• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isolasi dan modifikasi protein susu dalam rangka pemanfaatan susu sapi substandar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Isolasi dan modifikasi protein susu dalam rangka pemanfaatan susu sapi substandar"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

A.

LATAR BELAKANG

Usaha peternakan sapi perah di Indonesia yang terkonsentrasi di PuIau Jawa. merupakan salah satu usaha yang berperanan sangat penting dalam menghasilkan protein hewani. Produksi susu segar di Jawa Barat sebesar 149.5 ribu ton pada tahun 1994.

yang

rneningkat menjadi 152.9 ribu ton pada tahun berikutnya, sedang-

kan produksi total Indonesia pada tahun 1995 mencapai 434.8 ribu ton; 70% dari total produksi tersebut dikonsumsi oleh 7 buah Industri Pengolahan Susu

(IPS)

terbe- sar di Indonesia, yaitu PT. Nestle Indonesia.

PT.

Indomilk. PT. Frieshe Vlag Indo- nesia. PT. Foremost Indonesia.

PT

Ultra Jaya,

PT.

Dafa dan

PT.

Sari Husada, yang mencapai 313.2 ribu ton pada tahun yang sama, yaitu hanya merupakan 30% dari kebutuhan IPS. Namun demikian, produksi ini belum dapat memenuhi kebutuhan IPS baik dari segi kuantitas, maupun kualitas (Business Consultancy Indonesia. 1996).

Mengingat usaha petemakan sapi perah pada umunmya masib bersifat mi- onal atau peternakan rakyat

(>

90%). maka kualitas susu segar yang dihasilkan belum &pat memenuhi persyaratan minimal secara keseluruhan seperti yang tercan- tum dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan No: 17IKptsJDJPI Deptanl83, misabya berat jenis sekurang-kurangnya 1.028 pada suhu 27.S°C, atau

jumlah rnikroba yang dapat d i b i i tiap ml susu segar setinggi-tingginya 3 juta.

Hasil penelitian D i k t o r a t Kaehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan (1982)

menunjukkan bahwa sebanyak 54.56 persen dari jumlah sampel yang diperiksa tidak

memenuhi persyaratan berat jenis tersebut di atas. Hasil pengamatan selama trim-

(12)

Bogor (1997) dengan total produksi 1,291 ton, ternyata mum susu segar menunjuk-

kan

rata-rata berat jenis

I

.0255. kadar bahan kering 11 -82%. dengan kadar lernak

3.89 % ; y ang pada tahun I996 rata-rata produksi mencapai 4.984.7 ton/tahun dengan

berat jenis 1.0261, kadar bahan kering 1 1.89 96, dan kadar lemak 3.89%. Produksi total susu segar di Koperasi Peternakan Bandung Selatan {KPBS) pada tahun 1996

mencapai rata-rata 13 1.3 tonihari dengan berat jenis rata-rata 1.02, kadar bahan kering 10.4% dan kadar temak 3.2

1,

sedangkan di Koperasi Peternakan Sapi Bandung Utara/KPSBU berat jenis rata-rata 1.026, dengan kadar bahan kering

11 -4 % dan kadar lemak 3.8 %

.

Berdasarkan Laporan Analisa Rasio Persusuan di

Jawa Barat, ternyata bahwa raw-rata berat jenis tertinggi yaitu 1.027 dicapai oleh KUD/Koperasi Mitraya (MI 32 buah KUD/Koperasi di Jawa Barat), sedangkan paling rendah yaitu 1.02 (KPBS) dan 1

.M1

(Td

Mukti).

Di lain pihak dalam menjamin kebutuhan bahan baku yang cukup besar untuk

memproduksi berbagai produk susu yang mencapai 762,461 ton pada tahun 1995

serta mempertahankan mutu produk IPS, maka instansi terkait dalam bidang persu-

suan yang pada tahun 1995 telah menempuh kebijakan impor bahan balcu dalam bentuk semi-finished milk products yang terdiri dari susu skim bubuk sebanyak

50.015 ton. tepung butter milk 9.498 ton. susu bubuk penuh ~ l l c r e a m milkpow-

&r)

986 ton, d m anhydrous milk

fa

sebanyak 7,758 ton (BCZ, 1996). Produk terse- but terutama berasal dari Selandia Baru (24%). Australia (20%), Jerman

(7%)

dan
(13)

dengan syarat-syarat tertentu telah ditetapkan dan dievaluasi setiap lima tahun.

misalnya sejak awal tahun 1996. IPS/P.T. Indomilk menerima susu segar dari

KUDlKOP dengan minimal kadar lemak 3.3 %. kadar bahan kering tanpa lemak

7.7% dan total bahan kering 11.096, d i i i i hasil negatif dengan uji alkohol75%,

dan jumlah total mikroba (totalplate count/TPC) lebih kecil dari 30 juta per m1

susu segar.

Sehubungan dengan ha1 tersebut di atas pemerintah melalui KUD/KOP atau

Milk

Treatment telah mengambii kebijakan untuk menerima susu segar dari petemak-

an rakyat atau perusahaan peternalum sapi perah dengan persyaratan minimal berat

jenis 1.026 (Milk Treatment. Ujung Berung. Bandung, 1994) atau mungkin lebih

rendah, misalnya pa& KPS Bogor 1.0250 untuk produksi susu pagi hari dan 1.0240

untuk produksi sore hari yang diikuti pengujian alkohol75 5% (KPS. Bogor, 1997).

Selain uji berat jenis, dilakukan pula uji aIkohol75 persen yang bila menunjukkan

hasil positif,

maka

susu dinyatakan ~ S a k dm ditolak oleh KUD, meskipun berat

jenisnya memenuhi persyaratan. Demikian pula bila ada penyirnpangan dalam uji

organoleptik, seperti misalnya menjadi agak manis, asin atau pahit, maka sum dito-

lak. Dengan demikian susu segv yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan

.

.

rmnunaI

KUD/Milk Trearment atau IPS tidak &pat dipasarkan, dan disebut sebagai

susu

substandar.

Hutasoit (1988) mengemdakau W w a kerusakan komoditas

susu

di Indone-

sia masih tinggi yaitu sebesar 5

-

12.5 persen. Berdasarkan data dari

Milk

T m -

m m t , Ujung Berung, Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) Wilayah Jawa Barat (1993).

diketahui

bahwa j d a h susu yang ditolak selama bulan l a d sampai

dengan September memxtpai rata-rata 3000 liter

per

hari. Dengan semakin intensif-

nya peranan

GKSI

dalam membina peternak tradisional (205 koperasi/KUD se
(14)

1995 Milk Treatment Ujung Berung, Bandung, hanya membeli susu segar untuk kebutuhan produksi susu pasteurisasi Aiam Murni, yogurt, dan lain-lain sedangkan koperasi/KUD di wilayah Jawa Barat iainnya m e n g u i susu segar langsung ke IPS.

Data dari GKSI Pusat Jakarta (1993) menunjukkan bahwa total susu segar yang tidak dapat dipasarkan, yang rneliputi 3 Milk Treatment di Jawa (Ujung Berung. Boyolali dan Pandaan) selama tahun 1992 yaitu sebesar kira-kira 1660 ton. Dari KPBS (1996) di Pangalengan dengan produksi susu segar ram-rata 13 1 - 3 ton per hari tahun 1996 dan 142.9 todhari tahun 1995 diketahui pula bahwa jumlah susu segar yang tidak dapat dipasarkan ke Industri Pengolahan Susu/IPS mencapai rata-rata 1.0% dari total produksi per hari, sedangkan dari KPSBU. Ltmbang. Bandung (1996) diperoleh laporan bahwa jumlah susu segar y m g ditolak IPS menca- pai 1.2 % dari rata-rata produksi per hari sebesar 66.9 ton.

Dari KPS Bogor (1997) diperoleh data bahwa jumlah susu segar yang tidak dapat dipasarkan ke IPS rata-rata 13.460 ton pada tahun 1995, 12.271 ton pada

tahun 1996, dan pada triwulao pertama tahun 1997 mencapai 3.6 ton, dan pada tahun

1995 susu segar yang ditolak di tingkat petemak sebesar rata-rata 2.5 tonlbulan (KPS Bogor melakukan penjemputan susu segac pada anggota-anggotanya).

Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, perln diupayakan altematif lain dalam bentuk suatu proses yang dapat mendayagunakan susu sapi substandar. sehingga memberikan nilai tarnbah pada produk tcrsebut.

Susu tecmasuk salah satu baban pangan yang mudah cuak mengingat bahwa

sebagai bahan makanan cair yang berkualitas tinggi maka susu mengandung hampir

semua

zat gizi yang diperlukan clan mudah dicema

untuk

Wvitas dan perkembang-
(15)

semua vitamin yang berfungsi sebagai faktor p e n d u n g proses biokimia yang terja-

di pada tubuh (Adnan, 1976).

Susu sapi normal mengandung 13 persen bahan kering termasuk protein.

lemak, laktosa dan garam-garam organik maupun anorganik.

Dalam

100 ml susu

normal terdapat 3.0

-

3.5 gram total protein yang terdiri atas dua bagian besar yaitu

kasein sebesar SO%, dan sisanya merupakan protein serum atau protein whey (Dal-

gleish. 1982).

