• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelepasan kalium terfiksasi dengan penambahan asam oksalat dan kation untuk meningkatkan kalium tersedia bagi tanaman pada tanah tanah yang didominasi mineral liat smektif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelepasan kalium terfiksasi dengan penambahan asam oksalat dan kation untuk meningkatkan kalium tersedia bagi tanaman pada tanah tanah yang didominasi mineral liat smektif"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

DEDI NURSYAMSI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

PELEPASAN KALIUM TERFIKSASI DENGAN PENAMBAHAN

ASAM OKSALAT DAN KATION UNTUK MENINGKATKAN

KALIUM TERSEDIA BAGI TANAMAN PADA TANAH-TANAH

(2)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul ”Pelepasan Kalium

Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan

Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat

Smektit” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan pengarahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua data dan informasi yang digunakan dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2008

(3)

ABSTRACT

DEDI NURSYAMSI. Release of fixed potassium by adding oxalic acid and cations to increase available potassium for plant growth on smectitic soils (under supervision of KOMARUDDIN IDRIS as chairman, and SUPIANDI SABIHAM, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, and AGUS SOFYAN as members of the committee).

Research aimed to study the role of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ in increasing available K in smectitic soils for maize (Zea mays, L.) were conducted in Laboratory of Soil Science, Kyoto University, Laboratory of Research and Soil Test, and Green House of Indonesian Soil Research Institute, Bogor. The experiments used 91 of composite soil

samples taken from Java that represented Inceptisols, Vertisols, as well as Alfisols. Four bulk soil samples taken from Jonggol, Bogor (Typic Hapludalfs), Sidareja, Cilacap

(Chromic Endoaquerts), Padas, Ngawi (Typic Endoaquerts), and Todanan, Blora (Typic Haplustalfs) were also used in the experiments. The results showed that most of K in the smectitic soils was in non-exchangeable form, thus it was not available for plant growth immediately. Clay, organic-C, and smectite content as well as CEC significantly affected on availability of soil K, where the higher the variables the higher the potential availability of soil K for plant growth. Oxalic acid was found out as dominant organic acid excreted from maize roots, it was about 3.15 – 5.93 mg/g DW. Among the cations, soil buffering capacity and maximum sorption were in order of Fe3+ > NH4+ = Na+, while bound energy constant was in order of Na+ > Fe3+ > NH

4+. Among the soils, the soil buffering capacity and maximum sorption on the cations was in order of Vertisols > Alfisols. Oxalic acid, Na+, NH

(4)

RINGKASAN

DEDI NURSYAMSI. Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit (Dibawah bimbingan KOMARUDDIN IDRIS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, dan SUPIANDI SABIHAM, DJUNAEDI ABDUL RACHIM, dan AGUS SOFYAN sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah ini umumnya meliputi tanah Vertisol (Endoakuert, Khromudert, dan Khromustert, dan Hapludert Tipik), sebagian Inceptisol (Endoaquept dan Eutrudept Vertik), dan sebagian Alfisol (Hapludalf dan Haplustalf Vertik) yang penyebarannya cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2.12 juta ha, masing-masing tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok). Walaupun kadar K total tanah ini tinggi tapi ketersediaan K bagi tanaman sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit yang dominan di tanah tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga ketersediaannya meningkat bagi tanaman.

Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari peranan asam oksalat, Na+, NH 4+, dan Fe3+ dalam meningkatkan ketersediaan K di tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit untuk jagung (Zea mays, L.) telah dilakukan di Laboratory of Soil Science, Kyoto University dan Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah serta Rumah Kaca, Balai Penelitian Tanah, Bogor. Penelitian menggunakan 91 contoh tanah komposit yang diambil dari Jawa dan mewakili tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol serta 4 contoh tanah bulk lapisan atas (0-20 cm) yang diambil dari Jonggol, Bogor (Hapludalf Tipik); Sidareja, Cilacap (Endoakuert Kromik); Padas, Ngawi (Endoaquert Tipik); dan Todanan, Blora (Haplustalf Tipik).

(5)
(6)

@Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(7)

DEDI NURSYAMSI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

PELEPASAN KALIUM TERFIKSASI DENGAN PENAMBAHAN

ASAM OKSALAT DAN KATION UNTUK MENINGKATKAN

KALIUM TERSEDIA BAGI TANAMAN PADA TANAH-TANAH

(8)

Judul Penelitian : Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit

Nama Mahasiswa : Dedi Nursyamsi No. Reg. Pokok : A 261024011 Program Studi : Ilmu Tanah

DISETUJUI Komisi Pembimbing:

Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS. Ketua

Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr. Anggota

Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS

Anggota

Dr. Ir. Agus Sofyan, MS Anggota

DIKETAHUI:

Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Atang Sutandi, MS Tanggal Ujian: 17 April 2008

(9)

PRAKATA

Penulis mengucapkan puji syukur ke hadlirat Alloh SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan.

Disertasi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian studi pada program doktor Program Studi Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak perkuliahan, penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi, penulis mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini disampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ir. Komaruddin Idris, MS selaku ketua komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan khususnya dalam penyusunan berbagai prosedur dalam percobaan.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, MAgr selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan dan arahan terutama dalam penyusunan kerangka pemikiran penelitian ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Djunaedi Abdul Rachim, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala saran-sarannya terutama dalam pemilihan lokasi penelitian dan pengklasifikasian tanah.

4. Bapak Dr. Ir. Agus Sofyan, MS selaku anggota komisi pembimbing atas segala bantuan dan saran-sarannya terutama dalam pemilihan tema pemelitian.

5. Bapak Dr. Istiqlal Amien, MSc APU, Bapak Dr. Ir. Iskandar, Ibu Dr. Ir. Sri Djuniwati MSc selaku penguji dari luar komisi atas segala saran dan perbaikannya. 6. Ka. Badan Litbang Pertanian Bapak Dr. Achmad Suryana, Ka. BB Litbang

Sumberdaya Lahan Pertanian Bapak Prof. Dr. Irsal Las, dan Ka. Balittanah Bapak Dr. Achmad Rachman, dan Ka. Kelti Kesuburan Tanah Ibu Dr. Diah Setyorini yang telah memberi izin belajar, membantu dana, dan memberi berbagai fasilitas untuk kelancaran penelitian.

(10)

Ir. Mas Teddy Sutriadi, Ibu Mindawati, Ibu Sutisni SSi, Bapak Noto Prasodjo, Bapak Agus Sudaryanto, dan Bapak Endang Hidayat, dan lain-lain yang telah membantu koleksi referensi, analisis data, pengumpulan data, penyusunan disertasi, dan lain-lain.

8. Para pengajar, petugas administrasi, laboran, dan petugas pendukung lainnya di Program Studi Ilmu Tanah yang telah mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan program S3 ini. Demikian pula kepada teman-teman mahasiswa PS Tanah yang telah mendukung dan banyak membantu penulis sejak melaksanakan perkuliahan, penelitian, dan penulisan disertasi ini.

9. Kedua orang tua, Mamah dan Apa atas segala dorongan, nasehat dan doanya kepada pemulis sehingga penulis akhirnya mampu menyelesaikan studi ini.

10.Istri dan kedua anakku tercinta yang selalu tulus ikhlas mendampingi penulis dalam segala suka dan duka.

11.Semua teman-teman di BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian dan IPB yang banyak membantu penulis selama studi.

Akhirnya penulis berharap karya tulis ini bermanfaat khususnya bagi yang membutuhkan dan umumnya bagi pembangunan pertanian di tanah air.

Bogor, Mei 2008

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 23 Juni 1964 dari seorang ibu yang bernama Hj. Masadah Permanawati dengan ayah yang bernama H. Iing Nurdin Affandi. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA semuanya di Ciamis dan pada tahun 1983 melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Proyek Perintis II. Pada tahun 1987 penulis menyelesaikan program S1 di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1998 penulis mendapat kesempatan melanjutkan program S2 di Hokkaido University, Japan dengan biaya dari STAID-BPPT dan lulus pada tahun 2000. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan studi program S3 di PS Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sejak tahun 1989 hingga saat ini, penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

(12)

DAFTAR ISI

2.1 Potensi dan Karakteristik Tanah yang Didominasi Smektit ... 8

(13)

III. KORELASI ANTARA FAKTOR TANAH DENGAN KETERSEDIAAN K

3.4 Hasil dan Pembahasan... 41

3.5 Kesimpulan ... 50

IV. PENGARUH PEMBERIAN KALIUM, VARIETAS, DAN UMUR TANAMAN TERHADAP EKSUDAT ASAM ORGANIK DARI AKAR, SERAPAN HARA, DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays, L.) ... 51

4.1 Rasional ... 51

4.2 Tujuan ... 51

4.3Bahan dan Metode ... 52

4.4Hasil dan Pembahasan ... 54

4.5Kesimpulan ... 58

5.4 Hasil dan Pembahasan... 63

5.5 Kesimpulan ... 67

VI. PENGARUH ASAM OKSALAT, Na+, NH4+, DAN Fe3+ TERHADAP K TERFIKSASI, JARAK BASAL SMEKTIT, KETERSEDIAAN K, SERAPAN N, P, DAN K, SERTA PERTUMBUHAN JAGUNG PADA TANAH-TANAH YANG DIDOMINASI SMEKTIT ... 68

6.1Rasional ... 68

6.2Tujuan ... 68

6.3Bahan dan Metode ... 69

6.4Hasil dan Pembahasan ... 75

(14)

