• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Bekatul Sebagai Bahan Makanan Berserat Pada Pembuatan Biskuit Crackers

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Bekatul Sebagai Bahan Makanan Berserat Pada Pembuatan Biskuit Crackers"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI BAHAN

MAKANAN BERSERAT PADA PEMBUATAN

BISKUIT CRACKERS

SKRIPSI

OLEH:

MELDAWATI BR PERANGIN-ANGIN

NIM 091524089

(2)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI BAHAN

MAKANAN BERSERAT PADA PEMBUATAN

BISKUIT CRACKERS

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MELDAWATI BR PERANGIN-ANGIN NIM 091524089

FAKULTAS FARMASI

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI BAHAN MAKANAN BERSERAT PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS

OLEH :

MELDAWATI BR PERANGIN-ANGIN NIM 091524089

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Maret 2011

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt. NIP 195008281976032002 NIP 195108161980031002

Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. Pembimbing II, NIP 195008281976032002

Prof. Dr. Jansen Silalahi. M.AppSc., Apt Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 195001261983031002

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002

Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan penulis kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Terima kasih tidak terhingga kepada Ayahanda Alm. Paiman perangin-angin, Ibunda Timaita br Ginting, Kakanda Putra wijaya, yaqub alfin. Adinda M. Septian Rahman, Tika Adriana, Shahbita Khaira dan Syefrio Hendriko yang memberikan do’a dan dorongan demi suksesnya penulis.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi. M.AppSc., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan dan nasehat selama melakukan penelitian hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan

2. Ibu Dwi Lestari P, S.Si., M.Si, Apt., selaku penasehat akademik yang telah memperhatikan dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

(5)

4. Dosen-Dosen Staf Pengajar Fakultas Farmasi yang telah banyak membimbing penulis salama masa pendidikan.

5. Teman-temanku Ika, Elliya, Sari, Liana, Anita, Silvi, Rikha, Ida, serta Abang Adik-adik di Fakultas Farmasi, dan rekan-rekan Farmasi angkatan 2009 lainnya yang tidak dapat disebut satu persatu, yang selalu menjadi temanku berbagi suka duka, membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis

6. Kepala dan Staf Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian atas seluruh fasilitas yang diberikan selama proses penelitian

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis dengan segala kerendahan hati bersedia menerima kritikan dan saran yang membangun dari kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Maret 2011

Penulis,

(6)

Pemanfaatan Bekatul Sebagai Bahan Makanan Berserat Pada Pembuatan Biskuit Crackers

ABSTRAK

Bekatul mengandung serat kasar yang lebih tinggi dari pada tepung terigu. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk I dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul terdapat pada produk II dengan rataan yaitu 3,56 dibandingkan dengan produk III dan IV. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,847 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar serat kasar biskuit crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan metode gravimetri secara berturut-turut adalah 0,1903% ± 0,0081%, dan 0,4349% ± 0,0046%. Sedangkan kadar air secara berturut-turut adalah 6,6059% ± 0,0789%, dan 5,6173% ± 0,07886%. Sedangkan kadar abu berturut-turut adalah 1,0643% ± 0,1187% dan 1,4165 ± 0,0550%. Serta tidak terdapat logam berbahaya dalam biskuit crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul secara kualitatif. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.

(7)

Utilization of fiber Bran as Material As The Biscuit Crackers

ABSTRACT

Bran contains higher crude fiber than wheat flour. This study aims to utilize rice bran as an ingredient substitution of wheat flour in the manufacture of biscuit crackers. Samples obtained from milling rice bran in the village of Tanah Merah, V Market, City of Binjai. The highest preference value of biscuit crackers found on the product I with the highest average of 4.05 using the hedonic scale, and of biscuit crackers are substituted with rice bran there is in the product II with an average of 3.56 compared with the products III and IV. Statistical analysis sensory test by using analysis of variance on the level of 95% showing the value of F test = 44.90 is larger than F table 3.007, this means that there are differences that affect significantly to a sense of biscuit crackers bran with different percentage of rice bran. The result of determination of crude fiber biscuit crackers without substitution and substituted with 10% bran using gravimetric methods respectively is 0.1903% ± 0.0081% and 0.4349% ± 0.0046%. While the water content in a row is 6.6059% ± 0.0789% and 5.6173% ± 0.07886%. While the ash content in a row is 1.0643% ± 0.1187% and 1.4165 ± 0.0550%. And there are no harmful metals in a biscuit crackers without substitution and substituted with 10% bran qualitatively. Judging from the results of research on rice bran can be used as a substitute for wheat flour in biscuit making crackres.

Keywords: bran, biscuit crackers, crude fiber, moisture content, ash content, hazardous, metals, organoleptic test.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Serat Pangan ... 6

2.2 Komponen Serat Pangan ... 6

2.3 Efek Fisiologis Serat Makanan ... .... 8

2.4 Serat Dalam Makanan ... 11

2.5 Taksonomi dan Morfologi Padi ... 13

(9)

2.7 Bekatul ... 14

2.8 Manfaat Bekatul ... 15

2.9 Biskuit Crackers ... 17

2.9.1 Pengertian Biskuit Crackers ... 17

2.9.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit Crackers dan Fungsinya ... 18

2.10 Penilaian Organoleptik ... 20

2.10.1 Panel ... 20

2.10.2 Seleksi Panelis Hedonik ... 22

2.10.3 Laboratorium Penilaian Organoleptik ... 23

2.11 Analisis Serat Pangan ... 24

2.11.1 Metode Analisis Serat Kasar (Crude Fiber) ... 24

2.11.2 Metode Deterjen ... 24

2.11.3 Metode Enzimatis ... 25

2.11.4 Metode Englyst ... 25

2.12 Penetapan Kadar Air... 25

2.13 Penetapan Kadar Abu ... 26

2.14 Identifikasi Logam-Logam Berbahaya ... 26

BAB III. METODE PENELITIAN ... 27

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 27

3.2 Alat-alat ... 27

(10)

3.5 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul ... 28

3.6 Uji Organoleptis... 30

3.7 Penetapan Kadar Serat Kasar dalam Biskuit Crackers ... 32

3.8 Penetapan Kadar Air dalam Biskuit Crackers... ……….… 34

3.9 Penetapan Kadar Abu dalam Biskuit Crackers ... 34

3.10 Identifikasi Logam-Logam Bahaya dalam Biskuit Cracker ... 35

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

4.1 Hasil Uji Organoleptik ... 36

4.2 Kadar Serat Kasar dalam Biscuit Crackers Produk I dan Produk II ... 38

4.3 Kadar Air dalam Biscuit Crackers Produk I dan produk II ... 39

4.4 Kadar Abu dalam Biscuit Crackers Produk I dan Produk II ... 39

4.5 Identifikasi Logam-Logam Bahaya Biscuit Crackers Produk I dan Produk II ... 40

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

5.1 Kesimpulan... 41

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biscuit crackers ... 24 Tabel 2. Skala Hedonik dan Skala Numerik Uji Organoleptik ... 28 Table 3. Kadar serat kasar dalam biscuit crackers produk I

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pembuatan biskuit crackers ... 30

Gambar 2. Penetapan Kadar Serat Kasar dalam Biskuit Crackers ... 33

Gambar3. Penetapan Kadar Air dalam Biskuit Crackers……….… 34

Gambar 4. Penetapan Kadar Abu dalam Biskuit Crackers ... 35

Gambar 5. Identifikasi Logam-Logam Bahaya dalam Biskuit Cracker .... 35

Gambar 6. Histogram nilai kesukaan biscuit crackers bekatul ………… 36

Gambar 7. Ruangan uji organoleptik ... 46

Gambar 8. Panelis sedang memberikan penilaian terhadap rasa biscuit crackers bekatul ... 46

