• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduction Characteristic and Population Dynamics of Etawah breads On Sand Post-mining Land

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reproduction Characteristic and Population Dynamics of Etawah breads On Sand Post-mining Land"

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

1

KARAKTERISTIK REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN

POPULASI KAMBING PERANAKAN ETAWAH

DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR

SKRIPSI

NIA NUZUL KURNIASIH

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

2 RINGKASAN

Nia Nuzul Kurniasih. D14080213. 2012. Karakteristik Reproduksi dan Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah di Lahan Pasca Galian Pasir. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Asnath, M. Fuah. MS Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan hasil persilangan antara kambing Etawah dengan kambing lokal, yang sudah beradaptasi dengan baik lingkungan Indonesia. Pada umumnya, kambing PE dipelihara oleh peternak di Jawa Barat sebagai penghasil daging dan susu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik reproduksi dan dinamika populasi kambing PE di Sumedang, Jawa Barat. Pengumpulan data dilakukan selama satu bulan yaitu dari bulan Juli sampai Agustus 2011, menggunakan metode survey ke lokasi peternakan yang ada di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang. Responden terdiri dari 36 orang petani peternak yang ditentukan secara purposif yaitu mereka yang memiliki ternak kambing PE, sebagai anggota kelompok tani dan bersedia untuk diwawancara.

Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner dan pengamatan langsung ke lokasi penelitian, dan data sekunder diperoleh dari kantor statistik peternakan Sumedang dan pencacatan dari ketua kelompok. Parameter yang diamati adalah kondisi dari lokasi pemeliharaan dan karakteristik reproduksi ternak kambing PE yang ada di lokasi penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Berdasarkan karakteristik reproduksi ternak kambing yang didapat, dilakukan estimasi dinamika populasi selama waktu pengembangan enam tahun dengan asumsi kondisi yang ada tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh rata-rata umur betina saat pertama kali birahi masing-masing 10,06±1,65 bulan dan 12,89±3,86 bulan, umur betina saat pertama kali kawin 10,56±1,55 bulan dan 13,26±3,93 bulan, jarak kelahiran anak 7,75±0,58 bulan dan 7,17±1,11 bulan. Nilai mortalitas kambing PE muda masing-masing sebesar 17,53% dan 77,78% di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh. Hasil estimasi dinamika populasi ternak kambing PE selama enam tahun periode pengembangan menunjukkan adanya kenaikkan populasi ternak sebesar 11,43% di Kecamatan Cimalaka, sehingga dalam waktu enam tahun jumlah ternak betina produktif sebanyak 308 ekor. Untuk itu, setiap tahun perlu disiapkan 79 ekor betina pengganti untuk proses reproduksi. Populasi ternak di Kecamatan Paseh mengalami penurunan sebesar 23,37%. sehingga dalam waktu enam tahun jumlah ternak betina produktif sebanyak 41 ekor. Untuk itu, setiap tahun perlu disiapkan 8 ekor betina pengganti untuk proses reproduksi.

(3)

3 ABSTRACT

Reproduction Characteristic and Population Dynamics of Etawah breads On Sand Post-mining Land

Kurniasih, N.N., A. M. Fuah and R. Priyanto

The crossbreed of Etawah and local goats is generally called,” Peranakan Etawah (PE)” which is well adapted to the enviromental of Indonesia. These animals are also well maintained and kept by farmers as the main producers of meat and milk. The aim of this research was to study the reproductive characteristics and population dynamics of PE goats in Sumedang of West Java. This research was conducted for two months from July to August of 2011, took place in Cimalaka and Paseh subdistricts of Sumedang. Thirty six (36) farmers were purposively chosen as respondents for this study. Primary data were obtained from the farmers by interview using questionnaires, and observation was also conducted to their field to understand the animal condition and management practiced by farmers. Secondary data were collected from Sumedang livestock office and statistical report data from farmers group. Data collected were analyzed descriptively to obtain reproductive characteristics of goats. Based on the reproductive characteristics obtained, estimation was made on the population dynamics of dairy goats in Cimalaka and Paseh subdistricts. The average age of ewes at first estrus was 10,06±1,65 m and 12,89±3,86 m in Cimalaka and Paseh respectively. The first conception of ewes occurred at 10,56±1,55 m and 13,26±3,93 m, and kidding interval was 7,75±0,58 m and 7,17±1,11 m whereas, the mortality rate of young goats was 8% and 24% in Cimalaka and Paseh respectively which was varied between region. The results of estimation made of the population dynamics of dairy goats in the Cimalaka subdistricts indicated that the increase rate of goats after six years was 11,43%, is resulted in the increase of goat numbers obtain six years, to be 308 heads. Therefore, the number of ewes should be kept in the flock was 79 heads in order to maintain population.The results of estimation made of the population dynamics of dairy goats in the Paseh subdistricts indicated that the decrease rate of goats after six years was 23,37%, is resulted in the decrease of goat numbers obtain six years, to be 41 heads. Therefore, the number of ewes should be kept in the flock was 8 heads in order to maintain population.

(4)

4

KARAKTERISTIK REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN

POPULASI KAMBING PERANAKAN ETAWAH

DI LAHAN PASCA GALIAN PASIR

NIA NUZUL KURNIASIH D14080213

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

5 Judul :Karakteristik Reproduksi Dan Perkembangan Populasi Kambing

Peranakan Etawah Di Lahan Pasca Galian Pasir Nama : Nia Nuzul Kurniasih

NIM : D14080213

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Dr. Ir. Asnath M. Fuah. MS) NIP: 19541015 19790 3 2001

Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) NIP: 19601216 19860 3 1003

Mengetahui: Ketua Departemen,

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP: 19591212 198603 1 004

(6)

6 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 April 1990 di Bogor, Jawa Barat. Sebagai anak ke lima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Arifin dan Ibu Hj. Rohima.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Limo 03 Kota Depok pada tahun 2002, pendidikan menengah pertama di SLTP Tadika Pertiwi Kota Depok diselesaikan pada tahun 2005 dan pendidikan menengah atas di SMA Cenderawasih 1 Jakarta diselesaikan pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis pernah menjadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) periode 2009-2010. Selama kuliah, pernah mengikuti kegiatan magang di D’Farm Fakultas Peternakan pada tahun 2009.

(7)

7 KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmaanirrahiim

Asslamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah Robbil Alamin, puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakteristik Reproduksi dan Perkembangan Populasi Kambing Peranakan Etawah (PE) di Lahan Pasca Galian Pasir “ dengan lancar. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, para sahabat dan umatnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki dwi fungsi yaitu sebagai penghasil daging dan susu. Kambing Peranakan Etawah adalah salah satu ternak kambing yang dimanfaatkan sebagai ternak perah dan pedaging (jika sudah afkir). Lahan kritis seperti yang ada di Kabupaten Sumedang merupakan lahan bekas galian pasir , dengan kondisi lahan yang gersang sehingga kurang baik untuk pertumbuhan ternak perah. Namun kambing memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap kondisi lingkungan yang kurang memadai bagi ternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik reproduksi kambing PE di lahan bekas galian pasir, menganalisis perkembangan populasi kambing PE, dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan populasi kambing PE di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh, Sumedang.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh karena itu sebagai saran dan kritik yang membangun ke arah penyempurnaan skripsi ini akan sangat membantu penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya. Amiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bogor, September 2012