VII. PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN UMUM SERTA REKOMENDASI... 90

7.1 Pembahasan ... 90

7.2 Kesimpulan ... 106

7.3 Rekomendasi ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108

(15)

DAFTAR TABEL

Hal. Tabel 1. Sebaran Contoh Tanah yang Diambil dari Jawa ... 36 Tabel 2. Kisaran Karakteristik Tanah Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol,

dan Alfisol dari Jawa ... 39 Tabel 3. Hasil Analisis Mineral Liat Kualitatif terhadap Lapisan Atas Tanah-tanah

yang Diambil dari Jawa dengan Metode XRD ... 41 Tabel 4. Model Persamaan Kurva Jerapan: Y = ax2- + bx + c untuk 0 < x < xmak,

Y = Jerapan Maksimum untuk x > xmak, dan Daya Sangga K Tanah pada I = 6 mg/I ... 45 Tabel 5. Kisaran Variabel Jerapan K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol,

dan Alfisol dari Jawa ... 46 Tabel 6. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa

Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol ... 47 Tabel 7. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa

Peubah Ketersediaan K Tanah Vertisol ... 47 Tabel 8. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa

Peubah Ketersediaan K Tanah Alfisol ... 48 Tabel 9. Matrik Korelasi antara Beberapa Sifat Tanah dengan Beberapa

Peubah Ketersediaan K Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol ... 49 Tabel 10. Kombinasi Perlakuan K dan Beberapa Varietas Jagung ... 52 Tabel 11. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Serapan Hara

N, P, dan K Tanaman Jagung ... 55 Tabel 12. Pengaruh Pemberian K dan Varietas terhadap Bobot Kering Akar

dan Brangkasan Tanaman Jagung ... 56 Tabel 13. Pengaruh Pemberian K, Varietas, dan Umur Pertumbuhan terhadap

Eksudat Asam Organik dari Akar Jagung ... 57 Tabel 14. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Deskripsi Profil di Daerah Penelitian ... 61 Tabel 15. Jerapan Maksimum dan Konstanta Energi Ikatan Na+, NH4+, dan Fe3+

pada Tanah Alfisol dan Vertisol ... 67 Tabel 16. Takaran Na+, NH

4+, dan Fe3+ pada Tiap Jenis Tanah ... 72 Tabel 17. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Pelepasan K

(16)

Tabel 18. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Pelepasan K

Terfiksasi Liat pada Tanah Vertisol ... 76 Tabel 19. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Jarak Basal Mineral

Liat Smektit pada Tanah Alfisol dan Vertisol ... 80 Tabel 20. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Bentuk K1, Kdd, dan

Ktdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Alfisol ... 82 Tabel 21. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Bentuk K1, Kdd, dan Ktdd Setelah Inkubasi 3 Bulan pada Vertisol ... 82 Tabel 22. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Konsentrasi N, P,

dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol ... 85 Tabel 23. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Konsentrasi N, P, dan K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol ... 85 Tabel 24. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Serapan N, P, dan

K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Alfisol ... 87 Tabel 25. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Serapan N, P, dan

K Tanaman Jagung Umur 4 MST pada Vertisol ... 87 Tabel 26. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Produksi

Brangkasan Kering Tanaman Jagung Umur 4 MST ... 88 Tabel 27. Prediksi Laju Pengeluaran dan Jumlah Eksudat Akar Beberapa Varietas

Jagung di Rizosfer Selama Satu Musim Tanam ... 97 Tabel 28. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

(17)

DAFTAR GAMBAR

Hal. Gambar 1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian ... 5 Gambar 2. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-Bentuk K Tanah ... 14 Gambar 3. Pelapukan Dinamik dari Mineral Primer ... 16 Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi:

Planar (p), Edge (e), Interlayer (i), Wedge (w), Crack (c) Dan Step (s) ... 17 Gambar 5. Keseimbangan dan Siklus K di dalam Tanah ... 27 Gambar 6. Komposisi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol,

Vertisol, dan Alfisol dari Jawa ... 42 Gambar 7. Proporsi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol,

Vertisol, dan Alfisol dari Jawa ... 43 Gambar 8. Kurva Jerapan K Lapisan Atas Tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol

dari Jawa ... 44 Gambar 9. Kurva Jerapan Na+, NH

4+, dan Fe3+ pada Tanah Alfisol dan Vertisol ... 64 Gambar 10. Kurva Hubungan antara C dengan C/(X/M) pada Tanah Alfisol dan

Vertisol ... 66 Gambar 11. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Jarak Basal

Smektit pada Alfisol ... 78 Gambar 12. Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Jarak Basal

Smektit pada Vertisol ... 79 Gambar 13. Pengaruh Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K

Tanah Alfisol ... 83 Gambar 14. Pengaruh Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Proporsi Bentuk-bentuk K

Tanah Vertisol ... 83 Gambar 15. Hubungan antara Kadar C-organik dan Smektit dengan KTK Tanah ... 91

(18)
(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Hal. Lampiran 1. Difraktogram Sinar X dari Mineral Liat Tanah Inceptisol, Vertisol, dan

Alfisol ... 114 Lampiran 2. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap

Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung ... 115 Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap

Bobot Kering Akar dan Brangkasan Tanaman Jagung ... 115 Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Varietas dan Pemberian K terhadap

Eksudat Asam Organik dari Akar Tanaman Jagung ... 115 Lampiran 5. Sifat-sifat Morfologi Tanah-tanah di Lokasi Percobaan Laboratorium

dan Rumah Kaca ... 116 Lampiran 6. Rata-rata Curah Hujan Bulanan (1971-2000) di Lokasi Pengambilan

Contoh Tanah ... 120 Lampiran 7. Karakteristik Tanah di Jonggol, Bogor (P1), Sideraja, Cilacap (P2),

Padas, Ngawi (P3) dan Todanan, Blora (P4) ... 121 Lampiran 8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+

Terhadap Bentuk-bentuk K Tanah Alfisol ... 122 Lampiran 9. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+

terhadap Bentuk-bentuk K Tanah Vertisol ... 122 Lampiran 10. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung di Alfisol ... 122 Lampiran 11. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+

terhadap Serapan N, P, dan K Tanaman Jagung di Vertisol ... 122 Lampiran 12. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH

4+, dan Fe3+ terhadap Brangkasan Kering Tanaman Jagung di Alfisol... 123 Lampiran 13. Analisis Sidik Ragam Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kalium merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak setelah N dan P. Umumnya K diserap tanaman dalam bentuk K larut (soluble K) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (exchangeable K) dan K tidak dapat dipertukarkan (non-exchangeable K). Kalium tidak dapat dipertukarkan meliputi K terfiksasi dan K struktural (Havlin et al., 1999). Bentuk K larut dan dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia sehingga sering disebut sebagai K tersedia atau K aktual. Sementara itu bentuk K tidak dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang lambat tersedia sehingga disebut sebagai K potensial. Tanaman akan mengalami kekahatan apabila K aktual di dalam tanah saat tanaman tumbuh lebih rendah dari batas kritisnya (K yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya).

(21)

Ketersediaan K di dalam tanah tergantung kepada proses jerapan (sorption) dan fiksasi (fixation) serta desorpsi (desorption) dan pelepasan (release) K dalam tanah yang dikendalikan terutama oleh jenis dan jumlah mineral liat (Brady, 1984). Mineral liat tipe 2:1 mempunyai jerapan (baik jumlah maupun kekuatannya) terhadap K dan dapat melepaskan K paling tinggi dibandingkan dengan mineral liat lainnya seperti liat tipe 2:1:1, 1:1, oksida, dan alofan. Diantara mineral liat tipe 2:1 ternyata beidelit (kelompok smektit) mempunyai kapasitas fiksasi paling tinggi. Penelitian yang dilaksanakan di tanah Vertisol di India yang didominasi oleh mineral liat smektit menunjukkan bahwa beidelit mempunyai fiksasi K paling tinggi dibandingkan montmorilonit, mika, illit, dan vermikulit (Murthy et al., 1987). Selanjutnya pelepasan K dari mineral mika berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah phlogopit > biotit > muskovit (Singh dan Pasricha, 1987).

Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal disertai dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah ini dapat mengembang (swelling) pada saat basah dan di saat kering tanah mengkerut (shrinking) sehingga terjadi retakan. Tanah yang mempunyai sifat demikian umumnya meliputi tanah Vertisol dan tanah yang mempunyai sifat vertik lainnya (sebagian Inceptisol dan Alfisol). Tanah-tanah tersebut mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2.12 juta ha (Vertisol sekitar 2.12 juta ha ditambah sebagian Inceptisol dan Alfisol) yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000).

(22)

tanah-tanah Vertisol mempunyai kapasitas fiksasi K (K-fixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK) yang sangat tinggi (Ghousikar dan Kendre, 1987). Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga ketersediaannya meningkat bagi tanaman.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik dan sejumlah kation (NH4+, Na+, dan lain-lain) mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan K tidak dapat dipertukarkan (Ktdd) menjadi K dapat dipertukarkan (Kdd) dan K larut (Kl) pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur, dimana asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu dan Luo, 1993). Song dan Huang (1988) juga melaporkan bahwa Ktdd dari struktur mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan sitrat.