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI (1992)…….………… 44 Lampiran 2. Formulir uji organoleptik……….…….….…..… 45 Lampiran 3. Gambar uji organoleptik ……….……..……….. 46 Lampiran 4. Data Uji Organoleptik ... ……….……..………… 47 Lampiran 5. Daftar Analisis Sidik Ragam………….….……….……….… 49 Lampiran 6. Data penimbangan dan penetapan kadar serat kasar

dalam biscuit crackers produk I dan produk II ... 51 Lampiran 7. Data penimbangan dan penetapan kadar air dalam

biscuit crackers produk I dan produk II ... 53

Lampiran 8. Data penimbangan dan penetapan kadar abu dalam

biscuit crackers produk I dan produk II ... 55 Lampiran 9. Perhitungan kadar serat kasar sebenarnya dalam

biscuit crackers produk I ... 57 Lampiran 10. Perhitungan kadar serat kasar sebenarnya dalam

biscuit crackers produk II ... 59 Lampiran 11. Perhitungan kadar air sebenarnya dalam

biscuit crackers produk I ... 63

Lampiran 12. Perhitungan kadar air sebenarnya dalam

biscuit crackers produk II ... 67 Lampiran 13. Perhitungan kadar abu sebenarnya dalam

biscuit crackers produk I 70 Lampiran 14. Perhitungan kadar abu sebenarnya dalam

(14)

Pemanfaatan Bekatul Sebagai Bahan Makanan Berserat Pada Pembuatan Biskuit Crackers

ABSTRAK

Bekatul mengandung serat kasar yang lebih tinggi dari pada tepung terigu. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk I dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul terdapat pada produk II dengan rataan yaitu 3,56 dibandingkan dengan produk III dan IV. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,847 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar serat kasar biskuit crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan metode gravimetri secara berturut-turut adalah 0,1903% ± 0,0081%, dan 0,4349% ± 0,0046%. Sedangkan kadar air secara berturut-turut adalah 6,6059% ± 0,0789%, dan 5,6173% ± 0,07886%. Sedangkan kadar abu berturut-turut adalah 1,0643% ± 0,1187% dan 1,4165 ± 0,0550%. Serta tidak terdapat logam berbahaya dalam biskuit crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul secara kualitatif. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.

(15)

Utilization of fiber Bran as Material As The Biscuit Crackers

ABSTRACT

Bran contains higher crude fiber than wheat flour. This study aims to utilize rice bran as an ingredient substitution of wheat flour in the manufacture of biscuit crackers. Samples obtained from milling rice bran in the village of Tanah Merah, V Market, City of Binjai. The highest preference value of biscuit crackers found on the product I with the highest average of 4.05 using the hedonic scale, and of biscuit crackers are substituted with rice bran there is in the product II with an average of 3.56 compared with the products III and IV. Statistical analysis sensory test by using analysis of variance on the level of 95% showing the value of F test = 44.90 is larger than F table 3.007, this means that there are differences that affect significantly to a sense of biscuit crackers bran with different percentage of rice bran. The result of determination of crude fiber biscuit crackers without substitution and substituted with 10% bran using gravimetric methods respectively is 0.1903% ± 0.0081% and 0.4349% ± 0.0046%. While the water content in a row is 6.6059% ± 0.0789% and 5.6173% ± 0.07886%. While the ash content in a row is 1.0643% ± 0.1187% and 1.4165 ± 0.0550%. And there are no harmful metals in a biscuit crackers without substitution and substituted with 10% bran qualitatively. Judging from the results of research on rice bran can be used as a substitute for wheat flour in biscuit making crackres.

Keywords: bran, biscuit crackers, crude fiber, moisture content, ash content, hazardous, metals, organoleptic test.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sesuai dengan trend global, saat ini banyak produk pangan yang berlabel kesehatan. Salah satu produk pangan kesehatan yang muncul di pasaran adalah makanan yang mengandung serat, dalam ilmu pangan dikenal sebagai dietary

fiber. Salah satu pesan yang muncul dalam produk pangan berserat adalah

kemampuannya untuk mengurangi kesulitan buang air besar (constipation) (Piliang dan Djojosoebagio, 1996).

Serat pangan adalah bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan meliputi selulosa, hemiselulosa, lignin, gum dan lignin. Meskipun tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan, tetapi bakteri flora saluran pencernaan terutama dalam kolon, dapat merombak serat tersebut. Sumber utama serat pangan adalah sayuran dan buah-buahan, serta biji-bijian dan kacang-kacangan. Jumlah serat pangan yang harus dikonsumsi oleh orang dewasa adalah 20 – 35 g/hari (Piliang dan Djojosoebagio, 1996).

(17)

Pada umumnya biskuit crackers dibuat dengan bahan dasar tepung terigu. Harga tepung terigu terus meningkat karena biji gandum masih tergantung dari luar negeri (import), maka perlu dicarikan alternatif bahan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu dan juga untuk meningkatkan kandungan gizi pada biskuit crackers. Salah satunya dengan mengganti sebagian bahan dasar (sebagai substitusi) dengan bahan lain yaitu bekatul (Kent, 1975).

Bekatul sebagai hasil samping penggilingan padi diperoleh dari lapisan luar karyopsis beras. Nilai gizi bekatul sangat baik, mengandung vitamin B, vitamin E, asam lemak esensial, serat pangan, protein, oryzanol, dan asam ferulat. Produksi bekatul melimpah dari tahun ke tahun. Hal ini disebabkan pabrik-pabrik penggilingan padi jumlahnya cukup banyak, ekonomis sehingga tidak sulit mendapatkan bekatul. Disamping itu pemanfaatan bekatul hanya terbatas yaitu untuk pakan unggas (Kusharyanto dan Budiyanto,1995).

Beberapa metode analisis serat yaitu metode serat kasar (crude fiber) secara gravimetri, metode deterjen Acid Detergent Fiber (ADF) dan Neutral

Detergen Fiber (NDF), dan metode enzimatis (Joseph, 2002). Dalam hal ini

peneliti memilih metode serat kasar (crude fiber), karena metode ini lebih mencerminkan kandungan serat kasar dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio, 1996).

(18)

7,855% (Setyowati, 2006). Selanjutnya penelitian pemanfaatan bekatul pada pembuatan keripik simulasi, diperoleh kadar air kerupuk dengan substitusi bekatul 5%, 10%, 15%, dan 20% berturut-turut adalah 2,16%, 2,40%, 2,86%, dan 2,52%. Kadar abu diperoleh secara berturut-turut adalah 2,23%, 2,35%, 2,80%, dan 3,01%. Hasil uji organoleptik menunjukan semakin banyak bekatul yang ditambahkan ke dalam keripik, menurunkan nilai kesukaan panelis terhadap rasanya (Damayanti dkk, 2006).

(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah bekatul dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan dalam substitusi tepung terigu pada biskuit crackers.

2. Apakah panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.

3. Apakah kadar serat kasar, kadar air, kadar abu dan kandungan logam berbahaya biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul memenuhi bagian dari syarat mutu biskuit menurut SNI.

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis analisis sebagai berikut:

1. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan dalam substitusi tepung terigu pada biskuit crackers.

2. Panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.

(20)

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memanfaatkan bekatul sebagai sumber serat pangan dalam substitusi tepung terigu pada biskuit crackers.

2. Untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.

3. Untuk mengetahui kadar serat kasar, kadar air, kadar abu dan kandungan logam berbahaya biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.

1.5Manfaat Penelitian

1. Pemanfaatan bekatul sebagai substitusi bahan dasar pembuatan biskuit

crackers.

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serat Pangan

Serat pangan merupakan salah satu komponen penting makanan yang

sebaiknya ada dalam susunan diet sehari-hari. Serat telah diketahui mempunyai banyak manfaat bagi tubuh terutama dalam mencegah berbagai penyakit, meskipun komponen ini belum dimasukkan sebagai zat gizi (Piliang dan Djojosoebagio, 1996). Definisi terbaru serat makanan yang disampaikan oleh The

American Assosiation of Ceral Chemist adalah merupakan bagian yang dapat

dimakan dari tanaman atau kabohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau partial pada usus besar (Joseph, 2002).

2.2 Komponen Serat Pangan

Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu serat tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air. Sifat kelarutan ini sangat menentukan pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi (Sulistijani, 2001).

