KABUPATEN CIAMIS DENGAN METODE KONTINGENSI
R MUHAMAD JUWARNO RIDHA
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
R MUHAMAD JUWARNO RIDHA. E34102019. Nilai Ekonomi Wisata Kawasan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis Dengan Metode Kontingensi. Dibimbing oleh Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. and Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS.
Kawasan Situ Lengkong Panjalu merupakan kawasan yang terdiri dari situ/danau dengan pulau kecil di tengahnya (Nusa Gede atau Nusa Larang). Nusa Gede atau Nusa Larang tersebut merupakan kawasan Cagar Alam Panjalu. Kawasan ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna, seperti kalong (Pteropus vampyrus). Luas Situ Lengkong Panjalu adalah 57.95 ha dan Nusa Gede 9.25 ha. Gubernur Jawa Barat mencanangkan kawasan Situ Lengkong Panjalu sebagai kawasan Wisata Ziarah pada tanggal 17 Maret 2004. Kawasan ini selain mempunyai fungsi wisata juga mempunyai fungsi ekologi sebagai kawasan penyangga untuk melindungi dan melestarikan keutuhan Cagar Alam Panjalu. Kawasan ini memiliki nilai ekonomi tinggi yang penting untuk dihitung untuk peningkatan kualitas lingkungan dan pengelolaan kawasan Situ Lengkong Panjalu, sejak kawasan tersebut telah terjadi penurunan kualitas lingkungan, seperti penurunan kualitas air situ yang kotor dan dangkal.
Penelitian ini diadakan di kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu Ciamis Jawa Barat pada bulan Mei - Juni 2007. Jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder melalui studi literatur, observasi dan wawancara terpandu dengan kuesioner yang dianalisis secara deskriftif. Jumlah sampel pengunjung kuesioner penelitian sebanyak 244 orang dan jumlah sampel penduduk yang memanfaatkan adalah 16 orang.
Nilai Total Kesediaan Membayar responden penelitian (Rp/tahun) = Rp. 701.147.640,51 dengan rata-rata Nilai Kesediaan membayar (per orang) = Rp. 3.193,92. Sedangkan Nilai Total Kesediaan Dibayar responden penelitian (Rp/tahun) = Rp. 877.092.044,13 dengan rata-rata Nilai Kesediaan Dibayar (per orang) = Rp. 3.995,37. Nilai kesediaan membayar yang lebih besar dari pendapatan melalui retribusi sebesar Rp. 113.357.640,51 menjadi surplus konsumen. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan membara/dibayar responden, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan kondisi Situ Lengkong Panjalu. Pemerintah Desa Panjalu dalam hal ini Yayasan Boros Ngora Panjalu melalukan upaya pelestarian Cagar Alam Panjalu dibawah pengawasan BKSDA Jabar II.
Hasil penelitian ini berguna dalam penyempurnaan pengelolaan kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu dengan mendapatkan gambaran nilai ekonomi wisata kawasan Situ Lengkong Panjalu ini untuk pengelolaan ke depannya supaya sumberdaya yang ada tetap lestari dan tidak terjadi penurunan kualitasnya.
R MUHAMAD JUWARNO RIDHA. E34102019. Tourism Economic Value of Lengkong Panjalu Lake Area Ciamis Regency Using Contingent Valuation Methode. Under Supervision of Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. and Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS.
Lengkong Panjalu Lake represent an area which consist of lake and small island (Nusa Gede) in the center of the lake. Nusa Gede is Panjalu Nature Reserve. The area has flora and fauna diversity such as bat (Pteropus vampyrus). Lengkong Panjalu Lake cover an area of 57.95 hectare and Nusa Gede cover an area of 9.25 hectare. Governor of West Java established the area as tourism pilgrimage area on March 17th, 2004. Beside tourism function, the area also served ecological function function as buffer area to protect and to conserve Panjalu Nature Reserve. The area has high economical value which is important to be calculated in considering the efforts needed to improve the environmental quality and to manage the Lengkong Panjalu Lake, since the area had suffer from environmental quality decrease, such as water quality decrease.
This research was conducted at Lengkong Panjalu Lake tourism area Ciamis West Java on May – June 2007 using Contingent Valuation Methode. Primary and secondary data were collected through literature study, observation and interview using questionnaire which were descriptively analized. The number of visitor taken as sample respondent were 244 persons while the number of community were 16 persons.
Total value of respondents willingness to pay (per year) = Rp.701.147.640,51 with average willingness to pay (per person) = Rp.3.193,92. The total value of respondents willingness to accept (per year) = Rp.877.092.044,13 with average willingness to accept (per person) = Rp.3.995,37. The willingness to pay value which is greaten than tourism revenue from retribution as much as Rp.113.357.640,51 is surplus for the consumer. The influencing factors were education level, income level, number of family member and condition of Lengkong Panjalu Lake area. Panjalu village government, through Boros Ngora Panjalu Foundation, were entrusted to conduct conservation efforts of Panjalu Nature Reserve under the supervition of BKSDA Jabar II.
Result of the research would be useful in revising the management of Lengkong Panjalu Lake tourism area by providing the tourism economic value of the area to be taken as consideration in the future management in order to maintain the sustainability and the quality of the existing resources.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Nilai Ekonomi Wisata Kawasan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis Dengan Metode Kontingensi adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2008
R Muhamad Juwarno Ridha
Judul Skripsi : Nilai Ekonomi Wisata Kawasan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis Dengan Metode Kontingensi
Nama : R Muhamad Juwarno Ridha
NRP : E34102019
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS. Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS. NIP : 131 124 017 NIP : 130 937 426
Mengetahui:
Dekan Fakultas Kehutanan IPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. NIP : 131 578 788
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
R Muhamad Juwarno Ridha dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 10 Juni 1983. Penulis merupakan putra ke-1 dari dua bersaudara pasangan Bapak RMN. Junarwan Ridha dan Ibu Siti Uhati. Pendidikan formal ditempuh di SDN Tanjungmulya II, SLTPN 1 Panumbangan, SMUN 1 Cihaurbeuti Ciamis dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun yang sama penulis mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor sebagai pilihan pertama.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kegiatan kemahasiswaan, yaitu Unit Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda (LISES) Gentra Kaheman Institut Pertanian Bogor menjabat sebagai Dewan Kehormatan (2005-2007). Penulis juga tergabung sebagai anggota International Forestry Student Association (IFSA) pada tahun 2005 dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006.
Pada tahun 2005 penulis tergabung dalam Volunteer Rimbawan Muda Indonesia dan pada tahun yang sama penulis juga tergabung dalam Volunteer Forum Indonesia Muda ke Nias.
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke-Hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan hasil penelitian ini dengan lancar. Penelitian dilaksanakan di kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat selama dua bulan, yaitu pada bulan Mei sampai Juni 2007. Penelitian ini berjudul Nilai Ekonomi Wisata Kawasan Situ Lengkong Panjalu Kabupaten Ciamis Dengan Metode Kontingensi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain:
1. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, MS dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, arahan, nasihat dan bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
2. Ir. Ahmad Hadjib, MS sebagai dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan dan Istie Sekartining Rahayu, S.Hut, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan.
3. Ayah, Umi dan Adik perempuanku serta keluarga besar R. Ido Barma Ridha dan M. Usin atas segala dukungan dan dorongan moral, materi dan spiritual, terutama atas doa dan bimbingannya.
4. Pengelola Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu dan aparat Pemerintah Desa Panjalu yang telah membantu selama pengumpulan data.