(8)

vii

Karakterisktik Reproduksi Kambing PE 15

Produktivitas Kambing PE 15

Tingkat Kelahiran dan Kematian 17

Penyakit dan Penanganan 19

Dinamika Populasi 19

Potensi Ternak Kambing di Jawa Barat 21

MATERI DAN METODE 22

Lokasi dan Waktu 22

(9)

viii

Metode 22

Rancangan dan Analisis Data 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 24

Kecamatan Cimalaka 25

Kecamatan Paseh 28

Populasi dan Kepemilikkan Ternak 30

Karakteristik Petani 30

Jumlah Ternak 33

Karakteristik Reproduksi Kambing PE 34

Penyakit dan Penanganan 40

Sistem Pemeliharaan 41

Jenis Pakan dan Pemberiannya 43

Dinamika Populasi 44

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kambing PE 45

KESIMPULAN DAN SARAN 46

Kesimpulan 46

Saran 46

UCAPAN TERIMAKASIH 47

DAFTAR PUSTAKA 49

(10)

vii DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penjualan Kambing Selama Setahun Terakhir yang

Dilakukan Peternak Di Sukabumi dan Lampung 11 2.

Rataan Lahir Anak Kambing PE Jantan Betina 13 3. Komposisi Susu Kambing dari Berbagai Penelitian 14 4. Umur dan Berat Badan Pubertas Kambing Peranakan

Etawah 16

5. Rataan Angka Kelahiran Kambing PE 18

6. Karakteristik Petani di Lahan Bekas Tambang Pasir 31 7. Pendapatan Petani di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan

Paseh 32

8. Jumlah Ternak Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan

Cimalaka dan Kecamatan Paseh Bulan Juli 2011 33 9. Karakteristik Reproduksi Kambing PE di Lahan Bekas

Tambang Pasir di Kabupaten Sumedang 35

10. Angka Kematian Kambing PE Bulan Juli 2011 39 11. Proyeksi Kambing PE Induk Selama Enam Tahun

Pengembangan di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh

(11)

vii DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kambing PE 4

2. Lokasi Lahan Tambang Pasir di Kecamatan Cimalaka 25 3. Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal 26

4. Kambing PE di Kecamatan Cimalaka 27

5. Lahan Galian Pasir yang Ditanami Buah Naga di

Kecamatan Cimalaka 28

6. Lahan Bekas Tambang Pasir yang Belum Direklamasi di

Kecamatan Paseh 29

7. Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal 29

8. a. Kandang di Kecamatan Cimalaka 43

b. Kandang di Kecamatan Paseh 43

(12)

vii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Perhitungan Dinamika Populasi Kambing PE di Kabupaten Sumedang

55

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ternak kambing merupakan hasil domestikasi kambing liar untuk diternakkan yang tersebar dan beradaptasi di berbagai daerah, serta menghasilkan nilai fungsional berbeda–beda yaitu sebagai kambing pedaging, kambing penghasil susu, diambil bulunya maupun kambing penghasil susu sekaligus daging (Dinas Kesehatan Hewan, 2010). Investasi yang sedikit, dewasa tubuh dan kelamin yang cepat, jumlah anak per kelahiran sering lebih dari satu, kidding interval yang pendek serta masa kebuntingan yang relatif cepat menyebabkan perputaran modal menjadi relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan ternak lain. Ternak kambing memiliki beberapa keunggulan lain yaitu tidak membutuhkan lahan yang luas, tenaga kerja yang diperlukan sedikit dan kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan pakan yang buruk. Hal tersebut yang membuat banyak petani di pedesaan memelihara kambing, terutama di Pulau Jawa. Kurangnya pemahaman terhadap manfaat ternak kambing menyebabkan petani kurang menerapkan sistem pemeliharaan kambing yang benar, sehingga beternak kambing hanya dijadikan sebagai usaha sambilan, dan sebagai tabungan yang dijual untuk memenuhi kebutuhan mendesak.

(14)

2 Tipe kambing yang banyak diternakkan di Indonesia adalah kambing pedaging dan kambing perah. Kambing perah jenis Etawah berpotensi untuk dikembangkan, penyebarannya cukup luas sampai ke beberapa negara yaitu India, Indonesia, Pakistan, Amerika Selatan, dan lain-lain (Devendra dan Burn, 1994). Kambing Etawah menyebar dibeberapa negara dan banyak digunakan untuk memperbaiki kualitas kambing lokal, dengan cara mengawinkan kambing Etawah dengan kambing lokal seperti yang ada di Kaligesing. Kambing Etawah memiliki perfoma produksi dan reproduksi yang baik. Berbeda dengan sapi, yang memiliki empat puting dan satu ambing, kambing hanya memiliki dua puting dan dua ambing saja. Hasil perkawinan antara kambing Etawah dan kambing lokal menghasilkan kambing yang disebut Peranakan Etawah (PE), dengan karakteristik yang hampir sama dengan kambing Etawah, mengakibatkan sebagian besar masyarakat memelihara kambing hasil persilangan tersebut. Kambing PE dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi alam Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging serta susu. Produksi daging Kambing PE lebih tinggi dibanding kambing lokal (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011).

Lahan kritis di Kabupaten Sumedang merupakan lahan bekas galian pasir yaitu lahan yang kurang produktif dengan kondisi cuaca yang panas sehingga kurang cocok untuk pemeliharaan ternak terutama ternak perah. Cuaca dan iklim yang kurang nyaman dapat menurunkan produksi dan reproduksi tenak perah. Daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan menyebabkan ternak ruminansia tersebut mampu hidup di lingkungan yang paling ekstrim, contohnya kekurangan pakan dan manajemen pemeliharaan yang kurang memadai.

Tujuan

(15)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Ternak Kambing

Kambing merupakan hasil domestikasi dari hewan liar. Penjinakan kambing diperkirakan terjadi di daerah pegunungan Asia Barat selama abad ke-7 sampai ke-9 sebelum masehi. Awalnya kambing yang dijinakkan untuk diperoleh dagingnya. Kambing dimanfaatkan sebagai sumber daging pada awalnya. Kambing sebagai hewan perah juga dianggap hewan yang tertua, jika dipandang dari kemudahannya diperah. Berbagai metode telah digunakan oleh para peneliti terdahulu untuk menggolongkan kambing sebagai hewan peliharaan, dengan mendasarkannya pada berbagai sifat seperti fungsi, daerah asal geografis, serta sikap kepala dan tubuh ketika berjalan (Devendra dan Burns, 1994).

Kambing adalah hewan yang sangat penting dalam pertanian subsistem karena kemampuannya yang unik untuk mengadaptasikan dan mempertahankan dirinya dalam lingkungan yang keras. Asal-usul kambing masih ditentukan dengan jelas meskipun bukti-bukti yang tersedia menunjukkan bahwa bezoar Asia Barat daya adalah nenek moyang kambing yang utama. Ada empat cara pengklasifikasian kambing yaitu berdasarkan asal-usulnya, kegunaannya, besar tubuhnya, dan bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993).