Asam-asam organik, seperti: oksalat, sitrat, malonat, fumarat, malat, suksinat, benzoat, tartarat dan lain-lain merupakan komponen penting dari eksudat akar tanaman yang dikeluarkan di sekitar rhizosphere. Akar tanaman jagung yang dipelihara dalam larutan hara (solution culture) steril dapat mengeluarkan asam oksalat, fumarat, dan sitrat berturut-turut sekitar 3100, 4710, dan 530 µg/g (Bolton et al., 1993). Selain itu asam-asam organik, terutama asam oksalat, malonat, dan fumarat juga banyak terdapat di dalam akar tanaman jagung, yaitu sekitar 3000 sampai dengan14000 nmol/g (Nursyamsi et al., 2002).

(23)

meningkatkan ketersedian K adalah Na+. Ion natrium dari natrium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia di tanah merah (Alfisol), hitam (Vertisol), dan aluvial (Inceptisol dan Alfisol) (Dhillon dan Dhillon, 1992). Selain itu Na juga dapat mengurangi sebagian kebutuhan pupuk K tanaman tebu pada tanah Vertisol di lahan perkebunan tebu Jawa Timur (Ismail, 1997).

Kerangka Pemikiran

Salah satu kendala utama pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit adalah kekahatan hara K karena K terfiksasi di ruang antar lapisan mineral tersebut. Asam organik yang dikeluarkan oleh akar tanaman berpotensi untuk melepaskan K terfiksasi sehingga menjadi tersedia bagi tanaman. Selain itu Na+, NH4+, dan Fe3+ yang berfungsi sebagai beneficial nutrient atau hara tanaman juga berpeluang melepaskan K terfiksasi menjadi tersedia karena memiliki radius hidrasi dan kekuatan jerapan lebih tinggi dibandingkan kation K.

(24)

varietas ini termasuk hibrida yang berpotensi hasil tinggi (11 ton biji kering/ha) dan sangat respon terhadap pemupukan (N, P, dan K).

Penelitian dilaksanakan melalui 4 tahap kegiatan, yaitu: (1) Penentuan lokasi pengambilan contoh tanah, (2) Pengambilan dan analisis contoh tanah, (3) Percobaan inkubasi di laboratorium, dan (4) Percobaan pot di rumah kaca, dimana keempat tahapan tersebut saling berkaitan satu sama lain. Selanjutnya penelitian ini dilaksanakan melalui empat rangkaian percobaan yang pelaksanaannya sesuai dengan diagram alir yang disajikan pada Gambar 1.

(25)

Tujuan Penelitian:

1. Mempelajari sifat-sifat tanah yang berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit.

2. Mempelajari pengaruh pemberian K, varietas, dan umur tanaman terhadap eksudat asam organik dari akar jagung.

3. Mempelajari jerapan Na+, NH4+, dan Fe3+ pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit.

4. Mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap pelepasan K terfiksasi dan jarak basal smektit, ketersediaan K, serapan N, P, dan K, serta pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit.

Hipotesis:

1. Pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit, semakin tinggi kadar liat, C-organik, dan KTK tanah, serta kadar mineral liat smektit maka potensi tanah untuk menyediakan K semakin tinggi pula.

2. Kekahatan K dapat menstimulir produksi eksudat asam organik dari akar. Varietas dan umur tanaman (fase pertumbuhan) berpengaruh terhadap komposisi dan produksi eksudat asam organik dari akar. Asam oksalat merupakan bagian penting dari eksudat akar tersebut.

3. Jerapan Fe3+ lebih tinggi daripada Na+ dan NH4+ pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit. Jerapan Na+, NH

(26)

4. Asam oksalat, Na+, NH

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Karakteristik Tanah yang Mengandung Smektit

Tanah-tanah yang mengandung mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan jika dibarengi dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Di lingkungan dengan iklim yang memiliki bulan-bulan kering nyata, tanah ini memiliki sifat vertik (verto = membalik), yaitu tanah yang dapat mengembang (swelling) pada saat basah dan mengkerut (shrinking) saat kering. Proses mengembang dan mengkerut erat kaitannya dengan kandungan mineral liat tipe 2:1 (smektit) yang tinggi di dalam tanah (Borchardt, 1989). Sejumlah kation, seperti K+, NH

4+, Na+, Ca2+, Mg2+, dan lain-lain dapat masuk ke dalam ruang antar lapisan liat tipe 2:1 saat kadar air tinggi (tanah mengembang). Sebaliknya bila kadar air turun maka air yang terdapat di dalam ruang antar lapisan akan keluar sehingga ruangan yang sebelumnya terisi air digantikan oleh udara, akibatnya tanah mengkerut dan terjadi retakan-retakan. Dengan demikian ciri utama untuk menduga keberadaan smektit di lapangan secara visual adalah adanya retakan-retakan tanah yang lebar di saat tanah kering atau pada musim kemarau.

(28)

yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Tanah ini termasuk tanah pertanian utama di Indonesia dan umumnya dimanfaatkan untuk padi sawah irigasi dan tadah hujan, palawija, kebun campuran, tebu, tembakau, kapas, kelapa dan hortikultura lainnya seperti mangga (Subagyo et al., 2000).

Karakteristik lain dari tanah tersebut diantaranya adalah reaksi tanah netral hingga alkalin (pH = 6,5 – 8,0). Karena kemasaman tanah rendah maka ketersediaan unsur hara mikro (Fe, Cu, Zn, dan Mn) umumnya rendah. Kadar bahan organik rendah hingga sedang, kadar K potensial, basa-basa (Ca dan Mg), dan kapasitas tukar kation umumnya tinggi (Subagyo et al., 2000). Kadar K potensial tanah ini umumnya tinggi tapi K aktualnya sering rendah sehingga tanaman mengalami kekahatan. Hal ini disebabkan karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Ghousikar dan Kendre (1987) mengemukakan bahwa tanah-tanah tersebut mempunyai kapasitas fiksasi K (K-fixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK) yang sangat tinggi. Dengan demikian maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga bentuk K cepat tersedia meningkat bagi tanaman.

(29)

Mineral Liat Smektit

Smektit adalah mineral liat tanah yang umum dijumpai di daerah temperate, iklim dingin, dan dijumpai pula di daerah tropik. Smektit terbentuk di tempat yang berdrainase buruk atau di area dengan tingkat pencucian terbatas karena rendahnya curah hujan, adanya lapisan kedap di dalam profil tanah, atau permukaan air tanah yang tinggi. Termasuk dalam grup smektit yang banyak dijumpai dalam tanah adalah montmorilonit, beidelit, dan nontronit (Allen dan Hajek, 1989). Di Indonesia mineral ini sangat dominan di tanah-tanah Vertisol dan Mollisol serta banyak pula dijumpai di tanah Inceptisol dan Alfisol. Sementara itu hektorit (kaya Li), saponit (Mg), saukonit (Zn) jarang dijumpai di dalam tanah.

Sifat mengembang-mengkerut dan muatan negatif yang tinggi menyebabkan mineral ini reaktif dalam lingkungan tanah. Di daerah dengan perbedaan iklim basah dan kering yang signifikan, proses mengembang dan mengkerut tanah terjadi sangat kentara. Selain dapat menjerap K+, Ca2+, Mg2+, dan kation lainnya yang diperlukan tanaman, smektit juga dapat menjerap senyawa organik, herbisida, dan pestisida (Borchardt, 1989).

(30)

Sifat mengembang dari smektit dipengaruhi oleh jerapan ion dan molekul di ruang antar lapisan smektit. Analisis dengan metode X-Ray Diffraction (XRD) menunjukkan bahwa puncak difraksi smektit muncul pada 1.5 nm pada perlakuan penjenuhan dengan Mg. Puncak difraksi meningkat menjadi 1.8 nm setelah perlakuan dengan Mg+gliserol. Puncak difraksi menurun hingga 1.25 nm setelah perlakuan penjenuhan dengan K dan menurun lagi hingga 1.0 nm setelah preparat dipanaskan hingga 110 oC. Kondisi smektit seperti yang dijelaskan di atas berpengaruh terhadap karakteristik kimia dan fisikanya yang akhirnya berpengaruh pula terhadap karakteristik tanah. Berikut ini karakteristik kimia dan fisika smektit dibahas seperti yang diuraikan oleh Borchardt (1989).

Karakteristik Kimia

Selain tanah yang banyak mengandung bahan organik, tanah yang banyak mengandung smektit juga memiliki kapasitas tukar kation yang cukup tinggi, yaitu sekitar 110 Cmol/kg atau berkisar antara 47 – 162 Cmol/kg (Alexiades dan Jackson, 1966). Sumber muatan negatif smektit berasal dari substitusi isomormik Al3+ terhadap Si4+ pada lempeng tetrahedral atau Mg2+ dan Fe2+ terhadap Al3+ atau Fe3+ pada lempeng oktahedral. Posisi-e (edge) dari struktur smektit juga dapat memberikan kontribusi muatan negatif walaupun dalam jumlah sedikit, yaitu hanya berkisar 1 – 5 Cmol/kg. Substitusi isomorfik pada posisi-i (interlayer) merupakan sumber muatan permanen (permanent charge), sedangkan muatan dari posisi-e termasuk muatan tergantung pH, yaitu muatan negatif meningkat seiiring dengan meningkatnya pH (pH dependent charge) (Borchardt, 1989).

(31)

Semakin tinggi valensi kation dan semakin kecil radius atom maka fiksasi smektit terhadap kation semakin tinggi.