5. Teman-teman DKSHE angkatan 39, terutama Rudiansyah dan LISES Gentra Kaheman IPB serta VNOS atas segala bantuannya.
Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2008
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR TABEL...iv
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN...vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah... 2
1.3 Tujuan ... 4
1.4 Manfaat ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pariwisata ... 5
2.2 Pengelolaan Wisata Alam... 7
2.3 Nilai Sumberdaya Alam ... 8
2.4 Estimasi Nilai Ekonomi dari Kebijakan Lingkungan... 10
2.5 Penelitian Empirik Terdahulu... 13
BAB IV METODOLOGI 4.1 Lokasi dan Waktu... 16
4.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 16
4.3 Jenis Data yang Dikumpulkan... 16
4.4 Metode Pengumpulan Data ... 17
4.5 Metode Analisis Data ... 18
4.5.1 Karakteristik Responden ... 18
4.5.2 Pendugaan Nilai Ekonomi ... 18
BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Letak dan Luas ... 20
3.2 Status Kawasan... 20
3.4 Kondisi Fisik ... 21
3.5 Batas-batas Administrasi ... 22
3.6 Sejarah Kawasan ... 23
3.7 Aspek Tata Guna Lahan ... 24
3.8 Demografi Desa Panjalu... 25
3.9 Aksesibilitas Menuju Kawasan ... 26
3.10 Informasi Pengunjung Wisata ... 26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Sumberdaya Wisata ... 28
5.1.1 Sumberdaya Wisata Alam... 28
5.1.2 Sumberdaya Wisata Budaya ... 32
5.1.3 Pengelolaan Kawasan Situ Lengkong Panjalu ... 36
5.2 Nilai Ekonomi Wisata ... 38
5.2.1 Karakteristik Responden Penelitian ... 38
5.2.2 Analisis Nilai Ekonomi Wisata Berdasarkan Metode Kontingensi melalui Pendekatan Kesediaan Membayar dan Dibayar... 45
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan... 50
6.2 Saran ... 50
DAFTAR PUSTAKA ... 51
iv
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Demografi Desa Panjalu Tahun 2006 ... 19
2. Daftar jenis vegetasi yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu ... 27
3. Daftar satwaliar yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu ... 28
4. Karakteristik Pengunjung Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu ... 56
5. Motivasi Pengunjung Obyek Wisata Situ lengkong Panjalu ... 57
6. Karakterisik Masyarakat di Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu... 58
7. Persepsi Pengunjung tentang Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu ... 59
8. Persepsi Masyarakat Tentang Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu ... 59
9. Pendugaan Nilai Ekonomi Wisata Berdasarkan Kesediaan Membayar ... 60
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Diagram Surplus Konsumen Nilai Ekowisata Taman Nasional
Gunung Halimun (Widada 2004) ... 14
2. Peta Letak Kawasan Obyek Wisata Situ lengkong Panjalu ... 15
3. Peta Desa Panjalu... 17
4. Grafik Kunjungan Wisatawan ke Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu... 22
5. Situ Lengkong Panjalu ... 27
6. Nusa Gede Panjalu ... 28
7. Gerbang Nusa Gede Panjalu ... 28
8. Nusa Pakel... 29
9. Komplek Makam Prabu Hariang Kencana ... 21
10. Komplek Pemakamam Hujung Winangun... 32
11. Iring-iringan Upacara Adat Nyangku... 33
12. Gerbang Bumi Alit... 34
13. Benda Pusaka Panjalu ... 35
14. Aktivitas berperahu ... 41
15. Aktivitas berziarah ... 41
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Karakteristik Pengunjung Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu ... 55
2. Motivasi Pengunjung Obyek Wisata Situ lengkong Panjalu ... 56
3. Karakterisik Masyarakat di Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu ... 57
4. Persepsi Responden Penelitian ... 58
5. Pendugaan Nilai Ekonomi Wisata ... 59
6. Kuesioner WawancaraPengunjung ... 61
1.1 Latar Belakang
Wisata alam yang merupakan kegiatan pariwisata berkelanjutan, kegiatan utama wisatanya harus bertumpu pada usaha-usaha pelestarian sumberdaya alam maupun budaya. Kawasan wisata sebagai objek wisata dapat dijadikan sumber ekonomi berkelanjutan dan dikelola secara adil, sehingga menghasilkan keuntungan yang berkesinambungan bagi generasi masa kini. Pengelolaan wisatanya harus diikuti dengan menjaga potensi dan fungsi ekologi untuk memenuhi kebutuhan dan harapan generasi yang akan datang.
Fungsi ekologi merupakan layanan kepada manusia yang dapat bernilai ekonomi, kesehatan dan sosial budaya, tetapi nilai itu tidak nampak dalam bentuk uang. Metode untuk menghitung nilai ekonomi lingkungan dapat merupakan nilai potensi dan atau nilai pengganti. Cara lain dapat dinyatakan dalam kesediaan membayar masyarakat yang berkunjung (Soemarwoto, 2001). Banyak teknik-teknik penilaian yang dapat dipergunakan untuk mengkuantifikasikan konsep dari nilai ekonomi terutama nilai ekonomi wisata. Akan tetapi, konsep yang mendasari semua teknik yang ada adalah kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat untuk jasa-jasa wisata. Konsep dasar dalam penilaian ekonomi wisata ini adalah kesediaan membayar dari masyarakat untuk jasa-jasa lingkungan atau sumberdaya alam. Kesediaan membayar atau kesediaan menerima merefleksikan preferensi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya alam.
Kawasan Situ Lengkong Panjalu merupakan kawasan yang terdiri dari situ/danau dengan pulau kecil di tengahnya (Nusa Gede atau Nusa Larang). Nusa Gede atau Nusa Larang tersebut merupakan kawasan Cagar Alam Panjalu. Pada masa penjajahan Belanda, perhatian sangat besar ditujukan terhadap keberadaan dan kelestarian Nusa Gede. Pada tanggal 16 November 1921 pulau tersebut diberi nama "Pulau Koorders". Kawasan ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna, seperti rotan (Calamus javanensis), kihaji (Dysoxylum sp.), kikondang (Ficus variegata), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus).
2
makam leluhur Panjalu di Nusa Gede dan melihat benda pusaka Panjalu di Bumi Alit. Pencanangan kawasan Panjalu sebagai kawasan Wisata Ziarah oleh Gubernur Jawa Barat pada tanggal 17 Maret 2004 (Pranata, 2007). Areal situ/danaunya dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai kawasan wisata alam. Kegiatan wisata yang dapat dilakukan, yaitu kegiatan berperahu sekaligus menikmati pemandangan alamnya dan memancing ikan. Selain untuk kegiatan wisata, areal Situ Lengkong Panjalu mempunyai fungsi ekologi sebagai kawasan penyangga tata air, kawasan perlidungan flora dan fauna serta untuk melestarikan keutuhan Cagar Alam Panjalu.
Sebagai upaya pemanfaatan wisatanya, kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu ini harus berjalan dengan optimal tanpa harus mengorbankan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada, sehingga dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang panjang. Pemerintah daerah mendapatkan keuntungan yang tidak sedikit dari pungunjung yang datang untuk berwisata. Keberadaan kawasan tersebut sangat penting bagi masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti panambak/pencari ikan, penyedia jasa perahu wisata dan pedagang.
Pentingnya kawasan Situ Lengkong Panjalu yang dapat menghasilkan keuntungan ekonomi harus sejalan dengan upaya pelestariannya supaya kawasan ini tidak mengalami penurunan kualitas lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan studi untuk mengetahui nilai manfaat wisata dari kawasan Situ Lengkong Panjalu, Kabupaten Ciamis dengan menggunakan metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan membayar dan kesediaan dibayar masyarakat di lokasi penelitian.
1.2 Perumusan Masalah
Kawasan Situ Lengkong Panjalu sebagai sumberdaya alam dimanfaatkan sebagai tempat wisata alam merupakan barang publik yang dapat memberikan manfaat intangible, yaitu manfaat ekonomi yang tidak dapat dikuantifikasikan secara langsung karena tidak adanya nilai pasar untuk barang tersebut. Manfaat tersebut bersumber dari fungsi ekologi seperti pengatur tata air dan pengendali banjir yang merupakan barang (jasa) publik pada hakekatnya juga nilai ekonomi, karena jika fungsi ekologi kawasan Situ Lengkong Panjalu terganggu, maka akan menimbulkan ketidakmanfaatan atau terjadi kerugian adanya bencana atau kerusakan.
Lengkong Panjalu yang diakibatkan oleh penggunaan perahu motor wisata. Air situ menjadi kotor, ikan sering banyak yang mati, banyak sampah plastik dan kondisi air situ yang surut karena kawasan pinggir situ yang seharusnya menjadi daerah penyangga resapan air menjadi areal persawahan dan perumahan. Dengan demikian, fungsi ekologi kawasan Situ lengkong Panjalu dirasakan perlu memberikan perlindungan terhadap kerusakan ekologi, sehingga ada keinginan, kebutuhan dan tuntutan pengunjung/masyarakat agar kawasan ini tetap berfungsi dengan baik secara ekologi maupun untuk kegiatan wisatanya.
Selama ini, pendapatan pemerintah desa Panjalu masih mengandalkan dari pendapatan wisata Situ Lengkong Panjalu. Akan tetapi, upaya pemanfaatan Situ Lengkong Panjalu melalui kegiatan wisata belum dilakukan secara optimal Diantaranya, belum adanya kebijakan pengelolaan yang terpadu, keragaman aktivitas ekonomi yang berlangsung di Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu belum diidentifikasi secara jelas, terperinci dan lengkap, misalnya berapa nilai ekonomi setiap tahunnya yang dapat diperoleh dari pemanfaatan kawasan Situ Lengkong Panjalu tersebut sebagai tujuan wisata. Besarnya manfaat ekonomi yang diperoleh dari Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu belum diketahui. Sehingga, upaya untuk menghitung ekonomi sumberdaya alam yang ada harus dilakukan. Hal tersebut sejalan dengan kondisi dan keberadaan kawasan Situ Lengkong Panjalu yang sangat penting di daerah Panjalu bagi kepentingan ekonomi, sosial budaya dan ekologi.
4
berdasarkan analisis metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan membayar dan dibayar masyarakat di lokasi tersebut?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai ekonomi wisata kawasan Situ Lengkong Panjalu sebagai kawasan wisata yang mempunyai fungsi ekologi bagi kelestarian kawasan Situ Lengkong dan Cagar Alam Panjalu dengan menggunakan metode kontingensi melalui pendekatan nilai kesediaan membayar dan dibayar masyarakat.
