• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat sekarang ini bukanlah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. keuangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat sekarang ini bukanlah"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran didalam transaksi keuangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pada saat sekarang ini bukanlah suatu hal yang baru dan sulit ditemukan. Hampir sebagian besar masyarakat pada masa sekarang ini sudah memiliki kartu kredit atau paling tidak mengetahui tentang transaksi keuangan dengan kartu kredit. Bahkan penggunaan kartu kredit sudah dianggap sebagai suatu bagian dari gaya hidup masyarakat modern, sehingga apabila tidak diikuti sering dikatakan tertinggal dari cepatnya laju perkembangan kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan semakin berkembangnya produk-produk yang ditawarkan perusahaan perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya dengan syarat-syarat dan ketentuan yang semakin mudah dan fleksibel untuk dipenuhi.

Masyarakat sebagai konsumen kartu kredit dapat memanfaatkan fungsi dan kemudahan yang diberikan, namun hal ini dipandang sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisinya konsumen mendapatkan kemudahan dalam melakukan pembayaran atas transaksi yang dilakukan namun di sisi lainnya konsumen dapat dengan mudah menjadi korban tindak kejahatan terhadap kartu kredit yang semakin marak dan mudah dilakukan seiring dengan begitu pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi.

Konsumen dimanapun mereka berada, dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar sosialnya. Yang dimaksud hak-hak dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jujur, hak untuk mendapatkan

(2)

ganti rugi, hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia (cukup pangan dan papan), hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan, dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menghimbau seluruh anggotanya untuk memberlakukan hak-hak konsumen tersebut dinegara masing-masing.1 ”Ketika suatu bangsa memasuki tahap negara kesejahteraan, tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat.”2

”Sehingga ketika akan memasuki masa dan periode ini, negara mulai memperhatikan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup.”3 Pada saat ini, hukum hampir selalu tertinggal dalam mengikuti gerak pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, dapat kita lihat bahwa hukum kelihatan seperti harus berlari mengejar cepat untuk mengimbangi arus pertumbuhan dan perkembangan yang begitu dinamis di sektor perdagangan, moneter, perbankan, dan berbagai sektor dibidang ekonomi lainnya. Oleh karena itu, saat ini sangat diperlukan adanya beberapa penyesuaian kebijakan dan regulasi dibidang ekonomi dan keuangan agar mampu memperbaiki dan membantu untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran yang diingin dicapai dalam pengembangan dan memperkokoh sistem perekonomian nasional.

Pada penghujung tahun 1998 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas

1

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Yogyakarta, 2001, hal. VII.

2

Erman Radjagukguk, Peranan Hukum di Indonesia : Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Sosial” Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2000, hal. 35.

3

Inosentius Samsul, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Disertasi Doktor, Universitas Indonesia, Depok, 2003, hal. 2.

(3)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Perbankan, di mana undang-undang tersebut mengubah atau mengganti atau menambah beberapa pasal dari Undang-Undang Perbankan yang lama Nomor 7 Tahun 1992, sehingga ketentuan-ketentuan pokok perbankan yang sekarang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan undang-undang yang lama yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, terhadap pasal-pasalnya yang belum dirubah oleh undang-undang yang baru.

Fungsi bank yang paling utama adalah sebagai lembaga intermediary, yaitu berfungsi mengumpulkan kelebihan dana dari masyarakat melalui media tabungan, deposito, giro, dan berbagai media lain yang diperkenankan undang-undang sebagai alat penghimpun dana masyarakat, untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Bank juga merupakan simbol kepercayaan masyarakat terhadap kondisi moneter suatu negara. Begitu besarnya kepercayaan masyarakat terhadap bank, sehingga apabila sebuah bank menderita “sakit” sedikit saja, maka pengaruhnya akan cukup terasa bagi perekonomian negara. Di sini diperlukan peranan otoritas moneter nasional dalam hal ini adalah Bank Indonesia, mutlak diperlukan yang salah satunya guna mengawasi tingkat kesehatan suatu bank. Manakala tingkat kesehatan suatu bank diragukan, hal ini akan membawa dampak kerugian tidak hanya kepada bank tersebut dan nasabahnya saja, akan tetapi dapat menimbulkan akibat kepada dunia perbankan pada umumnya.