1. Serat tidak larut dalam air a. Selulosa

(22)

b. Hemiselulosa

Hemiselulosa memiliki rantai molekul lebih pendek dibandingkan selulosa. Unit monomer pembentuk hemiselulosa tidak sama dengan unit penyusun heteromer. Unit ini terdiri dari heksosa dan pentosa. Hemiselulosa berfungsi memperkuat dinding sel tanaman dan sebagai cadangan makanan bagi tanaman. Sifatnya sama dengan selulosa, yaitu mampu berikatan dengan air. Jenis ini banyak ditemukan pada bahan makanan serealia, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

c. Lignin

Lignin termasuk senyawa aromatik yang tersusun dari polimer fenil propan. Lignin bersama-sama holoselulosa (merupakan gabungan antara selulosa dan hemiselulosa) berfungsi membentuk jaringan tanaman, terutama memperkuat sel-sel kayu. Kandungan lignin tidak sama, tergantung jenis dan umur tanaman. Serelia dan kacang-kacangan merupakan bahan makanan sumber serat lignin. 2. Serat larut dalam air

a. Pektin

(23)

b. Gum

Komposisinya lebih sedikit dibandingkan dengan jenis serat yang lain. Namun, kegunaannya amat penting, yaitu sebagai penutup dan pelindung bagian tanaman yang terluka. Oleh karena memiliki molekul hidrofilik yang berkombinasi dengan air, menyebabkan gum mampu membentuk gel.

c. Musilase

Stukturnya menyerupai hemiselulosa, tetapi tidak termasuk dalam golongan tersebut karena letak dan fungsinya berbeda. Musilase mampu mengikat air sehingga kadar air dalam biji tanaman tetap bertahan. Selain itu, musilase juga mampu membentuk gel yang mempengaruhi metabolisme dalam tubuh .

2.3 Efek Fisiologis Serat Makanan

a. Serat Sebagai Bahan Pencahar

Efek pencahar atau laksatif merupakan pengaruh serat yang paling umum dikenal. Efek ini berhubungan dengan kekambaan feses yang disebabkan oleh adanya serat. Feses yang kamba (volumenous) akan mempersingkat waktu transit. Jika berat basah feses lebih kecil atau sama dengan 60 gram per hari maka waktu transit (waktu yang dibutuhkan mulai dari konsumsi makanan sampai feses dikeluarkan) umumnya lebih dari 90 jam. Ketika berat feses basah meningkat, waktu transit akan menurun. Pada berat feses basah 150–200 gram per hari, waktu transit menjadi 40–50 jam. Semua makanan kaya serat akan meningkatkan kekambaan feses (Tensiska, 2008).

(24)

dimurnikan menghasilkan peningkatan feses yang relatif kecil. Bentuk fisik serat juga turut mempengaruhi kekambaan feses. Dedak kasar menghasilkan efek kamba yang lebih besar dibandingkan dedak yang halus. Dedak gandum dan selulosa tidak bisa didegradasi dengan baik oleh mikroflora kolon. Kontribusinya pada kekambaan feses karena kemampuannya mengikat air. Serat yang dapat difermentasi sempurna dalam kolon seperti pektin, guar gum dan ß-glukan tidak berkontribusi terhadap kekambaan feses tetapi meningkatkan jumlah koloni mikroflora kolon. Meningkatnya jumlah koloni mikroflora kolon akan meningkatkan massa feses yang juga menghasilkan efek pencahar. Namun demikian, serat yang sulit difermentasi seperti dedak serealia menghasilkan massa feses yang jauh lebih tinggi sehingga lebih efektif sebagai pencahar (Tensiska, 2008).

b. Mencegah Kanker Kolon

Kejadian kanker kolon menempati urutan ke 4, dan menempati peringkat ke 2 penyebab kematian karena kanker. Penelitian di Rumah Sakit Dharmais Jakarta pada tahun 2001 mendapatkan 15 kasus kanker kolon dari 232 pada pasien yang di kolonoskopi, sedangkan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1996 sampai 2001 terdapat 224 kasus kanker kolon (Nainggolan, 2005).

(25)

pendek, dengan demikian mengurangi peluang terjadinya kanker kolon. Transit makanan yang lebih cepat juga mengurangi kesempatan berbagai mikroorganisme dalam kolon untuk membentuk zat karsinogen (Nainggolan, 2005).

c. Mengontrol Berat Badan

Serat larut air (soluble fiber) misalnya pectin, glucans dan gum serta beberapa hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pengosongan makanan dari lambung, menghambat pencampuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan, sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan di bagian proksimal. Mekanisme inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan (absorbsi) asam amino dan asam lemak oleh serat larut air. Cairan kental ini mengurangi keberadaan asam amino dalam tubuh melalui penghambatan peptida usus.

Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dilaporkan juga dapat menurunkan bobot badan. Makanan akan tinggal dalam saluran pencernaan dalam waktu yang relatif singkat sehingga absorbsi zat makanan akan berkurang. Selain itu makanan yang mengandung serat relatif tinggi akan memberi rasa kenyang sehingga menurunkan konsumsi makanan. Makanan dengan kandungan serat kasar yang tinggi biasanya mengandung kalori, kadar gula dan lemak yang rendah serta dapat membantu mengurangi terjadinya obesitas (Nainggolan, 2005).

d. Mengontrol Gula Darah

(26)

Kemampuan tersebut dinyatakan dalam Glycaemic Index (GI) yang angkanya dari 0 sampai dengan 100. Makanan yang cepat dimetabolisme dan cepat diserap dapat meningkatkan kadar gula darah, mempunyai angka GI yang tinggi; sedangkan makanan yang lambat dimetabolisme dan lambat diserap masuk ke aliran darah mempunyai angka GI yang rendah. Hasil penelitian pada hewan percobaan maupun pada manusia mengungkapkan bahwa kenaikan kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat dikonsumsi bersama serat. Hal ini sangat bermanfaat bagi penderita diabetes, baik tipe I maupun tipe II (Nainggolan, 2005).

e. Serat Makanan Terhadap Pencegahan Penyakit

Efek fisiologis serat makanan seperti toleransi terhadap glukosa, meningkatkan kekambaan feses, menurunkan kolesterol plasma menunjukkan bahwa serat makanan dapat menurunkan insiden penyakit kronis seperti komplikasi diabetes, kanker kolon dan penyakit jantung. Studi terhadap efek langsung serat makanan ternyata berlaku jika peningkatan konsumsi serat disertai penurunan konsumsi lemak yang dapat menurunkan resiko penyakit kutil/polip pada kolon. Polip kolon merupakan prekursor perkembangan tumor (Tensiska, 2008).

2.4 Serat Dalam Makanan

(27)

termasuk polisakarida nonstruktural, yaitu getah (secreted & reserve gums). Kelompok lain adalah polisakarida asal rumput laut (agar, carrageenans &

alginates).

Manfaat nutrisi merupakan salah satu manfaat serat dalam produk pangan, selain sifat fisik-kimia yang khas sehingga secara teknologi sangat sesuai bagi industri pangan untuk mengembangkan jenis dan bentuk produk pangan baru dan terbentuknya peluang pemanfaatan produk maupun limbah pertanian berserat sebagai bahan pangan (Widianarko, dkk., 2000).

Limbah pertanian yang mengandung serat masih belum dimanfaatkan sebagai bahan serat pangan diantaranya limbah yang dihasilkan dari usaha tani jagung yaitu tongkol jagung. Pemanfaatan tongkol jagung masih sangat terbatas. Kebanyakan limbah tongkol jagung hanya digunakan sebagai pengganti kayu bakar. Limbah jagung meliputi jerami dan tongkol. Penggunaan jerami jagung semakin populer untuk makanan ternak, sedangkan untuk tongkol jagung belum ada pemanfaatan yang bernilai ekonomi. Limbah jagung sebagian besar adalah bahan berlignoselulosa yang memiliki potensi untuk pengembangan produk masa depan. Seringkali limbah yang tidak tertangani akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan mungkin bernilai negatif karena memerlukan biaya penanganan (Richana dan Suarni, 2004).

(28)

meningkatkan daya gunanya dalam berbagai industri. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin.

2.5 Taksonomi dan Morfologi Padi

Sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman padi diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Poales

Familia : Poaceae Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa

Padi termasuk dalam suku padi-padian ata atau Glumiflorae). Tanaman semusim, berakar serabut; batang sangat pendek, struktur serupa batang terbentuk dari rangkaian menopang; daun sempurna dengan pelepah tegak, daun berbentuk lanset, warna hijau muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek dan jarang; bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut floret, yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula; buah

tipe

(29)

palea dan lemma yang dalam bahasa sehari-hari disebut adalah endospermium yang dimakan orang (Wikipedia, 2011).

