• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Bekatul Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Biskuit Crackers Dan Penetapan Kadar Protein Serta Lemak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Bekatul Sebagai Substitusi Tepung Terigu Pada Pembuatan Biskuit Crackers Dan Penetapan Kadar Protein Serta Lemak"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI

TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS

DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK

SKRIPSI

OLEH :

SYEFRIO HENDRIKO NIM 071501011

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI

TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS

DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH

SYEFRIO HENDRIKO NIM : 071501011

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI

TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK

OLEH :

SYEFRIO HENDRIKO NIM 071501011

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : Maret 2011

Pembimbing I Panitia penguji,

Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 1950082819760320021 NIP 195709091985112001

Pembimbing II, Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt. NIP 1950082819760320021

Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.AppSc., Apt. Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt. NIP 195006071979031001 NIP 194909061980032001

Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt. NIP 195008261974122001

Medan, Maret 2011 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan penulis kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan penelitian

dan penulisan skripsi ini. Terima kasih tidak terhingga kepada Ayahanda Khairul,

Ibunda Epi, Adinda Citra Berlian Tika, Friska Wulandari, dan Khairatul Ullya.

Serta bang Ya’qub, bang Abdi, bang Muttaqin, Pandu, Didi, dan Arif yang

memberikan do’a dan dorongan demi suksesnya penulis.

Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu

Prof. Dr. Siti Morin Sinaga, M.Sc., Apt., dan Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi,

M.AppSc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu,

bimbingan dan nasehat selama melakukan penelitian hingga selesainya

penyusunan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan

pendidikan

2. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt., selaku penasehat akademik yang telah

memperhatikan dan membimbing penulis selama masa perkuliahan.

3. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., Ibu Dra. Saleha Salbi, M.Si., Apt.,

Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt., dan selaku dosen penguji yang

telah memberikan kritikan dan saran kepada penulis dalam penyelesaian

(5)

4. Dosen-Dosen Staf Pengajar Fakultas Farmasi yang telah banyak membimbing

penulis salama masa pendidikan.

5. Teman-temanku Yuyun, Idha, Icha, Tony, Jali, Ayu, Uji, Yani, Damay,

Meiva, Ade, Nensi, dan kak Melda serta Abang, Adik-adik di Fakultas

Farmasi, dan rekan-rekan Farmasi angkatan 2007 lainnya yang tidak dapat

disebut satu persatu, yang selalu menjadi temanku berbagi suka duka,

membantu dan memberi dorongan semangat kepada penulis

6. Kepala dan Staf Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif Farmasi dan

Laboratorium Statistika Farmasi serta rekan-rekan assisten Bang Aulia, Kak

Niki, Rachmad, Vintha, Dheo, Uti, Rima, Mayang, Fia atas pengalaman

berharga sebagai asisten laboratorium

7. Kepala dan Staf Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian atas seluruh fasilitas

yang diberikan selama proses penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu

penulis dengan segala kerendahan hati bersedia menerima kritikan dan saran yang

membangun dari kesempurnaan skripsi ini.

Medan, Maret 2011 Penulis,

Syefrio Hendriko

(6)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS

DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK ABSTRAK

Tepung terigu adalah bahan dasar pembuatan biskuit crackers. Bekatul dan tepung terigu memiliki kandungan protein dan lemak yang hampir sama. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Biskuit crackers bekatul dibuat dengan variasi penambahan bekatul 0 %, 10 %, 20 %, dan 30 %. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk tanpa substitusi bekatul dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers bekatul terdapat pada produk yang disubstitusi 10 % bekatul dengan rataan yaitu 3,56. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,85 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar protein biskuit

crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan

metode kjeldahl secara berturut-turut adalah 9,8335% dan 11,1149%. Sedangkan kadar lemak secara berturut-turut adalah 10,6382% dan 12,2326%. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.

(7)

UTILIZATION OF THE BRAN AS A SUBSTITUTION WHEAT FLOUR AT MANUFACTURE OF CRACKERS BISCUIT

AND DETERMINATION OF PROTEIN AND FAT ABSTRACT

Wheat flour is the base ingridient for production of bran crackers biscuit. Bran and wheat flour have a closely same of protein and fat contents. This aims of the study are to utilize bran as a substitute for wheat flour in the manufacture of crackers biscuit. The bran samples were obtained from the rice milling where is located in desa tanah merah, binjai. Bran crackers biscuit was made by various addition of bran 0, 10, 20 and 30 respectively. The most preference value of the crackers biscuit was the product whitout of bran, by the higest average 4,05 using hedonic scale, and to bran crackers biscuit was found at the product be substituted with 10 % of bran by the average 3,56. The result of statistical analysis organoleptis by using analisist of variance with interval confidence 95% was exhibited the F value = 45,85 more than the F table = 2,65, there was a significan difference the sense of the bran crackers biscuit with the various from percentage of the bran. The result of the determination of the protein content in crackers biscuit without substitution and be substituted with 10% bran using kjeldahl method were obtained respectiving is 9,8335% dan 11,1149%. While the fat content in a row is 10,6382% dan 12,2326%. From the result, bran can be used as a substitution of wheat flavor in made crackers biscuit.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Padi ... 6

2.2 Pengolahan Padi Menjadi Beras... 7

2.3 Bekatul ... 8

2.4 Manfaat Bekatul... 8

2.5 Biskuit Crackers ... 10

(9)

2.5.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit

Crackers dan Fungsinya ... 11

2.6 Protein ... 13

2.7 Fungsi Protein ... 14

2.8 Reaksi Khas Protein ... 15

2.9 Penentuan Kandungan Protein ... 16

2.10 Lemak ... 18

2.11 Penentuan Kadar Lemak ... 20

2.12 Panel ... 22

2.12.1 Seleksi Panelis Hedonik ... 23

2.12.2 Penilaian Organoleptik ... 24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 25

3.1 Alat-alat ... 25

3.2 Bahan-bahan ... 25

3.3 Lokasi Pengambilan Sampel ... 25

3.4 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul ... 26

3.5 Uji Organoleptik ... 28

3.6 Pembuatan Pereaksi ... 29

3.7 Penetapan Kadar Protein ... 30

3.7.1 Pembakuan NaOH 0,02 N ... 30

3.7.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul .... 30

3.8 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 32

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

(10)

4.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 34

4.3 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 35

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Kesimpulan... 37

5.2 Saran ... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi Kimia Dari Bekatul... 8

Tabel 2. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers ... 26

Tabel 3. Skala Hedonik dan Skala Numerik Uji Organoleptik... 29

Tabel 4. Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul... 35

Tabel 5. Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 36

Tabel 6. Data Pembakuan Natrium Hidroksida 0,02 N dengan Standar Primer Kalium Biftalat ... 41

Tabel 7. Data Penetapan Kadar Protein Biskuit Crackers Produk I ... 42

Tabel 8. Data Penetapan Kadar Protein Biskuit Crackers Produk II ... 42

Tabel 9. Data Penetapan Kadar Lemak Biskuit Crackers Produk I ... 44

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bagan Pembuatan Biskuit Crackers ... 27

Gambar 2. Bagan Penetapan Kadar Protein Dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 31

Gambar 3. Bagan Penetapan Kadar Lemak Dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 32

Gambar 4. Histogram Nilai Kesukaan Rasa Biskuit Crackers Bekatul ... 33

Gambar 5. Ruangan Uji Organoleptik ... 61

Gambar 6. Penyajian Uji Organoleptik. ... 61

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Syarat Mutu Biskuit Berdasarkan SNI (1992) ... 40

Lampiran 2. Perhitungan Pembakuan Natrium Hidroksida 0,02 N ... 41

Lampiran 3. Perhitungan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 42

Lampiran 4. Perhitungan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul ... 44

Lampiran 5. Perhitungan Kadar Protein Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk I ... 46

Lampiran 6. Perhitungan Kadar Protein Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk II ... 49

Lampiran 7. Perhitungan Kadar Lemak Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk I ... 52

Lampiran 8. Perhitungan Kadar Lemak Sebenarnya dalam Biskuit Crackers Produk II ... 56

Lampiran 9. Formulir Uji Organoleptik ... 60

Lampiran 10. Gambar Uji Organoleptik ... 61

Lampiran 11. Data Uji Organoleptik ... 62

(14)

PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN BISKUIT CRACKERS

DAN PENETAPAN KADAR PROTEIN SERTA LEMAK ABSTRAK

Tepung terigu adalah bahan dasar pembuatan biskuit crackers. Bekatul dan tepung terigu memiliki kandungan protein dan lemak yang hampir sama. Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan bekatul sebagai bahan substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackers. Sampel bekatul diperoleh dari penggilingan padi di Desa Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Biskuit crackers bekatul dibuat dengan variasi penambahan bekatul 0 %, 10 %, 20 %, dan 30 %. Nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit crackers terdapat pada produk tanpa substitusi bekatul dengan rataan tertinggi yaitu 4,05 menggunakan skala hedonik, dan terhadap biskuit crackers bekatul terdapat pada produk yang disubstitusi 10 % bekatul dengan rataan yaitu 3,56. Hasil analisis statistik uji organoleptik dengan menggunakan analisis sidik ragam pada taraf kepercayaan 95% menunjukan nilai F hitung = 45,85 lebih besar dari F tabel 2,65, ini berarti terdapat perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers bekatul dengan berbagai persentase bekatul. Hasil penetapan kadar protein biskuit

crackers tanpa substitusi dan yang disubstitusi dengan 10% bekatul menggunakan

metode kjeldahl secara berturut-turut adalah 9,8335% dan 11,1149%. Sedangkan kadar lemak secara berturut-turut adalah 10,6382% dan 12,2326%. Ditinjau dari hasil penelitian diatas bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan biskuit crackres.

(15)

UTILIZATION OF THE BRAN AS A SUBSTITUTION WHEAT FLOUR AT MANUFACTURE OF CRACKERS BISCUIT

AND DETERMINATION OF PROTEIN AND FAT ABSTRACT

Wheat flour is the base ingridient for production of bran crackers biscuit. Bran and wheat flour have a closely same of protein and fat contents. This aims of the study are to utilize bran as a substitute for wheat flour in the manufacture of crackers biscuit. The bran samples were obtained from the rice milling where is located in desa tanah merah, binjai. Bran crackers biscuit was made by various addition of bran 0, 10, 20 and 30 respectively. The most preference value of the crackers biscuit was the product whitout of bran, by the higest average 4,05 using hedonic scale, and to bran crackers biscuit was found at the product be substituted with 10 % of bran by the average 3,56. The result of statistical analysis organoleptis by using analisist of variance with interval confidence 95% was exhibited the F value = 45,85 more than the F table = 2,65, there was a significan difference the sense of the bran crackers biscuit with the various from percentage of the bran. The result of the determination of the protein content in crackers biscuit without substitution and be substituted with 10% bran using kjeldahl method were obtained respectiving is 9,8335% dan 11,1149%. While the fat content in a row is 10,6382% dan 12,2326%. From the result, bran can be used as a substitution of wheat flavor in made crackers biscuit.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Biskuit crackers merupakan makanan kecil ringan yang sudah

memasyarakat dan banyak dijumpai di pasaran. Hal ini setidaknya dapat

dibuktikan dengan tersedianya biskuit crackers di hampir semua toko yang

menjual makanan kecil di perkotaan maupun hingga warung-warung di pelosok

desa. Gambaran tersebut diatas menandakan bahwa hampir semua lapisan

masyarakat sudah terbiasa menikmati biskuit crackers (Driyani, 2007).

Seiring perkembangan zaman yang pesat dan tingkat pendidikan yang

terus meningkat maka terjadi pula perubahan pada gaya hidup dan pola makan.

Sebagian masyarakat di kota-kota besar cenderung menyukai makanan siap santap

yang pada umumnya mengandung karbohidrat, garam, protein dan lemak tinggi.

Namun, tidak dipungkiri juga bahwa sebagian masyarakat sudah peduli dengan

kualitas gizi makanan sehingga masyarakat lebih selektif dalam menentukan jenis

makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi (Driyani, 2007).

Bekatul sebagai hasil samping penggilingan padi diperoleh dari lapisan

luar karyopsis beras. Nilai gizi bekatul sangat baik, mengandung vitamin B,

vitamin E, asam lemak esensial, serat pangan, protein, oryzanol, dan asam ferulat.

Pada umumnya biskuit crackers dibuat dengan bahan dasar tepung terigu jenis

hard dengan kandungan protein 11,13%. Harga tepung terigu terus meningkat

karena biji gandum masih tergantung dari luar negeri (import), maka perlu

dicarikan alternatif bahan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung

(17)

satunya dengan mengganti sebagian bahan dasar (sebagai substitusi) dengan

bahan lain yaitu bekatul yang mengandung 13,0 % protein, vitamin B, vitamin E,

asam lemak esensial, serat pangan, abu, oryzanol, dan asam ferulat. Selain

mengandung protein yang cukup tinggi, bekatul yang diperoleh sebanyak 2-3%

dari hasil samping penggilingan padi juga memiliki jumlah lemak yang tinggi,

yaitu 16,9 % (Kent, 1975; Damayanthi dkk, 2007).

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,

karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur, sebagai enzim dalam proses

biologis, alat pengangkut dan penyimpan, juga sebagai pertahanan tubuh atau

imunitas (Winarno, 1991). Beberapa metode analisis protein yaitu metode

Kjeldahl, metode Dumas dan Van Slyke, metode Turbidimetri atau Kekeruhan,

dan Metode Pengecatan (Sudarmadji, 1996). Dalam hal ini peneliti memilih

metode Kjeldhal, karena metode ini lebih mudah pelaksanaannya dibandingkan

dengan metode yang lain.

Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan

tubuh manusia. Selain itu lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif

dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat

menghasilkan 4 kkal/gram. Lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi

vitamin A, D, E, dan K (Winarno, 1991). Beberapa metode analisis lemak yaitu

metode Sokletasi, metode Goldfish, dan Metode Babcock. Dalam hal ini peneliti

memilih metode Sokletasi, karena metode Sokletasi digunakan untuk menganalisa

sampel dalam bentuk padat, sedangkan Babcock untuk sampel dalam bentuk cair

(18)

Menurut Standard Nasional Indonesia (SNI) syarat kandungan minimum

protein dan lemak yang harus terdapat dalam biskuit berturut-turut sebanyak 9%,

dan 9,5%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya mengenai

pemanfaatan bekatul pada pembuatan keripik simulasi, kadar protein pada keripik

dengan substitusi tepung terigu 5%, 10%, 15%, dan 20% bekatul, secara

turut 6,05%, 6,95%, 7,66%, dan 7,96%. Kadar lemak diperoleh secara berturut-

berturut-turut yaitu 18,98%, 18,54%, 17,04%, dan 17,55%. Hasil uji organoleptik

menunjukan semakin banyak bekatul yang ditambahkan ke dalam keripik,

menurunkan nilai kesukaan panelis terhadap rasanya (Damayanti dan Listyorini,

2006).

Meskipun bekatul tersedia melimpah di Indonesia, Departemen Pertanian

(2002) menyebutkan bahwa ketersediaan bekatul di Indonesia cukup banyak dan

mencapai 4.5-5 juta ton setiap tahunnya namun pemanfaatannya untuk konsumsi

manusia masih terbatas. Hal ini mendorong peneliti untuk mensubsitusi tepung

terigu dengan bekatul pada pembuatan biskuit crackers, melakukan uji

organoleptik terhadap rasa biskuit crackers yang dihasilkan serta menetapkan

(19)

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar biskuit

crackers.

2. Apakah panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi

dengan bekatul.

3. Apakah kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul

memenuhi syarat mutu biskuit menurut SNI.

4. Apakah kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul

memenuhi syarat mutu biskuit menurut SNI.

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis analisis

sebagai berikut:

1. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar pembuatan

biskuit crackers.

2. Panelis suka mengkonsumsi biskuit crackers yang disubstitusi dengan

bekatul.

3. Kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul memenuhi

syarat mutu biskuit menurut SNI.

4. Kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul memenuhi

(20)

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk memanfaatkan bekatul sebagai substitusi bahan dasar pembuatan

biskuit crackers.

2. Untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap biskuit crackers yang

disubstitusi dengan bekatul.

3. Untuk mengetahui kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan

bekatul.

4. Untuk mengetahui kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan

bekatul.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Pemanfaatan bekatul sebagai substitusi bahan dasar pembuatan biskuit

crackers.