Pertukaran anion pada smektit sangat rendah, yaitu < 5 Cmol/kg (Bingham et al., 1965). Anion yang memiliki ukuran yang sesuai dapat menggantikan ion OH- hanya pada posisi-e di struktur mineral. Hal inilah yang menyebabkan kapasitas tukar anion (KTA) smektit sangat rendah sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap jerapan anion. Tanah-tanah dengan kapasitas tukar anion tinggi umumnya memiliki polimer hidroksi-Al pada permukaan mineral, seperti mineral besi atau alumunium oksida. Kedua mineral tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap KTA yang signifikan.

Reaksi kinetik sangat penting dalam mengontrol hancuran terutama pada reaksi yang melibatkan smektit. Tingkat reaksi pertukaran antara H3O+ terjerap dengan kation-kation yang berada pada lempeng oktahedral dipengaruhi oleh jumlah Al3+ tetrahedral. Reaksi kinetik dari konversi Na montmorilonit ke arah Mg2+ dan Al3+ pada perlakuan pencucian dengan air bebas ion termasuk pertukaran yang cepat. Penggantion H3O+ oleh Mg2+ dan Al3+ dapat lepas dari lempeng oktahedral melalui hancuran montmorilonit yang berlangsung perlahan-lahan. Reaksi kinetik ini tergantung temperatur, dimana pada suhu 35 oC, kecepatan reaksi 3 – 5 kali lipat daripada suhu 25 oC (Borchardt, 1989).

(32)

Karakteristik Fisika

Meskipun mineral lain juga mempunyai sifat mengembang dan mengkerut dengan berubahnya kadar air, namun perubahan ini tidak seberapa dibandingkan dengan smektit. Smektit dapat menjerap H2O dalam jumlah yang banyak, yaitu beberapa kali bobotnya sendiri. Hal ini disebabkan karena smektit mempunyai ukuran partikel kecil, luas permukaan jerapan tinggi, dan struktur lapisan muatan negatif tinggi (Borchardt, 1989).

Sifat mengembang dan mengkerut ini berimbas terhadap karakteristik fisika tanah lainnya, seperti: hidrasi dan dehidrasi, expansi pada tanah-tanah berbahan smektit, dan stabilitas tanah. Jerapan air diantara lapisan smektit berkaitan erat dengan jarak basal smektit yang dapat diukur dengan metode XRD. Hidrasi H2O oleh kation yang dapat dipertukarkan membentuk lapisan pertama dengan energi ikatan yang tinggi. Lapisan berikutnya dijerap dengan energi yang lebih rendah. Hendricks et al. (1940) dalam Borchardt (1989) menyatakan bahwa H2O yang diikat pada permukaan komplek jerapan smektit berbentuk heksagonal.

(33)

Bentuk-bentuk K Tanah

(34)

K-Struktural

K-struktural dikenal sebagai K mineral, K tidak hancur, K alamiah, K matrix, atau K inert. Bentuk K ini mendekati jumlah K total dalam tanah dimana jumlahnya tergantung komposisi bahan induk dan tingkat perkembangan tanah (Sparks dan Huang, 1985). K struktural umumnya terselimuti struktur kristal dari mineral yang mengandung K tinggi seperti mika (biotit dan muskovit), feldspar (ortoklas dan mikroklin), dan gelas volkan baik yang masam maupun alkalin (Metson, 1968). Mineral-mineral tersebut umumnya ditemukan dalam fraksi kasar dalam tanah dan mempunyai tingkat hancuran yang terbatas selama perkembangan tanah, dimana tingkat hancuran meningkat dengan menurunnya ukuran partikel. Hancuran umumnya menghasilkan formasi dari liat silikat sekunder yang mungkin masih mengandung K-struktural. Tingkat ketersediaan K relatif untuk tanaman dari tinggi ke rendah adalah biotit > muskovit > ortoklas dan mikroklin. Sementara itu gelas volkan alkalin lebih cepat hancur dibandingkan gelas volkan masam (Metson, 1968).

(35)

Formasi mineral liat tidak selalu mengikuti tahapan seperti yang disajikan di Gambar 3, tergantung kondisi tanah dimana mineral primer tersebut berada. Bila Ca2+ dan Mg2+ menggantikan posisi kation K dalam mika maka smektit sangat mungkin terbentuk. Sebaliknya bila kondisi reaksi tanah masam maka vermikulit memiliki peluang paling besar untuk terbentuk.

K-Terfiksasi

K terfiksasi berada diantara lapisan mineral liat mika dimana posisi tersebut tidak memungkinkan terjadinya pertukaran dengan kation lain yang berada dalam larutan tanah. Beberapa jenis tapak jerapan K+ pada mineral liat silikat 2:1 disajikan pada Gambar 4. Posisi planar (posisi-p) mempunyai selektivitas terhadap K+ rendah, edge (posisi-e) dan wedge (posisi-w) medium, sedangkan interlayer (posisi-i), crack (posisi-c), dan step

(36)

(posisi-s) tinggi. Pada mineral liat tipe 2:1, K+ yang berada di posisi-w, e, s, dan c dapat disebut sebagai K-terfiksasi. Sementara itu pada mineral primer, K+ yang berada di posisi-i dposisi-isebut sebagaposisi-i K-struktural dposisi-imana bentuk K posisi-inposisi-i terposisi-ikat sangat kuat karena K berada dposisi-i bagian dalam struktur mineral. K-struktural tersebut dapat bergerak ke pool K-terfiksasi dengan berlangsungnya proses hancuran, sehingga pada mineral sekunder seperti ilit, vermikulit, dan smektit, K+ tersebut disebut sebagai K-terfiksasi.

Jumlah K-terfiksasi di dalam tanah tergantung kepada distribusi ukuran partikel, jenis dan jumlah mineral liat, dan penambahan atau pengurangan K dari mineral tersebut. Sementara itu penambahan K kedalam tanah yang banyak mengandung tapak antar lapisan K (vermikulit) menghasilkan jerapan K yang tinggi. Sebaliknya pengurangan K di dalam larutan tanah karena diserap oleh tanaman dan mikroba atau pencucian dapat menyebabkan terfiksasi lepas menjadi dapat dipertukarkan atau larut. Bentuk K-terfiksasi bersama-sama dengan K-struktural merupakan cadangan K utama di dalam Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi: planar

(37)

pedosphere atau sering disebut sebagai bentuk K-tidak dapat dipertukarkan. Bentuk lainnya adalah K-dapat dipertukarkan dan K-larut yang biasa disebut sebagai K-tersedia bagi tanaman. Perbedaan antara K-terfiksasi dengan K-struktural adalah pelepasan K dari K-terfiksasi dapat balik (reversible) sedangkan dari K-struktural tidak dapat balik (irreversible).

Pelepasan K dari pool K-tidak dapat dipertukarkan terjadi bila K-dapat dipertukarkan dan K-larut berkurang karena diserap tanaman atau tercuci (Sparks et al., 1980). Selain kemampuan tanaman yang berbeda dalam menyerap K dari larutan, karakteristik tanah seperti tekstur, struktur, dan pemadatan tanah juga berpengaruh terhadap pencucian K. Semua faktor yang berpengaruh terhadap kadar K dalam larutan tanah akan berpengaruh pula terhadap K-tidak dapat dipertukarkan.

Aktivitas bilologi tanah seperti cacing juga berpengaruh terhadap pelepasan tidak dapat dipertukarkan. Penelitian Basker et al. (1992) menunjukkan bahwa kadar K-dapat dipertukarkan meningkat akibat perlakuan cacing tanah. Hal ini berkaitan erat dengan proses ingesti (ingestion) tanah oleh cacing pada tanah yang diberi perlakuan cacing (Basker et al., 1994).

Pelepasan K-tidak dapat dipertukarkan juga tergantung intensitas hancuran tanah. Menurut Metson (1960) laju maksimum pelepasan K terjadi saat fase terbentuknya ilit dimana saat itu jumlah K-terfiksasi tinggi sedangkan K-struktural rendah. Sebaliknya tanah-tanah yang mengandung feldspar dan gelas volkan tinggi dimana K terselimuti struktur mineral akan menyumbang K untuk tanaman hanya sedikit.

K-Dapat Dipertukarkan

(38)

merupakan sumber muatan tergantung pH (Kirkman et al., 1994). Meskipun jumlah tapak pertukaran yang disebabkan oleh substitusi isomorfik relatif konstan, tapi muatan negatif pada koloid humus dan posisi edge pada mineral liat amorf meningkat dengan meningkatnya pH karena disosiasi H+ dari grup asam lemah.

Jumlah K+ yang dijerap oleh mineral liat pada tapak pertukaran tergantung faktor kinetik dan termodinamik tanah. Selain itu juga tergantung afinitas tapak pertukaran terhadap K (kompleks permukaan koloid tanah) dan konsentrasi kation lain (terutama kation bervalensi dua seperti Ca2+) (Barber, 1984). Pertukaran K oleh Ca sering terjadi terutama pada tanah-tanah yang dipupuk Ca tinggi baik dengan kapur maupun TSP/SP-36.