2.6 Pengolahan Padi Menjadi Beras

Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi. Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin pengering jarang dilakukan. Istilah "Gabah Kering Giling" (GKG) mengacu pada gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (Wikipedia, 2011).

Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk dan digiling, sehingga beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari pemisahan ini adalah: sekam atau merang, bekatul, dan dedak (Wikipedia, 2011). Pada proses penggilingan atau penumbukan, sekam terlepas dan dibuang menjadi dedak kasar. Pada penggilingan kedua lapisan pericarp dengan sedikit endosperm, menjadi dedak halus atau bekatul. Bagian pangkal biji melekat lembaga, yaitu bakal benih tanaman yang juga akan lepas terbuang menjadi bagian bekatul pada waktu akan digiling (Sediaoetama, 2004).

2.7 Bekatul

(30)

dan bekatul sekitar 2-3%. Bila dedak kasar tidak dapat dikonsumsi oleh manusia maka bekatul masih dapat dijadikan bahan makanan untuk dikomsumsi. Departemen Pertanian (2002) juga menyebutkan bahwa ketersediaan bekatul di Indonesia cukup banyak dan mencapai 4.5-5 juta ton setiap tahunnya, bekatul merupakan makanan sehat alami mengandung antioksidan, multivitamin dan serat tinggi untuk penangkal penyakit degeneratif juga kaya akan pati, protein, lemak, vitamin dan mineral (Damayanthi, 2007).

2.8 Manfaat Bekatul

Manfaat bekatul bagi kesehatan tidak hanya disebabkan oleh kandungan vitamin B nya saja, tetapi juga karena kandungan zat gizi lainnya. Dari segi zat gizi, bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras. Protein bekatul memang nilai gizinya lebih rendah dibandingkan telur dan protein hewani, tetapi lebih tinggi dari kedelai, biji kapas, jagung dan terigu. Bekatul juga merupakan sumber asam lemak tak jenuh esensial dan bermacam-macam vitamin (B1, B2, B3, B5, B6 dan tokoferol), pangamic acid (Vit. B15), serat pangan (dietary fiber), serta mineral. Natrium, Kalium, dan Khlor yang terkandung dalam bekatul mudah diserap dan dikeluarkan (David, 2008).

(31)

Menurut Dr. David Reuben, serat pangan yang dimaksud dalam makanan sehari-hari dapat berasal dari sayur-sayuran, buah-buahan dan yang terpenting adalah serat pangan yang berasal dari bekatul. Serat pada biji-bijian yang tidak dapat dicerna enzyme yang disekresikan oleh manusia, secara tidak langsung penting untuk kesehatan. Hal ini dikarenakan serat mempengaruhi status fisik isi saluran pencernaan, bahan makanan, waktu transit usus, variasi kapasitas absorbs, serta pengenceran asam-asam atau garam-garam empedu, sterol dan beberapa zat makanan. Serat tidk larut meningkatkan berat dan frekuensi feses serta melembutkannya, serta menurunkan waktu transit di usus (David, 2008).

Antioksidan adalah komponen berberat molekul kecil yang bereaksi dengan oksidan sehingga menghambat oksidasi. Sehingga tidak hanya mempunyai sistem perlindungan melawan radikal bebas, tetapi juga system perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif. Bekatul padi mengandung vitamin E, vitamin B15, dan oryzanol beragam yang berfungsi sebagai antioksidan. Komponen ini memiliki sifat memicu pertumbuhan manusia, membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (David, 2008).

(32)

2.9 Biskuit Crackers

2.9.1 Pengertian Biskuit Crackers

Dalam Standar Nasional Indonesia (1992) biskuit adalah produk makanan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan makanan tambahan lain yang di ijinkan.

Biskuit dapat dikelompokkan menjadi : 1. Biskuit Keras

Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar lemak tinggi atau rendah.

2. Biskuit Crackers

Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalaui

proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah ke asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis. 3. Cookies

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar

lemak tinggi dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang padat.

4. Wafer

(33)

2.9.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit Crackers dan Fungsinya

1) Tepung Terigu

Untuk menghasilkan biscuit crackers yang bermutu tinggi, yang sangat ideal atau cocok digunakan adalah tepung terigu keras atau hard wheat. Tepung terigu keras mempunyai kadar protein 10%-11%, dihasilkan dari penggilingan 100% gandum hard. Jenis tepung ini digolongkan sebagai tepung terigu yang mengandung protein tinggi, mudah dicampur dan diragikan, dapat menyesuaikan dengan suhu yang diperlukan, berkemampuan menahan udara atau gas dan mempunyai daya serap tinggi (Munandar,1995).

Tepung terigu keras dapat membentuk adonan yang mengembang karena adanya pembentukan gluten pada saat proses fermentasi atau pemeraman yang dibutuhkan dalam proses pembuatan biskuit crackers. Tepung terigu dalam pembuatan biskuit crackers berfungsi sebagai pembentuk adonan, memberi kualitas dan rasa yang enak dari hasil produknya serta warna dan tekstur yang bagus (Sondakh dkk,1999).

2) Ragi

(34)

3) Gula

Gula dapat mempercepat proses peragian adonan yaitu sebagai sumber energi bagi kegiatan ragi sehingga adonan akan cepat mengembang (U. S Wheat Asosisiation,1983).

4) Lemak

Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit crackers, karena berfungsi sebagai bahan untuk menimbulkan rasa gurih, manambah aroma dan menghasilkan tekstur produk yang renyah. Ada dua jenis lemak yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit crackers yaitu dapat berasal dari lemak susu (butter) atau dari lemak nabati (margarine) atau campuran dari keduanya (U. S Wheat Asociation,1983).

5) Air

Biskuit keras memerlukan air sekitar 20% dari berat tepung. Air dalam pembuatan biskuit crackers berfungsi sebagai pelarut bahan secara merata, memperkuat gluten, mengatur kekenyalan adonan dan mengatur suhu adonan (Munandar,1995).

6) Bahan Pengembang

Bahan pengembang merupakan bahan pengembang hasil reaksi asam dengan natrium bicarbonat. Ketika pemanggangan berlangsung baking powder menghasilkan gas CO2 dan residu yang tidak bersifat merugikan pada biskuit

crackers. Fungsi baking powder dalam pembuatan biskuit crackers adalah

(35)

7) Garam

Pada pembuatan biskuit crackers penambahan garam berfungsi memberi rasa dan aroma, mengatur kadar peragian, memperkuat gluten dan memberi warna lebih putih pada remahan (Munandar,1995).

8) Susu Skim

Susu yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah susu skim yang merupakan hasil pengeringan (dengan spray dryer) dari susu segar. Susu ini memiliki reaksi mengikat terhadap protein tepung. Pada pembuatan biskuit

crackers susu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma biskuit serta

menambah nilai gizi produk (U. S Wheat Asociation,1983).

2.10 Penilaian Organoleptik

Penilaian dengan indera atau penilaian organoleptik atau penilaian sensorik

merupakan suatu cara penilaian yang paling primitif. Penilaian sensorik pada manusia adalah mulanya sebagai kegiatan seni (art) dan tetap berkembang sebagai seni sampai memasuki dunia industri. Baru pada tahun 1950-an bidang seni ini mulai berkembang menjadi bidang ilmu. Penilaian dengan indera menjadi ilmu setelah prosedur penilaian dibakukan dan dihubungkan dengan penilaian secara objektitif (Soekarto, 1985).

2.10.1 Panel

(36)

makanan secara panel berdasarkan kesan subjektif dari para panelis dengan prosedur sensorik tertentu yang harus dituruti (Soekarto, 1985).