2. Sebagai alternatif untuk mengurangi pemakaian tepung terigu sebagai

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi

Sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman padi

diklasifikasikan sebagai berikut.

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monocotyledoneae

Ordo : Poales

Familia : Poaceae

Genus : Oryza

Spesies : Oryza sativa.

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim: Graminae

atau Glumiflorae). Tenaman semusim, berakar serabut, batang sangat pendek,

struktur berupa batang yang terbentuk dari rangkaian pelepah daun yang saling

menopang, daun sempurna dengan pelepah tegak, berbentuk lanset, warna hijau

muda hingga hijau tua, berurat daun sejajar, tertutupi oleh rambut yang pendek

dan jarang, bunga tersusun majemuk, tipe malai bercabang, satuan bunga disebut

floret, yang terletak pada satu spikelet yang duduk pada panikula, buah tipe bulir

atau kariopsis yang tidak dapat dibedakan mana buah dan bijinya, bentuk hampir

bulat hingga lonjong, ukuran 3 mm hingga 15 mm, tertutup oleh palea dan lemma

yang dalam bahasa sehari-hari disebut sekam, struktur dominan adalah

(22)

Diluar sekali biji beras diliputi oleh kulit padi atau sekam. Sekam

merupakan 20 % dari berat seluruh bulir, nama ilmiahnya adalah epicarp. Di

bawah epicarp ada lapisan kulit dalam yang disebut pericarp, terdiri atas 2-3 lapis

sel-sel dan lapisan ini dibatasi oleh aleuron. Bagian dalam biji disebut endosperm,

merupakan bagian terbesar ialah sekitar 80% dari seluruh biji. Pada bagian

pangkal biji melekat lembaga, yaitu bakal benih tanaman. Lembaga ini juga

sangat kaya akan protein, lemak dan berbagai vitamin (Sediaoetama, 2004).

2.2 Pengolahan Padi Menjadi Beras

Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi.

Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas

atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan

dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan

dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga

sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin

pengering jarang dilakukan. Istilah "Gabah Kering Giling" (GKG) mengacu pada

gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (Wikipedia, 2011).

Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk dan digiling,

sehingga beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan

yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari

pemisahan ini adalah: sekam atau merang, bekatul, dan dedak (Wikipedia, 2011).

Pada proses penggilingan atau penumbukan, sekam terlepas dan dibuang menjadi

dedak kasar. Pada penggilingan kedua lapisan pericarp dengan sedikit endosperm,

(23)

bakal benih tanaman yang juga akan lepas terbuang menjadi bagian bekatul pada

waktu akan digiling (Sediaoetama, 2004).

2.3 Bekatul

Bekatul merupakan salah satu hasil samping proses penggilingan padi.

Pada proses penggilingan beras pecah kulit diperoleh hasil samping dedak 8-9%

dan bekatul sekitar 2-3%. Bila dedak kasar tidak dapat dikonsumsi oleh manusia

maka bekatul masih dapat dijadikan bahan makanan untuk dikomsumsi.

Departemen Pertanian (2002) juga menyebutkan bahwa ketersediaan bekatul di

Indonesia cukup banyak dan mencapai 4.5-5 juta ton setiap tahunnya, bekatul

merupakan makanan sehat alami mengandung antioksidan, multivitamin dan serat

tinggi untuk penangkal penyakit degeneratif juga kaya akan pati, protein, lemak,

vitamin dan mineral (Damayanthi, 2007). Komposisi kimia dari bekatul dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Dari Bekatul (Kent, 1975)

Unsur kimia Komposisi

(%) Kadar Air

Protein Lemak Karbohidrat

Serat Abu

10 13 16,9

45 5,1 10

2.4 Manfaat Bekatul

Manfaat bekatul bagi kesehatan tidak hanya disebabkan oleh kandungan

vitamin B nya saja, tetapi juga karena kandungan zat gizi lainnya. Dari segi zat

gizi, bekatul mengandung asam amino lisin yang lebih tinggi dibandingkan beras.

(24)

hewani, tetapi lebih tinggi dari kedelai, biji kapas, jagung dan terigu. Bekatul juga

merupakan sumber asam lemak tak jenuh esensial dan bermacam-macam vitamin

(B1, B2, B3, B5, B6 dan tokoferol), pangamic acid (Vit. B15), serat pangan

(dietary fiber), serta mineral. Natrium, Kalium, dan Khlor yang terkandung dalam

bekatul mudah diserap dan dikeluarkan (David, 2008).

Disamping zat gizi, bekatul juga mengandung komponen bioaktif pangan

atau pangan fungsional. Komponen bioaktif tersebut adalah antioksidan tokoferol

(vitamin E), oryzanol dan pangamic acid (vit. B15). Senyawa tersebut merupakan

bagian dari lemak bekatul dan merupakan senyawa yang berharga untuk menjaga

kesehatan manusia, antara lain sebagai zat yang dapat menurunkan kadar

kolesterol darah, mencegah terjadinya kanker dan memperlancar sekresi hormonal

(David, 2008).

Serat pangan yang dimaksud dalam makanan sehari-hari dapat berasal dari

sayur-sayuran, buah-buahan dan yang terpenting adalah serat pangan yang berasal

dari bekatul. Serat pada biji-bijian yang tidak dapat dicerna enzyme yang

disekresikan oleh manusia, secara tidak langsung penting untuk kesehatan. Hal ini

dikarenakan serat mempengaruhi status fisik isi saluran pencernaan, bahan

makanan, waktu transit usus, variasi kapasitas absorbs, serta pengenceran

asam-asam atau garam-garam empedu, sterol dan beberapa zat makanan. Serat tidk larut

meningkatkan berat dan frekuensi feses serta melembutkannya, serta menurunkan

waktu transit di usus (David, 2008).

Antioksidan adalah komponen berberat molekul kecil yang bereaksi

dengan oksidan sehingga menghambat oksidasi. Sehingga tidak hanya

(25)

perbaikan yang melindungi akumulasi molekul yang rusak secara oksidatif.

Bekatul padi mengandung vitamin E, vitamin B15, dan oryzanol beragam yang

berfungsi sebagai antioksidan. Komponen ini memiliki sifat memicu pertumbuhan

manusia, membantu sirkulasi darah dan memicu sekresi hormon (David, 2008).

Vitamin B15 atau pangamic acid terutama berfungsi sebagai donor metal,

yang membantu di dalam pembentukan asam amino tertentu seperti metionin. Zat

ini berperan dalam oksidasi glukosa, respirasi sel sehingga berfungsi mengurangi

hipoksia (kekurangan oksigen) di otot jantung serta otot lain. Seperti vitamin E,

pangamic acid juga membantu memperpanjang umur sel melalui perlindungan

terhadap oksidasi. Pangamic acid memberikan stimulasi ringan ke endokrin dan

system saraf serta meningkatkan fungsi hati yang berperan dalam proses

detoksifikasi (pembuangan racun tubuh) (David, 2008).

2.5 Biskuit Crackers

2.5.1 Pengertian Biskuit Crackers

Dalam Standar Nasional Indonesia (1992) biskuit adalah produk makanan

kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar

terigu, lemak, dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan

makanan tambahan lain yang di ijinkan.

Biskuit dapat dikelompokkan menjadi

1. Biskuit Keras

Biskuit keras adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, berbentuk

pipih, bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat, dapat berkadar

(26)

2. Biskuit Crackers

Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalaui

proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih yang rasanya mengarah ke

asin dan renyah, serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.

3. Cookies

Cookies adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar

lemak tinggi dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur kurang

padat.

4. Wafer

Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair, berpori-pori kasar,

renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya berongga-rongga.

2.5.2 Bahan- bahan dalam Pembuatan Biskuit Crackers dan Fungsinya

1) Tepung Terigu

Untuk menghasilkan biscuit crackers yang bermutu tinggi, yang sangat

ideal atau cocok digunakan adalah tepung terigu keras atau hard wheat. Tepung

terigu keras mempunyai kadar protein 10%-11%, dihasilkan dari penggilingan

100% gandum hard. Jenis tepung ini digolongkan sebagai tepung terigu yang

mengandung protein tinggi, mudah dicampur dan diragikan, dapat menyesuaikan

dengan suhu yang diperlukan, berkemampuan menahan udara atau gas dan

mempunyai daya serap tinggi (Munandar,1995).