Umumnya kadar Kdd kurang dari 2% dari K total tanah atau berkisar antara 10-400 ppm (Schroeder, 1974). Namun demikian tanah-tanah yang ditanami secara intensif mengandung Kdd yang bervariasi sekitar 1-5% dari total K tanah. Kadar K-struktural dan terfiksasi sangat tergantung kepada tingkat hancuran mineral liat primer dan sekunder, sedangkan Kdd berkaitan erat dengan jenis mineral liat dan jumlah muatan negatif. Sebagai contoh, tingkat Kdd pada tanah-tanah yang banyak mengandung alofan relatif rendah, sedangkan pada tanah-tanah yang banyak mengandung vermikulit atau mika relatif tinggi (Parfitt, 1992). Hancuran mika menghasilkan partikel berukuran kecil, peningkatan luas permukaan pertukaran, dan peningkatan muatan negatif. Hal tersebut menunjukkan bahwa tanah-tanah yang mengandung lebih banyak mineral liat smektit mempunyai Kdd lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung mineral liat interstratifikasi.

K-Larut

(39)

dalam larutan relatif sangat kecil dibandingkan K-total tanah dan besarnya tergantung daya sangga K dalam tanah. Kalium yang dijerap tanah berbahan induk alofan yang memiliki daya sangga rendah tidak segera dapat mengganti K larut. Sebaliknya tanah berbahan induk mika dan vermikulit dapat mempertahankan level K dalam larutan tanah dalam waktu yang relatif lama (Parfitt, 1992).

Ketersediaan dan Fiksasi K Tanah

Ketersediaan K Tanah

Diantara bentuk-bentuk K tanah, K-larut dan K-dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia, sedangkan K-tidak dapat dipertukarkan sangat lambat tersedia bagi tanaman. Laju konversi bentuk K-struktural menjadi bentuk larut sangat lambat, bentuk K-terfiksasi memerlukan sekitar beberapa minggu, sedangkan K-dapat dipertukarkan berlangsung cepat atau hanya beberapa jam saja (Haby et al., 1990). Bila batasan K tersedia adalah K yang dapat dimanfaatkan tanaman, maka sesungguhnya seluruh bentuk K dapat tersedia untuk tanaman. Ketersediaan K menggambarkan situasi yang komplek dan kondisinya tergantung faktor-faktor tanah dan karakteristik tanaman (Grimme, 1985).

(40)

tertentu. Namun demikian K terekstrak mungkin berbeda dengan yang diserap tanaman karena ada faktor daya sangga tanah yang tidak tercerminkan dalam K yang terekstrak tersebut. Dengan memperhatikan performan tanaman, hal yang penting adalah bukan hanya jumlah total K yang dapat diserap tanaman, melainkan juga pelepasan K yang dapat mempertahankan konsentrasi K dalam larutan tanah. Pelepasan K ke dalam larutan dan pergerakan K+ ke zone perakaran harus mempunyai kecepatan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan mencegah gejala kekahatan tanaman terhadap K (Kirkman et al., 1994).

Tingkat pelepasan K ke dalam larutan tanah dipengaruhi oleh perubahan proses antara bentuk padat (mineral yang mengandung K) dan larut (fase larutan tanah). Difusi K+ tergantung kepada gradien konsentrasi K dalam larutan sehingga ketersediaan K merupakan fungsi dari flux K+ (aliran masa dan difusi) dimana larutan tanah dapat mempertahankan K untuk tanaman. Tingkat flux yang cukup tinggi dapat dicapai dan dipertahankan oleh kecukupan konsentrasi K dalam larutan yang berasal dari tingginya K-dapat dipertukarkan dan atau K-tidak K-dapat dipertukarkan atau oleh penambahan K dari pupuk.

(41)

Faktor-faktor Tanah yang Mempengaruhi Ketersediaan K

Secara garis besar Havlin et al. (1999) mengemukakan bahwa faktor-faktor tanah yang mempengaruhi ketersediaan K adalah: jenis dan jumlah mineral liat, kapasitas tukar kation, jumlah K dapat dipertukarkan, kapasitas fiksasi K, kadar air tanah, temperatur tanah, aerasi tanah, dan pH tanah. Tanah-tanah yang didominasi oleh mineral yang mengandung K tinggi mempunyai potensi menyediakan K tinggi pula. Bahan tanah yang mengandung mineral liat vermikulit, monmorilonit, atau ilit dapat menyediakan K lebih tinggi dibandingkan tanah-tanah yang mengandung kaolinit. Selain itu Haby et al. (1990) juga mengemukakan bahwa faktor pengendali difusi K+ (suhu, kadar air, tortuosity, dan konsentrasi K larut) dan Kdd (jumlah dan proporsi K terhadap kation lain, daya sangga K tanah, dan tingkat pelepasan K dari fase padatan ke dalam larutan) juga berpengaruh terhadap ketersediaan K. Demikian pula parameter larutan tanah dan penggunaan air tanaman yang berkaitan dengan aliran masa mempengaruhi ketersediaan K untuk tanaman.

Tanah-tanah yang bertekstur halus umumnya mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) dan kemampuan memegang K tinggi. Namun demikian tingginya Kdd di dalam tanah tidak selalu dapat mempertahankan K dalam larutan. Kenyataannya kadar K-larut dalam tanah yang bertekstur halus bisa lebih rendah dibandingkan dengan dalam tanah yang bertekstur lebih kasar (Kirkman et al., 1994).

(42)

Secara umum jumlah K yang diperlukan untuk meningkatkan K-dapat dipertukarkan 1 ppm berkisar antara 45-2025 kg/ha tergantung jenis tanah (Havlin et al., 1999). Perbedaan yang cukup signifikan berkaitan dengan variasi kapasitas fiksasi K diantara tanah. Tentu saja sebagain K yang terfiksasi ini dapat lepas untuk tanaman, namun demikian pelepasannya terlalu lambat untuk mendukung produksi tanaman yang tinggi.

Dengan kadar air tanah rendah maka selimut air di sekeliling partikel tanah tipis dan tidak kontinyu. Hal ini menyebabkan terhambatnya proses difusi K menuju akar tanaman. Peningkatan kadar air tanah akan mempercepat proses difusi K tersebut. Kadar air tanah berpengaruh signifikan terhadap transpor K di dalam tanah. Peningkatan kadar air tanah dari 10 menjadi 28% meningkatkan total transpor K lebih dari 175% (Havlin et al., 1999).

Pengaruh temperatur tanah terhadap serapan K menyebabkan perubahan dalam ketersediaan K tanah dan aktivitas akar. Penurunan temperatur tanah menurunkan proses-proses tanaman seperti pertumbuhan dan serapan K tanaman. Misalnya influx K menuju akar jagung pada suhu 15 oC hanya sekitar setengah dari influx K pada suhu 29 oC. Pada saat yang sama, panjang akar meningkat 8 kali lebih tinggi pada suhu 29 oC dibandingkan pada suhu 15 oC selama 6 hari pertumbuhan. Sementara itu konsentrasi K di bagian atas tanaman 8.1% pada suhu 29 oC dan hanya 3.7% pada suhu 15 oC (Kirkman et al., 1994).

(43)

Pada tanah masam jumlah unsur beracun seperti Al dan Mn tinggi sehingga mengakibatkan serapan K dan hara lainnya oleh akar tanaman terhambat. Pengapuran dapat mengurangi sifat racun Al karena Al3+ mengendap menjadi Al(OH)3. Akibatnya komplek jerapan yang tadinya ditempati oleh Al3+ dapat ditempati oleh K+. Namun demikian bila pengapuran berlebihan maka komplek jerapan akan dipenuhi oleh Ca2+ dan Mg2+ akibatnya K+ terdepak sehingga pencucian K meningkat. Dengan demikian maka kondisi reaksi tanah terlalu rendah (masam) dan terlalu tinggi (alkalin) tidak menguntungkan bagi ketersediaan K untuk tanaman (Brady, 1984).

Fiksasi K Tanah

Apabila konsentrasi K+ dalam larutan tanah meningkat akibat penambahan pupuk K, maka keseimbangan reaksi akan mengarah ke proses fiksasi K pada tapak spesifik dari mineral liat. Fiksasi K pada tapak spesifik ini dimungkinkan karena faktor geometris dan ukuran ion K+. Kalium terjebak di dalam lubang ditrigonal antar lapisan oksigen pada unit sel mineral liat silikat tipe 2:1 (Arifin et al., 1973) atau pada tapak jerapan spesifik yang berada diantara saluran gels. Fiksasi K ini dipengaruhi oleh ada atau tidak adanya posisi-w pada mineral kelompok mika yang hancur. Fiksasi ini akan lebih efektif bila posisi w berada di bagian dalam dari partikel liat dibandingkan dengan posisi-e. Namun demikian fiksasi ini tidak selalu berada di bagian dalam mineral tapi ada sebagian K+ yang bisa diendapkan sebagai senyawa tidak larut seperti potassium aluminosilikat (Shaviv et al., 1985).

(44)

bahwa fiksasi K merugikan dalam jangka pendek tapi bermanfaat dalam jangka panjang karena K-terfiksasi merupakan K cadangan bagi tanaman.

Jenis mineral liat merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap fiksasi K. Umumnya tanah-tanah yang mengandung mika, hidrous mika, vermikulit, dan smektit mempunyai fiksasi K tinggi sedangkan tanah yang mengandung kaolinit kapasitas fiksasinya rendah (Arifin et al., 1973). Tanah-tanah Vertisol di Indonesia mengandung mineral smektit yang tinggi sehingga berpeluang untuk mempunyai fiksasi K tinggi pula. Sementara itu tanah Ultisol, Oxisol, dan Andisol yang banyak mengandung mineral kaolinit, oksida, dan alofan umumnya memiliki kapasitas fiksasi rendah.

