PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI
TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS
DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK
SKRIPSI
OLEH :
SYEFRIO HENDRIKO NIM 071501011
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI
TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS
DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK
SKRIPSIDiajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SYEFRIO HENDRIKO NIM : 071501011
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PENGESAHAN SKRIPSI
PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI
TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK
OLEH :
SYEFRIO HENDRIKO NIM 071501011
Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi
Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Maret 2011
Pembimbing I Panitia penguji,
Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 1950082819760320021 NIP 195709091985112001
Pembimbing II, Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. NIP 1950082819760320021
Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.AppSc., Apt. Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 194909061980032001
Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt. NIP 195008261974122001
Medan, Maret 2011 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara
Dekan,
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan penulis kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan penelitian
dan penulisan skripsi ini. Terima kasih tidak terhingga kepada Ayahanda Khairul,
Ibunda Epi, Adinda Citra Berlian Tika, Friska Wulandari, dan Khairatul Ullya.
Serta bang Ya’qub, bang Abdi, bang Muttaqin, Pandu, Didi, dan Arif yang
memberikan do’a dan dorongan demi suksesnya penulis.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu
Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi,
M.AppSc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu,
bimbingan dan nasehat selama melakukan penelitian hingga selesainya
penyusunan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi
yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan
2. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt., selaku penasehat akademik yang telah
memperhatikan dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.
3. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt.,
Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt., dan selaku dosen penguji yang
telah memberikan kritikan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian
4. Dosen-Dosen Staf Pengajar Fakultas Farmasi yang telah banyak membimbing
penulis salama masa pendidikan.
5. Teman-temanku Yuyun, Idha, Icha, Tony, Jali, Ayu, Uji, Yani, Damay,
Meiva, Ade, Nensi, dan kak Melda serta Abang, Adik-adik di Fakultas
Farmasi, dan rekan-rekan Farmasi angkatan 2007 lainnya yang tidak dapat
disebut satu persatu, yang selalu menjadi temanku berbagi suka duka,
membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis
6. Kepala dan Staf Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif Farmasi dan
Laboratorium Statistika Farmasi serta rekan-rekan assisten Bang Aulia, Kak
Niki, Rachmad, Vintha, Dheo, Uti, Rima, Mayang, Fia atas pengalaman
berharga sebagai asisten laboratorium
7. Kepala dan Staf Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian atas seluruh fasilitas
yang diberikan selama proses penelitian.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis dengan segala kerendahan hati bersedia menerima kritikan dan saran yang
membangun dari kesempurnaan skripsi ini.
Medan, Maret 2011 Penulis,
Syefrio Hendriko
PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS
DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK ABSTRAK
Tepung terigu adalah bahan dasar pembuatan biskuit crackers. Bekatul dan tepung terigu memiliki kandungan protein dan lemak yang hampir sama. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Biskuit crackers bekatul dibuat dengan variasi penambahan bekatul 0 %, 10 %, 20 %, dan 30 %. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk tanpa substitusi bekatul dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers bekatul terdapat pada produk yang disubstitusi 10 % bekatul dengan rataan yaitu 3,56. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,85 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar protein biskuit
crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan
metode kjeldahl secara berturut-turut adalah 9,8335% dan 11,1149%. Sedangkan kadar lemak secara berturut-turut adalah 10,6382% dan 12,2326%. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.
UTILIZATION OF THE BRAN AS A SUBSTITUTION WHEAT FLOUR AT MANUFACTURE OF CRACKERS BISCUIT
AND DETERMINATION OF PROTEIN AND FAT ABSTRACT
Wheat flour is the base ingridient for production of bran crackers biscuit. Bran and wheat flour have a closely same of protein and fat contents. This aims of the study are to utilize bran as a substitute for wheat flour in the manufacture of crackers biscuit. The bran samples were obtained from the rice milling where is located in desa tanah merah, binjai. Bran crackers biscuit was made by various addition of bran 0, 10, 20 and 30 respectively. The most preference value of the crackers biscuit was the product whitout of bran, by the higest average 4,05 using hedonic scale, and to bran crackers biscuit was found at the product be substituted with 10 % of bran by the average 3,56. The result of statistical analysis organoleptis by using analisist of variance with interval confidence 95% was exhibited the F value = 45,85 more than the F table = 2,65, there was a significan difference the sense of the bran crackers biscuit with the various from percentage of the bran. The result of the determination of the protein content in crackers biscuit without substitution and be substituted with 10% bran using kjeldahl method were obtained respectiving is 9,8335% dan 11,1149%. While the fat content in a row is 10,6382% dan 12,2326%. From the result, bran can be used as a substitution of wheat flavor in made crackers biscuit.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Hipotesis ... 4
1.4 Tujuan Penelitian ... 5
1.5 Manfaat Penelitian... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1 Padi ... 6
2.2 Pengolahan Padi Menjadi Beras... 7
2.3 Bekatul ... 8
2.4 Manfaat Bekatul... 8
2.5 Biskuit Crackers ... 10
2.5.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit
Crackers dan Fungsinya ... 11
2.6 Protein ... 13
2.7 Fungsi Protein ... 14
2.8 Reaksi Khas Protein ... 15
2.9 Penentuan Kandungan Protein ... 16
2.10 Lemak ... 18
2.11 Penentuan Kadar Lemak ... 20
2.12 Panel ... 22
2.12.1 Seleksi Panelis Hedonik ... 23
2.12.2 Penilaian Organoleptik ... 24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 25
3.1 Alat-alat ... 25
3.2 Bahan-bahan ... 25
3.3 Lokasi Pengambilan Sampel ... 25
3.4 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul ... 26
3.5 Uji Organoleptik ... 28
3.6 Pembuatan Pereaksi ... 29
3.7 Penetapan Kadar Protein ... 30
3.7.1 Pembakuan NaOH 0,02 N ... 30
3.7.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul .... 30
3.8 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 32
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33
4.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 34
4.3 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 35
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
5.1 Kesimpulan... 37
5.2 Saran ... 37
DAFTAR PUSTAKA ... 38
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Komposisi Kimia Dari Bekatul... 8
Tabel 2. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers ... 26
Tabel 3. Skala Hedonik dan Skala Numerik Uji Organoleptik... 29
Tabel 4. Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul... 35
Tabel 5. Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 36
Tabel 6. Data Pembakuan Natrium Hidroksida 0,02 N dengan Standar Primer Kalium Biftalat ... 41
Tabel 7. Data Penetapan Kadar Protein Biskuit Crackers Produk I ... 42
Tabel 8. Data Penetapan Kadar Protein Biskuit Crackers Produk II ... 42
Tabel 9. Data Penetapan Kadar Lemak Biskuit Crackers Produk I ... 44
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bagan Pembuatan Biskuit Crackers ... 27
Gambar 2. Bagan Penetapan Kadar Protein Dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 31
Gambar 3. Bagan Penetapan Kadar Lemak Dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 32
Gambar 4. Histogram Nilai Kesukaan Rasa Biskuit Crackers Bekatul ... 33
Gambar 5. Ruangan Uji Organoleptik ... 61
Gambar 6. Penyajian Uji Organoleptik. ... 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI (1992) ... 40
Lampiran 2. Perhitungan Pembakuan Natrium Hidroksida 0,02 N ... 41
Lampiran 3. Perhitungan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 42
Lampiran 4. Perhitungan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 44
Lampiran 5. Perhitungan Kadar Protein Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk I ... 46
Lampiran 6. Perhitungan Kadar Protein Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk II ... 49
Lampiran 7. Perhitungan Kadar Lemak Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk I ... 52
Lampiran 8. Perhitungan Kadar Lemak Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk II ... 56
Lampiran 9. Formulir Uji Organoleptik ... 60
Lampiran 10. Gambar Uji Organoleptik ... 61
Lampiran 11. Data Uji Organoleptik ... 62
PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS
DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK ABSTRAK
Tepung terigu adalah bahan dasar pembuatan biskuit crackers. Bekatul dan tepung terigu memiliki kandungan protein dan lemak yang hampir sama. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Biskuit crackers bekatul dibuat dengan variasi penambahan bekatul 0 %, 10 %, 20 %, dan 30 %. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk tanpa substitusi bekatul dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers bekatul terdapat pada produk yang disubstitusi 10 % bekatul dengan rataan yaitu 3,56. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,85 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar protein biskuit
crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan
metode kjeldahl secara berturut-turut adalah 9,8335% dan 11,1149%. Sedangkan kadar lemak secara berturut-turut adalah 10,6382% dan 12,2326%. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.