Tepung terigu keras dapat membentuk adonan yang mengembang karena

adanya pembentukan gluten pada saat proses fermentasi atau pemeraman yang

dibutuhkan dalam proses pembuatan biskuit crackers. Tepung terigu dalam

(27)

kualitas dan rasa yang enak dari hasil produknya serta warna dan tekstur yang

bagus (Sondakh dkk,1999).

2) Ragi

Fungsi ragi dalam pembuatan biskuit crackers yaitu sebagai pembentuk

gas dalam adonan sehingga adonan mengembang, memperkuat gluten,

menambah rasa dan aroma. Pada saat adonan diistirahatkan, ragi tumbuh baik

pada kondisi lembab dan sedikit udara sehingga pada waktu diistirahatkan adonan

harus ditutup rapat (Munandar, 1995).

3) Gula

Gula dapat mempercepat proses peragian adonan yaitu sebagai sumber

energi bagi kegiatan ragi sehingga adonan akan cepat mengembang (U. S Wheat

Asosisiation,1983).

4) Lemak

Lemak merupakan komponen penting dalam pembuatan biskuit crackers,

karena berfungsi sebagai bahan untuk menimbulkan rasa gurih, manambah aroma

dan menghasilkan tekstur produk yang renyah. Ada dua jenis lemak yang biasa

digunakan dalam pembuatan biskuit crackers yaitu dapat berasal dari lemak susu

(butter) atau dari lemak nabati (margarine) atau campuran dari keduanya (U. S

Wheat Asociation,1983).

5) Air

Biskuit keras memerlukan air sekitar 20% dari berat tepung. Air dalam

pembuatan biskuit crackers berfungsi sebagai pelarut bahan secara merata,

memperkuat gluten, mengatur kekenyalan adonan dan mengatur suhu adonan

(28)

6) Bahan Pengembang

Bahan pengembang merupakan bahan pengembang hasil reaksi asam

dengan natrium bicarbonat. Ketika pemanggangan berlangsung baking powder

menghasilkan gas CO2 dan residu yang tidak bersifat merugikan pada biskuit

crackers. Fungsi baking powder dalam pembuatan biskuit crackers adalah

mengembangkan adonan dengan sempurna (Munandar, 1995).

7) Garam

Pada pembuatan biskuit crackers penambahan garam berfungsi memberi

rasa dan aroma, mengatur kadar peragian, memperkuat gluten dan memberi warna

lebih putih pada remahan (Munandar,1995).

8) Susu Skim

Susu yang digunakan dalam pembuatan biskuit crackers adalah susu skim

yang merupakan hasil pengeringan (dengan spray dryer) dari susu segar. Susu ini

memiliki reaksi mengikat terhadap protein tepung. Pada pembuatan biskuit

crackers susu berfungsi untuk meningkatkan cita rasa dan aroma biskuit serta

menambah nilai gizi produk (U. S Wheat Asociation,1983).

2.6 Protein

Protein adalah suatu polipeptida yang mempunyai bobot molekul yang

sangat bervariasi, dari 5000 hingga lebih dari satu juta. Disamping berat molekul

yang berbeda-beda, protein mempunyai sifat yang berbeda-beda pula. Ada protein

yang mudah larut dalam air, tetapi ada juga yang sukar larut dalam air (Poedjiadi

dan Supriyanti, 2009).

Molekul protein merupakan rantai panjang yang tersusun oleh mata rantai

(29)

gugus karboksil (-COOH) dan satu atau lebih gugus amino (-NH2) yang salah

satunya terletak pada atom C tepat disebelah gugus karboksil (atom C alfa).

Asam-asam amino bergabung melalui ikatan peptida yaitu ikatan antara gugus

karboksil dari asam amino dengan gugus amino dari asam amino yang

disampingnya (Sudarmadji, 1996).

Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi tubuh,

karena zat ini disamping berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga

berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Sebagai zat pembangun protein

merupakan bahan pembentuk jaringan-jaringan baru yang selalu terjadi dalam

tubuh, protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila kebutuhan

energi tubuh tidak terpenuhi oleh karbohidrat dan lemak. Fungsi utama protein

bagi tubuh ialah untuk membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan

yang telah ada (Winarno, 1986).

2.7 Fungsi Protein

Protein mempunyai fungsi bermacam-macam bagi tubuh, yaitu sebagai

enzim, zat pengatur pergerakan, pertahanan tubuh, dan alat pengangkut.

1. Sebagai Enzim

Hampir semua reaksi biologi dipercepat atau dibantu oleh suatu senyawa

makromolekul spesifik yang disebut enzim, dari reaksi yang sangat sederhana

seperti reaksi transportasi karbon dioksida sampai yang sangat rumit seperti

replikasi kromosom (Winarno, 1986).

2. Alat pengangkut dan alat penyimpan

Banyak molekul dengan berat molekul kecil serta beberapa ion dapat

(30)

mengangkut oksigen dalam eritrosit, sedang mioglobin mengangkut oksigen

dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan

dalam hati sebagai kompleks dengan feritrin (Winarno, 1986).

3. Pengatur pergerakan

Protein merupakan komponen utama daging, gerakan otot terjadi karena

adanya dua molekul protein yang saling bergeseran (Winarno, 1986).

4. Pertahanan tubuh atau imunitas

Pertahanan tubuh biasanya dalam bentuk antibodi, yaitu suatu protein

khusus yang dapat mengenal dan menempel atau mengikat benda-benda asing

yang masuk ke dalam tubuh seperti virus, bakteri, dan sel-sel asing lain (Winarno,

1986).

2.8 Reaksi Khas Protein

1. Reaksi Xantoprotein

Larutan asam nitrat pekat ditambahkan dengan hati-hati ke dalam larutan

protein. Setelah dicampur terjadi endapan putih yang dapat berubah menjadi

kuning bila dipanaskan (Winarno, 1986).

2. Reaksi Hopkins-Cole

Triptopan dapat berkondensasi dengan beberapa aldehid dengan bantuan

asam kuat dan membentuk senyawa berwarna (Winarno, 1986).

3. Reaksi Millon

Pereaksi millon adalah larutan merkuro dan merkuri nitrat dalam asam

nitrat. Larutan protein ditambahkan dengan pereaksi millon akan menghasilkan

(31)

4. Reaksi Nitroprussid

Natriumnitroprusida dalam larutan amoniak akan menghasilkan warna

merah dengan protein yang mempunyai gugus –SH bebas (Winarno, 1986).

5. Reaksi Sakaguchi

Protein yang mengandung asam amino dengan gugus guanidin dapat

memberikan hasil yang positif berupa warna merah dengan pereaksi sakaguchi

(Winarno, 1986).

2.9 Penentuan Kandungan Protein

1. Metode Kjeldahl

Penentuan jumlah protein dalam bahan makanan umumnya dilakukan

berdasarkan penentuan empiris (tidak langsung) yaitu melalui penentuan

kandungan nitrogen yang ada dalam bahan. Dalam penentuan protein seharusnya

hanya nitrogen yang berasal dari protein saja yang ditentukan. Akan tetapi secara

teknis hal itu sangat sulit dilakukan mengingat jumlah nitrogen non protein yang

dalam bahan biasanya sangat sedikit maka penentuan jumlah N-total ini tetap

dilakukan untuk mewakili jumlah protein yang ada. Penentuan dengan cara ini

sering disebut penentuan jumlah N- total kasar (crude protein) (Sudarmadji,

1996).

Analisis dengan metode Kjeldahl pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga

tahap yaitu proses destruksi, proses destilasi dan tahap titrasi.

a. Tahap destruksi

Pada tahap ini sampel dipanaskan dalam asam sulfat pekat sehingga akan

(32)

nitrogennya akan berubah menjadi (NH4)2 SO4. Tahap destruksi sudah selesai

apabila larutan menjadi jernih atau tidak berwarna (Sudarmadji, 1996).

b. Tahap destilasi

Pada tahap destilasi, amonium sulfat dipecah menjadi amonia (NH3)

dengan penambahan NaOH sampai alkalis dan dipanaskan. Amonia yang

dibebaskan selanjutnya akan bereaksi dengan asam standar. Asam standar yang

dipakai adalah larutan H2SO4 dan telah diberi indikator (Sudarmadji, 1996).

c. Tahap titrasi

Pada tahap titrasi, destilat yang dihasilkan dari proses destilasi, dititrasi

dengan NaOH 0,1 N untuk mengetahui sisa dari H2SO4 yang tidak bereaksi

dengan amonia (Sudarmadji, 1996).