(16)

4 Gambar 1. Kambing PE

Kambing Etawah atau kambing Jamnapari berasal dari distrik Etawah daerah antara Sungai Yamuma dan Chambal Provinsi Utara Pradesh, India. Kambing Etawah yang didatangkan ke Indonesia bertujuan untuk memperbaiki kambing-kambing lokal yang memiliki tubuh kecil, karena kambing-kambing Etawah adalah bangsa kambing tipe besar sehingga diharapkan melalui persilangan antara kambing Etawah dan kambing Kacang akan muncul bangsa kambing baru yang lebih besar dari kambing Kacang dan mampu menghasilkan susu dengan baik (Heriyadi, 2004). Kambing Jamnapari atau Etawah sangat baik sebagai hewan perah dan sebagai penghasil daging. Ciri-ciri dari kambing Etawah adalah telinganya menggantung dengan panjang kurang lebih 30 cm, mempunyai berbagai warna (putih, merah coklat, dan hitam), ambingnya berkembang baik, bentuk muka cembung, dan biasanya bertanduk pendek yang berbentuk pedang lengkung (Devendra dan Burns, 1994).

Potensi Ternak Kambing Faktor Lingkungan

(17)

5 respon morfologis dan fisiologis, perubahan tingkah laku makan, metabolisme, dan penampilan (Mastika, 1993).

Semua ternak domestik mempertahankan suhu tubuhnya pada kisaran yang paling cocok untuk terjadinya aktivitas biologis yang optimum. Kisaran yang paling normal pada jenis mamalia adalah 370C-390C, sedangkan pada burung adalah 400 C-440C. Produksi panas yang bervariasi tergantung pada cara ternak mengeluarkan panasnya. Penguapan merupakan cara ternak domestik mengeluarkan panasnya. Pengaruh iklim tidak langsung terhadap ternak terutama pada kuantitas dan kualitas makanan yang tersedia bagi ternak. Pengaruh tersebut tidak langsung dari iklim karena ada faktor lain yaitu penyakit dan parasit (Williamson dan Payne, 1993).

Kambing PE dapat beradaptasi dengan baik terhadap kondisi alam Indonesia, mudah dipelihara dan merupakan ternak jenis unggul penghasil daging serta susu. Produksi daging kambing PE lebih tinggi dibanding kambing Lokal (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Daerah tropis memiliki iklim yang tidak seragam dan sering terdapat perbedaan iklim yang tajam yang disebabkan oleh berbagai faktor geografi, seperti ketinggian daerah dan tekanan udara sehingga beberapa daerah tropis dapat mempunyai iklim subtropis, disamping kisaran utama iklimnya panas-kering sampai panas-lembab. Oleh karena itu, tatalaksana pemeliharaan dan bangsa kambing yang dikembangkan di daerah beriklim subtropis dapat diterima dengan baik dibeberapa tempat (Devendra dan Burns, 1994).

Faktor Pakan

(18)

6 Novita et al. (2006), melaporkan bahwa jerami padi yang difermentasi dengan urea dan probiotik baik yang dipotong maupun digiling dan dikombinasikan dengan konsentrat mempengaruhi reproduksi, pertumbuhan induk kambing selama bunting dan laktasi, pertumbuhan anak kambing, produksi susu dan kualitas susu, sehingga dapat menggantikan rumput gajah sebagai sumber serat dalam ransum. Namun penggunaannya dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan karena pemberian dalam bentuk potongan atau cacah dapat menurunkan kondisi tubuh induk. Kambing memiliki kebiasaan makan yang berbeda dengan ruminansia lainnya dan bila tidak dikontrol dapat mengakibatkan kerusakan. Kambing mampu merumput pada bagian rumput yang sangat pendek dan meragut dedauanan yang biasanya tidak dimakan oleh ternak lainnya (Devendra dan Burns, 1994).

Pemberian pakan yang sangat tinggi (200% maintenance) pada periode sebelum implantasi dapat mempengaruhi daya hidup embrio. Pakan yang terlalu tinggi selama akhir kebuntingan dapat mengakibatkan distokia, akibatnya induk dan anak menjadi lemah dan mati oleh lamanya proses kelahiran. Kekurangan pakan juga berakibatkan menurunkan bobot lahir lahir anak yang lahir, sehingga ternak menjadi lemah (Feradis, 2010).

(19)

7 kambing meskipun tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap PBHH tetapi masih dapat meningkatkan PBHH kambing betina.

Potensi Pakan

Leguminosa Indigofera sp. cukup potensial dimanfaatkan sebagai pakan kambing karena menujukkan pertumbuhan yang baik dengan produksi yang tinggi (51 ton segar/ha/panen) serta nilai nutrisi yang tinggi (protein kasar 24,17% dan energi bruto 4,038 Kkal/kg). Palatabilitas Indigofera sp. tidak berbeda nyata dengan

Leucaena leucocephala (konsumsi bahan kering masing-masing sebesar 187,38±29,69 dan 193,85±21,83 g/ekor/hari) (Sirait, et al., 2012). Program pengembangan pakan alternatif berbasis limbah pertanian dan industri agro yang telah dilaksanakan menunjukkan potensi beberapa tanaman hortikultura sebagai sumber bahan baku pakan. Pakan alternatif yang digunakan adalah limbah hasil pengolahan buah markisa dan buah nnenas, keduanya digunakan sebagai penyusun konsentrat (sumber energi atau protein) maupun sebagai pakan dasar. Potensi ini menyebabkan ketergantungan yang minimal akan hijauan pakan yang pada dasarnya sangat terbatas pada agroekosistem hortikultura, sehingga produksi kambing sepenuhnya didukung oleh limbah hortikultura.(Simon et al., 2003). Rumput S. secundatum atau B. Humidicola yang memiliki toleransi yang baik terhadap naungan, secara kualitatif juga memiliki potensi yang baik sebagai hijauan pakan untukternak kambing. Walaupun kandungan protein termasuk sedang, namun berada diatas ambang batas yang dapat menyebabkan rendahnya konsumsi pada ternak, hal ini terlihat pada taraf konsumsi ternak pada kisaran standar. Koefisien cerna beberapa unsur nutrisi yang penting bagi ternak berada pada kisaran sedang sampai tinggi, sehingga sebagai hijauan pakan dapat menyediakan nutrisi bagi kebutuhan hidup pokok maupun produksi. Kedua jenis rumput dapat direkomendasikan sebagai alternatif tanaman pakan ternak pada sistem integrasi tanaman-ternak, khususnya tanaman perkebunan dengan ternak kambing. (Simon et al., 2006).

(20)

8 pertambahan bobot badan yang baik (60,0 g/h) dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Lumpur minyak sawit (decanter) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal pada taraf 1,0% bobot badan dan menghasilkan pertambahan bobot badan 50-60 g/h. Daun kelapa sawit dapat digunakan sebagai pakan dasar pengganti rumput, walaupun palatabilitasnya. rendah, sehingga membutuhkan waktu adaptasi panjang (>1 bulan) sebelum kambing mampu mengkonsumsi dalam jumlah cukup. Untuk meningkatkan konsumsi daun kelapa sawit pemberiannya dapat digunakan sebagai sumber serat dalam pakan komplit. Penggunaan daun kakao sebagai suplemen tunggal (20%) dengan pakan dasar gamal (80%) menghasilkan pertuymbuhan yang sangat baik pada kambing (78 g/h). Penggunaan tepung limbah kopi disarankan tidak melebihi 20% total ransum. Penggunaan 40% dalam ransum menurunkan konsumsi sebesar 22% dan menekan pertumbuhan, sedang penggunaan 60% dalam ransum bahkan menggangu kesehatan kambing, walaupun kecernaan bahan organik ampas kopi cukup tinggi. Pucuk tebu (Saccharum officinarum) dapat digunakan sebagai suplemen tunggal, dan konsumsi dapat ditingkatkan bila pucuk tebu dicacah menjadi potongan ukuran kecil 1-3 cm dibandingkan dengan potongan lebih panjang, misalnya 20 cm. Ampas teh dapat digunakan baik sebagai pakan dasr pengganti rumput (20%) maupun sebagai suplemen, terutama sebagai sumber protein pada kambing (Simon dan Ginting, 2005).

