• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Penambahan Ragi Roti Dan Lama Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu (Saccharum officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Penambahan Ragi Roti Dan Lama Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu (Saccharum officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

FERI SUSANTO

080802063

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

FERI SUSANTO

080802063

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

PERSETUJUAN

Judul : PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN

LAMA WAKTU FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum Officanarum) DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN BIOETANOL

Kategori : SKRIPSI

Nama : FERI SUSANTO

Nomor Induk Mahasiswa : 080802063

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di

Medan, Agustus 2012

Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Dr. Yuniarti Yusak,MS DR. Rumondang Bulan, MS NIP. 194901271980022001 NIP.195408301985032001

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

(4)

PERNYATAAN

PENGARUH PENAMBAHAN RAGI ROTI DAN LAMA WAKTU

FERMENTASI TERHADAP GLUKOSA HASIL HIDROLISIS

SELULOSA AMPAS TEBU (Saccharum officanarum)

DENGAN HCl 30% DALAM PEMBUATAN

BIOETANOL

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa karya skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, Agustus 2012

(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillahirabbil’alamin... Inilah kalimat indah untuk-Mu Ya Allah, kalimat yang menandakan rasa syukur ku sebagai hamba-Mu atas nikmat dan karunia yang tak henti-hentinya Engkau berikan. Sholawat dan salam untuk junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis mengakui setulus-tulusnya bahwa banyak pihak yang telah memberikan dorongan, bimbingan, semangat dan saran dalam penyelesaian penulisan skripsi ini yang berjudul “Pengaruh Penambahan Ragi Roti dan Lama Waktu Fermentasi Terhadap Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

(Saccharum Officanarum) Dengan HCl 30% Dalam Pembuatan Bioetanol” dalam rangka memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Kimia FMIPA USU. Oleh karena itu penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada : Ayahanda tercinta Sudirman dan Ibunda Zahara atas doa yang tiada henti, kesabaran dan kasih sayang yang tulus serta dukungan moril dan materil sehingga Ananda dapat mempersembahkan sebuah karya sebagai penyejuk hati. Kepada abang, kakak, dan keponakanku yang selalu memberikan tawa saat bersama dalam keluarga.

Penulis mengucapkan ribuan terima kasih atas segala kebesaran dan ketulusan hati yang telah memberikan saran, membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini serta untuk ilmu yang penulis dapatkan selama perkuliahan kepada : ibu Dr. Rumondang Bulan, MS, selaku Ketua Jurusan dan sebagai dosen pembimbing I dan ibu Dr. Yuniarti Yusak, MS, sebagai dosen pembimbing II, Bapak Drs. Albert Pasaribu, M.Sc selaku Sekretaris Jurusan Kimia, Bapak Drs. Firman Sebayang, MS, selaku kepala Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan, Bapak Dr. Ribu Surbakti, MS dan Ibu Dra. Emma Zaidar, M.Si, sebagai dosen biokimia, Bapak Prof. Basuki Wirjosentono,Ph.D, sebagai dosen wali serta bapak ibu dosen berserta semua staf Departemen Kimia FMIPA USU.

Dan tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga Biokimia (Tiwi, Icha, Yhaya, Arau, Ari, Tika, Putri, Echa dan Saiful) serta Kak Pia dan Kak Vika yang telah banyak membantu dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Sahabat-sahabat terbaikku (Jaka, Zefry, Jandri, Yohannes, Siti, Juju, Feby, Bethsy, Erin, Reni, Ria). Kawan-kawan seperjuangan stambuk 2008 yang banyak membantu Arif, Andreas, Enka, Bayu, Firman, Elisa, Tya. Dan untuk Nurul atas dukungan dan semangat kepada penulis. Kakak, Abang dan adik-adik satu almamater yang telah menjalin kerja sama, saling bertukar pikiran selama kuliah untuk menuju puncak keberhasilan bersama.

(6)

ABSTRAK

(7)

THE INFLUENCE ADDED BAKER YEAST AND PERIODS OF FERMENTATION TOWARD GLUCOSE YIELD

HYDROLYSIS CELLULOSE SUGARCANE BAGASSE WITH HCl 30% TO MAKE

BIOETHANOL

ABSTRACT

(8)

DAFTAR ISI

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Pembatasan Masalah 3

1.4 Tujuan Penelitian 3

1.5 Manfaat Penelitian 4

1.6 Lokasi Penelitian 4

1.7 Metodologi Penelitian 4

Bab II Tinjauan Pustaka 6

2.1 Tanaman Tebu 6

2.3 Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Gula Pereduksi 15

2.3.1 Analisa Kualitatif Gula Pereduksi 15

2.3.1.1 Uji Molisch 15

2.3.1.2 Uji Seliwanof 15

2.3.1.3 Uji Anthrone 16

(9)

2.3.2.1 Metode Luff-Schroll 17

2.3.2.2 Metode Munson Walker 18

2.3.2.3 Metode Lane-Eynon 19

2.4 Glikolisis 19

2.5 Fermentasi 21

2.6 Ragi 22

2.6.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Ragi 22

2.7 Bioetanol 23

Bab III Metoda Penelitian 25

3.1 Alat dan Bahan 25

3.1.1 Alat-alat 25

3.1.2 Bahan-bahan 26

3.2 Prosedur Penelitian 27

3.2.1 Pengambilan Sampel 27

3.2.2 Pembuatan Larutan 27

1. Larutan K2Cr2O7 0689 N 27

2. Larutan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N 28

3. Indikator Ferroin 28

4. Pereaksi Benedict 28

5. Larutan HCl 30% 28

12. Larutan Pereaksi Nelson 29

13. Larutan Arsenomolibdat 30

3.2.3 Cara Kerja 30

3.2.3.1 Isolasi Selulosa dan Uji Kualitatif Selulosa 30 3.2.3.2 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan 31

Uji Kualitatif Glukosa

3.2.3.3 Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum 31 Larutan Glukosa Standar

3.2.3.4 Penyiapan Kurva Standar Glukosa 31 3.2.3.5 Analisa Kadar Glukosa dari Hidrolisis 32

Selulosa Ampas Tebu

3.2.3.6 Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa 32 Ampas Tebu Menjadi Bioetanol

3.2.3.7 Destilasi Larutan Fermentasi Glukosa Hasil 32 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

3.2.3.8 Penentuan Kurva Kalibrasi Etanol Standar 33 3.2.3.9 Analisa Kadar Bioetanol Dengan Metode 33

Oksidasi Kalium Dikromat

3.3 Bagan Penelitian 34

(10)

3.3.2 Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan Uji Kualitatif 35 Glukosa

3.3.3 Pembuatan Larutan Fermentasi 36

3.3.4 Destilasi Larutan Hasil Fermentasi dan Uji 37 Kuantitatif Bioetanol

Bab IV Hasil dan Pembahasan 38

4.1 Hasil Penelitian 38

4.2 Perhitungan 39

4.2.1 Perhitungan Kadar Selulosa Dalam Ampas Tebu 39 4.2.2 Perhitungan Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis 39

Selulosa Ampas Tebu

4.2.3 Perhitungan Kadar Bioetanol 42

4.3 Pembahasan 44

4.3.1 Variasi Lama Fermentasi Terhadapa Kadar 44 Bioetanol

4.3.2 Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap 45 Kadar Bioetanol

4.3.3 Reaksi Kalium Dikromat Dengan Bioetanol 47

Bab V Kesimpulan dan Saran 48

5.1 Kesimpulan 48

5.2 Saran 48

DAFTAR PUSTAKA 49

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa 38 Ampas Tebu

Tabel 4.2 Data Penentuan Larutan Glukosa Standar (mg/mL) Pada 40 Berbagai Konsentrasi

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Selulosa 12

Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Selulosa Dengan Asam 14

Gambar 2.3 Resorcinol (1,3 dihidroksi benzen) 15

Gambar 2.4 Reaksi Gula Pereduksi Dengan Pereaksi benedict 17

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A Data Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 52 0,05 mg/mL

Lampiran B Data Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm 52 Lampiran C Data Volume Titrasi Fe(NH4)2(SO4)2 0,393 N dan Kadar 53

Bioetanol Dari Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Lampiran D Data Penentuan Ybaru 53

Lampiran E Kurva Penentuan λ Maksimum dari Larutan Glukosa 54 0,05 mg/mL

Lampiran F Kurva Larutan Glukosa Standar Pada λ 760 nm 54 Lampiran G Kurva Larutan Etanol Standar Dengan Berbagai Konsentrasi 55 Lampiran H Kurva Kadar Bioetanol Dengan Variasi Penambahan 55

(14)

ABSTRAK

(15)

THE INFLUENCE ADDED BAKER YEAST AND PERIODS OF FERMENTATION TOWARD GLUCOSE YIELD

HYDROLYSIS CELLULOSE SUGARCANE BAGASSE WITH HCl 30% TO MAKE

BIOETHANOL

ABSTRACT

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1.Latar Belakang

Tanaman tebu di Indonesia banyak ditanam oleh para petani kecil baik atas usaha

sendiri maupun atas usaha kerjasama dengan pabrik gula atau pabrik gula yang

menyewa lahan pertanian penduduk dan sekaligus mengupah tenaganya dalam usaha

mengembangkan tanaman tebu bagi keperluan memenuhi bahan baku bagi pabriknya

(Kartasapoetra, 1988).