1.4 Manfaat
2.1 Pariwisata
Undang-undang No. 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan mendefinisikan
pariwisata sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk
pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang
tersebut. Pariwisata sebagai ilmu merupakan kegiatan manah (pikiran dan perasaan)
manusia mengenai berbagai hal/sesuatu atau apa saja, termasuk pariwisata (Pendit,
1999).
Pariwisata dapat dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, misalnya saja
sebagai suatu gejala yang melukiskan kepergian orang-orang di dalam negaranya
sendiri (pariwisata domestik) atau penyeberangan orang-orang pada tapal batas suatu
negara (pariwisata internasional). Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru
yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan
kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam
negara penerima wisatawan (Wahab, 1992). Sedangkan menurut Marpaung (2002),
pariwisata adalah perpindahan sementara yang dilakukan manusia dengan tujuan
keluar dari pekerjaan-pekerjaan rutin dan keluar dari tempat kediamannya. Menurut
Yoeti (1997), pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara
waktu, dari suatu tempat ke tempat lain, dengan maksud tujuan bukan untuk berusaha
(bisnis) atau mencari nafkah di tempat yang ia kunjungi, tetapi semata-mata sebagai
konsumen menikmati perjalanan tersebut untuk memenuhi keinginan yang
bemacam-macam.
Wisata merupakan padanan kata tour (dalam bahasa Inggris) yang berarti sebuah perjalanan (Suyitno, 2001). Sedangkan wisata menurut Undang-undang No 9
tahun 1990 tentang kepariwisataan adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari
kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk
menikmati objek dan daya tarik wisata.
Tidak semua perjalanan dapat dikatakan wisata, maka menurut Suyitno
(2001), untuk membedakannya dengan perjalanan pada umumnya, maka wisata
memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Bersifat sementara, dalam jangka waktu pendek pelaku wisata akan kembali ke
6
2. Melibatkan beberapa komponen wisata, seperti sarana transportasi, akomodasi dan
lain-lain.
3. Umumnya dilakukan dengan mengunjungi obyek dan atraksi wisata, daerah atau
bahkan negara secara berkesinambungan.
4. Memiliki tujuan tertentu yang intinya untuk mendapatkan kesenangan.
5. Tidak untuk mencari nafkah di tempat tujuan.
Di masa sekarang ini perhatian terhadap kegiatan wisata sudah sangat meluas
karena sadar akan manfaat-manfaat yang didatangkan dari daerah penerima
wisatawan. Bahwa pariwisata menjadi sumber pendapatan daerah dengan menjual
jasa-jasa dan barang-barang yang berkaitan dengan wisata (Wahab,1992).
Daerah penerima wisatawan (wilayah pariwisata) tersebut merupakan tempat atau
daerah yang karena atraksinya, situasinya dalam hubungan lalu lintas dan
fasilitas-fasilitas wisatanya menyebabkan tempat atau daerah tersebut menjadi objek
kebutuhan wisatawan. Ada tiga kebutuhan utama yang harus dipenuhi oleh suatu
daerah untuk menjadi tujuan wisata, yaitu memiliki atraksi atau objek menarik,
mudah dicapai dengan alat-alat kendaraan dan menyediakan tempat untuk tinggal
sementara (Pendit, 1999). Cooper et al. (1998) menyatakan bahwa objek wisata terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
1. Atraksi wisata; baik itu berupa alam, buatan (hasil karya manusia), atau peristiwa
(kegiatan) yang merupakan alasan utama kunjungan.
2. Fasilitas-fasilitas dan pelayanan; dibutuhkan oleh wisatawan di daerah tujuan
wisata.
3. Akomodasi; makanan dan minuman tidak hanya tersedia dalam bentuk fisik, tapi
juga harus dapat menciptakan perasaan hangat dan memberikan kenangan pada
lingkungan dan makanan setempat.
4. Aksesibilitas (jalan dan transportasi); merupakan salah satu faktor kesuksesan
daerah tujuan wisata.
5. Faktor-faktor pendukung; seperti kegiatan pemasaran, pengembangan dan
koordinasi.
Menurut Suyitno (2001), sebagai suatu produk, wisata memiliki ciri-ciri yang
khas yang membedakan dengan produk pada umumnya, yaitu :
2. Tidak memiliki ukuran kuantitatif (unmeasurable), wisata tidak memiliki satuan ukuran tertentu, misalnya kilogram, meter atau yang lainnya.
3. Tidak tahan lama dan mudah kadaluarsa (perishable), masa jual wisata terbatas, yaitu semenjak produk itu ditawarkan hingga menjelang diselenggarakan.
4. Tidak dapat disimpan (unstorable), karena sifatnya yang mudah kadaluarsa, maka kita tidak menimbun sisa produk yang tidak terjual.
5. Melibatkan konsumen (wisatawan) dalam proses produksinya.
6. Proses produksi dan konsumsi terjadi dalam kurun waktu yang sama.
2.2 Pengelolaan Wisata Alam
Menurut Ko (2001) pengelolaan suatu objek wisata alam merupakan bagian
dari strategi perlindungan alam. Pengelolaan harus dilandasi peraturan ketat perihal
konservasi alam, diharapkan dampak negatif pengunjung obyek wisata alam dapat
diminimalkan Pengelolaan wisata merupakan suatu sistem terbuka yang secara
langsung dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi di luar sistem, organisasi dan batas
hukumnya. Pengelolaan wisata alam di dalamnya terdapat tiga hal yang utama, yaitu
pengunjung, sumberdaya alam dan pengelolanya.
Pengelolaan suatu obyek wisata alam terdiri dari beberapa aspek yang perlu
diperhatikan secara seimbang, yaitu (Ko, 2001):
1. Pengelolaan Teknis
2. Pengelolaan Personalia
3. Pengelolaan Lingkungan
4. Pengelolaan Administrasi
5. Pengelolaan Keuangan
Aspek pengelolaan wisata, yaitu dengan mengembangkan profesionalisme dan
pola pengelolaan obyek dan daya tarik wisata alam yang siap mendukung kegiatan
pariwisata alam dan mampu memanfaatkan potensi obyek dan daya tarik wisata alam
secara lestari. Pemerintah Daerah berkewajiban melaksanakan koordinasi,
perencanaan, pelaksanaan serta monitoring pengembangan obyek dan daya tarik
wisata alam.
Cagar Alam Panjalu merupakan sebuah pulau kecil yang biasa disebut Nusa
Gede atau Nusa Larang terletak di tengah situ/danau Lengkong Panjalu. Menurut
Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 2 Tahun 1996 tentang Pengelolaan
8
alam adalah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan
tumbuhan satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan
perkembangannya berlangsung secara alami. Perlindungan terhadap kawasan cagar
alam dilakukan untuk melindungi kekhasan biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan
alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan kegiatan lainnya yang
menunjang budidaya.
Kriteria kawasan cagar alam menurut Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat
No. 2 Tahun 1996 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Tingkat
I Jawa Barat adalah:
1. Kawasan darat dan atau perairan yang ditunjuk mempunyai luas tertentu yang
menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga cukup luas serta
mempunyai kekhasan jenis tumbuhan, satwa atau ekosistemnya;
2. Kondisi alam, baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum
diganggu manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, bahwa cagar alam dikelola dengan melakukan
upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya.
Sedangkan pemanfaatan cagar alam untuk keperluan penelitian dan pengembangan,
ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya.
Olah karena itu, pemanfaatan Cagar Alam Panjalu tidak untuk kegiatan wisata.
Sedangkan kawasan Situ Lengkong Panjalu dimanfaatkan sebagai kawasan wisata
alam dengan tetap memperhatikan keutuhan/kelestarian kawasan situ dan Cagar Alam
Panjalu (Suganda, 2003).
2.3 Nilai Sumberdaya Alam
Sumberdaya alam seringkali tidak dihargai dengan pantas di pasaran. Bahkan
ketika sumberdaya alam tersebut diperdagangkan secara langsung di pasaran,
mungkin memiliki nilai ekonomi lain yang tidak tercermin pada harganya. Beberapa
sumberdaya alam dapat dengan mudah diubah menjadi penghasilan dengan cara
memanen, sedangkan sumberdaya alam yang lain menghasilkan sejumlah jasa yang
tidak menunjukkan harga yang nyata. (McNeely, 1992).
McNeely (1992) juga menjelaskan bahwa perhitungan nilai serta biaya
pelestarian sumberdaya alam memberikan suatu dasar untuk menentukan nilai total
juga memiliki nilai ekonomi, investasi dalam usaha pelestarian haruslah dilihat sesuai
dengan prinsip ekonomi yang memerlukan sarana yang dapat diandalkan dan dapat
dipercaya untuk mengukur keuntungan pelestariannya.
Klasifikasi nilai sumberdaya alam terbagi dua bagian, yaitu (McNeely, 1992) :
1. Nilai Langsung, yang meliputi Nilai Pendayagunaan Konsumtif dan Nilai
Pendayagunaan Produktif.
2. Nilai Tidak Langsung, yang meliputi Nilai Pendayagunaan Non-Konsumtif, Nilai
Pilih dan Nilai Eksistensi.