Penggunaan panel ini dapat dibedakan tergantung dari tujuan. Menurut Soekarto (1985) terdapat 6 macam panel yang biasa digunakan dalam penelitian organoleptik yaitu:

a. Panel pencicip perorangan

Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional digunakan dalam industri-industri makanan seperti pencicip teh, kopi, anggur, es krim atau penguji bau pada industri minyak wangi (parfum). Pencicip ini mempunyai kepekaan yang sangat tinggi jauh melebihi kepekaan rata-rata manusia.

b. Panel pencicip terbatas

Untuk menghindari ketergantungan pada pencicip perorangan maka industri menggunakan 3-5 orang penilai yang mempunyai kepekaan tinggi yang disebut panel pencicip terbatas. Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium yang sudah mempunyai pengalaman luas akan komoditi tertentu.

c. Panel terlatih

Anggota panel ini lebih besar dari panel di atas yaitu 15-25 orang. Untuk menjadi panel ini perlu diseleksi dan dipilih dan terlatih.

d. Panel tak terlatih

(37)

e. Panel agak terlatih

Panelis dalam katagori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Tetapi latihan-latihan yang diterima tidak cukup intensif dan tidak teratur, karena itu belum mencapai tingkat sebagai panel terlatih. Jumlah untuk panel agak terlatih jumlahnya terletak di antara panelis terlatih dan tidak terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15-25 orang. Makin kurang terlatih makin besar jumlah panelis yang diperlukan.

f. Panel konsumen

Panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya, dari 30 sampai 1000 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan (preference test) dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan untuk menentukan apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh masyarakat. Anggota panel konsumen dapat diambil dari sejumlah orang yang ada di pasar atau dapat pula dilakukan dengan mendatangi rumah konsumen, dalam hal kelompok pertama pengujian dapat diselenggarakan sekaligus, sedangkan dalam hal yang kedua diselenggarakan dengan mendatangi rumah-rumah.

2.10.2 Seleksi Panelis Hedonik

Calon panelis dapat diambil dari orang awam atau dari luar instansi, dapat

diambil dari tamu yang berkunjung. Orang yang sudah terlanjur ahli atau kenal betul dengan komoditi itu tidak boleh dijadikan anggota panel hedonik. Jumlah panel hedonik makin besar semakin baik, sebaiknya jumlah itu melebihi 30 orang.

(38)

Kriteria panelis sebagai berikut (Soekarto, 1985): 1. Memiliki kepekaan dan konsistensi yang tinggi

2. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang diambil secara acak. Jumlah anggota panelis hedonik semakin besar semakin baik

3. Berbadan sehat

4. Tidak dalam keadaan tertekan

5. Mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-cara penilaian organoleptik

2.10.3 Laboratorium Penilaian Organoleptik

Suatu laboratorium yang menggunakan manusia sebagai alat ukur berdasarkan kemampuan pengindraanya, yang paling utama dalam laboratorium penilaian organoleptik adalah ruang pencicipan, tempat para anggota panelis dapat melakukan penilaian. Panelis diberikan format evaluasi dimana ada banyak jenisnya. Salah satunya mempunyai kolom untuk sampel dengan penilaian seperti sangat suka, agak suka, tidak suka, agak tidak suka dan sangat tidak suka. Panelis memberi pendapat untuk setiap sampel dan dapat memberikan komentar tambahan. Penilaian diberikan peringkat angka oleh pemimpin uji panel, seperti 5 untuk amat sangat suka menurun hingga 1 untuk tidak suka (Soekarto, 1985).

(39)

2.11 Analisis Serat Pangan

Ada beberapa metode analisis serat makanan, yaitu metode analisis serat kasar (crude fiber), metode deterjen, metode enzimatis (Joseph, 2002) dan metode Englyst (Ferguson dan Philip, 1999).

2.11.1 Metode Analisis Serat Kasar (Crude Fiber)

Serat kasar dari lignin dan selulosa, merupakan bahan yang tertinggal setelah bahan makanan mengalami proses pemanasan dengan asam dan basa kuat selama 30 menit berturut-turut dalam prosedur yang dilakukan di laboratorium (Piliang dan Djojosoebagio, 1996).

2.11.2 Metode Deterjen

Metode deterjen ini terdiri atas 2 yaitu Acid Detergent Fiber (ADF) dan

Neutral Detergent Fiber (NDF). Kedua metode ini hanya dapat menentukan kadar

total serat yang tak larut dalam larutan deterjen digunakan (Meloan and Pomeranz, 1987).

a. Acid Detergent Fiber (ADF)

ADF hanya dapat untuk menurunkan kadar total selulosa dan lignin. Metode ini digunakan pada AOAC (Association of Offical Analytical chemist). Prosedurnya sama dengan NDF, namun larutan yang digunakan adalah CTAB (Cetyl Trimethyl Amonium Bromida) dan H2SO4 0,5 M (Meloan and Pomeranz,

1987).

b. Neutral Detergent Fiber (NDF)

(40)

komponen lainnya (selain selulosa, hemiselulosa dan lignin) pada metode deterjen ini (Meloan and Pomeranz, 1987).

2.11.3 Metode Enzimatis

Metode enzimatis dirancang berdasarkan kondisi fisiologi tubuh manusia. Metode yang dikembangkan adalah fraksinasi enzimatis yaitu menggunakan enzim amilase, diikuti penggunaan enzim pepsin, kemudian pankreatin. Metode ini dapat mengukur kadar serat makan total, serat larut dan tak larut secara terpisah (Joseph, 2002). Kekurangan metode ini, enzim yang digunakan mungkin mempunyai aktivitas lebih yang bisa saja merusak komponen serat dan kemungkinan protein yang tidak terdegradasi sempurna dan ikut terhitung sebagai serat (Meloan and Pomeranz, 1987).

2.11.4 Metode Englyst

Pada metode Englyst, serat makanan ditentukan sebagai polisakarida non pati dengan menentukan bagian monosakarida penyusunnya. Tapi bukan hanya polisakarida sebagai penyusun dinding sel tumbuh-tumbuhan. Kelemahan metode ini menetapkan kadar serat dengan menggunakan kromatografi cair-gas, HPLC atau alat spektrofotometer (Ferguson dan Philip, 1999).

2.12 Penetapan Kadar Air

(41)

biasa), metode destilasi, metode kimia, dan metode khusus (kromatografi, nuclear

magnetic resonance / NMR) ( Sudarmadji, 1989).

2.13 Penetapan Kadar Abu

Penetapan kadar abu dilakukan dengan cara mengoksidasi semua zat organik pada suhu yang tinggi, yaitu sekitar 500-6000C dan kemudian melakukan penimbangan zat yang tertinggal setelah proses pembakaran (Sudarmadji, 1989).

2.14 Identifikasi Logam-Logam berbahaya

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian berupa metode eksperimental yang meliputi pengumpulan dan pengolahan bekatul menjadi biskuit crackers, serta penetapan kadar serat kasar, kadar air dan kadar abu biskuit crackers dengan metode analisis Gravimetri dan identifikasi kandungan logam berbahaya biskuit crackers.

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian USU, Medan dan penelitian dilakukan pada bulan Desember 2010 – Januari 2011.

3.2 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam uji ini adalah labu alas bulat 500 ml, timbangan analitik, pendingin tegak, kertas saring, indikator universal, alat tanur (Philips Haris Ltd), sudip, sokhlet, botol semprot, corong, mortir dan stemper, krus porselin, desikator, oven, penjepit tabung dan alat-alat gelas laboratorium lainnya. Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah timbangan, kom adonan, ayakan tepung, spatula, pisau, kayu penggiling, loyang, oven, mixer dan kompor.

3.3 Bahan-bahan

Bahan pereaksi yang digunakan adalah air dan yang berkualiatas pro analisis (E.Merck) seperti Asam Sulfat, Natrium Hidroksida, Asam Klorida,,

(43)

Adapun cara pembuatan Asam Sulfat 0,255 Ndibuat dengan mencampurkan 1,25 gram Asam Sulfat dengan akuades di labu 100 ml. Natrium Hidroksida 0,313 N dibuat dengan melarutkan 1,25 gram Natrium Hidroksida dengan akuades di labu 100 ml. Kalium Sulfat 10% dibuat dengan melarutkan 10 gram Kalium Sulfat dengan akuades bebas Karbondioksida di labu 100 ml (Ditjen POM,1995).

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah tepung terigu, bekatul, keju, ragi, gula, pelembut, mentega, air, pengembang, garam, susu skim.

