah pengetahuan peneliti dalam melakukan penelitian, sehingga dapat menjadi pengalaman, dan pengetahuan lebih bagi peneliti.

2. Bagi panti werdha

(15)

BAB 2

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Konsep Stres

Stres dapat didefenisikan sebagai,“respon adaptif, dipengaruhi oleh karakteristik individual dan proses psikologis, yaitu akibat dari tindakan, situasi, atau kejadian eksternal yang menyebabkan tuntutan fisik dan psikologis terhadap seseorang.”(Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam kreitner dan kinicki, 2004).

2.1.1. Model-model stres

Akar dan dampak stres dapat dipelajari dari sisi medis dan model teori prilaku. Model stres ini dapat digunakan untuk membantu pasien mengatasi respon yang tidak sehat dan tidak produktif terhadap stresor.

a) Model berdasarkan respon

Model stres ini menjelaskan respon atau pola respon tertentu yang dapat mengindikasikan stresor. Model stres ini dikemukakan oleh Selye, 1976, menguraikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh terhadap tuntutan yang dihadapinya. Stres ditunjukkan oleh reaksi fisiologis tertentu yang disebut sindrom adaptasi umum (general adaptation syndrome-GAS).

b) Model berdasarkan adaptasi

(16)

1. Kemampuan untuk mengatasi stres, bergantung pada pengalaman seseorang dalam menghadapi stres serupa, sistem pendukung, dan persepsi keseluruhan terhadap stres.

2. Praktek dan norma dari kelompok atau rekan-rekan pasien yang mengalami stres. Jika kelompoknya menganggap wajar untuk membicarakan stresor, maka pasien dapat mengeluhkan atau mendiskusikan hal tersebut. Respon ini dapat membantu proses adaptasi terhadap stres.

3. Pengaruh lingkungan sosial dalam membantu seseorang menghadapi stresor. Seorang mahasiswa yang resah menghadapi ujian akhirnya yang pertama dapat mencari pertolongan dari dosennya. Dosen dapat memberikan penilaian dan selanjutnya memberikan refrensi kepada asisten dosen tertentu yang menurutnya mampu membantu kegiatan belajar mahasiswa tersebut. Dosen dan asisten dosen dalam contoh ini merupakan sumber penurun tingginya stresor yang dialami mahasiswa tersebut.

(17)

untuk mendapatkan askes ke sumber daya yang dapat membantunya mengatasi stresor fisiologis.

c) Model stres berdasarkan stimulus

Model ini berfokus pada karakteristik yang bersifat mengganggu atau merusak dalam lingkungan. Riset klasik yang mengugkapkan stres sebagai stimulus telah menghasilkan skala penyesuaian ulang sosial, yang mengukur dampak dari peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan seseorang terhadap penyakit yang dideritanya (Holmes dan Rahe, 1976). Topik ini akan di bahas lebih lanjut dibagian selanjutnya. Asumsi-asumsi yang mendasari model ini adalah:

1. Peristiwa-peristiwa yang mengubah hidup seseorang merupakan hal normal yang membutuhkan jenis dan waktu penyesuaian yang sama.

2. Orang adalah penerima stres yang pasif; persepsi mereka terhadap suatu peristiwa tidaklah relevan.

3. Semua orang memiliki ambang batas stimulus yang sama dan sakit akan timbul setelah ambang batas tersebut terlampaui. d) Model berdasarkan transaksi.

(18)

psikologis dan kognitif. Stres berasal dari hubungan antara orang dan lingkungannya.

2.1.2. Jenis stres

Di tinjau dari penyebabnya, stres dapat di bedakan ke dalam beberapa jenis berikut:

1. Stres fisik

Stres yang di sebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising sinar matahari atau karena tegangan arus listrik.

2. Stres kimiawi

Stres disebabkan karena zat kimia seperti adanya obat-obatan, zat beracun asam, basa, faktor hormon atau gas dan prinsipnya karena pengaruh senyawa kimia.

3. Stres mikrobiologi

Stres disebabkan karena kuman seperti adanya virus, bakteri atau parasit.

4. Stres fisiologik

Stres disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh diantaranya gangguan dan struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain. 5. Stres proses pertumbuhan dan perkembangan

(19)

6. Stres psikis dan emosional

Stres disebabkan karena gangguan situasi psikologis atau ketidak mampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti hubungan interpersonal, sosial budaya atau faktor keagamaan (Hidayat, 2008).

Kondisi stres psikologis yang terjadi pada seorang lansia dan berkelanjutan akan mengakibatkan depresi jika pertahanan koping seseorang tidak kuat. Menurut penelitian di Amerika, 1 dari 20 orang di Amerika setiap tahun mengalami depresi dan paling tidak 1 dari 5 orang pernah mengalami depresi sepanjang kehidupan mereka. Di Indonesia kasus depresi terjadi akibat adanya krisis ekonomi atau keuangan dan masalah pekerjaan.

2.1.3. Sumber stresor

Sumber stresor merupakan asal dari penyebab suatu stres yang dapat mempengaruhi sifat dari stresor seperti lingkungan, baik secara fisik, psikososial maupun spiritual. Sumber stresor lingkungan fisik dapat berupa fasilitas-fasilitas seperti air minum, makan, atau tempat-tempat umum sedangan lingkungan psikososial dapat berupa suara atau sikap kesehatan atau orang yang ada disekitarnya, sedangakan lingkungan spiritual dapat berupa tempat pelayanan keagamaan seperti fasilitas ibadah atau lainnya.

(20)

atau lainnya. Sedangkan sumber stresor dari pikiran adalah berhubungan dengan penilaian seseorang terhadap status kesehatan yang dialami serta pengaruh terhadap dirinya.

Selain sumber stresor di atas, stres yang dialami manusia dapat berasal dari berbagai sumber dari dalam diri seseorang, keluarga dan lingkungan.

a. Sumber stres di dalam diri

Sumber stres dalam diri sendiri pada umumnya dikarenakan konflik yang terjadi antara keinginan dan kenyataan berbeda, dalam hal ini adalah berbagai permasalahan yang terjadi yang tidak sesuai dengan dirinya dan tidak mampu di atasi, maka dapat menimbulkan suatu stres.

b. Sumber stres di dalam keluarga

Stres ini bersumber dari masalah keluarga ditandai dengan adanya perselisihan masalah keluarga, masalah keuangan serta adanya tujuan yang berbeda diantara keluarga permasalahan ini akan selalu menimbulkan suatu keadaan yang dinamakan stres.

c. Sumber stres di dalam masyarakat dan lingkungan

(21)

pengakuan di masyarakat sehingga tidak dapat berkembang (Hidayat, 2004).