(4)

Oleh karenanya, ”bank sebagai industri jasa yang melayani konsumen dalam arti seluas-luasnya, baik konsumen antara maupun konsumen akhir harus dikelola berdasarkan prinsip kehati-hatian (Prudential Principle).”4

Setelah dikeluarkannya berbagai paket peraturan dan regulasi itu, kemudian sejumlah bank-bank baru muncul dan cukup sukses dalam menghimpun dana dari nasabah deposan dan menyalurkannya kembali kepada nasabah debitur sebagai konsumen, baik untuk keperluan pengembangan usaha ataupun berbagai jenis keperluan lainnya. ”Bermunculannya sejumlah bank baru serta bangkitnya bank-bank yang sudah lama berdiri berdampingan dengan bank-bank milik pemerintah, mendorong persaingan antar bank dalam bentuk keanekaragaman produk perbankan serta berbagai bentuk pelayanannya.”5

Salah satu bentuk produk dan jasa penyaluran dana oleh bank kepada masyarakat adalah pembiayaan yang saat ini cukup berkembang pesat dan dominan perkembangannya untuk disalurkan kepada masyarakat sebagai debitur adalah kartu kredit yang pada saat ini cukup dikenal sebagai alat pembayaran pengganti uang tunai. Dengan adanya kartu kredit yang telah dipromosikan oleh bank selaku penerbit kartu kredit tersebut disisi lain dapat memacu nasabah atau konsumen pemegang kartu kredit untuk berperilaku konsumtif, misalnya melalui penerapan pemberian sistem point yang dikombinasi dengan pemberian hadiah atas jumlah tertentu pembelanjaan produk barang atau jasa.

4

Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 41-42.

5

(5)

Kartu kredit yang berfungsi sebagai alat pembayaran ini diterbitkan berdasarkan perjanjian penerbitan kartu kredit yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh bank penerbit (melalui kontrak baku), di mana setelah menandatangani perjanjian tersebut berarti pemegang kartu setuju untuk mengikatkan diri dan tunduk pada ketentuan-ketentuan dan peraturan yang terdapat dalam perjanjian penerbitan kartu kredit dan tidak boleh dipindahtangankan.

Sebagai identitas pemegang kartu diberi hak untuk menandatangani tanda pelunasan harga barang atau jasa yang dibeli pada tempat-tempat tertentu yang telah ditunjuk oleh bank penerbit seperti pusat-pusat perbelanjaan, pasar swalayan, toko-toko, restaurant, hotel serta outlet-outlet dan tempat lainnya yang telah menjalin kerjasama dengan bank penerbit atau jaringan dari kartu kredit tersebut.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui beberapa ”pihak yang terlibat dalam perjanjian penerbitan kartu kredit yaitu pemegang kartu sebagai pembeli, penerbit kartu sebagai pembayar, dan perusahaan dagang sebagai penjual.”6

Selain itu fungsi dan manfaat yang didapat dalam penggunaan kartu kredit adanya keamanan, kepraktisan dan kemudahan yang didapat dalam transaksi non tunai yang diperoleh. Kelebihan lain yang didapatkan oleh pemegang kartu kredit adalah adanya manajemen keuangan yang efektif karena pemegang dapat mengalokasikan sejumlah anggaran tertentu pada tiap bulannya asalkan pemegang dapat mengontrol disiplin diri dalam mengelola anggaran.

6

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2003, hal. 328.

(6)

Dengan begitu banyaknya manfaat dan kemudahan-kemudahan yang diberikan pada pengguna kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran mendapatkan sambutan yang cukup baik dari berbagai kalangan masyarakat baik pedagang maupun konsumen kartu kredit. Menjadikan jumlah pengguna kartu kredit semakin meningkat, tidak dapat dipungkiri lagi keberadaan kartu kredit merupakan bagian dari gaya hidup dan kebutuhan masyarakat kalangan menengah ke atas di era modern ini dikarenakan kemudahan, keamanan, dan keleluasaan yang diberikan kepada konsumen dalam penggunaannya.