Berbagai macam produk protein susu dapat dihasilkan, antara lain berupa

kasein asam. kasein Iaktat, kasein renet, kaseinat, konsentrat protein whey, kopresi- pitat atau protein susu total, clan hidrolisat protein susu. Produk-produk protein susu

mengandung asam-asam amino esensial yang dapat digunakan sebagai suplemen a t

gizi sekaligus menunjukkan sifat-sifat fungsional yang dikehendaki daIam sistem

pangan, misalnya dalam formulasi makanan bayi, sari buah yang diperkaya protein

atau minuman olahraga (Giese. 1994). Penggunaan isolat protein susu, khususnya

kasein dan kaseinat meningkat dengan cepat sejak tahun 1960 (total produksi dunia

rata-rata mencapai 150 000 ton) untuk kebutuhan industri pangan modern atau

formulasi pangan, yang pada tahun 1991 mencapai rata-rata 250 000 ton, dengan

negara pengguna terbesar yaitu Jepang. Amerika Serikat dart Inggris (Mulvihill,

1991).

Saat ini

sebesar 70-80% produk-produk protein susu digunalcan untuk kepen-

tingan Mustri pangan, yang umumnya diproduksi di Selandia baru. Australia, USA.

Belanda dan Kanada, dengan menggunakan susu sapi kualitas se-kunder, dan 20-

30%

untuk

kebutuhan industri lain, seperti perekat, plastik, serat kasein dan pelapis

kertas (Morr. 1982; Muller. 1982).

Sifat fungsional protein me~p&aXI sifat-sifat yang berpengaruh terhadap

proses pengolahan atau formulasi suatu produk, sebagai wntoh, untuk bahan substi-

(16)

membuih dan sifat penyerapan l e d (Modler. 1985). Suatu cara untuk meningkat-

kan sifat fungsional tertentu pada protein dapat

diIakukan

dengan modifikasi protein

secara kimia atau enzimatis, yang bertujuan mmpengaruhi sifat-sifat fiiko kimia-

nya, sehingga jumlah penggunaannya dalam suatu sistem pangan tertentu dapat

dikurangi.

Hasil penelitian Matheis clan W t a k e r (1984) melaporkan bahwa fosforilasi

kasein secara kimia ternyata meniagkaUEan sifat pembenNkaa gel. Fosforifasi dapat

meningkatkan kelarutan protein pada pH netral dan juga kapasitas pengikatan air,

khususnya pada 0-laktoglobulin. Matheis et al.. (1983) dan Medina era[.. (1992)

juga melaporkan bahwa fosforilasi meningkatkan viskositas kasein maupun kelaru-

tannya pada titik isoelektrik.

Modifikasi enzirnatis secara terbatas pada kasein. misalnya menggunakan

enzirn pankreatin ternyata dapat meningkatkan sifat daya buih kasein (Modler,

1985). dan juga kelarutan pada titik isoeiektrik (Chobert er d., 1988) clan penggu- naannya antara lain dalam pembuatan kembang gula, produk pangan cair maupun

minuman. Hasil penelitian Phiilips dan Beuchat (1981) menunjukkan terjadinya

pe- kelarutan protein kasein d m juga protein kedelai pada

kisaran

pH 4-5.

Mahmoud (1994) melaporkan bahwa mocWilcasi enzimatis dengan derajat hidrolisis

teaentu akan meningkaran aktivitas ernulsi pada protein whey yang tennodifikasi

oleh enzim tripsin, namun demikian bila hidroiisis tidak terkcndali maka stabilitas emulsi awxnuun sangat nyata.

Swaisgood (1985) menjelaskan bahwsf protein

utama

susu. yaitu kasein.

mempunyai kelarutan dan stabilitas

yang

tinggi pada kondisi tertentu, hat ini menye-

babkan produk-produk kasein, misalnya

Icaseinat.

baik yang dibuat dengan netral%asi

oleh natrium atau kalium merupakan pengcmdsi yang baik. Dengan demikian

(17)

formulasi produk-produk asal daging, produk-produk protein nabati terteksturisasi

(TVP = texturized vegetable protein), margarin, bahan pensubstitusi krim, bahan

pemutih kopi d m sebagai bahan pemantap buih. Sedangkan produk kopresipitat atau

total protein susu diperoleh dengan pemanasan susu skim, sehingga protein whey

mengalami denaturasi dan selanjutnya membentuk kompleks dengan kasein melalui

ikatan disulfida. Produk kopresipitat mempunyai sifat aktif permukaan yang baik,

sehingga dapat diaplikasikan sebagai bahan pengemulsi. pembuih dan pengembang

(whipping).

Berdasarkan uraian di atas, banyak hal-ha! yang masih perlu digali dan

dikaji dalam penelitian ini, misalnya mempelajari sifat sifat fungsional isolat protein

susu dari susu sapi substandar, sekaligus melalcukan modifikasi protein susu baik

secara kimia atau enzimatik dalam rangka meningkatkan sifat fungsional tertentu

agar memenuhi persyaratan bahan balcu suahr produk pangan. dengan demikian dapat

meningkatkaa pemanfaatan susu sapi substandar dan memperoleh nilai tambah

produk tersebut.

1. Meiakukan isolasi protein susu dari susu sapi substandar, karakterisasi sifat-

sifat fungsional, dan pola asam-asam amino produk isolat protein susu. yaitu

kasein laktat, natrium kaseinat dan kopresipitat.

2. Mempelajari pengaruh modifikasi kimia d m enzimatik terhadap karakteristik

fungsional, pola gel elektroforesis, clan daya

cema

in virro produk isolat protein susu.

3. Mempelajari stabilitas fungsional berbagai produk isolat protein

susu

dan produk
(18)

4.

Mempelajari aplikasi produk isolat protein susu dan produk protein termodifikasi-

nya untuk pensubstitusi bahan penstabil, yaitu pada es krim atau meningkatkan

mutu produk pangan tertentu, yaitu pada bahan

dasar

minuman ringan.

/

Modifikasi kimia dan enzimatik terhadap struktur kimia protein susu sapi

memberikan pengaruh yang berbeda pada karakteristik fungsional produk isolat

protein susu sehingga produk isolat protein susu

dan

atau produk termodifikasinya

(19)

11.

TINJAUAN PUSTAKA

A. KUALITAS SUSU

DI

INDONESIA

1.

Persyaratan Susu

/

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Peternakan (1983) tglah

ditetapkan tentang syarat-syarat,

tata

cara pengawasan dan pemeriksaan kualitas susu

produksi dalam negeri. Beberapa ketentuan yang penting antara lain mengenai pe-

ristilahan misalnya, yang dirnaksud dengan

:

a) susu adalah susu sapi meliputi susu

segar, susu murni, susu pasteurisasi

dan

susu sterilisasi, b) susu murni adalah cairan

yang berasal dari ambing sapi sehat, yang diperoleh dengan cara pemerahan yang

benar tanpa mengurangi atau menambah sesuatu komponen, c) susu segar adalah

susu murni yang tidak mengalami proses pemanasan, d) susu pasteurisasi adalah susu

mumi yang telah mengalami proses pasteurisasi secara sempurna, e) susu sterilisasi

adalah susu murni yang telah mengalami proses sterilisasi secara sempurna.

Dalam ha1 ini telah ditetapkan pula persyaratan kualitas susu murni yang

beredar, yaitu antara

lain :

a) tidak ada perubahan pada warna, bau, rasa

dan

keken-

talan,

b) berat jenis

@ada

suhu

27.5"C)

sekurang-kurangnya 1.028, c) kadar lemak

sekurang-kurangnya

2.8

persen, d) kadar bahan kering tanpa lemak sekurang-

kurangnya 8 persen, e)

kadar

protein sekurang-kurangnya

2.7

persen,

f)

negatif pada

uji &oh01

70

persen,

g)

jumlah kuman

yang dapat

d i b i i

tiap

ml

setinggi-tinggi-

nya adalah 3 juta. Demikian pula persyaratan yang spesifk untuk susu pasteurisasi

maupun susu sterilisasi telah ditetapkan.

Mengenai pengawasan dan pengujian kualitas susu, maka ditetapkan tata

caranya yaitu dilakukan terhadap susu pada

peternakan

sapi perah, penampung susu

(20)

laboratorium saja, sedangkan pengujian di penampung susu (misalnya, KUD) atau

pengumpul susu hanya dilakukan terhadap keadaan susu, yang meliputi antara lain:

pemeriksaan organoleptik, uji kebersihan, uji keasaman dengan alkohol 70 persen

(pada kenyataannya konsentrasi alkohol lebih tinggi, misatnya 75% di KPS, Bogor

dan di IPS Indomilk, 1997). sedangkan pengujian terhadap susunan susu hanya

>

dilakukan terhadap berat jenis saja.

2.

Susu Substandar

Susu substandar didefinisikan sebagai susu murni yang tidak memenuhi

persyaratan minimal yang ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal

ini

KUD atau Milk

Treatment.