Nilai langsung sumberdaya alam berkaitan dengan kenikmatan atau kepuasan
yang diterima secara langsung oleh konsumen. Nilai tersebut dengan mudah dapat
diamati dan diukur yang seringkali dengan menetapkan harga. Nilai pendayagunaan
konsumtif merupakan nilai yang diterapkan pada produk alamiah yang langsung
dikonsumsi tanpa melewati pasar, seperti jasa wisata sebagai nilai dari seluruh
kegiatan wisata. Nilai pendayagunaan produktif merupakan nilai yang dikenakan pada
produk yang dihasilkan secara komersial, seperti kayu bakar, ikan, kulit binatang,
tanaman obat dan lain-lain.
Nilai tidak langsung dari sumberdaya alam merupakan nilai yang berhubungan
terutama dengan fungsi ekosistem (sumberdaya lingkungan). Nilai ini merefleksikan
nilai sumberdaya tersebut kepada masyarakat luas daripada individu atau badan
hukum yang ada. Nilai pendayagunaan non-konsumtif secara umum lebih mengarah
pada fungsi alamiah atau jasa dari barang yang menyediakan nilai tanpa harus
dikonsumsi dan diperdagangkan di pasar. Pendayagunaan non-konsumtif kegiatan
wisata ke sumberdaya alam yang dikelola seringkali dapat memberikan pengakuan
ekonomi yang kuat bagi pelestarian sumberdaya alam, terutama jika kawasan tersebut
merupakan daya tarik utama bagi wisatawan. Nilai pilih adalah suatu cara menilai
sumberdaya alam untuk masa yang akan datang. Sedangkan nilai eksistensi
merupakan cara untuk menilai sumberdaya alam dengan menghargai keberadaan
sumberdaya tanpa ada keinginan untuk melihat atau memanfaatkannya, sehingga
diharapkan generasi yang akan datang dapat memperoleh keuntungan dari
sumberdaya tersebut (McNeely, 1992).
Nilai konservasi sumberdaya alam dari segi ekonomi merupakan penggunaan
sumberdaya alam secara lestari dengan mengingat unsur waktu atau merupakan
keputusan yang diambil perusahaan, perorangan maupun masyarakat dalam hal
10
konservasi/nilai pelestarian tersebut merupakan biaya sosial, yaitu biaya/pengorbanan
yang ditanggung masyarakat. Biaya sosial ini tidak hanya menghitung biaya yang
berwujud uang, tetapi juga biaya yang tidak berwujud uang (Reksohadiprodjo, 1994).
2.4 Estimasi Nilai Ekonomi dari Kebijakan Lingkungan
Keuntungan ekonomi dari kebijakan perubahan kualitas lingkungan adalah
nilai uang dari peningkatan lingkungan alam dan lingkungan buatan manusia yang
dihasilkan oleh kebijakan tersebut atau terhindarnya biaya yang besar dalam
menangani biaya yang ditimbulkan oleh kerusakan lingkungan. Estimasi keuntungan
lingkungan ini adalah kompleks dan kontroversial karena melibatkan banyak faktor,
seperti metode yang digunakan, proses dan jenis nilai yang diukur serta masalah
teknis dan taktis dalam aplikasinya.
Ada dua metode utama dalam penilaian keuntungan dari perubahan
lingkungan, yaitu :
a. Metode penilaian non-moneter (Non Monetery Valuation Methode). Berdasarkan metode ini, dampak perubahan lingkungan diukur dengan menggunakan skala
pengukuran tertentu, sehingga bisa diketahui derajat atau tingkat perubahan
lingkungan yang terjadi. Metode pengukuran yang bisa dipakai ada tiga macam,
yaitu :
1) Skala ordinal (ordinal scale). Unsur-unsur dalam skala ordinal dirangking dengan urutan tertentu tetapi jarak antara dua posisi adalah tidak diketahui.
Dampak yang diukur dengan skala ini dikategorikan kualitatif.
2) Skala interfal (interval scale). Unsur-unsur diurutkan dengan urutan tertentu tetapi jarak antara dua posisi diketahui. Rasionya tidak bisa
dihitung karena tidak ada sumbernya.
3) Skala rasio (ratio scale). Skala ini merupakan skala interfal tetapi mempunyai sumber/dasar sehingga bisa dihitung.
b. Metode penilaian moneter (Monetary Valuation Methode). Metode ini merupakan metode yang menilai efek dari perubahan kualitas lingkungan dengan nilai uang
dan menggunakan metode-metode penilaian ekonomi yang telah dikembangkan.
Terdapat beberapa metode penilaian ekonomi terhadap barang lingkungan
biaya perjalanan, metode perilaku menengah dan metode yang paling popular adalah
Metode Kontingensi (Contingent Valuation Methode).
a. Metode Dosis-Respon (The Dose-Response Methode), didasarkan pada gagasan bahwa bagi kebanyakan aktifitas, kualitas lingkugan bias dianggap sebagai suatu
factor produksi. Metode ini terdiri dari dua langkah, yaitu mengestimasi hubungan
antara dosis dan respon antara tingkat polusi dan beberapa dampaknya terhadap
bahan-bahan tertentu, dan perubahan dalam respon yang disebabkan oleh
kebijakan lingkungan harus diterjemahkan ke dalam efek ekonomi.
b. Metode Harga Hedonik (Hedonic Price Methode), didasarkan pada gagasan bahwa barang pasar meyediakan pembeli dengan sejumlah jasa, yang beberapa
diantaranya dapat merupakan kualitas lingkungan. Metode ini terdiri dari dua
tahapan, yaitu harga rumah atau property diregresi terhadap semua variable yang
diduga mempunyai pengaruh terhadap nilai rumah tersebut, dan harga polusi
udara di atas digunakan untuk menghitung atau mengestimasi fungsi permintaan.
c. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Methode), dilakukan dengan menggunakan informasi tentang jumlah uang yang dikeluarkan dan waktu yang digunakan orang
untuk mencapai tempat rekreasi untuk mengestimasi besarnya nilai keuntungan
dari upaya perubahan kualitas lingkungan dari tempat rekreasi yang dikunjungi.
Metode ini terdiri dari dua tahapan, yaitu jumlah kunjungan ke lokasi rekreasi
diregresi dengan biaya perjalanannya, dan nilai lokasi rekreasi diperoleh dengan
menghitung daerah kurva perjalanan/kunjungan di atas biaya perjalanan rata-rata.
d. Metode Perilaku Mencegah (The Averting Behaviour Methode), didasarkan pada pengeluaran untuk mengurangi atau mengatasi efek negatif dari polusi.
e. Metode Kontingensi (Contingent Valuation Methode), adalah metode teknik survey untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau harga yang mereka
berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki nilai pasar.
Prinsip yang mendasari metode kontingensi ini adalah bahwa bagi orang yang
mempunyai preferensi yang benar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis
barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk mentransformasi preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai
uang. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa orang akan bertindak nantinya seperti
yang dia katakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan menjadi
12
dasarnya metode kontingensi ini menilai barang lingkungan dengan menanyakan
dua pertanyaan berikut :
1) Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang
(willingness to pay) setiap tahunnya untuk memperoleh peningkatan kualitas
lingkungan.
2) Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang
(willingness to accept) setiap tahunnya sebagai kompensasi atas diterimanya
kerusakan lingkungan (dampak negatif dari lingkungan).
Asumsi dasar dari metode kontingensi adalah bahwa individu-individu
memahami benar pilihan-pilihan yang ditawarkan pada mereka dan bahwa cukup
familiar atau tahu kondisi lingkungan yang dinilai dan bahwa apa yang dikatakan
orang adalah sungguh-sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk
barang lingkungan itu benar-benar terjadi.
Perhitungan jumlah total kesediaan membayar dan diperoleh dari nilai
rata-rata kesediaan membayar dan dibayar pada tingkat harga tertentu, yang menurut
Safriet al (1996) dalam Latifah (2004), yaitu : n
1) WTP = WTP * pWTP = Kesediaan membayar pada harga tertentu i = 1
n
2) WTA = WTA * pWTA = Kesediaan dibayar pada harga tertentu i = 1
Metode kontingensi ini lebih subyektif karena datanya merupakan jawaban
dari pertanyaan yang hipotesis. Hal lain yang menyangkut dengan metode
penilaian kontingensi, yaitu (Cropper, 1999) :
1) Kemungkinan yang individu/responden boleh bertindak secara strategis dalam
menjawab pertanyaan.
2) Faktanya bahwa individu tidak mungkin cukup terbiasa dengan komoditas
untuk mempunyai suatu nilai yang dirumuskan dengan baik.
2.5 Penelitian Empirik Terdahulu
Penelitian tentang pariwisata pada umumnya telah banyak dilakukan, baik
mengenai wisata alam maupun wisata budaya. Sementara itu, penelitian tentang nilai
enonomi wisata suatu kawasan wisata telah banyak dilakukan. Akan tetapi di
Kawasan Wisata Situ Lengkong Panjalu belum ada penelitian khusus mengenai nilai
manfaat wisatanya.
