• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Badan Pengusahaan dan Pemerintah Kota Batam dalam Pengelolaan Pemerintahan di Kota Batam"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Faisal Akbar Nasution, 2003. Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Medan: Pustaka Bangsa Press.

Dann Sugandha, 1981. Masalah Otonomi Serta Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Ramlan Surbakti, 1992. Memahami ilmu Politik, Jakarta: Gramedia.

Rondinelli, Dennis, A and Chemma, G Shabbir, et 1983. Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publication, Beverly Hills.

Prajudi Atmosudirjo, 1987. Beberapa Pandangan Umum Pengambilan Keputusan, Decision making, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Bandung: Alumni, 2000.

Soekarwo, 2005. Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip-Prinsip Good Financial Governance, Surabaya: Airlangga University Press.

Bambang Istianto. 2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Muchlis Hamdi. 2003. Bunga Rampai Pemerintahan. Jakarta: Yarsif Watampone

Sedarmayanti. 2003. Good Governance; Kepemerintahan Yang Baik Dalam Rangka Otonomi Daerah. Bandung: Mandar Maju.

Bintoro Tjokroamidjojo. 2001. Good Governance, Paradigma Baru Ilmu Pemerintahan. Jakarta: ISBM.

Sadu Wasistiono, 2010 Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqprint Jatinangor, Bandung.

Sadu Wasistiono, 2002. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Alqaprint Jatinangor, Bandung, hal. 27, lihat juga dalam Agung Hendarto, nazar Suhendar (eds), Good government dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI).

(2)

Sipil-Militer Di Daerah, Penerbit Kerjasama Departemen Ilmu Politik dan Laboratorium Politik FISIP USU, Medan, 2006.

Husnul Isa Harahap. Jurnal Ilmu Politik; Militer Dan Politik, Vol. II, No 2, Departemen Ilmu Politik dengan Laboratorium Politik FISIP USU, 2006.

Dr. J. Kaloh. 2007. Mencari bentuk otonomi daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan local dan tantangan global. Rineka Cipta.

Kacung Marijan. 2010. Sistem Politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta: Prenada Media Group.

Dann Sugandha,1991. Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi, Jakarta: Intermedia.

S. P. Melayu Hasibuan, 2001. Manajemen Pasar, Pengetian dan Masalah

Bandung: Bumi Aksara.

Azhar Arsyad,2002. Pokok-Pokok Manajemen, Pengetahuan Praktis Bagi Pimpinan dan Eksekutif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, Jakarta: Gunung Agung, 1986.

Dann Sugandha,1991 Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi (Jakarta: Intermedia.

Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

B.J. Habibie pada waktu itu juga menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi, dan mempunyai cita-cita untuk membangun Batam sebagai daerah tujuan investasi kedua di daerah Selat Malaka, setelah Singapura

Peraturan Perundang-Undnagan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 74 Tahun 1974 tentang

(3)

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang telah diubah dengen Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintaha Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan

Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1983 mengenai “Pembentukan Kota Administratif Batam

Dokumen Pemerintah Kota Batam 2013

Situs Internet

http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89

http://unser1589.multiply.com/journal/item/38/Sejarah_dan_Profil_kota_Batam, diakses tanggal 25 Desember 2013.

http://esraromasi.blogspot.com/2013/11/ketidakpastian-hukum-di-batam.html

http://www.batamsafari.com/badan-otorita-batam.html, diakses tanggal 17 November 2013

November 2013

Desember 2013

Desember 2013

Wawancara

Wawancara dengan Dwi Joko Wiwoho Direktur PTSP dan Humas BP.Batam

(4)

DAFTAR WAWANCARA

1. Beberapa kewenangan itu antara lain, tentang hak mengeluarkan izin prinsip bangunan, izin usaha dan perdagangan, alokasi mobil dan minuman keras, dan izin mendirikan bangunan (IMB), sementara pihak Otorita masih mempunyai kewenangan mengenai alokasi lahan dan pengembangan infrastruktur perekonomian dan industri.Pembagian kewenangan tersebut makin disempurnakan setelah pada Desember 2005, kedua pihak membuat sebuah Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab.

2. Persoalan tumpang tindih kewenangan dalam proses pelayanan publik merupakan gejala umum yang terjadi atau berlokasi di banyak daerah kabupaten/kota karena luasnya kewenangan yang dimiliki daerah otonom tersebut. Jenis dan bentuk kewenangan yang “diperebutkan” berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun secara umum sengketa kewenangan terjadi terutama di daerah yang mempunyai potensi ekonomi sangat tinggi seperti daerah perkotaan dan daerah otonom yang di dalamnya ada kawasan industri atau kegiatan ekonomi lain yang sangat potensial menghasilkan sumber pendapatan.

3. Peralihan aset dan kewenangan OB menjadi BP Kawasan yang disebut-sebut

sudah sesuai dengan amanat UU No 44 Tahun 2007 tentang BP Kawasan Batam, tidak menyurutkan banyak kalangan yang menyoroti dan mengindikasi ada pelanggaran hukum terkait keberadaan BP Kawasan sebagai metamorfosa BP. Batam

4. Ada beberapa kejanggalan BP Kawasan Batam, utamanya dalam hal

kewenangan dan aset yang sebelumnya dikelola Otorita Batam dan beralih dikelola BP Kawasan Batam, yang menurutnya sangat berpotensi merugikan masyarakat Batam.

5. Salah satu kejanggalan yang banyak disoroti yakni dari faktur tagihan UWTO

yang mengharuskan pembayaran disetor ke rekening Otorita Batam. Sementara seperti diketahui bersama, saat ini Otorita Batam sudah tidak ada, melainkan yang ada hanya BP Kawasan Batam. Insya Fauzi mempertanyakan, bagaimana bisa ? membayar tagihan kepada instansi yang sudah tidak ada? Menghadapi kejanggalan yang menurut pengusaha ternama ini, sangat berpotensi menjadi permasalahan dikemudian hari. Insya mengaku sudah dua kali menyurati Ketua BP Kawasan Batam terkait kejanggalanyang dimaksud. Namun tidak ada tanggapan dari BP Kawasan Batam.

6. Ketua LSM Kodat 86, Tain Komari yang juga penulis buku Batam tergadai 70

(5)

menjelaskan Otorita Batam dibentuk berdasarkan Keppres sementara BP Kawasan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Asas perangkat hukum terbentuknya BP kawasan Batam lebih tinggi dari asas perangkat hukum terbentuknya Otorita Batam Sementara menanggapi isu dualisme kepemimpinan Batam Tain menjawab, posisi BP Kawasan lebih kuat dari Pemko Batam, meski keduanya dibentuk berdasarkan undang-undang (UU). Namun menurut Tain, UU yang menaungi Pemko Batam tidak ada turunannya. Sementara UU BP Kawasan Batam dalam pandangan hukumnya masuk dalam perangkat hukum les spesialis.

7. Dalam perkembangan berikutnya telah diusahakan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam berbagai aspek pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Pada tahun 2003, misalnya, kedua badan yang bertanggung jawab atas permasalahan Batam ini sepakat untuk membagi kewenangan dalam pemberian pelayanan kepemerintahan untuk mengurangi kerancuan yang timbul di masyarakat. BP. Batam sepakat untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah kota Batam. Beberapa kewenangan itu antara lain, tentang hak mengeluarkan izin prinsip bangunan, izin usaha dan perdagangan, alokasi mobil dan minuman keras, dan izin mendirikan bangunan (IMB), sementara pihak Otorita masih mempunyai kewenangan mengenai alokasi lahan dan pengembangan infrastruktur perekonomian dan industri. Pembagian kewenangan tersebut makin disempurnakan setelah pada Desember 2005, kedua pihak membuat sebuah Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab. Walaupun sudah tercapai kesepakatan, dalam implementasi sehari-hari masih sering timbul berbagai kerancuan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pembagian kewenangan ini juga memberikan beban tambahan bagi berbagai pihak yang memerlukan perijinan dari kedua instansi tersebut.

8. Hubungan antara Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Batam BP.Batam dengan Pemko Batam. Sejak 10 tahun belakangan atau sejak resmi terbentuknya Pemko Batam hingga sekarang hubungan antara kedua instansi plat merah ini tak pernah akur. Masing-masing saling serang, merasa paling berhak, paling berwenang dan paling berkuasa di Kota Batam, khususnya di Pulau Batam.

9. Sampai saat ini rivalitas antara BP-Batam dan Pemko Batam masih saja terjadi. Kedua instansi plat merah ini tak pernah singkron. Beberapa orang kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemko Batam juga merupakan mantan pejabat di BP-Kawasan.

(6)

11.Pemerintah Pusat sudah menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Batam terjadi dualism kekuasaan, yaitu antara Pemko yang menyelenggarakan pemerintahan dengan seluruh jajaran aparat dan BP. Batam yang berhak mengundang para investor ke Batam dan melakukan fungsi sebagai pengaturan permasalahan lahan investasi atau Hak Penggunaan Lahan (HPL). Dualisme pelaksanaan pemerintahan inilah yang belum diselesaikan antara BP. Batam dan Pemko Batam oleh pemerintah pusat sampai sekarang. Seringnya terjadi tarik ulur mengenai pemprosesan perizinan dan penjualan lahan kepada para investor merupakan hal yang sangat membingungkan para investor asing.