Pada kenyataannya sampai saat ini masih sulit bagi peternak untuk

memenuhi semua persyaratan susu murni tersebut di atas, sehingga pemerintah

mengambil kebijakan melalui KUDlKOP atau penampung susu dalam penyerapan

susu dari peternak. Misalnya, di

Milk

Ttreatment

di Ujung Berung, Bandung mash

menerima susu segar dengan berat jenis

1.026

(GKSI

Wilayah Jawa Barat, 1997).

ha1 yang sama juga diterapkan di KPBS Pangalengan (1993) akan tetapi bila ada

petemak anggota koperasi menghasilkan susu segar dengan berat jenis lebii rendah

dari standar

KPBS

tetapi mash

B

1.024,

maka

susu tersebut masih diterima dengan

persyaratan khusus. Di KPS, Bogor (1997) susu segar

masih

diterima bila memiliki

berat jenis minimal 1.0250 (produksi pagi hari),

dan

1.0240 pada produksi sore hari.

Hal ini dilakukan dalam rangka terus mengupayakan para peternak memproduksi

susu dengan kualitas yang sesuai dengan standar yang diwpkan.

Perkembangan produksi susu di dalam negeri sejak beberapa tahun terakhir

ini menunjukkan peningkatan yang menggembirakan, yaitu usaha produksi yang

dikelola oleh para peternak sapi

perah

berskala keluarga yang dibina oleh Koperasi

(21)

Pengolahan Susu (IPS). Data dari

Ti

K o o r d i i i Persusuan (Dit. Jen. Perdagangan

Dalam Negeri. 1993) menunjukkan bahwa penyerapan susu segar dalam negeri

(SSDN) oleh IPS cenderung meningkat dari 652 ton per hari pada tahun 1991,

menjadi 825 ton per hari pada tahun 1993.

1

Mengingat usaha peternakan rakyat

masih

dalam kondisi keterbatasan dalam

banyak

hal,

misalnya permodalan, jumlah pemilikan sapi, luas lahan, pengetahdan

maupun keterampilan, maka tingkat produktivitas maupun kualitas susu belum

mencapai persyaratan yang ditetapkan pemerintah secara keseluruhan, sehingga

masih ditemui susu segar yang tidak dapat dipasarkan karena kualitasnya masih di

bawah standar. Sebagai contoh, dari data Gabungan Koperasi Susu Indonesia Pusat

(1993). diketahui bahwa pada tahun 1991 sebanyak kira-kira 2600 ton susu segar

tidak dapat dipasarkan ke IPS, sedangkan pada tahun 1992 terdapat sebanyak kira-

kira 1660 ton (yang meliputi 3 Milk Treatment di Jawa (Ujung Berung, Boyolali

dan

Pandaan).

Dengan semakin intensifnya peranan GKSI dalam membina peternak

tradisional(205 KUDIKOP se Indonesia,

dan

sejumlah 30 koperasi1KUD di wilayah

Jawa Barat), maka sejak tahun 1995

Milk

Treatment

Ujung Berung, Bandung, hanya

membeli susu segar untuk kebutuhan produksi susu pasteurisasi

Alum

Murni

dan

yogurt, sedangkan koperasilKUD di wilayah Jawa Barat lainnya mengirim susu

segar

langsung ke IPS.

Data dari Koperasi Peternak Bandung SelatanIKPBS (1996) di Pangalengan

dengan produksi susu segar rata-rata 131.3 ton per hari tahun 1996 dan 142.9

tonthari tahun 1995 diietahui pula bahwa jumlah

susu

segar yang tidak dapat dipa-

sarkan ke Industri Pengolahan SusuIIPS mencapai rata-rata satu persen dari total

produksi per hari, sedangkan

dari KPSBU. Lembang. Bandung (1996) diperoleh

laporan bahwa jumlah susu

segar

yang ditolak IPS mencapai 1.2% dari rata-rata

(22)

jumlah susu segar yang tidak dapat dipasarkan ke IPS rata-rata 13.460 ton pada

tahun 1995, 12.271 ton pada tahun 1996, dan pada triwulan pertama tahun 1997

mencapai 3.6 ton, dan pada

tahun

1995 susu segar yang ditolak pada tingkat peter-

nak

sebesar rata-rata 2.4 ton/bulan (KPS Bogor melakukan penjemputan susu

segar

pada anggota-anggotanya). Pada tahun 19% produksi susu segar dari KUDIKOP di

Jawa Barat (yang meliputi 11 kabupaten dengan 32 KUDIKOP) sebeiar

103,942,593.2 liter, yang memasok 47.7% produksi Nasional.

B. SIFAT FISIKO-KIMIA SUSU

Susu sapi bukan saja merupakan suatu lamtan kimia yang komplek, tetapi

juga sifat-sifat fisisnya secara alamiah sangat unik. Keadaan fisis yang memegang

peranan penting antara

lain

warna,

bau, rasa dan sifat penggumpalannya.

Susu berwarna putih kebii-biruan sampai dengan kuning kekecoklat-coklak-

tan. Warna putih pada susu serta penampakannya disebabkan penyebaran dispersi

koloid lemak, kalsium kaseinat dan kalsium fosfat, sedangkan warna kekuning-

kuningan ditentukan oleh kadar karoten

dan

riboflavin.

Rasa asli susu agak manis dan menyenangkan

@leasanr)

Adanya

rasa manis

berasal dari laktosa dan rasa asin berasal dari khlorida, sitrat dan garam-garam

mineral lainnya. Rasa susu ini mudah sekali menjadi abnormal karena beberapa

penyebab antara lain

:

sari makanan ternak yang terbawa oleh susu, enzim susu.

oksidasi lemak, aktivitas mikroba

dan

peralatan susu.

Penggumpalan atau pengentalan merupakan salah satu sifat susu yang dapat

disebabkan oleh kegiatan enzim atau

penambahan

asam

(Fleet. 1978).

Enzim

renin

yang diproduksi dari lambung anak sapi atau enzim proteolitik lainnya, termasuk

(23)

isoelektrik kasein, yaitu sekitar

4.6,

maka kasein

akan

menggumpal karena garam-

garam kalsium dan fosfor yang semula berikatan dengan protein terlepas secara

berangsur-angsur.

Berat jenis susu segar bervariasi dari

1.0260

hiigga

1.0320

pada suhu

20%.

yang

dalam

praktek sehari-hari dibaca 26 atau.32. Variasi tersebut sangat bergantung

I

pada kadar lemak dan bahan kering tanpa lemak, bila kadar lemak tinggi maka berat

jenis akan rendah, karena berat jenis lemak lebih rendah dibandingkan dengan

komponen-komponen lainnya.

Susu segar memilii pH dengan kisaran

6.6

-

6.7

atau sediit

asam

dan

bila

terbenhlk cukup banyak asam yang berasal aktivitas mikroba, maka

pH

menurun

secara nyata. Susu yang baru perah bereaksi amfoter, karena terdapat senyawa-

senyawa bufer, yaitu fosfat, sitrat

dan

protein yang secara nonnal terdapat di dalarn

susu. Bila susu menunjukkan pH di atas

6.6

-

6.8

maka ha1 ini mempakan indikasi

sapi tersebut menderita penyakit mastitis (Fleet.

1978).

1.

Komposisi

Kimia

Lampert

(1965)

menerangkan bahwa susu memiliki komposisi gizi yang

sangat komplek, beberapa komponen susu seperti laktosa, kasein dan lemak susu

tidak dapat ditemukan pa& bahan makanan lain. Komposisi kimia susu berdasarkan

(24)

Tahel 1. Komposisi

Kimii

Susu Sapi

No. Sumber Bahan Laktosa protein* ~ e m a k * ~ b u *

Kering

- -- -

...

%.../...

1. Ressang & Nasution (1962) 12.10 4.60 3.20 3.45 0.85

2. Lampert (1965) 12.71 4.92 3.42 3.66 0.71

3. Brunner (1977) 13.00' 4.80 3.50 4.00 0.30

4. Fleet, (1978) 12.90 4.80 3.40 3.90 0.72

5. Belitz & Grosch (1987) 13.00 3.70 3.60 5.00 0.70

Keterangan

: *) =

berdasarkan berat basah

Dari Tabel

1

dapat dijelaskan bahwa kandungan bahan kering susu pada

setiap hasil penelitian berheda-beda,

dan

umumnya kandungan komponen lemak susu

lebih tinggi dibandingkan dari komponen susu lainnya, rnisalnya protein atau abu.

Protein

Kandungan protein susu umumnya dengan kisaran antara 3.20 hingga 3.60

persen (berat basah), yang terbagi atas dua bagian besar, yaitu 80 persen adalah

kasein sedangkan 20 persen sisanya mempakan protein whey (whey protein).

Kasein disebut juga kalsium fosfoprotein yaitu protein yang mengandung

.

kalsium

clan

fosfor (Dalgleish, 1982). Kedua gmp protein

susu

tersebut berbeda baik

secara kirnia maupun fisik, yang pada kenyataannya di dalam susu masing-masing

terdapat dalam

fase

yang berbeda pula.

Kasein

merupakan agregat koloid, sedangkan

protein whey terdapat dalam larutan bebas. Dalam ha1 ini kasein lebih komplek

karena mampu mengikat ion logam yang pada gilirannya mudah mengalami presipit-

asi yang komplek. Dilain

fiiak,

protein whey yang merupakan protein globular

(25)

Pengasaman susu oleh bakteri dapat mengendapkan kasein. Bila kadar asam

cukup untuk menumnkan pH susu menjadi

5.2

-

5.3

maka kasein dapat mengendap

disertai dengan melarutnyaa garam-garan kalsium dan fosfor yang semula terikat

pada protein. Pada pH isoelektrik yaitu sekitar

4.6

-

4.7,

kasein diendapkan &an

terbebas dari semua garam-garam anorganik.