Produk utama dari pabrik gula adalah gula putih. Namun ada produk yang

merupakan produk samping dari pengolahan tebu menjadi gula. Hasil samping

tersebut berupa tetes (molase), pucuk daun tebu, blotong, ampas tebu yang merupakan

limbah pabrik. Hasil samping berupa limbah pabrik sering menimbulkan banyak

permasalahan sebab menjadi sumber pencemaran lingkungan.

Ampas tebu adalah hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) cairan

tebu. Dari satu pabrik dapat dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40% dari berat tebu

yang digiling. Mengingat begitu banyak jumlahnya, maka ampas tebu akan

memberikan nilai tambah untuk pabrik jika diberi perlakuan lebih lanjut (Tim Penulis

PS, 1992).

Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan

lignoselulosa yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti

bioetanol. Konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian

(17)

sebagai bahan bakar terus dikembangkan . Menurut Licht (2009), pada tahun 1999

produksi bahan bakar etanol mencapai 4.972 juta galon (setara dengan 18.819 juta

liter) dan pada tahun 2008 meningkat menjadi 17.524 juta galon (setara dengan 66.328

juta liter). (Hermiati, 2009).

Manfaat umum yang dapat diperoleh dari bahan bakar bioetanol antara lain,

digunakan untuk bahan baku industri turunan alkohol, campuran minuman keras,

industri farmasi, sampai pada bahan baku campuran kendaraan. Tentu saja,

pemanfaatan etanol ini harus disesuaikan dengan jenis kebutuhannya. Misalnya, untuk

kebutuhan industri diperlukan etanol dengan grade antara 90-96,5%, sedangkan untuk

minuman keras dibutuhkan etanol berkadar 99,5-100%, atau etanol yang harus

betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif (Abidin, 2009).

Pemanfaatan ampas tebu untuk dikonversikan menjadi bioetanol telah banyak

dikembangkan dari dulu hingga saat ini, diantaranya yang pernah memanfaatkan

ampas tebu menjadi bioetanol yaitu M.Samsuri dkk (2007) “Pemanfaatan Selulosa

Bagas Untuk Produksi Etanol Melalui Sakarifikasi Dan Fermentasi Serentak Dengan

Enzim Xylanase”; M.Samsuri dkk (2007) “Sakarifikasi Dan Fermentasi Bagas

Menjadi Etanol Menggunakan Enzim Selulase dan Enzim Selobiase”; dan Euis

Hermiati dkk (2009) “Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk

Produksi Bioetanol”.

Penelitian ini dilatarbelakangi berdasarkan penelitian Pembuatan Bioetanol

Dari Biji Durian Sebagai Sumber Energi Alternatif oleh Fifi Nurfiana (2009) dan

Pembuatan Bioetanol Dari Singkong Secara Fermentasi Menggunakan Ragi Tape oleh

Heppy Rikana dan Risky Adam (2000). Dimana pada penelitian ini, ragi tape dapat

dengan langsung digunakan untuk proses fermentasi tanpa mengisolasi mikroba yang

ada dalam ragi tape terlebih dahulu.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai pemanfaatan ampas tebu dalam pembuatan bioetanol secara fermentasi

dengan menggunakan ragi roti tanpa mengisolasi Saccharomyces cereviceae terlebih

(18)

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah ragi roti dapat digunakan secara langsung tanpa mengisolasi

Saccharomyces cereviceae terlebih dahulu dalam pembuatan bioetanol dari

fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan HCl 30% ?

2. Bagaimana pengaruh variasi penambahan ragi roti dan lama waktu fermentasi

terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan?

1.3 Pembatasan Masalah

Karena luasnya permasalahan dalam pemanfaatan ampas tebu, maka penelitian ini

dibatasi sebagai berikut:

1. Ampas tebu diperoleh dari Pabrik Gula Sei Semayang Jalan Medan-Binjai Km 12.

2. Hidrolisis ampas tebu menggunakan HCl 30%.

3. Ragi roti yang digunakan untuk fermentasi adalah ragi roti dalam bentuk kemasan

dengan merk saf instant.

4. Kadar bioetanol ditentukan secara volumetrik dengan metode oksidasi kalium

dikromat.

5. Kadar glukosa ditentukan dengan metode Nelson Somogyi.

6. Variasi ragi roti yang digunakan yaitu 1, 2, dan 3 gram.

7. Variasi lama fermentasi yaitu 2, 4, 6, dan 8 hari.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui apakah ragi roti dapat memfermentasi glukosa hasil hidrolisis

selulosa dari ampas tebu menjadi bioetanol tanpa melalui isolasi Saccharomyces

cereviceae terlebih dahulu.

2. Untuk mengetahui pengaruh variasi berat ragi roti yang ditambahkan dan lama

(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan:

1. Pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku penghasil bioetanol diharapkan dapat

meningkatkan nilai ekonomis bagi para petani tebu.

2. Dapat memanfaatkan limbah pabrik gula sebagai bahan baku pembuatan bioetanol

untuk bahan bakar alternatif.

3. Dapat memberikan informasi kadar bioetanol yang dihasilkan untuk penelitian

lebih lanjut.

4. Dapat memberikan informasi ilmiah dalam pemanfaatan limbah pabrik gula untuk

pembuatan bioetanol dengan menggunakan ragi roti.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia/Kimia Bahan Makanan

FMIPA-USU Medan, Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA-USU dan Pusat Penelitian FMIPA-USU.

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini adalah bersifat eksperimental laboratorium dengan menggunakan ampas

tebu dimana metode penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut:

Penelitian dilakukan dengan 4 tahapan yaitu:

1. Penyediaan selulosa ampas tebu.

• Bahan baku adalah ampas tebu yang diperoleh dari Pabrik Gula Sei Semayang

Jalan Medan- Binjai Km 12.

• Proses isolasi selulosa dengan cara delignifikasi ampas tebu.

• Uji kualitatif selulosa dilakukan dengan penambahan larutan Iodin.

2. Penyediaan glukosa dari hidrolisis selulosa ampas tebu.

• Bahan baku adalah selulosa yang diisolasi dari ampas tebu.

• Proses perubahan selulosa ampas tebu menjadi glukosa adalah hidrolisis

(20)

• Uji kualitatif glukosa dengan menggunakan pereaksi Benedict.

• Kadar glukosa dianalisa dengan menggunakan metode Nelson Somogyi.

3. Fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu untuk menghasilkan

bioetanol

• Substrat yang digunakan pada fermentasi adalah glukosa hasil hidrolisis

selulosa dari ampas tebu.

• Mikroba yang digunakan berasal dari ragi roti.

4. Pemurnian bioetanol hasil fermentasi.

• Bioetanol dipisahkan dari sisa glukosa dengan menggunakan alat destilasi.

• Kadar bioetanol hasil pemisahan dianalisa dengan menggunakan metode titrasi

oksidasi kalium dikromat.

Adapun variabel–variabel dalam penelitian adalah :

1. Variabel bebas adalah variabel yang mempunyai pengaruh terhadap kadar

bioetanol yaitu:

• Pengaruh konsentrasi glukosa terhadap fermentasi hasil hidrolisis selulosa

ampas tebu.

• Pengaruh penambahan ragi terhadap glukosa 1, 2, dan 3 gram

2. Variabel terikat adalah variabel yang terukur terhadap perubahan perlakuan.

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat yaitu :

• Kadar bioetanol.

3. Variabel tetap adalah variabel yang dibuat tetap sehingga tidak menyebabkan

terjadinya perubahan variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel tetap adalah:

• Berat sampel

• Berat ragi

• pH fermentasi yaitu pH= 4 - 5

• Temperatur fermentasi pada suhu kamar

• Kadar gula tetap

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Tebu

Tanaman tebu tidak asing lagi bagi kita, karena telah lama ada di negeri ini. Asal mula

tebu tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan tebu berasal dari India,

karena tebu ditemukan pertama kali di India. Akan tetapi, di India tidak ditemukan

tanaman tebu yang hidup liar, sehingga India diragukan sebagai tempat asal mula

tebu. Beberapa tahun kemudian orang menemukan tebu di hutan-hutan Irian. Setelah

diamati, kemungkinan besar tebu berasal dari daerah ini (Tim Penulis PS, 1992).

Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin.

Tanaman ini hanya dapat tumbuh didaerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk

jenis rumput – rumputan. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan

Sumatera (Wikipedia.com).

Tanaman tebu merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai

sifat tersendiri sebab didalam batangnya terdapat zat gula. Mulai dari pangkal sampai

ujung batangnya mengandung air gula dengan kadar mencapai 20%. Air gula inilah

yang kelak dibuat menjadi kristal-kristal gula atau gula pasir (Tim Penulis PS, 1992).

2.1.1 Klasifikasi Tebu

Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

(22)

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Saccharum

(www.wikipedia.com)

Jenis-jenis tebu yang sering ditanam yaitu POY 3016, PS 30, PS 41, PS 38, PS

36, PS 8, BZ 132, BZ 62 dan lain-lain. Adapun nama lokal tebu yaitu Sugar cane

(Inggris), Tebu (Indonesia), Tebu,Rosan (Jawa), Tiwu (Sunda), Tebhu (Madura),

Tebu,Isepan (Bali), Teubee (Aceh), Tewu (Nias,Flores), Atihu (Ambon), Tebu

(Lampung), Tepu (Timor) (www.iptek.net.id).