12.Apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

13.Pemberlakuan PP itu hanya akan memberatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan, sementara peruntukkannya tidak jelas, dimana tidak sesuai dengan asas kesederhanaan yang diamanatkan dalam pendaftaran tanah, meskipun demikian PP tersebut tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan karena sudah merupakan keputusan pemerintah sebagai peraturan yang harus ditaati.

14.PP No. 13 Tahun 2010 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tidak mendaftarkan tanahnya dikarenakan biaya yang cukup mahal, tariff yang ditetapkan dalam PP No. 13 Tahun 2010 tersebut sebenarnya seimbang dengan nilai ekonomi Negara pada saat ini, mana mungkin sama nilai ekonomi pada saat ini dengan nilai ekonomi pada belasan tahun yang lalu, dan tidak ada yang namanya pendaftaran tanah itu menyulitkan masyarakat karena berbelit-belit dan lama. Pendaftaran tanah itu membutuhkan proses, dari permohonan, pengukuran, pemetaan, sampai diterbitkannya sertifikat, dengan adanya pemberlakuan tarif secara resmi yang secara nasional tersebut dapat membuat standarisasi dan aturan baku yang jelas dalam pelayanan dibidang pertanahan. Peningkatan tersebut diharapkan juga berakibat langsung dengan peningkatan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan

(7)

16.Tugas yang diemban BP. Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.

(8)

BAB III

HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

3.1.Efektifitas Penyelenggaraan BP. Batam terhadap Pemko Batam pada Masa Otonomi Daerah

Pada awal pembentukan Pemkot Batam terjadi kelambanan pemerintah pusat mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang nomor 53 tahun 1999. Kelambanan tesebut yang memicu hubungan dua insitutis tersebut masih tumpang tindih. Dalam ayat 3 UU tersebut ditegaskan, hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Saat ini BP Batam mendapatkan kewenangan dari pemerintah pusat khususnya yang menjadi kewenangan Departemen Perdagangan untuk mengeluarkan perijinan lalu lintas keluar masuk barang. Perijinan tersebut diantaranya Perijinan IP Plastik dan Scrap Plastik, Perijinan IT-PT, Perijinan IT Cakram, Perijinan IT Alat Pertanian, Perijinan IT Garam Perijinan, Mesin Fotocopy dan printer berwarna, Perijinan Pemasukan Barang Modal Bukan Baru, Perijinan Bongkar Muat, Pelabuhan Khusus, Perijinan Pelepasan Kapal Laut.

1. Periode Sebelum Otonomi Daerah

Pembangunan industri dan perekonomian yang sangat pesat di wilayah Batam terkait sangat erat dengan peran dari Otorita Pengembangan Industi Batam, yang biasa dikenal dengan sebutan Otorita Batam. Melalui badan ini pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pengelolaan wilayah Batam, tetapi juga melakukan berbagai investasi langsung dalam pengadaan sarana dan prasana yang dibutuhkan dalam pembangunan industrial. Disamping itu, badan tersebut juga mempunyai kewenangan untuk menciptakan iklim investasi dan usaha yang mendukung aktifitas ekonomi dan industri.

(9)

pada tahun 1977 berada langsung dibawah kewenangan Presiden RI dengan dilaksanakan oleh Dr. B.J. Habibie sebagai Ketua Otorita Batam.48

Badan ini merupakan suatu institusi otonom yang terpisah dari sistem pemerintahan yang berlaku. Pada awalnya badan ini lebih dimaksudkan untuk pengelolaan pembangunan industri di wilayah tersebut. Tetapi pada perkembangan berikutnya, badan ini juga memperoleh hak pengelolaan dan pengaturan wilayah, termasuk aspek administratif layaknya pemerintahan daerah Hal ini agak berbeda dengan aturan yang berlaku pada saat itu. Dalam UU No. 5 tahun 1974 pemerintahan daerah Indonesia didasari atas sistem pemerintahan dua lapisan (two-tier system). Dalam sistem ini terdapat berbagai fungsi pemerintahan otonom yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Tetapi disamping itu ada kantor wilayah dari berbagai institusi pemerintah pusat yang berada di daerah dan bekerja dengan pemerintah daerah (jalur dekonsentrasi). Menurut peraturan tersebut, perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan daerah merupakan tanggung jawab dari pemerintahan daerah itu sendiri dengan bantuan pemerintah pusat beserta dengan kelengkapan di daerah.

Dalam kasus Batam, terlihat bahwa pembangunan dan pengelolaan wilayah ini mengambil bentuk “top-down”, dimana pemerintah pusat menciptakan suatu wilayah yang dikelola secara penuh dalam proses pengembangannya. Sebelum tahun 1983, hampir seluruh proses pemerintahan dan pelayanan publik, disamping aktifitas pembangunan sarana ekonomi, berada di tangan Otorita Batam.

48

(10)

Sumber: Subhilhar (1996)

Gambar 1. Struktur Pemerintahan dan Administrasi di Batam Sebelum Otonomi Daerah

Secara praktis tidak terdapat unsur pemerintahan daerah dalam pengelolaan wilayah Batam. Walaupun terdapat kantor representasi pemerintahan Provinsi Riau di Pulau Batam, kantor ini tidak memberikan pelayanan publik. Kedudukan administratif.

Batam, yang pada saat dimulainya pembangunan hanyalah bagian dari satu kecamatan, memungkinkan proses pembangunan wilayah Batam dikelola secara penuh oleh pihak Otorita, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di wilayah tersebut. Lebih jauh lagi, peran dari berbagai institusi pemerintah pusat yang biasanya didekonsentrasikan, banyak yang dialihkan kepada pihak Otorita Batam. Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam pengurusan investasi, misalnya, diambil alih oleh badan ini untuk mempermudah prosedur pengurusan investasi di wilayah tersebut. Juga terdapat pengaturan khusus mengenai pengelolaan keimigrasian dan pembangunan pariwisata yang juga dikelola oleh pihak Otorita, serta pengelolaan lahan.

(11)

dirasakan perlu adanya suatu institusi pemerintahan dalam mengelola pemasalahan publik di wilayah tersebut. Untuk itu dibentuklah pemerintahan Kota Administratif Batam sebagai pemerintah daerah di wilayah tersebut pada tahun 1983.

Pemerintahan daerah pada prinsipnya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah tersebut. Sehingga pemerintah daerah seharusnya memiliki kewenangan dalam menjalankan aktifitas pemerintahan secara umum dan tugas-tugas yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selain itu pemerintah daerah mempunyai tugas untuk mengelola arah pembangunan ekonomi dan sosial daerah, termasuk perkembangan industri di daerah tersebut, selain bertanggung jawab atas penyediaan berbagai sarana pembangunan dan sarana publik.

Tetapi untuk wilayah Batam, pemerintah daerah lebih berfungsi sebagai institusi penunjang tugas Otorita dalam pengelolaan wilayah Batam. Peran pemerintah daerah terbatas pada urusan administratif kependudukan, pengelolaan limbah rumah tangga dan area publik seperti pasar tradisional dan perparkiran. Berbagai pernyataan dari pejabat pemerintah RI menegaskan posisi dari pemerintah daerah di wilayah Batam serta kekhususan kondisinya dalam struktur kepemerintahan RI49

Sekali lagi tugas pemerintah daerah yang diatur dalam Keppres tersebut sangat terbatas pada beberapa bidang pemerintahan dan layanan masyarakat. Salah satu argumen yang melatarbelakangi kebijakan ini adalah tidak tersedianya kapasitas yang cukup dari pemerintah daerah untuk menjalankan berbagai

Untuk memperjelas kedudukan pemerintah daerah dan Otorita Batam, pada tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden No. 7. Peraturan ini dimaksudkan untuk meminimalisir potensi dualisme dalam kepemimpinan dan pengelolaan wilayah Batam. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa pemerintah Kota Administratif Batam adalah elemen dekonsentrasi pemerintah pusat, bukan institusi otonomi lokal, yang merupakan elemen desentralisasi, seperti pemerintahan daerah lainnya.

49

(12)

kewenangan lebih yang saat ini dipegang oleh Otorita Batam. Ini berkaitan dengan rendahnya kapasitas keuangan pemerintah daerah yang tergantung dari alokasi APBN, dan kapasitas sumber daya manusia untuk melakukan pengelolaan sarana yang telah dibangun oleh pihak Otorita. Sementara itu, dalam pembahasan mengenai rencana jangka panjang wilayah Batam seringpula mengemuka pemikiran mengenai pengalihan kewenangan pengelolaan dan penyediaan prasarana secara berangsur-angsur, sehingga pada akhir rencana pembangunan jangka panjang (2006), pemerintahan daerah dapat menjalankan roda pemerintahan tanpa adanya gangguan atas aktifitas industri dan ekonomi di Batam.