Menurut Widada (2004) dari penelitiannya yang berjudul Nilai Ekowisata Taman
Nasional Gunung Halimun, nilai ekonomi wisata merupakan nilai manfaat dari
kualitas jasa lingkungan yang berupa ekosistem alami, keanekaragaman hayati yang
tinggi dan keindahan alam kawasan wisata. Bila kualitas jasa lingkungan didukung
dengan sarana wisata yang meningkat, maka kunjungan wisata akan meningkat pula.
Sementara menurut Yahya (2004), salah satu metode untuk mengetahui nilai
manfaat wisata adalah dengan metode kontingensi melalui pendekatan kesediaan
membayar dan kesediaan dibayar. Pendugaan nilai ekonomi wisata berdasarkan
pendekatan metode kontingensi dilakukan melalui wawancara secara langsung dengan
responden/pengunjung. Pendekatan ini didasarkan atas kesediaan membayar
(willingness to pay) dan dibayar dari pengunjung. Pendekatan tersebut, yaitu berapa besar biaya yang dikeluarkan atas kesenangan/kepuasan yang diperolehnya agar dapat
kembali menikmati kegiatan wisata dan berapa besar nilai ganti rugi yang diinginkan
apabila tidak diperbolehkan atau dilarang untuk dapat kembali menikmati wisata di
tempat tersebut.
Dalam penelitian Yahya (2004) yang berjudul Studi Permintaan Terhadap
Manfaat Rekreasi Alam di Wana Wisata Curug Cilember, KPH Bogor, BKPH Bogor,
nilai manfaat rekreasi terhadap Wana Wisata Curug Cilember adalah hasil kali antara
nilai rata-rata kesediaan membayar atau nilai rata-rata kesediaan dibayar dikalikan
dengan jumlah pengunjung. Nilai kesediaan membayarnya lebih kecil dari nilai
kesediaan untuk dibayar. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar
pengunjung Wana Wisata Curug Cilember menginginkan biaya yang tidak terlalu
besar dengan rata-rata kesediaan membayar mereka sebesar Rp. 4.095,39. Walaupun
nilai tersebut lebih besar dari pada harga karcis yang diberlakukan pada saat itu
sebesar Rp. 3.750,00, hal ini dapat disebabkan karena kebutuhan atas rekreasi di
Wana Wisata Curug Cilember yang cukup besar bagi pengunjung.
Hasil perhitungan nilai ekonomi wisata berdasarkan nilai kesediaan membayar
14
memiliki kesediaan membayar lebih besar dari nilai yang dibayarkan berarti terdapat
surplus konsumen. Besarnya daerah surplus konsumen dapat dilihat pada diagram
Gambar 1.
(Rp)
Nilai yang dibayarkan Surplus Konsumen
(jumlah pengunjung)
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kontingensi, yaitu
metode teknik survey untuk menanyakan kepada penduduk tentang nilai atau
harga yang mereka berikan terhadap komoditi yang tidak memiliki nilai pasar.
Metode ini memiliki kemampuan untuk diterapkan dalam menilai keuntungan dari
penyediaan barang lingkungan pada lingkup masalah lingkungan yang luas dan
juga mampu menentukan pilihan estimasi harga pada kondisi ketidakmenentuan.
Prinsip yang mendasari metode kontingensi ini adalah bahwa bagi orang yang
mempunyai preferensi yang benar tetapi tersembunyi terhadap seluruh jenis
barang lingkungan, kemudian diasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai
kemampuan untuk mentransformasi preferensi tersebut ke dalam bentuk nilai
uang. Dalam hal ini, diasumsikan bahwa orang akan bertindak nantinya seperti
yang dia katakan ketika situasi hipotesis yang disodorkan kepadanya akan
menjadi kenyataan pada masa yang akan datang. Dengan dasar asumsi ini, maka
pada dasarnya metode kontingensi ini menilai barang lingkungan dengan
menanyakan dua pertanyaan berikut :
a) Berapakah jumlah maksimum uang yang ingin dibayar oleh seseorang
(willingness to pay) setiap tahunnya untuk memperoleh peningkatan
kualitas lingkungan.
b) Berapakah jumlah maksimum uang yang bersedia diterima oleh seseorang
(willingness to accept) setiap tahunnya sebagai kompensasi atas
diterimanya kerusakan lingkungan (dampak negatif dari lingkungan).
Kedua pertanyaan di atas perlu untuk menentukan suatu pasar hipotesis
terhadap perubahan lingkungan yang diinginkan. Asumsi dasar dari metode
kontingensi adalah bahwa individu-individu memahami benar pilihan-pilihan
yang ditawarkan pada mereka dan bahwa cukup familiar atau tahu kondisi
lingkungan yang dinilai dan bahwa apa yang dikatakan orang adalah
sungguh-sungguh apa yang akan mereka lakukan jika pasar untuk barang lingkungan itu
16
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian Nilai Ekonomi Wisata Kawasan Situ Lengkong Panjalu
Kabupaten Ciamis Dengan Metode Kontingensi ini diadakan di kawasan wisata
Situ Lengkong Panjalu, Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu, Propinsi Jawa Barat.
Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Mei sampai bulan
Juni 2007.
4.2 Bahan dan Alat
Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara
(kuesioner) penelitian. Panduan wawancara/kuesioner ini diisi oleh setiap
responden yang dipandu bersama peneliti. Alat-alat yang diperlukannya adalah
alat-alat yang mendukung/membantu untuk kelancaran penelitian sampai akhir.
Alat-alat tersebut, yaitu kamera, alat tulis menulis, dan komputer beserta
perlengkapannya.
4.3 Jenis Data Yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan merupakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari survey langsung ke tempat penelitian dengan
mengadakan wawancara dan pengisian kuesioner kepada pengunjung dan
masyarakat sebagai sampel sekaligus wawancara dengan pihak pengelola untuk
mengetahui kondisi pengelolaan kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu pada saat
penelitian.
Sedangkan data sekunder merupakan data hasil wawancara dengan
pihak-pihak yang terkait (pengelola, pemerintah daerah dan masyarakat), buku-buku dan
literatur lainnya. Data sekunder ini berupa informasi mengenai kondisi umum
kawasan (letak dan luas, kondisi biotik, sejarah kawasan, dan kondisi masyarakat
4.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, pengamatan langsung
di lapangan dan wawancara.
1. Studi Literatur
Studi literatur dimaksudkan untuk mendapatkan data dan informasi
mengenai gambaran umum lokasi penelitian yaitu dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan, pustaka buku-buku tentang kawasan wisata Situ Lengkong
Panjalu dan informasi internet.
2. Kuesioner dan Wawancara Terpandu
Wawancara terpandu dilakukan di wilayah penelitian dengan bantuan
panduan wawancara dan pengisian kuesioner yang telah disusun sesuai dengan
tujuan penelitian kepada pengunjung wisata dan masyarakat yang dipilih
sebagai sampel penelitian.
Pengunjung dibagi menurut kelas umur menjadi 4 (empat) kelompok,
yaitu remaja (>13 – 19 tahun), dewasa muda (>19 - 30 tahun), dewasa (>30 - 50 tahun) dan dewasa tua (>50 tahun). Masing-masing kelompok memiliki proporsi jenis kelamin responden yang seimbang.
Menurut Sevilla et al (1993), semakin banyak sampel yang diperoleh, maka semakin baik hasil penelitian yang didapatkan. Banyaknya
sampel/responden pengunjung dalam penelitian ini adalah 40% dari rata-rata
jumlah pengunjung per harinya pada data terbaru tahun sebelum penelitian,
yaitu tahun 2006. Pada tahun 2006 jumlah pengunjung sebanyak 219.396
orang (Kantor Desa Panjalu, 2007). Jadi jumlah sampel pengunjung penelitian
ini sebanyak 244 orang. Pengunjung yang datang sendiri diambil sebagai
sampel, sedangkan untuk pengunjung yang berkelompok atau rombongan
diambil sampel yang dianggap dapat mewakili anggota
kelompok/rombongannya.
Untuk jumlah sampel kuesioner masyarakat, diambil masyarakat yang
berusaha memanfaatkan kegiatan wisata di kawasan Situ Lengkong Panjalu
pada saat penelitian sebanyak 10 % dari jumlah populasi yang ada pada saat
penelitian, yaitu responden yang mewakili sampel pemilik warung/pedagang
18
dari satu orang, penyedia jasa telekomunikasi satu dari dua orang dan fotografi
satu dari satu orang. Jumlah responden adalah 16 orang dari 129 orang.
3. Observasi/Pengamatan Langsung
Pengamatan/observasi secara langsung dilakukan di lapangan. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk mengetahui
nilai ekonomi kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu.
4.5 Metode Analisis Data
4.5.1 Karakteristik Responden Penelitian
Data karakteristik responden pengunjung hasil wawancara baik secara
lisan maupun kuisioner dianalisa secara tabulasi dan dideskripsikan. Penduga
karakteristik pengunjung yaitu pendapatan, frekuensi kunjungan wisata, jarak
rumah ke tempat wisata, lamanya berwisata, jumlah tanggungan keluarga,
pendidikan dan persepsi tentang kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu
(keindahan alam, aksesibilitas, fasilitas kawasan, keamanan dan kondisi
lingkungan).