>

Lemak

Kandungan lemak bervariasi antara 3

-

6

persen (berat basah) yang dalam

susu berbentuk globula lemak yang bergaris tengah antara I

-

20

mikron, biasanya

dalam setiap militer susu mengandung kira-kira 3

x

lo9

butiran lemak. Sekitar

98

-

99

persen lemak susu berbentuk trigliserida, yaitu tiga rnolekul

asam

lemak yang

diesterifi-kasii terhadap gliserol, sedangkan lemak yang berbentuk digliserida dan

monogliserida masing-masing terdapat sekitar

0.5

dan 0.04 persen (Fleet.

1978).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa lemak terdapat dalam tiga tempat, yaitu di dalam

globula, pada membran material dan di dalam serum.

Secara

kuantitatif lemak tersu-

sun oleh

98-99

persen trigliserida yang terdapat dalam globula lemak,

0.2-1.0

persen

fosfolipida yang terdapat dalam membran material dan sebagian di dalam serum.

Sisanya adalah sterol, yang kandungannya berkisar antara

0.25-0.40

persen.

Butiran lemak cenderung memisah

dan

timbul pada permukaan yang merupa-

kan suatu lapisan. Bagian lemak ini disebut krim dan cairan susu yang terdapat di

bawahnya d i b u t

skim.

Bagian lemak tersebut dapat terpisah dengan mudah karena

berat jenisnya kecil. Karena mempunyai luas permukaan yang sangat besat. maka

reaksi-reaksi kirnia mudah sekali terjadi di permukaan perbatasan lemak dengan

mediumnya

(Adnan,

1976).

k m a k

merupakan komponen susu yang penting karena beberapa

hal,

antara

(26)

bahan baku dalam pembuatan mentega. Usaha-usaha seleksi sapi perah kadang-

kadang ditujukan untuk menghasilkan jenis sapi yang menghasilkan air susu dengan

kadar lemak yang tinggi,

(2)

lemak bernilai gizi tinggi, atas

dasar

jumlah kalori yang

d i i d u n g n y a . Selain itu lemak juga mengandung nutrien lain, yaitu fosfolipid,

sterol, tokopherol (vitamin

E),

karotenoid, vitamin

A

dan vitamin

D.

(3) lemak

memegang peranan penting dalam menentukan rasa, bau dan tekstur. ~ e s k i p t n

susu dipisahkan menjadi

k r i i

dan

skim, maka sebanyak 70 persen fosfolipid terdapat

di dalam krim, yang dengan cepat dapat teroksidasi dan menimbulkan

cardboard

off-.vor.

Sterol yang terdapat dalam susu berupa kolesterol sebanyak 0.015 persen,

(4) lemak merupakan konsituen yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.

Laktosa

Laktosa merupakan karbohidrat utama dalam susu, dalam bentuk disakarida

yang selama pencernaan mengalami perombakan oleh enzim laktase atau enzim

O-D-

galaktosidase menjadi glukosa

dan

galaktosa (Fox

dan

Mulvihiil, 1982;

Fleet,

1978;

Lampert, 1965). Selain laktosa dengan kandungan antara 3.7 hingga 4.92 persen,

juga ditemukan sejumlah kecil glukosa dan galaktosa dengan kadar masing-masing

sebesar 0.007 dan 0.002 persen. Di dalam susu, laktosa terdapat dalam

fase

larutan

yang sesungguhnya sehingga mudah dicerna pada proses hidrolisii oleh enzim usus.

Setiap organisme yang dapat menghidrolisis laldosa, tentu mempunyai ernzim

tersebut. misalnya

Streptococcus laktis

,

Escherichia coli

dan ragi. Laktosa tidak

dapat diidrolisis dengan

asam

yang terdapat

dalam

kelenjar pencernaan

kita,

baik di

dalam perut maupun di kelenjar usus. Hidrolisis laktosa di dalam pencernaan kita

dilaksanakan oleh mihoorganisme dan oleh enzim B-D-galaktosidase yang d i i i l -

kan

oleh kelenjar

usus.

Hasil hidrolisis tersebut berupa

asam-asam

organik terutama

(27)

Keasaman ini dapat mengganggu pertumbuhan bakteri yang tidak kita kehendaki

terutama bakteri yang dapat menyebabkan diare

@utrefacrive bacteria).

Sebagian kecil laktosa mengalami hidrolisis di dalam sel-sel dinding usus

karena sel-sel mukosa yang terdapat dalam dinding usus mempunyai enzim

&D-

galaktosidase tersebut. Penyerapan laktosa dalam dinding usus ternyata menstimulir

mineral seperti kalsium, fosfor yang disebabkan karena kenaikan permiabilitas dari

dinding sel-sel tersebut. Apabila laktosa diinjeksikan langsung ke dalam aliran darah,

maka

zat tersebut tidak dapat diiidrolisis melainkan

akan

disekresikan melalui urin

(Adnan,

1966).

Vitamin

dan

Mineral

Susu merupakan sumber vitamin yang larut

dalam

air yaitu vitamin B dan

C

maupun vitamin yang larut dalam lemak yaitu vitamin A, D,

E

dan K. Sebagian

besar vitamin

C

dan

BIZ

ternyata rusak selama proses pasteurisasi. Bila air pada

susu dihilangkan dengan penguapan dan sisanya dibakar maka akan diperoleh sisa

abu putih yang mengandung bahan-bahan mineral (Fox dan Mulvihill, 1982). Dalam

hal

ini

dua macam mineral yang paling penting dalam susu yaitu kalsium dan fosfor.

Hanya 25 persen kalsium. 20 persen magnesium dan 44 persen fosfor terdapat dalam

bentuk tidak larut, sedangkan mineral-mineral lainnya semua

dalam

bentuk larut.

Kalsium dan magnesium dalam bentuk yang tidak larut terdapat secara

kiiiawi dan fisik bersenyawa dengan kaseinat, fosfat dan sitrat. Hal inilah yang

memungkinkan susu dapat mengandung kalsium dalam konsentrasi yang

besar

serta

pada saat yang sama dapat mempertahankan tekanan osmosa secara normal dalam

darah. Komposisi mineral utama yang terdapat dalam susu sapi disajikan pada

(28)

Tabel

2.

Kandungan Mineral dalam Susu

Unsur

%

Berat Basah

-

Kalium

-

Kalsium

-

Klorida

-

Fosfor

-

Natrium

-

Ma

nesium

-

Su

9

fur

Sumber

:

Fleet

(1982).

Di samping mineral-mineral utama terdapat pula mineral-mineral lainnya

dalam jumlah yang sangat kecil antara lain, yaitu alumunium, barium, bromin, dan

seng. Mineral-mineral tersebut sebagian berada

&lam

bentuk suspensi dan sebagian

lagi berada dalam bentuk larutan.

2.

Emulsi Susu

Winarno

(1984)

mengemukakan bahwa emulsi merupakan

sum

dispersi atau

suspensi suatu cairan di dalam

cairan

yang lain, yang mana molekul-malekul kedua

cairan tersebut tidak saling berbaur, tetapi saling antagonistik.

Struktur

Pada suatu emulsi biasanya terdapat tiga bagian yang terdispersi yang terdiri

dari butir-butir yang biasanya merupakan lemak, bagian kedua disebut media pen-

dispersi yang biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah bahan penstabil

(stabilizer atau

emulsifier

agent), yang berfungsi menjaga agar butir minyak atau

lemak tadi tetap tersuspensi di dalam air.

Pada emulsi susu

maka

s t r u b globula lemak di bagian dalamnya sebagian

(29)

dilapisi dengan suatu membran tipis yang dinarnakan

membran material,

yang ber-

fungsi untuk menstabilkan struktur emulsi tersebut, disamping mencegah tergabung-

nya globula lemak satu dengan yang lainnya dan membentuk butiran yang lebih

besar (Fox dan Mulvihill. 1982). Kasein mempakan protein dengan

kadar

60 pdrsen

dari

membran material

itu, sedangkan fosfo1,ipida kira-kina

35

persen.

I

Karakterisasi

Susu merupakan emulsi minyak dalam air karena dalam ha1 ini butiran-

butiran lemak dan senyawa-senyawa yang ada hubungamya dengan lemak, misalnya

gliserida-gliserida terdapat dalam bentuk globula-globula yang berupa dispersi kasar.

Dengan perkataan lain bahwa bahan penstabilnya lebih terikat pada air atau lebih

larut dalam air (polar), sehingga dapat lebih membantu terjadinya dispersi minyakf

lemak susu dalam air ( W i n a r o 1984). Butiran-butiran lemak ini dapat dilihat

dengan mikroskop, yang mempunyai bentuk bulat.

Di dalam satu ml susu, kiua-kira terdapat tiga bilyun (3

x

10')

globula lemak.