Faktor Ekonomi

Beternak kambing PE lebih menguntungkan bila dibandingkan dengan memelihara kambing lokal atau domba. Beberapa nilai ekonomis dari berternak kambing PE antara lain: (a) Penghasil susu ,di Indonesia susu kambing dikonsumsi sebagai obat alternatif, bukan sebagai pelengkap gizi. Umumnya, orang mengkonsumsi susu ini untuk membantu penyembuhan penyakit asma, tuberkolosis

(TBC), eksim, membantu penyehatan kulit, mencegah penuaan dini dan mencegah

(21)

9 digunakan sebagai sumber pendapatan alternatif di pedesaan yang sangat menjanjikan bila ditekuni secara serius, biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan kandang dan biaya perawatan relatif sama bila dibandingkan dengan biaya memelihara kambing lokal (Dinas Kesehatan Hewan, 2010).

Manfaat utama berternak kambing dan domba adalah bisa dimiliki oleh petani miskin dan petani penggarap dimana pemilihan ternak tersebut sering dijadikan sebagai sumber mata pencaharian utama. Ternak ruminansia kecil merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi mereka yang tidak mempunyai lahan pertanian bagi petani tersebut (Mastika, 1993). Menurut Sutama (2008), diilihat dari prospek ekonomi, permintaan akan susu di Indonesia semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Dengan demikian, produksi susu kambing dapat menjadi bagian dari usaha peningkatan produksi susu dalam negeri. Ukuran tubuh yang kecil, berarti untuk mengembangkan usaha peternakan kambing diperlukan investasi awal yang relatif lebih rendah dan kerugian karena kematian atau kehilangan juga lebih kecil. Hal ini sangat sesuai dan menarik bagi petani miskin di pedesaan.

Permintaan Terhadap Kambing dan Susu

(22)

10 konsentrat agar diperoleh ransum yang murah dan koefisien cerna yang tinggi digunakan perbandingan pakan hijauan 60% dan konsentrat 40%. Atabany (2001) mengungkapkan bahwa persentase pakan untuk kambing laktasi di Peternakan Barokah adalah 60,9% konsentrat dan 39,1% rumput. anak kambing yang baru lahir perlu diberikan kolostrum. Anak kambing minum susu sampai 35 hari sebanyak 1,2 liter/hari. Umur 35 – 70 hari, anak kambing yang menyusu pada induknya minum 1,6 liter/hari dan yang dibesarkan dengan susu pengganti minum sebanyak 2 liter/hari. Anak kambing mulai mencicipi makanan padat ketika berumur sekitar 2–3 minggu.

Tingkat permintaan daging kambing tidak terlalu fluktuatif sepanjang tahun, namun permintaan akan meningkat dengan cepat pada saat Hari raya Idul Adha. Pada hari raya tersebut, biasanya permintaan daging akan meningkat dan harga akan meningkat pula. Pada Hari raya Idul Adha, dijual kambing hidup yang sehat untuk digunakan pada kegiatan keagamaan. Laju peningkatan populasi yang tidak seimbang dengan laju permintaan kambing tersbut akan menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan produksi tersebut. Jika diperkirakan seekor kambing dapat menghasilkan daging seberat 10 kg, laju permintaan daging kambing 6% per tahun dan laju peningkatan populasi kambing sebesar 3% per tahun (Dhican, 2006). Kebutuhan daging termasuk daging kambing yang semakin meningkat belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri sehingga jumlah impor komoditi tersebut cenderung meningkat. Hal ini menjadi peluang bagi produsen di dalam negeri untuk meningkatkan produksinya sehingga kebutuhan di dalam negeri terpenuhi dan kelebihan produksi dapat diekspor (Makka, 2004).

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (2006), permintaan susu sapi maupun kambing di Jawa Barat terus meningkat dari 176.650 di tahun 2005 menjadi 208.698 ton pada tahun 2006. Adapun produksi riil susu secara nasional tahun 2006 adalah 0,577 juta ton sehingga masih perlu 2,493 juta ton lagi untuk memenuhi kebutuhan susu nasional. Konsumsi susu dari tahun ke tahun terus meningkat.

Harga Susu dan Kambing

(23)

11 39.000 / liter. Sedangkan susu kambing kolostrum atau susu yang baru pertama kali keluar dijual lebih mahal. Yaitu Rp 300.000 / liter.

Harga kambing kontes jauh lebih mahal dibanding dengan harga kambing perah. Kambingkontes menjapai harga Rp 10 juta, sedangkan kambing perah Rp 1,5– 2,5 juta. Kambing perah ini tidak butuh perawatan khusus. Setiap ekor kambing butuh biaya hidup Rp 5.000 / hari, seudah termasuk biaya tenaga perawat (Asmoro, 2012). Berikut adalah hasil penjualan kambing di Sukabumi dan Lampung pada tahun 2001.

Tabel 1. Penjualan Kambing Selama Setahun Terakhir yang Dilakukan Peternak Di Sukabumi dan Lampung

(24)

12 suatu usaha integrasi tanaman pangan-kambing, kesenangan petani akan kambing dikaitkan dengan kemudahan dan harga yang relatif terjangkau petani disamping ketersediaanya, maka usaha ternak kambing cukup menarik. Masyarakat Indonesia mengenal produk kambing berupa daging, kulit dan susu kambing. Ternak dapat dijual saat membutuhkan karenanya penjualan terjadi setiap saat dengan harga cukup tinggi. Karena kondisi ini maka permintaan akan daging kambing bukan masalah, akan tetapi untuk pemasaran susu kambing masih memerlukan proses yang cukup lama (Djajanegara dan Misniwaty, 2003).

Nilai positif ternak kambing bagi kepentingan petani di pedesaan, antara lain: (1) Ternak kambing dapat dipotong sewaktu-waktu untuk keperluan sendiri, pesta adat, atau menjamu tamu yang datang. (2) Kambing merupakan sumber penghasilan dan tabungan. (3) Kambing mudah dirawat, karena hampir semua jenis tanaman dapat digunakan sebagai sumber pakan. (4) Kambing dapat berkembang biak dengan cepat. (5) Kotoran kambing yang terkumpul dapat digunakan untuk pupuk sehingga dapat menyuburkan tanaman dan memperbaiki mutu tanah pertanian. (6) Modal yang diperlukan untuk memulai beternak kambing tidak besar (Sitepu, 2008).

(25)

13 menyebabkan permintaan susu kambing terus meningkat. oleh karena itu kedua hal tersebut dapat menjadi peluang bagi peternak kambing PE (Prihatini, 2008).

Karakteristik Produksi

Bobot Badan Ternak Kambing

Rataan berat lahir anak kambing PE yang diamati 3,84 kg (kisaran 2,O-6,0 kg). Berat lahir anak jantan 3,97 kg dan anak betina 3,73 kg. Berat lahir anak tunggal 4,26 kg, kembar dua 4,08 kg dan kembar tiga 3,17 kg dan kembar empat 2,63 kg (Atabany et al., 2004). Berdasarkan hasil penelitian Mahmilia et al. (2008), bobot lahir dipengaruhi oleh jenis kelamin dan tipe kelahiran. Bobot lahir jantan (2,21±0,51 kg) lebih tinggi dibandingkan dengan betina (2,01±0,52 kg) dan tipe kelahiran tunggal (2,30±0,48 kg) lebih tinggi dibandingkan kelahiran kembar (1,84±0,46 kg).