Masalah kewenangan antara pemerintah daerah dan Otorita Batam seringkali mengemuka dalam berbagai kesempatan. Pemerintah Kota Batam, misalnya, pernah mempertanyakan pengelolaan kawasan-kawasan yang bukan merupakan wilayah dibawah pengelolaan pihak Otorita Batam. Ini menyebabkan adanya ketidakpastian dalam penyediaan prasarana dan pelayanan publik di wilayah tersebut. Pemerintah provinsi Riau juga mempermasalahkan kebijakan perluasan wilayah dibawah kewenangan Otorita Batam yang mencakup juga kepulauan di sekitar pulau Batam, termasuk pulau Rempang dan Galang, pada tahun 1993. Perluasan wilayah tersebut dimaksudkan untuk mendukung perkembangan investasi dan industrialisasi di pulauBatam, yang dianggap sudah hampir mencapai titik optimal.

(13)

Sistem pemerintahan tiga lapisan inilah yang terus dijalankan di wilayah kota Batam, dengan BP. Batam sebagai institusi pemerintahan yang dominan, dibantu oleh pemerintahan daerah dan instansi pemerintah pusat lainnya. Walaupun sistem ini tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, ini terus dapat berjalan hingga pemberlakuan Undang-undang mengenai pemerintahan daerah.

2. Periode Setelah Otonomi Daerah

Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengenai pemerintahan daerah, UU No. 5 tahun 1974, tidak lagi berlaku. Pemberlakuan Undang-undang baru ini membawa implikasi yang cukup besar kepada sistem hubungan antara berbagai level pemerintahan di Indonesia. Dalam sistem yang baru ini, pemerintahan di Indonesia menjadi jauh lebih terdesentralisasi, yang ditandai dengan pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah, terutama pemerintah tingkat II kabupaten dan kota, memiliki wewenang untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta pertahanan dan keamanan.

Kota Batam, yang mempunyai wilayah sama dengan kota administratif Batam, ditetapkan berdasarkan Undang-undang No. 53 tahun 1999 mengenai pembentukan kota Batam, dan mempunyai kewenangan yang sama dengan berbagai kota dan kabupaten lainnya. Kewenangan tersebut juga meliputi berbagai kewenangan yang sebelumnya lebih banyak dipegang oleh pihak Otorita Batam, seperti pembangunan ekonomi dan investasi. Peran pemerintah kota Batam tidak lagi terbatas sebagai pelengkap dari kewenangan yang dimiliki oleh Otorita. Disinilah mulai timbul permasalahan dalam penentuan siapa yang memiliki kewenangan dalam pemerintahan di Batam.

(14)

Batam. Kerancuan antara kewenangan kedua badan pemerintahan tersebut menjadi semakin berlarut karena peraturan pemerintah yang seyogyanya menggantikan Keppres No.7 tahun 1983, yang mengatur pembagian tugas antara pemerintah kota dan Otorita, tidak kunjung diterbitkan Akibatnya ada kesan yang kuat terjadinya dualisme kewenangan dan kepemimpinan di daerah ini.

Dualisme kewenangan di Kota Batam membawa berbagai dampak yang tidak menguntungkan. Pada periode awal otonomi daerah, pemerintah kota Batam mengeluhkan tata pemerintahan yang ditetapkan, karena dianggap tidak memberikan kesempatan pada pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan yang ada, sementara pihak Otorita Batam juga dianggap tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi pelayanannya.

Lemahnya peran pemerintah kota dalam menjalankan kewenangannya sebagian disebabkan karena berbagai infrastruktur dan kelengkapan pemerintahan tidak berada di bawah kendali pemerintah kota. Setelah selama hampir 30 tahun mengelola Batam, Otorita merupakan pihak yang memiliki dan bertanggung jawab atas penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur dan kelengkapan yang ada. Dalam aturan perundangan yang ada belum dijelaskan bagaimana status kepemilikan dan tanggung jawab berbagai properti dan hak yang sebelumnya dipegang oleh pihak Otorita Batam, apakah sebagian akan dialihkan kepada pemerintah kota dan bagaimana mekanismenya.

Selain itu pemerintah kota juga masih belum mempunyai kemampuan yang cukup, baik secara finansial maupun kapasitas personal, untuk memberikan pelayanan publik yang setara dengan yang selama ini diberikan oleh pihak Otorita. Selama hampir 20 tahun sejak berdirinya pemerintahan kota ini, praktis pemerintah daerah tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam memberikan pelayanan dan menjalankan kewenangan yang diberikan.

(15)

Sementara itu, Otorita Batam juga menganggap bahwa pengelolaan Batam berada di tangan pihak Otorita. Walaupun pada akhirnya berbagai perijinan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak diakui dan dapat diterima, adanya dua pihak yang memberikan pelayanan yang sama menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Bagi kalangan usaha ini meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan berbagai prosedur yang diperlukan, dan kerancuan mengenai instansi mana yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan diakui secara hukum.

Masalah lain juga timbul berkaitan dengan kewenangan dalam pembentukan tata ruang wilayah. Sementara kewenangan perencanaan tata ruang, sebagaimana diatur dalam perundangan, berada di tangan pemerintah kota, tata ruang yang digunakan selama ini masih mengikuti rencana yang dibuat oleh pihak Otorita. Hal ini terutama terlihat dalam perencanaan pembangunan di kawasan Pulau Rempang dan Galang. Dalam hal perencanaan pembangunan kedua instansi tersebut juga tidak terlihat adanya koordinasi yang cukup untuk menghasilkan sinergi yang menunjang satu sama lain.

Dalam perkembangan berikutnya telah diusahakan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam berbagai aspek pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Pada tahun 2003, misalnya, kedua badan yang bertanggung jawab atas permasalahan Batam ini sepakat untuk membagi kewenangan dalam pemberian pelayanan kepemerintahan untuk mengurangi kerancuan yang timbul di masyarakat. Otorita Batam sepakat untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah kota Batam.

(16)

Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab. 50

Koordinasi yang lemah antara pihak Otorita Batam dan instansi pemerintah lain juga terlihat pada berbagai prosedur yang terkait dengan perdagangan dan investasi. Sementara Otorita berusaha mengedepankan prosedur pelayanan yang mendukung aktifitas perdagangan dengan memberikan berbagai insentif, prosedur perdagangan internasional, yang dipegang oleh instansi terkait lainnya, dirasakan masih menyulitkan para pelaku ekonomi. Status Batam yang ditetapkan sebagai Kawasan Berikat juga memberikan kesulitan dalam koordinasi dengan instansi pemerintah terkait, khususnya perpajakan dan bea cukai. Sesuai dengan Undang-undang Bea Cukai, fasilitas yang diberikan kepada daerah kawasan berikat hanya diperuntukan untuk proses pengolahan, bukan untuk Walaupun sudah tercapai kesepakatan, dalam implementasi sehari-hari masih sering timbul berbagai kerancuan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pembagian kewenangan ini juga memberikan beban tambahan bagi berbagai pihak yang memerlukan perijinan dari kedua instansi tersebut. Dalam masalah perijinan pedirian bangunan misalnya. Masyarakat yang mendapatkan lahan dari Otorita Batam, harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah kota terlebih dahulu sebelum mendapatkan sertifikat lahan yang dibeli. Selanjutnya untuk pendirian bangunan mereka masih harus kembali mengurus perijinannya kepada pihak pemerintah kota.

Selain itu kesepakatan ini masih merupakan perjanjian antara kedua pihak, bukan merupakan suatu ketetapan hukum mengenai status pengelolaan kota Batam, berikut segala perangkatnya. Pemerintah pusat masih dirasa perlu untuk menetapkan pembagian kewenangan antara kedua instansi tersebut dan menyederhanakan sistempemerintahan di Batam. Lebih penting lagi adalah kejelasan mengenai status Otorita Batam. Walaupun selama ini Otorita merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, dalam era otonomi daerah sekarang ini, dirasakan perlu adanya definisi ulang kedudukan dan kewenangan Otorita selaku pihak pengelola dan penanggung jawab pembangunan di Batam

50

(17)

aktifitas konsumsi. Tetapi di Batam, fasilitas penundaan PPN dan bea masuk juga diberikan untuk barang konsumsi akhir yang ada di daerah tersebut.

Untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang aturan hubungan kerja antara Pemkot dan BP. Batam ini diberi waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak Pemkot dinyatakan sebagai kota otonom. Pemerintah mengeluarkan UU nomor 44 tahun 2007, yang melahirkan PP nomor 46 junto PP nomor 5.

Persoalan tumpang tindih kewenangan dalam proses pelayanan publik merupakan gejala umum yang terjadi atau berlokasi di banyak daerah kabupaten/kota karena luasnya kewenangan yang dimiliki daerah otonom tersebut. Jenis dan bentuk kewenangan yang “diperebutkan” berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, namun secara umum sengketa kewenangan terjadi terutama di daerah yang mempunyai potensi ekonomi sangat tinggi seperti daerah perkotaan dan daerah otonom yang di dalamnya ada kawasan industri atau kegiatan ekonomi lain yang sangat potensial menghasilkan sumber pendapatan.51

Sebagai daerah otonom yang memiliki kewenangan luas, maka kepala daerah merupakan pemimpin pemerintahan tertinggi di daerahnya dan bukan yang lain. Soal legitimasi kepemimpinannya juga sangat kuat karena ia dipilih langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin di daerahnya. Hak-hak dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah provinsi juga sudah jelas tergambar karena disebutkan secara limitatif dalam UU Nomor 32 tahun 2004. Hanya saja ketika kewenangan tersebut dijabarkan dan diaplikasikan di lapangan sering multiinterpretatif dan terjadi pertarungan yang hebat diantara para pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam pertarungan itu masing-masing lebih condong

Di sejumlah daerah otonom yang memiliki potensi sumber daya alam dan sumber-sumber potensial lainnya kemungkinan sengketa kewenangan sulit dihindarkan. Tumpang tindih kewenangan terjadi bukan semata karena belum jelasnya pembagian kewenangan antar daerah otonom. Tumpang tindih kewenangan juga didorong oleh motivasi lain, dengan memanfaatkan celah yang masih ada dan terbuka untuk dimanipulasi atau direkayasa. Kasus konflik kewenanganyang terjadi di sejumlah daerah otonom adalah contohnya.