Dasar perhitungan penentuan protein menurut kjeldahl ini adalah hasil

penelitian dan pengamatan yang menyatakan bahwa umumnya protein alamiah

mengandung unsur N rata-rata 16%. Untuk campuran senyawa-senyaea protein

atau yang belum diketahui komposis unsur-unsur penyusunnya secara pasri, maka

faktor perkalian 6,25 inilah yang dipakai (Sudarmadji, 1996).

2. Metode Dumas dan Van Slyke

Selain cara Kjeldahl, penentuan N dapat pula dengan jalan mereaksikan

protein atau asam amino dengan asam nitrit sehingga dibebaskan N. Gas nitrogen

yang terjadi diukur banyaknya secara volumetris, cara ini dikenal dengan cara

Van Slyke. Cara lain yang dianggap mirip dengan cara diatas adalah cara Dumas.

Pada cara ini protein dibakar (pirolisis) sehingga dibebaskan nitorgen, dan diukur

secara volumetris. Kandungan proteinnya dihitung dengan mengalikan dengan

(33)

3. Metode Turbidimetri atau Kekeruhan

Kekeruhan akan terbentuk dalam larutan yang mengandung protein

apabila ditambahkan pengendap protein misalnya Tri Chloro Acetic acid (TCA),

Kalium Ferri Cianida atau asam sulfosalisilat. Tingkat kekeruhan diukur dengan

alat turbidimeter (Sudarmadji, 1996).

4. Metode Pengecatan

Beberapa bahan pewarna misalnya orange G, orange 12 dan amino black

dapat membentuk senyawaan berwarna dengan protein dan menjadi tidak larut.

Dengan mengukur sisa bahan pewarna yang tidak bereaksi dalam larutan

menggunakan kolorimeter, maka jumlah protein dapat ditentukan dengan cepat

(Sudarmadji, 1996).

5. Penentuan Protein dengan Titrasi Formol

Titrasi formol ini hanya tepat untuk menentukan suatu proses terjadinya

pemecahan protein dan kurang tepat untuk penentuan protein. Larutan protein

dinetralkan dengan NaOH, kemudian ditambahkan formalin akan membentuk

dimethiol. Dengan terbentuknya dimethiol ini berarti gugus aminonya sudah

terikat dan tidak akan mempengaruhi reaksi antara asam dengan basa sehingga

akhir titrasi dapat diakhiri dengan tepat. Indikator yang digunakan adalah

fenolftalein, akhir titrasi bila tepat terjadi perubahan warna menjadimerah muda

yang tidak hilang dalam 30 detik (Sudarmadji, 1996).

2.10 Lemak

Salah satu kelompok senyawa organik yang terdapat dalam tumbuhan,

hewan atau manusia dan yang sangat berguna bagi kehidupan manusia adalah

(34)

mempunyai sifat fisika seperti lemak, dimasukan dalam suatu kelompok yang

disebut lipid. Adapun sifat fisika yang dimaksud adalah:

i. Tidak larut dalam air, tetapi larut dalam satu atau lebih dari satu pelarut

organik yang disebut pelarut lemak.

ii. Ada hubungan dengan asam-asam lemak atau esternya.

iii. Mempunyai kemungkinan digunakan oleh makhluk hidup (Poedjiadi dan

Supriyanti, 2009).

Senyawa-senyawa yang termasuk lipid ini dapat dibagi dalam beberapa

golongan.

1. Lipid sederhana, yaitu ester asam lemak dengan berbagai alkohol, contohnya

lemak atau gilesrida dan lilin

2. Lipid gabungan, yaitu ester asam lemak yang mempunyai gugus tambahan,

contohnya fosfolipid.

3. Derivat lipid, contohnya asam lemak, gliserol, dan sterol (Winarno, 1986).

Yang dimaksud dengan lemak disini adalah suatu ester asam lemak

dengan gliserol. Satu molekul gliserol dapat mengikat satu, dua atau tiga molekul

asam lemak dalam bentuk ester, yang disebut monogliserida, digliserida, atau

trigliserida. Pada lemak, satu molekul gliserol mengikat tiga molekul asam lemak,

oleh karena itu lemak adalah suatu trigliserida (Poedjiadi dan Supriyanti, 2009).

Lemak dan minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga

kesehatan tubuh manusia. Selain itu lemak dan minyak juga merupakan sumber

energi yang lebih efektif dibanding dengan karbohidrat dan protein. Minyak dan

lemak juga berfungsi sebagai sumber dan pelarut bagi vitamin-vitamin A, D, E,

(35)

Kandungan lemak makanan dapat merentang mulai dari sangat rendah

sampai sangat tinggi, baik dalam produk tumbuhan maupun produk hewan. Dalam

makanan yang tidak dimodifikasi, seperti daging, susu, serelia, dan ikan lipidnya

berupa campuran yang terdiri banyak senyawa, dengan bagian utama trigliserida

(deMan, 1998).

2.11 Penentuan Kadar Lemak

Penentuan kadar lemak dan minyak dengan pelarut, selain lemak juga

terikut fosfolipid, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang lain.

Karena itu hasil analisisnya disebut dengan lemak kasar (Sudarmadji, 1996).

1. Metode Sokletasi

Sejumlah sampel ditimbang dengan teliti dimasukan kedalam thimbel

yang dapat dibuat dari kertas saring. Sampel yang belum kering harus dikeringkan

lebih dahulu untuk memperbesar luas permukaan kontak dengan pelarut.

Selanjutnya labu alas dipasang berikut kondensornya. Pada akhir ekstraksi yaitu

kira-kira 3-4 jam, labu alas diambil dan ekstrak dituang kedalam botol timbang

atau cawan porselin yang telah diketahui beratnya, kemudian pelarut

diuapkandiatas penangas air sampai pekat. Selanjutnya dikeringkan dalam oven

sampai diperoleh bobotr konstanya (Sudarmadji, 1996).

2. Metode Goldfish

Ekstraksi dengan alat Goldfish sangat praktis. Bahan sampel yang telah

dihaluskan dimasukan kedalam thimbel dan dipasang dalam tabung penyangga

yang pada bagian bawahnya berlubang. Bahan pelarut yang digunakan

ditempatkan dalam bekerglas di bawah tabung penyangga. Bila bekerglas

(36)

mengembun dan menetes pada sampel demikian terus menerus sehingga bahan

akan dibasahi oleh pelarut dan akan terekstraksi, selanjutnya akan tertampung ke

dalam bekerglas kembali. Setelah ekstraksi selesai, sampel berikut penyangganya

diambil dan diganti dengan bekerglas yang ukurannya sama dengan tabung

penyangga. Pemanas dihidupkan kembali sehingga pelarut akan diuapkan lagi dan

diembunkan serta tertampung ke dalam bekerglas yang terpasang di bawah

kondensor, dengan demikian pelarut yang tertampung dapat dimanfaatkan untuk

ekstraksi yang lain (Sudarmadji, 1996).

3. Metode Babcock

Bahan yang berbentuk cair, penentuan lemaknya dapat menggunakan

botol Babcock. Penentuan lemak dengan Babcock sangatlah sederhana. Sampel

yang telah ditimbang dengan teliti dimasukan kedalam botol Babcock. Pada

lehernya telah dilengkapi dengan skala ukuran volume. Sampel yang dianalisa

ditambah asam sulfat pekat untuk merusak emulsi lemak sehingga lemak akan

terkumpul menjadi satu pada bagian atas cairan. Pemisahan lemak dari cairannya

dapat lebih sempurna bila dilakukan sentrifugasi. Rusaknya emulsi lemak

dikarenakan asam sulfat dapat merusak lapisan film yang menyelimuti globula

lemak yang biasanya terdiri dari senyawa protein. Dengan rusaknya protein

(denaturasi ataupun koagulasi) maka nenubgkinkan globula lemak yang satu akan

bergabung dengan golula lemak yang lain dan akhirnya menjadi kumpulan lemak

yang lebih besar dan akan mengapung di atas cairan. Setelah disentrifugasi lemak

akan semakin jelas terpisah dengan cairannya dan agar dapat dibaca banyaknya

lemak kedalam botol ditambahkan akuades panas sampai lemak atau minyak tepat

(37)

2.12 Panel

Untuk melaksanakan suatu penilaian organoleptik diperlukan panel. Dalam

penilaian mutu atau analisa sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak

sebagai instrumen atau alat. Alat ini terdiri dari orang atau kelompok orang yang

disebut panel yang bertugas menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan

subjektif. Orang yang menjadi anggota panel disebut panelis. Jadi, penilaian

makanan secara panel berdasarkan kesan subjektif dari para panelis dengan

prosedur sensorik tertentu yang harus dituruti. Penggunaan panel ini dapat

dibedakan tergantung dari tujuan (Soekarto, 1985).