Tinggi rendahnya bobot lahir (birth weight) anak kambing sangat dipengaruhi oleh kondisi induknya saat masa kebuntingan. Faktor utama yang paling menentukan adalah pakan yang berkaitan dengan jumlah dan mutu pakan yang dikonsumsi kambing. Kebutuhan pakan bagi kambing yang sedang bunting melebihi porsi pada kambing yang tidak bunting karena kebutuhan untuk hidup pokok calon induk untuk pertumbuhan calon anak yang dikandungnya. Kekurangan pakan (unsur nutrisi) umumnya mengakibatkan lemahnya fisik calon induk, produksi air susu rendah menjelang kelahiran, kondisi fisik anak lemah dan bobot lahir rendah (Munier, 2008). Rataan bobot lahir anak kambing PE jantan dan betina setelah diberikan perlakuan pakan kulit buah kakao (KBK) dapat dilihat pada Tabel 2 :

Tabel 2. Rataan Bobot Lahir Anak Kambing PE Jantan dan Betina

Perlakuan Bobot lahir jantan (kg) Bobot lahir betina (kg) Rataan

P0 2,70a 2,40a 2,55

P1 3,05b 2,60b 2,83

P2 3,15b 2,90c 3,03

Keterangan: Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan nyata (P<0,01). P0:pemberian pakan tanpa KBK (kebisaan peternak), P1: 1000 gr/ekor/hari, dan P2: 1500 gr/ekor/hari.

Sumber: Munier, 2008

(26)

14 PE sangat prospektif untuk usaha pembibitan untuk memproduksi anak. Harga anak kambing PE bisa mencapai 3–5 kali harga anak kambing lokal. Kambing PE dapat beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun. Anak kambing PE bisa kembar 2 atau 3 (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Menurut Devendra dan Burn (1994), bobot badan kambing PE jantan 68-91 kg dan betina 36-63 kg. Bobot badan hidup kambing PE jantan sekitar 40 kg dan betina 35 kg (Mulyono, 1999).

Produksi Susu dan Daging

Produksi susu kambing yang dikandangkan kurang lebih dua kali lipat hasil susu kambing yang digembalakan, tetapi tidak beda nyata dalam persentase lemak atau kasein meskipun keduanya lebih tinggi sedikit pada kambing yang digembalakan. Tiga perempat protein susu kambing adalah kasein, selebihnya adalah gamma globulin 0,19%, beta laktoglobulin 0,48%, alfa laktalbumin 0,25%, dan serum albumin 0,08% (Devendra dan Burns, 1994). Komposisi susu kambing dari beberapa penelitian dapat disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi Susu Kambing dari Beberapa Penelitian

Sumber BK Lemak PK Laktosa Abu

(%) (%) (%) (%) (%)

Edelsten (1988) dan

Tilman et al. (1991) 13,50 – 14,80 4,00 - 5,60 3,60 – 3,80 - -

Katipana (1986) 14,8 5,05 4,33 2,57 -

Berg (1990) - 4,5 - 4,4 -

Devendra (1990) 12,1 3,9 3,4 3,8 -

Ernawati (1989) 13,99 4,92 4,36 4,73 -

Subhagiana (1998) 13,70 – 14,30 4,22 – 4,44 3,55 – 4,03 4,63 – 5,46 0,62 – 0,80

Sumber: Atabany, 2001

(27)

15 dilakukan survey hanya 3,45 ekor (0,49 Satuan Ternak) dengan kisaran antara satu sampai sembilan ekor setiap peternak. Dengan pemilikan jumlah kambing laktasi harus diimbangi pula pemberian pakan konsentrat yang lebih baik kuantitas maupun kualitasnya (Astuti et al., 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Novita et al. (2006), produksi susu selama 3 bulan laktasi tidak dipengaruhi jenis ransum. Rataan produksi susu mencapai 754

g/hari dengan kisaran 585-970 g/ekor/hari. Rataan yang tertinggi terdapat pada

perlakuan KRG (konsentrat + jerami pada fermentasi giling) dan yang terendah pada

perlakuan KJP ( konsentrat + jerami padi fermentasi potong), dan puncak produksi

susu pada penelitian ini dicapai rata-rata pada minggu ke lima laktasi.

Ada tiga jenis daging kambing yang dihasilkan dan dikonsumsi di daerah tropis, yaitu: (a) daging anak kambing (umur 8-12 minggu), (b) daging kambing muda (umur 1-2 tahun), dan (c) daging kambing tua (2-6 tahun). Anak kambing biasanya disembelih pada umur kurang lebih 8-12 minggu, ketika berat hidupnya sekitar 6-8 kg. Kambing muda disembelih pada berat hidupnya berkisar 12,9-24,7 kg pada jantan dan antara 11,2-19,7 kg pada betina. Kambing yang disembelih pada umur 2-6 tahun dapat berupa kambing tipe pedaging atau perah (Devendra dan Burn,1994).

Karakteristik Reproduksi Kambing PE

Produktivitas Kambing PE

Libido dan kemampuan kawin ternak jantan berhubungan erat dengan efisiensi pejantan dalam melakukan perkawinan. Libido ditandai dengan beberapa kali ternak jantan menaiki betina birahi, sedangkan kemampuan kawin ditandai dengan jumlah ejakulasi. Semakin kecil perbandingan antar jumlah menaiki dengan jumlah ejakulasi, maka semakin efisien ternak jantan dalam melakukan perkawinan. Sistem perkawinan secara alami yang terbaik adalah menggunakan kambing PE jantan yang berumur 54 bulan yang ditempatkan dalam kelompok betina seluruhnya (Hatono et al., 1997).

(28)

16 kawin kambing ketika berumur 403,32 hari (13,44 bulan) dan pada peternakan kambing Saanen 446,87 hari (14,89 bulan). Kambing Peranakan Etawah (PE) betina mencapai pubertas (birahi pertama) pada umur 10-12 bulan dan pada berat badan sekitar 13,5-22,5 kg (rataan 18,5 kg) atau sekitar 55-60% dari berat badan dewasa. Umumnya birahi pertama diikuti oleh ovulasi (Sutama et al., 1995), sehingga perkawinan pertama dapat menghasilkan kebuntingan. Walaupun demikian, penundaan umur perkawinan pertama perlu dilakukan untuk memberi kesempatan ternak untuk mencapai kondisi dan berat badan yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan dan kinerja produksi dan reproduksi selanjutnya (Sutama dan Budiarsana, 1997). Data pada Tabel 4 menunjukkan rataan bobot kambing PE masa pubertas berdasarkan jenis kelamin dan umur.

Tabel 4. Umur dan Berat Badan Pubertas Kambing Peranakan Etawah

Jenis Kelamin Umur (bulan) Berat Badan (kg)

Jantan 6-8 12,9-18,7

Betina 10-12 13,5-22,5

Sumber: Sutama dan Budiarsana, 1997

(29)

17 hendaknya dilakukan saat ternak tersebut telah mencapai dewasa tubuh dan dewasa kelamin (Foote, 1969 dalam Sutama et al., 2006).