3.4 Lokasi Pengambilan dan Perlakuan Sampel

Sampel yang digunakan yaitu bekatul yang merupakan hasil samping penggilingan padi yang diambil secara purposif dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, kota Binjai. Bekatul yang akan digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah bekatul yang telah di ayak terlebih dahulu untuk memperoleh bekatul yang lebih halus.

3.5 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul

Resep dasar penimbangan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah sebagai berikut: 500 gram tepung terigu, 20 gram susu skim, 64 gram pelembut, 96 gram mentega, 5 gram ragi, 1 gram gula, 1 gram pengembang, 50 gram keju, 500 mg garam dan 250 ml air. Sedangkan bahan dust

fillingnya adalah campuran dari 50 gram tepung terigu, 500 mg garam dan 400 mg

(44)

Tabel 1. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers

Nama

Tepung Terigu (gram)

Bekatul (gram) (%) Produk I 500 0 0 Produk II 450 50 10 Produk III 400 100 20 Produk IV 350 150 30

Keterangan : % menyatakan jumlah tepung terigu yang disubstitusi dengan Bekatul

Contoh Produk II; x 500 50gram 100

10

=

(45)

cm x 5 cm, diberi lubang kecil-kecil dengan garpu. Dipanggang dalam oven pada suhu 100 °C selama 20 menit (Sondakh dkk, 1999).

Bagan Pembuatan Biskuit Crackers :

Tahap Persiapan

Tahap Pencampuran Bahan

Tahap Fermentasi Tahap Pemipihan dan Pelapisan dust filling

Tahap Pembentukan atau Pencetakan

Tahap Pembakaran

Tahap Penyelesaian

Gambar 1. Pembuatan Biskuit Crackers

3.6 Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan metode hedonik (Soekarto, 1985), yaitu analisis menurut uji kesukaan terhadap rasa. Panelis diharapkan dapat mengemukakan penilaian suka atau tingkat kesukaan.

Kriteria panelis :

- Penyiapan bahan dan peralatan - Penimbangan bahan

- Mentega, butter, garam, susu, gula, dicampur (campuran 1).

- Tepung terigu, bekatul, ragi dicampur (campuran 2).

- Campuran 1 + campuran 2 ditambah air diadoni sampai kalis selama 30 menit. - Adonan difermentasi selama 30 menit. - Pemipihan adonan ukuran 2 mm - Penaburan bahan dust filling. - Pelipatan adonan menjdi 4 bagian. - Penaburan bahan dust filling 3 x - Penggilingan adonan.

- Pencetakan adonan.

- Pembakaran adonan suhu 100 0C selama 20 menit.

(46)

i. Panelis yang digunakan adalah panelis tak terlatih yang diambil secara acak dengan jumlah anggota panelis seluruhnya 60 orang

ii. Panelis yang digunakan adalah mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

iii. Tidak dalam keadaan sakit (dilihat bahwa panelis tidak sedang demam, flu dan batuk).

Langkah-langkah uji organoleptik:

I. Pengujian dilakukan di dalam ruangan yang bersih

Gambar ruangan uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 3 gambar 7 halaman 46

II. Biskuit crackers bekatul masing-masing diberi kode produk I, II, III dan IV dengan variasi substitusi tepung terigu dengan bekatul berturut-turut adalah 0%, 10%, 20%, dan 30%

III. Kepada panelis disajikan biskuit crackers untuk dicicipi, air putih dan formulir pertanyaan. Sebelumnya panelis diberikan penjelasan singkat mengenai produk yang diperiksa dan cara penilaian. Formulir pertanyaan dan gambar penyajian dapat dilihat pada Lampiran 2 halaman 45 dan lampiran 3 halaman 46.

Penjelasan yang diberikan kepada panelis yaitu:

i. Produk yang diperiksa adalah biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul

(47)

iii. Setelah panelis selesai mencicipi produk yang diperiksa, panelis diminta untuk memberi penilaian berdasarkan tingkat kesukaan sesuai dengan penilaian mereka masing-masing. Gambar panelis sedang memberikan penilaian terhadap rasa biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada

Lampiran 3 gambar 8, halaman 46

IV. Untuk penganalisaan, skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik dengan angka menaik sesuai tingkat kesukaan. Dengan data numerik dilakukan analisa statistik

V. Skala hedonik dan skala numerik yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 2. Skala hedonik dan skala numerik uji organoleptik

Skala hedonik Skala numerik Amat sangat suka

Sangat suka Suka Agak suka Tidak suka

5 4 3 2 1

3.7 Penetapan Kadar Serat Kasar dalam Biskuit Crackers

Sampel dihaluskan, kemudian timbang 4 gram bahan kering dan ekstraksi lemaknya dengan sokhlet. Pindahkan bahan kedalam erlenmeyer 500 ml, tambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih dan tutup dengan pendingin

(48)

mendidih sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin tegak sambil kadangkala digoyang-goyangkan selama 30 menit. Saringlah melalui kertas saring kering yang diketahui beratnya, sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Cuci lagi residu dengan akuades mendidih dan

kemudian dengan 15 ml alkohol 95%. Keringkan kertas saring dengan isinya pada 1100C sampai berat konstan, dinginkan dalam desikator dan timbang (Sudarmadji, 1989).

% kadar serat kasar =

Bagan Penetapan Kadar Serat Kasar Dalam Biskuit Crackers :

Dihaluskan

Ditimbang 4 g bahan kering

Diekstraksi lemaknya dengan sokhlet Pindahkan bahan ke dalam erlenmeyer Tambahkan 200 ml larutan H2SO4 mendidih

Didihkan selama 30 menit dengan pendingin balik sambil digoyang-goyangkan

Saring suspensi melalui kertas saring

Dicuci dengan akuades panas (80-90°C) sampai air cucian tidak bersifat asam lagi

Pindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer dan sisanya dicuci dengan NaOH mendidih sebanyak 200 ml

Didihkan selama 30 menit dengan pendingin balik sambil digoyang-goyangkan

Saring dengan kertas saring kering yang diketahui beratnya

berat residu (g) × 100% berat awal (g)

biskuit crackers

(49)

Cuci dengan larutan K2SO4 10%

Dicuci lagi residunya dengan akuades panas (80-90°C) dan 15 ml alkohol 95%

Dikeringkan di oven pada suhu 105°C (hingga berat konstan) Didinginkan dalam desikator

Ditimbang

Gambar 2. Penetapan Kadar Serat Kasar Dalam Biskuit Crackers

3.8 Penetapan Kadar Air dalam Biskuit Crackers

Ditimbang dengan teliti 6 gram sampel kedalam botol timbang yang telah diketahui bobotnya, dikeringkan dalam pengering listrik pada 1050C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai bobot tetap ( SNI, 1992).

Kadar air =

Bagan Penetapan Kadar Air Biskuit Crackers :

Masukkan kedalam botol timbang yang diketahui bobotnya

Dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C Didinginkan dalam desikator

Ditimbang sampai bobot konstan

Gambar 3. Penetapan Kadar Air Biskuit Crackers 6 g sampel

Kadar air

Serat kasar

Residu Filtrat

(50)

3.9 Penetapan Kadar Abu dalam Biskuit Crackers

Ditimbang dengan teliti 3 gram sampel, masukkan dalam cawan pijar platina yang telah diketahui bobotnya. Panaskan pertama-tama dengan nyala kecil, kemudian dengan nyala besar hingga abunya menjadi putih. Kemudian didinginkan hingga bobot tetap ( SNI, 1992 ).

Kadar abu =

Bagan Penetapan Kadar Abu Biskuit Crackers :

Masukkan kedalam cawan porselin yang diketahui bobotnya

Panaskan pertama-tama dengan nyala kecil, kemudian dengan nyala besar hingga

abunya menjadi putih (1000C, 3000C, 5000C) Didinginkan dalam desikator

Ditimbang sampai bobot konstan

Gambar 4. Penetapan Kadar Abu Biskuit Crackers

3.10 Identifikasi Logam-Logam Bahaya dalam Biskuit Crackers

Ditimbang 3 gram sampel untuk diabukan, kemudian ditetesi HCl 5 tetes dan diencerkan dengan10 ml air. Kemudian larutan sampel dibagi dua, larutan abu I bila ditambahi 2 tetes larutan natrium sulfida tetap jernih dan larutan abu II bila

Penambahan berat (g) x 100% Berat sampel (g)

(51)

ditambahkan 0,1 g natrium bikarbonat dan 1 tetes kalium ferrosianida tetap jernih (SNI, 1992).