Diameter lemak bervariasi antara 0.1 mikron sampai lebih dari 15 mikron, dengan

rata-rata berkisar antara 3

-

4

mikron dan hanya sedikit yang diameternya kurang

dari dua mikron, kira-kira 90 persen globula memiliki diameter dengan

kisaran

2

-

7

mikron. Lemak dalam susu terdapat pada tiga tempat yaitu di dalam globula, pada

membran dan di dalam serum.

Kestabilan emulsi susu sangat ditentukan oleh selapisfilm (membran) protein

yang mengelilingi setiap butiran lemak. Bila struktur membran protein ini ~ s a k

akibat kadar asam dalam susu terlalu tinggi atau terjadi hidrolisis oleh enzim proteo-

(30)

presipitasi atau menggumpal, yang keadaan ini disebut sebagai susu pecah (Eckles,

el a[., 195

1;

Jennes dan Panon, 1969).

Kestabilan emulsi dapat juga dirusak oleh akibat pertumbuhan dan aktivitas

bakteria, misalnya Bacillus cereus yang menghasilkan enzim pencerna fosfolipid

pada membran meterial yang menyebabkan terjadi sweet curdling, yaitu susu men-

$

galami koagulasi tanpa penurunan pH (Fleet, 1978).

C

PROTEIN

SUSU

Susu sapi m e ~ p a k a n

bahan

makanan bernilai gizi tinggi karena mengandung

30-35 g protein per liter susu. Pada prinsipnya protein susu terbagi atas dua bagian

besar, yaitu 80 persen adalah kasein dengan empat macam komponen, yaitu

ors,-kasein, a,-kasein, B-kasein, dan k-kasein, sedangkan sisanya mempakan protein

whey yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu 6-laktoglobulin (8-lg) dan

or-laktalbumin (a-la).

Namun demikian terdapat beberapa protein lainnya, yaitu albumin serum

darah, imunoglobulin, laktoferin, proteosa-pepton, dan seruloplasmin dalam kon-

sentrasi sangat rendah (trace).

1.

Kasein

a.

Komponen Kasein

Modler (1985) mengemukakan bahwa empat macam komponen utama

kasein, yaitu

as,-,

a,-,

8-

clan

k-kasein berturut-turut terdapat kira-kira

45,

12,

34

dan 10 persen, tergantung dari genetik varian yang terlibat. Pada Tabel 3 disajikan

(31)

Berdasarkan Tabel

3

dikemukakan bahwa terdapat perbedaan berat molekul

antar komponen-komponen kasein, yaitu paling tinggi adalah komponen a,-kasein,

lalu diikuti 0-kasein, a,,-kasein dan k-kasein. Masing-masing komponen kasein

mengandung residu fosfat dan prolin, akan tetapi gugus sulfhidril (-SH) tidak'ter-

dapat pada komponen a,,-kasein dan 8-kasein.

3

Pada as,-kasein, sebanyak tujuh grup fosfat dari delapan grup terletak

diantara residu asam amino ke

42

dan

80

yang menghasilkan total muatan bersih

yaitu

-21

pada pH

6.6,

sedangkan sisa molekul tidak bermuatan. Dalam ha1 ini

terdapat tiga bagian hidrofobik utama pada % , - h e i n , yaitu pada

antara

residu asam

amino ke

1-44, 90-113

dan

132-199.

Komponen a,-kasein,

yang

memiliki residu fosforil pada asam amino

10-13

merupakan komponen kasein yang terhidrofilik. Segmen C terminal

(160-207)

merupakan hidrofobik terkuat, dan segmen antara residu

91

dan

120

merupakan

hidrofobik lemah (Fox

dan

Mulvihill,

1982).

Tabel

3.

Sifat Fisiko-Kimia Komponen Kasein

Protein E ka- Stmu EM T i t i k T i t i k NO R-pro Bag SH-

r e i n Skim iso- lso- R e s per2 hidro grup

(32)

Komponen 6-kasein bermuatan negatif kuat, dengan empat grup fosfat dari

lima grup terletak pada terminal N antara residu asam amino ke 13 dan

21.

Terminal C ujung pada E-kasein mempakan bagian hidrofobik

.

Komponen k-kasein hanya mempunyai satu residu fosfoseril, dengan demiki-

an tidak mengikat kuat gugus kalsium, yang menyebabkan daya larut relatif tinggi

dalam lamtan kalsium lemah, dibandingkan as-kasein dan 8-kasein. Disebabkan

tidak terdistribusi meratanya asam amino yang bersifat asam, grup fosfat-serin, dan

asam amino hidrofobik dalam rantai polipeptida, maka bagian hidrofilik yang

bermuatan negatif tinggi

akan

mengalami

interspresed

dengan bagian hidrofobik kuat

dalam rantai peptida yang sama. Dengan demikian kasein cendemng berasosiasi

h a t , karena kombinasi ikatan hidrofobik, hidrogen, elektrostatik dan ikatan disulfida

(k-kasein)

.

Kasein

mengandung residu fosfoseril yang tinggi yang menstabilkan

micell.

Disamping itu kandungan prolin pada kasein juga tinggi yang tersebb merata pada

rantai polipeptida dengan struktur or-helix dan 8-sheet yang terbatas sehingga

membentuk struktur kasein yang sangat terbuka dibandingkan dengan protein

whey.

Struktur

terbuka berarti bahwa kasein lebih mudah diserang oleh enzim

clan

juga dengan mudah berdifusi pada

intelfaces.

Keberadaan dan letak fosfat pada

,

berbagai fraksi kasein berimplikasi penting dalam sifat fungsionalnya.

Fox dan Mulvihill (1982) mengemukakan bahwa kasein dapat mengalami

'

destabilisasi selama prosessing produk-produk susu ataupun karena penyimpanan.

Telah diketahui bahwa kasein tidak larut pada titik isoelektrisnya yaitu pH

4.6

(33)

dengan cara fermentasi sedangkan kasein asam khlorida maupun kasein asam sulfat dengan cara asidifikasi langsung (Modler. 1985).

Asidifikasi dan pencucian mempakan tahap yang terpenting mendapat per- hatian pada proses isolasi kasein-asam. Bila proses asidifrkasi tidak efisien maka ion kalsium banyak tertinggal, sehingga produk yang d i i l k a n mempunyai viskositas -

.

.

-

-

. *

..

.

- 2 .

- --- ---

kasein asam, fermentasi produk susu cair dan pada pembuatan beberapa varietas keju seperti keju Cottage dan keju Queso Blanco.

Proses foriifikasi dengan penambahan kalsium, misalnya 0

-

0.6 persen kalsium khlorida, mengakibatkan presipitasi kasein pada suhu 90°C, yang ha1 ini dimanfaatkan pada produksi kasein protein whey kopresipitat. Kasein misel rneng- alami koagulasi, bila mencampur susu segar dengan larutan etanol.

Pada prinsipnya kasein misel tahan panas atau stabil hingga pemanasan pada suhu 140°C selama 10-20 menit sebelum terjadi koagulasi. Daya tahan panas kasein sangat tergantung dari pH susu, akan tetapi susu segar tahan terhadap pemanasan diatas pH 6.4.

Pelepasan kalsium dari susu secara keseluruhan menyebabkan 10 kali disa- gregasi lebih lanjut, dengan membentuk komplek submiselar kasein dengan berat molekul 2 million. Sedangkan penambahan agensia disosiasi yang kuat seperti urea, HC1 guanidin alkali atau natrium lauryl sulfat maka agregat kasein berdisosiasi membentuk unit-unit monomernya dengan kisaran berat molekuI dari 19 000 hingga 30 000.

Pada k-kasein yang memiliki sedikit residu fosfoseril maka tidak mengikat kuat ion kaIsium dan larut dalam kalsium k-kasein dapat berasosiasi dengan kom- ponen a-kasein maupun 0-kasein, yang dengan adanya ion kaIsium akan rnenstabi- lisasi ikatan tersebut sehingga mencegah timbulnya presipitasi, namun demikian k-kasein kurang stabil akibat modifikasi oleh enzim proteinase, misal renet, yang dengan adanya ion kalsium dapat terjadi koagulasi kasein rnisel. Hal ini sangat penting pada proses pembuatan bezmacam varietas keju dan Mirenet.

Kasein diisolasi dari susu skim melalui proses asidifikasi (presipitasi pada pH isoelektrii yaitu 4.6), dengan menggunakan asam lakcat, asam khiorida atau

(34)

dengan cara fermentasi sedangkan kasein asam khlorida maupun kasein asam

sulfat dengan cara asidifikasi langsung (Modler, 1985).

Asidifikasi dan pencucian merupakan tahap yang terpenting mendapat per-

hatian pada proses isolasi kasein-asam. Bila proses asidifikasi tidak efisien

maka'

ion

kalsium banyak tertinggal, sehingga produk, yang dihasilkan mempunyai viskositas

J

tinggi dan akan timbul kesulitan dalam produksi kaseinat berikutnya. Bila proses

pencucian tidak baik maka banyak laktosa yang tertinggal, sehingga produk akan

berubah warm selama penyimpanan.

Kasein renet diperoleh dengan cara hidrolisis komponen k-kasein oleh enzim

renin misalnya. Dalam ha1 ini Fox dan Mulvihill (1982) mengemukakan bahwa

untuk menginduksi proses koagulasi protein pada proses produksi kasein renet maka

85 persen k-kasein harus terhidrolisis. Selanjutnya presipitat kasein yang diperoleh

dipisahkan dari cairan wheynya,lalu dilakukan pencucian, penekanan, penggilingan,

pengeringan, penggilingan, pengayakan dan pengepakan.