2.1.4. Tahapan Stres

Menurut Robert J.Van Amberg,1979 (Hidayat, 2008), stres dapat di bagi kedalam enam tahap berikut:

a. Tahap pertama

Tahap ini merupakan tahapan stres yang paling ringan dan biasanya di tanadai dengan munculnya semangat yang berlebihan, penglihatan lebih “tajam”dari biasanya, dan biasanya (namun tanpa disadari cadangan energi dihabiskan dan timbulnya rasa gugup yang berlebihan).

b. Tahap kedua

Pada tahap ini, dampak stres yang semula menyenangkan mulai menghilang dan timbul keluhan-keluhan karena habisnya cadangan energi. Keluhan-keluhan yang sering dikemukakan antara lain merasa letih sewaktu bangun pagi dalam kondisi normal, badan (seharusnya terasa segar), mudah lelah sesudah makan siang, cepat lelah menjelang sore, sering mengeluh lambung atau perut tidak nyaman, jantung berdebar-debar, otot punggung dan tengkuk terasa tegang dan tidak bisa santai.

c. Tahap ketiga

(22)

usus (gastritis atau maag, diare), ketegangan otot semakin terasa, perasaan tidak tenang, gangguan pola tidur (sulit untuk mulai tidur, terbangun tengah malam dan sukar kembali tidur, atau bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali), tubuh terasa lemah seperti tidak bertenaga.

d. Tahap empat

Orang yang mengalami tahap-tahap stres di atas ketiga memeriksakan diri ke dokter sering kali dinyatakan tidak sakit karena tidak ditemukan kelainan-kelainan fisik pada organ tubuhnya. Namun pada kondisi berkelanjutan, akan muncul gejala seperti ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas rutin karena perasaan bosan, kehilangan semangat, terlalu lelah karena gangguan pola tidur,kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya.

e. Tahap kelima

Tahap ini ditandai dengan kelelahan fisik yang sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.

f. Tahap keenam

(23)

berdetak semakin cepat, kesulitan untuk bernapas, tubuh gemetar dan berkeringat, dan adanya kemungkinan terjadi kolaps atau pingsan.

2.1.5. Manajemen Stres

Adapun beberapa manajemen stres menurut ( Hidayat, 2004 ) terdiri dari: a. Pengaturan Diet dan Nutrisi

pengaturan diet dan nutrisi merupakan cara yang efektif dalam mengurangi atau mengatasi stres melalui makan dan minum yang halal dan tidak berlebihan, dengan mengatur jadwal makan secara teratur, menu bervariasi, hindari makan dingin dan monoton karena dapat menurunkan kekebalan tubuh.

b. Istrahat dan Tidur

Istrahat dan tidur merupakan obat yang baik dalam mengatasi stres karena dengan istrahat dan tidur yang cukup akan memulihkan keletihan fisik dan akan memulihkan keadaan tubuh. Tidur yang cukup akan memberikan kegairahan dalam hidup dan memperbaiki sel-sel yang rusak.

c. Olah Raga atau Latihan Teratur

(24)

d. Berhenti Merokok

Berhenti merokok adalah bagian dari cara menanggulangi stres karena dapat meningkatkan status kesehatan dan mempertahankan ketahanan dan kekebalan tubuh.

e. Tidak Mengkonsumsi Minuman Keras

Minuman keras merupakan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan terjadinya stres. Dengan tidak mengkonsumsi minuman keras, kekebalan dan ketahanan tubuh akan semakin baik, segala penyakit dapat dihindari karena minuman keras banyak mengandung alkohol.

f. Pengaturan Berat Badan

Peningkatan berat badan merupakan faktor yang dapat menyebabkan timbulnya stres karena mudah menurunkan daya tahan tubuh terhadap stres. Keadaan tubuh yang seimbang akan meningkatkan ketahanan dan kekebalan tubuh terhadap stres. g. Pengaturan waktu

(25)

menghasilkan sesuatu dan jangan biarkan waktu berlalu tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.

h. Terapi psikofarmaka

Terapi ini dengan menggunakan obat-obatan dalam mengatasi stres yang dialami dengan cara memutuskan jaringan antara psiko neuro dan imunologi sehingga stresor psikososial yang dialami tidak mempengaruhi fungsi kognitif afektif atau psikomotor yang dapat mengganggu organ tubuh yang lain. Obat-obatan yang biasanya digunakan adalah anti cemas dan anti depresi.

i. Terapi somatik

Terapi ini hanya dilakukan pada gejala yang ditimbulkan akibat stres yang di alami sehingga diharapkan tidak dapat menggangu sistem tubuh yang lain.

j. Psikoterapi

(26)

k. Terapi psikoreligius

Terapi ini dengan menggunakan pendekatan agama dalam mengatasi permasalahan psikologis mengingat dalam mengatasi atau mempertahankan kehidupan seseorang harus sehat secara fisik, psikis, sosial dan sehat spiritual sehingga stres yang dialami dapat diatasi.

(27)

2.2 KOPING

Akibat stres yang berkepanjangan adalah terjadinya kelelahan baik fisik maupun mental, yang pada akhirnya melahirkan berbagai macam keluhan/gangguan. Individu menjadi sakit, namun sering kali penyebab sakitnya tidak diketahui secara jelas karena individu yang bersangkutan tidak menyadari lagi tekanan/stres yang dialaminya. Tanpa disadari, individu menggunakan jenis penyesuaian diri yang kurang tepat dalam menghadapi stresnya. Teori sindrom adaptasi umum yang dijelaskan pada bab sebelumnya memberikan pemahaman mengenai mekanisme tersebut.

Sebaliknya, bila individu mampu menggunakan cara-cara penyesuaian diri yang sehat/baik/sesuai dengan stres yang dihadapi, meskipun stres/tekanan tersebut tetap ada, individu yang bersangkutan tetaplah dapat hidup secara sehat. Bahkan tekanan-tekanan tersebut akhirnya justru akan memungkinkan individu untuk memunculkan potensi-potensi manusiawinya dengan optimal. Penyesuaian diri dalam menghadapi stres, dalam konsep kesehatan mental di kenal dengan istilah koping.

2.2.1. Pengertian Dan Jenis-jenis koping

(28)

tersebut di pertahankan dan langsung di serap ke dalam bahasa Indonesia untuk membantu memahami bahwa coping (koping) tidak sederhana makna harafiahnya saja. Koping sering disamakan dengan adjustment (penyesuaian diri). Koping juga sering dimaknai sebagai cara untuk memecahkan masalah (problem solving). Pengertian koping memang dekat dengan kedua istilah di atas, namun sebenarnya agak berbeda. Pemahaman adjustment biasanya merujuk pada penyesuaian diri dalam menghadapi kehidupan sehari-hari. Pemecahan masalah lebih mengarah pada proses kognitif dan persoalan yang juga bersifat kognitif. Koping itu sendiri dimaknai sebagai apa yang di lakukan oleh individu untuk menguasai situasi yang dinilai sebagai suatu tantangan/luka/kehilangan/ ancaman. Jadi koping lebih mengarah pada yang orang lakukan untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang penuh tekanan atau yang membangkitkan emosi. Atau dengan kata lain, koping adalah bagaimana reaksi orang ketika menghadapi stress/tekanan.

(29)

Lazarus membagi koping menjadi dua jenis, yaitu: 1.Tindakan langsung (Direct Action)

Koping jenis ini adalah setiap setiap usaha tingkah laku yang dijalankan oleh individu untuk mengatasi kesakitan atau luka, ancaman atau tantangan dengan cara mengubah hubungan yang bermasalah dengan lingkungan. Individu menjalankan koping jenis direct action atau tindakan langsung bila dia melakukan perubahan posisi terhadap masalah yang dialami.

