• Tidak ada hasil yang ditemukan

Distribusi Tipologi Kepemilikan Rth Dki Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Distribusi Tipologi Kepemilikan Rth Dki Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Arista Nurbaya

(4)

ARISTA NURBAYA. Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi. Dibimbing oleh ALINDA F.M. ZAIN dan RUCHYAT DENI DJAKAPERMANA.

Kedudukan DKI Jakarta sebagai pusat ibukota Negara Indonesia dengan luas 66,233 ha, menjadikannya sebagai pusat aktivitas ekonomi, politik dan sosial. Tentu saja hal itu mengakibatkan pembangunan perkotaan yang sangat cepat. Ruang terbuka dan area pertanian menjadi wilayah paling rentan tehadap perubahan lahan untuk kegiatan pembangunan tersebut. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mangadopsi aturan dalam UU no. 26/2007, yaitu penyediaan RTH 30% dengan 20% diantaranya adalah kewajiban menyediakan RTH publik. Meskipun penambahan RTH telah gencar dilakukan sejak tahun 2001, namun menurut data tahun 2009, kondisi RTH publik masih jauh dari target yaitu sekitar 9:10 persen (BPLHD, 2015). Dalam upaya pengembangan RTH, perlu adanya analisis terhadap kondisi RTH saat ini sehingga dapat ditentukan strategi yang tepat untuk masa yang akan datang. Salah satunya adalah analisis kuantitatif yang berupa jumlah dan sebaran yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

Penelitian sebelumnya telah banyak dilakukan untuk menganalisa luas RTH DKI Jakarta dengan menggunakan data citra satelit resolusi sedang. Namun kondisi RTH publik di DKI Jakarta, sebagai sebuah kampung yang besar, banyak yang berupa area sempit dan menyebar. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan citra resolusi tinggi untuk menghasilkan peta sebaran yang lebih akurat. Metode NDVI digunakan untuk mendeteksi vegetasi dan klasifikasi terbimbing Maximum Like hood digunakan untuk melengkapi akurasi peta RTH yang dihasilkan. Peta distribusi RTH berdasarkan tipologi kepemilikan dihasilkan dengan memanfaatkan integrasi RS dan GIS atas citra satelit yang telah ditingkatkan resolusinya menggunakan teknik Pan sharpening.

Hasil penelitian ini mendeteksi luas RTH DKI Jakarta tahun 2013 sebesar 14.94%, dengan 53.49% diantaranya berupa tegakan pohon dan bagian lebih hijau ditunjukkan pada wilayah timur dan selatan Jakarta. Berdasarkan data asset yang telah diverifikasi, disimpulkan bahwa RTH publik DKI Jakarta 2014 adalah 5.44%, sementara area Privat sekitar 9.5%. Dari data RTH Publik tersebut, sekitar 70% area berhasil diidentifikasikan dan dipetakan. Potensi penambahan RTH Publik berdasarkan terbentuknya infrastruktur hijau dari koneksi jalur hijau adalah 2,344 ha. Selain itu, hasil olah peta dengan Rencana Kawasan Terbuka Hijau DKI Jakarta menunjukkan proyeksi penambahan RTH publik adalah 6,683.88 ha. Kata kunci: Integrasi RS dan GIS, NDVI, Pansharpening, Ruang Hijau Kota,

(5)

ARISTA NURBAYA. Identification of Green Open Space Ownership Typology Distribution on Special Capital Region of Jakarta Using Remote Sensing Technique on High Resolution Satellite Imagery. Supervised by ALINDA FM ZAIN dan RUCHYAT DENI DJAKAPERMANA

Jakarta as special capital city of Indonesia with 66.233 ha land area has become the center of economic, politic and social activity. It influences to a fast growth urban development. Green open spaces and agriculture are the most vulnerable area because of those land use changes. Jakarta government has adopted Act 26/2007 for 30% green open space provision which is 20% of its to be public one. Even though local government has been allocating budget to increase green open space ownership since 2001, unfortunately there is only 9 to 10 percent of green open space by year 2009 (BPLHD, 2015), and indeed necessary for more expansion. In order to collate strategy developing and increasing green open space, it is needed to understand it by analyze current condition. Quantitative analysis from physic aspect dealing with the quantity and the distribution wich is to be point of this study interest.

Previouse studies were using middle resolution satellite imagery; unfortunately in fact that the city as a big kampong has a lot of fragmented green area and most of them are small patches which would not be easy identified by those images. Thus, the objective of this study is to produce an accurate green open space spatial data use high resolution remote sensing image. Greenery detected using NDVI method and improve its accuracy using Maximum Like hood Supervised Classification map. The distribution of green open space mapped using the benefit of RS and GIS integration on higher resolution image by Pan sharpening technique.

The result of this study shows that green open space of Jakarta year 2013 is 14.94% with 53.49% in tree canopy form. Denser distribution founded over east and south region. Base on verified data asset, it is concluded that the Jakarta public green open space is 5.44% while the Private is 9.5%. About 70% of public one has been identified and mapped to represent the distribution of green open space ownership base. Additional potency of Public GOS by connecting the greenways for Green Infrastructure is 2,344 ha. Meanwhile the result of Green Region Planning map overlay shows that green open space projection area is 6,683.88 ha.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang:Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

(8)
(9)

Judul Tesis : Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi

Nama : Arista Nurbaya NIM : A451130221

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Alinda Fitriany Malik Zain, MSi Ketua

Dr Ir Ruchyat Deni Djakapermana, MEng Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap

Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)
(11)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia: Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang akan dilaksanakan mulai bulan Februari hingga September 2015 ini ialah Distribusi Tipologi Kepemilikan RTH DKI Jakarta Menggunakan Teknik

Remote Sensing Citra Satelit Resolusi Tinggi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Alinda FM Zain, MSi dan Dr Ir Ruchyat Deni Djakapermana, MEng selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan karya ilmiah khususnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cq Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, dan anak:anakku atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(12)
(13)

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Ruang Terbuka Hijau 4

Penginderaan Jarak Jauh 7

GIS (Geographic Information System) 8

SPOT – 6 8

Deteksi RTH Menggunakan Indeks Vegetasi 9

Klasifikasi Tutupan Lahan 11

3 METODE 12

Waktu dan Lokasi Penelitian 12

Alat dan Bahan 13

Teknik Pengumpulan Data 14

Prosedur Analisis Data 14

4 KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 20

Kondisi Fisik 20

Kondisi Sosial 21

Kondisi Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap RTH 22

Kondisi Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau 23

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 29

Distribusi dan Kondisi RTH DKI Jakarta 2013 29

Distribusi RTH Publik dan Privat DKI Jakarta 2014 35

Potensi Penambahan RTH Publik DKI Jakarta 43

6 SIMPULAN DAN SARAN 47

Simpulan 47

Saran 47

7 DAFTAR PUSTAKA 48

LAMPIRAN 53

(14)

1 Tipologi Kepemilikan RTH 6

2 Spesifikasi SPOT:6 9

3 Alat Penelitian 13

4 Data yang diperlukan 13

5 Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah DKI Jakarta 2014 21

6 Tabel Rekapitulasi Obyek RTH dalam Pengelolaan Dinas Pertamanan

dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta 28

7 Hasil Pengklasan Vegetasi DKI Jakarta 2013 31

8 Data Aset dan hasil identifikasi RTH DKI Jakarta 2014 37

9 Sebaran RTH tiap Kota Administrasi DKI Jakarta 42

10 Tabel Estimasi Luas RTH Tambahan untuk Infrastruktur Hijau RTH

Jalur Hijau 44

11 Proyeksi Penambahan berdasarkan Peta Rencana Kawasan RTH 46

1 Diagram Alur Kerangka Pikir 3

2 Tipologi RTH 5

3 Sistem Orbit SPOT:6 /:7 9

4 Kurva karakteristik pantulan untuk vegetasi, tanah dan air 10

5 Ilustrasi perbedaan pantulan cahaya visible dan infra merah dekat terhadap kondisi klororfil daun sehat (kiri) dan kurang sehat (kanan) 11