Sedangkan penduga karakteristik masyarakat yaitu pendapatan usaha,
lamanya berusaha, jumlah tanggungan keluarga, pendidikan dan persepsi tentang
kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu (keindahan alam, aksesibilitas, fasilitas
kawasan, keamanan dan kondisi lingkungan).
4.5.2 Pendugaan Nilai Ekonomi Wisata
Dalam penelitian ini, untuk menduga nilai ekonomi wisata dapat diketahui
dengan nilai kesediaan membayar dan kesediaan dibayar responden pengunjung
dan masyarakat di lokasi penelitian. Perhitungan jumlah total kesediaan
membayar dan dibayar serta diperoleh dari nilai rata-rata kesediaan membayar
dan dibayar pada tingkat harga tertentu, yang menurut Safri et al (1996) dalam Latifah (2004), yaitu :
n
n
2. WTA = WTP *pWTP pada harga tertentu i = 1
Dimana :
1 = kelas ke-i
n
WTP = willingness to pay (rata-rata kesediaan membayar) i = 1
WTP = jumlah pengunjung pada harga tertentu yang mau dibayar n
WTA = willingness to accept (rata-rata kesediaan dibayar seandainya i = 1 kesempatan mereka menikmati jasa tersebut dihilangkan)
WTA = jumlah pengunjung pada harga tertentu yang mau diterima
Nilai ekonomi wisata dengan metode kontingensi melalui pendekatan
kesediaan membayar dan dibayar responden penelitian menggunakan rumus di
bawah ini :
Total nilai kesediaan membayar/dibayar (TWP/A) responden penelitian
dengan rumus (Dixon, 1991) :
TWP/A = Ȉ AWPi/Ai x (ni / N) x (Ȉ Populasi)
Dengan : AWPi/Ai = Kesediaan Membayar/Dibayar rata-rata ke-i
ni = Banyaknya sampel yang bersedia membayar/dibayar
N = Banyaknya sampel yang diwawancarai
Hasil perhitungan nilai ekonomi wisata berdasarkan nilai kesediaan
membayar akan menghasilkan surplus konsumen. Surplus konsumen akan
didapatkan melalui selisih antara nilai kesediaan membayar dengan pendapatan
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
3.1 Letak dan Luas
Kawasan Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu secara administratif terletak di Desa Panjalu, Kecamatan Panjalu yang berada di bagian utara Kabupaten Ciamis, Propinsi Jawa Barat. Secara astronomis kawasan ini terletak antara 7°9’ – 7°17’ LS dan 108°4’ – 108°21’ BT.
Kawasan Wisata Situ Lengkong Panjalu, Kabupaten Ciamis,
Jawa Barat
Gambar 2 Peta Letak Kawasan Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu.
Luas Situ Lengkong Panjalu adalah 57.95 ha dan Nusa Gede 9.25 ha sehingga luas keseluruhannya adalah 67.2 ha. Kedalaman air di Situ Lengkong Panjalu berkisar antara 2 – 6 m
3.2 Status Kawasan
nama menjadi Pulau Koorders. Sebagai bentuk penghargaan kepada Dr. Koorders, ketua pertama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863.
Pada tanggal 21 Pebruari 1919 area Situ Lengkong dengan Pulau Koorders yang sering disebut Nusa Gede atau Nusa Panjalu atau Nusa Larang dinyatakan sebagai kawasan cagar alam yang benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di dalamnya. Ketetapannya terdapat dalam Keputusan : GB 6 stbl 90 Tanggal 21 Pebruari 1919 (Departemen Kehutanan, 2002). Pengelolaannya di bawah Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat II (BKSDA Jabar II). Sedangkan areal Situ Lengkong Panjalu secara bersama, BKSDA Jabar II dan pemerintah daerah Panjalu mengelola kelestarian alamnya sekaligus memanfaatkannya untuk kegiatan wisata.
3.3 Keadaan Biotik
Tumbuhan yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu, antara lain : rotan (Calamus sp), tepus (Zingiberaceae sp), dan langkap (Arenga sp). Pengunjung juga dapat melihat pohon kileho (Sauraula sp), kihaji (Dysoxylum sp) dan kikondang (Ficus variegata) serta berbagai jenis tumbuhan bawah (Suganda, 2003).
Selain jenis flora, di kawasan Situ Lengkong Panjalu atau di Nusa Gede dapat ditemui berbagai jenis fauna, antara lain tupai (Calosciurus nigrittatus), burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus) serta berbagai jenis burung (Suganda, 2003).
3.4 Kondisi Fisik
Keadaan topografi kawasan Situ Lengkong Panjalu dengan bentang relief termasuk datar. Kawasan ini berada pada ketinggian tempat ± 731 meter di atas permukaan laut. Di sekitar pinggiran Situ Lengkong Panjalu terdapat areal persawahan, kolam ikan termasuk pemukiman milik penduduk sekitar.
Menurut klasifikasi iklim Schmidt Ferguson, kawasan Cagar Alam Panjalu termasuk type B dengan curah hujan rata-rata 3.195 mm per tahun. Kawasan ini memiliki suhu rata-rata antara19 - 32 0C.
22
Kelembaban rata-rata per tahun diperkirakan sebesar 82%, dengan data penunjang mengenai kelembaban pada kota-kota lain adalah sebagai berikut: Bandung (51% - 86%) dan Cilacap (78% - 91%).
Angin yang lebih kuat adalah yang berasal dari tenggara dan bervariasi dari barat ke selatan ke timur sepanjang bulan Januari hingga Maret, dengan kecepatan empat sampai dengan lima knots.
3.5 Batas-batas Administrasi
Situ Lengkong Panjalu terdapat di Panjalu. Panjalu ini merupakan sebuah desa yang terletak di bagian utara Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Luas wilayah Desa Panjalu sekitar 862,185 Ha.
Situ Lengkong Panjalu
Gambar 3 Peta Desa Panjalu.
Batas Desa Panjalu adalah sebagai berikut:
Sebelah Selatan : Desa Kertamandala dan Desa Mandalare Sebelah Barat : Desa Banjarangsana dan Desa Pagerageung
(Kecamatan Panumbangan).
3.6 Sejarah Kawasan
Kawasan wisata Situ Lengkong Panjalu merupakan perpaduan antara objek wisata alam dan objek wisata budaya. Di objek wisata ini kita bisa menyaksikan indahnya danau (situ) yang berhawa sejuk dengan sebuah pulau terdapat di tengahnya yang disebut Nusa Larang. Di nusa ini terdapat Makam Hariang Kencana, putra dari Hariang Borosngora, Raja Panjalu yang membuat Situ Lengkong pada masa beliau menjadi raja kerajaan Panjalu. Untuk menghormati jasa para leluhur Panjalu, maka sampai saat ini warga keturunan Panjalu biasa melaksanakan semacam upacara adat yang disebut Nyangku. Acara ini dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Maulud dengan jalan membersihkan benda-benda pusaka yang disimpan di sebuah tempat khusus (semacam museum) yang disebut Bumi Alit. Kegiatan wisata yang bisa dilaksanakan di sini antara lain: berperahu mengelilingi nusa, memancing, camping, dan sebagainya (SMKN 1 Ciamis, 2006).
24
di daerah yang kini disebut Nusa Gede. Namun, beberapa tahun setelah naik tahta, ia menyerahkan kekuasaannya kepada anaknya, Prabu Haryang Kuning. Prabu Sanghyang Borosngora sendiri kemudian pindah ke Jampang Manggung dan menyebarkan Islam di sana.Kerajaan Panjalu pernah kuat dan besar.
Dalam perjalanan selanjutnya, kerajaan tersebut pernah masuk menjadi bagian Kesultanan Cirebon sampai akhirnya menjadi kabupaten. Wilayahnya kemudian digabung dengan Kabupaten Imbanagara dan Divisi Kawali sehingga menjadi Kabupaten Ciamis sekarang (Retno, 2005).
3.7 Aspek Tata Guna Lahan
Pola penggunaan lahan di Kecamatan Panjalu secara umum masih didominasi oleh lahan terbuka (pertanian) yang terdiri dari lahan basah dan lahan kering. Lahan basah yang ditemui di wilayah perencanaan terdiri dari sawah, danau, situ, empang dan kolam. Sedangkan lahan kering dapat dibedakan menjadi kawasan terbangun, ladang, padang penggembalaan, perkebunan dan hutan.
Luas lahan di Kecamatan Panjalu yaitu 9.826.613 ha yang terdiri dari 13 Desa, sedangkan untuk luas lahan di Kota Panjalu tercatat 6.840.651 ha.
1. Sebelah Utara
Penggunaan tanah yang dominan di sebelah utara daerah perencanaan Situ Lengkong dengan Pulau Nusa Gede dianggap sebagai pusat orientasi adalah daerah pesawahan, kebun campuran yang terdiri dari bambu, albasia dan ketela pohon, sisanya merupakan daerah perkampungan penduduk.
2. Sebelah Utara ke Arah Timur Laut
Penggunaan tanah yang dominan pada daerah ini adalah kebun campuran yang terdiri dari albasia, bambu dan ketela pohon dan sisanya merupakan perkampungan penduduk.