Bagan Identifikasi Logam-Logam Berbahaya Pada Biskuit Crackers :

Diabukan

Ditetesi HCl 5 tetes di dalam tabung reaksi Diencerkan dengan 10 ml air

Ditetesi 2 tetes larutan Ditambahkan natrium sulfida 0,1 g natrium

bikarbonat Ditambahkan

1 tetes kalium ferrosianida

Gambar 5. Identifikasi Logam-Logam Berbahaya Pada Biskuit Crackers 3 g sampel

5 ml larutan abu 5 ml larutan abu

jernih

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Organoleptik

(53)

Gambar 6. Histogram nilai kesukaan biskuit crackers bekatul

Berdasarkan histogram dapat disimpulkan bahwa nilai kesukaan terhadap biskuit crackers menunjukkan nilai kesukaan yang paling tinggi terdapat pada produk I, dari hasil penilaian dengan sekala hedonik yang menunjukkan rataan tertinggi yaitu 4,05. Selanjutnya nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit

crackers yang disubstitusi dengan bekatul terdapat pada produk II dengan rataan

yaitu 3,56 dibandingkan dengan produk III dan IV.

Penggunaan bekatul sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap warna dan rasa. Dimana semakin banyak jumlah bekatul yang ditambahkan kedalam biskuit

crackers, menyebabkan warnanya semakin coklat. Hal ini disebabkan oleh warna

(54)

faktor penting untuk menentukan daya terima suatu bahan makanan. Hal ini dikarenakan rasa lebih banyak melibatkan indera pengecap ( Winarno, 2002).

Berdasarkan hasil uji organoleptik, produk yang ditetapkan kadar serat kasar, kadar air dan kadar abu, serta identifikasi kandungan logam berbahaya adalah produk yang paling disukai oleh panelis yaitu produk I (biskuit crackers tanpa disubstitusi dengan bekatul) dan produk II (yang disubstitusi dengan 10% bekatul).

4.2 Kadar Serat Kasar dalam Biskuit Crackers Produk I dan Produk II

Data penimbangan dan penetapan kadar serat kasar dalam biskuit crackers dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 51 sampai dengan 52. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil kadar serat kasar biskuit crackers produk I dan produk II secara berturut-turut 0,1903% ± 0,0081% dan 0,4349% ± 0,0046%. Hasil penetapan kadar serat kasar pada biskuit crackers, dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kadar Serat Kasar dalam Biskuit Crackers Produk I dan Produk II

Produk Kadar Serat Kasar (%)

Peningkatan Kadar Serat Kasar (%)

I 0,1903% ± 0,0081% -

II 0,4349% ± 0,0046% 128,5 %

(55)

jumlah tepung terigu yang disubstitusi dengan bekatul dalam pembuatan biskuit

crackers, maka semakin tinggi kadar serat kasar yang terkandung di dalamnya.

Besarnya peningkatan kadar serat ini disebabkan karena kadar serat kasar yang terdapat dalam bekatul jauh lebih besar daripada tepung terigu. Kandungan serat yang tinggi dalam bekatul memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai produk makanan yang mengandung serat (Jubaidah, 2008). Biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul memiliki kadar serat kasar yang memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI (1992). Syarat mutu untuk biskuit adalah memiliki maksimal kadar serat kasar sebesar 0,5%. Perhitungan kadar serat kasar dalam biskuit crackers produk I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 57 sampai dengan 58 dan lampiran 10 halaman 59 sampai dengan 62.

4.3 Kadar Air dalam Biskuit Crackers Produk I dan Produk II

Data penimbangan dan penetapan kadar air dalam biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 53 sampai dengan 54. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil kadar air biskuit crackers produk I dan produk II secara berturut-turut 6,6059% ± 0,0789% dan 5,6173% ± 0,07886%. Kadar air produk II lebih rendah dibandingkan dengan produk I. Menurunnya kadar air diduga karena penguapan air pada saat pemanggangan lebih besar daripada tepung terigu. Hal ini berhubungan dengan sifat daya serap bekatul yang lebih rendah daripada daya serap tepung terigu (Luh, 1980).

(56)

crackers produk I dan produk II tidak dapat disimpan lama pada suhu kamar

dengan kemasan plastik dan tidak tertutup rapat. Karena bahan yang dapat disimpan lama pada suhu kamar dengan kemasan plastik dan tidak tertutup rapat harus memiliki kadar air maksimal 5 % (SNI, 1992). Perhitungan kadar air dalam biskuit crackers produk I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 63 sampai dengan 66 dan Lampiran 12 halaman 67 sampai dengan 69.

4.4 Kadar Abu dalam Biskuit Crackers Produk I dan Produk II

Data penimbangan dan penetapan kadar abu dalam biskuit crackers dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 55 sampai dengan 56. Pada percobaan penentuan kadar abu, didapatkan hasil kadar abu biskuit crackers produk I dan produk II sebesar 1,0643% ± 0,1187% dan 1,4165 ± 0,0550%. Tingginya kadar abu produk II disebabkan oleh tingginya kadar abu bekatul dibandingkan dengan tepung terigu. Peningkatan kadar abu menunjukka n bahwa kandungan mineral biskuit

crackers yang disubstitusi bekatul lebih banyak daripada tepung terigu. Hal ini

berarti biskuit crackers produk II sebagian besar tersusun atas molekul mineral. Menurut sudarmadji, penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kandungan mineral dari suatu bahan. Biskuit crackers produk I dan produk II memiliki kadar abu yang memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI (1992) yaitu maksimum 1,6%. Perhitungan kadar abu dalam biskuit crackers produk I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 13 halaman 70 sampai dengan 73 dan Lampiran 14 halaman 74 sampai dengan 76.

(57)

Produk II

Pada percobaan diperoleh bahwa, biskuit crackers produk I dan produk II

(58)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

1. Bekatul dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam substitusi tepung terigu pada biskuit crackers.

2. Panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi dengan 10% bekatul dengan rataan kesukaan 3,56 menurut skala hedonik.

3. Kadar serat kasar, kadar air dan kadar abu dalam biskuit crackers tanpa substitusi bekatul berturut-turut adalah 0,1903% ± 0,0081%, 6,6059% ± 0,0789% dan 1,0643% ± 0,1187%, sedangkan kadar serat kasar, kadar air dan kadar abu yang disubstitusi bekatul 10% berturut-turut adalah 0,4349% ± 0,0046%, 5,6173% ± 0,07886% dan 1,4165 ± 0,0550%. Biskuit crackers tanpa substitusi bekatul dan disubstitusi dengan 10% bekatul tidak mengandung logam berbahaya.

5.2 Saran

(59)

DAFTAR PUSTAKA

Astawan, Made. 2008. Bahaya Logam Berat Dalam Makanan, diakses dari http://www.hayati-ipb.com/users/rudyct/PPs702/DEDIN_FR.htm.

Tanggal akses 02 Februari 2011.

Damayanthi, E, Tjing LT & Arbianto L. 2006. Rice Bran. Panebar Swadaya, Depok. Hal. 28.

David. 2008. Mengenal Manfaat Bekatul, diakses dari

Ferguson, L. R., dan Philip J.H. (1999). Wheat Bran and Cancer: The Role of Dietary Fiber. Asia Pasific J Clin Nurt.8 (suppl): S42-43.

Joseph, G. (2002). Manfaat Serat Bagi Kesehatan Kita. ipb.com/users/rudyct/PPs702/DEDIN_FR.htm. Tanggal akses 18 April 2008.

Jubaidah, Umi. 2008. Tepung Bekatul Dilihat Dari Kadar Serat, Sifat

Organoleptik Dan Daya Terima. Jakarta. Karya Tulis Ilmiah. Hal.14.

Kent, N. L. 1975. Technology of Cereals with Special Reference to Wheat. New York: Great Brittain Pengamon Press.