Siklus birahi pada kambing PE bervariasi 18-22 hari (rataan 19 hari), dengan lama birahi adalah 25-40 jam. Namun sering juga dijumpai ternak mempunyai siklus yang agak panjang. Tingkat konsepsi pada birahi pertama adalah rendah (45-60%), sebagian disebabkan adanya ternak (5-10%) yang birahi tanpa diikuti dengan ovulasi (Sutama et al., 1994). Masa birahi terjadi hanya beberapa saat, yaitu sewaktu hormon esterogen mencapai puncaknya. Masa birahi kambing terjadi 24-48 jam, sedangkan masa birahi domba hanya 24-36 jam. Satu siklus esterus pada kambing memerlukan waktu 20-21 hari, sedangkan siklus esterus domba lebih pendek yaitu 16-18 hari (Mulyono, 1999).

Menurut Devendra dan Burns (1994), lama kebuntingan kambing berkisar dari 147 hingga 155 hari. Induk harus dipelihara pada kondisi yang baik selama bunting untuk perkembangan normal anaknya yang dikandungnya (Blakely dan Bade, 1991). Berdasarkan penelitian Sutama dan Budiarsana (1997), bahwa lama kebuntingan 144-156 hari (rataan 149 hari) dan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, tergantung umur dan paritas induk. Lama bunting pada kambing ditemukan agak konstan pada sekitar 146 hari, meskipun kisaran yang dilaporkan antara 143 sampai 153 hari. Berdasakan hasil penelitian Mahmilia et al. (2008), lama bunting berdasarkan jenis kelamin relatif sama (p>0,05). Rataan lama bunting untuk anak jantan adalah 148,32±3,05 dan anak betina 147,53±2,95 hari. Partus kelahiran tunggal terjadi dengan rentang waktu yang lebih panjang (144-158 hari), di mana persentase tertinggi 16,90% terjadi pada lama bunting 150 hari, sedangkan partus pada kelahiran kembar dua terjadi dengan rentang waktu yang lebih singkat (142-151 hari), dan persentase terbanyak 29,62% terjadi pada lama bunting 148 hari.

(30)

18 Tingkat Kelahiran dan Mortalitas

Angka kelahiran anak jantan 52,35% dan anak betina 47,45%. Kelahiran jantan menunjukkan berat lahir, berat sapih, dan berat dewasa yang lebih berat dibandingkan kelahiran betina. Hal ini dapat dimaklumi bahwasanya secara alamiah berat lahir suatu individu akan dipengaruhi oleh tipe kelahirannya dan status kelamin dari indvidu yang bersangkutan atau yang kita kenal dengan istilah sexual dimorphism (Mulyadi, 1992). Salah satu sumber kerugian yang cukup besar terjadi pada kambing PE adalah tingginya kematian anak pra-sapih (36-71%) pada umur 0-4 bulan. Upaya untuk mengurangi tingkat kematian anak sangat diperlukan. Manajemen pemeliharaan sekitar waktu beranak adalah sangat penting mengingat sebagian besar kematian anak terjadi segera setelah lahir. Kambing sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan, perubahan pakan dan pemeliharaan lainnya (Sutama et al ., 1997).

Atabany et al. (2004) melaporkan hasil penelitiannya bahwa angka kelahiran anak selama setahun disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Angka Kelahiran Kambing PE

Uraian Kambing PE

Angka Kelahiran Setahun 1,89

Angka Kelahiran Seinduk 1,77

Persentase Kelahiran (%)

Anak Jantan 51,96

Anak Betina 48,04

Anak Tunggal 14,54

Anak Kembar Dua 57,52

Anak Kembar Tiga 24,35

Anak Kembar Empat 3,59

Sumber: (Atabany et al., 2004)

(31)

19 induk dewasa adalah 13-17%, menunjukkan bahwa angka kematian anak kambing paling tidak dua kali lipat dari kematian kambing dewasa. Kematian anak yang baru lahir selalu merupakan proporsi yang tinggi dari kematian total dan dengan mudah disebabkan oleh kedinginan, kekurangan makanan, dan penyakit serta kesulitan beranak (distokia). Kematian sebelum lahir (kematian janin dan keguguran) memberi proporsi kematian anak total yang beragam dan angka kematian setelah lahir biasanya mulai menurun dari kurang lebih seminggu setelah lahir. Embrio dini sangat rentan terhadap cekaman panas (Devendra dan Burns, 1994).

Penyakit dan Penanganan

Penyakit kudis disebabkan oleh Sarcoptes scabei, Psoroptes communis var ovis, Choriopteso ovis. Penyebabnya dipindahkan lewat kontak dengan domba yang terinfeksi. Kuman penyakit kudis dapat menular ke manusia bila ada kontak dengan ternaknya. Pembentukan kudis pada minggu ke-12 setelah ternak terinfeksi. Pencegahan penyakit kudis dilakukan dengan sanitasi kandang dan lingkungannya, memandikan ternak secara rutin (semiggu sekali) dengan air bersih dan sabun karbol. Penyakit kudis dapat diobati dengan beberapa cara diantaranya: (1) diolesi salep Asuntol 2% dalam vaselin pada bagian yang terserang. (2) dioelesi Benzoas bensilikus 10% pada luka kudis. (3) merendam domba (deeping) dengan larutan Coumaphos 0,5 - 1%. (4) bulu dicukur, kulit yang terserang dikerok lalu diolesi dengan campuran creolin dan spritus dengan perbandingan 1:10.

Penyakit cacat mulut cukup berbahaya bagi anak kambing sebelum sapih. Pada serangan yang serius, anak domba tidak dapat menyusu induknya karena adanya luka pada bibir dan lidah. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian pada anak domba. Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Actynomices necrophorus. Gejala penyakit ini, kambing dan domba mendadak demam tinggi, sulit bernapas, lidah terjulur, dan mulut banyak air liur yang berbau asam. Pengobatannya diolesi dengan yodium atau permanganate 10% diberi obat-obatan sulfa, misalnya: Sulfapyradine, Sulfamerozine, Trypiron, atau Pinicilin (Mulyono, 1999).

Dinamika Populasi

(32)

20 mempunyai lebih dari satu populasi setempat yang masing-masing telah menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan setempatnya. Perbedaan yang kecil-kecil dalam menyesuikan setempat antara populasi merupakan dasar untuk seleksi alam. Kelompok populasi memiliki ciri khas tertentu, ciri kelompok populasi mencakup berbagai corak seperti angka kelahiran atau laju berbiak, angka kematian atau laju kematian, susunan kelamin atau sistem reproduksi, struktur umur, sebaran, dan struktur sosial (Ewusie, 1990).

Meningkatnya permintaan untuk produksi ternak di negara berkembang, sebuah program yang bertujuan meningkatkan produksi daging telah dimulai. Namun, pembentukan program-program pembangunan untuk mencapai efisien target spesifik membutuhkan pengetahuan tentang dinamika populasi dari target populasi. Aspek yang penting dari dinamika populasi adalah: seks rasio jenis kelamin, sebaran umur, nilai dari input dan output dari populasi dan faktor-faktor yang mengubah angka ini (Sinclair dan Grimsdell, 1982). Potensi perubahan dalam ukuran populasi umumnya diukur dengan tingkat reproduksi bersih dan panjang generasi betina (Turner dan Young, 1969; Winantea et al., 1989).