Menurut Soekarto (1985) terdapat 6 macam panel yang biasa digunakan

dalam penelitian organoleptik yaitu:

a. Panel pencicip perorangan

Pencicip perorangan juga disebut pencicip tradisional digunakan dalam

industri-industri makanan seperti pencicip teh, kopi, anggur, es krim atau penguji

bau pada industri minyak wangi (parfum). Pencicip ini mempunyai kepekaan

yang sangat tinggi jauh melebihi kepekaan rata-rata manusia.

b. Panel pencicip terbatas

Untuk menghindari ketergantungan pada pencicip perorangan maka industri

menggunakan 3-5 orang penilai yang mempunyai kepekaan tinggi yang disebut

panel pencicip terbatas. Biasanya panel ini diambil dari personal laboratorium

yang sudah mempunyai pengalaman luas akan komoditi tertentu.

c. Panel terlatih

Anggota panel ini lebih besar dari panel di atas yaitu 15-25 orang. Untuk

(38)

d. Panel tak terlatih

Jika panel terlatih biasanya untuk menguji perbedaan (difference test), maka

panel tak terlatih umumnya untuk menguji kesukaan (preference test). Anggota

panel tak terlatih tidak tetap.

e. Panel agak terlatih

Panelis dalam katagori ini mengetahui sifat-sifat sensorik dari contoh yang

karena mendapat penjelasan atau sekedar latihan. Tetapi latihan-latihan yang

diterima tidak cukup intensif dan tidak teratur, karena itu belum mencapai tingkat

sebagai panel terlatih. Jumlah untuk panel agak terlatih jumlahnya terletak di

antara panelis terlatih dan tidak terlatih. Jumlah itu berkisar antara 15-25 orang.

Makin kurang terlatih makin besar jumlah panelis yang diperlukan.

f. Panel konsumen

Panel ini biasanya mempunyai anggota yang besar jumlahnya, dari 30

sampai 1000 orang. Pengujiannya biasanya mengenai uji kesukaan (preference

test) dan dilakukan sebelum pengujian pasar. Hasil uji kesukaan dapat digunakan

untuk menentukan apakah suatu jenis makanan dapat diterima oleh masyarakat.

Anggota panel konsumen dapat diambil dari sejumlah orang yang ada di pasar

atau dapat pula dilakukan dengan mendatangi rumah konsumen, dalam hal

kelompok pertama pengujian dapat diselenggarakan sekaligus, sedangkan dalam

hal yang kedua diselenggarakan dengan mendatangi rumah-rumah.

2.12.1 Seleksi Panelis Hedonik

Calon panelis dapat diambil dari orang awam atau dari luar instansi, dapat

diambil dari tamu yang berkunjung. Orang yang sudah terlanjur ahli atau kenal

(39)

panel hedonik makin besar semakin baik, sebaiknya jumlah itu melebihi 30 orang.

Jumlah lebih besar tentu menghasilkan kesimpulan yang dapat diandalkan. Tetapi

biaya penyelenggaraanya terlalu tinggi karena itu biasanya ada kompromi antara

jumlah anggota dan biaya penyelenggaraan.

Menurut Soekarto (1985) kriteria panelis sebagai berikut:

1. Memiliki kepekaan dan konsistensi yang tinggi

2. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang diambil secara acak.

Jumlah anggota panelis hedonik semakin besar semakin baik

3. Berbadan sehat

4. Tidak dalam keadaan tertekan

5. Mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang cara-cara penilaian

organoleptik

2.12.2 Penilaian Organoleptik

Suatu laboratorium yang menggunakan manusia sebagai alat ukur

berdasarkan kemampuan pengindraanya, Panelis diberikan format evaluasi

dimana ada banyak jenisnya. Salah satunya mempunyai kolom untuk sampel

dengan penilaian seperti sangat suka, agak suka, tidak suka, agak tidak suka dan

sangat tidak suka. Panelis memberi pendapat untuk setiap sampel dan dapat

memberikan komentar tambahan. Penilaian diberikan peringkat angka oleh

pemimpin uji panel, seperti 5 untuk amat sangat suka menurun hingga 1 untuk

tidak suka. Setelah semua format evaluasi lengkap, pemimpin uji panel

mentabulasikan dan merata-ratakan hasilnya. Skala peringkat angka untuk rasa

(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian berupa metode eksperimental yang meliputi

pengumpulan dan pengolahan bekatul menjadi biskuit crackers, serta penetapan

kadar protein dan lemak dalam biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul.

Kadar protein ditetapkan dengan metode kjeldahl, dan kadar lemak ditetapkan

dengan metode sokletasi.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan terdiri dari: labu kjeldahl, pendingin liebig, buret

50 ml, alat soklet, labu alas bulat 250 ml, kertas saring pembungkus, cawan

porselin, desikator, oven, neraca analitis, mortir dan stemper, dan alat-alat gelas

laboratorium lainnya.

3.2 Bahan-bahan

Bahan pembuatan biskuit crackers yang digunakan adalah tepung terigu,

bekatul, butter, margarine, susu skim, ragi, garam, pengembang, gula dan air.

Bahan pereaksi yang digunakan adalah air, n-heksana, dan yang berkualiatas pro

analisis (E.Merck) seperti Natrium Hidroksida, Asam Sulfat 98%, Kalium Sulfat,

Kupri Sulfat, indikator metil merah, dan indikator metil biru.

3.3 Lokasi Pengambilan dan Penyiapan Sampel

Sampel yang digunakan yaitu bekatul yang merupakan hasil samping

penggilingan padi yang diambil secara purposif dari penggilingan padi di Desa

Tanah Merah, Pasar V, Kota Binjai. Bekatul yang akan digunakan dalam

pembuatan biskuit crackers adalah bekatul yang telah diayak terlebih dahulu

(41)

3.4 Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul

Resep dasar penimbangan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan

biskuit crackers adalah sebagai berikut: 500 gram tepung terigu, 20 gram susu

skim, 64 gram butter, 96 gram margarine, 5 gram ragi, 1 gram gula, 1 gram

garam, 50 gram keju, 1 gram pengembang, dan 250 ml air. Sedangkan untuk

bahan dust fillingnya adalah campuran dari 50 gram tepung teigu, 500 mg garam

dan 400 mg pengembang. Adapun variasi bahan dasar pembuatan biskuit crackers

bekatul dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 2. Variasi Bahan Dasar Pembuatan Biskuit Crackers Bekatul

Nama

Tepung Terigu Bekatul

(gram) (%) (gram)

Produk I 500 0 0

Produk II 450 10 50

Produk III 400 20 100

Produk IV 350 30 150

Keterangan : % menyatakan jumlah tepung terigu yang disubstitusi dengan Bekatul

Contoh Produk II; x 500 50gram 100

10

=

Margarine, butter, garam, susu skim, gula, dan keju dicampur dengan

menggunakan mixer sampai tercampur rata (campuran 1). Tepung terigu, bekatul,

ragi dan pengembang dicampur kering (campuran 2). Campuran 1 dengan

campuran 2 dijadikan satu kemudian ditambah dengan air kemudian diadoni

sampai adonan kalis selama 30 menit. Adonan difermentasi atau diperam selama

30 menit sambil ditutup rapat. Setelah mengembang, adonan dipipihkan

membentuk lembaran, bahan dust filling dicampur rata kemudian ditebarkan

(42)

bahan dust filling ditebarkan kembali dan diulangi sampai tiga kali. Adonan

dipipihkan setebal 2 mm, kemudian dicetak dengan bentuk segi empat ukuran

3 cm x 5 cm, diberi lubang kecil-kecil dengan garpu. Dipanggang dalam oven

pada suhu 100 °C selama 7 menit (Sondakh dkk, 1999). Bagan pembuatan biskuit

crackers dapat dilihat pada gambar 1.