Diperkirakan kandungan polisakarida pada tebu mencapai lebih dari 70% yang

terbagi atas selulosa 50-55% dan hemiselulosa 15-20%. Kandungan lignin

diperkirakan hanya sekitar 20-30%. Pada biomassa lignoselulosa hanya selulosa dan

hemiselulosa yang biasanya diolah menjadi monosakarida untuk pembuatan etanol

(Samsuri, 2007).

Dibandingkan dengan bahan lignoselulosa lain yang banyak tersedia sebagai

hasil samping industri perrtanian dan perkebunan, misalnya jerami padi dan tandan

kosong kelapa sawit, ampas tebu memiliki kelebihan terutama dalam bentuk dan

ukuran bahan. Ampas tebu dari pabrik gula sudah merupakan partikel kecil yang tidak

lagi memerlukan proses perlakuan pendahuluan secara fisika berupa pencacahan atau

penggilingan untuk memperkecil ukuran bahan. Ampas tebu dapat langsung diberi

perlakuan pendahuluan lanjutan untuk mendegradasi lignin dalam bahan

(Hermiati, 2009).

2.2 Karbohidrat

Karbohidrat adalah polihidroksi aldehida atau polihidroksi keton yang mempunyai

rumus molekul umum (CH2O)n. Yang lebih dikenal sebagai golongan aldosa dan yang

kedua sebagai ketosa. Dari rumus umum dapat diketahui karbohidrat adalah suatu

(23)

monomer yang menyusun polimer itu, maka karbohidrat digolongkan menjadi

monosakarida, disakarida, trisakarida dan seterusnya sampai polisakarida. Bilamana

jumlah monomer yang menyusunnya berturut-turut adalah satu, dua, tiga dan banyak.

Untuk memudahkan biasanya dibagi menjadi tiga golongan yaitu monosakarida,

oligosakarida dan polisakarida.

Karbohidrat atau sakarida mempunyai dua fungsi yaitu sebagai bahan bakar

dan sebagai bahan penyusun struktur sel. Contoh karbohidrat yang tergolong dalam

kelompok pertama adalah glukosa, pati dan glikogen, dan yang termasuk kelompok

kedua adalah selulosa, kitin dan pektin (Martoharsono, 1998).

Molekul karbohidrat terdiri atas atom-atom karbon, hidrogen dan oksigen.

Jumlah atom hidrogen dan oksigen merupakan perbandingan 2:1 seperti molekul air.

Sebagai contoh molekul glukosa mempunyai rumus kimia C6H12O6. Pada glukosa

tampak bahwa jumlah atom hidrogen berbanding jumlah atom oksigen ialah 12:6 atau

2:1, sedangkan pada sukrosa 22:11 atau 2:1. Dengan demikian dahulu orang

berkesimpulan adanya air dalam karbohidrat, yang berasal dari “karbon” yang berarti

mengandung unsur karbon dan “hidrat” yang berarti air (Poedjiadi, 2007).

Bersama-sama dengan lemak dan protein, karbohidrat memegang peranan

penting bagi kehidupan dibumi ini. Bukan saja sebagai sumber energi utama bagi

makhluk hidup, tetapi juga sebagai senyawa yang menyimpan energi kimia. Pada

hewan atau manusia energi disimpan dalam bentuk glikogen dan pada tanaman

sebagai pati. Disamping kedua senyawa tersebut, ada pula karbohidrat pembentuk

struktur, misalnya selulosa yang berperanan sebagai komponen utama di dinding sel

bakteri. Selain terdapat pada dinding sel bakteri dan tumbuhan, polisakarida juga

(24)

2.2.1 Klasifikasi Karbohidrat

Pada umumnya karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida,

oligosakarida dan polisakarida. Monosakrida merupakan suatu molekul yang dapat

terdiri dari lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari

2-10 monosakrida dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri

lebih dari 10 monomer monosakarida.

2.2.1.1 Monosakarida

Monosakarida yang mengandung satu gugus aldehida disebut aldosa, sedangkan

ketosa mempunyai satu gugus keton. Monosakarida dengan enam atom C disebut

heksosa, misalnya glukosa (dekstrosa atau gula anggur), fruktosa (levulosa atau gula

buah), dan galaktosa. Sedangkan yang mempunyai lima atom C disebut pentosa,

misalnya : xilosa, arabinosa dan ribosa.

Beberapa monosakarida seperti D-glukosa, D-galaktosa dan D-fruktosa dengan

cepat dan mudah terserap melalui dinding usus kecil manusia, sedangkan

monosakarida lain yang mempunyai BM sama atau lebih kecil seperti D-mannosa,

L-arabinosa dan L-sorbosa hanya sebagian kecil saja yang terserap.

Meskipun ada bentuk D dan L, tetapi monosakarida-monosakarida yang

terdapat di alam pada umumnya berbentuk D, dan jarang sekali dalam bentuk L,

kecuali L-fruktosa yang terdapat dalam mukopolisakarida dan mukoprotein.

2.2.1.2 Oligosakarida

Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya

bersifat larut dalam air. Oligosakarida yang terdiri dari dua molekul monosakarida

disebut disakarida, dan bila tiga molekul disebut triosa, bila sukrosa (sakarosa atau

gula tebu) terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa, laktosa terdiri dari molekul

(25)

Ikatan antara dua molekul monosakarida disebut ikatan glikosidik. Ikatan ini

terbentuk antara gugus hidroksil dari atom C nomor 1 yang juga disebut karbon

anomerik dengan gugus hidroksil dan atom C pada molekul gula yang lain. Ikatan

glikosidik biasanya terjadi antara atom C nomor 1 dengan atom C nomor 4 atau

dengan melepaskan 1 mol air. Ikatan-ikatan glikosodik jarang terjadi antara karbon

anomerik dengan karbon yang ganjil misalnya 1, 3, 1,5, 1,7, tetapi biasanya dengan

ikatan karbon genap yaitu 2, 4, dan 6.

Ada tidaknya sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada

tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada

glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan

pada fruktosa (ketosa) hidroksil reaktifnya terletak pada karbon nomor dua.

Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya

sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1

pada gugus glukosanya. Karean itu, laktosa bersifat pereduksi sedangkan sukrosa

bersifat nonpereduksi.

2.2.1.3 Polisakarida

Polisakarida dalam bahan makanan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa,

hemiselulosa, pektin, lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen,

fruktan). Polisakarida penguat tekstur ini tidak dapat dicerna oleh tubuh, tetapi

merupakan serat-serat yang dapat menstimulasi enzim-enzim pencernaan.

Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat

berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang

spesifik kerjanya. Hasil hidrolisis sebagian akan menghasilkan oligosakarida dan

dapat dipakai untuk menentukan struktur molekul polisakarida.

Menurut jenis monosakaridanya dikenal pentosan dengan unit-unit pentosa dan

heksosan dengan monomer heksosa. Beberapa polisakarida mempunyai nama trivial

(26)

2.2.2 Lignin

Lignin merupakan komponen kimia dan morfologi yang karakteristik dari jaringan

tumbuhan tinggi seperti Pteridofita dan Spermatofita (gimnosperm dan angiosperm),

dimana lignin terdapat dalam jaringan vaskuler yang khusus untuk pengangkutan

cairan dan kekuatan mekanik. Tumbuhan primitif seperti jamur, lumut dan ganggang

tidak mengandung lignin, sementara masih dapat dipertanyakan apakah lumut

mengandung lignin yang sebenarnya atau hanya senyawa fenolat yang juga

menghasilkan sisa yang tidak dapat dihidrolisis selama perlakuan dengan asam.

Penelitian-penelitian yang lebih mutakhir terhadap sejumlah lumut (misalnya

Sphagnum maggellanicum) menunjukkan bahwa lumut tidak mengandung lignin dan

terdapat lignin terbatas pada tumbuhan vaskuler.

Jumlah lignin yang terdapat dalam tumbuhan yang berbeda sangat bervariasi.

Meskipun dalam spesies kayu kandungan lignin berkisar antara 20 hingga 40%,

angiosperm akuatik dan herba maupun banyak monokotil (misal spesies ekor kuda)

kurang mengandung lignin.

Di samping itu distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin

bagian pohon yang berbeda tidak sama. Sebagai contoh kandungan lignin yang tinggi

adalah khas untuk bagian batang yang paling rendah, paling tinggi dan paling dalam,

untuk cabang kayu lunak, kulit dan kayu tekan. Kandungan lignin dalam daun jarum

dan daun lebar dikatakan tidak tentu, terkadang tinggi atau rendah, kemungkinan

tergantung pada keadaan perkembangannya.

Dalam kebanyakan penggunaan kayu lignin digunakan sebagai bagian integral

kayu. Hanya dalam hal pembuatan pulp dan pengelantangan lignin dilepaskan dari

kayu dalam bentuk terdegradasi dan berubah, dan merupakan sumber karbon lebih

dari 35 juta ton tiap tahun di seluruh dunia yang sangat potensial untuk keperluan

(27)

2.2.3 Selulosa

Selulosa adalah suatu senyawa polimer yang tersusun atas residu dari D-glukopiranosa yang dihubungkan melalui ikatan β-(1,4) glikosida. Selulosa termasuk struktural polisakarida yang paling penting dalam tumbuhan. Karena jumlah selulosa yang

terdapat dalam tumbuhan kira-kira sepertiga dari biomassa, sehingga selulosa

termasuk kedalam bahan organik yang banyak dibumi ini. Diperkirakan sekitar 100

juta kg selulosa dihasilkan setiap tahun (McKee, 1996).