Studi perubahan populasi domba dan kambing di selatan-barat Kenya oleh Wilson dan Maki (1989) menunjukkan bahwa setelah jangka waktu 8 tahun dari survey awal, ada perubahan signifikan dalam jumlah populasi dan struktur dalam hal gender, jenis fisik, tubuh dan berat badan rata-rata, dan usia. Aspek sosial ekonomi, perubahan tersebut, penggunaan bibit eksotis dan sikap terhadap kembar dianggap penting dengan membuat perubahan dalam populasi. Perubahan populasi dapat diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

rm =

Keterangan:

rm : tingkat penambahan ternak per tahun

R0 : jumlah induk pengganti yang dihasilkan induk selama hidupnya. Lf : rata-rata umur betina produktif dalam kelompok ternak

(33)

21 Nt =

Keterangan:

Nt : jumlah induk yang siap berproduksi pada waktu “t” N0 : jumlah betina pada waktu awal

rm : tingkat penambahan ternak per tahun t : waktu

Potensi Ternak Kambing di Jawa Barat

Pengembangan usahatani ternak ruminansia kecil yaitu ternak domba dan kambing di provinsi Jawa Barat cukup strategis dan perlu lebih ditingkatkan karena usahatani ternak tersebut cukup menguntungkan dan efisien, sumber hijauan pakan ternak masih dapat tersedia di sekitar lingkungan peternak (di kebun/tegalan, ladang dan lahan pengembalaan), serta potensi pemasaran ternak masih cukup terbuka baik bersumber pada pasar lokal maupun ekspor (Agustian dan Nurmanaf, 2001).

(34)

22 MATERI DAN METODE

Lokasi Dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka dan Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat Penelitian dilakukan selama satu bulan yaitu dari bulan Juli-Agustus 2011.

Materi

Sampel penelitian ini melibatkan peternak yang memelihara kambing di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka dan Desa Paseh Kaler, Kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Responden terdiri dari anggota dua kelompok tani ternak yaitu Kelompok Peternak Simpay Tampomas dan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, dengan jumlah responden yang diwawancarai sebanyak 36 orang, 17 orang dari Kelompok Peternak Simpay Tampomas dan 19 orang dari Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Responden yang dipilih secara porposif yaitu peternak yang memiliki kambing lebih dari 3 ekor. Lokasi penelitian ditentukan secara porposif yaitu di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh dengan alasan bahwa kedua tempat tersebut sudah terbentuk kelompok ternak dan telah memiliki recording tentang perkembangan ternak kambing perah di daerah tersebut.

Metode

(35)

23 tidak bunting, jumlah induk kering bunting dan tidak bunting, jumlah kambing yang dijual, umur pertama birahi, umur pertama kawin, umur pertama beranak, lama bunting, jumlah anak dalam satu tahun, kidding interval, jumlah anak perkelahiran, bobot anak lahir, umur sapih, dan seks rasio. Penentuan umur kambing berasal dari keterangan peternak. Disamping itu, observasi dilakukan ke lokasi peternak dan data lain yang meliputi manajemen pemeliharaan ternak juga dikumpulkan sebagai data pendukung. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan ternak kambing diidentifikasi dan disajikan secara deskriptif.

Rancangan dan Analisis Data

Hasil penelitian ini dianalisis secara deskriptif dan data disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Berdasarkan data reproduksi ternak dilakukan estimasi terhadap perubahan populasi ternak yang terjadi selama enam tahun kedepan dengan menggunakan rumus yang diestimasi oleh Wilson dan Maki (1989), perubahan populasi dapat diestimasi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

rm = Keterangan:

rm : tingkat penambahan ternak per tahun

R0 : jumlah induk pengganti yang dihasilkan induk selama hidupnya. Lf : rata-rata umur betina produktif dalam kelompok ternak.

Potensi jumlah ternak yang akan berkembang biak (N) dalam populasi setelah waktu dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Nt = N0ermt Keterangan :

Nt : jumlah induk yang siap berproduksi pada waktu “t” N0 : jumlah betina pada waktu awal

rm : tingkat penambahan ternak per tahun t : waktu

(36)

25 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Jawa Barat terletak pada garis lintang antara 50 50’- 70 50’ Lintang Selatan dan antara 1040 48’- 108 48’ Bujur Timur. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Banten, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah, dan sebelah selatan dibatasi oleh Samudra Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki cakupan luas wilayah 44.176 km2 atau 44.176.710 Ha, 32,79% dari seluruh luas wilayah Indonesia (±2.027.087 km). Provinsi Jawa Barat terdiri atas 23 kota/kabupaten, Kabupaten Sumedang, Tasikmalaya dan Bogor merupakan tiga kabupaten yang telah dicanangkan untuk dijadikan sentra pengembangan kambing PE di Jawa Barat (Heriyadi, 2004).

Berdasarkan kondisi geografis Kabupaten Sumedang merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat dengan luas wilayah 152.220 Ha yang terdiri dari 26 kecamatan dengan 272 desa dan tujuh kelurahan. Kabupaten Sumedang memiliki batas wilayah administratif sebagai berikut:(1) sebelah Utara: Kabupaten Indramayu, (2) sebelah Selatan: Kabupaten Garut, (3) sebelah Barat: Kabupaten Bandung dan Kabupaten Subang, dan (4) sebelah Timur : Kabupaten Majalengka.

Berdasarkan kondisi topografis, Kabupaten Sumedang merupakan daerah berbukit dan gunung dengan ketinggian tempat antara 25–1.667 m di atas permukaan laut. Sebagian besar wilayah Sumedang adalah pegunungan, kecuali disebagian kecil wilayah utara berupa dataran rendah. Luas lahan menurut jenis penggunaan pada tahun 2010, luas lahan sawah sebesar 33.276 Ha dan luas darat sebesar 118.944 Ha. Keadaan topografis Kabupaten Sumedang beriklim tropis dengan temperatur rata-rata antara 27-280C dengan kelembaban rata-rata 49,56% (BPS Kabupaten Sumedang, 2010). Potensi suhu tersebut dapat mendukung perkembangbiakkan ternak kambing.

(37)

25 Kecamatan Cimalaka sudah terbentuk kelompok ternak terlebih dahulu dibandingkan kelompok ternak di Kecamatan Paseh.

Kecamatan Cimalaka

Kecamatan Cimalaka merupakan daerah sentra ternak kambing Peranakan Etawah (PE) di Kabupaten Sumedang. Kecamatan Cimalaka sebelumnya merupakan daerah penambangan pasir. Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka adalah daerah penelitian dan sekaligus lokasi bekas galian pasir. Desa Cibereum Wetan terletak pada 107060’45’’BT di sebelah utara berbatasan dengan Gunung Tampomas, di sebelah selatan dengan Desa Ciuyah Kecamatan Ciasarua, di sebelah barat dengan Desa Cibereum Kulon, dan di sebelah timur Desa Legok Kecamatan Paseh. Desa Cibereum Wetan berada di kaki Gunung Tampomas dengan suhu rata-rata 23-310C. desa Cibereum Wetan memiliki luas lahan sebesar 394 Ha.