6 Lokasi Penelitian 13

7 Tahapan Penelitian 15

8 MONAS – citra SPOT:6 (a) Multispektral 3:1:2, res. 6m ; (b) Brovey

Transform 3:1:2, res. 1.5m 18

9 MONAS – citra SPOT:6 (a) Standard True Color; (b) Artificial Natural

Color 18

10 Diagram Alur Analisa Data 19

11 Pembangunan DKI Jakarta dan Sekitarnya 1972 – 2014 22

12 Peta Penggunaan Lahan DKI Jakarta 2009 22

13 Grafik Pembebasan Lahan untuk RTH Publik 23

14 Bagan Struktur RTH DKI Jakarta 24

15 RTH Taman Kota – Taman Menteng 26

16 RTH Taman Lingkungan – Taman Langsat 26

17 RTH Taman Refungsi – Taman Semanggi sisi barat 26

18 RTH Taman Interaktif – Taman Spathodea 26

19 RTH Taman Bangunan – Taman Balaikota 27

20 RTH Taman Pemakaman – TPU Pondok Rangon 27

21 RTH Jalur Hijau Jalan – Jl. Jend Sudirman (kiri), Jl. Jatibaru (kanan) 27

22 RTH Jalur Hijau Penyempurna – Fly over Cideng (kiri), Fly over

Jatibaru (kanan) 27

23 RTH Jalur Hijau Tepian Air – Banjir Kanal Barat 28

(15)

25 (a)DN 0.1868 – vegetasi (b) DN 0.1818:area terbangun 29

26 Peta Tutupan Vegetasi DKI Jakarta 2013 Menggunakan metode NDVI 30

27 Peta Tutupan Lahan DKI Jakarta 2013 Menggunakan Metode MLC 32

28 Peta Ruang Terbuka Hijau DKI Jakarta 2013 34

29 Peta Distribusi RTH Publik dan Privat DKI Jakarta 2014 40

30 Matriks Analisis Hasil Idntifikasi RTH Publik 43

31 Peta Proyeksi RTH Publik DKI Jakarta 45

1 Data survei lapang dalam penentuan klasifikasi dominasi vegetasi ... 53

2 Data Area of Interest (AOI) untuk klasifikasi tutupan lahan dengan metode Supervised Classifiation : Maximum Likehood ... 55

3 Perhitungan uji separabilitas dan uji akurasi Kappa terhadap klasifikasi tutupan lahan. ... 57

4 Peta hasil deliniasi RTH Jalur Hijau Jalan ... 58

5 Peta hasil deliniasi RTH Kehutanan ... 59

6 Peta hasil deliniasi RTH Olah Raga ... 60

7 Peta hasil deliniasi RTH Pemakaman ... 61

8 Peta hasil deliniasi RTH Taman Interaktif ... 62

9 Peta hasil deliniasi RTH Taman Kota ... 63

10 Peta hasil deliniasi RTH Taman Lingkungan ... 64

11 Peta hasil deliniasi RTH Taman Rekreasi ... 65

12 Peta hasil deliniasi RTH Tepian Air ... 66

13 Peta hasil deliniasi RTH Jalur Hijau JLTT ... 67

14 Peta hasil deliniasi RTH Fungsi Lainnya (Sempadan KAI) ... 68

15 Peta Rencana Kawasan Terbuka Hijau (Perda DKI No. 1/2012) ... 69

16 Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Barat ... 70

17 Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Pusat... 71

18 Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Timur ... 72

19 Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Selatan ... 73

20 Peta RTH Publik dan Proyeksinya di Wilayah Jakarta Utara ... 74

(16)
(17)

! "#

Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi, pusat keuangan dan jasa, serta sebagai tempat kedudukan hampir keseluruhan perangkat pemerintahan tingkat nasional, perwakilan negara:negara asing, pusat:pusat perusahaan multi nasional dan gerbang utama wisatawan manca Negara. Jakarta berkembang pesat dan terus menuju mega:urbanisasi, menjadi konsentrasi populasi perkotaan yang paling besar di Indonesia ( Firman 2009). Seperti halnya sebagian besar kota:kota di Asia dengan karakteristik pengembangan wilayahnya menuju kota metropolitan, mengakibatkan hilangnya batas:batas kota dan berkembang menyebar ke semua arah (Firman 2009).

Pembangunan perkotaan ditandai dengan banyaknya aktifitas ekonomi dan penggunaan lahan dengan land rent tertinggi, menyebabkan pergeseran penggunaan lahan yang bersifat irreversible (Rustiadi et al. 2011). Lahan pertanian dan ruang terbuka hijau (RTH) adalah yang paling rentan terhadap perubahan lahan (Malaque et al. 2007). Selama periode 1972:1997 terjadi pengurangan RTH DKI Jakarta sebesar 23% (Zain 2002). Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan menjadi area terbangun berpengaruh penting terhadap penurunan kualitas lingkungan. Tutupan lahan berupa lahan terbangun meningkatkan suhu perkotaan dan berpengaruh pada perubahan iklim (Gill et al.

2007). Sementara diketahui bahwa RTH memegang peran penting dalam menjaga kualitas lingkungan hidup di perkotaan. RTH memberikan naungan, menurunkan suhu karena proses evaporasi, meresapkan dan menyimpan air hujan ke tanah (Whitford et al. 2001). RTH berperan penting sebagai mitigasi efek perubahan iklim (Gill et al. 2007), memberikan layanan ekosistem yang berharga, mengurangi resiko bencana dan melindungi biodiversitas perkotaan (Govindarajulu 2014).

UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang telah mengatur ketentuan penyediaan 30% RTH, dari segi tipologi kepemilikan terbagi atas Publik dan Privat. Dalam hal ini pemerintah berkewajiban menyediakan RTH Publik sebesar 20%, sedangkan RTH Privat sebesar 10%. Dalam upaya penyediaan RTH, diperlukan strategi dengan analisis yang melibatkan aspek fisik, kualitas, fungsi, ekologi, lingkungan dan juga ekonomi (GK 2008). Hal yang paling penting dalam aspek fisik adalah kuantitas RTH yang dapat berbentuk data spasial. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi penting dilaksanakan karena memberikan analisis yang sesuai untuk menghasilkan data spasial berupa distribusi RTH berdasarkan tipologi kepemilikan. Dalam memperoleh data spasial RTH untuk cakupan wilayah digunakan teknik pengideraan jarak jauh (Remote Sensing / RS). RS mampu mendeteksi dalam cakupan yang luas, dapat melakukan pengukuran vegetasi dan sangat sesuai untuk deteksi perubahan lahan (Lawley 2015). Selain itu juga memanfaatkan GIS (Geographic Information System), yang digunakan untuk analisis jaringan RTH perkotaan (Combera et al. 2008).

(18)

2007; Febrianti dan Sofan 2014). Dengan mempertimbangkan kondisi pemukiman dan bangunan di Jakarta telah sedemikian padat, mengakibatkan ruang:ruang terbuka hijau di lingkungan pemukiman menjadi tersebar dan kondisinya terpisah oleh area terbangun dengan luasan yang tidak terlalu besar, maka dalam penelitian ini dilakukan deteksi RTH DKI Jakarta menggunakan citra satelit SPOT:6 yang memiliki resolusi spasial tinggi dengan memanfaatkan integrasi RS dan GIS. Dengan melakukan integrasi RS dan GIS dapat meningkatkan efisiensi keluaran serta akurasi pemetaan sebagai masukan pada proses perencanaan dan pengelolaan wilayah (Danoedoro 2012). Integrasi RS dan GIS telah banyak digunakan untuk studi lingkungan sumberdaya dan perkotaan (Weng 2010).

$%$& " & '

Rumusan masalah terkait dasar pemikiran bahwa permasalahan aktual tentang berkurangnya RTH di DKI Jakarta, yang keberadaannya sangat penting untuk menjaga kualitas lingkungan. Dalam rangka usaha revitalisasi RTH, maka dirasa perlu untuk mengetahui distribusi spasial RTH saat ini berdasarkan tipologi kepemilikan. Aspek utama dalam kajian ini adalah bagaimana mengolah citra resolusi tinggi dengan metode yang tepat untuk keperluan identifikasi distribusi RTH DKI Jakarta. Hal lain yang tidak kalah penting adalah memperoleh data RTH yang akurat dan lengkap sebagai dasar identifikasi sehingga menghasilkan peta distribusi RTH yang representatif. Dengan adanya pemetaan distribusi RTH berdasarkan tipologi kepemilikan yang akurat dapat digunakan untuk analisis potensi dan menjadi landasan dalam menentukan strategi penambahan RTH DKI Jakarta. Gambar 1 menunjukkan bagan alur kerangka pemikiran dari penelitian ini.

$($ " " ) ) "

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mendeteksi luasan RTH DKI Jakarta tahun 2013 menggunakan teknik remote

sensing citra satelit resolusi tinggi.