51

(18)

mengedepankan kepentingan dengan mengacu pada dasar hukum dan landasan berpihak lain, seperti aspek sejarah dan ekonomi untuk memperkuat daya tawarnya. Inilah awal terjadinya tumpah tindih kewenangan yang seharusnya tidak perlu terjadi jika ada ketegasan rincian wewenang termasuk alasan dan pertimbangan obyektif ini tentu harus mengacu pada tujuan utama organissi pemerintahan daerah khususnya, yaitu memberikan pelayanan publik terbaik bagi warga masyarakatnya.

Dualisme wewenang antara BP. Batam dan Pemerintah Kota Batam. Pada prinsipnya, dengan adanya otonomi daerah, pengelolaan Batam merupakan tanggung jawab bersama antara pemeritah pusat dan pemerintah daerah kota Batam sesuai Undang-Undang yang berlaku.

Bila pengelolaan Batam hanya dilakukan oleh pemerintah pusat akan menimbulkan konflik. Pendekatan yang selama ini diadopsi, rekonsiliasi antara BP. Batam dan Pemerintah Kota, bukanlah merupakan solusi yang tepat. BP. Batam adalah institusi yang dibuat oleh pemerintah pusat dalam konteks sebelum adanya otonomi daerah, legitimasi badan tersebut pada saat ini tidak terlalu kuat. Semestinya Pemerintah Pusat mendudukan soal pengelolaan Batam dengan Pemerintah Daerah dan bersama-sama menentukan arah Batam selanjutnya

Proses Perubahan Otorita Batam (OB) menjadi BP Kawasan Batam,

memang sudah berlalu dan berjalan beberapa tahun . Namun suara sumbang

terkait banyaknya kejanggalan dalam proses, bahkan pasca perubahan “ganti

baju” OB menjadi BP Kawasan Batam, terus saja terdengar hingga kini.

Peralihan aset dan kewenangan OB menjadi BP Kawasan yang

disebut-sebut sudah sesuai dengan amanat UU No 44 Tahun 2007 tentang BP Kawasan

Batam, tidak menyurutkan banyak kalangan yang menyoroti dan mengindikasi

ada pelanggaran hukum terkait keberadaan BP Kawasan sebagai metamorfosa

BP. Batam.52

Bagi masyarakat yang kontra dengan eksistensi BP Kawasan Batam

berpendapat, Batam sudah tidak sesuai dikelola oleh BP Kawasan Batam. Hal ini

52

(19)

didasari pada UU Otonomi Daerah yang memberikan hak kepada daerah untuk

mengatur dan mengelola segala potensi daerah.

Namun masyarakat yang pro terhadap BP Kawasan, menilai BP Kawasan

yang sebelumnya ada Otorita Batam, tetaplah sebagai institusi yang pertama kali

membuka daerah industri Batam. Yang hingga kini tetap memberikan

sumbangsing untuk membganung kota Batam.

Sebagai masyarakat yang hidup di alam demokrasi, berbeda pendapat

tentu ha yang biasa. Namun pendapat masyarakat yang mendukung eksistensi BP

Kawasan memang tidak disampaikan secara tegas. Berbeda dengan masyarakat

yang menilai ada kejanggalan dan indikasi pelanggaran hukum yang sedang

berlangsung diarea lingkungan BP Kawasan Batam.

Ada beberapa kejanggalan BP Kawasan Batam, utamanya dalam hal

kewenangan dan aset yang sebelumnya dikelola Otorita Batam dan beralih

dikelola BP Kawasan Batam, yang menurutnya sangat berpotensi merugikan

masyarakat Batam.53

Salah satu kejanggalan yang banyak disoroti yakni dari faktur tagihan

UWTO yang mengharuskan pembayaran disetor ke rekening Otorita Batam.

Sementara seperti diketahui bersama, saat ini Otorita Batam sudah tidak ada,

melainkan yang ada hanya BP Kawasan Batam. Insya Fauzi mempertanyakan,

bagaimana bisa ? membayar tagihan kepada instansi yang sudah tidak ada?

Menghadapi kejanggalan yang menurut pengusaha ternama ini, sangat

berpotensi menjadi permasalahan dikemudian hari. Insya mengaku sudah dua

kali menyurati Ketua BP Kawasan Batam terkait kejanggalanyang dimaksud.

Namun tidak ada tanggapan dari BP Kawasan Batam.54

Permasalahan pecatatan rekening Otorita Batam yang dipakai BP

kawasan Batam akan semakin runyam, jika pembayar UWTO bukan dari

individu, melainkan dari perusahaan atau institusi. Perusahaan pembayar UWTO

akan dibingungkan dengan legalitas audit atau bukti pajak. Bahkan sangat

berpotensi mendapat membayar tagihan kepada instansi fiktif. Karena yang

tertulis tagihan UWTO disetor ke rekening OB yang sudah tidak ada.

53

Ibid.

54

(20)

Tanggal 26 Oktober BP Kawasan Batam selalu menggelar hari bakti

yang merupakan hari terbentuknya Otorita Batam yang kini berganti nama

menjadi BP Kawasan Batam. Dan seiring dengan usianya, masyarakat Batam

kini semakin banyak yang mempertanyakan legalitas hukum dari proses alih

kewenangan Otorita Batam menjadi BP Kawasan Batam, yang dipandang tidak

tuntas dan menyisakan beragam kejanggalan hukum.55

Ketua LSM Kodat 86, Tain Komari yang juga penulis buku Batam

tergadai 70 tahun berpendapat, secara substansi tidak ada perubahan

bergantinya nama Otorita Batam menjadi BP Kawasan Batam. Aktivis LSM

KODAT 86 tersebut menjelaskan Otorita Batam dibentuk berdasarkan Keppres

sementara BP Kawasan dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Asas

perangkat hukum terbentuknya BP kawasan Batam lebih tinggi dari asas

perangkat hukum terbentuknya Otorita Batam Sementara menanggapi isu

dualisme kepemimpinan Batam Tain menjawab, posisi BP Kawasan lebih kuat

dari Pemko Batam, meski keduanya dibentuk berdasarkan undang-undang (UU).

Namun menurut Tain, UU yang menaungi Pemko Batam tidak ada turunannya.

Sementara UU BP Kawasan Batam dalam pandangan hukumnya masuk dalam

perangkat hukum les spesialis.56

Pandangan ini jelas sangat berbeda dengan pandangan salah satu

pengusaha Batam tokoh masyarakat ini berpendatap rekening Otorita Batam

yang masih digunakan oleh BP Kawasan Batam, sangat berpotensi menjadi

masalah dikemudian hari. Hingga saat ini kehadiran pemko Batam dan BP

Kawasan Batam secara bijak selalu dipandang sebagai kapal dengan dua mesin, Dalam hal rencana tata ruangkota, BP Kawasan Batam Bintan Karimun

yang dipakai BP Kawasan Batam, dinilai lebih kuat karena berdasarkan PP No

87 tahun 2011. Sementara rencana tata ruang yang dipakai pemko Batam hanya

berdasarkan Peraturan daerah (perda) Menjawab tagihan UWTO yang

dijalankan BP Kawasan yang masih menggunakan rekening Otorita Batam. Tain

menjawab seharusnya diganti, mesti menurutnya hal tersebut hanya bersifat

administratif.

55

Wawancara dengan Ardy Winata, Ka.Bagian Humas Setdako Batam

56

(21)

yang secara idela akan memacu laju pembangunan di kota Batam. Namun

gerakan cinta satu kepemimpinan Batam yang sempat mencuat. Memliki

pandangan tersendiri atas pilihan kepemimpinan pemko Batam ataukah BP

Kawasan Batam.

Diantara pendapat pro dan kontra terhadap BP Kawasan dan Pemko

Batam, muncul isu lain yang menyebutkan kejanggalan-kejanggalan yang ada

pada BP Kawasan Batam, mengundang pihak-pihak tidak bertanggung jawab,

yang melancarkan aksi dengan tujuan kepentingan pribadi. Dan akhirnya

menjadikan BP Kawasan Batam hanya sebagai objek yang dikritisi kemudian

kembali terdiam setelah mencapai maksud yang diinginkan. Pada awal pembentukan Pemkot Batam terjadi kelambanan pemerintah pusat mengeluarkan peraturan pemerintah sebagai turunan dari Undang-undang nomor 53/1999. Kelambanan tesebut yang memicu hubungan dua insitutis tersebut masih tumpang tindih.