Adapun struktur selulosa yaitu dapat digambarkan sebagai berikut :

CH2OH CH2OH

Gambar 2.1 : Struktur selulosa. Dimana “n” mencapai ribuan unit

Struktur utama selulosa dapat dipecah dengan metode analisis metilasi. Selulosa yang

termasuk kedalam polimer linear mengandung residu glukosa hingga 15.000 yang

dihubungkan dengan ikatan glikosida (Voet, 1990).

Pada hidrolisis yang tidak lengkap terbentuk disakarida selobiosa, sedangkan pada hidrolisis lengkap terbentuk β-glukosa. Satuan β-glukosa ini berhubungan dengan ikatan 1-4. Selulosa tidak larut dalam air, berat molekulnya antara 50.000

sampai 400.000 dan ini sesuai dengan 300-2500 molekul glukosa. Dengan iodium,

selulosa tidak memberi warna. Enzim-enzim pencernaan tidak dapat memecah

selulosa sehingga selulosa penting sebagai sumber ‘bulk’ dalam makanan

(Iswari, 2006).

(28)

oleh enzim glikosidase yang terdapat dalam saluran pencernaan manusia atau hewan,

tetapi ular menghasilkan enzim selobiosa yang dapat menghidrolisis polimer ini

(Girindra, 1990).

Proses hidrolisis selulosa secara asam dibagi menjadi lima tahap yaitu

pencampuran selulosa dan asam, hidrolisis, netralisasi, pemucatan, penyaringan dan

pemekatan. Adapun mekanisme hidrolisis selulosa sebagai berikut :

(29)

CH2OH

O

OH + H3O+

HO OH

OH

Glukosa

Gambar 2.2 : Reaksi Hidrolisis Selulosa Dengan Asam

(Humprey, 1979).

2.2.4 Glukosa

Glukosa juga dinamakan dekstrosa atau gula anggur, terdapat luas dialam dalam

jumlah sedikit yaitu didalam sayur, buah, sirup jagung, sari pohon dan bersamaan

dengan fruktosa dalam madu. Tubuh hanya dapat menggunakan glukosa dalam bentuk

D-glukosa. Glukosa murni yang ada dipasar biasanya diperoleh dari hasil olahan pati.

Glukosa memegang peranan penting dalam ilmu gizi. Glukosa merupakan hasil akhir

pencernaan pati, sukrosa, maltosa dan laktosa pada hewan dan manusia.

Dalam proses metabolisme, glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang

beredar di dalam tubuh dan di dalam sel merupakan sumber energi. Dalam keadaan

normal sistem saraf pusat hanya dapat menggunakan glukosa sebagai sumber energi.

Glukosa dalam bentuk bebas hanya terdapat dalam jumlah terbatas dalam bahan

makanan. Glukosa dapat dimanfaatkan untuk diet tinggi energi. Tingkat kemanisan

glukosa hanya separuh dari sukrosa sehingga dapat digunakan lebih banyak untuk

(30)

2.3. Analisa Kualitatif dan Kuantitatif Gula Pereduksi 2.3.1. Analisa Kualitatif Gula Pereduksi

2.3.1.1 Uji Molisch

Karbohidrat oleh asam sulfat pekat akan dihidrolisa menjadi monosakarida dan

selanjutnya monosakarida mengalami dehidrasi oleh asam sulfat menjadi furfural atau hidroksi metil furfural. Furfural atau hidroksil metil furfural dengan α-naftol akan berkondensasi membentuk senyawa kompleks yang berwarna ungu. Apabila pemberian asam sulfat pada larutan karbohidrat yang telah diberi α-naftol melalui dinding gelas dan secara hati-hati maka warna ungu yang terbentuk berupa cincin

pada batas antara larutan karbohidrat dengan asam sulfat pekat. Dehidrasi pentosa

oleh asam akan dihasilkan furfural, dehidrasi heksosa menghasilkan hidroksi metil

furfural dan dehidrasi ramnosa menghasilkan metil furfural.

2.3.1.2 Uji Seliwanoff

Peristiwa dehidrasi monosakarida ketosa menjadi furfural lebih cepat jika

dibandingkan dengan dehidrasi monosakarida aldosa. Hal ini dikarenakan aldosa

sebelum mengalami dehidrasi lebih dahulu mengalami transformasi menjadi ketosa.

Dengan demikian aldosa akan bereaksi negatif pada uji Seliwanoff. Pada pengujian ini

furfural yang terbentuk dari dehidrasi tersebut dapat bereaksi dengan resorcinol

membentuk senyawa kompleks berwarna merah.

OH

OH

Gambar 2.3 : Resorcinol (1,3 dihidroksi benzen)

Sebagai zat untuk dehidrator dapat digunakan asam klorida 12% atau asam asetat atau

(31)

2.3.1.3 Uji Anthrone

Karbohidrat oleh asam sulfat akan dihidrolisa menjadi monosakarida dan selanjutnya

mengalami dehidrasi oleh asam menjadi furfural atau hidroksi metil furfural.

Selanjutnya senyawaan furfural ini dengan anthrone (9,10-dihidro-9-oxoanthracene)

membentuk senyawa kompleks yang berwarna biru kehijauan.

2.3.1.4 Uji Barfoed

Larutan Barfoed (campuran kupri asetat dan asam asetat) akan bereaksi dengan gula

reduksi sehingga dihasilkan endapan kuprooksida. Dalam suasana asam ini gula

reduksi yang termasuk dalam golongan disakarida memberikan reaksi yang sangat

lambat dengan larutan Barfoed sehingga tidak memberikan endapan merah kecuali

pada waktu percobaan yang diperlama. Uji ini untuk menunjukkan gula reduksi

monosakarida.

2.3.1.5 Uji Iodin

Karbohidrat golongan polisakarida akan memberikan reaksi dengan larutan iodin dan

memberikan warna spesifik bergantung pada jenis karbohidratnya. Amilosa dengan

iodin akan berwarna biru, amilopektin dengan iodin akan berwarna merah violet,

glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah coklat.

2.3.1.6 Uji Osazon

Aldosa ataupun ketosa dengan fenilhidrazin dan dipanaskan akan membentuk

hidrason atau osazon. Senyawa ini terjadi karena gugus aldehid ataupun ketonik dari

karbohidrat berikatan dengan fenilhidrazin. Reaksi antar senyawaan tersebut

merupakan reaksi oksido-reduksi atom C yang mengalami reaksi adalah atom C

nomor satu dan dua dari aldosa atau ketosa. Fruktosa dan glukosa menunjukkan

(32)

2.3.1.6 Uji Fehling

Larutan fehling yang terdiri dari campuran kupri sulfat, Na-K-tartrat dan NaOH

dengan gula reduksi dan dipanaskan akan terbentuk endapan yang berwarna hijau,

kuning-orange atau merah bergantung dari macam gula reduksinya (Sudarmaji, 1984).

2.3.1.7 Uji Benedict

Pereaksi Benedict terdiri dari tembaga sulfat dalam larutan natrium karbonat dan

natrium sitrat yang dapat mereduksi glukosa. Dimana glukosa terlebih dahulu

dioksidasi dalam bentuk garam asam glukoronat. Reaksi ini juga akan membentuk

endapan merah bata Cu2O dan produk oksidasi lainnya. Adapun reaksinya sebagai

berikut :

CH2OH CH2OH

OH O OH O

2Cu2+ + 5OH- + OH CH OH C-O-

HO HO

OH OH

+ 3H2O + Cu2O merah bata

Gambar 2.4 : Reaksi Gula Pereduksi Dengan Pereaksi Benedict

(McKee, 1996)

2.3.2. Analisa Kuantitatif Gula Pereduksi

2.3.2.1 Metode Luff-Schrool

Pada penentuan gula cara Luff-Schrool yang ditentukan bukannya kuprooksida yang

mengendap tetapi dengan menentukan kuprioksida dalam larutan sebelum direaksikan

(33)

reduksi (titrasi sampel). Penentuannya dengan titrasi menggunakan Natrium tiosulfat.