Ada 4 macam koping jenis tindakan langsung: a. Mempersiapkan diri untuk menghadapi luka

(30)

anak mereka menjadi lebih kebal terhadap kemungkinan mengalami penyakit tertentu.

b. Agresi

Agresi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dengan menyerang agen yang dinilai mengancam atau akan melukai. Agresi dilakukan bila individu merasa/menilai dirinya lebih kuat/berkuasa terhadap agen yang mengancam tersebut. Misalnya, tindakan penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah Jakarta terhadap penduduk yang berada dipemukiman kumuh. Tindakan tersebut tergolong ke dalam agresi, dan tindakan tersebut bisa dilakukan karena pemerintah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding dengan penduduk setempat yang digusur.

c. Penghindaran (avoidance)

Tindakan ini terjadi bila agen yang mengancam dinilai lebih berkuasa dan berbahaya sehingga individu memilih cara menghindari atau menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Misalnya, penduduk yang melarikan diri dari rumah-rumah mereka karena takut akan menjadi korban pada daerah-daerah konflik seperti Aceh. d. Apati

(31)

bergerak dan menerima begitu saja agen yang melukai dan tidak ada usaha apa-apa untuk melawan ataupun melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut. Misalnya, pada kerusuhan Mei. Orang-orang China yang menjadi korban umumnya tutup mulut, tidak melawan dan berlaku pasrah terhadap kejadian biadab yang menimpa mereka. Pola apati terjadi bila baik tindakan mempersiapkan diri menghadapi luka, agresi maupun avoidance sudah tidak memungkinkan lagi dan situasinya

terjadi berulang-ulang. Dalam kasus diatas, orang-orang China sering kali dan berulang kali menjadi korban ketika menjadi kerusuhan sehingga menimbulkan reaksi apati di kalangan mereka.

2.Peredaan atau peringanan (Palliation)

(32)

Ada 2 macam koping jenis peredaran/palliation : a. Diarahkan Pada Gejala (Sympton Directed Modes)

Macam koping ini digunakan bila gangguan gejala-gejala gangguan muncul dari diri individu, kemudian individu melakukan tindakan dengan cara mengurangi gangguan yang berhubungan dengan emosi-emosi yang disebabkan oleh tekanan atau ancaman tersebut. Penggunaan obat-obat terlarang, narkotika, merokok, alkohol merupakan bentuk koping dengan cara diarahkan pada gejala. Namun tidak selamanya cara ini bersifat negatif. Melakukan relaksasi, meditasi atau berdoa untuk mengatasi ketegangan juga tergolong ke dalam symptom directed modes tetapi bersifat positif.

b. Cara Intrapsikis (Intrapsychic Modes)

Koping jenis peredaran dengan cara intrapsikis adalah dengan cara-cara yang menggunakan perlengkapan psikologis kita, yang biasa dikenal dengan istilah Defense mechanism (mekanisme pertahanan diri).

Macam-macam Defense Mechanism : 1) Identifikasi

(33)

2) Pengalihan

Yaitu memindahkan reaksi dari objek yang mengancam ke objek yang lain karena objek yang asli tidak ada atau berbahaya bila diagresi secara langsung. Misalnya, seorang bawahan dimarahi oleh atasannya di kantor. Bawahan tersebut kemudian memarahi istrinya dirumah karena tidak berani membantah atasannya. Istri kemudian memarahi anaknya. Ini merupakan contoh klasik dari displacement. 3) Represi

Impuls-impuls tersebut tidak dapat diekspresikan secara sadar/langsung dalam tingkah laku. Misalnya, dorongan seksual karena dianggap tabu lalu ditekan begitu saja kedalam ketidaksadaran. Dorongan tersebut lalu muncul dalam bentuk mimpi.

4) Denial

(34)

yang salah, sedangkan agama/kepercayaan yang dijalani merupakan satu-satunya yang benar merupakan contoh lain mekanisme denial, karena sebenarnya individu yang fanatik tersebut merasa terancam dengan adanya keyakinan lain, yang berpotensi mengancam integritas keyakinannya sendiri.

5) Reaksi Formasi

Yaitu dorongan yang mengancam diekspresikan dalam bentuk tingkah laku secara terbalik. Contoh klasik dari pertahanan diri jenis ini adalah orang yang sebenarnya mencintai, namun dalam tingkah laku memunculkan tindakan yang seolah-olah membenci orang yang dicintai. 6) Proyeksi

Yaitu mengatribusikan/menerapkan dorongan-dorongan yang dimiliki pada orang lain karena dorongan-dorongan tersebut mengancam integritas. Misalnya, A mencintai B, namun karena cinta yang dirasakan itu mengancam harga dirinya, lalu A menyatakan bahwa B-lah yang mencintainya.

7) Rasionalisasi/intelektualisasi

(35)

manusia hanya bisa terjadi lewat cara-cara damai, namun tidak sedikit pula orang yang mengakui hal di atas, mendukung jalan kekerasan untuk mencapai tujuan mereka. 8) Sublimasi

Yaitu dorongan atau impuls yang ditransformasikan menjadi bentuk-bentuk yang diterima secara sosial sehingga dorongan atau impuls tersebut menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda dari dorongan atau impuls aslinya. Contoh sublimasi adalah orang yang memiliki dorongan seks yang kuat lalu menggunakan energi tersebut untuk menjadi sumber dari dorongan religiusnya, sehingga dia mengalami pengalaman mistik dan mampu bekerja bagi kemanusiaan, karena pada dasarnya religiusitas memiliki persamaan/kaitan dengan seksualitas yaitu dalam hal pengalaman penyatuan/peleburan.

Pada dasarnya mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) terjadi tanpa disadari dan bersifat membohongi

(36)

ahli menyatakan bahwa koping jenis defense mechanism merupakan koping yang tidak sehat (kecuali sublimasi).

Defense mechanism yang tidak disadari, akan dapat

disadari melalui refleksi diri yang terus menerus. Dengan cara begitu individu bisa mengetahui jenis mekanisme pertahanan diri yang biasa dilakukan dan kemudian menggantinya dengan koping yang lebih konstruktif.

2.2.2. Jenis-Jenis Koping Yang Konstruktif Atau Positif (Sehat)

Harber & Runyon (1984) menyebutkan jenis-jenis koping yang dianggap konstruktif, yaitu:

1. Penalaran (Reasoning)

Yaitu penggunaan kemampuan kognitif untuk mengeksplorasi berbagai macam alternatif pemecahan masalah dan kemudian memilih salah satu alternatif yang dianggap paling menguntungkan. Individu secara sadar mengumpulkan berbagi informasi yang relevan berkaitan dengan soal yang dihadapi, kemudian membuat alternatif-alternatif pemecahannya, kemudian memilih alternatif yang paling menguntungkan dimana resiko kerugiannya paling kecil dan keuntungan yang diperoleh paling besar.

2. Objektifitas

(37)

maupun tingkah laku. Kemampuan ini juga meliputi kemampuan untuk membedakan antara pikiran-pikiran yang berhubungan dengan persoalan yang tidak berkaitan. Kemampuan untuk melakukan koping jenis objektifitas mensyaratkan individu yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk mengelola emosinya sehingga individu mampu memilah dan membuat keputusan yang tidak semata didasari oleh pengaruh emosi.

3. Konsentrasi

Yaitu kemampuan untuk memusatkan perhatian secara penuh pada persoalan yang sedang dihadapi. Konsentrasi memungkinkan individu untuk terhindar dari pikiran-pikiran yang mengganggu ketika berusaha untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Pada kenyataanya, justru banyak individu yang tidak mampu berkonsentrasi ketika menghadapi tekanan. Perhatian mereka malah terpecah-pecah dalam berbagai arus pemikiran yang justru membuat persoalan menjadi semakin kabur dan tidak terarah.

4. Humor

(38)

manusiawinya, sehingga persoalan diartikan secara baru, yaitu sebagai persoalan yang biasa, wajar dan dialami oleh orang lain juga.