UTILIZATION OF THE BRAN AS A SUBSTITUTION WHEAT FLOUR AT MANUFACTURE OF CRACKERS BISCUIT
AND DETERMINATION OF PROTEIN AND FAT ABSTRACT
Wheat flour is the base ingridient for production of bran crackers biscuit. Bran and wheat flour have a closely same of protein and fat contents. This aims of the study are to utilize bran as a substitute for wheat flour in the manufacture of crackers biscuit. The bran samples were obtained from the rice milling where is located in desa tanah merah, binjai. Bran crackers biscuit was made by various addition of bran 0, 10, 20 and 30 respectively. The most preference value of the crackers biscuit was the product whitout of bran, by the higest average 4,05 using hedonic scale, and to bran crackers biscuit was found at the product be substituted with 10 % of bran by the average 3,56. The result of statistical analysis organoleptis by using analisist of variance with interval confidence 95% was exhibited the F value = 45,85 more than the F table = 2,65, there was a significan difference the sense of the bran crackers biscuit with the various from percentage of the bran. The result of the determination of the protein content in crackers biscuit without substitution and be substituted with 10% bran using kjeldahl method were obtained respectiving is 9,8335% dan 11,1149%. While the fat content in a row is 10,6382% dan 12,2326%. From the result, bran can be used as a substitution of wheat flavor in made crackers biscuit.
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Biskuit crackers merupakan makanan kecil ringan yang sudah
memasyarakat dan banyak dijumpai di pasaran. Hal ini setidaknya dapat
dibuktikan dengan tersedianya biskuit crackers di hampir semua toko yang
menjual makanan kecil di perkotaan maupun hingga warung-warung di pelosok
desa. Gambaran tersebut diatas menandakan bahwa hampir semua lapisan
masyarakat sudah terbiasa menikmati biskuit crackers (Driyani, 2007).
Seiring perkembangan zaman yang pesat dan tingkat pendidikan yang
terus meningkat maka terjadi pula perubahan pada gaya hidup dan pola makan.
Sebagian masyarakat di kota-kota besar cenderung menyukai makanan siap santap
yang pada umumnya mengandung karbohidrat, garam, protein dan lemak tinggi.
Namun, tidak dipungkiri juga bahwa sebagian masyarakat sudah peduli dengan
kualitas gizi makanan sehingga masyarakat lebih selektif dalam menentukan jenis
makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi (Driyani, 2007).
Bekatul sebagai hasil samping penggilingan padi diperoleh dari lapisan
luar karyopsis beras. Nilai gizi bekatul sangat baik, mengandung vitamin B,
vitamin E, asam lemak esensial, serat pangan, protein, oryzanol, dan asam ferulat.
Pada umumnya biskuit crackers dibuat dengan bahan dasar tepung terigu jenis
hard dengan kandungan protein 11,13%. Harga tepung terigu terus meningkat
karena biji gandum masih tergantung dari luar negeri (import), maka perlu
dicarikan alternatif bahan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung
satunya dengan mengganti sebagian bahan dasar (sebagai substitusi) dengan
bahan lain yaitu bekatul yang mengandung 13,0 % protein, vitamin B, vitamin E,
asam lemak esensial, serat pangan, abu, oryzanol, dan asam ferulat. Selain
mengandung protein yang cukup tinggi, bekatul yang diperoleh sebanyak 2-3%
dari hasil samping penggilingan padi juga memiliki jumlah lemak yang tinggi,
yaitu 16,9 % (Kent, 1975; Damayanthi dkk, 2007).
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,
karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur, sebagai enzim dalam proses
biologis, alat pengangkut dan penyimpan, juga sebagai pertahanan tubuh atau
imunitas (Winarno, 1991). Beberapa metode analisis protein yaitu metode
Kjeldahl, metode Dumas dan Van Slyke, metode Turbidimetri atau Kekeruhan,
dan Metode Pengecatan (Sudarmadji, 1996). Dalam hal ini peneliti memilih
metode Kjeldhal, karena metode ini lebih mudah pelaksanaannya dibandingkan
dengan metode yang lain.
Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan
tubuh manusia. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif
dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat
menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi
vitamin A, D, E, dan K (Winarno, 1991). Beberapa metode analisis lemak yaitu
metode Sokletasi, metode Goldfish, dan Metode Babcock. Dalam hal ini peneliti
memilih metode Sokletasi, karena metode Sokletasi digunakan untuk menganalisa
sampel dalam bentuk padat, sedangkan Babcock untuk sampel dalam bentuk cair
Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) syarat kandungan minimum
protein dan lemak yang harus terdapat dalam biskuit berturut-turut sebanyak 9%,
dan 9,5%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai
pemanfaatan bekatul pada pembuatan keripik simulasi, kadar protein pada keripik
dengan substitusi tepung terigu 5%, 10%, 15%, dan 20% bekatul, secara
turut 6,05%, 6,95%, 7,66%, dan 7,96%. Kadar lemak diperoleh secara berturut-
berturut-turut yaitu 18,98%, 18,54%, 17,04%, dan 17,55%. Hasil uji organoleptik
menunjukan semakin banyak bekatul yang ditambahkan ke dalam keripik,
menurunkan nilai kesukaan panelis terhadap rasanya (Damayanti dan Listyorini,
2006).
Meskipun bekatul tersedia melimpah di Indonesia, Departemen Pertanian
(2002) menyebutkan bahwa ketersediaan bekatul di Indonesia cukup banyak dan
mencapai 4.5-5 juta ton setiap tahunnya namun pemanfaatannya untuk konsumsi
manusia masih terbatas. Hal ini mendorong peneliti untuk mensubsitusi tepung
terigu dengan bekatul pada pembuatan biskuit crackers, melakukan uji
organoleptik terhadap rasa biskuit crackers yang dihasilkan serta menetapkan
1.2Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar biskuit
crackers.
2. Apakah panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi
dengan bekatul.
3. Apakah kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul
memenuhi syarat mutu biskuit menurut SNI.
4. Apakah kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul
memenuhi syarat mutu biskuit menurut SNI.
1.3Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis analisis
sebagai berikut:
1. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar pembuatan
biskuit crackers.
2. Panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi dengan
bekatul.
3. Kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul memenuhi
syarat mutu biskuit menurut SNI.
4. Kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul memenuhi
1.4Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk memanfaatkan bekatul sebagai substitusi bahan dasar pembuatan
biskuit crackers.
2. Untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit crackers yang
disubstitusi dengan bekatul.
3. Untuk mengetahui kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan
bekatul.
4. Untuk mengetahui kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan
bekatul.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Pemanfaatan bekatul sebagai substitusi bahan dasar pembuatan biskuit
crackers.
2. Sebagai alternatif untuk mengurangi pemakaian tepung terigu sebagai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi
Sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman padi
diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Kelas : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Oryza
Spesies : Oryza sativa.
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim: Graminae
atau Glumiflorae). Tenaman semusim, berakar serabut, batang sangat pendek,
struktur berupa batang yang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling
menopang, daun sempurna dengan pelepah tegak, berbentuk lanset, warna hijau
muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek
dan jarang, bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut
floret, yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula, buah tipe bulir
atau kariopsis yang tidak dapat dibedakan mana buah dan bijinya, bentuk hampir
bulat hingga lonjong, ukuran 3 mm hingga 15 mm, tertutup oleh palea dan lemma
yang dalam bahasa sehari-hari disebut sekam, struktur dominan adalah
Diluar sekali biji beras diliputi oleh kulit padi atau sekam. Sekam
merupakan 20 % dari berat seluruh bulir, nama ilmiahnya adalah epicarp. Di
bawah epicarp ada lapisan kulit dalam yang disebut pericarp, terdiri atas 2-3 lapis
sel-sel dan lapisan ini dibatasi oleh aleuron. Bagian dalam biji disebut endosperm,
merupakan bagian terbesar ialah sekitar 80% dari seluruh biji. Pada bagian
pangkal biji melekat lembaga, yaitu bakal benih tanaman. Lembaga ini juga
sangat kaya akan protein, lemak dan berbagai vitamin (Sediaoetama, 2004).
2.2 Pengolahan Padi Menjadi Beras
Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi.
Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas
atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan
dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan
dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga
sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin
pengering jarang dilakukan. Istilah "Gabah Kering Giling" (GKG) mengacu pada
gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (Wikipedia, 2011).
Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk dan digiling,
sehingga beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan
yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari
pemisahan ini adalah: sekam atau merang, bekatul, dan dedak (Wikipedia, 2011).
Pada proses penggilingan atau penumbukan, sekam terlepas dan dibuang menjadi
dedak kasar. Pada penggilingan kedua lapisan pericarp dengan sedikit endosperm,
bakal benih tanaman yang juga akan lepas terbuang menjadi bagian bekatul pada
waktu akan digiling (Sediaoetama, 2004).
2.3 Bekatul
Bekatul merupakan salah satu hasil samping proses penggilingan padi.
Pada proses penggilingan beras pecah kulit diperoleh hasil samping dedak 8-9%
dan bekatul sekitar 2-3%. Bila dedak kasar tidak dapat dikonsumsi oleh manusia
maka bekatul masih dapat dijadikan bahan makanan untuk dikomsumsi.
Departemen Pertanian (2002) juga menyebutkan bahwa ketersediaan bekatul di
Indonesia cukup banyak dan mencapai 4.5-5 juta ton setiap tahunnya, bekatul
merupakan makanan sehat alami mengandung antioksidan, multivitamin dan serat
tinggi untuk penangkal penyakit degeneratif juga kaya akan pati, protein, lemak,
vitamin dan mineral (Damayanthi, 2007). Komposisi kimia dari bekatul dapat
dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Dari Bekatul (Kent, 1975)
Unsur kimia Komposisi
(%) Kadar Air
Protein Lemak Karbohidrat
Serat Abu
10 13 16,9
45 5,1 10
2.4 Manfaat Bekatul
Manfaat bekatul bagi kesehatan tidak hanya disebabkan oleh kandungan
vitamin B nya saja, tetapi juga karena kandungan zat gizi lainnya. Dari segi zat
gizi, bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras.
hewani, tetapi lebih tinggi dari kedelai, biji kapas, jagung dan terigu. Bekatul juga
merupakan sumber asam lemak tak jenuh esensial dan bermacam-macam vitamin
(B1, B2, B3, B5, B6 dan tokoferol), pangamic acid (Vit. B15), serat pangan
(dietary fiber), serta mineral. Natrium, Kalium, dan Khlor yang terkandung dalam
bekatul mudah diserap dan dikeluarkan (David, 2008).
Disamping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif pangan
atau pangan fungsional. Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol
(vitamin E), oryzanol dan pangamic acid (vit. B15). Senyawa tersebut merupakan
bagian dari lemak bekatul dan merupakan senyawa yang berharga untuk menjaga
kesehatan manusia, antara lain sebagai zat yang dapat menurunkan kadar
kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker dan memperlancar sekresi hormonal
(David, 2008).
Serat pangan yang dimaksud dalam makanan sehari-hari dapat berasal dari
sayur-sayuran, buah-buahan dan yang terpenting adalah serat pangan yang berasal
dari bekatul. Serat pada biji-bijian yang tidak dapat dicerna enzyme yang
disekresikan oleh manusia, secara tidak langsung penting untuk kesehatan. Hal ini
dikarenakan serat mempengaruhi status fisik isi saluran pencernaan, bahan
makanan, waktu transit usus, variasi kapasitas absorbs, serta pengenceran
asam-asam atau garam-garam empedu, sterol dan beberapa zat makanan. Serat tidk larut
meningkatkan berat dan frekuensi feses serta melembutkannya, serta menurunkan
waktu transit di usus (David, 2008).
Antioksidan adalah komponen berberat molekul kecil yang bereaksi
dengan oksidan sehingga menghambat oksidasi. Sehingga tidak hanya
perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif.
Bekatul padi mengandung vitamin E, vitamin B15, dan oryzanol beragam yang
berfungsi sebagai antioksidan. Komponen ini memiliki sifat memicu pertumbuhan
manusia, membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (David, 2008).
Vitamin B15 atau pangamic acid terutama berfungsi sebagai donor metal,
yang membantu di dalam pembentukan asam amino tertentu seperti metionin. Zat
ini berperan dalam oksidasi glukosa, respirasi sel sehingga berfungsi mengurangi
hipoksia (kekurangan oksigen) di otot jantung serta otot lain. Seperti vitamin E,
pangamic acid juga membantu memperpanjang umur sel melalui perlindungan
terhadap oksidasi. Pangamic acid memberikan stimulasi ringan ke endokrin dan
system saraf serta meningkatkan fungsi hati yang berperan dalam proses
detoksifikasi (pembuangan racun tubuh) (David, 2008).
2.5 Biskuit Crackers
2.5.1 Pengertian Biskuit Crackers
Dalam Standar Nasional Indonesia (1992) biskuit adalah produk makanan
kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar
terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan
makanan tambahan lain yang di ijinkan.
Biskuit dapat dikelompokkan menjadi
1. Biskuit Keras
Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk
pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar
2. Biskuit Crackers
Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalaui
proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah ke
asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.
3. Cookies
Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar
lemak tinggi dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang
padat.
4. Wafer
Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,
renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.