3. Sebelah Barat
Penggunaan tanah pada daerah ini sama dengan daerah sebelah utara. 4. Sebelah Timur
5. Sebelah Selatan
Merupakan kebun campuran yang terdiri dari tanaman cengkeh, pisang, bambu, albasia dan ketela pohon. Sisanya merupakan sedikit perkampungan penduduk. 6. Pulau Nusa Gede
Penggunaan tanah terbesar adalah hutan lebat, pohon-pohonnya terdiri dari rasamala, puspa, saninten dan jamuju, sedang sisanya merupakan tanah pekuburan yaitu tempat bupati/leluhur Panjalu.
7. Air Situ Lengkong Panjalu
Penggunaan utama air Situ Lengkong saat ini adalah sebagai berikut: sepanjang barat laut terus ke utara digunakan sebagai tempat memancing ikan, sedang di tepi timur dan juga barat daya terdapat beberapa tempat mandi penduduk. Situ Lengkong sebelah barat (Situ Kubang) digunakan sebagai kolam ikan resmi kepunyaan jawatan perikanan bersama dengan pemerintah daerah setempat (dalam hal ini Kecamatan Panjalu). Adapun kedalaman rata-rata dari perairan Situ Lengkong Panjalu adalah antara 2,5 meter sampai 3 meter, meskipun pada ujung sebelah Timur mencapai tujuh meter.
8. Lain-lain
Selain penggunaan tanah yang telah disebutkan di atas juga terdapat jaringan jalan yang dapat dilalui mobil yang membentang dari selatan ke arah barat, dan kemudian ke arah utara (arah Cikijing) dengan kondisi jalan perkerasan aspal (cukup untuk dua mobil). Kemudian terdapat pula jaringan jalan dengan kondisi perkerasan aspal pula yang dapat dilalui kendaraan yang membentag dari arah selatan kemudian ke timur, selanjutnya mengarah ke utara dan bertemu pada jalan yang mengarah ke Cikijing tadi. Selain itu khusus untuk mengelilingi area Situ Lengkong Panjalu dengan berjalan kaki, tersedia jalan setapak dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengelilingi sekitar tiga jam.
3.8 Demografi Desa Panjalu
26
Tabel 1 Demografi Desa Panjalu Tahun 2006
Sumber : Kantor Desa Panjalu,2007
Jumlah Penduduk
1. Pabuaran 6 3 509 527 1.036 56.035
2. Cukang
Padung 4
2 298 305 603 45.145
3. Cimendong 9 3 529 554 1.083 154.070
4. Paricariang 7 3 373 358 731 73.975
5. Garahang 5 2 550 447 997 88.795
6. Ciater 4 2 384 344 728 27.360
7. Dukuh 6 3 576 589 1.165 44.225
8. Banjarwaru 8 4 671 660 1.331 99.985
9. Sriwinangun 7 3 462 517 979 50.880
10. Simpar 11 4 764 804 1.568 221.715
Jumlah 67 29 5.116 5.206 10.322 862.185
3.9 Aksesibilitas Menuju Kawasan
Keadaan prasarana jalan menuju Situ Lengkong Panjalu cukup baik. Untuk sampai ke lokasi wisata ini kita dapat naik kendaraan mobil, motor maupun sepeda, karena didukung oleh kondisi jalan yang cukup baik dan beraspal. Bagi yang memerlukan kendaran umum dapat naik dari terminal Ciamis jurusan Panjalu, atau langsung dari Bandung jurusan Ciamis melalui Panjalu. Untuk mencapai Kawasan Situ lengkong Panjalu, dapat ditempuh melalui:
1. Bandung – Ciawi – Panjalu, berjarak ± 95 Km.
2. Tasikmalaya – Rajapolah – Cihaurbeuti - Panjalu, berjarak ± 40 Km. 3. Ciamis – Cihaurbeuti – Panjalu, berjarak ± 40 Km.
4. Cirebon – Kuningan – Cikijing – Panawangan - Panjalu atau dari Kuningan – (Arah ke Kawali) Winduraja– Panjalu.
5. Yogyakarta – Banjar – Ciamis – Panjalu.
3.10 Informasi Pengunjung Wisata
sedikit. Dengan tarif masuk ke Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu sangat terjangkau bagi pengunjung yang datang,yaitu sebesar Rp. 2.500,00. Grafik kunjungan wistawan ke Obyek Situ Lengkong Panjalu pada tahun 2005 mengalami kenaikkan, tetapi pada tahun 2006 mengalami penurunan. Grafik kunjungan wisatawan ke Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu dapat dilihat pada Gambar 5.
252938 301935
223189 201332
278718 338148
219396
0 50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Ju
m
lah
W
isat
awan
Jumlah Kunjungan Wisatawan
Sumber: Kantor Desa Panjalu, 2007
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Sumberdaya Wisata
Sumberdaya wisata yang ada di Obyek Wisata Situ Lengkong Panjalu dapat
digolongkan menjadi dua jenis, yaitu Sumberdaya Wisata Alam dan Sumberdaya
Wisata Budaya.
5.1.1 Sumberdaya Wisata Alam 1. Danau
Luas Situ atau Danau Lengkong Panjalu adalah 57.95 ha dan Nusa Gede 9.25 ha
sehingga luas keseluruhannya adalah 67.2 ha. Kedalaman air di Situ Lengkong
Panjalu berkisar antara 2 – 6 m. Situ Lengkong Panjalu berada pada ketinggian 731
mdpl. Situ Lengkong Panjalu memiliki daya tarik bagi pengembangan wisata alam.
Suasana danau yang masih alami dan kanekaragaman flora dan fauna menjadi daya
tarik tersendiri bagi pengunjung.
Pengunjung yang datang dapat menikmati indahnya pemandangan alam Situ
Lengkong Panjalu dengan berjalan di pinggiran situ atau menaiki perahu mengitari
kawasan situ ini. Pengunjung akan dapat melihat kalong (Pteropus vampyrus) yang cukup banyak di kawasan ini. Dengan udara yang cukup sejuk dan angin kecil,
pengunjung akan mendapatkan kepuasan tersendiri dari pengalaman wisata di Situ
Lengkong ini.
Gambar 6 Situ Lengkong Panjalu.
2. Nusa Gede
Nusa Gede berada pada ketinggian 731 meter di atas permukaan laut, masuk
dalam wilayah Desa dan Kecamatan Panjalu, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Nama
lain Nusa Gede adalah Pulau Koorders. Nama tersebut diberikan sebagai bentuk
Indische Vereeniging tot Natuurbescherming, sebuah perkumpulan perlindungan alam Hindia Belanda yang didirikan tahun 1863. Pada tanggal 21 Februari 1919 area Situ
Lengkong dengan Nusa Gede dinyatakan sebagai kawasan cagar alam yang
benar-benar dijaga kelestarian alam serta budaya yang ada di dalamnya.
Sebagai kawasan cagar alam yang berada dalam pengawasan BKSDA Jabar II,
Nusa Gede memiliki vegetasi hutan primer yang relatif masih utuh dan tumbuh secara
alami. Wisatawan yang berkunjung pada areal sekitar komplek pemakaman, karena
areal lainnya tidak boleh digunakan untuk kegiatan wisata. Saat memasuki kawasan,
pengunjung sudah disambut pepohonan rotan (Calamus javanensis), dan aren (Arenga pinnata). Semakin masuk ke dalam, pengunjung akan melihat pepohonan besar sepert kihaji(Dysoxylum Sp) dan kikondang (Ficus variegata).
Selain jenis flora, di kawasan Nusa Gede juga dapat ditemui berbagai jenis
fauna, sebut saja antara lain burung hantu (Otus scops), dan kalong (Pteropus vampyrus). Sementara Elang jambul putih hanya sesekali mendatangi Nusa Gede.
Gambar 7 Nusa Gede Panjalu. Gambar 8 Gerbang Nusa Gede Panjalu.
3. Nusa Pakel
Nusa Pakel merupakan sebuah pulau yang terletak di sebelah barat Nusa Gede.
Dahulu nusa Pakel merupakan taman yang sering digunakan sebagai tempat rekreasi
keluarga kerajaan. Kondisi Nusa Pakel sekarang telah bersatu dengan daratan.
Kondisi ini terjadi akibat adanya konversi sebagian kawasan danau menjadi areal
pesawahan. Tidak diketahui kapan mulai terjadi perubahan fungsi lahan di sekitar
Nusa Pakel ini. Para pemilik sawah di sekitar Nusa Pakel telah memiliki bukti
kepemilikan tanah yang sah dari pemerintah setempat.Pemandangan di Nusa Pakel
cukup indah. Dengan latar belakang Nusa Gede di sebelah timur dan Gunung Sawal
30
Gambar 9 Nusa Pakel.