Kartu kredit merupakan salah satu produk dan jasa bank yang diberikan dengan dasar kepercayaan bank kepada nasabah, oleh karena itu perhatian terhadap perlindungan konsumen/pengguna kartu kredit dari tindakan-tindakan yang dapat merugikan seperti terjadinya penipuan dalam penggunaan kartu kredit yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau perusahaan penerbit, terjadinya pencurian kartu kredit atau dokumen lain yang ada hubungannya dengan kartu kredit yang secara langsung dapat merugikan pemegang kartu kredit.

Sepanjang tahun 2007 total transaksi kartu kredit yang disurvey oleh Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) tercatat sebanyak sebanyak 126 juta transaksi. Jika dikalkulasikan telah terjadi 246 transaksi dalam setiap hitungan menit. Sementara, total kredit yang telah dikucurkan oleh keseluruhan kartu kredit yang beredar sampai dengan Desember 2007 berkisar Rp.21 triliun. Contoh kasus yang sedang ramai diperbincangkan adalah pemalsuan kartu kredit yang berasal dari Citibank, Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, BNI, Bank Niaga dan American Express. Kerugian pemalsuan kartu kredit mencapai Rp.180 miliar yang berasal dari 9000 kartu. Rata-rata kartu kredit yang telah disalahgunakan berdasarkan pantauan AKKI memiliki nilai transaksi berkisar Rp.10 juta sampai dengan Rp.20 juta. Sampai saat ini belum dapat diketahui perincian bank yang mengalami kerugian akibat pemalsuan kartu kredit yang dilakukan oleh sindikat yang berasal dari Malaysia tersebut. Berdasarkan data Markas Besar Kepolisian

(7)

Republik Indonesia sindikat pemalsuan kartu kredit yang dilakukan oleh sindikat pemalsuan Malaysia berkisar 7000 kartu kredit palsu.7

Penyitaan berkisar 7.2 juta kartu kredit dimana 2.2 juta dari data tersebut dimiliki oleh warga Indonesia. Namun, permasalahan pemalsuan ini seharusnya tidak menjadi masalah karena pihak perbankan telah melakukan proteksi terhadap nasabah yang mengalami pemalsuan kartu kredit. Pertumbuhan bisnis kartu kredit diperkirakan mencapai 17% sampai dengan 25% pada tahun 2008. oleh karena itu, sudah saatnya pihak perbankan melakukan pembenahan sistem khususnya masalah keamanan bertransaksi menggunakan kartu kredit. Tindakan pengamanan ini pada akhirnya akan mampu mengurangi kejahatan dalam bertransaksi menggunakan kartu kredit. Selain hal tersebut akan melindungi konsumen dan juga pihak perbankan.

Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 20 April 1999 dan diundangkan melalui Lembaran Negara Republik Indonesia 1999 Nomor 42, dan sesuai dengan Ketentuan Penutup pada Pasal 65 dinyatakan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku satu tahun sejak diundangkan, maka diharapkan upaya perlindungan terhadap konsumen di Indonesia yang selama ini terabaikan dapat menjadi lebih diperhatikan.

Perlindungan konsumen khususnya kepada nasabah pada saat sekarang ini semakin terasa penting mengingat semakin cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai

7

http://vibiznews.com/search_result.php?id=84&kategori=wealth&key=, diakses terakhir tanggal 3 Desember 2009.

(8)

sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai sasaran usaha tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampak buruk dari produk atau barang dan jasa yang dihasilkan tersebut.

Dengan demikian, ”upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk segera dicari solusinya, mengingat demikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.”8

Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen-konsumen yang mengandung akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.

c. Meningkatkan kualitas barang dan jasa.

d. Memberikan perlindungan konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan.

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan dibidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lainnya.9

8

Sri Redjeki Hartono, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.33.

9

(9)

Seiring dengan semakin membudayanya penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran dikalangan masyarakat, maka pertumbuhan kejahatan terhadap konsumen pengguna kartu kredit pun berbanding lurus peningkatannya.

Berkaitan dengan hal tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut diatas untuk mengkaji, membuat, dan menuangkan dalam bentuk tulisan dalam bentuk tesis yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian penggunaan kartu kredit ?