Dalam ayat (3) UU tersebut ditegaskan, hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.Untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Aturan Hubungan Kerja antara Pemko dan OB ini diberi waktu selambat-lambatnya 12 bulan sejak Pemkot dinyatakan sebagai kota otonom. “UU sudah mengamanatkan, dalam satu tahun, paling lambat akan ada aturan mengenai hubungan antara Pemko Batam dan Otorita Batam.

Persoalan semakin bertambah, karena pusat, malah mengeluarkan UU Nomor 44 tahun 2007, yang melahirkan PP nomor 46 junto PP nomor 5. Ini diakui menjadi penyebab munculnya makelar di Batam. Pemerintah pusat menjadi akar permasalahan saat tidak adanya hubungan kerja itu menimbulkan masing-masing institusi merasa berhak mengeluarkan ijin pengelolaan lahan sesuai kewenangannya.

(22)

baru ini membawa implikasi yang cukup besar kepada sistem hubungan antara berbagai level pemerintahan di Indonesia. Dalam sistem yang baru ini, pemerintahan di Indonesia menjadi jauh lebih terdesentralisasi, yang ditandai dengan pelimpahan wewenang yang lebih besar kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah, terutama pemerintah tingkat II kabupaten dan kota, memiliki wewenang untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta pertahanan dan keamanan.

Konsekuensi dari penetapan UU tersebut adalah hilangnya kewenangan dari berbagai elemen dekonsentrasi pemerintahan pusat di tingkat daerah. Berbagai kewenangan dekonsentrasi tersebut dilebur menjadi kewenangan yang didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Ini ditandai dengan dihilangkannya berbagai kantor wilayah kementerian teknis, terkecuali untuk berbagai bidang yang masih ditangani oleh pemerintah pusat, seperti perpajakan, bea cukai dan otoritas moneter. Pemerintahan kabupaten dan kota, menurut UU tersebut, menjadi pemerintahan otonom dalam mengelola berbagai bidang kepemerintahan termasuk dalam bidang ekonomi dan pembangunan. Pelaksanaan UU tersebut tentunya membawa perubahan yang sangat besar terhadap posisi lembaga pemerintahan di kota Batam.

Di satu sisi, Otorita Batam, sebagai wakil pemerintah pusat di di Kota Batam, tidaklah direpresentasikan di dalam UU No.22 Tahun 1999, sehingga menurut peraturan tersebut kewenangannya juga dialihkan kepada pemerintah daerah kota Batam. Tetapi di sisi lain, UU No. 53 Tahun 1999 juga menyebutkan bahwa pemerintah kota Batam menjalankan tugasnya dengan mengikutsertakan Otorita Batam. Kerancuan antara kewenangan kedua badan pemerintahan tersebut menjadi semakin berlarut karena peraturan pemerintah yang seyogyanya menggantikan Keppres No.7 tahun 1983, yang mengatur pembagian tugas antara pemerintah kota dan Otorita, tidak kunjung diterbitkan. Akibatnya ada kesan yang kuat terjadinya dualisme kewenangan dan kepemimpinan di daerah ini.

(23)

yang ada, sementara pihak Otorita Batam juga dianggap tidak mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menjalankan fungsi pelayanannya.

Lemahnya peran pemerintah kota dalam menjalankan kewenangannya sebagian disebabkan karena berbagai infrastruktur dan kelengkapan pemerintahan tidak berada di bawah kendali pemerintah kota. Setelah selama hampir 30 tahun mengelola Batam, Otorita merupakan pihak yang memiliki dan bertanggung jawab atas penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur dan kelengkapan yang ada. Dalam aturan perundangan yang ada belum dijelaskan bagaimana status kepemilikan dan tanggung jawab berbagai properti dan hak yang sebelumnya dipegang oleh pihak Otorita Batam, apakah sebagian akan dialihkan kepada pemerintah kota dan bagaimana mekanismenya. Selain itu pemerintah kota juga masih belum mempunyai kemampuan yang cukup, baik secara finansial maupun kapasitas personal, untuk memberikan pelayanan publik yang setara dengan yang selama ini diberikan oleh pihak Otorita. Selama hampir 20 tahun sejak berdirinya pemerintahan kota ini, praktis pemerintah daerah tidak memiliki pengalaman yang cukup dalam memberikan pelayanan dan menjalankan kewenangan yang diberikan.

Dualisme tersebut telah membuat kondisi pembangunan di Batam menjadi tidak kondusif untuk pembangunan ekonomi dan pengembangan industri. Salah satu permasalahan yang mengemuka adalah masalah kewenangan dalam pemberian perizinan. Pada masa awal desentralisasi, pemerintah kota menganggap bahwa berbagai perijinan, termasuk yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan industri, dapat diberikan oleh pihak mereka. Sementara itu, BP. Batam juga menganggap bahwa pengelolaan Batam berada di tangan pihak Otorita. Walaupun pada akhirnya berbagai perijinan dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh kedua belah pihak diakui dan dapat diterima, adanya dua pihak yang memberikan pelayanan yang sama menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Bagi kalangan usaha ini meningkatkan ketidakpastian dalam menjalankan berbagai prosedur yang diperlukan, dan kerancuan mengenai instansi mana yang sebenarnya mempunyai kewenangan dan diakui secara hukum.

(24)

sebagaimana diatur dalam perundangan, berada di tangan pemerintah kota, tata ruang yang digunakan selama ini masih mengikuti rencana yang dibuat oleh pihak Otorita. Hal ini terutama terlihat dalam perencanaan pembangunan di kawasan Pulau Rempang dan Galang. Dalam hal perencanaan pembangunan kedua instansi tersebut juga tidak terlihat adanya koordinasi yang cukup untuk menghasilkan sinergi yang menunjang satu sama lain.

Dalam perkembangan berikutnya telah diusahakan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak dalam berbagai aspek pelayanan pemerintahan dan pembangunan. Pada tahun 2003, misalnya, kedua badan yang bertanggung jawab atas permasalahan Batam ini sepakat untuk membagi kewenangan dalam pemberian pelayanan kepemerintahan untuk mengurangi kerancuan yang timbul di masyarakat. BP. Batam sepakat untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah kota Batam. Beberapa kewenangan itu antara lain, tentang hak mengeluarkan izin prinsip bangunan, izin usaha dan perdagangan, alokasi mobil dan minuman keras, dan izin mendirikan bangunan (IMB), sementara pihak Otorita masih mempunyai kewenangan mengenai alokasi lahan dan pengembangan infrastruktur perekonomian dan industri. Pembagian kewenangan tersebut makin disempurnakan setelah pada Desember 2005, kedua pihak membuat sebuah Memorandum of Understanding mengenai berbagai kewenangan dan tanggung jawab. Walaupun sudah tercapai kesepakatan, dalam implementasi sehari-hari masih sering timbul berbagai kerancuan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Pembagian kewenangan ini juga memberikan beban tambahan bagi berbagai pihak yang memerlukan perijinan dari kedua instansi tersebut.57

Dalam masalah perijinan pedirian bangunan misalnya. Masyarakat yang mendapatkan lahan dari BP. Batam, harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah kota terlebih dahulu sebelum mendapatkan sertifikat lahan yang dibeli. Selanjutnya untuk pendirian bangunan mereka masih harus kembali mengurus perijinannya kepada pihak pemerintah kota. Selain itu kesepakatan ini masih merupakan perjanjian antara kedua pihak, bukan merupakan suatu

57

(25)

ketetapan hukum mengenai status pengelolaan kota Batam, berikut segala perangkatnya. Pemerintah pusat masih dirasa perlu untuk menetapkan pembagian kewenangan antara kedua instansi tersebut dan menyederhanakan system pemerintahan di Batam. Lebih penting lagi adalah kejelasan mengenai status BP. Batam. Walaupun selama ini Otorita merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, dalam era otonomi daerah sekarang ini, dirasakan perlu adanya definisi ulang kedudukan dan kewenangan Otorita selaku pihak pengelola dan penanggung jawab pembangunan di Batam.

3.2.Kewenangan BP. Batam didelegasikan Kepada Pemerintah Kota Batam Pada awalnya Batam dikembangkan oleh pihak BP. Batam dan telah berkembang menjadi pusat industri, perdagangan dan alih kapal (transshipment)

dan pariwisata di kawasan Asia Tenggara. Seluruh proses perizinan investasi telah dilakukan dibawah satu atap yaitu Batam Industrial Development Authority

(BIDA) atau Badan Otorita Pengembangan Industri Batam. Tetapi dengan diberlakukannya Otonomi Daerah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Batam dikelola oleh Pemerintah Kotamadya yang menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 tahun 1999, yaitu dengan penetapan Kota Batam serta pembentukan Kabupaten dan kecamatan dan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau kemudian sebagai pemekeran dari Provinsi Riau sebelumnya mengingat pada saat wewenang ada pada pihak BP. Batam, maka dalam rangka mendudukan tugas, fungsi dan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, diperlukan pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota dan BP. Batam untuk menghindari terjadinya tumpang tindih kekuasaan dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Batam.