Kasein renet tidak larut hingga dicapai pH 9 dengan adanya komplek ion

kalsium, karena tidak mengandung k-kasein amphifilik, yang diakibatkan terlepas-

nya makropeptida terminal-C hidrofilik, sedangkan kasein asam sangat tidak larut

pa& pH 4.6. Kadar abu kasein renet cukup tinggi (kalsium dan fosfat) karena dalam

clotted-micell mengandung koloid kalsium fosfat-sitrat, sedangkan kadar abu

kasein

asam rendah disebabkan kalsium fosfat terdapat di dalam

cairan

whey (Swaisgood,

1985). Kasein kopresipitat Iebih larut dari pada kasein asam maupun kasein renet,

tetapi k e l a ~ t a n

terbaik adalah kaseinat.

Kaseinat diproduksi dari kasein asam yang masih belum dikeringkan atau

dengan melakukan rekonstitusi q u n g kasein asam dengan natrium, kalium, amonia

(NH,)

atau kalsium dengan proses netralisasi dari pH 6.8 hingga 7.5. Produksi

(35)

cita rasa yang lebih baik dibandingkan bila diproduksi dari rekonstitusi kasein asam. Suatu ha1 yang sangat penting diperhatikan yaitu tetap mempertahanlcan pH dari

6.8 hingga 7.5 untuk mencegah terjadi pengikatan fosfolipid pada bagian hidrofobik dalam molekul kasein.

Produk kopresipitat dapat diperoleh dengan memanaskan susu s k i , sehingga protein whey mengalami denaturasi dan selanjutnya membentuk kompleks dengan kasein melalui ikatan disulfida. Proses asidifikasi pada pH 4.6 aiau dengan menam- bahkan kalsium khlorida akan menyebabkan presipitasi kompleks tersebut. Dalarn ha1 ini dapat digunakan penambahan 3 tingkat konsentrasi kalsium khlorida, yaitu kalsium tinggi (2.5

-

3.0 persen), kalsium sedang (1.0

-

2.5 persen) dan kalsium rendah (0.5

-

0.8 persen). Jumlah penambahan kalsium dapat dikontrol, suhu dipertahankan 900 C, sambil diiakukan penambahan asam.

2. Protein Whey

Protein whey merupakan protein globular, kompak dengan berat molekul antara 16 000-5 000 000 (nbel4). yang terdiri dari komponen utama yaitu B-lakto- globulin (B-lg) disarnping a-Iaktalbumin (a-la), serum albumin (SA), imunoglobuIin

(Ig) clan proteosa pepton (Modler. 1985).

(36)

Tab4 4. Sifat Fisiko-kihnia Komponen Protein Whey

P r o t e i n E lea- Sucu Bll T i t i k ~ i t i k Yo. No- Suhu

seln skim iso- I SO- Grup Grup den€,-

i o n i k I i a t r i k SH di 5 t u r a s i

C%> < I / L > ("c>

I g 10 0.6 153 000-

....

5.50 ber- .... 79 1 O W 000 v a r i a s i

Proteosa

pepton 23 1.4 4 100

.-..

....

---. ....

....

Sumber : Modler (1985).

a. Komponen Protein Whey

Dari 'Pabel 4 diterangkan bahwa protein whey terdiri atas lima komponen dengan berat molelcui masing-masing yang berbeda, yaihl komponen protein imuno- globulin mempunyai berat molekul paling tinggi. Keistimewaan setiap komponen adalah memiliki grup sulfhidril (-SH) dan grup disulfida (di-S), kecuali komponen imunoglobulin dan proteosa-pepton.

Struktur molekuler protein whey sangat spesifik yaitu merupakan protein globular yang kompak, dengan urutan distribusi residu-residu non-polar, polar dan muatan yang merata (Swaisgood, 1985).

(37)

dimer dengan dua buah sub-unit yang identik. Setiap monomer mengandung satu grup sulfiidril (SH) dan dua ikatan disulfida.

Pada kondisi pH susu normal (sekitar 6.6) atau diatasnya, maka a-lakto- globulin merupakan suatu monomer. Suatu hat yang menarik adalah struktur tiga diiensi a-lg sangat mirip dengan lisozim salah satu komponen protein albumen telur (Brunner. 1977).

Komponen or-laktalbumin berbeda dengan 8-lg, karena hanya merupakan suatu monomer, dengan empat ikatan &sulfida tanpa gugus SH-bebas. Dengan ada- nya gugus SH dan ikatan disulfida menyebabkan timbulnya disulfida interchange dan terbentuknya formasi komplek protein whey akibat perlakuan pemanasan ataupun terjadi interaksi dengan k-kasein yang juga mengandung dua grup-SH.

Komponen imunoglobulin di daIam air susu terdapat dalam bentuk monomer atau bentuk polimernya. Bentuk monomer imunoglobulm t e d i dari 4 rantai mole- kul yaitu 2 rantai pendek dengan berat molekul kira-kira 20 000 dan 2 rantai peptida yang panjang dengan berat molekul 50 000

-

70 000. Seperti diketahui imunoglobu- lm me~pztkan protein yang mempunyai daya sebagai antigen atau immunitas (anti-

genic properties).

b. Sifat-sifat Protein Whey

Protein whey berbeda dengan kasein dalam beberapa aspek, antara lain kelarutan pada titik isoelektrik, sifat amphifilik yang terbatas, globular dan peka ierhadap denaturasi akibat panas.

(38)

yang sedikit maka kedua ha1 tersebut rnenyebabkan terbentuknya konformasi glo- bular dengan struktur helik yang nyata.

Protein whey sangat sensitif terhadap pemanasan di atas suhu 60°C, yaitu

akan mengalami denaturasi yang bergantung dari membukanya konformasi globular

yang kompak rnenjadi konformasi acak. Denaturasi protein whey ditandai dengan kehilangan daya Larut pada pH 4.6 hingga 5.4 (Morr. 1974).

Akibat pemanasan larutan whey berturut-turut mengalami presipitasi yaitu imunoglobulin (Ig). B-laktoglobulii, serum albumin (SA) dan or-laktaibumin, dengan masing-masing suhu denaturasi pada 79,74,87 dan 63OC. Kornponen B-laktoglobulin (B-lg) merupakan 50 persen protein whey yang mengalami presipitasi akibat pema- nasan, lalu cr-laktalbumin (a-la) sebesar 12 persen, berikutnya imunoglobulin (Ig)

sebanyak 10 persen clan serum-albumin (SA) 5 persen.

Penelitian menunjukkan bahwa presipitasi protein whey maksimum dicapai dengan memanaskan larutan whey pada pH 6 dengan suhu 120°C. Hal ini penting diperhatikan terutama pada proses deproteinize larutan whey.

Penambahan kasein atau kasein-misel pada pemanasan whey akan rnencegah terbentuknya partikel presipitat. Daya stabilisasi oieh kasein tersebut tidak melibat-

kan

mekanisme disuljide-interchange. melainkan oleh terbentuknya formasi komplek calrium-linkage antara kasein dengan agregasi protein whey.

D.

-

S

T

=

FUNGSIONAL PROTEIN

SUSU

Sifat fungsional protein merupahn sifat-sifat yang rnenyangkut faktor-faktor yang berpengaruh pada protein sebelum dikonsumsi, termasuk faktor enzimatik, non-enzirnatik (organoleptik) dan industri, akan tetapi tidak termasuk faktor nilai

(39)

mempengaruhi perilaku protein selama proses pengolahan, terutama dalarn suatu siatem pangan. Sebagai contoh. untuk pensubstitusi produk susu dibutuhkan sifat fungsiond pembentuk get, sifat koagulasi, pembuihan dan fat holding capasity.

Modler (1985) mengemukakan bahwa terdapat 7 macam sifat fungsional

utama (lihat Tabel 5) yang hams dipenuhi suatu protein sebagai zat makanan (food protein ingredients).

Protein ingredient dapat digunakan dalam suatu sistem pangan dengan memenuhi salah satu sifat atau beberapa sifat seperti yang tercantum dalam Tabel 5.

Contoh, tepung susu skim (Skim Milk Powder-SMP) dapat ditambahkan dalarn yoghurt untuk mengurangi sineresis (akibat hidrasi) dan menghasilkan yohurt dengan tekstur yang dikehendaki f i r m body) juga penampakan yang lebii menarik.

Tabel 5. Sifat Fungsional Food Protein Ingredients.

Property Fungsional attributes

-

Organoleptik - Penampakan

-

Hidrasi

- Surfactant

-

Structural

-

Textural

-

Rheological

-

Flavor, odor, tekstur, w a m a Kekeruhan, warna

Kelarutan, dispersi

,

swelling, viskositas, gel.

Emulsif ikasi

,

foaming, whipping, - - - -

baking.

E l a t i s i tas, cohesi, texturization,

agregasi

.

Viskositas, adhesi, agregasi,

texturiza tion, geld tion.

Agre asi, gelation, viskositas,

dougg-formation, extrudability.