Tahap Persiapan

Tahap Pencampuran Bahan

Tahap Fermentasi atau Pemeraman

Tahap Pemipihan dan Pelapisan dust filling

Tahap Pembentukan atau Pencetaka

Tahap Pembakaran

Tahap Penyelesaian

- Penyiapan bahan dan peralatan - Penimbangan bahan

- Margarine, butter, garam, susu, gula, keju dicampur (campuran 1). - Tepung terigu, Bekatul, ragi ,

pengembangdicampur (campuran 2).

- Campuran 1 + campuran 2

ditambah air diadoni sampai kalis selama 30 menit.

- Adonan difermentasi selama 30 menit.

- Pemipihan adonan ukuran 2 mm - Penaburan bahan dust filling. - Pelipatan adonan menjdi 4 bagian. - Penaburan bahan dust filling 3 x

- Penggilingan adonan. - Pencetakan adonan.

- Pembakaran adonan suhu 1600Cselama 20 menit.

(43)

3.5 Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan metode hedonik (Soekarto 1985), yaitu

analisis menurut uji kesukaan terhadap rasa. Panelis diharapkan dapat

mengemukakan penilaian suka atau tingkat kesukaan.

Kriteria panelis :

i. Panelis yang digunakan

adalah panelis konsumen yang diambil secara acak dengan jumlah anggota

panelis seluruhnya 60 orang.

ii. Panelis yang digunakan

adalah mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

iii. Tidak dalam keadaan sakit

(dilihat bahwa panelis tidak sedang demam, flu dan batuk).

Langkah-langkah uji organoleptik:

(i). Pengujian dilakukan di dalam ruangan yang bersih. Gambar ruangan uji

organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 10 gambar 5 halaman 60

(ii). Biskuit crackers bekatul masing-masing diberi kode produk I, II, III dan IV

dengan variasi substitusi tepung terigu dengan bekatul berturut-turut adalah

0%, 10%, 20%, dan 30%. Gambar penyajian uji organoleptik dapap dilihat

pada lampiran 10 gambar 7 halaman 60.

(iii). Kepada panelis disajikan biskuit crackers untuk dicicipi, air putih dan

formulir pertanyaan. Sebelumnya panelis diberikan penjelasan singkat

mengenai produk yang diperiksa dan cara penilaian. Formulir pertanyaan dan

(44)

Penjelasan yang diberikan kepada panelis yaitu:

a. Produk yang diperiksa adalah biskuit crackers yang bahan dasarnya

disubstitusi dengan bekatul

b. Setiap melakukan pencicipan panelis dianjurkan untuk minum, agar panelis

dapat menilai secara objektif terhadap setiap produk

c. Setelah panelis selesai mencicipi produk yang diperiksa, panelis diminta

untuk memberi penilaian berdasarkan tingkat kesukaan sesuai dengan

penilaian mereka masing-masing. Gambar panelis sedang memberikan

penilaian terhadap rasa biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada Lampiran

10 gambar 6 halaman 60.

(iv).Untuk penganalisaan, skala hedonik ditransformasi menjadi skala numerik

dengan angka menaik sesuai tingkat kesukaan. Dengan data numerik

dilakukan analisa statistik

(v). Skala hedonik dan skala numerik yang digunakan sebagai berikut:

Tabel 3. Skala hedonik dan skala numerik uji organoleptik

Skala hedonik Skala numerik

Amat sangat suka Sangat suka Suka Agak suka Tidak suka

5 4 3 2 1

3.6Pembuatan Pereaksi

NaOH 30 % diperoleh dengan melarutkan 30 gram pellet NaOH di dalam

(45)

1,4 ml H2SO4 98% dan akuades di dalam labu hingga 2500 ml. NaOH 0,02 N

dibuat dengan melarutkan 0,8 gram NaOH dengan akuades bebas CO2 di dalam

labu 1000 ml (Ditjen POM,1995).

Campuran selen merupakan campuran dari 100 gram K2SO4 dan 20 gram

CuSO4.5H2O. Pembuatan indikator mangsel yaitu dengan melarutkan 500 mg

metal biru dan 450 mg metil merah dengan akuades di labu 500 ml (Sudarmadji

dkk, 1989).

3.7Penetapan Kadar Protein

3.7.1 Pembakuan NaOH 0,02 N

Ditimbang seksama 100 mg kalium bifthalat kemudian dilarutkan dalam

air bebas CO2 sebanyak 30 ml. Ditambah 2 tetes indikator fenolftalein, dititrasi

dengan NaOH hingga terjadi warna merah muda mantap (Ditjen POM, 1995).

Dilakukan perlakuan yang sama tiga kali dan dihitung normalitas larutan. 1 ml

natrium hidroksida 1 N setara dengan 204,2 mg kalium biftalat.

Normalitas NaOH =

bifthalat K

BE x (ml) Vol.NaOH

(mg) Bifthalat K

Berat

− −

Data volume NaOH yang terpakai dan pembakuan NaOH 0,02 N dapat

dilihat pada Lampiran 2 halaman 40.

3.7.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul

Ditimbang seksama 0,2 gram biskuit crackers bekatul yang telah

dihaluskan, dimasukkan ke dalam labu kjeldahl, ditambah pereaksi 2 gram

campuran selen, dan 3 ml H2SO4 98%. Didestruksi sampai cairan berwarna hijau

jernih lebih kurang selama 3 jam dan didinginkan. Ditambahkan dengan 20 ml

akuades, dipindahkan kedalam erlenmeyer. Campuran ditambahkan dengan 30 ml

(46)

yang berisi 25 ml H2SO4 0,02 N dan indikator mengsel di dalam erlenmeyer.

Destilasi hingga diperoleh sebanyak mungkin destilat. Destilat dititrasi dengan

NaOH 0,02 N sampai terjadi perubahan warna dari ungu menjadi hijau. Dilakukan

hal yang sama terhadap blanko (Sudarmadji dkk, 1989). Bagan penetapan kadar

protein dalam biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada gambar 2.

Kadar protein = x FK x 100%

sampel Berat

0,014 N

) V

(Vblankosampel × NaOH×

Dimana Vsampel = volume titrasi sampel

NNaOH = Normalitas NaOH hasil pembakuan

FK = Faktor Konfersi untuk Makanan = 6,25 (Winarno, 1991).

Dimasukan ke dalam labu Kjedahl

Ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dan 2 gram sampuran selen

Digojog sampai rata dan dipanaskan dalam lemari asam sampai warna jernih (hijau jernih)

setelah dingin tambahkan 20 ml akuades, pindahkan ke alat

penyuling

tambahkan 30 ml NaOH 30%

Sebagai penempung digunakan 25 ml larutan H2SO4 0,02 N yang

telah dicampur indikator

Destilasi sampai didapat sebanyak mungkin destilat

Dititrasi dengan larutan NaOH 0,02 N Dilakukan titrasi blanko

Gambar 2. Bagan Penetapan Kadar Protein Dalam Biskuit Crackers Bekatul

0,2 gram sampel

Destilat

Hasil

(47)

3.8Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul

Ditimbang seksama 5 gram biskuit crackers bekatul yang telah dihaluskan

dan dimasukan kedalam thimble yaitu kertas saring pembungkus. Dialirkan air

pendingin melalui kondensor, pasang labu alas bulat 250 ml pada alat soklet

dengan 100 ml pelarut n-heksana. Ekstraksi dilakukan lebih kurang selama 4 jam,

sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu alas bulat berwarna jernih.

N-heksana yang telah mengandung ekstrak lemak dipindahkan kedalam cawan

penguap yang sudah diketahui bobot konstannya, kemudian diuapkan diatas

penangas air sampai pekat. Pengeringan diteruskan dalam oven 1000C sampai

diperoleh bobot konstannya (Sudarmadji dkk, 1989). Bagan penetapan kadar

lemak dalam biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada gambar 3.