2.5.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit Crackers dan Fungsinya
1) Tepung Terigu
Untuk menghasilkan biscuit crackers yang bermutu tinggi, yang sangat
ideal atau cocok digunakan adalah tepung terigu keras atau hard wheat. Tepung
terigu keras mempunyai kadar protein 10%-11%, dihasilkan dari penggilingan
100% gandum hard. Jenis tepung ini digolongkan sebagai tepung terigu yang
mengandung protein tinggi, mudah dicampur dan diragikan, dapat menyesuaikan
dengan suhu yang diperlukan, berkemampuan menahan udara atau gas dan
mempunyai daya serap tinggi (Munandar,1995).
Tepung terigu keras dapat membentuk adonan yang mengembang karena
adanya pembentukan gluten pada saat proses fermentasi atau pemeraman yang
dibutuhkan dalam proses pembuatan biskuit crackers. Tepung terigu dalam
kualitas dan rasa yang enak dari hasil produknya serta warna dan tekstur yang
bagus (Sondakh dkk,1999).
2) Ragi
Fungsi ragi dalam pembuatan biskuit crackers yaitu sebagai pembentuk
gas dalam adonan sehingga adonan mengembang, memperkuat gluten,
menambah rasa dan aroma. Pada saat adonan diistirahatkan, ragi tumbuh baik
pada kondisi lembab dan sedikit udara sehingga pada waktu diistirahatkan adonan
harus ditutup rapat (Munandar, 1995).
3) Gula
Gula dapat mempercepat proses peragian adonan yaitu sebagai sumber
energi bagi kegiatan ragi sehingga adonan akan cepat mengembang (U. S Wheat
Asosisiation,1983).
4) Lemak
Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit crackers,
karena berfungsi sebagai bahan untuk menimbulkan rasa gurih, manambah aroma
dan menghasilkan tekstur produk yang renyah. Ada dua jenis lemak yang biasa
digunakan dalam pembuatan biskuit crackers yaitu dapat berasal dari lemak susu
(butter) atau dari lemak nabati (margarine) atau campuran dari keduanya (U. S
Wheat Asociation,1983).
5) Air
Biskuit keras memerlukan air sekitar 20% dari berat tepung. Air dalam
pembuatan biskuit crackers berfungsi sebagai pelarut bahan secara merata,
memperkuat gluten, mengatur kekenyalan adonan dan mengatur suhu adonan
6) Bahan Pengembang
Bahan pengembang merupakan bahan pengembang hasil reaksi asam
dengan natrium bicarbonat. Ketika pemanggangan berlangsung baking powder
menghasilkan gas CO2 dan residu yang tidak bersifat merugikan pada biskuit
crackers. Fungsi baking powder dalam pembuatan biskuit crackers adalah
mengembangkan adonan dengan sempurna (Munandar, 1995).
7) Garam
Pada pembuatan biskuit crackers penambahan garam berfungsi memberi
rasa dan aroma, mengatur kadar peragian, memperkuat gluten dan memberi warna
lebih putih pada remahan (Munandar,1995).
8) Susu Skim
Susu yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah susu skim
yang merupakan hasil pengeringan (dengan spray dryer) dari susu segar. Susu ini
memiliki reaksi mengikat terhadap protein tepung. Pada pembuatan biskuit
crackers susu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma biskuit serta
menambah nilai gizi produk (U. S Wheat Asociation,1983).
2.6 Protein
Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang
sangat bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Disamping berat molekul
yang berbeda-beda, protein mempunyai sifat yang berbeda-beda pula. Ada protein
yang mudah larut dalam air, tetapi ada juga yang sukar larut dalam air (Poedjiadi
dan Supriyanti, 2009).
Molekul protein merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai
gugus karboksil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah
satunya terletak pada atom C tepat disebelah gugus karboksil (atom C alfa).
Asam-asam amino bergabung melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus
karboksil dari asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang
disampingnya (Sudarmadji, 1996).
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,
karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga
berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun protein
merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam
tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila kebutuhan
energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Fungsi utama protein
bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan
yang telah ada (Winarno, 1986).
2.7 Fungsi Protein
Protein mempunyai fungsi bermacam-macam bagi tubuh, yaitu sebagai
enzim, zat pengatur pergerakan, pertahanan tubuh, dan alat pengangkut.
1. Sebagai Enzim
Hampir semua reaksi biologi dipercepat atau dibantu oleh suatu senyawa
makromolekul spesifik yang disebut enzim, dari reaksi yang sangat sederhana
seperti reaksi transportasi karbon dioksida sampai yang sangat rumit seperti
replikasi kromosom (Winarno, 1986).
2. Alat pengangkut dan alat penyimpan
Banyak molekul dengan berat molekul kecil serta beberapa ion dapat
mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedang mioglobin mengangkut oksigen
dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan
dalam hati sebagai kompleks dengan feritrin (Winarno, 1986).
3. Pengatur pergerakan
Protein merupakan komponen utama daging, gerakan otot terjadi karena
adanya dua molekul protein yang saling bergeseran (Winarno, 1986).
4. Pertahanan tubuh atau imunitas
Pertahanan tubuh biasanya dalam bentuk antibodi, yaitu suatu protein
khusus yang dapat mengenal dan menempel atau mengikat benda-benda asing
yang masuk ke dalam tubuh seperti virus, bakteri, dan sel-sel asing lain (Winarno,
1986).
2.8 Reaksi Khas Protein
1. Reaksi Xantoprotein
Larutan asam nitrat pekat ditambahkan dengan hati-hati ke dalam larutan
protein. Setelah dicampur terjadi endapan putih yang dapat berubah menjadi
kuning bila dipanaskan (Winarno, 1986).
2. Reaksi Hopkins-Cole
Triptopan dapat berkondensasi dengan beberapa aldehid dengan bantuan
asam kuat dan membentuk senyawa berwarna (Winarno, 1986).
3. Reaksi Millon
Pereaksi millon adalah larutan merkuro dan merkuri nitrat dalam asam
nitrat. Larutan protein ditambahkan dengan pereaksi millon akan menghasilkan
4. Reaksi Nitroprussid
Natriumnitroprusida dalam larutan amoniak akan menghasilkan warna
merah dengan protein yang mempunyai gugus –SH bebas (Winarno, 1986).
5. Reaksi Sakaguchi
Protein yang mengandung asam amino dengan gugus guanidin dapat
memberikan hasil yang positif berupa warna merah dengan pereaksi sakaguchi
(Winarno, 1986).
2.9 Penentuan Kandungan Protein
1. Metode Kjeldahl
Penentuan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan
berdasarkan penentuan empiris (tidak langsung) yaitu melalui penentuan
kandungan nitrogen yang ada dalam bahan. Dalam penentuan protein seharusnya
hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara
teknis hal itu sangat sulit dilakukan mengingat jumlah nitrogen non protein yang
dalam bahan biasanya sangat sedikit maka penentuan jumlah N-total ini tetap
dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Penentuan dengan cara ini
sering disebut penentuan jumlah N- total kasar (crude protein) (Sudarmadji,
1996).