Sumber dan Pengelolaan K Tanah

Sumber K Tanah

(45)

Deposit garam K mudah larut banyak ditemukan di permukaan bumi dan juga di sungai mati dan laut. Deposit ini mempunyai kemurnian tinggi dan ditambang untuk keperluan K pertanian dan industri yang disebut sebagai potash. Cadangan potash terbesar di dunia terdapat di Canada, yaitu sepanjang 450 mil, lebar 150 mil, dan kedalaman 3000 – 7000 kaki. Keperluan K untuk pertanian biasanya berada dalam bentuk pupuk yang berasal dari deposit K tersebut di atas. Sumber K dalam bahan inorganik antara lain terdapat di pupuk KCl (60% K2O), K2SO4 (50% K2O), KNO3 (37% K2O), K fosfat (20-50% K2O), K2CO3 (68% K2O), dan lain-lain (Havlin et al., 1999).

Siklus K Tanah

Sebagian besar K tanah berada dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman, yaitu berkisar antara 90 – 98% dari total K tanah. Sementara itu bentuk K lambat tersedia sekitar 1 – 10%, sedangkan yang cepat tersedia sekitar 0.1 – 2%. Hubungan dan transformasi berbagai bentuk K di dalam tanah disajikan pada Gambar 5. Siklus dan transformasi bentuk-bentuk K tanah sangat dinamik karena kehilangan K oleh serapan tanaman dan pencucian berlangsung terus-menerus. Demikian pula halnya transformasi K dari mineral primer menjadi bentuk dapat dipertukarkan dan larut berjalan terus walaupun dengan kecepatan rendah (Havlin et al., 1999).

(46)

Pengelolaan K Tanah

Terdapat berbagai cara pengelolaan K tanah agar hasil tanaman optimal, antara lain: (1) pemanfaatan K tanah, (2) peningkatan efisiensi pupuk K, (3) pengelolaan hara terpadu, (4) penggunaan varietas tanaman yang toleran. Cara pertama dan keempat masih belum banyak dilakukan karena penelitian ke arah itu masih terbatas. Di lapangan biasanya menggunakan kombinasi dari beberapa cara tersebut. Berikut ini dibahas beberapa alternatif pengelolaan K tanah.

1. Pemanfaatan K Tanah

Meskipun hanya bentuk Kl dan Kdd saja yang cepat tersedia bagi tanaman, namun sesungguhnya bentuk Ktdd yang meliputi K-terfiksasi dan K-struktural berpotensi untuk

(47)

berubah menjadi tersedia bagi tanaman. Telah dikemukakan sebelumnya bahwa bentuk K tersedia hanya sekitar 2-10% dari total K yang terdapat di dalam tanah. Dengan demikian maka terdapat peluang yang sangat besar untuk memanen K tanah, yaitu sekitar 90-100%. Apabila peluang ini dapat dimanfaatkan maka kita dapat memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan K tanaman dari tanah dan sisanya dari pupuk. Peluang ini terutama ditujukan untuk tanah-tanah yang mengandung total K tinggi, yaitu untuk tanah-tanah yang mengandung smektit tinggi atau tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Zhu dan Luo (1993) mengemukakan bahwa asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan Ktdd menjadi Kdd dan Kl pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur. Mereka juga menunjukkan bahwa asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat dalam melepaskan Ktdd menjadi Kdd. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Song dan Huang (1988) dimana Ktdd dari posisi dalam (inner position) mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan asam sitrat. Penelitian Sparks (1987) dengan menggunakan tanah-tanah dari Middle Atlantic Costal Region, USA yang bertekstur kasar dan mempunyai K total tinggi menunjukkan bahwa pemberian asam oksalat 0.01 M dapat mengeluarkan K dari struktur mineral feldspar selama inkubasi 30 hari.

(48)

eksudat asam oksalat 1.283, asam sitrat 0.533, asam format 0.608, dan asam suksinat 0.273 µmol/tanaman/hari. Akar tanaman kedelai juga dapat mengeluarkan eksudat akar asam oksalat sekitar 116-2278 nmol/g/hari. Selain itu asam-asam organik, terutama asam oksalat, malonat, dan fumarat juga banyak terdapat di dalam akar tanaman seperti padi, jagung, dan kedelai masing-masing sekitar 2000-12000, 3000-14000, dan 2000-11000 nmol/g (Nursyamsi et al., 2002).

Pada tanaman jagung, terdapat korelasi yang erat antara level K dalam medium larutan hara dengan komposisi dan konsentrasi asam organik dalam eksudat akar. Pemberian K yang rendah nyata meningkatkan jumlah eksudat akar jagung, baik gula, asam organik, maupun asam amino. Level K tidak berpengaruh terhadap kadar gula dan asam amino dalam eksudat tapi berpengaruh terhadap kadar asam organik. Pada pemberian K tinggi asam malat dominan, sebaliknya pada K rendah, ternyata asam oksalat dominan (Kraffczyk et al., 1984).

Selain asam organik sejumlah kation juga berperan dalam meningkatkan ketersediaan hara K terutama di tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 atau mineral yang banyak mengandung K. Penelitian yang dilaksanakan di tanah-tanah Punjab di India menunjukkan bahwa posisi K+ di interlayer mineral muskovit digantikan oleh Ca2+ dan Na+ (Sidhu, 1987) akibat hancuran. Ion NH

(49)

yang dilaksanakan di tanah merah (Alfisol), hitam (Vertisol), dan aluvial (Inceptisol dan Alfisol) menunjukkan bahwa pemberian Na+ dari natrium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia. Penelitian lainnya yang dilaksanakan di tanah Vertisol di lahan perkebunan tebu Jawa Timur menunjukkan bahwa Na+ dari garam dapur (NaCl) dapat mengurangi kebutuhan pupuk K tanaman tebu (Ismail, 1997).

2. Peningkatan Efisiensi Pupuk K

Efisiensi penggunaan pupuk K merupakan faktor penting dalam pengelolaan K tanah. Pengapuran merupakan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi pemupukan (termasuk pemupukan K) terutama pada tanah-tanah yang mengalami pencucian dan hancuran yang tinggi. Tanaman yang diusahakan pada tanah-tanah demikian (misalnya Ultisol dan Oxisol) umumnya mengalami kekahatan K, tapi tanaman tidak respon terhadap pemupukan K. Produksi tanaman nyata meningkat apabila pemupukan K diawali terlebih dahulu dengan pengapuran. Namun demikian pengapuran perlu hati-hati karena adakalanya pengapuran yang berlebihan dapat menurunkan Kl dalam tanah ke tingkat defisien (Geodert et al., 1975).

Cara penempatan pupuk juga perlu diperhatikan agar pemupukan lebih efisien. Pemupukan K dengan cara disebar di permukaan tanah akan menyebabkan kehilangan K akibat pencucian sangat tinggi. Pembenaman pupuk K pada larikan di pinggir tanaman atau pada lubang dengan cara ditugal dapat mengurangi kehilangan K karena pencucian. Selain itu cara ini juga membuat K dekat dengan rhizosfer sehingga serapan K melalui proses difusi berlangsung dengan baik.

(50)

aplikasi pupuk sebelum tanam. Selain itu aplikasi pupuk secara bertahap, misalnya ½ bagian saat tanam dan sisanya saat primordia pada tanaman setahun sangat direkomendasikan karena terbukti dapat mengurangi kehilangan K melalui pencucian. Aplikasi pupuk K pada tanah salin, selain dapat mengurangi pencucian K juga dapat menekan efek keracunan garam.

3. Pengelolaan Hara Terpadu

Pengelolaan hara terpadu (integrated plant nutrient supply atau disingkat IPNS) bertujuan agar semua hara yang diperlukan tanaman berada dalam kondisi yang favorable untuk pertumbuhan tanaman. Cara tersebut dilakukan melalui kombinasi penggunaan pupuk kimia, bahan organik, dan pupuk hayati. Saat ini IPNS masih diartikan sebagai penggunaan pupuk anorganik dan organik karena penggunaan pupuk hayati belum memberikan hasil yang memuaskan di lapangan. Namun demikian penggunaan mikroba BNF (biological nitrogen fixing microbe) yang dikombinasikan dengan sisa tanaman dan pupuk kandang telah banyak diaplikasikan di sejumlah negara maju untuk meningkatkan produksi tanaman (Roy, 1992). Berbagai penelitian menunjukan bahwa penggunaan IPNS dapat meningkatkan efisiensi pupuk kimia seperti pupuk N, P, dan K.

4. Penggunaan Varietas yang Toleran

(51)

Tanaman secara alamiah sebenarnya mempunyai mekanisme untuk mengantisipasi kondisi stres terhadap situasi yang tidak menguntungkan. Tanaman yang toleran terhadap kekurangan P pada tanah-tanah masam dapat mengeluarkan eksudat senyawa organik (gula, protein, asam organik, dan lain-lain) dari akarnya. Selanjutnya asam organik dari eksudat akar dapat melarutkan P yang terikat oleh Al sehingga tanaman dapat menyerap P untuk kebutuhan hidupnya (Ness dan Vlek, 2000). Secara teoritis hal yang sama sesungguhnya dapat terjadi pada tanah-tanah yang memiliki fiksasi K tinggi seperti tanah yang didominasi oleh mineral liat tipe 2:1. Pada tanah ini eksudat asam organik juga berperan membebaskan K terfiksasi menjadi tersedia bagi tanaman, seperti yang dikemukakan oleh Song dan Huang (1988) dan Zhu dan Luo (1993) bahwa asam oksalat dan sitrat meningkatkan ketersediaan K pada tanah-tanah yang mengandung mineral liat tipe 2:1 tinggi.