2. Bagaimanakah bentuk-bentuk praktek penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit ?

3. Bagaimanakah tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian bagi konsumen ?

(10)

C. Tujuan Penelitian

Dengan bertitik tolak terhadap judul dan permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mendalami hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian

penggunaan kartu kredit.

2. Untuk mengetahui dan mendalami mengenai bentuk-bentuk praktek

penyalahgunaan dan kejahatan terhadap kartu kredit.

3. Untuk mengetahui dan mendalami mengenai tanggung jawab bank penerbit terhadap peristiwa penyalahgunaan kartu kredit yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yakni :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah literatur dalam aspek hukum perlindungan hukum bagi konsumen pemegang kartu kredit sebagai pihak yang menggunakan jasa kartu kredit terhadap penyalahgunaan kartu kredit.

(11)

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yuridis tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, serta memberikan sumbangan pemikiran dan pemahaman kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi bank penerbit, pihak kosumen selaku pemegang kartu kredit, pihak penjual barang/jasa, pihak perantara penagihan, pihak perantara pembayaran, serta masyarakat pada umumnya.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dilingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul : ”PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PENYALAHGUNAAN KARTU KREDIT” belum pernah dilakukan peneliti lain sebelumnya. Dengan demikian sampai saat ini penulis yakin bahwa penelitian tesis ini benar-benar asli dan bukan hasil karya atau penulisan orang lain dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila ada pendapat atau kutipan dalam penulisan ini adalah sebagai faktor pendukung dan pelengkap dalam penulisan ini, karena hal tersebut memang sangat dibutuhkan untuk penyempurnaan tulisan yang bersifat ilmiah ini.

(12)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Untuk menganalisis data mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, penulis menggunakan 2 (dua) teori yakni teori tentang sistem hukum dan konsep hukum.

Menurut Lawrence Meir Friedmann, ”teori tentang sistem hukum terdiri dari tiga elemen, yaitu : elemen struktur (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture).”10

Aspek struktur (structure) dirumuskan bahwa sistem hukum (legal system)

bersifat dinamis dan terus berubah, namun kecepatan elemen-elemen sistem itu berubah berbeda-beda satu dengan yang lainnya, ada yang memiliki pola jangka panjang yang berkesinambungan, aspek sistem hukum yang berada di sini kemarin atau bahkan pada abad yang lalu akan tetap berada disitu untuk jangka waktu yang panjang. Inilah struktur sistem hukum, kerangka atau rangkanya, elemen yang tetap bertahan, elemen yang memberi semacam bentuk atau batasan terhadap keseluruhan sistem tersebut. Struktur dari keadaan sistem hukum itu terdiri dari beberapa unsur : ”jumlah dan ukuran pengadilan, yuridisnya, cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislatif ditata, berapa banyak anggota yang duduk di Komisi Dagang Federal (The Federal Trade

10

Lawrence M. Friedman., Editor: Wisnu Basuki., Hukum Amerika : Sebuah Pengantar

(13)

Commission), apa yang boleh (secara sah) atau tidak boleh dilakukan oleh seorang Presiden, prosedur apa yang diikuti oleh Departemen Kepolisian, dan sebagainya.”11

Dari rumusan di atas, maka beberapa unsur yang telah diuraikan merupakan elemen dalam sistem hukum, yaitu sebagai berikut :

Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang struktur alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan tentang jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, jumlah anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Depperindag) baik pusat maupun daerah serta ketentuan tentang pelaksanaan tugas dari masing-masing institusi tersebut merupakan aspek struktur dari Sistem Hukum Perlindungan Konsumen.12

Selain itu, jika dikaitkan dengan judul dari tesis ini tentang perlindungan hukum bagi konsumen terhadap penyalahgunaan kartu kredit, maka yang menjadi elemen dari struktur dalam permasalahan ini adalah Bank Indonesia selaku otoritas moneter di Indonesia, bank-bank umum sebagai lembaga keuangan yang diberikan izin dan kewenangan sebagai bank penerbit kartu kredit dan pengaturan tata laksananya serta lembaga-lembaga lain yang diberikan kewenangan seperti bank umum dalam penerbitan kartu kredit sebagai suatu lembaga keuangan selain Bank.