(26)

kesinambungan berbagai pembangunan di kawasan Batam, yaitu sebagai kawasan industri, alih kapal, perdagangan dan pariwisata yang selama ini dilakukan oleh BP. Batam. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan bahwa pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan BP. Batam dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antara BP. Batam dan Pemko Batam.

Pemberian otonomi daerah yang lebih luas sejak tahun 2001, memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk menetapkan rencana tata ruang di wilayah Batam. Wewenang tersebut saat ini berada pada tangan pemerintah kota Batam. Dalam rangka pembangunan wilayah, maka pihak pemerintah kota Batam telah mempersiapkan rencana tata ruang daerah kerja mereka. Dilain pihak, BP, sebagai pengelola wilayah ini pada periode sebelumnya, juga memiliki rencana tata ruang dan rencana pengembangan wilayah yang masih digunakan terutama untuk pembangunan industri.

Kondisi dualisme dalam perencanaan tata ruang wilayah ini menyebabkanpengembangan wilayah tersebut sering tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Sering terjadi wilayah yang masuk dalam rencana pengembangan dari satu pihak, tidak merupakan bagian dari rencana pengembangan pihak yang lain. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dalam pengalokasian dan peruntukan lahan, serta menghambat pembangunan fasilitas publik yang dibutuhkan.

Selain permasalahan tata ruang, dualisme kewenangan antara pihak pemerintah kota dan BP. Batam juga menimbulkan kerancuan dalam pemberian izin dan penerbitan sertifikat penggunaan lahan. Hak pengelolaan lahan yang dimiliki oleh BP. Batam memberikan kewenangan bagi BP. Batam untuk mengalihkan lahan yang selama ini masukdalam pengelolaan mereka. Pada periode sebelum otonomi daerah diperluas pada tahun 2001, pengalihan hak penggunaan lahan dari BP. Batam dapat berjalan dengan baik, karena pengalihan tersebut menjadi dasar untuk pengurusan sertifikat penggunaan dan penyewaan tanah oleh pihak ketiga.

(27)

dari pihak pemerintah kota untuk mengurus penerbitan sertifikat serta perizinan dalam penggunaan dan pemanfaatan lahan tersebut. Akibatnya, proses pengurusan pengalihan menjadi semakin panjang dan berpotensi untuk menimbulkan beban biaya tambahan kepada dunia usaha.

Hubungan antara Badan Pengusahaan Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas Batam BP.Batam dengan Pemko Batam. Sejak 10 tahun belakangan atau sejak resmi terbentuknya Pemko Batam hingga sekarang hubungan antara kedua instansi plat merah ini tak pernah akur. Masing-masing saling serang, merasa paling berhak, paling berwenang dan paling berkuasa di Kota Batam, khususnya di Pulau Batam. 58

Sampai saat ini rivalitas antara BP-Batam dan Pemko Batam masih saja terjadi. Kedua instansi plat merah ini tak pernah singkron. Beberapa orang kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pemko Batam juga merupakan mantan pejabat di BP-Kawasan.

Pemko Batam merasa paling berhak mengatur segala sesuatunya di Pulau Batam, berdasar kepada Undang-Undang Otonomi Daerah. Sedangkan BP-Batam juga merasa paling berwenang di Pulau Batam, karena Keppres yang mengamanahkan BP. Batam membangun dan mengembangkan Pulau Batam sampai saat ini belum dicabut. Orang-orang BP-Batam juga merasa paling berjasa membangun Pulau Batam, karena pulau ini dibuka BP. Batam dari keterisoliran tahun 1971, ketika jumlah penduduk yang menghuni pulau ini baru sekitar enam ribu orang saja.

59

Seperti dalam kasus kenaikan tarif air PT Adhya Tirta Batam (ATB). BP Kawasan menetapkan kenaikan tarif air PT ATB sebesar 6,5 persen.

Begitu pula sebaliknya, para petinggi BP-Batam juga adalah yang mantan jajaran petinggi di Pemko Batam, seperti Deputi Operasi Manan Sasmita yang mantan Sekda Kota Batam dan pejabat Walikota Batam serta Asyari Abbas Deputi Pelayanan BP-Batam yang merupakan mantan Asisten I Pemko Batam. Meski begitu, hubungan antara Pemko Batam dan BP-Batam tak pernah mencair. Yang ada hanya perang dingin dan peragaan egosentris masing-masing.

58

Ibid

59

(28)

Alasan Pemko Batam menolak, karena agenda kenaikan tarif air ATB tersebut tidak pernah dibicarakan secara resmi oleh BP-Batam dengan Pemko Batam. Padahal di dalam UU tegas dinyatakan bahwa pengelolaan air merupakan kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini Pemko Batam. Sementara dalam konsesi antara BP-Batam dengan ATB tidak ada berbunyi bahwa kenaikan tarif air harus sepengetahuan atau seizin Pemko Batam.

Karena masyarakat menolak keras kenaikan tarif air ATB, akhirnya BP-Batam pun meninjau ulang besaran angka kenaikan tarif air tersebut. Kepala BP Batam Mustofa Widjaja merevisi angka kenaikan tarif dari 6,5 persen menjadi 5 persen. Sedangkan kenaikan tarif biaya perawatan meteran batal naik. Begitu pula dengan kenaikan tarif pencetakan bukti pembayaran rekening air juga tidak jadi dinaikkan.

Meski angka kenaikan tarif air ATB telah direvisi oleh kepala BP-Batam, karena Pemko Batam belum pernah diajak bicara secara khusus membahas rencana kenaikan tarif air. 60

Jadi sebenarnya Pemerintah Pusat sudah menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Batam terjadi dualism kekuasaan, yaitu antara Pemko yang menyelenggarakan pemerintahan dengan seluruh jajaran aparat dan BP. Batam yang berhak mengundang para investor ke Batam dan melakukan fungsi sebagai pengaturan permasalahan lahan investasi atau Hak Penggunaan Lahan (HPL). Dualisme pelaksanaan pemerintahan inilah yang belum diselesaikan antara BP. Batam dan Pemko Batam oleh pemerintah pusat sampai sekarang. Seringnya terjadi tarik ulur mengenai pemprosesan perizinan dan penjualan lahan kepada para investor merupakan hal yang sangat membingungkan para investor asing. 61

Wilayah kota Batam berasal dari Wilayah Kotamadya Batam yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 1983 dan sebagian wilayah Kabupaten Kepulauan Riau, yaitu sebagian Kecamatan Galang dan sebagian Kecamatan Bintan Utara. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 menyatakan bahwa keikutsertaan BP. Batam adalah untuk

60

Ibid

61

(29)

kesinambungan berbagai pembangunan di kawasan Batam, yaitu sebagai kawasan industri, alih kapal, perdagangan dan pariwisata yang selama ini dilakukan oleh BP. Batam. Selanjutnya ayat (3) menyebutkan bahwa pengaturan hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan BP. Batam dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan antara BP. Batam dan Pemko Batam.

Jadi sebenarnya Pemerintah Pusat sudah menyadari bahwa penyelenggaraan pemerintahan di Batam terjadi dualism kekuasaan, yaitu antara Pemko yang menyelenggarakan pemerintahan dengan seluruh jajaran aparat dan BP. Batam yang berhak mengundang para investor ke Batam dan melakukan fungsi sebagai pengaturan permasalahan lahan investasi atau Hak Penggunaan Lahan (HPL). Dualisme pelaksanaan pemerintahan inilah yang belum diselesaikan antara BP. Batam dan Pemko Batam oleh pemerintah pusat sampai sekarang. Seringnya terjadi tarik ulur mengenai pemprosesan perizinan dan penjualan lahan kepada para investor merupakan hal yang sangat membingungkan para investor asing.

Perbedaan Otorita Batam dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam? apakah otorita batam masih ada sekarang? atau sudah digantikan keseluruhan tugas dan wewenangnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan. Secara fungsi, tidak ada perbedaan antara Otorita Batam (OB) dengan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam). Kedua lembaga itu bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pembangunan pulau ini. Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya Keppres No.65/1970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam.

(30)

kajian Nissho Iwai Co. Ltd dari Jepang dan Pacific Bethel Inc. dari Amerika merekomendasikan Batam sebagai pusat industri petroleum dan petrokimia dengan pertimbangan pada awal dasawarsa 70-an, minyak dan gas adalah komoditi unggulan ekonomi Indonesia. Kajian dua lembaga asing itu diperkuat dengan Keppres No.41 tahun 1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam (BP. Batam).

Tugas yang diemban BP. Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam. Sejalan dengan keluarnya PP No.20 tahun 1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33 tahun 1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

Ketika minyak dan gas tidak lagi menjadi produk unggulan ekonomi Indonesia, maka diusulkanlah rencana induk Pulau Batam sebagai salah satu penyangga perekonomian nasional dalam sector industri berdasarkan kajian Crux Co. dari Amerika pada 1977. Sekaligus penugasan Otorita Batam sebagai penguasa pulau ini sejak 1977.

Pembangunan Batam memasuki decade ke dua ditentukan dengan keluarnya Keppres No.41 tahun 1978 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse. Pada tahun itu ditandai dengan munculnya Teori Balon yang dicetuskan oleh BJ Habibie setelah bertemu dengan PM Singapura Lee Kuan Yew. Semangat teori Balon itu adalah menjadikan Batam sebagai basis pertumbuhan ekonomi baru dengan memanfaatkan tumpahan industri dari Singapura. Diibaratkan Singapura sebagai sebuah balon besar yang terus menggelembung maka di siapkan daerah-daerah di sekitarnya sebagai balon-balon kecil yang mendapatkan suntikan angin dari balon induk.