Fungsi K untuk Pertumbuhan Tanaman

Kalium adalah kation valensi satu dengan radius ion terhidrasi 0.331 nm dan energi hidrasi 314 j mol-1 (Havlin et al., 1999). Serapan oleh tanaman sangat tinggi untuk menutupi aktivitas metabolisme. Hal ini ditandai dengan tingginya mobilitas di dalam tanaman pada semua level di dalam individu sel, jaringan, dan angkutan jarak panjang melalui xylem dan floem. Kalium adalah kation yang paling banyak berada dalam sitoplasma dan K+ yang diikuti oleh anion memberikan kontribusi utama terhadap potensial osmotik dari sel dan tisu pada spesies tanaman glikofitik (Marschner, 1997). Berbagai fungsi K untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibahas secara ringkas oleh Havlin et al. (1999), seperti yang diuraikan berikut ini.

(52)

yang paling penting untuk pertumbuhan tanaman. Enzim ini berlimpah di jaringan meristem pada titik tumbuh tanaman baik yang berada di bagian atas maupun di bagian bawah tanaman dimana pertumbuhan sel sangat cepat dan jaringan primer terbentuk. Dalam sintesis pati, enzim terlibat dalam konversi gula larut menjadi pati yang merupakan tahap penting dalam proses pengisian biji. Kalium juga berperan dalam transpor karbohidrat ke nodul dalam proses sintesis asam amino.

Dalam kaitannya dengan serapan air, K menstimulir tarikan osmotik (osmotic pull) yang menyebabkan air masuk ke dalam akar tanaman. Tanaman yang mengalami kekahatan K biasanya rentan terhadap stres air karena ketidakmampuannya dalam menggunakan air tersedia secara optimal. Perawatan turgor tanaman sangat penting dalam proses-proses metabolik dan fotosintesis. Pembukaan stomata terjadi bila ada peningkatan tekanan turgor pada sel di sekitar stomata yang dikendalikan oleh influx K. Penurunan fungsi stomata yang disebabkan oleh defisiensi K dapat menyebabkan rendahnya laju fotosintesis dan ketidak efisienan penggunaan air. Kalium juga dapat mengendalikan proses transpirasi tanaman dan serapan air yang mengandung hara dengan mengatur buka-tutup stomata.

Tanaman memerlukan K untuk memproduksi adenosine triphosphate (ATP) yang dihasilkan dalam proses fotosintesis dan respirasi. ATP ini diperlukan tanaman sebagai sumber energi untuk keberlangsungan proses fisiologi tubuhnya. Jumlah CO2 yang terbentuk ke dalam gula selama proses fotosintesis meningkat tajam akibat meningkatnya K dalam jaringan tanaman.

(53)

mengalami kekahatan K. Misalnya yang terjadi pada daun tebu, translokasi gula dalam keadaan normal sekitar 2.5 cm/menit tapi laju translokasi menurun menjadi setengahnya bila tanaman defisiensi K.

(54)

KORELASI ANTARA SIFAT-SIFAT TANAH DENGAN

KETERSEDIAAN K TANAH PADA TANAH-TANAH

YANG DIDOMINASI MINERAL LIAT SMEKTIT

Rasional

Sebelum pengelolaan K tanah dilakukan, karakteristik tanah yang berpengaruh

terhadap perilaku K dalam tanah perlu diketahui terlebih dahulu agar pengelolaan tanah

terarah, efektif dan efisien. Selain aspek iklim dan tanaman, parameter tanah sangat

menentukan ketersediaan K bagi tanaman. Sifat-sifat tanah yang berkaitan erat dengan

ketersediaan K tanah antara lain: jumlah dan jenis mineral liat, KTK, daya sangga,

kelembaban, suhu, aerasi dan pH tanah (Havlin et al., 1999). Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit umumnya berkadar liat dan mempunyai KTK tanah tinggi. Kedua

peubah tersebut diduga berpengaruh nyata terhadap ketersediaan K tanah. Mineral liat

smektit mempunyai sumber muatan permanen yang dominan sehingga memberikan

kontribusi muatan negatif yang sangat tinggi. Sementara itu sumber muatan variabelnya

tidak penting karena tidak signifikan memberikan kontribusi terhadap muatan negatif

tanah. Dengan demikian maka mineral liat smektit dapat memegang peranan yang sangat

penting dalam mengendalikan ketersediaan K tanah.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat-sifat tanah yang berpengaruh

terhadap ketersediaan K tanah pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit.

Bahan dan Metode

Analisis kimia, fraksionasi K, dan jerapan K tanah dilaksanakan di Laboratorium

(55)

2006. Sementara itu analisis mineral liat tanah dilaksanakan di Laboratory of Soil Sciences, Graduate School of Agriculture, Kyoto University, Japan mulai Juli – Oktober 2006. Selanjutnya percobaan dilaksanakan melalui serangkaian kegiatan seperti yang diuraikan

di bawah ini.

Pengambilan dan Persiapan Contoh Tanah

Contoh tanah komposit lapisan atas (0-20 cm) telah diambil sebanyak 91 contoh

masing-masing 32 contoh berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah dan 27 contoh dari

Jawa Timur. Pengambilan contoh tanah komposit mengikuti sebaran tanah yang tertera

dalam Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur Skala

1:250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966). Contoh tersebut merupakan bahan tanah

lapisan atas dari tanah Aluvial, Grumusol, dan Mediteran (Lembaga Penelitian Tanah,

1966) atau setara dengan Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol (Soil Survey Staff, 1998).

Selanjutnya sebaran contoh tanah, fisiografi, dan bahan induk dari masing-masing jenis

tanah disajikan pada Tabel 1.

Contoh tanah dari lapang segera dikeringudarakan, ditumbuk, diayak dengan

menggunakan saringan 2 mm lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik berlabel. Sebagian

contoh tanah dibagi menjadi dua bagian masing-masing untuk analisis kimia tanah dan

analisis mineral fraksi liat tanah.

Tabel 1. Sebaran Contoh Tanah yang Diambil dari Jawa.

No. Jenis Tanah Fisiografi Bahan induk Jumlah LPT (1966) Soil Survey Staff (1998)

(56)

Analisis Tanah

1. Analisis sifat-sifat tanah

Analisis karakteristik tanah yang diduga berkaitan erat dengan dinamika kalium dalam

tanah dilakukan terhadap semua contoh tanah komposit (91 contoh). Sifat-sifat tanah

tersebut meliputi: pH H2O; tekstur 3 fraksi (pipet); C-organik (kjeldahl); P dan K-HCl

25%; Cadd; Mgdd; Kdd; dan kapasitas tukar kation diekstrak dengan NH4OAc pH 7.0

dan Aldd tanah (KCl 1 N).

2. Analisis mineral liat tanah

Analisis semi kualitatif mineral fraksi liat tanah dilakukan terhadap 20 contoh tanah,

yaitu: Alfisol 8 contoh, Vertisol 8 contoh, dan Inceptisol 4 contoh. Pemisahan

butir-butir primer tanah (pasir, debu, dan liat) dilakukan dengan cara menghilangkan bahan

pengikat tanah. Penghilangan bahan karbonat dilakukan dengan cara menambahkan

HCl pH 5, sedangkan bahan organik dengan peroksida (H2O2). Contoh tanah bebas

bahan pengikat didispersikan, lalu butir pasir kasar dipisahkan dengan penyaringan 50

µm, sedangkan pemisahan fraksi liat dari debu dilakukan dengan prinsip perbedaan

kecepatan butir jatuh menurut hukum Stokes. Preparat masing-masing contoh suspensi

liat diberi perlakuan: penjenuhan dengan Mg, Mg+gliserol, penjenuhan dengan K,

K+350 oC, dan K+500 oC. Selanjutnya preparat tersebut diukur dengan metode X-Ray Diffraction (XRD) pada sudut putar 4 – 30o dan lampu katoda Cu.

3. Fraksionasi K tanah

Fraksi K tanah yang ditetapkan meliputi: Kl dengan pengekstrak CaCl2 0.0002 M; Kdd

dengan NH4OAc 1 N pH 7.0; dan Kt dengan HNO3 + HClO4 pekat. Penetapan Kl tidak

menggunakan pengekstrak air karena ekstraktannya keruh sehingga pengukuran

(57)

CaCl2 encer (0.0002 M). Selanjutnya Ktdd didefinisikan sebagai Kt dikurangi oleh Kl

dan Kdd. Konsentrasi K dalam filtrat ditetapkan dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS).