Selisih titrasi blanko dengan titrasi blanko dengan titrasi sampel ekuivalen dengan

kuprooksida yang terbentuk dan juga ekuivalen dengan jumlah gula reduksi yang ada

dalam bahan atau larutan. Reaksi yang terjadi selama penentuan karbohidrat cara ini

mula-mula kuprioksida yang ada dalam reagen akan membebaskan iod dari garam

kalium iodida. Banyaknya iod yang dibebaskan ekuivalen dengan banyaknya

kuprioksida. Banyaknya iod dapat diketahui dengan titrasi menggunakan natrium

tiosulfat. Untuk mengetahui bahwa titrasi sudah cukup maka diperlukan indikator

amilum. Apabila larutan berubah warnanya dari biru menjadi putih berarti titrasi

sudah selesai. Agar perubahan warna biru menjadi putih dapat tepat maka

penambahan amilum diberikan pada saat titrasi hampir selesai. Setelah diketahui

selisih banyaknya titrasi blanko dan titrasi sampel kemudian dikonsultasikan dengan

tabel yang sudah tersedia yang menggambarkan hubungan antara banyaknya natrium

tiosulfat dengan banyaknya gula reduksi. Reaksi yang terjadi dalam penentuan gula

cara Luff-Schrool dapat dituliskan sebagai berikut:

R-COH + CuO Cu2O + R-COOH

Penentuan gula dengan cara ini adalah dengan menentukan banyaknya kuprooksida

yang terbentuk dengan cara penimbangan atau dengan melarutkan kembali dengan

asam nitrat kemudian menitrasi dengan tiosulfat. Jumlah kuprooksida yang terbentuk

ekuivalen dengan banyaknya gula reduksi yang ada dalam larutan dan telah

disediakan dalam bentuk tabel Hammond hubungan antara banyaknya kuprooksida

dengan gula reduksi. Tiap 1mL Na-tiosulfat (39 gram Na2S2O3) sesuai dengan 11,259

(34)

2.3.2.3 Metode Lane-Eynon

Penentuan gula cara ini adalah dengan cara menitrasi reagen Soxhlet (larutan CuSO4,

K-Na-tartrat) dengan larutan gula yang ditentukan. Banyaknya larutan contoh yang

dibutuhkan untuk menitrasi reagen soxhlet dapat diketahui banyaknya gula yang ada

dengan melihat pada tabel Lane-Eynon. Agar diperoleh penentuan yang tepat maka

raegen soxhlet perlu distandarisasi dengan larutan gula standar. Standarisasi ini

dikerjakan untuk menentukan besarnya faktor koreksi dalam menggunakan tabel

Lane-Eynon. Pada titrasi reagen soxhlet dengan larutan gula akan berakhir apabila

warna larutan berubah dari biru menjadi tak berwarna. Indikator yang digunakan cara

ini adalah bromtimol blue (Sudarmadji, 1984).

2.4 Glikolisis

Pada dasarnya metabolisme glukosa dapat dibagi dalam dua bagian yaitu yang tidak

menggunakan oksigen atau anaerob dan yang menggunakan oksigen atau aerob.

Reaksi anaerob terdiri atas serangkaian reaksi yang mengubah glukosa menjadi asam

laktat. Proses ini disebut glikolisis anaerob.

Proses glikolisis anaerob dimulai dengan molekul glukosa dan diakhiri dengan

terbentuknya asam laktat. Sedangkan glikolisis aerob dimulai dari molekul glukosa

dengan terbentunya piruvat yang akan masuk ke siklus krebs. Serangkaian

reaksi-reaksi dalam proses glikolisis tersebut juga dinamakan jalur Emden-Meyerhof.

Reaksi-reaksi yang berlangsung pada proses glikolisis dapat dibagi dalam dua

fase. Pada fase pertama, glukosa diubah menjadi triosafosfat dengan proses fosforilasi.

Fase kedua dimulai dari reaksi oksidasi triosafosfat hingga terbentuk asam laktat.

Perbedaan antara kedua fase ini terletak pada aspek energi yang berkaitan dengan

reaksi-reaksi dalam kedua fase tersebut.

Dalam proses glikolisis satu mol glukosa diubah menjadi dua mol asam laktat.

(35)

ADP. Jadi fase pertama ini menggunakan energi yang tersimpan dalam bentuk

molekul ATP. Fase kedua mengubah dua mol triosa yang terbentuk pada fase pertama

menjadi dua mol asam laktat dan dapat menghasilkan 4 mol ATP (Girindra, 2007).

Fermentasi glukosa menjadi etanol dan karbondioksida oleh ragi telah lama

digunakan. Pembuatan bir dan roti merupakan awal pengembangan dari proses

fermentasi glukosa. Kemudian para ilmuwan mencoba meneliti lebih lanjut mengenai

mekanisme glikolisis yang dimulai sekitar pertengahan abad ke 19.

Gambar dibawah ini menjelaskan mengenai jalur glikolisis dalam pengubahan

glukosa menjadi piruvat yang menggunakan 2 ATP. Pada kondisi anaerobik,

fermentasi alkohol dari piruvat terjadi dengan adanya ragi, dimana fermentasi

homolitik terjadi dalam otot. Sedangkan kondisi aerob, piruvat dioksidasi menjadi

(36)

2.5 Fermentasi

Fermentasi merupakan kegiatan mikrobia pada bahan pangan sehingga dihasilkan

produk yang dikehendaki. Mikrobia yang umumnya terlibat dalam fermentasi adalah

bakteri, khamir dan kapang. Contoh bakteri yang digunakan dalam fermentasi adalah

Acetobacter xylinum pada pembuatan nata de coco, Acetobacter aceti pada pembuatan

asam asetat. Contoh khamir dalam fermentasi adalah Saccharomyces cereviseae

dalam pembuatan alkohol, sedangkan contoh kapang adalah rhizopus sp pada

pembuatan tempe, Monascus purpureus pada pembuatan angkak dan sebagainya

(Hidayat, 2009).

Fermentasi mulai dikenal pada tahun 1857 ketika Louis Pasteur menemukan bahwa

fermentasi merupakan sebuah hasil dari sebuah aksi mikroorganisme yang spesifik.

Fermentasi sebagai industri dimulai awal 1990, dengan produksi dari enzim mikroba,

asam organik, dan yeast.

Fermentasi alkoholik, dimana suatu molekul glukosa diubah menjadi dua

molekul etanol dan dua karbon dioksida, merupakan proses katabolik anaerobik yang

sama seperti glikolisis kecuali untuk stadium akhirnya yang menghasilkan produk

akhir yang berbeda. Pada glikolisis, perantara metabolik terakhir, piruvat direduksi

menjadi laktat. Dalam fermentasi alkoholik, ini dirubah menjadi etanol dan CO2

(Maulany, 1995).

Pada prinsipnya reaksi dalam proses pembuatan alkohol dengan fermentasi

adalah sebagai berikut:

C6H12O6 2 C2H2O5 + CO2

Jika digunakan disakarida seperti sakarosa, reaksinya adalah sebagai berikut:Reaksi

hidrolisis reaksi fermentasi sama seperti penggunaan monosakarida.

(37)

Khamir tidak dapat langsung memfermentasikan pati. Oleh karena itu tahap

yang penting adalah proses sakarifikasi, yaitu perubahan pati menjadi maltosa atau

glukosa dengan menggunakan enzim atau asam (Hidayat, 2009).

2.6 Ragi Roti

Penemu Yeast ( ragi roti ) pertama kali adalah Louis Pasteaur pada tahun 1872. Bibit

yeast yang terbagus terdapat dalam buah anggur dan apel serta pada akar pohon

tersebut.

Jenis – jenis ragi roti :

a. Fresh Yeast, merupakan jenis ragi yang pertama kali ditemukan, berbentuk

cair sehingga dalam penyimpanan memerlukan pembekuan sering disebut

compressed yeast.

b. Dry Yeast, merupakan jenis ragi yang kering berbentuk butiran – bituran sering

disebut dehydrated yeast.

c. Instan Yeast, merupakan ragi yang dibentuk dalam bentuk tepung/powder

Cara pemakaian dari ragi – ragi tersebut berbeda – beda yaitu:

a. Fresh Yeast sebelum dicampurkan dengan bahan – bahan lain harus dicairkan

terlebih dahulu

b. Dry Yeast sebelum dicampurkan dengan bahan – bahn lainnya harus dilarutkan

dulu dengan air dan difermentasikan. Instan yeast biasanya dicampurkan

langsung dengan bahan – bahan lain sehingga menjadi suatu adonan

( Subagjo, 2007 ).

2.6.1 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Ragi

1. Nutrisi (Zat gizi)

Dalam kegiatannya khamir memerlukan penambahan nutrisi untuk

pertumbuhan dan perkembangbiakan, yaitu :

(38)

b. Unsur N, dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, misal

urea, dan amonia.

c. Unsur P, dengan penambahan pupuk fosfat, misal NPK.

d. Mineral-mineral.

e. Vitamin-vitamin.

2. Keasaman (pH)

Untuk fermentasi alkohol, khamir memerlukan media dengan suasana asam,

yaitu antara pH 4,8 – 5,0. Pengaturan pH dapat dilakukan dengan penambahan

asam sulfat jika substratnya alkalis atau dengan natrium bikarbonat jika

substratnya asam.

3. Suhu

Suhu optimum untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan adalah 280C –

300C. pada waktu fermentasi terjadi kenaikkan panas, karena reaksinya

eksoterm. Untuk mencegah agar suhu fermentasi tidak naik, perlu pendinginan

agar dipertahankan tetap 260C -300C

4. Udara

Fermentasi alkohol berlangsung secara anaerobik (tanpa udara). Namun

demikian udara diperlukan pada proses pembibitan sebelum fermentasi untuk

perkembangbiakan khamir tersebut (Hidayat, 2009).

2.7 Bioetanol

Bioetanol adalah etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen pati

atau selulosa, seperti singkong dan tetes tebu. Dalam dunia industri, etanol umumnya

digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman

keras (seperti sake atau gin), serta bahan baku farmasi dan kosmetika. Berdasarkan

kadar alkoholnya, etanol terbagi menjadi tiga grade sebagai berikut :

• Grade industri dengan kadar alkohol 90-94%.