Kusharyanto dan A. Budiyanto, 1995. Upaya Pengembangan Produk Tempe

Dalam Industri Pangan. Yogyakarta. Puslitbang gizi.

Luh BS. 1980. Rice : Production andUtilization. The AVI Publishing Company, Wesport, Connecticut.

Meloan, C., dan Pomeranz, Y. (1987). Food analysis: Theory and Practice.

Edisi ke 2, New York: Van Nostrand Reinhold Company. Hal, 25, 679 680.

Mertens, D.R. (1992). Critical Conditions in Determining Detergent Fibers.

2009.

Munandar, Aliem Iskak. 1995. Teori Pastry. Yogyakarta : Akademi Kesejahteraan Sosial Tarakanita Yogyakarta. Hal. 1, 30, 31.

Nainggolan, O. (2005). Diet Sehat dengan Serat. Cermin Dunia Kedokteran

(60)

Piliang, W.G. dan Djojosoebagio, S. (1996). Fisiologi Nutrisi. Vol. I. Edisi Ke-2. Jakarta: UI-Press. Hal.195.

Richana, N., dan Suarni. (2004). Teknologi Pengolahan Jagung.Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen. Bogor.

Setyowati, Rini. 2008.Pengaruh Penambahan Bekatul Terhadap Kadar Serat Kasar dan Sifat Organoleptik.Jurnal Gizi dan Pangan. Hal. 34.

Soekarto. (1985). Penilaian Organoleptik untuk industri pangan dan hasil

pertanian. Bhatara karya aksara. Jakarta. Hal. 45.

Sondakh, Marsye, Manaffe. 1999. Penggolahan Kue Dan Roti. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 49.

Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat Mutu Biscuit. Departemen Perindustrian Republik Indonesia.

Sudarmadji, S. Haryono, B dan Suhardi. 1996. Analisis untuk Bahan Makanan

dan Pertanian. Bandung: Penerbit Alumni. Hal. 119, 141.

Sulistijani, D.A. (2002). Sehat dengan Menu Berserat. Cetakan III. Jakarta: Trubus Agriwidya. Hal. 4, 5, 27.

Suyono, H.A. (2001). Serat, benteng terhadap aneka penyakit.

http:

Tanggal akses 14 April 2009

Tensiska. (2008). Serat Makanan. Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjajaran.

U.S. Wheat Association. 1983. Pembuatan Kue dan Roti. Jakarta : Djambatan. Hal.15, 24, 35.

(61)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Syarat Mutu Biskuit (SNI, 1992)

Air………: maksimum 5% Protein……….: minimum 9% Lemak ……….: minimum 9,5% Karbohidrat ……….: minimum 70% Abu ………..: maksimum 1,6% Logam berbahaya ………....: negatip ( Hg, Pb, Cu ) Serat kasar………...: maksimum 0,5% Kalori… kal/100g……….: minimum 400 Jenis tepung………..: terigu

(62)

Lampiran 2. Formulir uji organoleptik

Nama panelis : ……… Tanggal : ……… NIM : ……… Produk : Biskuit

Berilah tanda dalam kotak di bawah ini sesuai dengan kesan anda setelah mencicipi biskuit

Produk : I II III IV

Amat sangat suka :

Sangat suka :

Suka :

Agak suka :

(63)

Tidak suka :

Lampiran 3. Gambar uji organoleptik

Gambar 7. Ruangan uji organoleptik

(64)

Gambar 9. Penyajian uji organoleptik

Lampiran 4. Data Uji Organoleptik

(65)

34 4 3 2 3 12

35 4 2 2 4 12

36 4 3 3 2 12

37 4 3 2 2 11

38 3 3 3 2 11

39 3 2 2 2 9

40 4 5 3 3 15

41 4 3 2 2 11

42 5 4 2 4 15

43 5 3 3 2 13

44 5 3 2 2 12

45 5 4 3 3 15

46 4 3 3 2 12

47 5 4 4 3 16

48 3 3 2 2 10

49 4 4 3 2 13

50 3 2 4 2 11

51 3 3 2 5 13

52 5 3 3 2 13

53 5 4 3 2 14

54 5 4 3 3 15

55 4 3 2 2 11

56 4 3 2 3 12

57 2 4 3 2 11

58 4 4 2 2 12

59 3 5 3 2 13

60 3 4 5 2 14

Total (Y) 243 214 171 143 771

Rata-rata 4.05 3.57 2.85 2.38 Nilai numerik organoleptik

1 = Tidak suka 2 =Agak suka 3 =Suka

(66)

5 =Amat sangat suka

Lampiran 5. Daftar Analisis Sidik Ragam

Descriptives

(67)

Produk I (0% Bekatul) 60 4.05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 60.000.

b. Type 1/Type 2 Error Seriousness Ratio = 100.

Multiple Comparisons

95% Confidence Interval Lower

(68)

Lampiran 6. Data penimbangan dan penetapan kadar serat kasar dalam biskuit crackers produk I dan produk II

Data penimbangan dan penetapan kadar serat kasar dalam biskuit

crackers produk I

No Berat sampel saring + Sampel

setelah di

Data penimbangan dan penetapan kadar serat kasar dalam biskuit crackers produk II saring + Sampel

(69)

4 4,0002 0,8152 0,8387 0.0235 0,5874

5 4,0003 0,8099 0,8273 0,0174 0,4374

6 4,0005 0,8159 0,8414 0,0255 0,6374

% kadar serat kasar =

Contoh perhitungan sampel nomor 1 % kadar serat kasar = 0,0077g

4,0001

x 100% = 0,1924%

Dengan cara yang sama diperoleh kadar serat kasar untuk sampel nomor 2 sampai nomor 6 dan perhitungan yang sama untuk penetapan kadar serat kasar dalam biskuit crackers produk I dan produk II.

(70)

Lampiran 7. Data penimbangan dan penetapan kadar air dalam biskuit

crackers produk I dan produk II

Data penimbangan dan penetapan kadar air dalam biskuit crackers produk I

No Berat sampel

(71)

4 6,0003 3,1113 8,7702 -0,3414 5,5804

5 6,0002 3,1413 8,8077 -0,3349 5,5814

6 6,0001 3,0312 8,6912 -0,3421 5,7016

% kadar air =

Contoh perhitungan sampel nomor 1 % kadar air = 0,3887

6,0000

g x 100% = 6,4783%

Dengan cara yang sama diperoleh kadar air untuk sampel nomor 2 sampai nomor 6 dan perhitungan yang sama untuk penetapan kadar air dalam biskuit crackers produk I dan produk II.

Gambar

Tabel 1. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers
Tabel 2. Skala hedonik dan skala numerik uji organoleptik
Gambar 6. Histogram nilai kesukaan biskuit crackers bekatul
Gambar 7. Ruangan uji organoleptik
+2

Referensi

Dokumen terkait

Uji Kadar Protein dan Organoleptik Biskuit Tepung Terigu Dan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dengan Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)[Skripsi]. Surakarta: Fakultas

Biskuit merupakan salah satu produk makanan ringan atau snack yang banyak dikonsumsi masyarakat. Bahan dasar pembuatan biskuit adalah tepung terigu, yang dapat

Uji Kadar Protein dan Organoleptik Biskuit Tepung Terigu Dan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) dengan Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)[Skripsi].. Surakarta: Fakultas

Penyusunan skripsi yang berjudul “Kandungan Serat Pangan dan Organoleptik Crackers Bekatul Jagung dengan Penambahan Tepung Kacang Bambara (Vigna Subterranea

Crackers adalah salah satu jenis biskuit terbuat dari tepung terigu, lemak dan garam yang difermentasi dengan yeast dan adonan dibuat berlapis-lapis, kemudian dipotong dan

Permasalahan yang timbul dalam pembuatan roti tawar dari bahan baku tepung campuran (tepung terigu dan tepung bekatul) adalah tekstur roti yang keras dan kurang mengembang

ii TUGAS AKHIR PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN CUPCAKE Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Ahli Madya Diploma III Program

Hasil Uji Organoleptik Terhadap Aroma Biskuit dari dari Substitusi Tepung Terigu dan Tepung Mocaf Aroma biskuit yang dihasilkan pada perlakuan D tepung terigu 0 g dan tepung Mocaf 100