Elemen kedua dari sistem hukum adalah substansi hukum (substance), yang dimaksud Friedman dengan : ”substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia, atau yang biasanya dikenal orang sebagai hukum. Itulah substansi hukum.”13

11

Ibid, hal. 8.

12

Innosentius Samsul, Prinsip Tanggung Jawab Mutlak Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal. 12-13.

13

(14)

Karena perkembangan kartu kredit masih terbilang relatif baru dibandingkan dengan alat bayar lainnya, seperti uang tunai, cek, bilyet giro dan sebagainya, maka tentang berlakunya kartu kredit tidak ditemukan dasar hukum yang tegas dalam Kitab Undang Hukum Perdata yang digunakan di Indonesia. ”Baik Kitab Undang-undang Hukum Dagang maupun Kitab Undang-Undang-undang Hukum Perdata tidak ada menyebut-nyebut istilah Kartu Kredit ini.”14

Oleh karena itu, yang menjadi dasar hukum atas legalisasi pelaksanaan kegiatan kartu kredit di Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian Antara Para Pihak Sebagai Dasar Hukum

Sebagaimana diketahui, bahwa sistem hukum kita menganut asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Dengan berlandaskan kepada Pasal 1338 ayat 1 ini, maka asal saja dibuat secara tidak bertentangan dengan hukum atau kebiasaan yang berlaku, maka setiap perjanjian (lisan maupun tertulis) yang dibuat oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit, akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut.

Pada kenyataannya memang ada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh mereka yang berhubungan dengan penerbitan dan pengoperasian kartu kredit tersebut. Karena itu Pasal 1338 ayat 1 ini dapat digunakan sebagai salah satu landasan hukum berlakunya.

Dengan demikian, pasal-pasal tentang perikatan dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit, secara mutatis-mutandis.

2. Perundang-undangan Sebagai Dasar Hukum

Seperti telah disebutkan bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang tidak secara langsung dan tegas memberikan dasar hukum bagi keberadaan kartu kredit. Akan tetapi ada berbagai perundang-undangan lain yang dengan tegas menyebutkan dan memberi landasan hukum terhadap penerbitan dan pengoperasian kartu kredit ini, yaitu sebagai berikut :

14

Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan (Dalam Teori Praktek), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Cetakan. I, hal. 180.

(15)

a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988, tentang Lembaga Pembiayaan. Pasal 2 ayat (1) dari Keputusan Presiden ini antara lain menyebutkan bahwa salah satu kegiatan dari Lembaga Pembiayaan adalah melakukan usaha kartu kredit. Sementara dalam pasal 1 ayat (7) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan Kartu Kredit adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam rangka pembelian barang dan jasa dengan mempergunakan kartu kredit. Selanjutnya menurut pasal 3 dari Keputusan Presiden tersebut, yang dapat melakukan kegiatan lembaga pembiayaan tersebut, termasuk kegiatan kartu kredit adalah :

(1) Bank;

(2) Lembaga Keuangan Bukan Bank; (3) Perusahaan Pembiayaan.

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan.

Pasal 2 dari keputusan ini kembali menegaskan bahwa salah satu dari kegiatan Lembaga Pembiayaan adalah udaha kredit. Selanjutnya dalam Pasal 7 ditentukan bahwa pelaksanaan kegiatan kartu kredit dilakukan dengan cara penerbitan kartu kredit yang dapat dipergunakan oleh pemegangnya untuk pembayaran pengadaan barang dan jasa.

c. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, tentang Perbankan

Selama berhubungan dengan dunia perbankan, maka yang berkenaan dengan kartu kredit mendapat legitimasi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Pasal 6 huruf I nya dengan tegas menyatakan bahwa salah satu kegiatan bank adalah menyelenggarakan usaha kartu kredit. 15

Di dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan, bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab perlindungan konsumen akan selalu mengalami dinamika dan perkembangan yang berbanding lurus dengan dinamika dan perkembangan yang ada di masyarakat serta sampai pada terbentuknya sebuah undang-undang yang materinya dapat melindungi kepentingan konsumen secara keseluruhan.