2. Mengidentifikasi distribusi spasial RTH Publik dan Privat DKI Jakarta.

3. Menganalisis potensi penambahan RTH berdasarkan peta distribusi tipologi kepemilikan RTH DKI Jakarta.

"* " ) ) "

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi spasial distribusi RTH Privat dan Publik yang akurat dan alternatif potensi penambahan RTH publik. Secara implikasi praktis, dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam menentukan strategi dan kebijakan penambahan RTH di Jakarta. Metode dan analisis yang digunakan pada penelitian ini diharapkan juga dapat memberi manfaat untuk diadopsi dan diaplikasikan untuk maksud serupa di kota atau daerah lain di Indonesia.

(19)

Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pikir $ "# )"#!$+ " ) ) "

Ruang lingkup penelitian ini memberi batasan terhadap wilayah penelitian dan batasan materi kajian. Lokasi penelitian dilakukan pada wilayah DKI daratan meliputi 5 wilayah kota administrasi yaitu Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat dengan luas total 645.80 km2. Sedangkan batasan materi kajian yang menjadi acuan analisis data data pembahasan penelitian ini adalah :

1. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

2. Permen PU No.5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

3. Penentuan obyek RTH Publik didasarkan pada data asset tabulasi yang diperoleh dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tidak dilakukan verifikasi keabsahan bukti kepemilikan asset tersebut hingga aspek legal hukum yaitu sertifikat kepemilikan. Data asset yang diperoleh diasumsikan telah valid sesuai prosedur pencatatan data kepemilikan internal pemerintah provinsi. 4. Arahan rekomendasi potensi penambahan RTH Publik dibatasi pada sistesis

hasil analisis sebelumnya.

Luasan RTH DKI Jakarta

Tidak diketahui distribusi tipologi kepemilikan

Kebijakan penambahan RTH DKI UU No. 26 Th 2007

RTRW DKI 2030

Kajian Distribusi Tipologi RTH DKI Jakarta

REMOTE SENSING

Privat Publik

Potensi Penambahan RTH berdasarkan tipologi kepemilikan Distribusi RTH berdasarkan tipologi

(20)

$ "# ,$! )( $ "# ) " %$%

Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut Undang:Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Lebih khusus, definisi RTH di perkotaan dijabarkan dalam Permendagri Nomor 1 tahun 2007 yaitu bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Istilah RTH perkotaan menurut Bernett et al. (2004) didefinisikan secara umum sebagai vegetasi perkotaan bukan hanya taman dan ruang terbuka tetapi temasuk juga jalur hijau jalan, taman perumahan dan semua jenis vegetasi yang ditemukan di lingkungan kota. RTH adalah bagian dari ruang:ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut (LPL 2005).

Keberadaan RTH dalam konsep ruang kota selain dikaitkan dengan permasalahan utama perkotaan yang perlu dicari solusinya juga dikaitkan dengan pencapaian tujuan akhir dari suatu penataan ruang yaitu untuk kesejahteraan, kenyamanan, serta kesehatan warga dan kotanya. Menurut Peraturan Menteri PU No. 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan bahwa tujuan penyelenggaraan RTH adalah (i) menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air; (ii) menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk kepentingan masyarakat; (iii) meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar, indah, dan bersih.

RTH memiliki fungsi penting dalam menjaga kualitas lingkungan hidup di suatu wilayah khususnya perkotaan. Semakin padat hunian dan tingkat populasi yang tinggi maka semakin tinggi pula kebutuhan akan RTH khususnya untuk anak:anak dan usia lanjut guna mendukung kesehatan fisik dan mental mereka (Byrne & Sipe 2010). Dalam segi ekologi, RTH berfungsi memperbaiki iklim perkotaan, meredakan efek pulau bahang dan mengurangi kerusakan lingkungan (Choi et al. 2012). Kombinasi dari rumput, tanaman perdu dan pohon pada struktur RTH memiliki kemampuan paling efektif untuk menurunkan suhu di perkotaan (Zhang et al. 2014).

(21)

kualitas estetika kota namun yang lebih penting adalah jasa lingkungan yang diberikan untuk kualitas lingkungan perkotaan (Dachlan 2013). Karenanya, perencanaan untuk pengembangan RTH kota adalah dengan memanfaatkan potensi kebutuhan ekologi dan sosial pada area yang ada secara maksimal (Govindarajulu 2014).

)+- -#) $ "# ,$! )( $

Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli 2004). Menurut Permen PU No. 5/PRT/M/2008 tipologi atau penggolongan Ruang Terbuka Hijau dibagi berdasarkan aspek fisik, fungsi, struktur dan kepemilikan. Tipologi RTH ditampilkan pada Gambar 2.

\ Sumber : Permen PU No. 5/PRT/M/2008

Gambar 2 Tipologi RTH

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman:taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur:jaur hijau jalan. Dilihat dari fungsi RTH dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Secara ekologi RTH dapat menurunkan tingkat pencemaran udara, meningkatkan kandungan air tanah. Fungsi sosial budaya dapat diperoleh dari manfaat RTH dalam menurunkan tingkat stres masyarakat dan konservasi situs alami sejarah. Secara ekonomi, RTH dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan meningkatkan jumlah wisatawan. Dan dalam segi estetika RTH dapat meningkatkan kerapian dan keteraturan kota, meningkatkan kenyamanan kota dan meningkatkan keindahan kota (LPL 2005).

(22)

tumbuhan. RTH Publik, adalah RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah kota/kabupaten yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum (Permen PU No. 5/PRT/M/2008). Kedua jenis tipologi kepemilikan RTH, baik RTH Publik maupun RTH Privat, memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis, dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Kombinasi yang sesuai antara fungsi:fungsi RTH tersebut dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan keberlanjutan sebuah kota.

Tabel 1 Tipologi Kepemilikan RTH

No Jenis RTH RTH Publik RTH Privat

1. RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal

b. Halaman perkantoran, pertokoan dan tempat usaha

b. Jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi c. RTH sempadan sungai

d. RTH sempadan pantai

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air f. Pemakaman

Sumber : Permen PU No. 5/PRT/M/2008

Catatan: Taman Lingkungan yang merupakan RTH Privat adalah taman lingkungan yang dimiliki oleh orang perseorangan/masyarakat/swasta yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas

(23)

sungai, RTH sempadan pantai, RTH sempadan danau, RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

"#)". " ! $'

Teknik penginderaan berkembang pesat dalam teknologi informasi sebagai sarana pendukung bagi pendalaman studi yang memerlukan data mengenai bentuk dan keadaan muka bumi secara luas. Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari Remote Sensing, didefinisikan sebagai ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi suatu obyek atau fenomena, menggunakan suatu alat perekaman dari suatu kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak langsung secara fisik dengan obyek atau fenomena yang diukur / diamati (ASP 1983 dalam Jaya 2014)

Teknologi penginderaan jauh sangat berguna dan dibutuhkan untuk pemetaan, inventarisasi, pemantauan, evaluasi hingga pembuatan model untuk pengelolaan suatu wilayah secara cepat, akurat dan efektif. Selain itu juga dapat dipergunakan untuk mengantisipasi kecepatan perubahan yang terjadi yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Penginderaan jarak jauh yang berkembang saat ini memiliki keunggulan, antara lain (Jaya 2014):

1. Mampu memberikan data yang unik yang tidakbisa diperoleh dengan sarana lain;

2. Mempermudah pekerjaan lapangan; dan

3. Mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah.

Sistem penginderaan jauh ada dua jenis, yaitu sistem dengan bentuk data fotografik dan sistem dengan data numerik. Pengenalan objek di permukaan bumi didasarkan pada nilai reflektan energi elektromagnetik yang dipancarkan oleh suatu objek yang direkam oleh sensor. Menurut Lillesand dan Kiefer (2004) di permukaan bumi terdapat tiga obyek utama yaitu vegetasi, tanah, dan air dimana tiap:tiap obyek ini memancarkan energi eletromagnetik dengan panjang gelombang tertentu. Sifat:sifat inilah akhirnya digunakan sistem penginderaan jauh untuk mengenali obyek:obyek atau tipe:tipe penutup lahan yang ada di permukaan bumi.

Berdasarkan perkembangan teknologi platform dan sensor, penginderaan jauh dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu (Jaya 2014) :

1. Penginderaan jauh pesawat (Airborne Remote Sensing, ARS), mencakup foto udara, Airborne Multi Spectral Scanner – MSS dan Side-looking Airborne

Radar – SLAR

2. Penginderaan jauh satelit (Satelite Remote Sensing – SRS), meliputi MSS, TM, SPOT, MESST, JERS:1, ERS:1, RADARSAT, IRS dan lain:lain.