(31)

pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias.

Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata.

Sekian banyak Keppres itu, Keppres No.41/1973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit pada 2005 untuk memperpanjang keberadaan lembaga OB di Batam.

Apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.62

Pemberlakuan PP itu hanya akan memberatkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dalam bidang pertanahan, sementara peruntukkannya tidak jelas, dimana tidak sesuai dengan asas kesederhanaan yang diamanatkan dalam pendaftaran tanah, meskipun demikian PP tersebut tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan karena sudah merupakan keputusan pemerintah sebagai peraturan yang harus ditaati.

Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46 tahun 2007 tentang FTZ Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam.

Dalam proses penyelenggaraan pemerintahan Pemko Batam sangat jarang untuk melakukan komunikasi, hal ini disebabkan karena kesibukan di luar jabatan lebih penting dibandingkan wewenang dan tanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya dalam pemerintahan Kota Batam.

63

(32)

dan perlindungan hokum sebagaimana yang diamanatkan dalam PP No. 24 Tahun 1997.

Menurut PP No. 13 Tahun 2010 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk masyarakat tidak mendaftarkan tanahnya dikarenakan biaya yang cukup mahal, tariff yang ditetapkan dalam PP No. 13 Tahun 2010 tersebut sebenarnya seimbang dengan nilai ekonomi Negara pada saat ini, mana mungkin sama nilai ekonomi pada saat ini dengan nilai ekonomi pada belasan tahun yang lalu, dan tidak ada yang namanya pendaftaran tanah itu menyulitkan masyarakat karena berbelit-belit dan lama. Pendaftaran tanah itu membutuhkan proses, dari permohonan, pengukuran, pemetaan, sampai diterbitkannya sertifikat, dengan adanya pemberlakuan tarif secara resmi yang secara nasional tersebut dapat membuat standarisasi dan aturan baku yang jelas dalam pelayanan dibidang pertanahan. Peningkatan tersebut diharapkan juga berakibat langsung dengan peningkatan pelayanan masyarakat dibidang pertanahan64

Apakah OB masih ada? Apakah tugasnya sudah diambil alih oleh BP Batam? Berdasarkan PP No. 46/2007 tentang FTZ Batam, batas waktu pembentukan BP Batam adalah 31 Desember 2008 atau kurang lebih setahun yang lalu walaupun pembentukan kepala dan deputi BP Batam lebih cepat dari batas waktu yang ada. Mestinya, dengan terbentuknya BP Batam itu maka seluruh aset dan pegawai OB menjadi milik BP Batam, tapi kenyataannya yang menjadi karyawan BP Batam baru 5 orang yaitu Kepala BP Batam plus empat deputi. Sedangkan pegawainya masih berstatus pegawai OB.

Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam, walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut. Jadi, secara hukum kelembagaan, maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya juga berbeda. OB dibentuk oleh Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.

65

64

Ibid

65

(33)

Namun secara kelembagaan, OB dan BP Batam jelas berbeda. OB dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pada era Presiden Suharto. Perjalanan panjang selama tiga dasawarsa di Batam dimulai dengan keluarnya Keppres No.65 tahun 1970 ketika Ibnu Sutowo selaku dirut Pertamina pada era 1970-an diperintahkan untuk mendirikan basis operasi dan logistic Pertamina di Batam.

Kemudian, pada 26 Oktober 1971 keluar Keppres No.74/1971 yang menetapkan Batu Ampar sebagai daerah industri berstatus entreport partikulir, sekaligus pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Pulau Batam yang bertugas merencanakan dan mengembangkan pembangunan industri dan prasarananya, menampung, dan meneliti permohonan izin usaha untuk diajukan ke pejabat terkait, dan mengawasi proyek industri.

Keppres No.41 tahun 1973 yang menetapkan seluruh pulau Batam sebagai daerah industri dan membentuk Otorita Daerah Industri Pulau Batam (BP. Batam).

Tugas yang diemban BP. Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan pembangunan pulau Batam sebagai daerah industry dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi asing di Batam.66

66

Ibid

Sejalan dengan keluarnya PP No.20 tahun 1972 tentang aturan Bonded warehouse, maka diterbitkanlah Keppres No.33 tahun 1974 tentang penetapan kawasan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil sebagai gudang berikat atau bonded warehouse.

(34)

Keppres 41 tahun 1978 itu semakin diperkuat oleh Keppres No56 tahun 1981 yang menetapkan Pulau Batam sebagai bonded warehouse ditambah dengan lima pulau sekitarnya meliputi Kasem, Moi-Moi, Ngenang, Tanjung Sauh, dan Janda Berias. Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata.

Undang-undang juga mempengaruhi tumpang tindih antara BP. Batam dengan Pemko Batam, seharus apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat? Ya undang-undang juga ikut mempengaruhi tumpang tindih antara BP. Batam dengan Pemko Batam, Pemerintah Pusat untuk segera memperjelas pembagian wewenang antara Badan Pengusahaan Batam dan Pemerintah Kota Batam, sebab praktiknya selama ini dinilai tidak jelas. Kondisi itu menimbulkan ketidakpastian hukum dan birokrasi yang dikuatirkan berdampak buruk pada iklim investas, sehingga saat ini masih tumbuh persepsi ditengah masyarakat dan pengusaha Batam bahwa ada dualisme kepemimpinan, satu dipegang oleh Walikota Batam atau Pemerintah Kota Batam dan satu lagi Ketua Badan Pengusahaan Batam yang dulu bernama Otorita Batam. Kedua lembaga itu, dalam mengimplementasikan kebijakannya sering tidak sejalan sehingga menimbulkan kebingunan bagi masyarakat dan pengusaha.67

67

Ibid

Keppres No.41 tahun 1973 dianggap sebagai pondasi awal terbentuknya Otorita Batam hingga Keppres terakhir yang terbit pada 2005 untuk memperpanjang keberadaan lembaga BP. di Batam apa itu BP Kawasan Batam? Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas.

(35)

Dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa seluruh pegawai dan aset Otorita Batam akan beralih menjadi pegawai dan aset BP Kawasan Batam, walaupun dalam PP itu tidak dijelaskan secara rinci bagaimana proses peralihan pegawai dan aset kepada lembaga baru tersebut.

Jadi, secara hukum kelembagaan, maka OB dan BP Kawasan adalah dua lembaga yang berbeda karena produk hukum yang menjadi dasar pembentukannya juga berbeda. BP. Batam dibentuk oleh Keppres sedangkan BP Batam dibentuk oleh UU.

Selain soal tumpang tindih kewenangan, sebab lain terjadinya tumpang tindih RT/RW antara pemprov dan pemkab/pemkot adalah tidak adanya koordinasi perencanaan. Lemahnya koordinasi ini terkaiat dengan kuatnya ego-sektoral sehingga pemprov memiliki perencanaan tersendiri, demikian juga kabupaten/kota. Akibat kondisi tumpang tindih RT/RW antara pemprov dan kabupaten/kota hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok yang mengail di air keruh. Sementara masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan disamping pemprov maupun pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Fenomena tumpang tindih kewenangan itu begitu nyata dimana-mana ketika UU Nomor 22 Tahun 1999 masih berlaku, dan meskipun sekarang telah diperbarui oleh UU Nomor 32 tahun 2004 namun perbaikan yang dapat dilakukan tidak banyak.

Fenomena tumpang tindih kewenangan masih saja mencuat dan memakan waktu lama untuk mengatasinya, lagi-lagi karena masing-masing daerah otonom sama-sama merasa berwenang dan tidak ada ketegasan siapa yang paling berwenang atas yang lain dan harus diikuti. Akibatnya pelaksanaan rencana tindak setiap daerah tidak menghasilkan pola dan struktur tata ruang kawasanyang optimal, sehingga keberadaannya tidak mampu mengantisipasi kebutuhan masyarakat yang berkembang secara dimanis.

(36)

Dengan mempelajari beberapa permasalahan yang timbul akibat adanya dualisme pemerintahan di Kota Batam, maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri perlu segera membuat rencana untuk mensinergikan peranan Otorita Batam dengan Pemko Batam. Masing-masing pihak perlu menyamakan misi bahwa peranan utama lembaga pemerintahan adalah untuk melayani kepentingan masyarakatnya. Dengan demikian, apapun peranan yang menjadi wewenang masing-masing pihak harus berorientasi untuk mempermudah dan memperlancar kepentingan publik.

Sebagai lembaga yang berpengalaman selama ± 35 tahun dalam mengelola kota, Otorita Batam seharusnya mempertimbangkan fakta atas kewenangan otonomi yang dimiliki oleh Pemko Batam, sehingga dengan kesadaran penuh Otorita hanya mengambil peran yang benar-benar spesifik yang belum mampu ditangani oleh Pemko Batam.