Sumber : Mom (1981)

daIam

Modler (1985).
(40)

pengeringan semprot, pengeringan dram atau pengeringan vakum kemungkinan terjadi kerusakan struktur yang tidak dapat balik (irreversible), menyebabkan kemampuan rehidrasi sangat menurun. Pengeringan beku mempertahankan struktur makro protein curd sehingga dapat mengalami proses hidrasi yang lebih lengkap. Pada umumnya protein tidak mengalami hidrasi lengkap hingga mencapai aktivitas air (aw) 0.92. Berdasarkan penelitian Ling (1972) seperti yang diemukakan Modler (1985). dalarn ha1 ini terjadi pengikatan 6 molekul air pada setiap sisi aktifnya.

Sifat aktif permukaan protein susu khususnya kasein penting diperhatikan pada aplikasi produk makanan. Protein merupakan emulsi yang stabil bila dapat mempertahankan keterpaduan fase kontinyus dengan fase dispersinya. Dalam ha1 ini protein pada permukaannya yang mengandung residu asam amino hidrofilik akan berorientasi dengan fase larut (aqueous), sedangkan segrnen hidrofobik protein akan

berikatan dengan gugus tidak polar atau fase lernak.

Sifat kelarutan sangat penting, khususnya berhubungan erat dengan fungsinya dalam daya buih dan pengemulsi. Perhatian perlu ditingkatkan pada saat proses pemanasan, agitasi dan penyesuaian pH untuk mencegah terjadi denaturasi, yang

akan mengurangi kelarutannya diatas kisaran pH 3 hingga 8, dan

hal

ini dapat dilihat
(41)

Kasein rennet dan kasein asam bersifat tidak larut dalam air, sehingga peng- gunaannya sebagai pengayaan nutrisi atau pengikat air dan lemak dalam makanan sangat terbatas. Namun demikian amonium (NIX,-), natrium (Na-) dan kalium kasei- nat mempunyai daya larut terbaik (Morr. 1979), sedangkan Msiurn kaseinat &pat membentuk suspensi koloid. Kaseinat tidak larut pada kisaran pH isoelektriknya (3.5-5.0) sehingga penggunaannya terbatas pada produk pangan yang cair dan bersi-

fat asam.

Protein merupakan emulsi yang stabil bila dapat mempertahankan keterpa- duan fase kontinyus dengan fase dispersinya. Dalam ha1 ini protein pada permu- kaannya yang mengandung residu asam amino hidrofilik akan berorientasi dengan fase larut (aqueous), sedangkan segmen hidrofobik protein akaa berikatan dengan gugus tidak polar atau fase lemak (Fox dan Mulvihill. 1982).

Faktor faktor yang mempengaruhi stabilitas emulsi meliputi : (a) faktor muatan dan ukuran fase diskontinyu fase dispersi. @) tegangan permukaan (interfa- cial tensions). (c) lrarakteriitik absorbed-film, (d) rasio berat antara kedua fase. dan (e) viskositas. Difusi protein, adsorpsi dan spreadlbiliry atau fleksibilitas molekul protein juga penting diperhatilcan dalam hal stabiiitas emulsi ataufoMl stu6iliry.

Kaseinat. yang mempakam bahan pengemulsi terbaik dibandmgkan dengan protein whey, akan membentuk emulsi yang stabil pada kisaran pH 5.4 hingga 10.5 dan kuat ion 0.05 hingga 0 . 3 . akan tetapi akan lebih efektif pada pH 10.4 dan

(42)

dan digliserida dan polyoxyethylene glycerol monostearat. disamping itu stabilitas emulsi kasein dipengaruhi oleh kalsium. fosfat dan sitrat.

3. Pembentukan Gel

Pembentukan gel dapat didefinisikan sebagai fenomena agregasi protein sebagai interaksi polirner-polimer dan polimer-pelarut serta daya tarik menarik dan tolak menolak yang seimbang sehingga membentuk jaringan tersier atau matrik (Schmidt, 1981). Mekanisme pembentukan gel dapat terjadi melalui induksi panas, induksi kalsium clan ikatan silang dalam struktur gel. Pembentukan gel akan optimal pada protein yang belum terdenaturasi dan akan menurun selama penyimpanan. Beberapa ha1 yang mempengaruhi pernbentukan gel adalah konsentrasi protein, pH, adanya agensia pereduksi serta perlakuan pemanasan.

Pada kondisi alamiah maka grup-SH akan aktif, sedangkan bila terjadi dena- turasi maka rantai polipeptida membuka yang pada gilirannya grup-SH terekspos dan akan berpartisipasi dalam disulfide-exchange, yang pada kondisi tertentu akan membentuk gel protein. Formasi gel protein akan melibatkan ikatan hidrogen, inter- aksi hidrofobik, ikatan kovalen dan jernbatan-kalsium atau calsium bridging.

Consentrated Calsium-caseinates (

>

15 persen bahan kering) terdispersi membentuk gel dengan pemanasan; suhu pembentukan gel meningkat pada kosentra- si 15-25 persen bahan kering dengan kisaran pH antara 5.9-7.6. Dengan pen- d i i i n a n terjadi pencairan gel secara perlahan, tetapi gel akan terbcntuk lagi dengan pemanasan. DaIam ha1 ini peranan komponen protein k-kasein pada pembentukan gel sangat penting. Natrium kaseinat (kandungan protein dengan kisaran 90-95 96)
(43)

Cheftel et al.. (1985) rnengemukakan bahwa kekuatan buih meningkat dengan meningkatnya konsentrasi protein dalam larutan sampai dicapai nilai maksimum, sedangkan kemampuan beberapa protein dalam pembentukan buih dibandingkan dengan cara mengukur kekuatan buih dan konsentrasi protein.

Daya kembang (over-ncn) natriurn kaseinat adalah 720 persen, sedangkan untuk Whey protein Consentrare atau W P C dengan metode yang berbeda adalah antara 0-760 persen dan untuk putih telur sebesar 900 persen (Morr, 1974); penggu- naan kasein ternyata lebih baik dibandiigkan dengan protein whey untuk formulasi suatu whipped topping mix.

Faktor yang berperan terhadap viskositas antara lain konfonnasi protein, sifat hidrasi, adanya gugus hidrofobik dan distribusi muatan. Kesemua sifat tersebut akan

mempengaruhi interaksi intermolekuler yang akan mengakibatkan peningkatan visko- sitas. Dalam hal ini tejadi juga pengikatan air sehinga terjadi pengentalan clan sifat

ini bermanfaat dalam pembuatan sup dan sebagainya.

Viskositas larutan natrium kaseinat adalah tinggi, dan mencapai maksimal pada pH 7 yang secara logaritmik berhubungan dengan konsentrasi vs suhu absolut (seperti yang dikutip Fox dan Mulvihill, 1982, dari Hayes, et al., 1968). Roller- dried narriurn kaseinat dapat diperoleh dengan cara mencampur alkali dengan kasein tanpa pelarutan kembaIi yang ternyata efektif terbentuk pada konsentrasi

(44)

Selanjutnya diterangkan bahwa akan terjadi penurunan sangat cepat dengan meningkatnya suhu dan pH di atas 7.0; demikian pula amonium kaseinat mem- punyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan natrium kaseinat.

E.

MODIFTKASI PRODUK-PRODUK KASEINAT

Modifikasi protein yaitu meliputi perlakuan-perlakuan fisik, kimia dan enzimatis yang mempengaruhi struktur dan konformasi baik primer maupun kuarterner sehubungan dengan sifat-sifat fisiko-kimia dan fungsional.

Tujuan modifikasi protein yaitu meningkatkan sifat-sifat fisik, sensori mau- pun nilai gizinya di samping jurnlah penggunaannya dalam sistem pangan dapat di- batasi dengan cara memblok reaksi yang bersifat dezeriortltive (Modler. 1985). Pada umumnya m o d i f h i sifat-sifat fungsional kasein dapat diakukan dengan 3 metode

dasar yaitu proses enzimatis, kimia dan fraksiki komponen-komponen kasein.

Kasein merupakan suatu sistem protein multikomponen yang &pat difraksi- nasi dengan menghasilkan crS-,J- dan k-kasein. Hasil penelitian Reimerdes dan Lorenzen (1983) seperti yang d i t i p oleh Molder (1985). menunjukkan bahwa sta- bilitas emulsi yang dibentuk olehJ-kasein adalah rendah dan bentuk k r i i a seperti gel, as-kasein lebih efektif sebagai stabilizer akan tetapi k-kasein adalah superior.

M o d i f h i kimia meliputi proses mbstitusi atau penambahan suatu grup atau komponen secara ikatan kovalen tetapi dapat juga menyanght grup hidrofobik atau muatan.

(45)

oksiiorida adalah bahan yang relatif murah dan aman dari aspek kesehatan. Namun demikian Matheis dan Whitaker (1984) mengemukakan bahwa sodium trimetafosfat juga dapat digunakan, terutarna untuk skala besar, selain asarn fosfat dan fosforus pentoksid. POCI, mempakan pereaksi yang sangat ref, dan bereaksi sangat cepat dengan H,O secara eksotermis membentuk asam fosfat dan asam Irhlorida. Penu- runan pH terjadi sangat cepat yang diiringi pembentukan panas, dapat meng- akibatkan protein terdenaturasi, sehimgga penambahan POCl, hams dilakukan berta- hap, dalam suhu rendah (3-25OC) diikuti kontrol pH (6-8.5) dengan penambahan NaOH.