Analisis dengan metode Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga
tahap yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.
a. Tahap destruksi
Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga akan
nitrogennya akan berubah menjadi (NH4)2 SO4. Tahap destruksi sudah selesai
apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna (Sudarmadji, 1996).
b. Tahap destilasi
Pada tahap destilasi, amonium sulfat dipecah menjadi amonia (NH3)
dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Amonia yang
dibebaskan selanjutnya akan bereaksi dengan asam standar. Asam standar yang
dipakai adalah larutan H2SO4 dan telah diberi indikator (Sudarmadji, 1996).
c. Tahap titrasi
Pada tahap titrasi, destilat yang dihasilkan dari proses destilasi, dititrasi
dengan NaOH 0,1 N untuk mengetahui sisa dari H2SO4 yang tidak bereaksi
dengan amonia (Sudarmadji, 1996).
Dasar perhitungan penentuan protein menurut kjeldahl ini adalah hasil
penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah
mengandung unsur N rata-rata 16%. Untuk campuran senyawa-senyaea protein
atau yang belum diketahui komposis unsur-unsur penyusunnya secara pasri, maka
faktor perkalian 6,25 inilah yang dipakai (Sudarmadji, 1996).
2. Metode Dumas dan Van Slyke
Selain cara Kjeldahl, penentuan N dapat pula dengan jalan mereaksikan
protein atau asam amino dengan asam nitrit sehingga dibebaskan N. Gas nitrogen
yang terjadi diukur banyaknya secara volumetris, cara ini dikenal dengan cara
Van Slyke. Cara lain yang dianggap mirip dengan cara diatas adalah cara Dumas.
Pada cara ini protein dibakar (pirolisis) sehingga dibebaskan nitorgen, dan diukur
secara volumetris. Kandungan proteinnya dihitung dengan mengalikan dengan
3. Metode Turbidimetri atau Kekeruhan
Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein
apabila ditambahkan pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic acid (TCA),
Kalium Ferri Cianida atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan
alat turbidimeter (Sudarmadji, 1996).
4. Metode Pengecatan
Beberapa bahan pewarna misalnya orange G, orange 12 dan amino black
dapat membentuk senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut.
Dengan mengukur sisa bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan
menggunakan kolorimeter, maka jumlah protein dapat ditentukan dengan cepat
(Sudarmadji, 1996).
5. Penentuan Protein dengan Titrasi Formol
Titrasi formol ini hanya tepat untuk menentukan suatu proses terjadinya
pemecahan protein dan kurang tepat untuk penentuan protein. Larutan protein
dinetralkan dengan NaOH, kemudian ditambahkan formalin akan membentuk
dimethiol. Dengan terbentuknya dimethiol ini berarti gugus aminonya sudah
terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam dengan basa sehingga
akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah
fenolftalein, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna menjadimerah muda
yang tidak hilang dalam 30 detik (Sudarmadji, 1996).
2.10 Lemak
Salah satu kelompok senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan,
hewan atau manusia dan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia adalah
mempunyai sifat fisika seperti lemak, dimasukan dalam suatu kelompok yang
disebut lipid. Adapun sifat fisika yang dimaksud adalah:
i. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam satu atau lebih dari satu pelarut
organik yang disebut pelarut lemak.
ii. Ada hubungan dengan asam-asam lemak atau esternya.
iii. Mempunyai kemungkinan digunakan oleh makhluk hidup (Poedjiadi dan
Supriyanti, 2009).
Senyawa-senyawa yang termasuk lipid ini dapat dibagi dalam beberapa
golongan.
1. Lipid sederhana, yaitu ester asam lemak dengan berbagai alkohol, contohnya
lemak atau gilesrida dan lilin
2. Lipid gabungan, yaitu ester asam lemak yang mempunyai gugus tambahan,
contohnya fosfolipid.
3. Derivat lipid, contohnya asam lemak, gliserol, dan sterol (Winarno, 1986).
Yang dimaksud dengan lemak disini adalah suatu ester asam lemak
dengan gliserol. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua atau tiga molekul
asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida, atau
trigliserida. Pada lemak, satu molekul gliserol mengikat tiga molekul asam lemak,
oleh karena itu lemak adalah suatu trigliserida (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).
Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga
kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber
energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Minyak dan
lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E,
Kandungan lemak makanan dapat merentang mulai dari sangat rendah
sampai sangat tinggi, baik dalam produk tumbuhan maupun produk hewan. Dalam
makanan yang tidak dimodifikasi, seperti daging, susu, serelia, dan ikan lipidnya
berupa campuran yang terdiri banyak senyawa, dengan bagian utama trigliserida
(deMan, 1998).
2.11 Penentuan Kadar Lemak
Penentuan kadar lemak dan minyak dengan pelarut, selain lemak juga
terikut fosfolipid, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang lain.
Karena itu hasil analisisnya disebut dengan lemak kasar (Sudarmadji, 1996).
1. Metode Sokletasi
Sejumlah sampel ditimbang dengan teliti dimasukan kedalam thimbel
yang dapat dibuat dari kertas saring. Sampel yang belum kering harus dikeringkan
lebih dahulu untuk memperbesar luas permukaan kontak dengan pelarut.
Selanjutnya labu alas dipasang berikut kondensornya. Pada akhir ekstraksi yaitu
kira-kira 3-4 jam, labu alas diambil dan ekstrak dituang kedalam botol timbang
atau cawan porselin yang telah diketahui beratnya, kemudian pelarut
diuapkandiatas penangas air sampai pekat. Selanjutnya dikeringkan dalam oven
sampai diperoleh bobotr konstanya (Sudarmadji, 1996).
2. Metode Goldfish
Ekstraksi dengan alat Goldfish sangat praktis. Bahan sampel yang telah
dihaluskan dimasukan kedalam thimbel dan dipasang dalam tabung penyangga
yang pada bagian bawahnya berlubang. Bahan pelarut yang digunakan
ditempatkan dalam bekerglas di bawah tabung penyangga. Bila bekerglas
mengembun dan menetes pada sampel demikian terus menerus sehingga bahan
akan dibasahi oleh pelarut dan akan terekstraksi, selanjutnya akan tertampung ke
dalam bekerglas kembali. Setelah ekstraksi selesai, sampel berikut penyangganya
diambil dan diganti dengan bekerglas yang ukurannya sama dengan tabung
penyangga. Pemanas dihidupkan kembali sehingga pelarut akan diuapkan lagi dan
diembunkan serta tertampung ke dalam bekerglas yang terpasang di bawah
kondensor, dengan demikian pelarut yang tertampung dapat dimanfaatkan untuk
ekstraksi yang lain (Sudarmadji, 1996).
3. Metode Babcock
Bahan yang berbentuk cair, penentuan lemaknya dapat menggunakan
botol Babcock. Penentuan lemak dengan Babcock sangatlah sederhana. Sampel
yang telah ditimbang dengan teliti dimasukan kedalam botol Babcock. Pada
lehernya telah dilengkapi dengan skala ukuran volume. Sampel yang dianalisa
ditambah asam sulfat pekat untuk merusak emulsi lemak sehingga lemak akan
terkumpul menjadi satu pada bagian atas cairan. Pemisahan lemak dari cairannya
dapat lebih sempurna bila dilakukan sentrifugasi. Rusaknya emulsi lemak
dikarenakan asam sulfat dapat merusak lapisan film yang menyelimuti globula
lemak yang biasanya terdiri dari senyawa protein. Dengan rusaknya protein
(denaturasi ataupun koagulasi) maka nenubgkinkan globula lemak yang satu akan
bergabung dengan golula lemak yang lain dan akhirnya menjadi kumpulan lemak
yang lebih besar dan akan mengapung di atas cairan. Setelah disentrifugasi lemak
akan semakin jelas terpisah dengan cairannya dan agar dapat dibaca banyaknya
lemak kedalam botol ditambahkan akuades panas sampai lemak atau minyak tepat
2.12 Panel
Untuk melaksanakan suatu penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam
penilaian mutu atau analisa sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak
sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang
disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan
subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Jadi, penilaian
makanan secara panel berdasarkan kesan subjektif dari para panelis dengan
prosedur sensorik tertentu yang harus dituruti. Penggunaan panel ini dapat
dibedakan tergantung dari tujuan (Soekarto, 1985).