5. Supresi

Yaitu kemampuan untuk menekan reaksi yang mendadak terhadap situasi yang ada sehingga memberikan cukup waktu untuk lebih menyadari dan memberikan reaksi yang lebih konstruktif. Koping supresi juga mengandaikan individu memiliki kemampuan untuk mengelola emosi sehingga pada saat tekanan muncul, pikiran sadarnya tetap bisa melakukan kontrol secara baik. Berhitung sampai sepuluh ketika mulai merasakan emosi marah, sehingga kepala menjadi dingin kembali sehingga mampu memikirkan alternatif tindakan yang lebih baik, merupakan contoh supresi.

6. Toleransi terhadap Kedwiartian atau Ambiguitas

Yaitu kemampuan untuk memahami bahwa banyak hal dalam kehidupan yang bersifat tidak jelas dan oleh karenanya perlu memberikan ruang bagi ketidak jelasan tersebut. Kemampuan melakukan toleransi mengandaikan individu sudah memiliki perspektif hidup yang matang, luas dan memiliki rasa aman yang cukup.

7. Empati

(39)

merasakan apa yang dihayati dan dirasakan oleh orang lain. Kemampuan empati ini memungkinkan individu mampu memperluas dirinya dan menghayati perspektif pengalaman orang lain sehingga individu yang bersangkutan menjadi semakin kaya dalam kehidupan batinnya.

APA (1994) yang menerbitkan DSM-IV juga menyebutkan sejumlah koping yang sehat yang merupakan bentuk penyesuaian diri yang paling tinggi dan paling baik (high adaptive level) dibandingkan dengan jenis koping lainnya. Selain supresi, sublimasi, dan humor seperti yang telah disebutkan di muka, jenis koping yang sehat lainnya adalah:

1. Antisipasi

Antisipasi berkaitan dengan kesiapan mental individu untuk menerima suatu perangsang. Ketika individu berhadap dengan konflik-konflik emosional atau pemicu stres baik dari dalam maupun dari luar, dia mampu mengantisipasi akibat-akibat dari konflik atau stres tersebut dengan cara menyediakan alternatif respon atau solusi yang paling sesuai.

2. Afiliasi

(40)

sumber-sumber dari orang lain untuk mendapatkan dukungan dan pertolongan. Koping afiliasi ini meliputi kemampuan untuk dapat membagikan masalah yang dihadapi dengan orang lain sehingga secara tidak langsung membuat orang lain turut merasa bertanggung jawab terhadap persoalan/konflik/stres yang dihadapi.

3. Altruisme

(41)

4. Penegasan diri (self assertion)

Individu berhadapan dengan konflik emosional yang menjadi pemicu stres dengan cara mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya secara lengsung tetapi dengan cara yang tidak memaksa atau memanipulasi orang lain. Menjadi asertif tidak sama dengan tindakan agresi. Asertif adalah menegaskan apa yang dirasakan, dipikirkan oleh individu yang bersangkutan, namun dengan menghormati pemikiran dan perasaan orang lain. Dewasa ini pelatihan-pelatihan dibidang asertifitas mulai banyak dilakukan untuk memperbaiki relasi antar manusia.

5. Pengamatan diri (Self observation)

(42)

2.3. Proses Menua

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan-gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proforsional (Nugroho, 2008).

(43)

dapat mempengaruhi kemandirian dan kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksualnya.

Proses menua merupakan proses yang terus menerus/berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit. Kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama. Adakalanya seseorang belum tergolong lanjut usia/masih muda, tetapi telah menunjukkan kekurangan yang mencolok (deskripansi). Adapula orang yang sudah lanjut usia, penampilannya masih sehat, segar bugar, dan badan tegap. Walaupun demikian, harus diakui bahwa ada berbagai penyakit yang sering dialami lanjut usia. Manusia secara lambat dan progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan menempuh semakin banyak distorsi meteoritik dan struktural yang disebut sebagai penyakit degeneratif (mis: hipertensi, arteriosklerosis, diabetes militus dan kanker) yang akan menyebabkan berakhirnya hidup dengan episode terminal yang dramatis, misalnya stroke, infark miokard, koma asidotik, kanker metastatis dan sebagainya.

(44)

Secara umum, proses menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat universal, intrinsik, progresif, dan detrimental. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Berikut akan dikemukakan bermacam-macam teori proses menua yang penting.

2.3.1. Teori Proses Menua

Proses menua bersifat individual: 1.

2.

Tahap proses menua terjadi pada orang dengan usia berbeda.

3.

Setiap lanjut usia mempunyai kebiasaan yang berbeda.

a.

Tidak ada satu faktor pun yang ditemukan dapat mencegah proses menua.

1.

Teori Biologis

Teori Genetik

Teori genetik clock. Teori ini merupakan teori intrinsik yang

(45)

Manusia mempunyai umur harapan hidup nomor dua terpanjang setelah bulus. Secara teoretis, memperpanjang umur mungkin terjadi, meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit dengan pemberian obat-obatan atau tindakan tertentu.

2.

Teori mutasi somatik Menurut teori ini, penuaan terjadi

karena adanya mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi keselahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam proses translasi RNA protei/enzim. Kesalahan ini terjadi terus-menerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel menjadi kanker atau sel menjadi penyakit. Setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin sehingga terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Suhana, 1994; Constantinides, 1994).

Teori nongenetik

Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune

theory).

(46)

merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit auto-imun pada lanjut usia (Goldstein, 1989). Dalam proses metababolisme tubuh, diproduksi suatu zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa berinvolusi dan sejak itu terjadi kelainan autoimun.

Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical

theory).

1.

Teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas atdan di dalam tubuh karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan di dalam mitikondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak dapat bergenerasi (Halliwel, 1994). Radikal bebas dianggap sebagai penyabab penting terjadinya kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat dilingkungan seperti:

2.

(47)

3. 4.

Zat pengawet makanan

5.

Radiasi

Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua.

Teori menua akibat metabolisme. Telah dibuktikan dalam

berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan kegemukan dapat memperpendek umur (Bahri dan Alem, 1989; Boedhi Darmojo, 1999).

Teori rantai silang (cross link theory). Teori ini menjelaskan

bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses menua.

Teori fisiologis. Teori ini merupakan teori intrinsik dan

ekstrinsik. Terdiri atas teori oksidasi stres, dan teori dipakai-aus (wear and tear theory). Disini terjadi kelebihan usaha dan stres

(48)

b. Teori Sosiologis

1.

Teori Sosiologis tentang proses menua yang dianut selama ini antara lain :

Teori Interaksi Sosial

Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Kemampuan lanjut usia untuk terus menjalin interaksi sosial merupakan kunci mempertahankan status sosialnya berdasarkan kemampuannya bersosialisasi.

1.

Pokok-pokok social exchange theory antara lain:

2.

Masyarakat terdiri atas aktor sosial yang berupaya mencapai tujuannya masing-masing.

3.

Dalam upaya tersebut, terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan waktu.

2.

Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai, seorang actor mengeluarkan biaya.

1.

Teori aktivitas atau kegiatan

(49)

2.

3.

Lanjut usia akan merasakan kepuasan bila dapat melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama mungkin.

4.

Ukuran optimum (pola hidup) dilanjutkan pada cara hidup lanjut usia.

3.

Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan sampai lanjut usia.

Teori kepribadian berlanjut (continuity theory)

4.