Proses adisi grup fosfat dapat digunakan dalam modifikasi kasein, yaitu dengan cara mereaksikan kasein dengan fosfoms oksiklorida dan secara kovalen dilakukan penambahan 7.4 grup fosfat per rnolekul kasein. Kasein terfosforilasi menunjukkan viskositas yang nyata tinggi dibandingkan kasein kontrol, tetapi me- nunjukkan kapasitas emulsifikasi yang rendah (Matheis et al., 1983). Penelitian Matheis dan Whitaker (1984) mengungkapkan bahwa fosforilasi kasein oleh fosfoms oksiklorida ternyata meningkatkan sifat pembentukan gel, terutama dengan tersedia- nya ion kalsium. Peningkatan sifat kelarutan, viskositas atau kemarnpuan membentuk gel diduga akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar molekul protein (Woo et al., 1982). Dalam ha1 ini terjadi pengikatan 10-20 molekul fosfat/rnolekul protein secara kovalen. Penelitian lain membuktikan bahwa pengikatan molekul fosfat dapat mencapai 50/rnolekul protein pa& albumin.

Hasil penelitian Medina et al.. (1992) menunjukkan bahwa penggunaan fosforus oksiiorida (POCl3 ternyata bermanfaat untuk mengubah sifat-sifat fisiko- kimia kasein, yaitu meningkatkan kelmtan pada pH isoelektrik, viskositas dan sifat hidrasi kasein. Hal ini bergantung pada tiga faktor, yaitu jumlah pengikatan fosfat

(46)

2. Secara Enzimatis

Secara enzimatis, kasein dapat dimodifikasi juga selain oleh renet, misalnya hidrolisis kasein dengan menggunakan enzim pankreatin ternyata dapat meningkat-

kan sifat daya buih kasein. Penggunaan enzim ini dapat membentuk a range tailor- wtude hydrolyzates, yaitu pembentukan viskositas dan karakteristik daya buih (foam- ing) (Modler. 1985). Lebih lanjut dikemukakan bahwa kasein dan protein whey dapat juga dihidrolisis dengan meng&unakan pankreatin yang ternyata dapat mening- katkan sifat emulsifikasi kasein. Pada umumnya hidrolisat kasein ini banyak d i n - fatkan pada pembuatan candy.

Modifikasi enzimatis merupakan suatu cara untuk meningkatkan sifat fungsio- nal protein, misalnya sifat kelarutan, emulsifikasi, gelasi, daya serap air, kapasitas pengikatan lemak, viskositas, heat coagulability, dan kapasitas buih. Proteolisis yang terkontrol dengan baik alcan mempengaruhi konformasi protein, ukuran berat mole- kul, kelarutan, dan kekuatan ikatan inter/intra rnolekuler pada molekul protein (Ponnampalam et al., 1987).

Sehubungan dengan pemilihan enzim yang digunakan untuk produksi protein hidrolisat, maka Lahl dan Braun (1994) mengemukakan bahwa penggunaan enzim dengan aktivitas yang luas adalah efektif dibamdingkan enzim yang hanya memi- liki aktivitas spesifik; misaInya sekaligus memiliki aktivitas ekso daan endo-enzim sehingga d i a p k a n dapat diperoleh komposisi asam amino, peptida atau tripeptida yang dibutuhkan untuk suatu sifat fungsional tertenm.

Salah satu enzim yang praktis dalam food protein hydrolysis dan banyak digunakan secara komersii adalah enzim pankreatin, yang mengandung campuran utama enzim tripsin dan khiiotripsin (Law dan

Braun.

1994). Adler-Nien (1986)
(47)

(pig) yang menunjukkan spesifitas sangat luas (very broad specificity), karena terdiri dari campuran enzim tripsin, khimotripsin. elastase, karboksipeptidase A atau B, dengan kisaran aktivitas pada pH 7-9. Protease asal tanaman yang juga sering digu- nakan pada produksi protein terhidrolisis adalah papain (crude papain) yang meru- pakan campuran dari papain (BM 21 000). khimopapain (BM 36 000) dan lisozim

(BM 25 OOO), dengan spesifitas lebih rendah dibandingkan pankreatin; sedangkan pure papain merupakan tipe enzim cystine protease, dengan kisaran aktivitas

masing-masing pada pH 5-9 dan pH 5-7.

Di lain pihak proteolisis yang ekstensif dapat menimbulkan peptida yang rasanya pahit, misalnya penggunaan papain dan fisin pada hidrolisat kasein dan al- bumen telur menimbulkan flavor pahit (Mary-Clegg dan McMillan, 1974). Akan tetapi ha1 ini dapat dicegah dengan penggunaan enzim yang selektif, atau kombinasi dengan enzim lain atau mengontrol tingkat hidrolisis yang terjadi. Sebagai contoh. penggunaan gabungan enzim papain dengan aminopeptidase porcine kidney, dan beberapa enzim asal kapang dapat menghasiIkan kasein larut tanpa rasa pahit. Penghilangan peptida yang pahit dari hidrolisat kasein dapat dilakukan dengan proses pertukaran ion atau dengan teknik adsorpsi (seperti yang d i i t i p oleh Modler. 1985 dari Mom. 1982). Modifikasi albumen telur dengan enzim protwlitik, misal- nya bromelin, atau protease kapang ternyata meningkatkan sifat pembentukan buih

dan volume food angel cake akan -pi menimbulkan flavor yang tidak diiehembki. Hidrolisis terbatas terhadap protein whey oleh enzim pepsin ternyata me- ningkatkan sifat emulsifikasi dan kapasitas buih, akan tetapi bila menggunakan enzim Pronase (protease kapang Streptomyces grisu.9) maka te j a d i kern- pada karak-

teristik fungsional tersebut (Kuehler dan Stine. 1974).

(48)

isoelektrisnya yang pada gilirannya dapat mempengaruhi sifat emulsifikasi, pernben- tukan buih maupun pembentukan gel (Chobert et al.. 1988). Selanjutnya dikemuka- kan bahwa penggunaan protease bakteri Staphylococcus aureus

V8

pada kasein selama 48 jam hidrolisis ternyata meningkatkan kelarutannya hingga 50 persen pada sekitar pH 4.0-5.0, akan tetapi menurunkan aktivitas emulsifikasi.

Frokjaer (1994) mengemukakan bahwa karakteristik terpenting protein terhi- drolisis antara lain sifat kelarutan yang tinggi pada kondisi asam dan palatabilitas yang baik, sehiigga sangat bermanfaat sebagai sumber protein, baik untuk kebutuh-

an pengobatan (misal, pada penyakit cysticjibrosis dan pancreutitis), maupun untuk konsumsi secara umum ( diets for the elderly. sports nutrition, dan food allergies/in-

fan8 formula). Miprodan dan Viby adalah contoh protein hidrolisat atau protein ter- modifikasi enzim bentuk komersil yang berasal dari kasein. Lacprodan dari protein whey dan Pro upm berasal dari protein kedelai yang sudah banyak digunakan dalam pengkayaan gizi ddam soft drink dan juice-based beverages.

Novo (1990) merekomendasikan bahwa komposisi kimia Pro up meliputi kandungan protein sebesar 84 % (berdasarkan berat kering), abu 6 5%. karbohidratlse-

rat 9% dan air 6%. Persyaratan mikrobilogi antara lain, negatif terhadap colilgram dan Salmonella/lO gram. Indeks kelarutannya yang tinggi pa& pH 4.2 (larutan pro- tein 5%) mencapai

>

99.9%. Penggunaan Pro up yang berbentuk tepung disarankan s

Gambar

Tabel  2.  Kandungan Mineral dalam Susu
Tab4 4. Sifat Fisiko-kihnia Komponen Protein Whey
Tabel  5.  Sifat Fungsional Food  Protein Ingredients.
Tabel 6.  Komposisi Kimia Produk Komersil Kasein dan Kaseinat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini umtuk mengetahui kadar protein, vitamin B1, organoleptik dan daya terima masyarakat dadih formulasi susu kacang hijau dan susu sapi dengan aroma mangga

Berdasarkan uraian diatas, telah dilakukan penelitian dalam mendapatkan kombinasi terbaik susu kacang hijau dan susu sapi sebagai bahan dasar dadih untuk mengetahui

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara konsumsi protein pakan dengan produksi susu dan kandungan protein susu pada sapi perah di Kota Klaten.Materi yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara konsumsi protein pakan dengan kandungan protein susu, kadar laktosa susu dan produksi susu di

Dan berdasarkan hasil penelitian Salputra, D (2012) Pengaruh Lama Penyimpanan Susu Mentah pada Refrigerator Terhadap Kadar Protein, Lemak, Viskositas, dan Nilai

Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mencegah kerusakan pada air susu adalah dengan cara pemanasan (pasteurisasi) pada suhu tinggi ataupun suhu rendah.

Laporan praktikum tentang evaluasi kadar protein terlarut dalam produk

Pembahasan lengkap mengenai alergi protein susu sapi, diagnosis, penanganan, dan pengobatan CMPA berbasis respons imun IgE dan