Menurut Soekarto (1985) terdapat 6 macam panel yang biasa digunakan
dalam penelitian organoleptik yaitu:
a. Panel pencicip perorangan
Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional digunakan dalam
industri-industri makanan seperti pencicip teh, kopi, anggur, es krim atau penguji
bau pada industri minyak wangi (parfum). Pencicip ini mempunyai kepekaan
yang sangat tinggi jauh melebihi kepekaan rata-rata manusia.
b. Panel pencicip terbatas
Untuk menghindari ketergantungan pada pencicip perorangan maka industri
menggunakan 3-5 orang penilai yang mempunyai kepekaan tinggi yang disebut
panel pencicip terbatas. Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium
yang sudah mempunyai pengalaman luas akan komoditi tertentu.
c. Panel terlatih
Anggota panel ini lebih besar dari panel di atas yaitu 15-25 orang. Untuk
d. Panel tak terlatih
Jika panel terlatih biasanya untuk menguji perbedaan (difference test), maka
panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan (preference test). Anggota
panel tak terlatih tidak tetap.
e. Panel agak terlatih
Panelis dalam katagori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang
karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Tetapi latihan-latihan yang
diterima tidak cukup intensif dan tidak teratur, karena itu belum mencapai tingkat
sebagai panel terlatih. Jumlah untuk panel agak terlatih jumlahnya terletak di
antara panelis terlatih dan tidak terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15-25 orang.
Makin kurang terlatih makin besar jumlah panelis yang diperlukan.
f. Panel konsumen
Panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya, dari 30
sampai 1000 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan (preference
test) dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan
untuk menentukan apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh masyarakat.
Anggota panel konsumen dapat diambil dari sejumlah orang yang ada di pasar
atau dapat pula dilakukan dengan mendatangi rumah konsumen, dalam hal
kelompok pertama pengujian dapat diselenggarakan sekaligus, sedangkan dalam
hal yang kedua diselenggarakan dengan mendatangi rumah-rumah.
2.12.1 Seleksi Panelis Hedonik
Calon panelis dapat diambil dari orang awam atau dari luar instansi, dapat
diambil dari tamu yang berkunjung. Orang yang sudah terlanjur ahli atau kenal
panel hedonik makin besar semakin baik, sebaiknya jumlah itu melebihi 30 orang.
Jumlah lebih besar tentu menghasilkan kesimpulan yang dapat diandalkan. Tetapi
biaya penyelenggaraanya terlalu tinggi karena itu biasanya ada kompromi antara
jumlah anggota dan biaya penyelenggaraan.
Menurut Soekarto (1985) kriteria panelis sebagai berikut:
1. Memiliki kepekaan dan konsistensi yang tinggi
2. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang diambil secara acak.
Jumlah anggota panelis hedonik semakin besar semakin baik
3. Berbadan sehat
4. Tidak dalam keadaan tertekan
5. Mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-cara penilaian
organoleptik
2.12.2 Penilaian Organoleptik
Suatu laboratorium yang menggunakan manusia sebagai alat ukur
berdasarkan kemampuan pengindraanya, Panelis diberikan format evaluasi
dimana ada banyak jenisnya. Salah satunya mempunyai kolom untuk sampel
dengan penilaian seperti sangat suka, agak suka, tidak suka, agak tidak suka dan
sangat tidak suka. Panelis memberi pendapat untuk setiap sampel dan dapat
memberikan komentar tambahan. Penilaian diberikan peringkat angka oleh
pemimpin uji panel, seperti 5 untuk amat sangat suka menurun hingga 1 untuk
tidak suka. Setelah semua format evaluasi lengkap, pemimpin uji panel
mentabulasikan dan merata-ratakan hasilnya. Skala peringkat angka untuk rasa
BAB III
METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian berupa metode eksperimental yang meliputi
pengumpulan dan pengolahan bekatul menjadi biskuit crackers, serta penetapan
kadar protein dan lemak dalam biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.
Kadar protein ditetapkan dengan metode kjeldahl, dan kadar lemak ditetapkan
dengan metode sokletasi.
3.1 Alat-alat
Alat-alat yang digunakan terdiri dari: labu kjeldahl, pendingin liebig, buret
50 ml, alat soklet, labu alas bulat 250 ml, kertas saring pembungkus, cawan
porselin, desikator, oven, neraca analitis, mortir dan stemper, dan alat-alat gelas
laboratorium lainnya.
3.2 Bahan-bahan
Bahan pembuatan biskuit crackers yang digunakan adalah tepung terigu,
bekatul, butter, margarine, susu skim, ragi, garam, pengembang, gula dan air.
Bahan pereaksi yang digunakan adalah air, n-heksana, dan yang berkualiatas pro
analisis (E.Merck) seperti Natrium Hidroksida, Asam Sulfat 98%, Kalium Sulfat,
Kupri Sulfat, indikator metil merah, dan indikator metil biru.
3.3 Lokasi Pengambilan dan Penyiapan Sampel
Sampel yang digunakan yaitu bekatul yang merupakan hasil samping
penggilingan padi yang diambil secara purposif dari penggilingan padi di Desa
Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Bekatul yang akan digunakan dalam
pembuatan biskuit crackers adalah bekatul yang telah diayak terlebih dahulu
3.4 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul
Resep dasar penimbangan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan
biskuit crackers adalah sebagai berikut: 500 gram tepung terigu, 20 gram susu
skim, 64 gram butter, 96 gram margarine, 5 gram ragi, 1 gram gula, 1 gram
garam, 50 gram keju, 1 gram pengembang, dan 250 ml air. Sedangkan untuk
bahan dust fillingnya adalah campuran dari 50 gram tepung teigu, 500 mg garam
dan 400 mg pengembang. Adapun variasi bahan dasar pembuatan biskuit crackers
bekatul dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul
Nama
Tepung Terigu Bekatul
(gram) (%) (gram)
Produk I 500 0 0
Produk II 450 10 50
Produk III 400 20 100
Produk IV 350 30 150
Keterangan : % menyatakan jumlah tepung terigu yang disubstitusi dengan Bekatul
Contoh Produk II; x 500 50gram 100
10
=
Margarine, butter, garam, susu skim, gula, dan keju dicampur dengan
menggunakan mixer sampai tercampur rata (campuran 1). Tepung terigu, bekatul,
ragi dan pengembang dicampur kering (campuran 2). Campuran 1 dengan
campuran 2 dijadikan satu kemudian ditambah dengan air kemudian diadoni
sampai adonan kalis selama 30 menit. Adonan difermentasi atau diperam selama
30 menit sambil ditutup rapat. Setelah mengembang, adonan dipipihkan
membentuk lembaran, bahan dust filling dicampur rata kemudian ditebarkan
bahan dust filling ditebarkan kembali dan diulangi sampai tiga kali. Adonan
dipipihkan setebal 2 mm, kemudian dicetak dengan bentuk segi empat ukuran
3 cm x 5 cm, diberi lubang kecil-kecil dengan garpu. Dipanggang dalam oven
pada suhu 100 °C selama 7 menit (Sondakh dkk, 1999). Bagan pembuatan biskuit
crackers dapat dilihat pada gambar 1.