(24)

/

GIS dapat diartikan dalam berbagai cara, sebagai obyek maupun subyek. Karenanya tidak heran jika definisinya sering menyesuaikan penggunaannya. Dalam awal kemunculannya GIS didefinisikan sebagai sepuah software yang terintegrasi yang khusus dirancang untuk penggunaan data geografi yang dapat menangani berbagai masalah data secara komprehensif termasuk masukan data, penyimpanan, pemanggilan data dan keluaran dengan berbagai deskripsi dan proses analisis (Calkins dan Tomlinson 1977 dalam Weng 2010). GIS adalah sistem untuk mendukung keputusan yang berhubungan dengan integrase dari data spasial dalam memecahkan masalah lingkungan (Cowen 1988 dalam Maguire 1991). DoE (1987) dalam Josimovic dan Krunic (2008) mendefinisikan GIS sebagai sebuah sistem yang menangkap, menyimpan, memeriksa, melakukan manipulasi, menganilis dan menampilkan data spasial dengan referensi Bumi.

Tiga hal yang membedakan GIS dengan sistem informasi lainnya yaitu peta, database, dan analisis spasial (Maguire 1991). Dia mendeskripsikan GIS sebagai kesatuan yang terintegrasi antara perangkat keras, perangkat lunak, data dan pengguna yang mengoperasikan. Burrough & Mc Donnell (1998) menjelaskan semua aspek dalam GIS berhubungan dengan pengguna baik dalam hal presepsi, pengukuran, model data, struktur data dan file sehingga membetuk database untuk kemudian memanggilnya menjadi presentasi. Bahkan langkah pertama yang paling penting adalah pengguna dalam mengobservasi dan mengartikan fenomena awal yang nantinya akan mempengaruhi analisis selanjutnya. Sehingga berhasil atau tidaknya GIS tidak hanya bergantung pada teknologi tetapi lebih kepada kesesuaian pada penggunaannya. GIS kini tidak lagi hanya terbatas digunakan pada alat untuk pemetaan, namun telah berkembang pada aplikasi komputer, teknologi dan metode akademik secara luas yang berhubungan dengan penggunaan informasi geospasial (Bohner et al. 2005).

0 1

SPOT (Systeme Probatoire de l’Observation de la Tere) adalah proyek kerjasama antara Perancis, Swedia dan Belgia dibawah koordinasi CNES (Centre

National d’Etude Spatiales), badan ruang angkasa Perancis (Danoedoro 2012).

Penggunaan citra SPOT termasuk penginderaan jauh pasif yaitu system yang menggunakan sumber energi yang telah ada dalam hal ini reflektansi energi matahari dan/atau radiasi dari sumber obyek langsung (Jaya 2014). SPOT:6 adalah satelit SPOT generasi terakhir yang dilengkapi dengan system teknologi lebih baik dan lebih maju dalam hal peningkatan reaktivitas dan kapasitas akuisisi serta penyederhanaan akses data (Prabowo dan Sambodo 2014). Satelit SPOT:6 dirancang sebagai satelit kembar dengan SPOT:7, namun peluncuran SPOT:6 lebih awal daripada SPOT:7. Disebut kembar karena memiliki spesifikasi dan karakteristik yang sama.

(25)

sun-synchronous dengan periode orbit 98.79 menit selama 26 hari, yaitu pada pukul 10.00 waktu setempat dengan arah orbit descending node. Jika SPOT:6 bekerja sendirian maka dibutuhkan waktu 1:3 hari untuk merekam obyek di pemukaan bumi sesuai koordinat lintang obyek tersebut (ASTRIUM 2013). Satelit ini mampu melihat obyek pada kondisi standar dengan incident angle 30o dan bisa dimaksimalkan sampai 45o sejauh 1500 km tegak lurus arah azimuth (Prabowo dan Sambodo 2014). Satelit SPOT 6 adalah sebuah satelit citra optik mampu memberikan citra bumi dengan resolusi 1,5 meter dan 6 meter pankromatik multispektral (Biru, Hijau, Merah, Near-IR) dan menawarkan produk:produk citra untuk penggunaan di pertahanan, pertanian, penggundulan hutan, lingkungan pemantauan, pengawasan pesisir, engineering, minyak, gas dan pertambangan industri. Penggunaan citra SPOT:6 dapat menghasilkan peta hingga skala 1:25.000 (Soubirane et al. 2015). Spesifikasi dari SPOT:6 ditampilkan pada Tabel 2.

Sumber : http://www.astrium:geo.com Gambar 3 Sistem Orbit SPOT:6 /:7

Tabel 2 Spesifikasi SPOT:6 Spesifikasi Sensor Satelit SPOT:6

Citra Multispektral B1 . Blue (0.455 m – 0.525 m)

B2 . Green (0.530 m – 0.590 m)

B3 . Red (0.625 m – 0.695 m)

B4 . Near-Infrared (0.760 m – 0.890 m )

Resolusi (GSD) Panchromatic – 1.5 m

Multispektral6.0m (B,G,R,NIR)

Imaging Swath 60 KMpada Nadir

Sumber : http:// www.astrium:geo.com

!&) "##$" ! " ". !& 2 # &)

(26)

menginterpretasikan citra satelit dengan tepat. Analisis dapat diartikan sebagai kegiatan penguraian dan atau penelaahan serta hubungan antar kompenen data (nilai kecerahan dan nilai digital). Kegiatan analisis ini dapat dilakukan setelah dilaksanakan kegiatan pengolahan citra.

Metode pengukuran vegetasi menggunakan citra satelit memanfaatkan reflektansi dari fitur lanskap. Vegetasi memiliki ciri khas spektral yang unik sehingga dapat dianalisa dengan berbagai cara untuk mendapatkan indeks yang mewakili kondisi dari vegetasi. Secara grafis, karakteristik reflektansi atau pantulan spektral dari gelombang cahaya visible (khususnya band merah) dan inframerah disajikan pada gambar 4.

Sumber : Lillesand dan Kiefer (2004)

Gambar 4 Kurva karakteristik pantulan untuk vegetasi, tanah dan air Jika biomassa vegetasi meningkat, maka reflektansi dari inframerah dekat akan meningkat, sebaliknya pada gelombang cahaya visible akan menurun. Peningkatan kelembaban tanah sepanjang garis tanah (soil line) akan menurunkan reflektansi baik di daerah gelombang cahaya visible maupun inframerah dekat.

Untuk menghitung kepadatan tumbuhan pada suatu wilayah, maka sebelumnya harus ditentukan dahulu warna unik (panjang gelombang) dari cahaya

visible dan infra merah dekat yang dipantulkan tumbuhan. Jika diurai, maka

cahaya matahari terdiri dari beberapa gelombang cahaya yang berbeda. Ketika cahaya matahari mengenai suatu obyek, maka gelombang cahaya tertentu dari spektrum ini diserap sedangkan gelombang cahaya tertentu lainnya akan dipantulkan. Warna atau pigment daun pada tumbuhan, klorofil, sangat kuat menyerap cahaya visible (dengan panjang gelombang dari 0.4 sampai 0.7 µm) yang digunakan untuk proses fotositesis. Struktur sel dari daun, pada sisi lain akan memantulkan dengan kuat cahaya inframerah dekat (panjang gelombang dari 0.7 sampai 1.1 µm).

(27)

rumput, tundra, atau padang pasir. Gambar 5 mengilustrasikan perbedaan pantulan cahaya visible dan infra merah dekat terhadap kondisi klororfil daun dari tumbuhan yang sehat dan tumbuhan yang kurang sehat.

Sumber : http://earthobservatory.nasa.gov/Features/MeasuringVegetation

Gambar 5 Ilustrasi perbedaan pantulan cahaya visible dan infra merah dekat terhadap kondisi klororfil daun sehat (kiri) dan kurang sehat (kanan) Dengan menggunakan panjang gelombang dan kecerahan dari cahaya visible dan inframerah dekat yang dipantulkan oleh permukaan tanah, ilmuwan dapat memperoleh algoritma yang disebut “ Indeks Vegetasi “ untuk menghitung konsentrasi dari vegetasi berdaun hijau. Jadi, Indeks Vegetasi adalah suatu indeks yang dibentuk menggunakan operasi sederhana yaitu pengurangan dan rasio antara band inframerah dekat dengan band merah. Citra rasio umumnya citra yang diturunkan dari rasio band penyerap dengan band pemantul spektral dari suatu material, oleh karena itu rasio akan menghasilkan informasi yang terkait dengan komposisi vegetasi dari suatu obyek.