• Netral dengan kadar alkohol 96-99,5%, umumnya digunakan untuk minuman

keras atau bahan baku farmasi.

(39)

Adapun bahan baku yang dapat digunakan untuk menghasilkan bioetanol yaitu:

- Bahan berpati, berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji

jagung, biji sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia dan

alain-lain.

- Bahan bergula, berupa molases (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang

sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah, gewang, nira lontar dan lain-lain.

- Bahan berselulosa, berupa limbang logging, limbah pertanian seperti jerami

padi, ampas tebu, tongkol jagung, onggok (limbah tapioka), batang pisang,

serbuk gergaji dan lain-lain.

Dari bahan-bahan yang disebutkan diatas, bahan baku yang memiliki efisiensi

tertinggi adalah jagung, tetes tebu dan ubi kayu, sedangkan tebu memiliki efisiensi

paling rendah.

Pemerintah Indonesia melalui Dewan Standarisasi Indonesia (DSI) telah

menetapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk bioetanol. Yaitu

SNI-06-3565-1994 untuk alkohol teknis yang terbagi atas alkohol prima super, alkohol prima I, dan

alkohol prima II. Syarat mutu dalam SNI ini mencantumkan kadar etanol (pada 15oC)

untuk prima super sebesar maksimal 96,8% dan minimal 96,3%, sedangkan prima I

(40)

BAB III

METODA PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

− Alat Autoklaf Fiesher Scientific

− Buret Pyrex

− Hot plate stirer Cimarec

− Labu ukur Pyrex

− Neraca analitik Sartorius

− pH universal p.a. Merck

− Pipet Volume Pyrex

− Termometer Fischer

− Oven Griffin

− Bunsen

− Bola karet

− Botol Akuades

− Corong

− Kertas saring Whatman

− Penangas air

− Pipet tetes

− Statif dan klem

− Spatula

− Stirer Magnetik

− Gelas Erlenmeyer Pyrex

(41)

− Desikator

− Spektrofotometer Genensys 20

− Glukosa monohidrat p.a. Merck

(42)

− NaNO3 p.a. Merck

− Aluminium Foil

− Indikator Ferroin

− Na-sitrat p.a. Merck

− Na-Hipoklorit p.a. Merck

− K-Na-Tartrat p.a. Merck

− Na2HAsO4.7H2O p.a. Merck

− (NH4)6Mo7O24.4H2O p.a. Merck

− Na2SO4 p.a. Merck

− NaHCO3 p.a. Merck

− C6H12O6 p.a. Merck

− 1,10-O-phenantrolin.H2O p.a. Merck

3.2. Prosedur Penelitian

3.2.1 Pengambilan Sampel

Sampel berupa ampas tebu diperoleh dari satu lokasi yaitu Pabrik Gula Sei Semayang

Jalan Medan-Binjai Km 12.

3.2.2 Pembuatan Larutan 1. Larutan K2Cr2O7 0,689 N

Sebanyak 162,5 mL larutan H2SO4(p) ditambahkan kedalam 200 mL akuades pada

labu ukur 500 mL. Campuran diaduk dan didinginkan pada suhu 80-90oC.

Ditambahkan 16,88 g K2Cr2O7 (standar primer), dilarutkan dan didinginkan.

(43)

2. Larutan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N

Dilarutkan 77 g Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dalam 250 mL akuades pada labu ukur 500

mL, ditambahkan 15 mL H2SO4(p) dan diencerkan dengan akuades hingga garis tanda

lalu dihomogenkan.

3. Indikator Feroin

Sebanyak 0,695 g FeSO4.7H2O dilarutkan dalam 50 mL akuades, kemudian

ditambahkan 1,485 g 1,10-O-phenantrolin.H2O dan diencerkan pada labu ukur 100 ml

sampai garis tanda lalu dihomogenkan.

4. Pereaksi Benedict

Sebanyak 17,3 g Na-Sitrat dilarutkan dengan akuades. Dimasukkan kedalam labu ukur

100 mL (Larutan 1). Sebanyak 1,73 g CuSO4.H2O dilarutkan dengan akuades (Larutan

2). Perlahan – lahan larutan 2 ditambahkan kedalam larutan 1. Kemudian di encerkan

dengan akuades dalam labu ukur 100 mL sampai garis tanda lalu dihomogenkan.

5. Larutan HCl 30%

Sebanyak 81,08 mL HCl 37% diencerkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL

hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

6. Larutan NaOH 10 %

Sebanyak 10 g NaOH pelet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 100 mL

hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

7. Larutan HNO3 3,5 %

Sebanyak 54,6 mL HNO3 64% di tambahkan 10 mg NaNO3 lalu diencerkan dengan

(44)

8. Larutan Na2SO3 2%

Sebanyak 10 g Na2SO3 dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL hingga

garis tanda lalu dihomogenkan.

9. Larutan NaOH 2%

Sebanyak 10 g NaOH pelet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL

hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

10. Larutan NaOH 17,5 %

Sebanyak 87,5 g NaOH pellet dilarutkan dengan akuades dalam labu ukur 500 mL

hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

11. Larutan Na-Hipoklorit 1,75%

Sebanyak 72,9 mL Na-Hipoklorit 12% diencerkan dengan akuades dalam labu ukur

500 mL hingga garis tanda lalu dihomogenkan.

12. Larutan pereaksi Nelson

Nelson A :

Dilarutkan12,5 g Natrium karbonat anhidrat, 12,5 g garam Rochelle (K-Na-Tartrat),

10 g Natrium Bikarbonat, dan 100 g Natrium Sulfat anhidrat dalam 300 ml akuades

dan diencerkan sampai 500 mL.

Nelson B :

Dilarutkan 7,5 g CuSO4.5H2O dalam 50 mL akuades dan ditambahkan 1 tetes asam

sulfat pekat.

Pereaksi Nelson dibuat dengan cara mencampur 25 bagian larutan Nelson A

(45)

13. Larutan Arsenomolibdat

Dilarutkan 25 g ammonium molibdat dalam 450 mL akuades dan ditambahkan 25 mL

H2SO4(p). Pada tempat yang lain, dilarutkan 3 g Na2HAsO4.7H2O dalam 25 mL

akuades, kemudian dituangkan larutan ini ke dalam larutan pertama.

Disimpan dalam botol berwarna coklat dan diinkubasi pada suhu 37oC selama

24 jam. Larutan pereaksi ini dapat digunakan setelah masa inkubasi dan berwarna

kuning.

3.2.3. Cara Kerja

3.2.3.1. Isolasi Selulosa dari Ampas Tebu dan Uji Kualitatif Selulosa

75 g ampas tebu yang telah halus dimasukkan ke dalam gelas. Ditambahkan 1000 mL

HNO3 3,5 % dan 10 mg NaNO2. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 2

jam pada suhu 80o C. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7.

Ditambahkan 375 mL NaOH 2% dan 375 mL Na2SO3 2%. Dipanaskan dengan

menggunakan termostat selama 1 jam pada suhu 50o C.Disaring dan dicuci residu

dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75 %.

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 100oC.

Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan 500 mL

NaOH 17,5 %. Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada

suhu 80o C. Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Ditambahkan

500 mL Na-Hipoklorit 1,75 %. Dipanaskan selama 5 menit pada suhu 100o C.

Disaring dan dicuci residu dengan akuades hingga pH = 7. Dikeringkan residu

didalam oven pada suhu 60o C. Dimasukkan kedalam desikator. Dimasukkan selulosa

secukupnya kedalam plat tetes. Diteteskan dengan larutan iodin 0,1 N. Jika tidak

(46)

3.2.3.2. Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu Menjadi Glukosa Serta Uji Kualitatif Glukosa

Dimasukkan 0,5 g selulosa ampas tebu kedalam gelas erlenmeyer. Ditambahkan

dengan 8 mL HCl 30%. Ditutup dengan kapas dan aluminium foil. Dipanaskan

dengan menggunakan termostat pada suhu 80oC selama 30 menit.Didinginkan hingga

suhu kamar. Ditambahkan NaOH 10% hingga pH = 4 - 5. Disaring. Dipipet 1 mL

filtrat ke dalam tabung reaksi.Ditambahkan larutan Benedict secukupnya.Dipanaskan

dengan menggunakan termostat hingga terbentuk endapan merah bata.

3.2.3.3. Pengukuran Panjang Gelombang Maksimum Larutan Glukosa Standar

Ditimbang 500 mg glukosa anhidrat dan dilarutkan dengan aquades sampai volume

500 ml ( larutan glukosa anhidrat 1 mg/mL). Dipipet 5 mL larutan induk glukosa l

mg/mL dan dimasukkan kedalam labu takar 100 mL (0,05 mg/mL). Diencerkan

dengan aquades hingga garis batas. Dipipet 1 ml larutan glukosa 0,05 mg/mL kedalam

tabung reaksi,lalu ditambahkan 1 ml pereaksi Nelson lalu ditutup dengan kapas. .

Dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit lalu didinginkan. Ditambahkan 1 ml

larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut. Ditambahkan 7 ml

akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapan panjang gelombang pada 600

– 800 nm. (diperoleh panjang gelombang maksimum).