Tahap Persiapan
Tahap Pencampuran Bahan
Tahap Fermentasi atau Pemeraman
Tahap Pemipihan dan Pelapisan dust filling
Tahap Pembentukan atau Pencetaka
Tahap Pembakaran
Tahap Penyelesaian
- Penyiapan bahan dan peralatan - Penimbangan bahan
- Margarine, butter, garam, susu, gula, keju dicampur (campuran 1). - Tepung terigu, Bekatul, ragi ,
pengembangdicampur (campuran 2).
- Campuran 1 + campuran 2
ditambah air diadoni sampai kalis selama 30 menit.
- Adonan difermentasi selama 30 menit.
- Pemipihan adonan ukuran 2 mm - Penaburan bahan dust filling. - Pelipatan adonan menjdi 4 bagian. - Penaburan bahan dust filling 3 x
- Penggilingan adonan. - Pencetakan adonan.
- Pembakaran adonan suhu 1600Cselama 20 menit.
3.5 Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan metode hedonik (Soekarto 1985), yaitu
analisis menurut uji kesukaan terhadap rasa. Panelis diharapkan dapat
mengemukakan penilaian suka atau tingkat kesukaan.
Kriteria panelis :
i. Panelis yang digunakan
adalah panelis konsumen yang diambil secara acak dengan jumlah anggota
panelis seluruhnya 60 orang.
ii. Panelis yang digunakan
adalah mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.
iii. Tidak dalam keadaan sakit
(dilihat bahwa panelis tidak sedang demam, flu dan batuk).
Langkah-langkah uji organoleptik:
(i). Pengujian dilakukan di dalam ruangan yang bersih. Gambar ruangan uji
organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 10 gambar 5 halaman 60
(ii). Biskuit crackers bekatul masing-masing diberi kode produk I, II, III dan IV
dengan variasi substitusi tepung terigu dengan bekatul berturut-turut adalah
0%, 10%, 20%, dan 30%. Gambar penyajian uji organoleptik dapap dilihat
pada lampiran 10 gambar 7 halaman 60.
(iii). Kepada panelis disajikan biskuit crackers untuk dicicipi, air putih dan
formulir pertanyaan. Sebelumnya panelis diberikan penjelasan singkat
mengenai produk yang diperiksa dan cara penilaian. Formulir pertanyaan dan
Penjelasan yang diberikan kepada panelis yaitu:
a. Produk yang diperiksa adalah biskuit crackers yang bahan dasarnya
disubstitusi dengan bekatul
b. Setiap melakukan pencicipan panelis dianjurkan untuk minum, agar panelis
dapat menilai secara objektif terhadap setiap produk
c. Setelah panelis selesai mencicipi produk yang diperiksa, panelis diminta
untuk memberi penilaian berdasarkan tingkat kesukaan sesuai dengan
penilaian mereka masing-masing. Gambar panelis sedang memberikan
penilaian terhadap rasa biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada Lampiran
10 gambar 6 halaman 60.
(iv).Untuk penganalisaan, skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik
dengan angka menaik sesuai tingkat kesukaan. Dengan data numerik
dilakukan analisa statistik
(v). Skala hedonik dan skala numerik yang digunakan sebagai berikut:
Tabel 3. Skala hedonik dan skala numerik uji organoleptik
Skala hedonik Skala numerik
Amat sangat suka Sangat suka Suka Agak suka Tidak suka
5 4 3 2 1
3.6Pembuatan Pereaksi
NaOH 30 % diperoleh dengan melarutkan 30 gram pellet NaOH di dalam
1,4 ml H2SO4 98% dan akuades di dalam labu hingga 2500 ml. NaOH 0,02 N
dibuat dengan melarutkan 0,8 gram NaOH dengan akuades bebas CO2 di dalam
labu 1000 ml (Ditjen POM,1995).
Campuran selen merupakan campuran dari 100 gram K2SO4 dan 20 gram
CuSO4.5H2O. Pembuatan indikator mangsel yaitu dengan melarutkan 500 mg
metal biru dan 450 mg metil merah dengan akuades di labu 500 ml (Sudarmadji
dkk, 1989).
3.7Penetapan Kadar Protein
3.7.1 Pembakuan NaOH 0,02 N
Ditimbang seksama 100 mg kalium bifthalat kemudian dilarutkan dalam
air bebas CO2 sebanyak 30 ml. Ditambah 2 tetes indikator fenolftalein, dititrasi
dengan NaOH hingga terjadi warna merah muda mantap (Ditjen POM, 1995).
Dilakukan perlakuan yang sama tiga kali dan dihitung normalitas larutan. 1 ml
natrium hidroksida 1 N setara dengan 204,2 mg kalium biftalat.
Normalitas NaOH =
bifthalat K
BE x (ml) Vol.NaOH
(mg) Bifthalat K
Berat
− −
Data volume NaOH yang terpakai dan pembakuan NaOH 0,02 N dapat
dilihat pada Lampiran 2 halaman 40.
3.7.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul
Ditimbang seksama 0,2 gram biskuit crackers bekatul yang telah
dihaluskan, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, ditambah pereaksi 2 gram
campuran selen, dan 3 ml H2SO4 98%. Didestruksi sampai cairan berwarna hijau
jernih lebih kurang selama 3 jam dan didinginkan. Ditambahkan dengan 20 ml
akuades, dipindahkan kedalam erlenmeyer. Campuran ditambahkan dengan 30 ml
yang berisi 25 ml H2SO4 0,02 N dan indikator mengsel di dalam erlenmeyer.
Destilasi hingga diperoleh sebanyak mungkin destilat. Destilat dititrasi dengan
NaOH 0,02 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Dilakukan
hal yang sama terhadap blanko (Sudarmadji dkk, 1989). Bagan penetapan kadar
protein dalam biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada gambar 2.
Kadar protein = x FK x 100%
sampel Berat
0,014 N
) V
(Vblanko− sampel × NaOH×
Dimana Vsampel = volume titrasi sampel
NNaOH = Normalitas NaOH hasil pembakuan
FK = Faktor Konfersi untuk Makanan = 6,25 (Winarno, 1991).
Dimasukan ke dalam labu Kjedahl
Ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dan 2 gram sampuran selen
Digojog sampai rata dan dipanaskan dalam lemari asam sampai warna jernih (hijau jernih)
setelah dingin tambahkan 20 ml akuades, pindahkan ke alat
penyuling
tambahkan 30 ml NaOH 30%
Sebagai penempung digunakan 25 ml larutan H2SO4 0,02 N yang
telah dicampur indikator
Destilasi sampai didapat sebanyak mungkin destilat
Dititrasi dengan larutan NaOH 0,02 N Dilakukan titrasi blanko
Gambar 2. Bagan Penetapan Kadar Protein Dalam Biskuit Crackers Bekatul
0,2 gram sampel
Destilat
Hasil
3.8Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul
Ditimbang seksama 5 gram biskuit crackers bekatul yang telah dihaluskan
dan dimasukan kedalam thimble yaitu kertas saring pembungkus. Dialirkan air
pendingin melalui kondensor, pasang labu alas bulat 250 ml pada alat soklet
dengan 100 ml pelarut n-heksana. Ekstraksi dilakukan lebih kurang selama 4 jam,
sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu alas bulat berwarna jernih.