15

(16)

Sedangkan mengenai budaya hukum (Legal Culture) yang merupakan elemen ketiga dari sistem hukum, Friedmann mengartikannya, ”sebagai sikap masyarakat terhadap hukum dari sistem hukum, tentang keyakinan, nilai, pemikiran, serta harapan masyarakat tentang hukum.”16

Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan antara ketiga elemen sistem hukum tersebut, Friedmann menggambarkan sistem hukum sebagai : ”suatu proses produksi, dengan menempatkan mesin sebagai struktur, kemudian produk yang dihasilkan sebagai substansi hukum, sedangkan bagaimana mesin ini digunakan merupakan representasi dari elemen budaya hukum. Ketiga elemen ini dapat digunakan untuk mengurai apapun yang dijalankan oleh sistem hukum.”17

Teori tentang konsep hukum yang menggambarkan fungsi dari hukum menurut Gunarto Suhardi yang dikutip dari Antony Allot dalam The Limit of Law

menguraikan berbagai arti fungsi dari hukum yaitu, ”hukum adalah ketentuan dan informasi yang bersifat abstrak tetapi berpengaruh, pengertian hukum berupa norma-norma hukum positif dan selanjutnya hukum sebagai proses atau akibat berlakunya hukum itu sendiri.”18

Batasan-batasan hukum adalah sebagai berikut :

Pertama, ada kekuatan-kekuatan sosial yang dalam beberapa hal dirasakan sebagai suatu keharusan. Hal ini sesudah membentuk hukum yang bersifat abstrak. Kedua, hukum positif yang berupa struktur dan aturan-aturan. Ketiga,

16

Lawrence M. Friedmann, Op. Cit, hal. 8.

17

Lawrence M. Friedmann. Op.Cit, hal. 14.

18

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2002, hal. 4.

(17)

pengaruh dari hukum terhadap perilaku nyata. Teori tentang konsep hukum adalah untuk memahami kebiasaan-kebiasaan dalam dunia usaha yang disebut etika bisnis dan akhirnya berkembang menjadi hukum dalam berbagai transaksi bisnis yang dikemudian dipatuhi dan menjadi kekuatan sosial dalam masyarakat. Teori ini juga berguna untuk memahami pengaruh sosial dari suatu peraturan hukum sehingga akibat hukumnya dapat diprediksi (predictable) sebagai nuansa yang sangat penting dalam transaksi bisnis di mana para pelaku usaha dapat membuat perhitungan perbandingan biaya dan keuntungan dari suatu usaha. 19

Selanjutnya, substansi hukum sebagai obyek dari penelitian ini difokuskan pada beberapa teori tentang substansi hukum perlindungan konsumen, yaitu tentang eksistensi atau keberadaan, perubahan, dan karakteristik dari hukum perlindungan konsumen.

Bismar Nasution yang mengutip dari Adam Smith menyatakan bahwa :

Eksistensi substansi hukum perlindungan konsumen, sebenarnya berakar pada teori ekonomi tentang (hukum) pasar yang dikemukakan oleh Adam Smith yaitu,

Pertama, Bahwa individu masing-masing yang didorong oleh kepentingan sendiri yang menentukan pekerjaan termasuk produk-produk yang diperlukan oleh masyarakat. Pemikiran ini merupakan inti dari paham individualisme, dimana Adam Smith adalah tokoh yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu,

Kedua, Adam Smith yakin bahwa harga ditentukan oleh pasar itu sendiri,

sehingga tidak perlu ada peraturan yang menetapkan harga produk tertentu. Harga suatu barang akan terus bergerak ke level harga alamiah atau natural level,

Ketiga, Produsen akan menghasilkan sejumlah barang sesuai dengan kebutuhan

konsumen.20

Dengan demikian, agar memperoleh keuntungan maka produsen selalu berusaha untuk menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan konsumen. Ilustrasi terhadap ketentuan ini dicontohkan sebagai berikut : Seorang produsen menghasilkan dan menjual dua jenis baju yang dapat diganti satu sama lain (substansi), yaitu jenis A dan B. Katakanlah harga sebenarnya dari A adalah Rp. 20.000,- sedangkan B Rp. 15.000,-. Seandainya permintaan terhadap jenis A meningkat, maka akan

19

Ibid., hal. 3.