4. Jerapan K tanah

Penetapan jerapan K dilakukan dengan pendekatan model Langmuir (Fox dan

Kamprath, 1970; Syers, et al., 1973). Contoh masing-masing tanah ditimbang 2 g dan dimasukkan kedalam botol kocok, lalu ditambahkan 20 ml larutan CaCl2 0.0002 M

yang mengandung 10 tingkat konsentrasi K. Konsentrasi K yang digunakan adalah : 0,

2.5, 5, 7.5, 10, 15, 20, 30, 40, dan 60 ppm K dari KCl. Ekstraksi tanah diinkubasi

selama 6 hari dan dikocok 2 kali sehari, masing-masing selama 30 menit pagi dan sore

hari. Setelah inkubasi larutan disaring dan ekstrak jernih digunakan untuk pengukuran

K. Selanjutnya konsentrasi K dalam ekstraktan diukur dengan AAS. Jerapan K

dihitung dengan model Langmuir menurut Fox dan Kamprath (1970) yang

menggunakan persamaan sebagai berikut : x/m = kbC / (1+kC). Dimana: x/m = jumlah

K yang dijerap per satuan bobot tanah; k = konstanta yang berkaitan dengan energi

ikatan; b = daya jerap K maksimum; dan C = konsentrasi K dalam keseimbangan.

Persamaan tersebut diubah menjadi : C/x/m = 1/kb + 1/b C. Pengeplotan antara C/x/m

dengan C akan menghasilkan garis lurus dengan persamaan regresi Y = p + qX. Nilai q

persamaan regresi tersebut sama dengan 1/b persamaan di atas, sehingga nilai b dapat

ditentukan. Setelah nilai b diketahui maka nilai k dapat dihitung. Nilai b merupakan

jerapan maksimum dan k merupakan nilai konstanta energi ikatan suatu tanah.

Uji Korelasi

Peubah jerapan K (Kl, Kdd, Ktdd, jerapan maksimum, konstanta energi ikatan, dan daya

(58)

koefisien korelasi (r) nyata pada taraf uji 5% dinyatakan sebagai faktor tanah yang

berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah.

Karakteristik Kimia Tanah

Kisaran karakteristik tanah lapisan atas (0-20 cm) tanah-tanah yang diambil dari

Jawa disajikan pada Tabel 2. Menurut kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983) semua tanah

yang diteliti bertekstur liat, reaksi tanah netral (Inceptisol dan Vertisol) hingga alkalin

(Alfisol), sedangkan kemasaman tanah semuanya rendah, sebaliknya kejenuhan basa (KB)

semuanya tinggi.

Tabel 2. Kisaran Karakteristik Contoh Tanah Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol, dan Alfisol dari Jawa.

Karakteristik tanah Metode/Pengekstrak Inceptisol Vertisol Alfisol

Kadar liat (%) Pipet 37 + 17 63 + 12 53 + 18

Kadar C dan N-organik tanah semuanya rendah, kadar K-potensial tanah sedang

(Inceptisol dan Alfisol) hingga tinggi (Vertisol), sedangkan kadar P-potensial tanah

semuanya tinggi. Kadar Ca dan Mgdd tanah termasuk sedang (Inceptisol) hingga tinggi

(59)

dan tinggi (Vertisol). Kapasitas tukar kation (KTK) tanah termasuk sedang (Inceptisol)

hingga tinggi (Alfisol dan Vertisol).

Karakteristik Mineral Liat Tanah

Hasil analisis semi kualitatif mineral fraksi liat menunjukkan bahwa tanah

Inceptisol mengandung mineral liat smektit dan kaolinit sedikit sampai sedang serta kuarsa

sangat sedikit hingga sedikit. Tanah Vertisol mengandung mineral liat smektit sangat

banyak, kaolinit sedikit, dan kuarsa sangat sedikit. Sementara itu tanah Alfisol

mengandung mineral liat smektit dan kaolinit sedang sampai banyak serta mengandung

kuarsa sangat sedikit (Tabel 3). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa tanah

Vertisol didominasi oleh mineral liat smektit sedangkan tanah Alfisol dan Inceptisol

didominasi oleh smektit dan kaolinit.

Difraktogram sinar X fraksi liat yang mewakili contoh tanah Inceptisol (Jakenan,

Pati), Vertisol (Padas, Ngawi), dan Alfisol (Jonggol, Bogor) disajikan di Lampiran 1.

Mineral liat smektit ditunjukkan dengan adanya puncak difraksi 14.91 Å, kaolinit 7.22 dan

3.58 Å, dan kuarsa 4.26 dan 3.34 Å pada perlakuan penjenuhan dengan Mg2+. Puncak

difraksi smektit meningkat menjadi 18.57 Å pada perlakuan Mg2++glycerol, menurun

menjadi 12.32 Å pada perlakuan penjenuhan dengan K+, dan turun lagi menjadi 9.85 Å

pada perlakuan penjenuhan dengan K+ dan pemanasan hingga 550 oC. Sementara itu

difraksi kaolinit dan kuarsa tidak berubah akibat perlakuan Mg2++glycerol dan perlakuan

penjenuhan dengan K+, tapi puncak difraksinya hilang pada perlakuan pemanasan hingga

550 oC. Apabila luas trapesium di bawah difraktogram smektit yang memiliki puncak pada 14.91 Å digunakan untuk menduga kuantitas smektit, maka kadar smektit dalam tanah dari

(60)

Tabel 3. Hasil Analisis Mineral Liat Kualitatif terhadap Lapisan Atas Tanah-tanah yang Diambil dari Jawa dengan Metode XRD.

Kode contoh Tanah Smektit Kaolinit Kuarsa

NA-39 Inceptisol ++ ++ +

Kadar K total tanah dari tinggi ke rendah berturut-turut adalah Vertisol > Alfisol >

Inceptisol. Bentuk Kl, Kdd, dan Ktdd tanah dari tinggi ke rendah mempunyai urutan yang

sama dengan Kt tanah. Kadar Kl adalah 14, 13, dan 11 mg/kg; Kdd (98, 99, dan 50 mg/kg);

dan Ktdd (347, 303, dan 171mg/kg) berturut-turut untuk Vertisol, Alfisol, dan Inceptisol,

(Gambar 6). Kadar K di dalam tanah dipengaruhi oleh bahan induk tanah tersebut, dimana

Inceptisol berasal dari bahan endapan liat, Vertisol dari endapan liat berkapur, dan Alfisol

dari batu kapur (Lembaga Penelitian Tanah, 1966).

Selain faktor bahan induk tanah, kadar K tanah juga sejalan dengan hasil analisis

(61)

di dalam fraksi liat tanah berturut-turut dari tinggi ke rendah adalah Vertisol > Alfisol >

Inceptisol (Tabel 3). Dengan kata lain kadar K tanah tergantung jumlah mineral liat smektit

yang berada di dalam tanah. Smektit terbentuk dari pelapukan batuan napal yang

merupakan campuran dari bahan kapur dan liat. Vertisol dengan bahan induk endapan liat

berkapur memiliki kadar batuan napal lebih tinggi dibandingkan Alfisol dengan bahan

induk kapur dan Inceptisol dengan bahan induk endapan liat saja. Dengan demikian maka

kadar smektit dan K tanah pada Vertisol lebih tinggi pula dibandingkan Inceptisol dan

Alfisol.

Proporsi bentuk K dari rendah ke tinggi di ketiga tanah yang diteliti mempunyai

urutan yang sama, yaitu: Kl < Kdd < Ktdd. Bentuk Kl berkisar antara 5 – 7%, Kdd 24 – 31 %,

dan Ktdd 63-68% (Gambar 7). Tampak bahwa sebagian besar K tanah yang diteliti berada

dalam bentuk tidak dapat dipertukarkan sehingga tidak cepat tersedia bagi tanaman.

Apabila diasumsikan bentuk Kl dan Kdd disebut sebagai K tersedia dan Ktdd sebagai K tidak

tersedia maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar K di dalam ketiga tanah yang diteliti Gambar 6. Komposisi Bentuk-bentuk K Lapisan Atas Tanah-tanah Inceptisol, Vertisol,

Gambar

Gambar 2. Keseimbangan Dinamik antar Bentuk-bentuk K Tanah (Kirkman  et al., 1994)
Gambar 3, tergantung kondisi tanah dimana mineral primer tersebut berada. Bila Ca2+ dan
Gambar 4. Model Tempat Pertukaran K pada Mineral Liat Tipe 2:1, yaitu Posisi:  planar
Gambar 5. Keseimbangan dan Siklus K di Dalam Tanah (Havlin et al., 1999).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kantor Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Karo yang diberikan tugas dan wewenang untuk melaksanakan sebagian tugas-tugas Bupati di Bidang

Uji Signifikansi Pengaruh Parsial (Uji-T) Uji T digunakan untuk mengetahui signifikansi dari pengaruh variabel bebas secara individu terhadap variabel respon [12]. Dari

Penampilan Pertumbuhan dan Produksi Varietas Unggul Baru Padi Rawa Pada Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Merauke Papua5. Penampilan Galur-Galur Jagung Bersari Bebas Di Lahan Kering

Selain itu, jika dikaitkan dengan judul dari tesis ini tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, maka yang menjadi elemen dari struktur

Laporan penyelengaraan pemerintahan desa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) huruf b digunakan oleh Bupati sebagai dasar melakukan evaluasi kinerja

Selanjutnya, melihat kenyataan bahwa dari kelimpahan relatif dan sebaran 6 spesies yang ditemukan pada pertanaman lada di Way Kanan ini yang sebagian besar tidak berasosiasi

The objective of this study was to find out whether the use of Treasure Hunt Game is effective to improve students’ English vocabulary mastery in the fourth graders of SD

Pengelola Barang : khusus tanah &amp; bangunan yang berada dalam penguasaannya sekurangnya sekali dalam 5 tahun. Jenis