Dasar kepribadian atau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini merupakan gabungan teori yang disebutkan sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seorang lanjut usia sangat dipengaruhi oleh tipe personalitas yang dimilikinya. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lanjut usia. Dengan demikian, pengalaman hidup seseorang suatu saat merupakan gambarannya kelak pada saat ia menjadi lanjut usia. Hal ini dapat dilihat dari gaya hidup, perilaku, dan harapan seseorang ternyata tidak berubah, walaupun ia telah lanjut usia.

Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement theory)

(50)

1.

Teori yang pertama diajukan oleh Cumming dan Henry (1961). Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambah lanjutnya usia, apalagi ditambah dengan adanya kemiskinan, lanjut usia secara berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga sering lanjut usia mengalami kehilangan ganda (triple loss):

2.

Kehilangan peran (loss of role).

3.

Hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship).

Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values)

Menurut teori ini, seorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat memusatkan diri pada persoalan pribadi dan mempersiapkan diri menghadapi kematiannya.

Dari penyebab terjadinya proses menua tersebut, ada beberapa peluang yang memungkinkan dapat diintervensi agar proses menua dapat diperlambat.

1.

(51)

2. 3.

Memanipulasi sistem imun tubuh.

Melalaui metabolism/makanan, memang berbagai “misteri kehidupan masih banyak yang belum bisa terungkap, proses menua merupakan salah satu misteri yang paling sulit dipecahkan”. Selain itu, peranan faktor resiko yang datang dari luar (eksogen) tidak boleh dilupakan, yaitu faktor lingkungan dan budaya gaya hidup yang salah. Banyak faktor yang memengaruhi proses menua (menjadi tua), antara lain herediter/genetik, nutrisi/makanan, status kesehatan, pengalaman hidup, lingkungan, dan stres. Jadi, proses menua/menjadi lanjut usia bukanlah suatu penyakit, karena orang meninggal bukan karena tua, orang muda pun bisa meniggal dan bayi pun bisa meninggal. Banyak mitos mengenai lanjut usia yang sering merugikan atau bernada negatif, tetapi sangat berbeda dengan kenyataan yang dialaminya (Nugroho, 2008).

2.3.2. Aspek Fisiologik Dan Patologik Akibat Proses Menua

Perubahan akibat proses menua dan usia biologis

(52)

walaupun penelitian oleh svanborg et al menyatakan bahwa penurunan tersebut tidak sedramatis seperti di atas, tetapi memang terdapat penurunan yang fungsional yang nyata setelah usia 70 tahun. Sebenarnya lebih tepat bila di katakan bahwa penurunan anatomik dan fungsi organ tersebut tidak di kaitkan dengan umur kronologik akan tetapi dengan umur biologiknya. Dengan perkataan lain, mungkin seseorang dengan usia kronologik baru 55 tahun, tetapi sudah menunjukkan berbagai penurunan anatomik dan fungsional yang nyata akibat ”umur biologik”nya yang sudah lanjut sebagai akibat tidak baiknya faktor nutrisi, pemeliharaan kesehatan, dan kurangnya aktivitas.

Penurunan anatomik dan fungsional dari organ-organ tersebut akan menyebabkan lebih muda timbulnya penyakit pada organ tersebut (predileksi). Batas antara penurunan fungsional dan penyakit seringkali para ahli lebih suka menyebutnya sebagai suatu perburukan gradual yang manifestasinya pada organ tergantung pada ambang batas tertentu dari organ tersebut dan pada dasarnya tergantung atas:

Derajat kecepatan terjadinya perburukan atau deteriorisasi Tingkat tampilan organ yang dibutuhkan

(53)

mungkin masih menunjukkan nilai gula darah normal pada saat puasa, akan tetapi mungkin menunjukkan nilai gula darah normal pada saat puasa, akan tetapi mungkin menunjkkan nilai yang abnormal tinggi dengan pembebanan glukosa. Oleh karena itu pengguna tes darah 2 jam post pradial kurang memberikan arti ketimbang nilai gula darah puasa.

Perubahan yang terjadi pada lanjut usia kadang bekerja bersama-sama untuk menghasilkan nilai fungsional yang terlihat normal pada lansia. Sebagai contoh, walaupun filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal sudah menurun, banyak lansia menunjukkan nilai kreatinin serum dalam batas normal. Ini disebabkan karena masa otot “bersih”dan produksi kreatinin yang sudah menurun pada usia lanjut. Oleh karena itu pada usia lanjut kreatinin serum tidak begitu tepat uuntuk dijadikan sebagai indikator fungsi ginjal dibanding dengan pada usia muda. Oleh karena fungsi ginjal sangat penting untuk menentukan berbagai hal (pemberian obat, nutrisi, dan prognosis penyakit), maka diperlukan cara lain untuk menentukan parameter fungsi ginjal. Pada lansia oleh karenanya dianjurkan memakai formula Cocroft-gault.

2.3.3.Tinjauan masalah psikologik pada lansia

(54)

satu sama lain. Dulu hal ini diduga dapat mensukseskan proses menua. Anggapan ini bertentangan dengan pendapat-pendapat sekarang, yang justru menganjurkan masih tetap ada social involvement (keterlibatan sosial) yang dianggap lebih penting dan meyakinkan. Masyarakat sendiri menyambut hal ini secara positif. Contoh yang dapat dikemukakan umpama dalam bidang pendidikan, yang masih tetap ditingkatkan pada usia lanjut ini untuk menaikkan intelegensi dan memperluas wawasannya (Broklehurst dan allen, 1987). Dinegara-negara industri maju bahkan didirikan apa yang disebut university of the thrird age. Pemisahan diri (disengagement) baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistic dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya yang baru.

Karena telah lanjut usia mereka seringkali dianggap terlalu lamban, dengan daya reaksi yang lamabat dan kesigapan dan kecpatan bertindak dan berfikir yang menurun. Meskipun kinerja mereka banyak yang masih baik. Banyak contoh-contoh historis, seperti antara lain: G.Verdi, Goethe, Andre Topolev, Galilei, Laplace, Eisenhower, Churchill, R.Reagan yang masih Berjaya dan sangat produktif pada bidangnya masing-masing pada usia yang sangat lanjut (lebih dari 70 tahun).

(55)

yang menggunakan waktu menulis buku ilmiah, maupun memorinya sendiri.

Stereotype psikologik orang lanjut usia

1.

Biasanya sifat-sifat streotipe para lansia ini sesuai dengan pembawaanya pada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah sebagai berikut:

2.

Tipe konstruktif: orang ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidupnya, mempunyai toleransi tinggi, humoristic, fleksibel (luwes) dan tahu diri. Biasanya sifat-sifat ini dibawanya sejak muda. Mereka dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami pension dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir.

3.

Tipe ketergantungan (dependent): orang lansia ini masih dapat di terima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tak berambisi, masih tahu diri, tak mempunyai inisiatif dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini di kuasai istrinya. Ia senang mengalami pension, malahan biasanya banyak makan dan minum, tidak suka bekerja dan senang untuk berlibur.

(56)

4.

5.

Tipe bermusuhan (hostility): mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalanya, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri hati pada orang yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan-pekerjaan aktif untuk menghindari masa yang sulit/buruk.

(57)

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konseptual penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana gambaran stres dan koping lansia dipanti werdha binjai. Kerangka konseptual penelitian ini menjelaskan adanya stres dan koping lansia di panti werdha Binjai, yang mempunyai sub variabel dari stres yaitu: stres fisik, stres fisiologik, stres psikis atau emosional yang akan di teliti. Dan koping yang mempunyai sub variabel terdiri dari: tindakan langsung (direct action), dan peredaan atau peringanan (palliation).