Kadar lemak = x100%

Sampel Berat

cawan berat cawan)

lemak

(Berat + −

Dimasukan ke dalam kertas saring pembungkus

Dialirkan air melaui kondensor, dipasang labu alas bulat 250 ml pada alat soklet dengan 100 ml pelarut n-heksana

Ekstraksi dilakukan lebih kurang selama 4 jam, sampai pelarut

yang turun kembali ke dalam labu alas bulat berwarna jernih

N-heksana yang telah mengandung ekstrak lemak dipindahkan kedalam cawan penguap yang sudah diketahui bobot konstannya, kemudian diuapkan diatas penangas air sampai pekat

Pengeringan diteruskan dalam oven 1000C sampai diperoleh bobot konstannya

Gambar 3. Bagan Penetapan Kadar Lemak Dalam Biskuit Crackers Bekatul

5 gram sampel

(48)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Uji Organoleptik

Data uji organoleptik dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 61 sampai

dengan 62. Hasil analisis statistik dari data Uji organoleptik dengan menggunakan

analisis sidik ragam pada taraf α 0,05 dimana nilai F hitung= 45,847 lebih besar

dari F tabel = 2,65, dan signifikannya yaitu 0,000 lebih kecil dari 0,05 ini berarti

ada perbedaan yang berpengaruh secara nyata terhadap rasa biskuit crackers

bekatul dengan berbagai penambahan bekatul dari penilaian panelis. Uji statistik

lanjutan dengan menggunakan analisis Duncan menunjukan bahwa rataan

kesukaan masing-masing produk terletak pada kolom yang berbeda, yang berarti

bahwa masing-masing produk memiliki tingkat kesukaan yang berbeda. Hasil

analisis sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 12, halaman 63 sampai dengan

64. Histogram nilai kesukaan terhadap biskuit crackers bekatul dapat dilihat pada

(49)

Gambar 4. Histogram nilai kesukaan biskuit crackers bekatul

Berdasarkan histogram dapat disimpulkan bahwa nilai kesukaan terhadap

biskuit crackers menunjukkan nilai kesukaan yang paling tinggi terdapat pada

produk I, dari hasil penilaian dengan sekala hedonik yang menunjukkan rataan

tertinggi yaitu 4,05. Sedangkan nilai kesukaan yang paling tinggi terhadap biskuit

crackers yang disubstitusi dengan bekatul terdapat pada produk II dengan rataan

yaitu 3,56 dibandingkan dengan produk III dan IV.

Penggunaan bekatul sebagai substitusi tepung terigu pada pembuatan

biskuit crackers, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap bentuk dan rasa.

Dimana semakin banyak jumlah bekatul yang ditambahkan kedalam biskuit

crackers, menyebabkan bentuknya semakin berwarna coklat. Hal ini disebabkan

oleh warna asal bekatul itu sendiri, warna bekatul bervariasi dari coklat muda

pada bekatul segar sampai coklat tua pada bekatul yang mengalami pemanasan.

Hal ini juga berpengaruh terhadap rasanya yaitu semakin tinggi persentase

penambahan bekatul, menyebabkan rasa yang dihasilkan juga terasa pahit. Rasa

merupakan faktor penting untuk menentukan daya terima suatu bahan makanan.

Hal ini dikarenakan rasa lebih banyak melibatkan indera pengecap.

Berdasarkan hasil uji organoleptik, produk yang ditetapkan kadar protein

dan lemaknya adalah biskuit crackers yang paling disukai oleh panelis yaitu

produk I, dan biskuit crackers bekatul yang paling disukai yaitu produk II dengan

10% bekatul.

4.2 Penetapan Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul

Data volume NaOH yang terpakai dan penetapan kadar protein biskuit

(50)

penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil kadar protein produk dan produk

II secara berturut-turut 9,8335% ± 0,0996% dan 11,1149% ± 0,0944%. Hasil

penetapan kadar protein pada biskuit crackers bekatul, dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul

Produk Kadar Protein (%)

Peningkatan kadar Protein (%)

I 9,8335 ± 0,0996 -

II 11,1149 ± 0,0944 13,03 %

Kadar protein biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul

mengalami peningkatan sebesar 13,03 % dibandingkan dengan yang tanpa

disubstitusi dengan bekatul. Ini menunjukan bahwa semakin banyak jumlah

tepung terigu yang disubstitusi dengan bekatul dalam pembuatan biskuit crackers,

maka semakin tinggi jumlah protein yang terkandung di dalamnya. Tetapi

berbanding terbalik terhadap bentuk dan rasa yang dihasilkannya.

Biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul

memiliki kadar protein memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI

(1992), yaitu minimal sebesar 9%. Syarat mutu biskuit dapat dilihat pada lampiran

1 halaman 39 Perhitungan kadar protein sebenarnya dalam biskuit crackers

produk I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 45 sampai dengan

47, dan Lampiran 6 halaman 48 sampai demgam 50.

4.3 Penetapan Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul

Data penimbangan dan penetapan kadar lemak dalam biskuit crackers

bekatul dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 43 dan 44. Dari hasil penelitian

(51)

berturut-turut 10,6382% ± 0,1475% dan 12,2326% ± 0,0587%. Hasil penetapan

kadar lemak pada biskuit crackers bekatul, dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kadar Lemak dalam Biskuit Crackers Bekatul

Produk Kadar lemak (%)

Peningkatan kadar Lemak (%)

I 10,6382 ± 0,1475 -

II 12,2326 ± 0,0587 14,98%

Kadar lemak biskuit crackers yang disubstitusi dengan bekatul mengalami

peningkatan sebesar 14,98% dibandingkan dengan yang tanpa disubstitusi dengan

bekatul. Ini menunjukan bahwa semakin banyak jumlah tepung terigu yang

disubstitusi dengan bekatul dalam pembuatan biskuit crackers, maka semakin

tinggi jumlah lemak yang terkandung di dalamnya. Tetapi berbanding terbalik

terhadap bentuk dan rasa yang dihasilkannya.

Biskuit crackers yang bahan dasarnya disubstitusi dengan bekatul

memiliki kadar lemak yang memenuhi standar mutu yang dikeluarkan oleh SNI

(1992), syarat kandungan lemak yang terdapat di dalam biskuit adalah minimal

sebesar 9,5%. Perhitungan kadar lemak sebenarnya dalam biskuit crackers produk

I dan produk II dapat dilihat pada Lampiran 7 halaman 51 sampai dengan 54, dan

(52)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Bekatul dapat dimanfaatkan sebagai substitusi bahan dasar biskuit

crackers

2. Panelis suka mengkonsumsi biscuit crackers yang disubstitusi dengan

10% bekatul dengan rataan kesukaan 3,56 menurut skala hedonik

3. Kadar protein dalam biskuit crackers yang bahan dasarnya tanpa

disubstitusi dan disubstitusi dengan bekatul berturut-turut sebanyak

9,8335% ± 0,0996% dan 11,1149% ± 0,0944%.

4. Kadar lemak dalam biskuit crackers yang bahan dasarnya tanpa

disubstitusi dan disubstitusi dengan bekatul berturut-turut yaitu10,6382%

± 0,1475% dan 12,2326% ± 0,0587%.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk membuat produk pangan

lain misalnya sereal, wafer dan roti dengan memanfaatkan bekatul sebagai

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Dari Bekatul (Kent, 1975)
Tabel 3. Skala hedonik dan skala numerik uji organoleptik
Gambar 4.
Tabel 4. Kadar Protein dalam Biskuit Crackers Bekatul
+6

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah substitusi tepung ikan tongkol memberikan pengaruh secara nyata terhadap kadar protein, tingkat kekerasan dan daya terima

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui aktivitas antioksidan dan tingkat kesukaan konsumen terhadap biskuit dengan substitusi tepung biji rambutan dan penambahan

Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa roti manis seluruh perlakuan substitusi berbeda nyata dengan roti tanpa substitusi, dan cenderung menurun dengan semakin

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh substitusi tepung bekatul dan tepung rebon pada crackers sebagai sumber protein, serat, dan kalsium terhadap karakteristik

Berdasarkan Gambar 1, dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil adanya peningkatan kadar protein es krim hingga pada substitusi tepung bekatul

Berdasarkan Gambar 1, dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil adanya peningkatan kadar protein es krim hingga pada substitusi tepung bekatul

ii TUGAS AKHIR PEMANFAATAN BEKATUL SEBAGAI SUBSTITUSI TEPUNG TERIGU PADA PEMBUATAN CUPCAKE Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Ahli Madya Diploma III Program

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh substitusi tepung ikan gabus terhadap kadar dan mutu gizi serta mutu organoleptik crackers bagi balita gizi kurang.. Jenis penelitian