3.2.3.4. Penyiapan Kurva Standar Glukosa

Disiapkan larutan glukosa standar dalam beberapa tabung reaksi dengan konsentrasi

bertingkat dari 0,02 – 0,1 mg/mL. Ditambahkan 1 mL larutan Nelson kemudian

dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit dan didinginkan. Ditambahkan 1 mL

larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut. Ditambahkan 7 mL

akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapannya pada panjang gelombang

760 nm. Dibuat kurva standar yang menunjukkan hubungan antara konsentrasi gula

(47)

3.2.3.5. Analisa Kadar Glukosa Dari Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Dipipet 1 ml filtrat hasil hidrolisa selulosa ampas tebu lalu diencerkan dalam labu

ukur 50 ml dan diambil 1 ml untuk dianalisa. Ditambahkan 1 ml larutan Nelson

kemudian dipanaskan hingga mendidih selama 20 menit dan didinginkan.

Ditambahkan 1 ml larutan arsenomolibdat lalu dikocok hingga semua endapan larut.

Ditambahkan 7 ml akuades lalu dikocok hingga homogen. Diukur serapannya pada

panjang gelombang 760 nm sehingga dapat dihitung kadar gula reduksinya

3.2.3.6. Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu Menjadi Bioetanol

Dimasukkan 100 mL larutan glukosa hasil hidrolisis ampas tebu kedalam gelas

Erlenmeyer 250 mL. Ditambahkan 0,1 g MgSO4.7H2O , 0,1 g KH2PO4 dan 0,1 g

(NH4)2SO4. Disterilisasi dengan menggunakan alat autoklaf pada suhu 121oC selama 1

jam lalu didinginkan. Ditambahkan ragi roti sebanyak 1 gram. Difermentasi selama 2,

4, 6, dan 8 hari. Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi berat ragi roti 2 dan 3

gram.

3.2.3.7. Destilasi Larutan Fermentasi Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Dimasukkan larutan fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu ke dalam

labu leher dua. Dirangkai alat destilasi. Didestilasi pada suhu 78 – 80o C dengan

termostat. Ditampung destilat pada erlenmeyer yang ditutup dengan plastik dan diikat

karet. Ditambahkan 1 gram CaO kedalam destilat. Diaduk dan didiamkan selama 30

(48)

3.2.3.8. Penentuan Kurva Kalibrasi Etanol Standar

Disiapkan larutan standar etanol dengan konsentrasi 0,2 ; 0,4 ; 0,6 ; 0,8 ; 1,0 ; 1,2 ;

1,4 ; 1,6 ; 1, 8 dan 2,0 %. Dipipet sebanyak 5 mL dari masing-masing larutan etanol

yang telah disiapkan lalu diencerkan kedalam labu takar 100 mL. Dipipet 1 mL

larutan etanol hasil pengenceran kemudian dimasukkan kedalam gelas Erlenmeyer.

Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7 0,689N. Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin. Dititrasi

dengan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393N hingga larutan berwarna coklat kemerahan.

3.2.3.9. Analisa Kadar Bioetanol Dengan Metode Oksidasi Kalium Dikromat

Dimasukkan 1 mL destilat kedalam gelas Erlenmeyer. Ditambahkan 5 mL K2Cr2O7

0,689N.Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin.Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2. 6H2O

(49)

3.3 Bagan Penelitian

3.3.1 Isolasi Selulosa dari Ampas Tebu dan Uji Kualitatif Selulosa

Dicuci dengan aquades hingga pH = 7 dan disaring

Ditambahkan 375 mL NaOH 2% dan 375 mL Na2SO3 2% Dipanaskan menggunakan termostat selama 1 jam pada suhu 50oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 100oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL NaOH 17,5%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 30 menit pada suhu 80oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7 Ditambahkan 500 mL Na-Hipoklorit 1,75%

Dipanaskan dengan menggunakan termostat selama 5 menit pada suhu 100oC Disaring

Dicuci dengan akuades hingga pH = 7

Dikeringkan didalam oven pada suhu 60oC Ditimbang massanya

Dimasukkan selulosa secukupnya kedalam plat tetes Diteteskan dengan larutan Iodin 0,1N

Jika tidak terjadi perubahan warna berarti menunjukkan positif selulosa 75 gram ampas tebu halus

(50)

3.3.2. Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu dan Uji Kuantitatif Glukosa

Dimasukkan kedalam gelas erlenmeyer

Ditambahkan 8 mL HCL 30%

Ditutup dengan menggunakan kapas dan

aluminium foil

Dipanaskan dengan menggunakan termostat pada

suhu 80oC selama 30 menit

Didinginkan

Ditambahkan NaOH 10% hingga pH = 4 – 5

Disaring

Dipipet 1 mL Diuji kadar glukosa dengan

Dimasukkan kedalam tabung reaksi metode Nelson Somogyi

Ditambahkan larutan Benedict

secukupnya

Dipanaskan dengan termostat hingga terbentuk

endapan merah bata

0,5 g selulosa ampas tebu

Larutan glukosa Residu

Hasil

(51)

3.3.3. Pembuatan Larutan Fermentasi

Dipipet 100 mL dan dimasukkan kedalalm

erlenmeyer

Ditambahkan 0,1g MgSO4.7H2O, 0,1g KH2PO4,

dan 0,1g (NH4)2SO4

Disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC

selama 1 jam lalu didinginkan

Ditambahkan ragi roti sebanyak 1 gram

Difermentasi selama 2, 4, 6, dan 8 hari

Dilakukan perlakuan yang sama untuk variasi ragi roti 2 dan 3 gram Larutan glukosa

(52)

3.3.4. Destilasi Larutan Hasil Fermentasi dan Uji Kuantitatif Bioetanol

Dimasukkan kedalam labu leher dua

Didestilasi pada suhu 78o-80oC dengan

termostat

Ditampung destilat pada erlenmeyer yang

ditutup dengan plastik dan diikat dengan karet

Ditambahkan 1 g CaO

Diaduk dan didiamkan selama 30 menit Disaring

Dipipet 1mL

Dimasukkan kedalam erlenmeyer

Ditambahkan 5mL K2Cr2O7 0,689N

Ditambahkan 3 tetes indikator ferroin

Dititrasi dengan Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O 0,393 N hingga terbentuk larutan

berwarna merah kecoklatan

Dicatat volume yang terpakai

Dihitung kadar bioetanol yang diperoleh Larutan Hasil Fermentasi

Destilat

Hasil

(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Dalam pembuatan bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas

tebu terlebih dahulu dilakukan isolasi selulosa dari ampas tebu, dimana pada

penelitian ini berat selulosa yang diperoleh sebesar 24,56 g dari 75 g ampas tebu

dengan kadar 29,81 %.

Selulosa hasil isolasi ampas tebu kemudian dihidrolisis menggunakan HCl

30%. Hasil hidrolisis dianalisa secara kuantitatif dengan metode Nelson-Somogyi

menggunakan spektrofotometer visible untuk mengetahui kadar glukosa hasil

hidrolisis.

Tabel 4.1 Hasil Analisis Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

No Absorbansi Kadar Gula Reduksi (%) Rata-rata

1 0,872 9,13%

9,15%

2 0,881 9,24%

3 0,868 9,09%

Glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis selulosa ampas tebu kemudian

difermentasikan dengan variasi lama fermentasi yaitu 2, 4, 6, dan 8 hari. Sedangkan

variasi berat ragi roti yang digunakan yaitu 1, 2, dan 3 g. Setelah itu dilakukan tahap

destilasi sehingga diperoleh bioetanol yang kadarnya dianalisa dengan menggunakan

metode oksidasi kalium dikromat. Dimana kadar tertinggi bioetanol yang diperoleh

(54)

Untuk lebih jelasnya, kadar bioetanol untuk setiap variasi lama fermentasi dan

variasi penambahan ragi roti dapat dilihat pada Lampiran C.

4.2 Perhitungan

4.2.1 Perhitungan Kadar Selulosa Dalam Ampas Tebu

Kadar selulosa dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

B−S

����������� x 100%

Dimana :

B = berat cawan + berat sampel setelah pengeringan 110oC

S = berat cawan + berat sampel setelah pengeringan 550oC

Jika diketahui B = 53,32 g dan S = 48,77 g, untuk berat sampel yang digunakan

15,26 g

Maka kadar selulosanya adalah :

B−S

�����������

x 100%

= 53,32−48,77

15,26 x 100%

= 29,81 %

4.2.2. Perhitungan Kadar Glukosa Hasil Hidrolisis Selulosa Ampas Tebu

Untuk menghitung kadar gula reduksi hasil hidrolisis selulosa ampas tebu dengan

(55)

kurva kalibrasi larutan glukosa standar dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi

sebagai berikut:

Tabel 4.2 Data Penentuan Larutan Glukosa Standar (mg/mL) Pada Berbagai

Konsentrasi

Maka persamaan garis regresinya adalah

(56)

Untuk memperoleh Ybaru maka persamaan di atas disubsitusikan sehingga memperoleh

data baru yang baru.

Contoh :

Absorbansi dari pengukuran glukosa dengan konsentrasi 0,02 mg/mL adalah 0,112

dengan slope (a) = 0,84 dan intersep (b) = 0,105, maka :

Y1 = aX + b

Y1baru = 0,84 (0,02) + 0,105 = 0,1218

Dengan cara yang sama, maka Ybaru dapat dihasilkan yang dapat dilihat pada

Lampiran D.