3.2 Bagan Kerangka Konsep

Skema : Kerangka konsep penelitian

Keterangan :

: Tidak diteliti

: : Yang diteliti Lansia di panti werda

Stres

4.stres kimiawi 5.stres mikrobiologi

6.stres proses pertumbuhan dan perkembangan

Koping

1.Tindakan langsung (Direct Aktion)

2.Peredaan atau Peringanan (palliation)

1.stres fisik 2. stres fisiologik

(58)

3.3 Defenisi Konseptual

Stres adalah Respon tubuh yang tidak spesifik terhadap setiap kebutuhan tubuh yang terganggu, suatu fenomena yang universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat di hindari, setiap orang mengalaminya, stres memberi dampak secara total pada individu yaitu terhadap fisik, psikologis, intelektual, sosial, dan spiritual, stres dapat mengancam keseimbangan fisiologis. Stres emosi dapat menimbulkan perasaan negatif atau destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain. Stres intelektual akan mengganggu persepsi dan kemampuan seseorang dalam menyelesaikan masalah, stres sosial akan mengganggu hubungan individu terhadap kehidupan (Hans Selye, 1956; Davis, at all. 1989; Barbara Kozier, et all, 1989) sumber (hidayat, 2006).

1. Stres fisik

Stres yang disebabkan karena keadaan fisik seperti karena temperatur yang tinggi atau yang sangat rendah, suara yang bising sinar matahari atau karena tegangan arus listrik.

2. Stres fisiologik

Stres disebabkan karena gangguan fungsi organ tubuh di antaranya gangguan dan struktur tubuh, fungsi jaringan, organ dan lain-lain. 3. Stres psikis dan emosional

(59)

Koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi penuh dengan tekanan. Koping tersebut adalah merupakan respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik, maupun psikologik. Secara alamiah baik disadari ataupun tidak, individu sesungguhnya telah menggunakan strategi koping dalam menghadapi stres. Strategi koping adalah cara yang dilakukan untuk merubah lingkungan atau situasi atau menyelesaikan masalah yang sedang dirasakan/dihadapi. Koping diartikan sebagai usaha perubahan kognitif dan perilaku secara konstan untuk menyelesaikan stres yang dihadapi (Rasmun, 2004).

1.Tindakan langsung (Direct Action)

Koping jenis ini merupakan usaha tingkah laku yang dilakukan oleh lansia yang berada di panti werdha UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai untuk mengatasi masalah, ancaman atau tantangan dengan cara mempersiapkan diri menghadapi masalah yang akan datang, menghadapi masalah yang ada, menghindari masalah, menerima masalah tanpa ada respon.

2. Peredaan atau peringanan (Palliation)

(60)

3.4 Defenisi Oprasional

Lansia adalah seseorang yang sudah tua yang berada di panti werdha yang mengalami perubahan cara berfikir, perubahan daya tahan tubuh yang semakin melemah, pola hidup/cara bergaul (berteman) dengan seusianya.

Stres adalah gangguan kejiwaan yang bersifat sementara yang terjadi pada setiap orang karena rasa tertekan, tersisih (terbuang), dan mempunyai masalah yang tidak dapat terselesaikan sehingga menjadi beban fikiran.

Stres fisik adalah setres yang disebabkan oleh lingkungan yang tidak nyaman, suara yang bising, sinar matahari yang terlalu sangat menyengat, dan lain-lain.

Stres fisiologis adalah stres yang disebabkan oleh gangguan pencernaan, gangguan organ tubuh di karenakan oleh penyakit yang sedang di derita, dan lain-lain.

Stres psikis atau emosional adalah stres yang disebabkan rasa takut, cemas, proses penyesuaian diri dengan lingkungan, dan spiritual keagamaan.

Koping adalah suatu cara seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi, dengan cara menyesuaikan diri terhadap lingkungan, berbicara kepada orang yang di percaya/curhat, mencari informasi tentang masalah tersebut, dan mencari kesibukan agar tidak terpokus ke permasalahan tersebut.

Tindakan langsung (Direct Action)

(61)

menyerang sesuatu yang dinilai dapat mengancam atau akan melukai, penghindaran, atau putus asa.

Peredaan atau peringanan (Palliation)

Koping jenis ini adalah salah satu bentuk usaha yang bertujuan untuk mengurangi, menghilangkan, menoleransi tekanan-tekanan tubuh, saraf, maupun tekanan emosi yang di bangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Seperti mengidentifikasi, pengalihan, melakukan bloking atau menolak, setiap masalah muncul.

(62)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain penelitian

Desain yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran stres lansia di Panti Werdha Binjai dan koping lansia di Panti Werdha Binjai.

4.2. Populasi dan sampel

4.2.1.Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti (Aziz Alimul,2003). Seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut juga dipelajari, bukan hanya objek atau subjek saja (Hidayat, 2007). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai sebanyak 157 orang yang terdiri dari 77 orang pria dan 80 orang wanita .

4.2.2. Sampel

(63)

maka sampel dapat diambil 20 – 30 % dari populasi (Nursalam, 2003). Besarnya sampel adalah sebanyak 47 orang.

Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan jenis probabilitas yang paling sederhana, yaitu dengan menggunakan teknik simple random sampling. Tehnik random sampel yang di gunakan yaitu pengambilan sampel secara acak (Notoatmodjo, 2002). Caranya dengan mengundi seluruh populasi yang ada kemudian mengambil sebanyak sampel yang telah ditentukan , sehingga seluruh populasi memiliki kesempatan yang sama.

4.3. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di panti werdha UPT. Pelayanan Sosial Lanjut

Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan. Peneliti hanya mengambil pada bagian lanjut usia saja sesuai populasi yang diperlukan dalam penelitian ini. Lokasi ini dipilih karena wilayah ini memiliki populasi lanjut usia yang sesuai dengan cangkupan judul penelitian sehingga memudahkan dalam pengambilan responden penelitian. Waktu pengambilan data penelitian pada bulan Agustus – Nopember 2010.

4.4. Pertimbangan etik

(64)

menjadi responden dipersilahkan untuk menandatangani surat persetujuan. Responden berhak untuk menolak terlibat dalam penelitan ini, atau menarik kesediaannya pada proses pengumpulan data. Peneliti tidak akan memaksa dan akan tetap menghormati haknya.

Selama pengambilan data tidak ada efek yang merugikan terhadap para lansia yang menjadi responden. Penelitian tidak menimbulkan sakit secara fisik dan tekanan psikologi pada responden yang akan diteliti. Kerahasiaan responden, akan dijaga oleh peneliti dengan tidak mencantumkan nama lengkap, tetapi hanya mencantumkan inisial nama responden atau memberi kode pada masing-masing lembar pengumpulan data. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian. Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin oleh peneliti (Nursalam, 2003).

4.5. Instrumen penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk kuesioner, kuesioner disusun dengan menggunakan skala Likert, disediakan 4 jawaban untuk setiap pertanyaan dan responden memilih satu diantaranya: kuesioner ini terdiri dari 3 bagian, yaitu instrumen berisi data demografi lansia, dan pertanyaan yang berkaitan tentang stres dan koping lansia. Kuesioner tentang data demografi responden meliputi: inisial, umur, agama, suku bangsa, tingkat pendidikan, pekerjaan.