&)*)! &) $ $+ " ' "

(28)

terbimbing (unsupervised classification) dan terbimbing (supervised

classification).

Pada unsupervised classification hanya sebagian kecil saja yang ditetapkan atau didesain oleh analis. Klasifikasi sering disebut juga clustering, yaitu teknik identifikasi untuk mengelompokkan (piksel) ke dalam suatu klas atau klaster yang benar dalam suatu set kategori yang disusun. Dalam prosesnya, yang mempunyai kemiripan akan dikelompokkan dalam satu kluster. Klaster yang dibentuk terkadang mengandung gap. Calon:calon klaster ditentukan secara acak oleh komputer, kemudian dilakukan iterasi untuk mengelompokkan piksel:piksel baru untuk membentuk klas berdasarkan kemiripan DN. Campur tangan analis adalah pemberian label dan mengevaluasi perlu digabung atau tidak klaster tersebut. Metode penggambarannya antara lain Nearest neighbour methode : Single

Linkage, metode tetangga terdekat, Furthest neighbour method : Complete linkage

method, metode tetangga terjauh dan metode rata:rata, jarak rata:rata antara

klaster terdekat.

Sedangkan supervised classification adalah klasifikasi yang dilakukan dengan arahan analis (supervised). Kriteria pengelompokan klas ditetapkan berdasarkan penciri klas (class signature) yang diperoleh analis melalui pembuatan training area. Penciri klas ini berdasarkan pada AOI (area of interest) yang dibuat pada gambar feature space untuk citra yang diklasifikasi. Pemilihan training area harus dilakukan secara teliti, karena kesalahan peletakan training area akan menyebabkan kesalahan hasil klasifikasi.Terdapat beberapa metode umum yang digunakan dalam klasifikasi terbimbing, antara lain : metode kemungkinan maksimum (Maximum Likehood Method), metode Jarak Minimum

(Minimum Distance), metode multilevelslice (Parallelepiped) dan metode

Decision:tree (Knowledge Classification)

3

4 ! $ . " -! &) " ) ) "

(29)

Sumber : Perda DKI Jakarta No.1/2012

Gambar 6 Lokasi Penelitian . " ' "

Penelitian ini menggunakan peralatan dalam bentuk perangkat keras maupun lunak (Tabel 3). Perangkat keras digunakan pada saat melakukan survei lapang atau ground thruth, sedangkan perangkat lunak digunakan untuk pengolahan data citra. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk data citra dan asset ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 3 Alat Penelitian

Alat Kegunaan

"#! ! & 5 /

Kamera digital Pengambilan data visual obyek penelitian "#! $" !5&-* /

Jenis Data Bentuk Data Sumber

(30)

Lanjutan – Tabel 4

Jenis Data Bentuk Data Sumber

Peta Jaringan Sutet

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka, survei, asistensi dengan stakeholder, dan unduh data. Studi pustaka dilakukan untuk menggali referensi metode analisis yang tepat sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini. Survei atau ground thruth dilakukan dalam rangka identifikasi lokasi obyek dan konfirmasi hasil analisis data. Asistensi dengan stakeholder, dalam hal ini dinas teknis yang berhubungan dengan pengelolaan RTH DKI Jakarta, dilakukan untuk membantu proses identifikasi dan deliniasi RTH Publik dan memperoleh pandangan pimpinan terhadap kondisi dan arah pengembangan RTH DKI Jakarta. Untuk memperoleh data citra sebagai bahan utama penelitian ini dilakukan dengan mengunduh dari pihak Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta. Data asset yang akan digunakan dalam menentukan luas dan distribusi RTH menurut tipologi kepemilikan diperoleh dari dinas teknis Pemprov DKI Jakarta.

-& .$ " )&)&

Penelitian ini dimulai dengan penentuan area vegetasi yang diturunkan dari data penginderaan jauh dalam hal ini data SPOT:6. Citra SPOT:6 yang memiliki resolusi spasial 6.0/1.5 sesuai dengan kebutuhan identifikasi area RTH DKI Jakarta yang sebagian berupa area yang tidak terlalu luas dan banyak diantaranya dengan rata:rata kurang dari 100m2, oleh karena itu perlu citra dengan resolusi spasial < 10m. Tahapan penelitian ini secara keseluruhan ditunjukkan dalam Gambar 8. Tahap pertama adalah deteksi RTH DKI Jakarta 2013. Pada tahap ini menggunakan data masukan berupa Citra SPOT–6 yang diolah dengan menggunakan metode Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) untuk menghasilkan area hijaun serta klasifikasi vegetasi DKI Jakarta. Sementara itu, dilakukan pula klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode Maximum

Likehood Classification (MLC) yang digunakan pada proses overlay untuk

menghasilkan keluaran peta RTH DKI Jakarta 2013.

Tahap kedua adalah identifikasi RTH Publik dan Privat. Pada tahap ini

(31)

Tahap akhir dari penelitian ini adalah analisis potensi penambahan RTH Publik DKI Jakarta. Pada tahap ini menggunakan peta sebaran RTH Publik/Privat dari tahap kedua sebagai bahan analisis penambahan RTH Publik. Hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap kebijakan penambahan luasan RTH di DKI Jakarta.

Gambar 7 Tahapan Penelitian " )&)& )& ),$&) . " -".)&) ! 3

!&) $ $+ " 2 # &)6 Pada Citra dilakukan pemulihan citra (image

restoration) meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Selanjutnya

dilakukan pemotongan citra menggunakan peta administrasi DKI Jakarta (daratan). Sebaran vegetasi yang diasumsikan sebagai RTH menggunakan perhitungan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI merupakan perhitungan citra yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan untuk mengetahui pembagian dari daerah vegetasi. NDVI berhubungan dengan FAPAR

(Fraction of Absorbed Photosynthetically Active Radiation) (Myneni & Williams

1994) dan sensitif terhadap aktifitas fotosintesa oleh klorofil (Gamon et al. 1995), sehingga perhitungan RTH lebih baik menggunakan metode indeks vegetasi (Febrianti & Sofan 2014). Nilai NDVI diperoleh dengan melakukan ekstraksi terhadap kanal 3 dan 4 dari citra SPOT:6 dengan menerapkan rumus berikut yang akan memiliki nilai berkisar antara :1.0 sampai dengan +1.0.

Nilai lebih besar dari pada 0.1 menandakan peningkatan derajat kehijauan dan intensitas dari vegetasi. Pada beberapa penelitian, permukaan vegetasi yang memiliki rentang nilai 0,1 menunjukkan padang rumput dan semak belukar, dan nilai lebih tinggi hingga 0,8 menunjukkan hutan hujan tropis. Namun dalam penelitian ini, nilai treshhold dari jenis:jenis pengklasan vegetasi akan disesuaikan dengan kondisi lapangan dengan melakukan ground thruth. Pemeriksaan lapang

(ground thruth) adalah proses yang dilakukan untuk mengkonfirmasi informasi

(32)

validasi juga dilakukan dengan memanfaatkan citra dengan resolusi lebih tinggi (Vancutsem et al. 2009) dan fasilitas Google Street View citra tahun 2013 yang tersedia di https://www.google.com/maps/streetview/. Dengan demikian nilai piksel atau DN yang telah diklasifikasikan sebagai vegetasi dapat dievaluasi sehingga analisis vegetasi menggunakan NDVI memperoleh hasil dengan akurasi yang baik.

&)*)! &) 2 # &)6 Hasil klasifikasi vegetasi berdasarkan metode NDVI akan menunjukkan tingkat kepadatan vegetasi yang dapat diasumsikan sebagai jenis dominasi vegetasi. Nilai pembagian dari threshold NDVI didasarkan pada klasifikasi dominasi vegetasi. Dari hasil pengklasan RTH tersebut dapat dibagi menjadi 3 (tiga) klas yaitu:

1. Vegetasi padat yang diasumsikan sebagai tegakan pohon/hutan kota,

2. Vegetasi sedang, diasumsikan sebagai tanaman perdu/taman kota/taman interaktif/ ladang/pekarangan,

3. Vegetasi jarang, diasumsikan sebagai rumput/semak/pemakaman.

. " )*)! &) $ & " 6 Dalam Permen PU No. 5/PRT/M/2008, sawah tidak didefinisikan sebagai RTH kecuali yang yang telah ada sebelumnya (existing) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya. Sedangkan hasil peta NDVI tidak dapat membedakan antara vegetasi rumput dan persawahan. Oleh karena itu perlu memisahkan luasan sawah dari peta NDVI untuk menghasilkan peta RTH DKI Jakarta 2013. Luasan sawah diperoleh dengan melakukan klasifikasi tutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing

Maximum Likehood Classification (MLC). Cara kerja dari algoritma ini adalah

memperhitungkan peluang suatu piksel untuk dikategorikan dalam satu klas tutupan lahan. Keputusan satu piksel untuk dimasukkan dalam klas tertentu membutuhkan informasi statistik berupa nilai rata:rata dan simpangan baku masing:masing area contoh serta nilai variansi dan kovariansi (Danoedoro 2012). Dalam kasus distribusi distribusi normal, fungsi Likehood dapat digambarkan sebagai berikut (Jaya 2014):

1

2 |∑.| /

/ { ∑ ]

dimana :

N = jumlah dari band

x = data citra dari band N

ρ (x) = Likehood dari milik klas ρ

m = mean vektor dari klas ρ

∑ = matrik varian:kovarian dari klas ρ

Hasil klasifikasi dari MLC akan dilakukan uji akurasi menggunakan koefisien Kappa dengan rumus (Jaya 2014) :

K = N Σ Xii - Σ Xi+ X+i x 100%

(33)

Dimana :

Xii : nilai diagonal matriks kontingensi baris ke:i dan kolom ke:i

X+i : jumlah piksel dalam kolom ke:i

Xi+ : jumlah piksel dalam baris ke:i

N : banyaknya piksel dalam contoh

Selain itu juga akan dilakukan uji separabilitas dan pembuktian akurasi (accuracy

assestment) dengan titik ground thruth check sesuai dengan standar. Dengan tahap

uji akurasi ini, maka peta tematik yang dihasilkan dapat dipertanggung jawabkan akurasinya.

" )&)& )& ),$&) $, )! . " )7

Tahap ini digunakan untuk mendapatkan distribusi tipologi kepemilikan RTH di DKI Jakarta. Definisi pembagian kepemilikan Privat dan Publik mengacu pada UU No 26/2007. Dalam rangka mempermudah melakukan deliniasi distribusi RTH, maka diperlukan citra dengan resolusi yang lebih tajam dengan melakukan perbaikan spasial (Spatial Enhancement). Untuk memperolehnya dilakukan image fusion atau penggabungan citra multispektral (6m) dengan

panchromatic (1,5m). Image fusion dapat digunakan sebagai metode yang penting

untuk evaluasi data remote sensing pada data citra satelit temporal,

multi-frequency, dan multi-resolution (Siwi dan Yusuf 2014). Pada penelitian ini

menggunakan Pansharpening yang dikenal sebagai metode penggabungan citra multispektral dan panchromatic (Danoedoro 2012). Hasil dari proses tersebut adalah citra yang memiliki resolusi spasial seperti panchromatic dan karakteristik spektral seperti citra multispektral (Vrabel 1996)

Brovey Transform atau Transformasi Brovey adalah salah satu teknik

Pansharpening yang paling populer untuk menggabungkan dua citra yang

memiliki resolusi spasial yang berbeda (Danoedoro 2012). Ide dasarnya adalah dengan menghitung rasio antara nilai sel panchromatic dengan rata:rata nilai sel multispektral yang sesuai dan menggunakan rasio tersebut untuk menghitung komponen warna pada citra hasil Pansharpening (Gambar 8). Rumusnya sebagai berikut (Jaya 2014):

Selanjutnya dilakukan perbaikan kontras untuk kepentingan identifikasi jenis RTH sesuai dengan tipologi. Untuk memudahkan intrepertasi, citra hasil

Pansharpening dapat dilakukan perbaikan radiometrik dengan teknik Natural

Color (Jaya 2014). Meskipun SPOT 6 telah memiliki saluran BLUE , namun hasil

(34)

dihasilkan melalui transformasi memanfaatkan saluran NIR, RED dan GREEN, dengan rumus (Jaya 2014) :

RED = RED

GREEN = (3*GREEN + NIR) / 4

BLUE = (3*GREEN – NIR) /4

(a) (b) Sumber citra: Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta (2015)

Gambar 8 MONAS – citra SPOT:6 (a) Multispektral 3:1:2, res. 6m ; (b) Brovey

Transform 3:1:2, res. 1.5m

(a) (b) Sumber citra: Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta (2015)

Gambar 9 MONAS – citra SPOT:6 (a) Standard True Color; (b) Artificial Natural Color

RTH Publik diperoleh dengan deliniasi menggunakan software ArcMap 10.2 berdasarkan data primer berupa aset yang tercatat di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan definisi dari tipologi kepemilikan RTH sesuai Permen PU No. 5/PRT/M/2008 (tabel 1). Sedangkan RTH Privat didapatkan dari hasil overlay

antara peta RTH dengan peta RTH Publik.

" )&)& - "&) " %, ' " $, )! !

Tahap ini adalah bagian dari penyusunan rekomendasi berdasarkan dari hasil tahap:tahap sebelumnya. Rekomendasi kebijakan dirumuskan dengan cara

(35)
(36)

membandingkan fakta yang ditemukan dari hasil penelitian dengan standar terbaik yang diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan. Rekomendasi kebijakan diharapkan berisi alternatif untuk memperbaiki kebijakan, melanjutkan atau bahkan menghentikan kebijakan yang tidak layak diimplementasikan. Rumusan alternatif rekomendasi kebijakan akan dideskripsikan sesuai dengan kebutuhan implementasi sehingga dapat ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang mengambil keputusan kebijakan.

Alternatif kebijakan diperoleh dengan melakukan analisis potensi penambahan RTH Publik. Metode analisis potensi dalam penelitian ini akan dibagi dalam dua bagian. Pertama, rekomendasi revitalisasi RTH Publik dengan pendekatan ekologis. Kedua, sesuai rencana penambahan RTH dalam RTRW DKI 2030. Bagian pertama diperoleh dengan melakukan analisis tapak potensial dengan mempertimbangkan faktor ekologis yaitu konektivitas jaringan RTH sehingga membentuk infrastruktur hijau. Bagian kedua dilakukan dengan melakukan overlay peta hijau DKI Jakarta RTRW 2030 dengan peta distribusi RTH Publik 2014, sehingga diperoleh proyeksi penambahan RTH Publik masing: masing kota Administrasi. Secara keseluruhan, diagram alur prosedur analisis data ditampilkan pada Gambar 10.

8

4

-".)&) )&)!

DKI Jakarta berada di dataran rendah pantai utara bagian barat Pulau Jawa, terletak pada 106o48’ Bujur Timur dan 6o12’ Lintang Selatan dengan keseluruhan luas wilayah 7,659.02 km², meliputi 662.33 km² daratan, termasuk 110 pulau di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan 6,977.5 km² lautan (DKI 2012). Undang:Undang Nomor 34 tahun 1999 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta, menyebutkan DKI Jakarta dengan otonominya berada ditingkat provinsi dengan 6 wilayah (5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administratif Kepulauan Seribu). Kota Administrasi Jakarta Pusat memiliki luas 48.13 km²; Kota Administrasi Jakarta Utara dengan luas 146.66 km²; Kota Administrasi Jakarta Barat dengan luas 129.54 km²; Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan luas 141.27 km²; dan Kota Administrasi Jakarta Timur dengan luas 188.03 km², serta Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas 8.70 km² (DKI 2012). Jakarta secara administratif di bagian selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang, serta di sebelah utara dengan Laut Jawa (BPLHD 2015).

(37)

Secara geologis, seluruh dataran terdiri dari endapan pleistocene yang terdapat pada ± 50 m di bawah permukaan tanah. Bagian selatan terdiri atas lapisan alluvial, sedang dataran rendah pantai merentang ke bagian pedalaman sekitar 10 mm. Di sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km, yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal (BPLHD 2014).

-".)&) -&)

Undang:Undang Nomor 29 tahun 2007 menetapkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang semakin menjadi pemicu meningkatkan jumlah penduduk karena urbanisasi. Pada tahun 2006, penduduk DKI Jakarta berjumlah 8,961,680 jiwa (DKI 2012), sedangkan pada tahun 2014 sebesar 10,075,310 jiwa. Dari keseluruhan jumlah penduduk tersebut, penduduk laki:laki adalah sebanyak 5,069,925 jiwa dan perempuan sebanyak 5,005,385 jiwa. Rasio jenis kelamin (Sex

Ratio/SR) DKI Jakarta pada tahun 2014 menunjukkan angka 101 yang berarti

setiap 100 perempuan terdapat 101 laki:laki (BPLHD 2015). Laju pertumbuhan penduduk DKI Jakarta pada periode 2000 : 2010 sebesar 1.41 persen per tahun (BKKBN 2015), sedangkan kurun waktu terakhir tahun 2014 sebesar 1.06 persen (BPLHD 2015).

Komposisi Penduduk DKI Jakarta menurut kelompok umur menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1990:2014, telah terjadi pergeseran struktur umur penduduk. Penduduk umur muda (young population), yaitu kelompok umur 0:14 tahun mengalami penurunan dari 31.9 persen menjadi 24.7 persen. Penduduk usia produktif (usia 15:64 tahun) meningkat dari 66.4 persen menjadi 71.8 persen. Begitu pula dengan penduduk lansia (65 tahun ke atas) naik dari 1.7 persen menjadi 3.5 persen. Konsekuensinya adalah menurunnya angka dependency ratio

(BPLHD 2015). Menurut strukturnya, penduduk DKI Jakarta masuk dalam kategori struktur penduduk produktif (DKI 2012). Jumlah penduduk miskin di DKI Jakarta pada bulan Maret 2015 sebesar 398.92 ribu orang (3.93 persen), dibandingkan September 2014 turun 0.16 poin, dibandingkan Maret 2014 meningkat 0.01 poin (BPS 2015).

Tabel 5 Kepadatan Penduduk Menurut Wilayah DKI Jakarta 2014 Kabupaten/Kota

Proyeksi 2014

Luas Kepadatan Penduduk Laki:laki Perempuan Jumlah

Orang Orang Orang km2 Orang/km2

Jakarta Selatan 1,086,989 1,077,081 2,164,070 141.27 15,318.68 Jakarta Tmur 1,424,565 1,393,429 2,817,994 188.03 14,986.94

Jakarta Pusat 455,668 454,713 910,381 48.13 18,915.04

Jakarta Barat 1,231,126 1,199,284 2,430,410 129.54 18,761.85

Jakarta Utara 859,948 869,496 1,729,444 146.66 11,792.20

Kepulauan Seribu 11,629 11,382 23,011 8.7 2,644.94

TOTAL 5,069,925 5,005,385 10,075,310 662.33 15,211.92

Sumber: Buku II SLHD DKI Jakarta 2014.

(38)

mencapai hampir 19 ribu jiwa per km2, diikuti Jakarta Barat (18.76 ribu jiwa per km2), dan Jakarta Selatan (15.32 ribu jiwa per km2). Sementara yang paling rendah tingkat kepadatannya terdapat di wilayah Kepulauan Seribu yang hanya sebesar 2.65 ribu jiwa/km2 (tabel 5).

-".)&) $, ' " "##$" " ' " . " "# $'"9 ' . +

Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada aspek:aspek pemukiman, penataan wilayah, potensi bencana alam, transportasi, penyediaan fasilitas publik dan aspek sosial ekonomi lainnya (Firman, 2009), akibatnya adalah perubahan tata guna lahan di DKI Jakarta terjadi sangat cepat.

Gambar 11 menunjukkan perubahan penggunaan lahan DKI Jakarta dan sekitarnya. Seperti terlihat dalam gambar bahawa periode 1972 – 2014 terjadi perluasan area perkotaan dari pusat Jakarta ke daerah:daerah sekitar (hinterland). Penggunaan lahan di Jakarta sendiri juga tidak luput dari perubahan menjadi area terbangun dengan sangat masiv. Penggunaan lahan DKI Jakarta menurut peta tahun 2009, menunjukkan bahwa pemukiman telah mencapai 48.41 % dari total daratan DKI Jakarta, sedangkan proporsi penggunaan lahan untuk industri, perkantoran dan perdagangan mencapai 15.69% (DKI 2012) (Gambar 12).

Sumber : Perda DKI Jakarta No. 1/2012 tentang RTRW 2030

Gambar 12 Peta Penggunaan Lahan DKI Jakarta 2009 Sumber : Sutrisno (2014)

(39)

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

DKPKP

DP2

Sedangkan kondisi 2014, berdasarkan inventarisasi sumberdaya lahan menurut klasifikasi penggunaan lahan di DKI Jakarta untuk Pemukiman/sosekbud dan lain:lain adalah seluas 50,747.80 ha (76.62%), Perhubungan (Lapangan udara, Pelabuhan laut, Jalan, Jalan/jalur KA, Terminal bis, Perparkiran) adalah sebesar 6.550,63 ha (9.89%), Industri (Kawasan, non Kawasan) adalah seluas 4.032,37 ha (6.09%), dan Perairan (Waduk/rawa, Sungai, Floodway) adalah seluas 2.002,01 ha (3.02%), sisanya sekitar 4.03% sebagai pertanian lahan kering dan basah (BPLHD 2015)

Jumlah penduduk DKI Jakarta yang terus meningkat juga mendorong aktifitas pembangunan sehingga area terbangun semakin meningkat dan mendesak keberadaan RTH (Abidin et al. 2011). Berbagai studi menunjukkan penurunan luas RTH di Jakarta. Menurut Suwargana dan Susanto (2005), menggunakan metoda klasifikasi citra Landsat dan gabungan antara data visual dan digital, menunjukkan penurunan RTH 159% sejak tahun 1983 hingga 2002. Menurut Febrianti dan Sofan (2014) menggunakan integrasi antara klasifikasi penutup lahan yaitu metode Maksimum Likelihood dan indeks vegetasi yaitu Normalized

Difference Vegetation Index (NDVI) pada citra Landsat 7 dan Landsat 8,

menunjukkan penurunan hingga 20% antara tahun 2007 sampai dengan 2013. Hingga saat ini jumlah luas RTH DKI Jakarta belum ada data yang pasti, menurut laporan BPLHD (2015) kondisi RTH tahun 2009 sekitar 9:10 persen.

Kebijakan penambahan RTH belum memiliki strategi yang cukup baik untuk mewujudkan target sesuai dengan Perda No. 1/ 2012 (RTRW). Dibuktikan dengan kenyataan bahwa meskipun penambahan RTH Publik yang berasal dari pembebasan lahan baru telah dilakukan sejak tahun 2001, namun hingga tahun 2014 tercatat hanya 156.67 ha atau 0.02% rata:rata per tahun dari luas daratan DKI Jakarta (Gambar 14) (diluar fasos fasum). Bahkan pada tahun anggaran 2014 dari budget Rp1.9 trillion, hanya dapat terealisasi 21% (Fitriani 2015), dengan luas total sekitar 2.4 ha (Bappeda, 2014). Kondisi ini semakin membuktikan, bahwa kecepatan perubahan lahan di kota metropolitan belum dapat diimbangi dengan kecepatan penambahan RTH (Suwarli et al. 2012)

Sumber: Dinas Pertamanan dan Pemakaman; Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi DKI Jakarta (2015)

Gambar 13 Grafik Pembebasan Lahan untuk RTH Publik -".)&) "# - " $ "# ,$! )( $

(40)

Pertanian dibawah Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 238 Tahun 2014. Secara umum tugas dan tanggung jawab dinas teknis tersebut meliputi penyusunan rencana strategis, pelaksanaan rencana strategis, penyusunan kebijakan, melakukan perencanaan, pembangunan, penataan, pengelolaan pemeliharaan, perawatan, pemantauan dan evaluasi.

Pengelolaan RTH yang menjadi wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah RTH Publik, sesuai dengan Tabel 1), jenis RTH yang dimiliki dan dikelola adalah termasuk dalam RTH Taman dan Hutan Kota, RTH Jalur Hijau Jalan dan RTH Fungsi Tertentu. Struktur RTH DKI Jakarta dapat dibagi atas 2 bagian yaitu RTH Pertamanan dan RTH Lainnya (Gambar 14)

Sumber : Dinas Pertamanan dan Pemakaman Provinsi DKI Jakarta (2007), diolah. Gambar 14 Bagan Struktur RTH DKI Jakarta

Ruang Terbuka

Jalur Hijau Taman Hutan Kota Fungsi Khusus

(41)

Berdasarkan bagan tersebut, jenis:jenis RTH yang menjadi obyek pengelolaan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

1 Taman Kota adalah RTH yang terletak di lokasi strategis kawasan perkotaan, dapat dilengkapi dengan fasilitas rekreasi, taman bermain (anak/balita), taman bunga, taman khusus (untuk lansia), fasilitas olah raga terbatas, dan kompleks olah raga. Semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum. Contoh taman tipe ini adalah Taman Lapangan Banteng, Taman Suropati, Taman Menteng, dan Taman Medan Merdeka.

2 Taman Lingkungan merupakan taman yang berada di lingkungan RT, RW, Kelurahan atau kecamatan yang juga dapat dilengkapi dengan fasilitas olahraga atau bermain anak:anak sehingga dapat digunakan secara bebas, aman dan nyaman oleh warga untuk berinteraksi sosial. Contoh taman tipe ini adalah taman:taman di sekitar lingkungan perumahan atau pemukiman penduduk.

3 Taman Refungsi eks Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) adalah taman yang berasal dari revitalisasi jalur hijau yang sebelumnya difungsikan sebagai SPBU.

4 Taman Bangunan adalah taman yang dibangun di sekitar satu atau lebih bangunan atau kompleks bangunan milik Pemprov DKI Jakarta. Misalnya Taman Rumah Dinas Gubernur, Taman Gedung Kelurahan atau Kecamatan. 5 Taman Rekreasi adalah taman yang biasanya dibangun dengan tema:tema

tertentu (tematik) yang dapat dikunjungi oleh masyarakat dengan gratis atau membayar karcis tanda masuk (retribusi). Contohnya Taman Mini Indonesia Indah, Taman Bumi Perkemahan Ragunan.

6 Taman Interaktif adalah taman yang dibangun dengan konsep multiguna pada daerah kawasan pemukiman padat dan dengan akses jalan yang mudah dicapai agar dapat digunakan untuk interaksi sosial masyarakat sekitar kawasan tersebut. Contohnya Taman Spathodea, Taman Mahoni.

7 Taman Pemakaman merupakan taman dengan fungsi khusus untuk tempat pemakaman jenazah warga kota, penunjang kenyamanan peziarah. Contohnya TPU Karet Bivak, TPU Cijantung.

8 Jalur Hijau Jalan merupakan RTH sepanjang koridor jalan, baik di kedua sisi jalan (road side) maupun jalur tengah (median) termasuk didalamnya pulau: pulau jalan yang disediakan untuk penanaman pohon, tanaman lain. Contoh Jalur MH Thamrin, Viaduct Jatinegara.

9 Jalur Hijau Penyempurna merupakan jalur sepanjang sarana transportasi yang berfungsi sebagai pembatas visual jalur hijau penyempurna terletak di areal fly over jalan.

10 Jalur Hijau Tepian Air merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan pengamanan aliran air.

11 RTH Hutan Kota adalah RTH di wilayah perkotaan yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna dan memiliki nilai estetika yang arealnya ditetapkan oleh pejabat berwewenang sebagai hutan kota (Dachlan 2013). Misal HK Sregseng, HK Mabes TNI Cilangkap.

(42)

Beberapa penggunaan istilah sebagian berbeda dengan Permen PU No. 5/PRT/M/2008, namun jenis:jenis RTH tersebut dapat di sesuaikan dengan terminologi pada peraturan referensi. Berikut ini Gambar 15 – 24 menunjukkan obyek jenis RTH di DKI Jakarta .

Gambar 15 RTH Taman Kota – Taman Menteng

Gambar 16 RTH Taman Lingkungan – Taman Langsat

Gambar 17 RTH Taman Refungsi – Taman Semanggi sisi barat

(43)

Gambar 19 RTH Taman Bangunan – Taman Balaikota

Gambar 20 RTH Taman Pemakaman – TPU Pondok Rangon

Gambar 21 RTH Jalur Hijau Jalan – Jl. Jend Sudirman (kiri), Jl. Jatibaru (kanan)

Gambar 22 RTH Jalur Hijau Penyempurna – Fly over Cideng (kiri), Fly over

(44)

Gambar 23 RTH Jalur Hijau Tepian Air – Banjir Kanal Barat

Gambar 24 RTH Hutan Kota – HK Situ Rawa Dongkal

Pada tahun 2014 tercatat 3,565 obyek RTH yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2,511 diantaranya oleh Dinas Pertamanan dan Pemakaman (Tabel 7) dengan luas total 2,726 ha. Obyek lainnya dikelola oleh Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Pemuda dan Olah Raga, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan serta Suku Dinas terkait dan Pemerintah Kota Administrasi DKI Jakarta serta BUMD. Verifikasi terhadap data obyek RTH ini selanjutnya akan dibahas dalan sub bab Peta Distribusi RTH Publik dan Privat DKI Jakarta 2014. Tabel 6 Tabel Rekapitulasi Obyek RTH dalam Pengelolaan Dinas Pertamanan dan

Pemakaman Provinsi DKI Jakarta

- .%)")& &) $% ' $ & 5' /

Jakarta Barat 371 515.71

Jakarta Pusat 542 542.29

Jakarta Selatan 688 621.25

Jakarta Timur 500 589.16

Jakarta Utara 405 452.81

(45)

)& ),$&) . " -".)&) ! 3

!&) $ $+ " 2 # &) 4) 9 ' "

Hasil analisis tahap pertama pada penelitian ini adalah Peta Tutupan Vegetasi DKI Jakarta sebagai keluaran dari proses menggunakan metode NDVI. Nilai NDVI diperoleh dengan melakukan ekstraksi terhadap kanal 3 dan 4 dari citra SPOT:6 akan memiliki nilai berkisar antara :1.0 sampai dengan +1.0. Pada penelitian ini nilai NDVI yang diperoleh berada pada rentang :0.69422 ~ 0.5793. Sesuai dengan rumus indeks vegetasi yang dipakai, jika terdapat peningkatan kelembaban tanah sepanjang garis tanah (soil line) akan menurunkan reflektansi baik di daerah gelombang RED maupun NIR. Pada fenomena biomassa vegetasi meningkat, ditandai dengan reflektansi dari NIR yang akan meningkat, sebaliknya pada gelombang RED akan menurun. Maka rentang NDVI menujukkan bahwa tutupan vegetasi cenderung mempunyai nilai mendekati +1, tanah kosong umumnya mendekati 0, dan badan air mendekati :1.

Untuk menentukan nilai threshold dari vegetasi dilakukan dengan melakukan identifikasi lapangan (ground thruth) dan peta dengan akurasi lebih tinggi (resolusi 1.5 meter hasil proses pansharpenning). Pada penelitian ini dilakukan diperoleh hasil threshhlod vegetasi pada nilai 0.1868 (Gambar 25.a). Nilai kurang dari angka tersebut diketahui sebagai lahan terbuka atau daerah terbangun dan bukan vegetasi (Gambar 25.b). Sehingga dengan melakukan perhitungan luas total didapatkan bahwa luas tutupan vegetasi DKI Jakarta 2013 diperoleh sebesar 10,643 ha (16.07%) (Gambar 26).

(a) (b) Gambar 25 Lokasi Nilai Treshhold

(46)

Gambar

Gambar 1 Diagram Alur Kerangka Pikir
Gambar 2 Tipologi RTH
Tabel 1 Tipologi Kepemilikan RTH
Tabel 2.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Upaya dalam mengatasi kekeringan yaitu dengan Menerapkan Teknik Pengolahan Lahan Kering dan Teknologi yang digunakan dalam Peningkatan Produktivitas Padi di

Dalam suatu industri munculnya pesaing baru merupakan ancaman yang perlu diperhatikan,tetapi di dalam industri rokok di indonesia tidak terdapat pesaing baru

[r]

menunjukkan bahwa kehadiran ligan sitrat pada konsentrasi yang rendah (rasio ligan/Fe(II) 0,001) dalam larutan akan menurunkan secara nyata kecepatan adsorbsi

Pada metode mikroskopi, perlu dilakukan kalibrasi yaitu mencari hubungan antara nilai yang ditunjukkan oleh instrumen ukur atau sistem pengukuran, atau nilai

Dampak yang muncul dalam keluarga diantaranya keluarga panik saat salah satu anggota keluarga mendapat diagnosa filariasis, berusaha untuk mencari pertolongan ke

Dari temuan tersebut, pemerintah kabupaten dan kota harus berupaya seoptimal mungkin meningkatkan efektivitas pembangunan dan optimalisasi pemanfaatan sumber daya yang

Dampak komunikasi partisipatif dalam setiap kegiatan dan rapat di Posdaya Kenanga dirasakan kader banyak memberikan manfaat. Manfaat yang di dapat yaitu saling