Untuk mendapatkan kadar glukosa hasil hidrolisis selulosa ampas tebu, terlebih

dahulu dicari harga X dengan persamaan garis regresi yang setelah diperoleh

kemudian disubsitusikan ke dalam rumus :

Kadar gula reduksi =

X

.

Fp

S

100%

Dimana :

X = konsentrasi glukosa dari perhitungan regresi

Fp = faktor pengenceran (mL)

S = berat sampel kering (mg)

Contoh :

Absorbansi suatu pengukuran adalah 0,872 dengan faktor pengenceran 50 mL dan

berat sampel kering 0,5 g, maka :

0,872 = 0,84X + 0,105

(57)

Kadar gula reduksi = 0,913�50

500

100%

= 9,13%

Data selengkapnya pengukuran kadar gula reduksi pada Tabel 4.1

4.2.3. Perhitungan Kadar Bioetanol

Untuk menghitung kadar bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa

ampas tebu yaitu dengan menggunakan metode oksidasi kalium dikromat. Dengan

menggunakan persamaan garis regresi dari kurva kalibrasi larutan etanol standar

dengan berbagai konsentrasi sebagai berikut :

Tabel 4.3 Data Penentuan Kadar Etanol Standar Pada Berbagai Konsentrasi

(58)

b =

(∑�2) (��)−∑�(∑��)

�(∑�2)−(∑�)2

=

(15,40)(68,3)−(11,0)(70,48)

10(15,40)−(11)2

= 10,5157

Maka persamaan garis regresinya adalah

Y = aX + b

Y = -1,4090X + 10,5157

Dimana :

X = kadar etanol (%)

Y = volume pentiter Fe(NH4)2(SO4)2 0,393 N (mL)

a = slope

b = intersept

Dengan menggunakan persamaan garis regresi diatas maka konsentrasi bioetanol

dapat ditentukan sebagai berikut :

Contoh :

Volume pentiter untuk lama fermentasi 2 hari dengan penambahan 1 gram ragi roti

yaitu 8,5 mL, maka kadar bioetanolnya adalah :

Y = aX + b

X = 8,5−10,5157 −1,4090

= 1,43%

Dengan cara yang sama, maka kadar bioetanol selengkapnya dapat dilihat pada

(59)

4.3. Pembahasan

Pembahasan dari hasil penelitian ini terletak pada pengaruh lama fermentasi yang

divariasikan yaitu 2 hari, 4 hari, 6 hari, dan 8 hari. Sedangkan untuk variasi

penambahan ragi roti yaitu 1 gram, 2 gram dan 3 gram.

4.3.1. Variasi Lama Fermentasi Terhadap Kadar Bioetanol

Ketika waktu fermentasi semakin lama maka akan memberikan kesempatan lebih

lama juga kepada mikroba untuk menguraikan glukosa menjadi bioetanol sehingga

memungkinkan untuk diperoleh kadar bioetanol yang tinggi. Hal ini tentunya juga

berhubungan dengan penurunan jumlah glukosa dimana glukosa berfungsi sebagai

nutrisi bagi mikroba selama proses fermentasi berlangsung.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa dengan bertambahnya

waktu fermentasi maka kadar bioetanol yang dihasilkan juga semakin bertambah.

Dimana kadar bioetanol paling kecil terjadi pada lama fermentasi 2 hari dengan

penambahan 1 gram ragi roti yaitu 1,43%. Hal ini dikarenakan mikroba berada pada

fase adaptasi dan aktivitas mikroba juga belum optimal untuk menguraikan glukosa

menjadi bioetanol. Sedangkan fermentasi 6 hari dengan penambahan 2 gram ragi roti

dihasilkan kadar bioetanol paling tinggi yaitu 5,12%. Pada hari ke enam inilah

mikroba berada pada fase eksponensial dan waktu paling optimum bagi mikroba

untuk dapat menguraikan glukosa menjadi bioetanol. Pada fermentasi 8 hari dengan

penambahan 3 gram ragi roti dihasilkan kadar bioetanol yaitu 3,41%. Pada hari ke

delapan ini mikroba telah memasuki fase kematian yang dapat dilihat adanya serbuk

putih diatas larutan fermentasi. Fase kematian ini disebabkan karena penurunan

jumlah nutrisi sehingga mikroba tidak mampu mengubah substrat glukosa menjadi

(60)

4.3.2. Variasi Penambahan Ragi Roti Terhadap Kadar Bioetanol

Jumlah mikroba yang terdapat di dalam media fermentasi sangat berpengaruh

terhadap kadar bioetanol yang dihasilkan. Dimana semakin banyak mikroba yang

ditambahkan maka kadar bioetanol yang dihasilkan juga akan semakin bertambah. Hal

ini disebabkan karena mikroba yang menguraikan glukosa menjadi bioetanol semakin

bertambah. Pada dasarnya penambahan ragi yang berbeda pada proses fermentasi

untuk setiap bahan juga akan berpengaruh besar terhadap kadar bioetanol yang

dihasilkan.

Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa semakin banyak

jumlah ragi roti yang ditambahkan maka kadar bioetanol yang dihasilkan semakin

tinggi. Dimana kadar bioetanol tertinggi diperoleh pada penambahan ragi roti 2 gram

dengan lama fermentasi 6 hari yaitu 5,12%. Hal ini dikarenakan adanya aktivitas

mikroba yang optimal dalam mengubah glukosa menjadi bioetanol. Sedangkan kadar

bioetanol terendah diperoleh pada penambahan ragi roti 1 gram dengan lama

fermentasi 2 hari yaitu 1,43%. Hal ini dikarenakan jumlah mikroba yang mengubah

glukosa menjadi bioetanol terlalu sedikit dan mikroba masih berada pada fase adaptasi

serta mikroba belum mampu untuk memecah glukosa secara optimal sehingga kadar

bioetanol yang dihasilkan masih terlalu rendah. Pada penambahan ragi roti 3 gram

dengan lama fermentasi 6 hari kadar bioetanol yang diperoleh menurun yaitu 3,98%

dibandingkan dengan penambahan ragi roti 3 gram dengan lama fermentasi 4 hari. Hal

ini disebabkan jumlah nutrisi selama fermentasi tidak sebanding dengan jumlah

mikroba yang ada sehingga mikroba lebih cepat memasuki fase kematian sebelum

secara optimal dapat mengubah glukosa menjadi bioetanol akibatnya kadar bioetanol

yang dihasilkan menurun.

Berikut ini adalah kurva pertumbuahn mikroorganisme yang sesuai dengan

(61)

fase stationer

fase pertumbuhan fase kematian

fase hidup

fase adaptasi

Waktu pertumbuhan

Keterangan kurva pertumbuhan mikroorganisme sebagai berikut :

1. Fase Adaptasi

Pada fase ini mikroorganisme masih menyesuaikan diri dengan lingkungan

baru, dimana bermacam-macam enzim dan zat perantara dibentuk sehingga

memungkinkan pertumbuhan lebih lanjut. Sel-selnya mulai membesar tetapi

belum membelah diri.

2. Fase Pertumbuhan

Pada fase ini mikroorganisme mulai membelah diri, tetapi dimana pada fase ini

metabolisme paling pesat sehingga bahan sel sangat cepat dan konstan.

Keadaan ini berlangsung terus sampai salah satu atau beberapa nutrien habis

atau telah terjadi penimbunan atas hasil metabolisme yang bersifat racun yang

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.

3. Fase Stationer

Pada fase ini jumlah mikroorganisme yang dihasilkan sama dengan jumlah

mikroorganisme yang mati sehingga jumlah sel mikroorganisme yang hidup

konstan.

4. Fase Kematian

Pada fase ini kecepatan kematian terus meningkat sedangkan kecepatan

pembelahannya menjadi nol. Setelah sampai ke fase kematian, logaritma

kecepatan kematian mencapai maksimal dan jumlah sel menurun. Hal ini

biasanya disebabkan karena jumlah nutrisi yang sudah habis.

Gambar

Gambar 2.2 : Reaksi Hidrolisis Selulosa Dengan Asam
Gambar 2.3 :  Resorcinol (1,3 dihidroksi benzen)
Gambar 2.4 : Reaksi Gula Pereduksi Dengan Pereaksi Benedict
tabel yang sudah tersedia yang menggambarkan hubungan antara banyaknya natrium
+5

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan keadaan terbaik (pH fermentasi, jenis ragi, dan waktu fermentasi) dari proses pembuatan bioetanol dari ampas tebu

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh lama hidrolisis terhadap kadar bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis selulosa tongkol jagung dengan HCl 1%. Isolasi selulosa dari

Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh lama hidrolisis terhadap kadar bioetanol dari glukosa hasil hidrolisis selulosa tongkol jagung dengan HCl 1%.. Isolasi selulosa dari

dimana kadar bioetanol tertinggi sebesar 7.43% pada penambahan ragi roti 6 gram. dan lama waktu fermentasi

• Konsentrasi glukosa terhadap fermentasi hasil hidrolisis selulosa tongkol jagung manis. • Selulosa dari tongkol

Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal dan Fermentasi: Pengaruh pH Fermentasi, Jenis Ragi dan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh lama fermentasi terhadap kadar bioetanol dari fermentasi glukosa hasil hidrolisis selulosa tandan

Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “Pembuatan Bioetanol dari Tepung Ampas Tebu Melalui Proses Hidrolisis Termal dan Fermentasi: Pengaruh pH Fermentasi, Jenis Ragi dan