(65)

pertanyaan, stres fisiologis ada 4 pertanyaan, stres psikologis atau emosional ada 2 pertanyaan. Dengan alternatif jawaban sangat setuju sekornya 4, setuju sekornya 3, kurang setuju sekornya 2, dan tidak setuju sekornya 1.

Bagian ketiga instrumen ini adalah mengenai koping lansia yang ada di panti werdha yang terdiri dari 4 pertanyaan. Setiap pertanyaan tentang tindakan langsung ada 5 pertanyaan, dan peredaan atau peringanan ada 5 pertanyaan, dengan alternatif jawaban tidak pernah sekornya 1, kadang-kadang sekornya 2 , sering sekornya 3 , dan selalu sekornya 4.

4.6. Validitas penelitian

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrument. Suatu instrumen yang valid atau sahih mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid berarti memiliki validitas rendah (Arikunto, 2006). Uji validitas instrumen diuji oleh orang yang ahli dalam penelitian ini.

4.7. Reliabilitas penelitian

(66)

dilakukan untuk mengetahui konsistensi dari instrument sehingga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam ruang lingkup yang sama.

Menurut Nursalam (2008), uji reliabilitas dilakukan terhadap 10-30 orang yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebagai sampel tetapi tidak akan menjadi sampel pada penelitian. Uji reliabilitas dalam penelitian ini akan dicari dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach. Koefisien reliabilitas untuk instrumen setres lansia Cronbach Alfa = 0,918 dan koping lansia Cronbach Alfa = 0,891. Hal ini dapat diterima sesuai dengan pendapat Polit & Hungler (1995) yang menyatakan bahwa sesuatu instrumen dikatakan reliabel jika nilai reliabilitasnya lebih dari 0,70. Menurut Sekaran (1992 dalam Priyatno 2008), reliabilitas kurang dari 0,6 adalah kurang baik, sedangkan 0,7 dapat diterima dan diatas 0,8 adalah baik.

4.8. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan prosedur sebagai berikut, mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian pada institusi pendidikan (program studi ilmu keperawatan) kemudian mengajukan surat permohonan izin pelaksanaan kepada pihak panti werdha yang akan dilakukan penelitian. Setelah mendapatkan izin penelitian melaksanakan pengumpulan data. Peneliti menentukan responden sesuai dengan kriteria yang telah dibuat sebelumnya. Apabila peneliti menemukan calon responden yang menurut kriteria cukup banyak, maka calon responden tersebut dipilih sesuai dengan keinginan peneliti.

(67)

diminta untuk menanda tangani surat persetujuan atau dengan memberikan persetujuan secara verbal atau lisan. Selanjutnya, responden diminta untuk mengisi kuesioner yang di berikan oleh peneliti dan di berikan kesempatan untuk bertanya bila ada yang tidak di mengerti. Saat responden mengisi lembaran kuesioner, peneliti mendampingi responden sehingga tidak terjadi manipulasi atas jawaban responden. Setelah semua responden mengisi kuesioner yang di bagikan, maka peneliti mengumpulkan data untuk dianalisa.

4.9. Analisa Data

(68)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Stress Dan Koping Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia dan anak dan balita wilayah binjai dan medan” sebanyak 47 orang didapat hasil distribusi responden berdasarkan usia, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, dan pekerjaan sebelumnya yang diuraikan sebagai berikut :

5.1.1. Karakteristik Responden

Tabel 5.1. Distribusi Karakteristik Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

Karakteristik Responden Jumlah Persentase 1. Usia

6. Pekerjaan sebelumnya

• PNS 7 14,9

• Wiraswasta 16 34,1

(69)

Pada penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar lansia berusia antara 75-90 tahun (53,2%), berjenis kelamin perempuan (74,5%), bersuku Jawa (31,9%), beragama Islam (91,5%), tidak bersekolah (48,9%), dan pekerjaan sebelumnya ibu rumah tangga (51,0%).

5.1.2. Stress Pada Lansia

Stress pada lansia dapat dirinci berdasarkan stress yang terjadi yaitu stress fisik, stress fisiologik dan stress psikis atau emosional yang dijelaskan sebagai berikut :

5.1.2.1. Stress Fisik Pada Lansia

Distribusi Frekuensi Stress Fisik Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

No Stress Fisik Pada Lansia Pilihan

terbanyak

% 1 Merasa tidak nyaman dengan lingkungan baru di

panti ? SS ( 25 ) 53,2

2 Pernah mengeluh karena perubahan cuaca yang anda alami, dimana sewaktu di rumah dan di panti suhu berbeda drastis?

SS ( 17 ) 36,2

3 Nyaman dengan lingkungan baru dipanti? TS (15 ) 31,9 4 Tidak pernah mengeluh dengan perubahan cuaca

yang anda alami selama dipanti?

KS ( 29 ) 61,7

(70)

5.1.2.2. Stress Fisiologik

Distribusi Frekuensi Stress Fisiologik Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

No Stress Fisiologik Pada Lansia Pilihan

terbanyak

%

1. Harus menyesuaikan diri dengan makanan di panti, karena gangguan pencernaan?

KS ( 17 ) 36,2 2. Tidak mengalami gangguan pencernaan, dan

harus memilih makanan selama dipanti?

S ( 27 ) 57,4 3. Tidak nyaman, karena merasa kurang percaya

dengan makanan dan minuman yang di sediakan di panti?

KS ( 24 ) 51,1

Stress fisiologik pada lansia di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai dapat dilihat Berdasarkan hasil, diketahui bahwa stress fisiologik pada lansia paling banyak dari pernyataan mengenai adanya gangguan pencernaan karena harus menyesuaikan diri dengan makanan di panti yaitu 10 orang (21,3%) dan paling sedikit menyatakan merasa nyaman, karena anda percaya dengan makanan dan minuman yang di sediakan dipanti yaitu 2 orang (4,3%).

5.1.2.3. Stress Psikis Atau Emosional

Distribusi Frekuensi Stress Psikis Atau Emosional Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

No Stress Psikis Atau emosional Pilihan terbanyak

%

1. Takut dan cemas, keluarga anda akan melupakan anda dan tidak pernah menjenguk anda selama di panti werdha?

KS ( 18 ) 38,3

2. Takut dengan lingkungan barunya di panti, tidak di terima penghuni panti lainnya

KS ( 19 ) 40,4

(71)

cemas karena keluarga akan melupakannya yaitu 8 orang (17,0%) dan paling sedikit pernyataan mengenai merasa takut dengan lingkungan barunya di panti, takut tidak di terima penghuni panti lainnya yaitu 9 orang (19,1%).

Stress pada lansia yang dapat diketahui dari rata-rata skor yang diperoleh sebesar 25,77 dan mempunyai skor terendah yaitu 17 dan skor tertinggi yaitu 38.

5.1.3. Koping Pada Lansia

Koping pada lansia yang di rinci berdasarkan koping dengan tindakan langsung dan koping dengan peredaan di jelaskan sebagai berikut :

5.1.3.1. Koping Dengan Tindakan Langsung Pada Lansia

Distribusi Frekuensi Koping Dengan Tindakan Langsung Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

N o

Koping Dengan Tindakan Langsung Pilihan

terbanyak

%

1. Menangis salah satu cara untuk menenangkan diri disaat anda sedang ada masalah ?

TP ( 20 )

42,5 2. Masalah yang muncul segera anda selesaikan,

tanpa menunda-nunda waktu?