4. Flora
Tabel 2 Daftar jenis vegetasi yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu
No Nama Ilmiah Nama Lokal
1. Amomum coccineum Tepus
2. Pterocarpus indicus Angsana
3. Arenga pinnata Aren
4. Aristolochia tagala Sirih hutan
5. Brugmansia sauvelens Kucubang
6. Caliandra calothyrsus Kaliandra
7. Calamus javanensis Rotan
8. Castanopsis javanica Saninten
9. Clidemia hirta Harendong
10. Cyrtandra picta Kileho
11. Dinocholoa sardins Bambu
12. Diplazium asperum Pakis
13. Dysoxilum sp. Kihaji
14. Eupathorium pallescens Kirinyuh
15. Eurya accuminata Huru
16. Ficus benjamina Caringin
17. Ficus variegata Kikondang
18. Ficus xylophilla Kiara
19. Lagerstroemia sp. Bungur
20. Maesopsis eminii Kayu afrika
21. Nyssa javanica Kokopian
22. Pandanus conoideus Pandan
23. Paratocarpus triandus Pulus
24. Pinus merkusii Pinus
25. Piper aduncum Seuseureuhan
26. Sauraula sp. Kileho
27. Schima wallichii Puspa
28. Terminalia catapa Ketapang
Sumber : Hasil pengamatan langsung
Flora yang ada di kawasan Situ Lengkong Panjalu cukup bervariasi mulai
tumbuhan bawah sampai tumbuhan tingkat tinggi. Jenis-jenis vegetasi yang terdapat
ilmu pengetahuan serta sekaligus untuk menumbuhkan rasa cinta alam terhadap
lingkungan bagi pengunjung. Jenis-jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan ini
dapat dilihat pada Tabel 2.
Masyarakat Panjalu tidak memanfatkan vegetasi terutama vegetasi pohon yang
ada di dalam Nusa Gede, karena vegetasi tersebut sangat penting sekali untuk
kelestarian Cagar Alam Panjalu. Pemerintah bersama masyarakat Panjalu menjaga
keutuhan Cagar Alam Panjalu ini dengan tidak merusak atau mengambil kayu dan
mengadakan program menanam pohon di sekitar pinggiran situ.
5. Fauna
Tabel 3 Daftar satwaliar yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu
No. Nama Ilmiah Nama Lokal
1. Callosciurus notatus Bajing
2. Calosciurus nigrivattatus Tupai
3. Paradoxurus hermaphroditus* Musang
4. Collocalia linchi Walet linci
5. Dicaeum trochilem Cabai jawa
6. Ictinaetus malayensis Elang hitam
7. Lonchura leucogastroides Bondol jawa
8. Manis javanicus* Trenggiling
9. Munia sp.* Gelatik
10. Orthotomus sutorius Cinenen pisang
11. Otus scops Burung Hantu
12. Pteropus vampyrus Kalong
13. Pycnonotus aurigaster Cucak kutilang
14. Spilornis cheela* Elang bondol
15. Todirhampus chloris Cekakak sungai
16. Zoothera interpes* Anis kembang
17. Bufo asper Kodok buduk besar
18. Bufo melanostictus Kodok buduk
19. Eutropis multifasciata Kadal
20. Fejervarya cancrivora Katak hijau
21. Phyton reticulatus* Ular Sanca
22. Varanus salvator* Biawak
Sumber : Hasil pengamatan langsung * Wawancara dengan masyarakat
Satwaliar yang dapat ditemukan di Situ Lengkong Panjalu adalah jumlah kalong
(Pteropus vampyrus) ini lebih banyak dari satwa-satwa lainnya. Jenis satwa kalong ini dapat langsung dilihat oleh pengunjung wisata. Jenis satwaliar lainnya, seperti :
bondol jawa, cinenen dan kutilang dapat didengar suaranya. Sedangkan sesekali elang
32
membawa binoculer untuk melihat satwaliar seperti ini. Berikut ini daftar satwaliar
yang dapat ditemukan di kawasan Situ Lengkong Panjalu.
5.1.2 Sumberdaya Wisata Budaya 1. Komplek Pemakaman Nusa Gede
Komplek Pemakaman Nusa Gede merupakan Komplek Pemakaman khusus
keluarga kerajaan. Salah satu makam tersebut adalah Makam Prabu Hariang Kancana.
Makam inilah yang menjadi objek utama wisata ziarah. Biasanya pada hari libur
pengunjung banyak mendatangi komplek pemakaman ini. Oleh karena itu, pihak
kuncen membatasi jumlah kunjungan yang masuk agar suasana di dalam komplek
pemakaman ini menjadi baik.
Gambar 10 Komplek Makam Prabu Hariang Kencana.
2. Komplek Pemakaman Hujung Winangun
Komplek Pemakaman Hujung Winangun terletak di bagian Barat Situ
Lengkong Panjalu. Awalnya Komplek Pemakaman ini diperuntukan bagi kalangan
Abdi Keraton Kerajaan Panjalu. Di dalamnya tedapat beberapa makam keramat.
Salah satunya merupakan Makam Patih kerajaan Panjalu. Para peziarah biasanya
Gambar 11 Komplek Pemakamam Hujung Winangun.
Saat ini Komplek Pemakaman Hujung Winangun telah berubah menjadi
komplek pemakaman umum. Pemakaman ini tidak dikhususkan bagi keturunan Abdi
Kerajaan Panjalu. Biasanya orang yang dimakamkan di Komplek Pemakaman
Pemakaman Hujung Winangun ini merupakan penduduk asli Panjalu atau orang yang
masih keturunan Panjalu.
3. Upacara Adat Nyangku
Nyangku memiliki arti nyaangan laku (menerangi perilaku) Nyangku berasal dari bahasa Arab, yanko, yang artinya membersihkan. Di Desa Panjalu Nyangku berarti membersihkan benda-benda pusaka peninggalan para leluhur. Dalam arti yang
lebih luas upacara ini bermakna pembersihan diri manusia. Sesungguhnya manusia
terlahir dalam keadaan bersih, sehingga harus kembali dalam keadaan bersih pula.
Air yang digunakan untuk mencuci pusaka diambil dari sembilan mata air, seluruhnya
terletak di sekeliling Desa Panjalu. Kesembilan mata air ini konon tidak pernah
kering, walau musim kemarau sekalipun. Hanya kuncen atau juru kunci dan sesepuh
desa yang berhak mengambil air dari sumur ini.
Upacara dipusatkan di Bumi Alit, tempat dimana pusaka Prabu Borosngora
disimpan. Bumi Alit merupakan bangunan sakral berbentuk bujur sangkar, simbol
Ka'bah. Pusaka yang disimpan di dalamnya tak dapat dijamah oleh siapapun, kecuali
kuncen dan kerabat keturunan Prabu Borosngora. Warga yang ingin berdoa hanya
dapat duduk di luar Bumi Alit. Menjelang puncak upacara Nyangku, kuncen
menyiapkan segala kebutuhan untuk mencuci pusaka. Mulai dari jeruk nipis guna
menghilangkan karat, arang untuk mengeringkan setelah dicuci, hingga daun kelapa
untuk membungkus kembali pusaka, dan kemenyan.
Tidak semua dari ratusan pusaka milik Panjalu, dibawa ke upacara Nyangku.
34
Borosngora, dan beberapa keris lainnya yang ikut dalam prosesi. Selama prosesi,
suara musik gembyungan khas Panjalu, dimainkan empat belas pria berbusana serba
ungu. Inti upacara Nyangku dimulai setelah rombongan kembali dari Nusa Gede.
Pembersihan pusaka dimulai dengan menggosokkan jeruk nipis, untuk
menghilangkan karat. Barulah kemudian disiram air suci. Dari balai desa, pusaka
kembali diarak menuju Bumi Alit. Seluruh ritual merupakan gambaran proses
kehidupan manusia. Mulai dari pusaka dikeluarkan dari Bumi Alit, yang
melambangkan kelahiran bayi dari rahim ibunya. Proses arak-arakan perlambang
kehidupan itu sendiri, hingga dikembalikannya pusaka ke dalam Bumi Alit yang
mengandung arti kembalinya manusia ke dalam liang lahat.
Gambar 12 Iring-iringan Upacara Adat Nyangku.
4. Bumi Alit
Bumi alit merupakan suatu bangunan tempat penyimpanan benda-benda pusaka
kerajaan sewaktu kerajaan Panjalu berdiri sampai sekarang. Letak Bumi Alit tidak juh
dari Situ Lengkong tempatnya terletak di terminal Panjalu. Bumi Alit adalah suatu
bangunan kecil yang ditempatkan pada suatu tempat yang diberi nama Pasucian, nama pasucian diberikan oleh pendirinya yaitu seorang Raja Panjalu yang bernama
Prabu Sanghyang Boros Ngora atau Syeh Haji Dul Iman yang meruapakan raja
Panjalu, yang memeluk agama Islam pertama.
Bumi Alit atau Pasucian pada awalnya terletak di Buni Sakti, kemudian
dipindahkan ke Desa Panjalu oleh Prabu Sanghyang Boros Ngora bersama
benda-benda kerajaan Panjalu. Bentuk Bumi Alit yang lama masih berbentuk tradisional
tempatnya masih berupa tanaman lumut yang dibatasi oleh batu-batu besar, sedangkan
di sekelilingnya dipagari oleh tanaman Waregu. Bumi Alit terbuat dari kayu, bambu
dan ijuk. Bagian bawahnya bertiang tinggi, badan bangunan berdinding bilik