N-heksana yang telah mengandung ekstrak lemak dipindahkan kedalam cawan
penguap yang sudah diketahui bobot konstannya, kemudian diuapkan diatas
penangas air sampai pekat. Pengeringan diteruskan dalam oven 1000C sampai
diperoleh bobot konstannya (Sudarmadji dkk, 1989). Bagan penetapan kadar
lemak dalam biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada gambar 3.
Kadar lemak = x100%
Sampel Berat
cawan berat cawan)
lemak
(Berat + −
Dimasukan ke dalam kertas saring pembungkus
Dialirkan air melaui kondensor, dipasang labu alas bulat 250 ml pada alat soklet dengan 100 ml pelarut n-heksana
Ekstraksi dilakukan lebih kurang selama 4 jam, sampai pelarut
yang turun kembali ke dalam labu alas bulat berwarna jernih
N-heksana yang telah mengandung ekstrak lemak dipindahkan kedalam cawan penguap yang sudah diketahui bobot konstannya, kemudian diuapkan diatas penangas air sampai pekat
Pengeringan diteruskan dalam oven 1000C sampai diperoleh bobot konstannya
Gambar 3. Bagan Penetapan Kadar Lemak Dalam Biskuit Crackers Bekatul
5 gram sampel
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Organoleptik
Data uji organoleptik dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 61 sampai
dengan 62. Hasil analisis statistik dari data Uji organoleptik dengan menggunakan
analisis sidik ragam pada taraf α 0,05 dimana nilai F hitung= 45,847 lebih besar
dari F tabel = 2,65, dan signifikannya yaitu 0,000 lebih kecil dari 0,05 ini berarti
ada perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers
bekatul dengan berbagai penambahan bekatul dari penilaian panelis. Uji statistik
lanjutan dengan menggunakan analisis Duncan menunjukan bahwa rataan
kesukaan masing-masing produk terletak pada kolom yang berbeda, yang berarti
bahwa masing-masing produk memiliki tingkat kesukaan yang berbeda. Hasil
analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 63 sampai dengan
64. Histogram nilai kesukaan terhadap biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada
Gambar 4. Histogram nilai kesukaan biskuit crackers bekatul
Berdasarkan histogram dapat disimpulkan bahwa nilai kesukaan terhadap
biskuit crackers menunjukkan nilai kesukaan yang paling tinggi terdapat pada
produk I, dari hasil penilaian dengan sekala hedonik yang menunjukkan rataan
tertinggi yaitu 4,05. Sedangkan nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit
crackers yang disubstitusi dengan bekatul terdapat pada produk II dengan rataan
yaitu 3,56 dibandingkan dengan produk III dan IV.
Penggunaan bekatul sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan
biskuit crackers, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bentuk dan rasa.
Dimana semakin banyak jumlah bekatul yang ditambahkan kedalam biskuit
crackers, menyebabkan bentuknya semakin berwarna coklat. Hal ini disebabkan
oleh warna asal bekatul itu sendiri, warna bekatul bervariasi dari coklat muda
pada bekatul segar sampai coklat tua pada bekatul yang mengalami pemanasan.
Hal ini juga berpengaruh terhadap rasanya yaitu semakin tinggi persentase
penambahan bekatul, menyebabkan rasa yang dihasilkan juga terasa pahit. Rasa
merupakan faktor penting untuk menentukan daya terima suatu bahan makanan.
Hal ini dikarenakan rasa lebih banyak melibatkan indera pengecap.
Berdasarkan hasil uji organoleptik, produk yang ditetapkan kadar protein
dan lemaknya adalah biskuit crackers yang paling disukai oleh panelis yaitu
produk I, dan biskuit crackers bekatul yang paling disukai yaitu produk II dengan
10% bekatul.
4.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul
Data volume NaOH yang terpakai dan penetapan kadar protein biskuit
penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil kadar protein produk dan produk
II secara berturut-turut 9,8335% ± 0,0996% dan 11,1149% ± 0,0944%. Hasil
penetapan kadar protein pada biskuit crackers bekatul, dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul
Produk Kadar Protein (%)
Peningkatan kadar Protein (%)
I 9,8335 ± 0,0996 -
II 11,1149 ± 0,0944 13,03 %
Kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul
mengalami peningkatan sebesar 13,03 % dibandingkan dengan yang tanpa
disubstitusi dengan bekatul. Ini menunjukan bahwa semakin banyak jumlah
tepung terigu yang disubstitusi dengan bekatul dalam pembuatan biskuit crackers,
maka semakin tinggi jumlah protein yang terkandung di dalamnya. Tetapi
berbanding terbalik terhadap bentuk dan rasa yang dihasilkannya.
Biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul
memiliki kadar protein memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI
(1992), yaitu minimal sebesar 9%. Syarat mutu biskuit dapat dilihat pada lampiran
1 halaman 39 Perhitungan kadar protein sebenarnya dalam biskuit crackers
produk I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 45 sampai dengan
47, dan Lampiran 6 halaman 48 sampai demgam 50.
4.3 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul
Data penimbangan dan penetapan kadar lemak dalam biskuit crackers
bekatul dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 43 dan 44. Dari hasil penelitian
berturut-turut 10,6382% ± 0,1475% dan 12,2326% ± 0,0587%. Hasil penetapan
kadar lemak pada biskuit crackers bekatul, dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul
Produk Kadar lemak (%)
Peningkatan kadar Lemak (%)
I 10,6382 ± 0,1475 -
II 12,2326 ± 0,0587 14,98%
Kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul mengalami
peningkatan sebesar 14,98% dibandingkan dengan yang tanpa disubstitusi dengan
bekatul. Ini menunjukan bahwa semakin banyak jumlah tepung terigu yang
disubstitusi dengan bekatul dalam pembuatan biskuit crackers, maka semakin
tinggi jumlah lemak yang terkandung di dalamnya. Tetapi berbanding terbalik
terhadap bentuk dan rasa yang dihasilkannya.
Biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul
memiliki kadar lemak yang memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI
(1992), syarat kandungan lemak yang terdapat di dalam biskuit adalah minimal
sebesar 9,5%. Perhitungan kadar lemak sebenarnya dalam biskuit crackers produk
I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 51 sampai dengan 54, dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar biskuit
crackers
2. Panelis suka mengkonsumsi biscuit crackers yang disubstitusi dengan
10% bekatul dengan rataan kesukaan 3,56 menurut skala hedonik
3. Kadar protein dalam biskuit crackers yang bahan dasarnya tanpa
disubstitusi dan disubstitusi dengan bekatul berturut-turut sebanyak
9,8335% ± 0,0996% dan 11,1149% ± 0,0944%.
4. Kadar lemak dalam biskuit crackers yang bahan dasarnya tanpa
disubstitusi dan disubstitusi dengan bekatul berturut-turut yaitu10,6382%
± 0,1475% dan 12,2326% ± 0,0587%.
5.2 Saran
Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk membuat produk pangan
lain misalnya sereal, wafer dan roti dengan memanfaatkan bekatul sebagai