SL ( 21 ) 44,7 3. Sebelum masalah datang anda sudah

mempersiapkan diri untuk menghadapinya?

SL ( 22 ) 46,8 4. Anda selalu menerima masalah tanpa ada respon

setiap anda mendapat masalah?

SS ( 13 ) 27,7 5. Anda menghindari masalah yang sedang anda

hadapi?

SS ( 21 ) 44,7

(72)

(46,8%), dan paling sedikit yang menyatakan akan menyelesaikan masalah tanpa menunda-nunda waktu yaitu 5 orang (10,6%).

5.1.3.2. Koping Dengan Peredaan atau Peringanan

Distribusi Frekuensi Koping Dengan Peredaan Atau Peringanan Pada Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

No Koping Dengan Peredaan Atau

Peringanan

Pilihan terbanyak

%

1. Saat anda mengalami masalah, menenangkan diri dengan cara mis: merokok, minum alkohol, minum obat penenang?

SL ( 16 )

34,0

2. Setiap anda memiliki masalah, anda mengalihkan masalah dengan cara melakukan hobi anda?

TP ( 21 ) 44,7

3. Masalah yang anda hadapi terbawa kedalam mimpi?

TP ( 20 ) 42,6 4. Masalah yang ada, anda jadikan sebagai

motivasi hidup anda untuk lebih baik?

KK ( 19 ) 40,4 5. Didepan orang banyak anda tidak

memperlihatkankan masalah anda, tetapi saat anda sendiri masalah itu trus anda pikirkan?

KK ( 18 ) 38,3

(73)

Koping pada lansia yang dapat diketahui dari rata-rata skor yang diperoleh sebesar 24,53 dan mempunyai skor terendah yaitu 19 dan skor tertinggi yaitu 32.

5.1. Pembahasan

5.2.1. Stress Pada Lansia

(74)

lelah karena gangguan pola tidur. Kemampuan mengingat dan konsentrasi menurun, serta muncul rasa takut dan cemas yang tidak jelas penyebabnya. Selain itu adanya kelelahan fisik yang sangat, tidak mampu menyelesaikan pekerjaan ringan dan sederhana, gangguan pada sistem pencernaan semakin berat, serta semakin meningkatnya rasa takut dan cemas.

(75)

(2008) bahwa proses menua merupakan kombinasi bermacam-macam faktor yang saling berkaitan dengan perubahan yang terkait waktu. Keadaan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan untuk dapat bertahan hidup. Berikut akan dikemukakan bermacam-macam teori proses menua yang penting.

(76)

5.1.2. Koping Pada Lansia

Koping merupakan kemampuan seseorang untuk menguasai situasi yang di nilai sebagai suatu tantangan dalam mengatasi tuntutan-tuntutan tekanan yang membangkitkan emosi atau dapat dikatakan sebagai reaksi seseorang terhadap stress (Lazarus, 1976). Koping dengan tindakan langsung pada lansia paling banyak menyatakan sebelum masalah datang sudah mempersiapkan diri. Lansia mengalami keterbatasan dalam penanganan masalah karena kemampuan secara psikologis dan kesehatan juga sudah menurun, maka persiapan lansia hanya pada melakukan aktivitas-aktivitas lain sehingga tidak terfokus pada masalah yang dialaminya. Koping dengan tindakan langsung pada lansia termasuk termasuk koping avoidance yaitu memilih cara menghindari atau menghindari atau melarikan diri dari situasi yang mengancam dan apati yaitu menerima begitu saja keadaan/situasi yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Kategori koping tersebut banyak terdapat pada lansia, dikarenakan lansia menganggap bahwa dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk menghadapi masalahnya.

(77)

paling berat, maka dapat di lakukan dengan cara: pengaturan diet, istrahat dan tidur, olah raga dan latihan teratur, berhenti merokok, pengaturan waktu, dan lain-lain. Koping dengan peredaan atau peringanan merupakan koping yang mengacu pada mengurangi/ menghilangkan/ menoleransi tekanan-tekanan kebutuhan/ fisik, motorik atau gambaran afeksi dari tekanan emosi yang dibangkitkan oleh lingkungan yang bermasalah. Atau bisa diartikan bahwa bila individu menggunakan koping jenis ini, posisinya dengan masalah relatif tidak berubah, yang berubah adalah diri individu, yaitu dengan cara merubah persepsi atau reaksi emosinya (Harber & Runyon, 1984). Lansia melakukan koping dengan menenangkan dirinya sendiri dan apabila tidak merasa tenang, lansia beribadah dan merokok untuk mengalihkan permasalahannya. Menurut (Harber & Runyon, 1984) koping jenis ini termasuk dalam koping yang diarahkan pada gejala (Sympton Directed Modes), artinya gangguan gejala-gejala gangguan muncul dari

(78)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Stress dan Koping Pada Lansia Di Panti werda UPT. Pelayanan Sosial Lanjut Usia & Anak dan Balita Wilayah Binjai & Medan 2010” maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

Karakteristik responden sebagian besar lansia berusia antara 75-90 tahun (53,2%), berjenis kelamin perempuan (74,5%), bersuku Jawa (31,9%), beragama Islam (91,5%), tidak bersekolah (48,9%), dan pekerjaan sebelumnya ibu rumah tangga (51,0%).

Stress fisik pada lansia paling banyak menyatakan tidak nyaman dengan lingkungan panti yaitu 25 orang (53,2%). Stress fisiologik pada lansia paling banyak dari pernyataan mengenai adanya gangguan pencernaan karena harus menyesuaikan diri dengan makanan di panti yaitu 10 orang (21,3%). Stress psikis atau emosional pada lansia paling banyak yang menyatakan takut dan cemas karena keluarga akan melupakannya yaitu 8 orang (17,0%)

(79)

6.2. Saran-saran

Adapun saran-saran yang dapat disampaikan peneliti adalah : Bagi Petugas Panti Werda

Dalam melaksanakan perawatan terhadap lansia sebaiknya petugas panti menciptakan kondisi yang tenang dan nyaman bagi lansia ketika berada di lingkungannya sehari-hari, agar lansia terhindar dari tekanan stressnya.

Bagi Pendidikan Keperawatan

Memberikan masukan bagi petugas panti agar memberikan perhatian pada lansia untuk bisa berperan aktif, tidak saja dalam keluarganya, tetapi juga dalam masyarakat sekitarnya.

Bagi Peneliti selanjutnya

Gambar

Tabel 5.1.  Distribusi  Karakteristik Lansia Di Panti Werda UPT. Pelayanan sosial lanjut usia Binjai Tahun 2010

Referensi

Dokumen terkait

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul: Gambaran Tingkat Depresi pada Lansia di Unit Pelayanan Terpadu Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan

lanjut usia yang menderita penyakit kronis di UPT Pelayanan Sosial Lansia dan. Anak Balita Wilayah Binjai

Perbedaan Self-Esteem Proses Penuaan Pada Lansia Pria Dan Wanita Terhadap Citra Tubuh Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak4.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat spiritual terhadap aktivitas ritual keagamaan lansia di UPT Pelayanan Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat spiritual terhadap aktivitas ritual keagamaan lansia di UPT Pelayanan Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah

UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan merupakan panti sosial terbesar di Sumatera Utara dengan jumlah populasi 160 orang. Berdasarkan

Diri Di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan ” sebagai Tugas Akhir guna meraih Sarjana Keperawatan Program Studi

Judul : Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Tidur Pada Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Wilayah Binjai dan Medan Nama