20

Bismar Nasution., Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Ekonomi, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Sabtu, 17 April 2004, hal. 2.

(18)

berdampak pada meningkatnya harga baju jenis A tersebut. Sebaliknya permintaan terhadap produk B akan menurun.21

Teori ekonomi yang dikembangkan oleh Adam Smith berpengaruh terhadap pembentukan teori hukum perlindungan konsumen, yang kemudian melahirkan teori besar, yaitu ”pertama, perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah (unregulated-market place)dan kedua, perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar (government regulated

market place). Perlindungan konsumen oleh mekanisme pasar tanpa ada aturan

dan intervensi pemerintah/negara atau lembaga legislatif yang mengeluarkan peraturan dalam bentuk undang-undang dikenal dalam dua teori, yaitu teori pasar bebas (free market theory) dan teori kedaulatan konsumen (consumer sovereignty theory). 22

Unregulated market place dijiwai oleh prinsip laissez-faire yang menjunjung tinggi kebebasan berusaha dan kekuatan pasar atas peraturan perundang-undangan sebagai alat untuk mengawasi kegiatan ekonomi. Dalam struktur pasar yang demikian, kedudukan dan peran konsumen sangatlah kuat atau berkuasa

(sovereign), sehingga melahirkan teori kedaulatan konsumen (consumer

sovereignty theory). Menurut teori ini, kedudukan dan peran konsumen di pasar sangatlah penting atau dominan, karena konsumenlah yang mengatur pasar. Dikatakan bahwa “the consumer’s role is to guide the economy to the production of goods and services that he wants”.23

Teori ekonomi mengenai hubungan antara konsumen dan produsen berimplikasi pada teori hukum yang berkembang pada era dominasinya kebebasan individu dan liberalisme. Kekuatan konsumen kemudian melahirkan teori dalam kontrak, yaitu kebebasan berkontrak (freedom of contract) dan hubungan kontrak

(privity of contract). Kebebasan kontrak berpandangan bahwa para pihaklah yang

menentukan isi dari kontrak. Sedangkan hubungan kontrak menyatakan bahwa hanya para pihak dalam kontrak saja yang memiliki hak dan kewajiban.

21 Ibid, hal. 2. 22 Ibid, hal. 3. 23 Ibid, hal. 4.

(19)

Pengakuan pengadilan atas doktrin-doktrin tersebut berdampak negatif terhadap kepentingan konsumen. Pertama, berkaitan dengan doktrin kebebasan berkontrak, pihak produsen menggunakan kekuatannya untuk menerapkan kontrak-kontrak baku yang memuat ketentuan-ketentuan yang menguntungkan pihak produsen.

Kedua, produsen menghindari tanggung jawab terhadap pihak ketiga yang tidak

mempunyai hubungan hukum dengan produsen berdasarkan doktrin privity of contract. Ketiga, penerapan prinsip caveat emptor, yang menekankan konsumen haruslah berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen yang kemudian berpengaruh besar terhadap penerapan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault based liability) dalam hukum perlindungan konsumen.24

2. Kerangka Konsepsi

Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

1. Kartu Kredit adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit dan pemakai kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati, baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran.

2. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada pemakai kartu kredit.

3. Konsumen adalah setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia sebagai bagian dari produk bank atau sebagai pemakai kartu kredit.

24

(20)

4. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang kartu kredit.

5. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh non-pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan bagi pemakai kartu kredit.

6. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh pemegang kartu kredit.

7. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dengan pemakai kartu kredit. 8. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk

membantu upaya perlindungan bagi kepentingan konsumen pemakai kartu kredit.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

”Istilah metode berasal dari bahasa Yunani dengan asal kata methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan penelitian yang menyangkut tentang cara kerja yang berfungsi untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

(21)

bersangkutan.”25 Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya bahwa penelitian ini merupakan ”penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan, dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.”26 Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan deskriptif atau gambaran yang seteliti mungkin tentang kajian hukum mengenai masalah Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Metode Pendekatan

Dalam penelitian tentang Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Terhadap Penyalahgunaan Kartu Kredit merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan, maupun hukum dalam bentuk putusan-putusan pengadilan. Dengan demikian, obyek yang dianalisis adalah norma hukum, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun yang sudah secara konkrit ditetapkan oleh hakim dalam kasus-kasus yang diputuskan di pengadilan. Selain itu dipergunakan juga dokumen-dokumen dan teori-teori berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam tesis ini.

25

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, hal. 16.

26

(22)

3. Sumber Data

Oleh karena penelitian ini penelitian normatif, maka data yang akan dikumpulkan berasal dari data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Namun, untuk melengkapi atau mendukung analisis data sekunder, tetap diperlukan wawancara dengan beberapa informan yang dinilai memahami beberapa konsep atau pemikiran mengenai data sekunder, sejauh masih dalam batas-batas metode penelitian yuridis normatif.

Data kepustakaan yang ada digolongkan dalam 2 (dua) bahan hukum yaitu bahan-bahan primer (primary sources) dan bahan-bahan sekunder (secondary

sources). Bahan-bahan primer meliputi bahan hukum yang mengikat, yang dalam

konteks penelitian ini, bahan yang dimaksud adalah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan beberapa undang-undang lainnya yang mengatur substansi hukum perlindungan konsumen, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Cara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Bahan-bahan hukum primer lainnya yang sama dengan undang-undang adalah putusan-putusan pengadilan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, salah satu data yang diperlukan adanya contoh kasus-kasus, sedangkan bahan sekunder dalam

(23)

penelitian ini berupa tulisan-tulisan, makalah dalam buku, jurnal, majalah ilmiah tentang Hukum dan Perlindungan Konsumen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang mendukung penelitian, dikaitkan dengan jenis penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan di beberapa perpustakaan di Perguruan Tinggi dan Instansi Pemerintah. Penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder baik bahan hukum primer maupun bahan sekunder yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.

5. Alat Pengumpul Data

Untuk memperoleh hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu sebagai berikut :

1. Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari semua literatur yang berhubungan dengan topik dan materi penelitian yang dilakukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian, dokumen-dokumen dan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan terhadap beberapa narasumber (informan) yang dinilai memahami hukum perlindungan konsumen dan dianggap dapat membantu mendapatkan data yang benar untuk kepentingan penelitian ini.

(24)

6. Analisis Data

Semua data yang diproleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Artinya data kepustakaan dan hasil wawancara dianalisis secara mendalam, holistik, dan komprehensif. Penggunaan metode analisis secara kualitatif didasarkan pada pertimbangan, yaitu pertama data yang dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantitatifkan. Kedua, sifat dasar data yang dianalis adalah menyeluruh

(comprehensif) dan merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal ini ditandai dengan

keanekaragaman datanya serta memerlukan informasi yang mendalam. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian karakterisasi plastik edible film dari pektin ampas jeruk Siam melalui variasi plasticizer sorbitol, telah dilakukan guna mengkaji pengaruh penambahan

:rauma alan tera"hir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum, dan rupture uteri uga menyebab"an perdarahan "arena terbu"anya pembuluh darah, penya"it

Oleh sebab itu, salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh perusahaan adalah pemberian kompensasi finansial langsung yang sesuai untuk karyawan agar tingkat

Penulis mengucap puji dan syukur kepada Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat–Nya dalam penyusunan skripsi yang berjudul “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG TINDAK

Untuk memperoleh informasi tentang kemampuan-kemampuan yang dapat dikembangkan pada keterampilan proses sains melalui MPP D–E–H ini maka digunakan subyek penelitian dari

Zainun guru kelas (pengajar) pelajaran akidah akhlak kelas V A Madrasah Ibtidaiyah Negeri Kebun Bunga Banjarmasin, serta staf tata usaha yang sudah berkenan memberikan

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa selain menurunkan nilai waste besi tulangan, langkah OPTIMASI 3 juga dapat menurunkan jumlah total berat yang digunakan, karena dengan