Dan untuk mewujudkan kepastian hukum di Kota Batam, BP Batam untuk sadar diri dan sadar posisi, dan kami memberikan 2 opsi kepada BP Batam, yaitu : 1. Melompat dengan indah, atau

2. Dilompatkan dengan indah

Adanya otonomi daerah pada tahun 1999 menimbulkan masalah baru yaitu dualism kewenangan pengelolaan Batam dan pelayanan publik. Pada masa sebelum otonomi dareah, wewenang pengembangan Batam dipegang oleh Otorita Batam dimana hampir seluruh proses pemerintahan dan pelayanan publik disamping pembangunan sarana ekonomi berada di tangan Otorita Batam. Dengan adanya otonomi daerah, ada insitusi otonomi baru yang memiliki kewenangan untuk mengatur berbagai bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan pertahanan keamanan, yaitu pemerintah kota Batam. Otorita Batam, sebagai wakil pemerintah pusat di di Kota Batam, tidak direpresentasikan di dalam UU No.22 tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004, sehingga menurut peraturan tersebut kewenangannya juga dialihkan kepada pemerintah daerah kota Batam.

(37)

mengikutsertakan Otorita Batam. Dualisme kewenangan di Kota Batam membawa berbagai dampak buruk terhadap iklim usaha di Batam.

Adanya tumpang tindih dalam pelaksanaan beberapa kewenangan yang berakibat menimbulkan banyak sekali permasalahan dalam pengembangan kota, maka kami menyimpulkan bahwa dualisme pemerintahan di Kota Batam menimbulkan konflik vertical dan horizontal, seperti :

1. Konflik dalam Perencanaan dan pengendalian pembangunan yang dikarenakan Izin Prinsip atau Fatwa Planologi atau penggunaan lahan diterbitkan oleh Otorita, sedangkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) diterbitkan oleh Pemko Batam. Dengan kondisi ini, maka peran Pemko Batam sebagai pemegang otoritas menyeluruh dalam pengendalian pembangunan tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya karena Pemko hanya bisa mengendalikan tertib bangunannya saja

2. Konflik dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang “Penataan Ruang”, maka Pemerintah Kota memiliki kewajiban untuk menyusun Rencana Penataan Ruang di wilayahnya masing-masing. Pemko Batam telah melaksanakan kewajibannya dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) namun sekali lagi Pemko tidak memiliki kewenangan dalam pengawasan tata ruang di wilayah Kota Batam karena hal ini terkait dengan kewenangan pemberian izin penggunaan lahan yang hingga saat ini masih dipegang oleh Otorita Batam. Apabila konflik kewenangan ini tidak segera diselesaikan maka akan membawa dampak yang amat serius bagi keseimbangan tata guna lahan kota Batam yang notabene sangat terbatas.

3. Konflik dalam Penyediaan sarana dan prasarana umum. Perlu pembagian kewenangan yang tegas serta terperinci antara pihak Pemko dan Otorita di dalam penetapan jenis sarana dan prasarana umum yang menjadi kewajiban masing-masing. Hal ini untuk menjamin kepentingan masyarakat yang berhak atas fasilitas tersebut

(38)

lingkungan akibat pembangunan yang direncanakannya melekat pada perizinan prinsip/fatwa planologi yang diterbitkan oleh pihak Otorita. Dengan demikian Pemko tidak memiliki otoritas untuk mengendalikan lingkungan. Saat ini telah terjadi banyak sekali kegiatan pemotongan bukit-bukit dan reklamasi pantai yang tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan.

5. Konflik dalam Pelayanan pertanahan. Salah satu masalah yang muncul akibat konflik ini adalah adanya dua jenis pajak tanah yang dibebankan kepada masyarakat, yaitu berupa pembayaran Pajak Bumu dan Banguna (PBB) dan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

6. Konflik dalam Pelayanan administrasi penanaman modal. Pelayanan administrasi penanaman modal adalah segala perizinan dan retribusi yang menyangkut investasi, baik untuk industri maupun bidang lain. Hingga saat ini otoritas kewenangan ini ada di pihak Otorita, yang merupakan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat.

Dengan demikian dampak ekonomi atas banyaknya investasi yang ada di Kota Batam tidak dapat dinikmati oleh masyarakat setempat, karena pendapatan atas pajak investasi tersebut hanya sedikit sekali yang menjadi hak dari Pemko.

(39)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik kesimpulan, antara lain:

(40)

Pendekatan yang selama ini diadopsi, rekonsiliasi antara Otorita Batam dan Pemerintah Kota, bukan merupakan solusi yang tepat. BP. Batam adalah institusi yang dibuat oleh pemerintah pusat dalam konteks sebelum adanya otonomi daerah, legitimasi badan tersebut pada saat ini tidak terlalu kuat. Semestinya Pemerintah Pusat mendudukan soal pengelolaan Batam dengan Pemerintah Daerah dan bersama-sama menentukan arah Batam selanjutnya. Kedua, berkaitan dengan pengelolaan kawasan, urusan keuangan merupakan hal yang sangat krusial ditentukan di awal pembentukan kawasan ini. Pemerintah Pusat harus mendudukan persoalan keuangan ini dengan pemerintah daerah, misalnya mengenai dana pembangunan Batam. Ketiga, belajar dari kebijakan yang berubah-ubah dan implementasi yang tidak konsisten, maka beberapa hal perlu diadakan supaya implementasi pembentukan kawasan ekonomi khusus ini berjalan sesuai rencana: managemen pengelolaan kawasan yang berbasis kinerja, transparansi pengelolaan kawasan, pengawas (watch-dog) yang aktif mengkritisi perkembangan pembangunan kawasan

4.2. Saran

Dari berbagai pihak telah dapat diperoleh informasi mengenai Hubungan Badan Pengusahaan Dan Pemerintah Kota Batam Dalam Pengelolaan Pemerintahan di Batam, beberapa saran dan rekomendasi bagi kelangsungan pemerintahan di Batam dan BP. Batam, sebagai berikut:

(41)
(42)

BAB II

DESKRIPSI DAN LOKASI HASIL PENELITIAN

2.1.Sejarah Singkat Kota Batam

Sebelum menjadi daerah otonom, Kotamadya Batam merupakan Kotamadya ke 2 (dua) di Provinsi Riau yang pertama Kotamadya Batam pada mulanya merupakan suatu Wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Batam yang termasuk dalam Wilayah Administrasi Kabupaten Tingkat II Kepulauan Riau. Batam adalah nama sebuah pulau terbesar di daerah ini, tetapi tidak jelas diketahui dari mana literatur sejarah masa lampau diwaktu Johor dan Riau masih merupakan Kerajaan Melayu.

Batam merupakan salah satu pulau yang berada di antara perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Tidak ada literatur yang dapat menjadi rujukan dan mana nama Batam itu diambil, yang jelas Pulau Batam merupakan sebuah pulau besar dan 329 pulau yang ada di wilayah Kota Batam. Satu-satunya sumber yang dengan jelas menyebutkan nama Batam dan masih dapat dijumpai sampai saat mi adalah Traktat London (1824). Penduduk asli Kota Batam diperkirakan adalah orang-orang Melayu yang dikenal dengan sebutan Orang Selat atau Orang Laut.

Penduduk ini paling tidak telah menempati wilayah itu sejak zaman kerajaan Tumasik (sekarang Singapura) dipenghujung tahun 1300 atau awal abad ke-14. Malahan dan catatan lainnya, kemungkinan Pulau Batam telah didiami oleh orang laut sejak tahun 231 M yang di zaman Singapura disebut Pulau Ujung. Pada masa jayanya Kerajaan Malaka, Pulau Batam berada di bawah kekuasaan Laksamana Hang Tuah. Setelah Malaka jatuh, kekuasaan atas kawasan Pulau Batam dipegang oleh Laksamana Hang Nadim yang berkedudukan di Bentan (sekarang P. Bintan). Ketika Hang Nadim menemui ajalnya, pulau ini berada di bawah kekuasaan Sultan Johor sampai pada pertengahan abad ke.18.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, Teuku Umar berpendapat bahwa untuk memperbaiki nasib rakyat yang sangat menderita agar dapat bekerja sebagaimana biasanya dan para petani dapat

Pemerintah membebaskan siapa saja untuk menggandakan buku-buku tersebut sepanjang harga jualnya tidak melebihi harga eceran tertinggi (HET), yang ditetapkan oleh

Kurang lebih 10% pasien dengan trauma tulang servikal mengalami fraktur kolumna vertebralis kedua yang tidak berhubungan.. Menyingkirkan adanya trauma spinal pada pasien

Sistem Informasi Persediaan Obat Menggunakan Hypertext Prepocessor (PHP)n dan Database Mysql Pada Apotik Harapan Mulya. Ade Dyah Heryani,

1) Perbuatan manusia, yaitu perbuatan dalam arti luas, artinya tidak berbuat yang termasuk perbuatan dan dilakukan oleh manusia. dalam artian bahwa sesuatu akan

TBS yang di pasang di Desa Bener kurang efektif dikarenakan oleh beberapa faktor diantaranya pola tanam yang tidak serempak menjadikan tanaman perangkap yang

Pada ketinggian 8 sampai dengan 20 km di atas permukaan bumi (lapisan stratosfer bawah atau tropopause; batas antara lapisan troposfer dengan stratosfer) molekul ozon dirusak

Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan