• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan sifat dasar bahan baku berlignoselulosa, baik kayu maupun non-kayu sangat penting berkaitan dengan efisiensi pengolahan dan penggunaannya. Sifat kimia merupakan salah satu sifat dasar yang berkaitan dengan karakter dan reaktivitas kimia dari komponen penyusun kayu atau non-kayu. Pengetahuan sifat kimia kayu dan non-kayu banyak diperlukan dalam kaitannya dengan pengolahan secara kimia atau penggunaan bahan berlignoselulosa serta pengembangan produk berbasis komponen kimianya.

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun bahan berlignoselulosa. Lignin bukan saja berperan sebagai bahan penopang sifat keteguhan sel tumbuhan berkayu, akan tetapi juga berperan penting terhadap sifat pengolahan dan penggunaan kayu dan non-kayu. Di antara sifat kimia lignin yang penting untuk diketahui adalah kadar lignin secara kuantitatif dan reaktivitasnya. Selain kadar lignin Klason, kadar lignin terlarut asam merupakan salah satu parameter sifat kimia lignin yang tidak hanya berkaitan dengan kadar lignin di dalam kayu atau non-kayu, akan tetapi diduga berkaitan dengan reaktivitas monomer penyusun lignin (Matsushita et al. 2004).

Kadar lignin dalam kayu beragam menurut jenis, bagian kayu, dan pada kayu reaksi (Akiyama et al. 2003 & 2005, Timell 1986, Fergus dan Goring 1970). Pada penentuan lignin dengan metode Klason, tipe lignin guaiasil-siringil seperti pada lignin kayu daun lebar, sebagian larut selama hidrolisis asam sehingga kadar lignin harus memperhitungkan bukan hanya lignin Klason, tetapi juga lignin yang larut dalam asam (Sjostrom 1991). Lignin yang larut dalam asam, terutama dalam jenis kayu daun lebar, dapat menyebabkan kesalahan hingga 9% dalam analisis kuantitatif komponen penyusun kayu (Fengel dan Wegener 1986).

(2)

lignin (Yasuda et al. 2001, Tsutsumi et al. 1995). Dalam jenis kayu daun lebar, proporsi monomer penyusun lignin sering dinyatakan sebagai nisbah unit siringil terhadap guaiasil (nisbah S/G).

Salmela et al. (2008) menyatakan bahwa pada umumnya lignin non-kayu (misalnya bambu) berbeda dengan kayu dalam kadar dan sifat kimianya. Perbedaan tersebut secara langsung akan berpengaruh pada sifat pengolahan bambu, misalnya dalam proses pulping. Walaupun secara umum lignin bambu dapat digolongkan sebagai lignin “siringil-guaiasil”, akan tetapi proporsi tipe monomer tersebut bisa beragam antar jenis bambu yang berbeda. Dengan demikian, pengetahuan terhadap lignin bambu penting juga dipahami sebagai upaya pemanfaatan bambu yang lebih baik.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kadar lignin Klason dan lignin terlarut asam empat jenis bambu pada posisi batang yang berbeda (bagian ruas dan buku), serta kaitannya dengan proporsi tipe monomer penyusun lignin.

1.3 Manfaat

(3)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lignin

Lignin merupakan komponen dinding sel tumbuhan berupa fenolik heteropolimer yang dihasilkan dari rangkaian oksidatif di antara tiga unit monomer penyusunnya yaitu p-coumaryl, coniferyl, dan sinapyl alcohol dalam reaksi yang dimediasi oleh peroksida (Ros et al. 2007). Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa lignin merupakan polimer amorf dengan struktur kimia yang jelas berbeda dari komponen makromolekul lain pada kayu. Berbeda dengan karbohidrat, struktur kimia lignin tidak teratur yang dapat digambarkan oleh perbedaan komponen strukturalnya yaitu unit fenilpropana yang tidak terhubung satu sama lain.

Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel tumbuhan. Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat antar sel-sel. Dalam dinding sel, lignin sangat erat kaitannya dengan selulosa atau hemiselulosa dan berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel, memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air kayu, dan mempertinggi ketahanan kayu terhadap serangan cendawan dan serangga melalui perannya sebagai physical barrier (Haygreen dan Bowyer 1989). Lignin adalah salah satu komponen struktural utama dari dinding sel. Selain sebagai struktur pendukung dan fungsi pertahanan terhadap patogen, lignin juga berperan dalam pengangkutan air dari pembuluh floem dan sel xilem (Del Rio et al. 2007). Obst (1982) menyatakan bahwa struktur kimia lignin dapat mempengaruhi proses pulping dan mutu serat

pulp yang dihasilkan.

2.2 Heterogenitas Lignin

(4)

(1) (2

(1) (2) (3)

Gambar 1 Unit fenilpropana penyusun lignin (1) p-coumaril alkohol (2) koniferil alkohol (3) sinapil alkohol (Fengel dan Wegener 1986).

Lignin kayu daun lebar (dikotil, angiospermae), kayu daun jarum (gymnospermae), dan rumput-rumputan (monokotil, angiospermae) berbeda dalam kandungan unit-unit guaiasil (G), siringil (S), dan p-hidroksifenil (H). Lignin guaiasil (G) merupakan polimer koniferil alkohol, sedangkan lignin guaiasil-siringil (SG) tersusun atas guaiasil dan siringil di samping sejumlah kecil unit p-hidroksifenil (Fengel dan Wegener 1986). Higuchi (2006) menambahkan bahwa berdasarkan unit monomernya, lignin secara umum dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu lignin guaiasil dalam kayu daun jarum (softwood), lignin guaiail-siringil dalam kayu daun lebar (hardwood), dan lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil dalam rumput-rumputan.

Lignin bambu merupakan ciri khas dari lignin rumput-rumputan (grass lignin). Lignin rumput-rumputan lebih kompleks karena selain mengandung unit guaiasil, siringil, dan p-hidroksifenil, juga mengandung sejumlah ester-terikat p-coumaric acid (Ros et al. 2007). Lin et al. (2002) menyatakan bahwa bambu jenis

(5)

5

2.3 Lignin Terlarut Asam

Penentuan lignin dengan prosedur Klason terutama dihasilkan bagian lignin yang tidak larut sebagai residu setelah hidrolisis asam sulfat (acid insoluble lignin), sedangkan bagian dari lignin yang larut dalam filtrat disebut dengan lignin terlarut asam (acid soluble lignin) (Yasuda et al. 2001, Swan 1965).

Metode Klason merupakan metode yang selama ini paling sering digunakan untuk menduga kadar lignin dalam kayu atau non-kayu. Sementara itu, kandungan lignin total adalah gabungan dari lignin yang tidak larut dalam asam (lignin Klason) dan lignin yang larut dalam asam. Pada kayu daun lebar, sebagian lignin larut dalam hidrolisis asam sehingga harus diperhitungkan dalam penentuan total lignin. Kadar lignin terlarut asam dapat ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri UV (Swan 1965, Sjostrom 1991), berdasarkan nilai serapan pada panjang gelombang 205 nm (Swan 1965).

Selain itu, proporsi lignin terlarut asam yang semakin tinggi pada kayu daun lebar cenderung memiliki kadar lignin Klason yang semakin rendah. Sementara itu, tingginya kadar lignin terlarut asam berkorelasi positif dengan kadar metoksil (Akiyama et al. 2005, Musha dan Goring 1974). Hal ini karena keberadaan gugus metoksil berkaitan erat dengan tipe fenilpropana penyusun lignin. Tipe fenilpropana penyusun lignin juga merupakan faktor penting dalam reaksi delignifikasi selama proses pulping. Apabila suatu jenis kayu memiliki kandungan unit siringil lignin yang lebih tinggi maka akan menyebabkan laju delignifikasi yang semakin cepat dengan konsumsi bahan kimia yang semakin rendah (Chiang 2006), karena unit siringilmemiliki reaktivitas yang tinggi dibandingkan dengan unit guaiasil saat proses pulping (Tsutsumi et al. 1995). Oleh sebab itu, lignin terlarut asam dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menduga reaktivitas lignin apabila terbukti pembentukan lignin terlarut asam berkorelasi positif dengan proporsi unit siringil penyusun lignin.

2.4 Bambu

(6)

tunggal atau merumpun berbentuk silindris dengan serangkaian node dan antarnode. Bambu memiliki ketebalan dinding batang yang bervariasi mulai dari yang tipis hingga hampir padat. Ruas bambu terpisah satu sama lain oleh septa di node (PCARRD 1985).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) terdapat sekitar lebih dari 1000 spesies bambu yang tersebar di 80 negara di dunia, 200 spesies di antaranya ditemukan di Asia Tenggara dengan 8 kelompok utama di antaranya Bambusa Schreber, Cephalostachyum Munro, Dendrocalamus Nees, Gigantochloa Kurz ex Munro, Melocanna Trin, Phyllostachys Sieb. & Zucc., Schizostachyum Nees, dan

Thyrsostachys Gamle.

2.4.1Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

Bambu betung mampu tumbuh pada tempat-tempat dari dataran rendah sampai daerah pada ketinggian 2000 mdpl. Rumpun bambu betung agak sedikit rapat dengan tinggi mencapai 20 m dan bergaris tengah sampai 20 cm. Bagian buku-bukunya memiliki akar pendek yang bergerombol. Panjang ruas 40-60 cm dengan dinding buluh cukup tebal (Sonisa 1995).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) bambu betung memiliki panjang serat sekitar 3,78 mm, diameter 19 µm, tebal lumen 7 µm, tebal dinding 6 µm. Kadar air bambu betung dalam keadaan segar sebesar 55%, kadar air kering udara 15%, kandungan holoselulosa 53%, pentosan 19%, lignin 25%, abu 3%, kelarutan dalam air dingin 4,5%, kelarutan dalam air panas 6%, kelarutan dalam alkohol-benzena 1%, dan dalam NaOH 1% sebesar 22%.

2.4.2Bambu Tali (Gigantochloa apus)

(7)

7

digunakan untuk membuat alat musik bambu karena memiliki buku-buku yang cekung sehingga menyebabkan terjadinya gaung yang tak beraturan. Di Jawa Tengah dan Timur serta Bali bambu ini disebut pring (bahasa Jawa) atau tiying (bahasa Bali) tali (Widjaja et al. 1989).

Bambu tali memiliki kadar air 54,3% dalam keadaan basah dan 15,1% dalam keadaan kering udara, holoselulosa 52,1-54,7%, pentosa 19,1-19,3%, lignin 24,8-25,8%, kadar abu 2,7-2,9%, silika 1,8-5,2%, kelarutan dalam air dingin 5,2%, kelarutan dalam air panas 5,4-6,4%, kelarutan dalam alkohol-benzena 1,4-3,2%, dan kelarutan dalam 1% NaOH 21,2-25,1%. Kandungan pati berfluktuasi antara 0,24-0,71% tergantung pada musim (Dransfield dan Widjaja 1995).

Sonisa (1995) menambahkan bahwa bambu tali merupakan bambu yang terpenting dalam kehidupan masyarakat. Bambu ini biasa digunakan untuk bangunan rumah, barang anyaman, tali dan daunnya digunakan sebagai bahan pembungkus makanan.

2.4.3Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata)

Bambu andong tersebar luas di Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Thailand. Batang berwarna hijau cerah dengan panjang hingga 20 m, dinding batang berukuran 6 mm, dan memiliki ruas hingga 35-50 cm. Bambu andong dimanfaatkan untuk membuat peralatan rumah tangga, keranjang, kasau, dan pagar rumah (Dransfield dan Widjaja 1995), juga untuk tiang, pagar, reng rumah dan alat pancing karena daya lentingnya yang baik, sedangkan pelepah yang kering dibuat kerajinan berupa hiasan rumah. Ciri khas bambu ini yaitu pelepah batang muda berwarna hijau dan cepat luruh. Batang muda berbulu miang, warna abu-abu dan terdapat garis-garis kuning yang jelas (Sonisa 1995).

2.4.4 Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)

(8)

kadar ekstraktif kelarutan dalam air panas 9,4%, kelarutan dalam etanol benzene 5,2%, kadar ekstraktif kelarutan dalam NaOH 1% adalah 29,8% (Dransfield dan Widjaja 1995).

(9)

9

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Bersama, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Kementerian Kehutanan, Gunung Batu, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini antara lain Willey mill, oven, UV Visible Spectrophotometer SHIMADZU UV Pharma Spec. 1700,

Pyrolisis Gas Chromatography Mass Spectrometry (Pyr-GC-MS), timbangan analitik, waterbath, soxhlet, desikator, pemanas air, kertas saring, dan peralatan gelas laboratorium.

Jenis bambu yang diteliti yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata), dan Bambu Tali (Gigantochloa apus). Sampel uji diambil dari bagian ruas dan buku pada bagian pangkal, tengah, dan ujung dalam satu batang bambu. Bahan lainnya yang diperlukan untuk penelitian ini antara lain etanol, toluena, asam sulfat, asam asetat, kertas pH, dan aqua destilata.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Contoh Uji

Sampel bambu untuk analisis kimia disiapkan dalam bentuk partikel halus ukuran 40-60 mesh. Sampel uji dipisahkan antara bagian ruas dan buku setiap jenis bambu yang diteliti. Potongan kecil sampel kering udara digiling dengan alat

(10)

3.3.2 Penyiapan Serbuk Bebas Ekstraktif

Prosedur penyiapan serbuk bambu bebas ekstraktif dilakukan berdasarkan pada standar TAPPI T 204 om 88 modifikasi. Serbuk bambu sebanyak 5 gram diekstraksi dengan campuran pelarut etanol-toluena (1:2 v/v) selama 8 jam. Setelah sampel dicuci dengan etanol hingga larutan bening, sampel kemudian diekstraksi dengan air panas selama 3 jam, lalu disaring dan diangin-anginkan. Sampel dioven pada suhu 1032°C hingga beratnya mencapai konstan.

3.3.3 Penentuan Kadar Lignin Klason

Pengujian kadar lignin dilakukan berdasarkan TAPPI T 222 om 88 dengan modifikasi (Dence 1992). Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% secara perlahan sambil diaduk setiap 15 menit. Sampel direaksikan selama 3 jam pada suhu 201°C, kemudian diencerkan hingga mencapai konsentrasi asam sulfat 3%. Hidrolisis dilanjutkan pada suhu 121°C selama 30 menit dengan alat autoclave. Lignin diendapkan, disaring dan dicuci dengan air destilata hingga bebas asam. Residu lignin dioven pada suhu 1032°C didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar lignin =

x

100%

Keterangan: B = berat lignin (gram) A = berat serbuk awal (gram)

3.3.4 Penentuan Kadar Lignin Terlarut Asam

(11)

11

BKT = berat kering tanur serbuk kayu (gram)

3.3.5 Penentuan Nisbah Siringil-Guaiasil Lignin

Beberapa jenis bambu yang memiliki perbedaan kadar lignin yang besar, yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), dan Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata), diuji nisbah siringil-guaiasilnya (nisbah S/G). Pengukuran monomer siringil dan guaiasil lignin diuji dengan menggunakan metode Pyrolisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (Pyr-GC-MS). Nisbah S/G merupakan perbandingan antara konsentrasi relatif dari produk pirolisis siringil lignin terhadap guaiasil lignin (Tabel 1).

Tabel 1 Produk pirolisis monomer siringil dan guaiasil penyusun lignin

No. Siringil Guaiasil p-Hidroksifenil

1. Syringol Guaiacol Phenol

2. Vinylsyringol Vinylguaiacol Alkylphenols 3. Ethylsyringol Ethylguaiacol Methylphenols

4 Syringylacetone Homovanilin Vinylphenols

5 Homosyringaldehyde Coniferyl alcohol Allyl-+propenyl-phenols 6 Methylsyringol Methylguaiacol Cumarylaldehyde

7 Syringaldehyde Vanilin

8 Acetosyringone Acetoguaiacone

(12)

3.4 Analisis Data

(13)

13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lignin Klason dan Lignin Terlarut Asam

Lignin diisolasi dari sampel bebas ekstraktif sebagai sisa yang tidak terlarut setelah penghilangan polisakarida dengan hidrolisis. Bambu yang diteliti memiliki kadar lignin yang beragam, baik lignin Klason maupun lignin terlarut asam. Keragaman kadar lignin juga terjadi antar bagian buku dan ruas dari masing-masing jenis bambu. Lignin Klason dan lignin terlarut asam bagian buku berkecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian ruas (Tabel 2).

Tabel 2 Kadar lignin Klason, lignin terlarut asam, dan total lignin pada empat jenis bambu

(14)

Kadar lignin-terlarut asam bambu yang cukup tinggi (>1%) diduga berkorelasi dengan tipe lignin bambu yang tergolong lignin guaiasil-siringil (Salmela et al. 2008). Apabila dianalogikan dengan lignin kayu, lignin terlarut asam dari lignin kayu daun lebar lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu daun jarum. Lignin kayu daun lebar termasuk kelompok lignin guaiasil-siringil, sedangkan lignin kayu daun jarum termasuk lignin guaiasil (Sjostrom 1991). Lebih spesifik, pembentukan lignin terlarut asam ini diduga berkorelasi dengan adanya unit siringil dalam lignin, seperti yang terdapat pada lignin kayu daun lebar. Indikasi tersebut didukung oleh adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan kadar metoksil dalam kayu (Akiyama et al. 2005, Musa dan Goring 1974), sementara itu kadar metoksil berkorelasi positif dengan kelimpahan unit siringil dalam lignin (Obst 1982).

Penentuan kadar lignin dengan menggunakan metode Klason seringkali tidak dapat mewakili kadar lignin total. Ketidakakuratan dalam penentuan lignin dengan metode Klason terjadi karena adanya senyawa-senyawa dan hasil-hasil reaksi yang tetap tertinggal dalam lignin sisa yang tidak terhidrolisis dan menyebabkan seakan-akan nilai kadar lignin tinggi, sedangkan pada posisi yang lain sebagian lignin terlarut asam menghasilkan kadar lignin yang lebih rendah.

(15)

15

Gambar 2 Proporsi lignin terlarut asam (ASL) empat jenis bambu pada bagian buku dan ruas.

4.2 Proporsi Jenis Monomer Penyusun Lignin Bambu

Berdasarkan unit monomernya, lignin secara umum dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu lignin guaiasil dalam kayu daun jarum (softwood), lignin guaiail-siringil dalam kayu daun lebar (hardwood), dan lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil dalam rumput-rumputan (Higuchi 2006). Berdasarkan hasil analisis Pyr-GC-MS (Lampiran 1), lignin bambu tersusun atas monomer siringil, guaiasil, dan p-hidroksifenil. Kandungan masing-masing unit monomer penyusun lignin berbeda-beda pada setiap jenis dan posisi dalam batang bambu (Tabel 3). Kadar relatif unit siringil pada lignin bambu yang diteliti berkisar 23,34-53,27%, guaiasil berkisar antara 37,64-65,56%, dan p-hidroksifenil berkisar antara 4,22-17,20%. Walaupun secara umum lignin bambu terutama disusun oleh guaiasil dan siringil sama dengan jenis kayu daun lebar, akan tetapi lignin bambu memiliki kandungan unit p-hidroksifenil yang tinggi seperti yang terdapat pada lignin jenis kayu daun jarum. Lignin kayu daun jarum mengandung sekitar 10% unit p-hidroksifenil (Gullichsen dan Paulapuro 2000).

(16)

Tabel 3 Proporsi jenis monomer penyusun lignin di dalam bambu dengan metode Pyr-GC-MS

Bagian Sampel Jenis Bambu Lignin Terlarut Asam (%) Terdapat kecenderungan, sampel bambu yang memiliki kadar lignin terlarut asam yang tinggi memiliki proporsi unit monomer siringil yang tinggi pula atau nisbah S/G yang tinggi (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan dugaan awal bahwa pembentukan lignin terlarut asam selama prosedur lignin Klason ditentukan oleh tingkat reaktivitas dari masing-masing unit monomer penyusun lignin. Meskipun bambu memiliki kadar lignin yang sama namun bisa memiliki nisbah S/G yang berbeda-beda. Dengan kata lain, walaupun jenis bambu memiliki kadar lignin yang sama, akan tetapi bisa memiliki reaktivitas lignin yang berbeda, misalnya dalam proses pulping.

Gambar 3 Kecenderungan nisbah lignin siringil-guaiasil dengan kadar lignin terlarut asam.

Polimer lignin dengan nisbah siringil-guaiasil rendah bisa menyebabkan molekul lignin memiliki tingkat kondensasi yang tinggi. Hal ini disebabkan tingginya proporsi unit monomer guaiasil yang berpotensi membentuk ikatan

(17)

17

karbon-karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan unit siringil. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada proses pengolahan kayu, misalnya dalam proses

pulping karena jumlah ikatan dalam polimer lignin yang semakin banyak mengakibatkan kebutuhan bahan kimia pemasak yang semakin banyak dengan waktu proses yang semakin lama. Lignin bambu yang termasuk tipe siringil-guaiasil dapat memiliki reaktivitas yang tinggi pada proses delignifikasi karena memiliki phenolic hydroxyl yang tinggi sehingga lebih reaktif saat proses delignifikasi (Salmela et al. 2008).

4.3 Korelasi antara Lignin Terlarut Asam dan Nisbah Siringil-Guaiasil Seperti yang terjadi pada kayu daun lebar (Akiyama et al. 2005), terdapat korelasi positif antara kadar lignin terlarut asam dengan proporsi siringil dalam lignin bambu, yang ditunjukkan oleh korelasi antara kadar lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil (Gambar 4). Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil dalam lignin bambu yang diteliti memiliki korelasi yang cukup tinggi (r = 0,72).

Gambar 4 Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil.

Indikasi adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan jenis monomer penyusun lignin juga dilaporkan oleh Musha dan Goring (1974) yang menemukan adanya hubungan yang kuat antara kadar metoksil dengan pembentukan lignin terlarut asam pada penentuan lignin Klason kayu daun lebar. Kadar metoksil yang

(18)

semakin tinggi dalam kayu akan berhubungan dengan kandungan tipe monomer penyusun lignin. Semakin tinggi kandungan metoksil dalam lignin menunjukkan semakin tinggi proporsi unit siringil yang menyusun polimer lignin karena unit siringil memiliki kandungan metoksil yang tinggi dibandingkan dengan unit guaiasil (Musha dan Goring 1974). Lebih tingginya reaktivitas unit siringil dibandingkan dengan unit guaiasil penyusun lignin dalam kondisi asam juga dilaporkan oleh Yasuda dan Ota (1987).

Sebaliknya, lignin Klason cenderung berkorelasi negatif dengan nisbah siringil-guiasil (nisbah S/G). Dalam arti lain, lignin dengan proporsi unit guaiasil yang lebih tinggi menghasilkan proporsi lignin Klason yang tinggi pula dan sebaliknya. Berdasarkan perbedaan reaktivitas unit guaiasil dan siringil (Matsushita et al. 2004), selama metode Klason unit guaiasil akan terdegradasi dan segera membentuk produk kondensasi yang stabil pada perlakuan asam sulfat 72%, sehingga unit guaiasil merupakan unit penyusun lignin yang terkondensasi lebih banyak pada lignin Klason. Sementara itu, proporsi siringil yang tinggi menghasilkan lignin terlarut asam yang tinggi pula dan mengakibatkan lignin yang tersisa dalam penentuan lignin dengan metode Klason menjadi rendah. Tingginya kelarutan unit siringil diduga terjadi sejak degradasi lignin pada perlakuan asam sulfat 72% yang bersamaan dengan terjadi kondensasi intermolekuler, kondesasi dengan karbohidrat, degradasi, dan reaksi lainnya, sehingga unit siringil banyak yang larut pada tahap awal reaksi dan kemudian konstan pada waktu reaksi selanjutnya (Yasuda et al. 2001).

Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil penting berkaitan dengan pengolahan bambu, misalnya proses pulping, karena komposisi unit penyusun lignin merupakan parameter penting dalam proses delignifikasi. Menurut Salmela et al. (2008), bambu berpotensi sebagai bahan baku yang baik untuk pembuatan pulp karena memiliki serat yang panjang dan lignin bertipe siringil-guaiasil yang memiliki reaktivitas yang tinggi.

(19)

19

(Gonzales et al. 1999, del Rio et al. 2005). Hal yang sama dapat berlaku juga untuk bambu karena lignin bambu termasuk golongan lignin guaiasil-siringil sama dengan kayu daun lebar. Proses delignifikasi bukan hanya berkaitan dengan kadar lignin, akan tetapi juga reaktivitasnya yang bisa diduga dengan nilai nisbah siringil-guaiasil. Kadar lignin secara kuantitatif berpengaruh pada kebutuhan bahan kimia pemasak dalam proses pulping, sedangkan nisbah siringil-guaiasil berpengaruh pada kemudahan lignin tersebut didegradasi dan dilarutkan.

(20)

20

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar lignin bambu, baik lignin Klason maupun lignin terlarut asam memiliki nilai yang beragam pada antar jenis dan posisi dalam batang. Lignin bambu termasuk tipe lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil (lignin SGH) dengan proporsi sekitar 37,90% : 53,10% : 9,00%. Terdapat korelasi positif (r = 0,72) antara kadar lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil (nisbah S/G).

5.2 Saran

(21)

KERAGAMAN KADAR LIGNIN

PADA EMPAT JENIS BAMBU

PUJI ASTUTI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama, T.; Okuyama, T.; Matsumoto, Y.; Meshitsuka, G. 2003. Erythro/threo Ratio of β-O-4 Structures as an Important Structural Characteristics of Lignin. Part 3. Ratio of erythro and threo Forms of β-O-4 Structures in Tension Wood Lignin. Phytochemistry 64: 1157-1162.

Akiyama, T.; Goto, H.; Nawawi, D.S.; Syafii, W.; Matsumoto, Y.; Meshitsuka, G. 2005. Erythro/ threo Ratio of ß-O-4-Structures as an Important Structural Characteristic of Lignin. Part 4: Variation in the erythro/ threo Ratio in Softwood and Hardwood Lignins and its Relation to Syringyl/ Guaiacyl Ratio. Holzforschung 59: 276-281.

Chiang, V.L. 2006. Monolignol Biosynthesis and Genetic Engineering of Lignin in Trees, a Review. Environmental Chemistry Letters 4:143–146.

Dransfield, S.; Widjaja, E.A. 1995. Plant Resources of South-East Asia : Bamboo. Bogor: PROSEA

Del Rio, J.C.; Guitierez, A.; Hernando, M.; Landin, P.; Romero, J.; Martinez, A.T. 2005. Determining the Effluence of Eucalypt Lignin Composition in Paper Pulp Yield Using Pyr-GC/MS. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis

74:110-115.

Del Rio, J.C.; Marques, G.; Rencoret, J.; Martinez, A.T.; Gutierrez, A. 2007 Occurence of Naturally Acetylated Lignin Units. Journal of Agricultural and Food Chemistry 55:5461-5468.

Dence, C.W. 1992. The Determination of Lignin. In: Methodes in Lignin Chemistry. Eds. Lin S.Y, Dence C.W. Berlin: Springer-Verlag, pp. 33-61. Fengel, D.; Wegener, G. 1986. Wood Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Berlin:

Walterde Gruyter.

Fergus B.J.; Goring, D.A.I. 1970. The Distribution of Lignin in Birch Wood as Determined by Ultraviolet Microscopy. Holzforschung 24:118-124.

Gonzales, F.J.; Almendros, G.; del Rio, J.C.; Martin, F.; Gutierez, A.; Romero, J. 1999. Ease of Delignification Assessment of Wood from Different Eucalyptus Spesies by Pyrolisis (tmah)-gs/ms and cp/mas 13c-nmr Spectrometry. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 49:295-305. Gullichsen, J.; Paulapuro, H. 2000. Forest Product Chemistry. Finland: Fapet Oy

Helsinki.

(23)

22

Higuchi, T. 2006. Look Back Over the Studies of Lignin Biochemistry. Journal of Wood Science 52(1): 2-8.

Lin, J.; He, X.; Hu, Y.; Kuang, T.; Ceulemans, R. 2002. Lignification and Lignin Heterogeneity for Various Age Classes of Bamboo (Phyllostachys pubescens) Stems Physiologia Plantarum 114: 296–302.

Matsushita, Y.; Kakehi, A.; Miyawaki, S.; Yasuda, S. 2004. Formation and Chemical Structures of Acid Soluble Lignin II: Reaction of Aromatic Nuclei Model Compound with Xylan in the Presence of a Counterpart for Condensation, and Behavior of Lignin Model Compound with Guaiacyl and Syringyl Nuclei in 72% Sulfuric Acid. Journal of Wood Science 50: 136-141.

Musha, Y.; Goring, D.A.I. 1974. Klason and Acid Soluble Lignin Content of Hardwood. Journal of Wood Science. 7:133-134.

Obst, J.R. 1982. Guaiacyl and Syringyl Lignin Composition in Hardwood Cell Components. Holzforschung 36:143-152.

Philippe Council for Agriculture and Resources Research and Development. 1985. The Philippines Recommends for Rattan. Los Banos: PCARRD Technical Bulletin Series 55.

Ros, L.V.G.; Jose, M.; Pomar, E.F.; Merino, F.; Cuella, J.; Barcelo, A.R. 2007. The Monomer Composition Controls the Ʃß-O-4/ ƩO-4 End Monomer Ratio the Linear Lignin Fraction. Journal of Wood Science 53: 314-319.

Salmela, M.; Alen, R.; Vu, M.T.H. 2008. Description of Kraft Cooking and Oxygen–Alkali Delignification of Bamboo by Pulp and Dissolving Material Analysis. Industrial Crops and Products 28 (1): 47–55. http://www.sciencedirect.com/science.pdf (26 September 2011).

Sjostrom, E. 1991. Wood Chemistry : Fundamentals and Applications. San Diego: Academic Press.

Sonisa, I. 1995. Produksi dan Pemanfaatan Bambu di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Swan, B. 1965. Isolation of Acid Soluble Lignin from the Klason Lignin Determination. Svensk Papperstidning. 22: 791-795.

TAPPI. 1991. TAPPI Test Methods 1991. TAPPI Press. Atlanta.

(24)

Tsutsumi, Y.; Kondo, R.; Sakai, K.; Immamura, H. 1995. The Different of Reactivity between Syringyl Lignin and Guaiacyl Lignin in Alkaline System. Holzforschung 49:423-428.

Widjaja, E.A.; Mahyar, U.W.; Utama, S.S. 1989. Tumbuhan Anyaman Indonesia.

Jakarta: PT. Mediyatama Sarana Perkasa.

Yasuda, S.; Ota, K. 1987. Chemical Structure of Sulfuric Acid Lignin x. Reaction of Syringylglycerol-β-syringyl Ether and Condensation of Syringyl Nucleus with Guaiacyl Lignin Model Compounds in Sulfuric Acid. Holzforschung

41: 59-65.

(25)

KERAGAMAN KADAR LIGNIN

PADA EMPAT JENIS BAMBU

PUJI ASTUTI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(26)

ii

RINGKASAN

PUJI ASTUTI. Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu. Di Bawah Bimbingan Ir. DEDED SARIP NAWAWI, M.Sc.

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun bahan berlignoselulosa yang berperan penting terhadap sifat pengolahan dan penggunaanya. Di antara sifat kimia lignin yang penting untuk diketahui adalah kadar lignin secara kuantitatif dan reaktivitasnya. Selain kadar lignin Klason, kadar lignin terlarut asam merupakan salah satu parameter sifat kimia lignin yang tidak hanya berkaitan dengan kadar lignin, akan tetapi juga diduga berkaitan dengan reaktivitas monomer penyusun lignin (Matsushita et al. 2004). Reaktivitas lignin dalam kayu dapat diduga oleh proporsi tipe monomer penyusunnya. Hal ini karena adanya perbedaan reaktivitas antara unit siringil dibandingkan dengan guaiasil penyusun lignin (Yasuda et al. 2001, Tsutsumi et al. 1995). Lignin bambu, yang termasuk kelompok rumput-rumputan, berbeda dengan kayu dalam kadar dan sifat kimianya. Secara umum lignin bambu dapat digolongkan sebagai lignin “siringil-guaiasil”, akan tetapi proporsi tipe monomer tersebut bisa beragam antar jenis bambu yang berbeda. Lignin rumput-rumputan, termasuk bambu lebih kompleks karena selain mengandung unit guaiasil, siringil, dan p-hidroksifenil, juga mengandung sejumlah ester-terikat p-coumaric acid (Ros et al. 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kadar lignin, termasuk kadar lignin Klason dan lignin terlarut asam, serta proporsi monomer penyusun lignin empat jenis bambu, yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata), dan Bambu Tali (Gigantochloa apus). Penelitian ini menggunakan metode Klason dengan memisahkan lignin yang tidak larut sebagai residu setelah hidrolisis asam sulfat yang disebut dengan lignin Klason, sedangkan bagian lignin yang terlarut dalam filtrat disebut dengan lignin terlarut asam. Lignin terlarut asam diukur dengan menggunakan Spektrofotometri UV pada panjang gelombang 205 nm dan koefisien absorbsi 110 L/g.cm. Penentuan proporsi unit penyusun lignin menggunakan metode Pyrolisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (Pyr-GC-MS).

Kadar lignin bambu beragam antar jenis dan bagian buku serta ruas batang. Lignin Klason dan lignin terlarut asam bagian buku berkecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian ruas. Lignin bambu termasuk tipe lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil (lignin SGH) dengan proporsi sekitar 37,90% : 53,10% : 9,00%. Terdapat korelasi positif (r = 0,72) antara kadar lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil (nisbah S/G). Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil penting berkaitan dengan pengolahan bambu, misalnya proses pulping, karena komposisi unit penyusun lignin merupakan parameter penting dalam proses delignifikasi.

(27)

iii

KERAGAMAN KADAR LIGNIN

PADA EMPAT JENIS BAMBU

PUJI ASTUTI E24080087

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(28)

iv

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

(29)

v

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi : Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu

Nama Mahasiswa : Puji Astuti

NRP : E24080087

Departemen : Hasil Hutan

Menyetujui:

Dosen Pembimbing

Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc

NIP. 19660113 199103 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Hasil Hutan

(30)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun tugas akhir dengan judul “Keragaman Kadar Lignin pada Empat Jenis Bambu”. Tugas akhir ini sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan dari Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penulisan tugas akhir ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Semoga bermanfaat.

Bogor, 10 Juli 2012

(31)

vii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Demak, Jawa Tengah pada tanggal 23 September 1989 sebagai anak ke lima dari enam bersaudara dalam keluarga Bapak Mat Bisri dan Alm. Ibu Muzaro’ah. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis adalah TK Panggelar Budi kemudian dilanjutkan di SDN 1 Sarirejo pada tahun 1996-2002. Penulis melanjutkan ke MTs Asy-Syarifiyyah dan lulus tahun 2005 dan masuk ke SMA Futuhiyyah, Mranggen, Demak, lulus tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima sebagai mahasiswi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Departemen Agama RI dan memilih mayor Teknologi Hasil Hutan, serta pada tahun 2011 memilih Bagian Kimia Hasil Hutan sebagai bidang keahlian.

Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktik lapang antara lain Praktik Pengenalan Ekositem Hutan (PPEH) pada bulan Juli 2010 di Pangandaran dan Gunung Sawal, Jawa Barat. Pada bulan Juli 2011 penulis melaksanakan Praktik Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. Penulis juga melakukan Praktik Kerja Lapang di PT. A.W. Faber-Castell Indonesia, Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat pada bulan Februari-April 2012.

Kegiatan kemahasiswaan yang pernah diikuti penulis yaitu pengurus DKM Ibaadurrahmaan pada tahun 2010-2011 dan Himpunan Profesi Departemen Hasil Hutan (Himasiltan) pada tahun 2009-2010. Penulis juga pernah menjadi panitia KOMPAK DHH tahun 2010.

(32)

viii 2.4.3 Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata) ... 7 2.4.4 Bambu Ampel (Bambusa vulgaris) ... 7 3.3.2 Ekstraksi Etanol-Toluena ... 10 3.3.4 Penentuan Kadar Lignin Klason ... 10 3.3.4 Penentuan Kadar Lignin Terlarut Asam ... 10 3.3.5 Penentuan Nisbah Siringil-Guaiasil Lignin ... 11 3.3.6 Analisis Data ... 12 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

(33)

ix

4.3 Korelasi antara Lignin Terlarut Asam dan Nisbah Siringil-Guaiasil .... 17 V. KESIMPULAN DAN SARAN

(34)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produk pirolisis monomer siringil dan guaiasil penyusun lignin ... 11 2. Kadar lignin Klason, lignin terlarut asam, dan total lignin

pada empat jenis bambu ... 13 3. Proporsi jenis monomer penyusun lignin di dalam bambu

(35)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Unit fenilpropana penyusun lignin ... 4 2. Proporsi lignin terlarut asam empat jenis bambu pada bagian buku

dan ruas ... 15 3. Kecenderungan nisbah lignin siringil-guaiasil dengan kadar

(36)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

(37)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan sifat dasar bahan baku berlignoselulosa, baik kayu maupun non-kayu sangat penting berkaitan dengan efisiensi pengolahan dan penggunaannya. Sifat kimia merupakan salah satu sifat dasar yang berkaitan dengan karakter dan reaktivitas kimia dari komponen penyusun kayu atau non-kayu. Pengetahuan sifat kimia kayu dan non-kayu banyak diperlukan dalam kaitannya dengan pengolahan secara kimia atau penggunaan bahan berlignoselulosa serta pengembangan produk berbasis komponen kimianya.

Lignin merupakan salah satu komponen kimia penyusun bahan berlignoselulosa. Lignin bukan saja berperan sebagai bahan penopang sifat keteguhan sel tumbuhan berkayu, akan tetapi juga berperan penting terhadap sifat pengolahan dan penggunaan kayu dan non-kayu. Di antara sifat kimia lignin yang penting untuk diketahui adalah kadar lignin secara kuantitatif dan reaktivitasnya. Selain kadar lignin Klason, kadar lignin terlarut asam merupakan salah satu parameter sifat kimia lignin yang tidak hanya berkaitan dengan kadar lignin di dalam kayu atau non-kayu, akan tetapi diduga berkaitan dengan reaktivitas monomer penyusun lignin (Matsushita et al. 2004).

Kadar lignin dalam kayu beragam menurut jenis, bagian kayu, dan pada kayu reaksi (Akiyama et al. 2003 & 2005, Timell 1986, Fergus dan Goring 1970). Pada penentuan lignin dengan metode Klason, tipe lignin guaiasil-siringil seperti pada lignin kayu daun lebar, sebagian larut selama hidrolisis asam sehingga kadar lignin harus memperhitungkan bukan hanya lignin Klason, tetapi juga lignin yang larut dalam asam (Sjostrom 1991). Lignin yang larut dalam asam, terutama dalam jenis kayu daun lebar, dapat menyebabkan kesalahan hingga 9% dalam analisis kuantitatif komponen penyusun kayu (Fengel dan Wegener 1986).

(38)

lignin (Yasuda et al. 2001, Tsutsumi et al. 1995). Dalam jenis kayu daun lebar, proporsi monomer penyusun lignin sering dinyatakan sebagai nisbah unit siringil terhadap guaiasil (nisbah S/G).

Salmela et al. (2008) menyatakan bahwa pada umumnya lignin non-kayu (misalnya bambu) berbeda dengan kayu dalam kadar dan sifat kimianya. Perbedaan tersebut secara langsung akan berpengaruh pada sifat pengolahan bambu, misalnya dalam proses pulping. Walaupun secara umum lignin bambu dapat digolongkan sebagai lignin “siringil-guaiasil”, akan tetapi proporsi tipe monomer tersebut bisa beragam antar jenis bambu yang berbeda. Dengan demikian, pengetahuan terhadap lignin bambu penting juga dipahami sebagai upaya pemanfaatan bambu yang lebih baik.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur kadar lignin Klason dan lignin terlarut asam empat jenis bambu pada posisi batang yang berbeda (bagian ruas dan buku), serta kaitannya dengan proporsi tipe monomer penyusun lignin.

1.3 Manfaat

(39)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lignin

Lignin merupakan komponen dinding sel tumbuhan berupa fenolik heteropolimer yang dihasilkan dari rangkaian oksidatif di antara tiga unit monomer penyusunnya yaitu p-coumaryl, coniferyl, dan sinapyl alcohol dalam reaksi yang dimediasi oleh peroksida (Ros et al. 2007). Gullichsen dan Paulapuro (2000) menyatakan bahwa lignin merupakan polimer amorf dengan struktur kimia yang jelas berbeda dari komponen makromolekul lain pada kayu. Berbeda dengan karbohidrat, struktur kimia lignin tidak teratur yang dapat digambarkan oleh perbedaan komponen strukturalnya yaitu unit fenilpropana yang tidak terhubung satu sama lain.

Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel tumbuhan. Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat antar sel-sel. Dalam dinding sel, lignin sangat erat kaitannya dengan selulosa atau hemiselulosa dan berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel, memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan perubahan kadar air kayu, dan mempertinggi ketahanan kayu terhadap serangan cendawan dan serangga melalui perannya sebagai physical barrier (Haygreen dan Bowyer 1989). Lignin adalah salah satu komponen struktural utama dari dinding sel. Selain sebagai struktur pendukung dan fungsi pertahanan terhadap patogen, lignin juga berperan dalam pengangkutan air dari pembuluh floem dan sel xilem (Del Rio et al. 2007). Obst (1982) menyatakan bahwa struktur kimia lignin dapat mempengaruhi proses pulping dan mutu serat

pulp yang dihasilkan.

2.2 Heterogenitas Lignin

(40)

(1) (2

(1) (2) (3)

Gambar 1 Unit fenilpropana penyusun lignin (1) p-coumaril alkohol (2) koniferil alkohol (3) sinapil alkohol (Fengel dan Wegener 1986).

Lignin kayu daun lebar (dikotil, angiospermae), kayu daun jarum (gymnospermae), dan rumput-rumputan (monokotil, angiospermae) berbeda dalam kandungan unit-unit guaiasil (G), siringil (S), dan p-hidroksifenil (H). Lignin guaiasil (G) merupakan polimer koniferil alkohol, sedangkan lignin guaiasil-siringil (SG) tersusun atas guaiasil dan siringil di samping sejumlah kecil unit p-hidroksifenil (Fengel dan Wegener 1986). Higuchi (2006) menambahkan bahwa berdasarkan unit monomernya, lignin secara umum dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu lignin guaiasil dalam kayu daun jarum (softwood), lignin guaiail-siringil dalam kayu daun lebar (hardwood), dan lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil dalam rumput-rumputan.

Lignin bambu merupakan ciri khas dari lignin rumput-rumputan (grass lignin). Lignin rumput-rumputan lebih kompleks karena selain mengandung unit guaiasil, siringil, dan p-hidroksifenil, juga mengandung sejumlah ester-terikat p-coumaric acid (Ros et al. 2007). Lin et al. (2002) menyatakan bahwa bambu jenis

(41)

5

2.3 Lignin Terlarut Asam

Penentuan lignin dengan prosedur Klason terutama dihasilkan bagian lignin yang tidak larut sebagai residu setelah hidrolisis asam sulfat (acid insoluble lignin), sedangkan bagian dari lignin yang larut dalam filtrat disebut dengan lignin terlarut asam (acid soluble lignin) (Yasuda et al. 2001, Swan 1965).

Metode Klason merupakan metode yang selama ini paling sering digunakan untuk menduga kadar lignin dalam kayu atau non-kayu. Sementara itu, kandungan lignin total adalah gabungan dari lignin yang tidak larut dalam asam (lignin Klason) dan lignin yang larut dalam asam. Pada kayu daun lebar, sebagian lignin larut dalam hidrolisis asam sehingga harus diperhitungkan dalam penentuan total lignin. Kadar lignin terlarut asam dapat ditentukan dengan menggunakan spektrofotometri UV (Swan 1965, Sjostrom 1991), berdasarkan nilai serapan pada panjang gelombang 205 nm (Swan 1965).

Selain itu, proporsi lignin terlarut asam yang semakin tinggi pada kayu daun lebar cenderung memiliki kadar lignin Klason yang semakin rendah. Sementara itu, tingginya kadar lignin terlarut asam berkorelasi positif dengan kadar metoksil (Akiyama et al. 2005, Musha dan Goring 1974). Hal ini karena keberadaan gugus metoksil berkaitan erat dengan tipe fenilpropana penyusun lignin. Tipe fenilpropana penyusun lignin juga merupakan faktor penting dalam reaksi delignifikasi selama proses pulping. Apabila suatu jenis kayu memiliki kandungan unit siringil lignin yang lebih tinggi maka akan menyebabkan laju delignifikasi yang semakin cepat dengan konsumsi bahan kimia yang semakin rendah (Chiang 2006), karena unit siringilmemiliki reaktivitas yang tinggi dibandingkan dengan unit guaiasil saat proses pulping (Tsutsumi et al. 1995). Oleh sebab itu, lignin terlarut asam dapat digunakan sebagai salah satu parameter untuk menduga reaktivitas lignin apabila terbukti pembentukan lignin terlarut asam berkorelasi positif dengan proporsi unit siringil penyusun lignin.

2.4 Bambu

(42)

tunggal atau merumpun berbentuk silindris dengan serangkaian node dan antarnode. Bambu memiliki ketebalan dinding batang yang bervariasi mulai dari yang tipis hingga hampir padat. Ruas bambu terpisah satu sama lain oleh septa di node (PCARRD 1985).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) terdapat sekitar lebih dari 1000 spesies bambu yang tersebar di 80 negara di dunia, 200 spesies di antaranya ditemukan di Asia Tenggara dengan 8 kelompok utama di antaranya Bambusa Schreber, Cephalostachyum Munro, Dendrocalamus Nees, Gigantochloa Kurz ex Munro, Melocanna Trin, Phyllostachys Sieb. & Zucc., Schizostachyum Nees, dan

Thyrsostachys Gamle.

2.4.1Bambu Betung (Dendrocalamus asper)

Bambu betung mampu tumbuh pada tempat-tempat dari dataran rendah sampai daerah pada ketinggian 2000 mdpl. Rumpun bambu betung agak sedikit rapat dengan tinggi mencapai 20 m dan bergaris tengah sampai 20 cm. Bagian buku-bukunya memiliki akar pendek yang bergerombol. Panjang ruas 40-60 cm dengan dinding buluh cukup tebal (Sonisa 1995).

Menurut Dransfield dan Widjaja (1995) bambu betung memiliki panjang serat sekitar 3,78 mm, diameter 19 µm, tebal lumen 7 µm, tebal dinding 6 µm. Kadar air bambu betung dalam keadaan segar sebesar 55%, kadar air kering udara 15%, kandungan holoselulosa 53%, pentosan 19%, lignin 25%, abu 3%, kelarutan dalam air dingin 4,5%, kelarutan dalam air panas 6%, kelarutan dalam alkohol-benzena 1%, dan dalam NaOH 1% sebesar 22%.

2.4.2Bambu Tali (Gigantochloa apus)

(43)

7

digunakan untuk membuat alat musik bambu karena memiliki buku-buku yang cekung sehingga menyebabkan terjadinya gaung yang tak beraturan. Di Jawa Tengah dan Timur serta Bali bambu ini disebut pring (bahasa Jawa) atau tiying (bahasa Bali) tali (Widjaja et al. 1989).

Bambu tali memiliki kadar air 54,3% dalam keadaan basah dan 15,1% dalam keadaan kering udara, holoselulosa 52,1-54,7%, pentosa 19,1-19,3%, lignin 24,8-25,8%, kadar abu 2,7-2,9%, silika 1,8-5,2%, kelarutan dalam air dingin 5,2%, kelarutan dalam air panas 5,4-6,4%, kelarutan dalam alkohol-benzena 1,4-3,2%, dan kelarutan dalam 1% NaOH 21,2-25,1%. Kandungan pati berfluktuasi antara 0,24-0,71% tergantung pada musim (Dransfield dan Widjaja 1995).

Sonisa (1995) menambahkan bahwa bambu tali merupakan bambu yang terpenting dalam kehidupan masyarakat. Bambu ini biasa digunakan untuk bangunan rumah, barang anyaman, tali dan daunnya digunakan sebagai bahan pembungkus makanan.

2.4.3Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata)

Bambu andong tersebar luas di Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan Thailand. Batang berwarna hijau cerah dengan panjang hingga 20 m, dinding batang berukuran 6 mm, dan memiliki ruas hingga 35-50 cm. Bambu andong dimanfaatkan untuk membuat peralatan rumah tangga, keranjang, kasau, dan pagar rumah (Dransfield dan Widjaja 1995), juga untuk tiang, pagar, reng rumah dan alat pancing karena daya lentingnya yang baik, sedangkan pelepah yang kering dibuat kerajinan berupa hiasan rumah. Ciri khas bambu ini yaitu pelepah batang muda berwarna hijau dan cepat luruh. Batang muda berbulu miang, warna abu-abu dan terdapat garis-garis kuning yang jelas (Sonisa 1995).

2.4.4 Bambu Ampel (Bambusa vulgaris)

(44)

kadar ekstraktif kelarutan dalam air panas 9,4%, kelarutan dalam etanol benzene 5,2%, kadar ekstraktif kelarutan dalam NaOH 1% adalah 29,8% (Dransfield dan Widjaja 1995).

(45)

9

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Bersama, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (PUSTEKOLAH), Kementerian Kehutanan, Gunung Batu, Bogor.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini antara lain Willey mill, oven, UV Visible Spectrophotometer SHIMADZU UV Pharma Spec. 1700,

Pyrolisis Gas Chromatography Mass Spectrometry (Pyr-GC-MS), timbangan analitik, waterbath, soxhlet, desikator, pemanas air, kertas saring, dan peralatan gelas laboratorium.

Jenis bambu yang diteliti yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata), dan Bambu Tali (Gigantochloa apus). Sampel uji diambil dari bagian ruas dan buku pada bagian pangkal, tengah, dan ujung dalam satu batang bambu. Bahan lainnya yang diperlukan untuk penelitian ini antara lain etanol, toluena, asam sulfat, asam asetat, kertas pH, dan aqua destilata.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Persiapan Contoh Uji

Sampel bambu untuk analisis kimia disiapkan dalam bentuk partikel halus ukuran 40-60 mesh. Sampel uji dipisahkan antara bagian ruas dan buku setiap jenis bambu yang diteliti. Potongan kecil sampel kering udara digiling dengan alat

(46)

3.3.2 Penyiapan Serbuk Bebas Ekstraktif

Prosedur penyiapan serbuk bambu bebas ekstraktif dilakukan berdasarkan pada standar TAPPI T 204 om 88 modifikasi. Serbuk bambu sebanyak 5 gram diekstraksi dengan campuran pelarut etanol-toluena (1:2 v/v) selama 8 jam. Setelah sampel dicuci dengan etanol hingga larutan bening, sampel kemudian diekstraksi dengan air panas selama 3 jam, lalu disaring dan diangin-anginkan. Sampel dioven pada suhu 1032°C hingga beratnya mencapai konstan.

3.3.3 Penentuan Kadar Lignin Klason

Pengujian kadar lignin dilakukan berdasarkan TAPPI T 222 om 88 dengan modifikasi (Dence 1992). Serbuk bebas ekstraktif sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml, kemudian ditambahkan 5 ml asam sulfat 72% secara perlahan sambil diaduk setiap 15 menit. Sampel direaksikan selama 3 jam pada suhu 201°C, kemudian diencerkan hingga mencapai konsentrasi asam sulfat 3%. Hidrolisis dilanjutkan pada suhu 121°C selama 30 menit dengan alat autoclave. Lignin diendapkan, disaring dan dicuci dengan air destilata hingga bebas asam. Residu lignin dioven pada suhu 1032°C didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar lignin =

x

100%

Keterangan: B = berat lignin (gram) A = berat serbuk awal (gram)

3.3.4 Penentuan Kadar Lignin Terlarut Asam

(47)

11

BKT = berat kering tanur serbuk kayu (gram)

3.3.5 Penentuan Nisbah Siringil-Guaiasil Lignin

Beberapa jenis bambu yang memiliki perbedaan kadar lignin yang besar, yaitu Bambu Betung (Dendrocalamus asper), Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), dan Bambu Andong (Gigantochloa nigrociliata), diuji nisbah siringil-guaiasilnya (nisbah S/G). Pengukuran monomer siringil dan guaiasil lignin diuji dengan menggunakan metode Pyrolisis Gas Chromatography-Mass Spectrometry (Pyr-GC-MS). Nisbah S/G merupakan perbandingan antara konsentrasi relatif dari produk pirolisis siringil lignin terhadap guaiasil lignin (Tabel 1).

Tabel 1 Produk pirolisis monomer siringil dan guaiasil penyusun lignin

No. Siringil Guaiasil p-Hidroksifenil

1. Syringol Guaiacol Phenol

2. Vinylsyringol Vinylguaiacol Alkylphenols 3. Ethylsyringol Ethylguaiacol Methylphenols

4 Syringylacetone Homovanilin Vinylphenols

5 Homosyringaldehyde Coniferyl alcohol Allyl-+propenyl-phenols 6 Methylsyringol Methylguaiacol Cumarylaldehyde

7 Syringaldehyde Vanilin

8 Acetosyringone Acetoguaiacone

(48)

3.4 Analisis Data

(49)

13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lignin Klason dan Lignin Terlarut Asam

Lignin diisolasi dari sampel bebas ekstraktif sebagai sisa yang tidak terlarut setelah penghilangan polisakarida dengan hidrolisis. Bambu yang diteliti memiliki kadar lignin yang beragam, baik lignin Klason maupun lignin terlarut asam. Keragaman kadar lignin juga terjadi antar bagian buku dan ruas dari masing-masing jenis bambu. Lignin Klason dan lignin terlarut asam bagian buku berkecenderungan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian ruas (Tabel 2).

Tabel 2 Kadar lignin Klason, lignin terlarut asam, dan total lignin pada empat jenis bambu

(50)

Kadar lignin-terlarut asam bambu yang cukup tinggi (>1%) diduga berkorelasi dengan tipe lignin bambu yang tergolong lignin guaiasil-siringil (Salmela et al. 2008). Apabila dianalogikan dengan lignin kayu, lignin terlarut asam dari lignin kayu daun lebar lebih tinggi dibandingkan dengan jenis kayu daun jarum. Lignin kayu daun lebar termasuk kelompok lignin guaiasil-siringil, sedangkan lignin kayu daun jarum termasuk lignin guaiasil (Sjostrom 1991). Lebih spesifik, pembentukan lignin terlarut asam ini diduga berkorelasi dengan adanya unit siringil dalam lignin, seperti yang terdapat pada lignin kayu daun lebar. Indikasi tersebut didukung oleh adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan kadar metoksil dalam kayu (Akiyama et al. 2005, Musa dan Goring 1974), sementara itu kadar metoksil berkorelasi positif dengan kelimpahan unit siringil dalam lignin (Obst 1982).

Penentuan kadar lignin dengan menggunakan metode Klason seringkali tidak dapat mewakili kadar lignin total. Ketidakakuratan dalam penentuan lignin dengan metode Klason terjadi karena adanya senyawa-senyawa dan hasil-hasil reaksi yang tetap tertinggal dalam lignin sisa yang tidak terhidrolisis dan menyebabkan seakan-akan nilai kadar lignin tinggi, sedangkan pada posisi yang lain sebagian lignin terlarut asam menghasilkan kadar lignin yang lebih rendah.

(51)

15

Gambar 2 Proporsi lignin terlarut asam (ASL) empat jenis bambu pada bagian buku dan ruas.

4.2 Proporsi Jenis Monomer Penyusun Lignin Bambu

Berdasarkan unit monomernya, lignin secara umum dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu lignin guaiasil dalam kayu daun jarum (softwood), lignin guaiail-siringil dalam kayu daun lebar (hardwood), dan lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil dalam rumput-rumputan (Higuchi 2006). Berdasarkan hasil analisis Pyr-GC-MS (Lampiran 1), lignin bambu tersusun atas monomer siringil, guaiasil, dan p-hidroksifenil. Kandungan masing-masing unit monomer penyusun lignin berbeda-beda pada setiap jenis dan posisi dalam batang bambu (Tabel 3). Kadar relatif unit siringil pada lignin bambu yang diteliti berkisar 23,34-53,27%, guaiasil berkisar antara 37,64-65,56%, dan p-hidroksifenil berkisar antara 4,22-17,20%. Walaupun secara umum lignin bambu terutama disusun oleh guaiasil dan siringil sama dengan jenis kayu daun lebar, akan tetapi lignin bambu memiliki kandungan unit p-hidroksifenil yang tinggi seperti yang terdapat pada lignin jenis kayu daun jarum. Lignin kayu daun jarum mengandung sekitar 10% unit p-hidroksifenil (Gullichsen dan Paulapuro 2000).

(52)

Tabel 3 Proporsi jenis monomer penyusun lignin di dalam bambu dengan metode Pyr-GC-MS

Bagian Sampel Jenis Bambu Lignin Terlarut Asam (%) Terdapat kecenderungan, sampel bambu yang memiliki kadar lignin terlarut asam yang tinggi memiliki proporsi unit monomer siringil yang tinggi pula atau nisbah S/G yang tinggi (Gambar 3). Hal ini sesuai dengan dugaan awal bahwa pembentukan lignin terlarut asam selama prosedur lignin Klason ditentukan oleh tingkat reaktivitas dari masing-masing unit monomer penyusun lignin. Meskipun bambu memiliki kadar lignin yang sama namun bisa memiliki nisbah S/G yang berbeda-beda. Dengan kata lain, walaupun jenis bambu memiliki kadar lignin yang sama, akan tetapi bisa memiliki reaktivitas lignin yang berbeda, misalnya dalam proses pulping.

Gambar 3 Kecenderungan nisbah lignin siringil-guaiasil dengan kadar lignin terlarut asam.

Polimer lignin dengan nisbah siringil-guaiasil rendah bisa menyebabkan molekul lignin memiliki tingkat kondensasi yang tinggi. Hal ini disebabkan tingginya proporsi unit monomer guaiasil yang berpotensi membentuk ikatan

(53)

17

karbon-karbon yang lebih banyak dibandingkan dengan unit siringil. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada proses pengolahan kayu, misalnya dalam proses

pulping karena jumlah ikatan dalam polimer lignin yang semakin banyak mengakibatkan kebutuhan bahan kimia pemasak yang semakin banyak dengan waktu proses yang semakin lama. Lignin bambu yang termasuk tipe siringil-guaiasil dapat memiliki reaktivitas yang tinggi pada proses delignifikasi karena memiliki phenolic hydroxyl yang tinggi sehingga lebih reaktif saat proses delignifikasi (Salmela et al. 2008).

4.3 Korelasi antara Lignin Terlarut Asam dan Nisbah Siringil-Guaiasil Seperti yang terjadi pada kayu daun lebar (Akiyama et al. 2005), terdapat korelasi positif antara kadar lignin terlarut asam dengan proporsi siringil dalam lignin bambu, yang ditunjukkan oleh korelasi antara kadar lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil (Gambar 4). Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil dalam lignin bambu yang diteliti memiliki korelasi yang cukup tinggi (r = 0,72).

Gambar 4 Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil.

Indikasi adanya korelasi antara lignin terlarut asam dengan jenis monomer penyusun lignin juga dilaporkan oleh Musha dan Goring (1974) yang menemukan adanya hubungan yang kuat antara kadar metoksil dengan pembentukan lignin terlarut asam pada penentuan lignin Klason kayu daun lebar. Kadar metoksil yang

(54)

semakin tinggi dalam kayu akan berhubungan dengan kandungan tipe monomer penyusun lignin. Semakin tinggi kandungan metoksil dalam lignin menunjukkan semakin tinggi proporsi unit siringil yang menyusun polimer lignin karena unit siringil memiliki kandungan metoksil yang tinggi dibandingkan dengan unit guaiasil (Musha dan Goring 1974). Lebih tingginya reaktivitas unit siringil dibandingkan dengan unit guaiasil penyusun lignin dalam kondisi asam juga dilaporkan oleh Yasuda dan Ota (1987).

Sebaliknya, lignin Klason cenderung berkorelasi negatif dengan nisbah siringil-guiasil (nisbah S/G). Dalam arti lain, lignin dengan proporsi unit guaiasil yang lebih tinggi menghasilkan proporsi lignin Klason yang tinggi pula dan sebaliknya. Berdasarkan perbedaan reaktivitas unit guaiasil dan siringil (Matsushita et al. 2004), selama metode Klason unit guaiasil akan terdegradasi dan segera membentuk produk kondensasi yang stabil pada perlakuan asam sulfat 72%, sehingga unit guaiasil merupakan unit penyusun lignin yang terkondensasi lebih banyak pada lignin Klason. Sementara itu, proporsi siringil yang tinggi menghasilkan lignin terlarut asam yang tinggi pula dan mengakibatkan lignin yang tersisa dalam penentuan lignin dengan metode Klason menjadi rendah. Tingginya kelarutan unit siringil diduga terjadi sejak degradasi lignin pada perlakuan asam sulfat 72% yang bersamaan dengan terjadi kondensasi intermolekuler, kondesasi dengan karbohidrat, degradasi, dan reaksi lainnya, sehingga unit siringil banyak yang larut pada tahap awal reaksi dan kemudian konstan pada waktu reaksi selanjutnya (Yasuda et al. 2001).

Korelasi antara lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil penting berkaitan dengan pengolahan bambu, misalnya proses pulping, karena komposisi unit penyusun lignin merupakan parameter penting dalam proses delignifikasi. Menurut Salmela et al. (2008), bambu berpotensi sebagai bahan baku yang baik untuk pembuatan pulp karena memiliki serat yang panjang dan lignin bertipe siringil-guaiasil yang memiliki reaktivitas yang tinggi.

(55)

19

(Gonzales et al. 1999, del Rio et al. 2005). Hal yang sama dapat berlaku juga untuk bambu karena lignin bambu termasuk golongan lignin guaiasil-siringil sama dengan kayu daun lebar. Proses delignifikasi bukan hanya berkaitan dengan kadar lignin, akan tetapi juga reaktivitasnya yang bisa diduga dengan nilai nisbah siringil-guaiasil. Kadar lignin secara kuantitatif berpengaruh pada kebutuhan bahan kimia pemasak dalam proses pulping, sedangkan nisbah siringil-guaiasil berpengaruh pada kemudahan lignin tersebut didegradasi dan dilarutkan.

(56)

20

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar lignin bambu, baik lignin Klason maupun lignin terlarut asam memiliki nilai yang beragam pada antar jenis dan posisi dalam batang. Lignin bambu termasuk tipe lignin guaiasil-siringil-p-hidroksifenil (lignin SGH) dengan proporsi sekitar 37,90% : 53,10% : 9,00%. Terdapat korelasi positif (r = 0,72) antara kadar lignin terlarut asam dengan nisbah siringil-guaiasil (nisbah S/G).

5.2 Saran

(57)

21

DAFTAR PUSTAKA

Akiyama, T.; Okuyama, T.; Matsumoto, Y.; Meshitsuka, G. 2003. Erythro/threo Ratio of β-O-4 Structures as an Important Structural Characteristics of Lignin. Part 3. Ratio of erythro and threo Forms of β-O-4 Structures in Tension Wood Lignin. Phytochemistry 64: 1157-1162.

Akiyama, T.; Goto, H.; Nawawi, D.S.; Syafii, W.; Matsumoto, Y.; Meshitsuka, G. 2005. Erythro/ threo Ratio of ß-O-4-Structures as an Important Structural Characteristic of Lignin. Part 4: Variation in the erythro/ threo Ratio in Softwood and Hardwood Lignins and its Relation to Syringyl/ Guaiacyl Ratio. Holzforschung 59: 276-281.

Chiang, V.L. 2006. Monolignol Biosynthesis and Genetic Engineering of Lignin in Trees, a Review. Environmental Chemistry Letters 4:143–146.

Dransfield, S.; Widjaja, E.A. 1995. Plant Resources of South-East Asia : Bamboo. Bogor: PROSEA

Del Rio, J.C.; Guitierez, A.; Hernando, M.; Landin, P.; Romero, J.; Martinez, A.T. 2005. Determining the Effluence of Eucalypt Lignin Composition in Paper Pulp Yield Using Pyr-GC/MS. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis

74:110-115.

Del Rio, J.C.; Marques, G.; Rencoret, J.; Martinez, A.T.; Gutierrez, A. 2007 Occurence of Naturally Acetylated Lignin Units. Journal of Agricultural and Food Chemistry 55:5461-5468.

Dence, C.W. 1992. The Determination of Lignin. In: Methodes in Lignin Chemistry. Eds. Lin S.Y, Dence C.W. Berlin: Springer-Verlag, pp. 33-61. Fengel, D.; Wegener, G. 1986. Wood Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Berlin:

Walterde Gruyter.

Fergus B.J.; Goring, D.A.I. 1970. The Distribution of Lignin in Birch Wood as Determined by Ultraviolet Microscopy. Holzforschung 24:118-124.

Gonzales, F.J.; Almendros, G.; del Rio, J.C.; Martin, F.; Gutierez, A.; Romero, J. 1999. Ease of Delignification Assessment of Wood from Different Eucalyptus Spesies by Pyrolisis (tmah)-gs/ms and cp/mas 13c-nmr Spectrometry. Journal of Analytical and Applied Pyrolysis 49:295-305. Gullichsen, J.; Paulapuro, H. 2000. Forest Product Chemistry. Finland: Fapet Oy

Helsinki.

(58)

Higuchi, T. 2006. Look Back Over the Studies of Lignin Biochemistry. Journal of Wood Science 52(1): 2-8.

Lin, J.; He, X.; Hu, Y.; Kuang, T.; Ceulemans, R. 2002. Lignification and Lignin Heterogeneity for Various Age Classes of Bamboo (Phyllostachys pubescens) Stems Physiologia Plantarum 114: 296–302.

Matsushita, Y.; Kakehi, A.; Miyawaki, S.; Yasuda, S. 2004. Formation and Chemical Structures of Acid Soluble Lignin II: Reaction of Aromatic Nuclei Model Compound with Xylan in the Presence of a Counterpart for Condensation, and Behavior of Lignin Model Compound with Guaiacyl and Syringyl Nuclei in 72% Sulfuric Acid. Journal of Wood Science 50: 136-141.

Musha, Y.; Goring, D.A.I. 1974. Klason and Acid Soluble Lignin Content of Hardwood. Journal of Wood Science. 7:133-134.

Obst, J.R. 1982. Guaiacyl and Syringyl Lignin Composition in Hardwood Cell Components. Holzforschung 36:143-152.

Philippe Council for Agriculture and Resources Research and Development. 1985. The Philippines Recommends for Rattan. Los Banos: PCARRD Technical Bulletin Series 55.

Ros, L.V.G.; Jose, M.; Pomar, E.F.; Merino, F.; Cuella, J.; Barcelo, A.R. 2007. The Monomer Composition Controls the Ʃß-O-4/ ƩO-4 End Monomer Ratio the Linear Lignin Fraction. Journal of Wood Science 53: 314-319.

Salmela, M.; Alen, R.; Vu, M.T.H. 2008. Description of Kraft Cooking and Oxygen–Alkali Delignification of Bamboo by Pulp and Dissolving Material Analysis. Industrial Crops and Products 28 (1): 47–55. http://www.sciencedirect.com/science.pdf (26 September 2011).

Sjostrom, E. 1991. Wood Chemistry : Fundamentals and Applications. San Diego: Academic Press.

Sonisa, I. 1995. Produksi dan Pemanfaatan Bambu di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Swan, B. 1965. Isolation of Acid Soluble Lignin from the Klason Lignin Determination. Svensk Papperstidning. 22: 791-795.

TAPPI. 1991. TAPPI Test Methods 1991. TAPPI Press. Atlanta.

Gambar

Tabel 1  Produk pirolisis monomer siringil dan guaiasil penyusun lignin
Gambar 2  Proporsi lignin terlarut asam (ASL) empat jenis bambu pada
Tabel 3  Proporsi jenis monomer penyusun lignin di dalam bambu dengan metode
Tabel 1  Produk pirolisis monomer siringil dan guaiasil penyusun lignin
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan pola hubungan patron dan klien petani padi di Kecamatan Rengasdengklok dalam rangka beradaptasi dari keadaan yang menuntut kedua pihak agar melakukan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Lurah dalam menyampaikan informasi dengan jelas dan dapat dipahami oleh peserta musrenbang, Lurah menerima saran maupun

PERSI (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Daerah Sumatera Utara tahun ini akan menyelenggarakan Seminar Perumahsakitan, Lokakarya dan Medan Hospital Expo VII yang

Pengaruh volatile solid terhadap pembentukan akumulasi volume biogas adalah pada volatile solid yang sama, tetapi kecenderungan dengan komposisi kulit jeruk dan

Faktor pendukung pendidikan Islam pada anak TPA di desa Dawung yaitu usaha yang serius dari pihak ustadz dan pengurus dalam pendidikan dan pembinaan anak- anak, dukungan dari

Kegiatan pelatihan zelio smart relay sangat membantu guru listrik dan elektronika SMK Pelita Nusantara 2 Semarang dalam meningkatkan kemampuan merancang

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian sejenis seperti yang terlihat di Tabel VI, persentase obat dengan nama generik untuk pasien rawat jalan di RSUD Ungaran lebih

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bandung Tahun 2015 dapat menggambarkan kinerja Dinas dan Evaluasi terhadap kinerja Dinas