Kegiatan penambangan pasir ini dilakukan selama bertahun-tahun dan tanpa aturan-aturan yang jelas yang berakibat buruk pada lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat pada lapisan tanah yang semakin hari semakin menipis sehingga daerah tersebut sangat rawan longsor dan menjadi lahan yang tidak produktif. Upaya untuk mengembalikan lahan rusak sangat sulit karena lahan tersebut dipenuhi dengan batuan tanpa lapisan top soil. Tahun 1983, seorang petani teladan mulai memanfaatkan lahan kritis dengan membeli lahan bekas galian pasir tipe C seluas 1.400 m2. Pelestarian kembali sebagian lokasi ini dilakukan pada tahun 1985 dengan cara menanam pohon yang mampu hidup di lahan tersebut. Gambar 2 menunjukkan kondisi lahan galian pasir di Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka yang belum direklamasi saat penelitian dilakukan.

(38)

26 Lahan kritis yang ada tidak bisa langsung dimanfaatkan karena butuh waktu untuk mengembalikan kesuburan tanah yang sudah rusak. Tanah tersebut harus diolah sebelum dilakukan penanaman pohon. Pengolahan tanah dilakukan secara tradisional dengan menggunakan kotoran kambing yang dijadikan sebagai pupuk. Setelah lahan cukup subur maka dilakukan upaya untuk menanam tanaman yang mampu hidup pada lahan tersebut. Tanaman yang mampu hidup di lahan tersebut adalah pohon leguminosa. Tanaman gamal (Gliricidia sepium) merupakan salah satu tanaman leguminosa yang mampu hidup. Tujuan dari penanaman gamal adalah untuk mereklamasi lahan bekas galian pasir. Namun pertumbuhan normal gamal pada lahan tersebut kurang lebih dua tahun setelah penanaman. Caliandra sp. merupakan tanaman yang juga mampu tumbuh di lahan bekas galian pasir. Keberadaan Caliandra sp. cukup banyak di kaki gunung Tampomas. Penerapan konsep integrasi tanaman ternak, tanaman gamal dan kaliandra digunakan sebagai sumber pakan hijauan ternak. Gambar 3 terlihat lahan bekas galian pasir yang sudah ditanami tanaman gamal.

Gambar 3. Lahan yang Sudah Direklamasi dengan Pohon Gamal

(39)

27 penghasil daging. Ternak kambing dipilih karena selain dapat membantu mereklamasi lahan, kambing juga memiliki nilai ekonomis sehingga dijadikan usaha keluarga. Beternak kambing PE bertujuan sebagai penghasil bibit bukan sebagai penghasil susu karena produksi susu saat ini masih sedikit. Gambar 4 menunjukkan jenis kambing yang dipelihara yaitu kambing Peranakan Etawah (PE).

Gambar 4. Kambing PE di Kecamatan Cimalaka

(40)

28 Gambar 5. Lahan Galian Pasir yang Ditanami Buah Naga di Kecamatan Cimalaka

Keberhasilan dalam beternak kambing PE dan bertani buah naga berdampak positif terhadap penduduk sehingga warga Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka tertarik untuk beternak kambing. Dalam mengatur sistem pengelolaan ternak kambing yang dipelihara, dibentuklah kelompok ternak yang diberi nama Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas. Kelompok ini dibentuk pada tahun 1997 dengan ketua kelompok yaitu petani teladan yang bernama Uha Juhari. “Kelompok Peternak Kambing Simpay Tampomas” dibawah bimbingan Dinas Peternakan setempat kemudian sering mengikuti kontes ternak sampai ke tingkat nasional dan dapat meraih juara satu. Prestasi tersebut menginspirasi masyarakat sekitar untuk beternak sehingga pada tahun 2008 dibentuk kelompok tani ternak yang kedua dengan lokasi yang serupa yaitu bekas galian pasir dan di kabupaten yang sama yaitu Kecamatan Paseh.

Kecamatan Paseh

(41)

29 Daerah ini juga merupakan salah satu daerah penambangan pasir. Lahan bekas tambang pasir di Kecamatan Paseh dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Lahan Bekas Tambang Pasir yang Belum direklamasi di Kecamatan Paseh Reklamasi lahan di Kecamatan Paseh juga diawali dengan penanaman pohon gamal, ada juga tanaman semak belukar yang tumbuh. Namun, di Kecamatan Paseh belum ada perkebunan buah naga. Kondisi lokasi tidak jauh berbeda dengan Desa Cibereum Wetan, Kecamatan Cimalaka, namun karena baru sebagian kecil lahan yang direklamasi maka lokasi ini lebih gersang dan lembab. Pada Gambar 7 terlihat lahan sudah ditanami pohon gamal.

(42)

30 Salah satu upaya yang juga dilakukan oleh warga Kecamatan Paseh untuk memanfaatkan lahan kritis adalah mengembangbiakkan ternak. Tahun 2008 warga di Kecamatan Paseh membentuk sebuah kelompok ternak yang diberi nama Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Ternak yang dikembangbiakkan adalah kambing Peranakan Etawah (PE). Perbedaan awal dari terbentuknya kelompok berdampak terhadap status kelompok tani ternak dimasing-masing kecamatan, yaitu Kelompok Peternak Simpay Tampomas di Kecamatan Cimalaka bersertifikat kelas madya sedangkan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera yang berada di Kecamatan Paseh bersertifikat kelas lanjut.

Menurut Deptan (2012), penilaian terhadap kelompoktani didasarkan atas lima kemampuan kelompoktani yaitu (a) perencanaan, (b) pengorganisasian, (c) pelaksanaan, (d) pengendalian dan pelaporan, serta (e) pengembangan kepemimpinan kelompoktani. Penilaian dilakukan dengan menggunakan instrument yang merupakan pengembangan dari aspek dan indikator Pakem Poktan sebagai berikut: kemampuan merencanakan kegiatan dengan nilai maksimal indikator 200, kemampuan mengorganisasikan kegiatan dengan nilai maksimal 100, kemampuan melaksanakan kegiatan dengan nilai maksimal 400, kemampuan melakukan pengendalian dan pelaporan dengan nilai maksimal150, kemampuan mengembangkan kepemimpinan kelompok 150, sedangkan klasifikasi kemampuan kelompoktani didasarkan hasil penilaian yaitu kelas pemula (0-250) sertifikatnya ditandatangani oleh Kepala Desa, kelas lanjut (251-500) sertifikatnya ditandatangani oleh Camat, kelas madya (500-700) sertifikatnya ditandatangani oleh Bupati/Walikota, dan kelas utama (750-1000) sertifikatnya ditandatangani oleh Bupati/Walikota dengan format yang sedikit berbeda. Berdasarkan hasil penelitian, kelompoktani di Simpay Tampomas di Kecamatan Cimalaka lebih baik dibandingkan kelompoktani di Tampomas Sejahtera di Kecamatan Paseh.

Populasi dan Kepemilikan Ternak

Karakteristik Petani

(43)

31 Tabel 6. Karakteristik Petani di Lahan Bekas Tambang Pasir

Parameter Kec. Cimalaka Kec. Paseh (orang) (%) (orang) (%)

Pendidikan formal:

a) SR (SD) 9 56 18 95

b) SLTP 3 19

c) SMA 4 25 1 5

Pendidikan non formal:

a) pelatihan 4 25 19 100

b) penyuluhan 9 56

c) kedua-duanya 3 19

Pendapatan beternak/tahun:

a) 1jt - 15 jt (<10 ekor) 10 67 4 100

b) 16 - 30 jt (11 - 20 ekor) 2 13

c) >31 jt (30 > ekor) 3 20

Pendapatan usaha lain/tahun:

a) 1 - 5 jt 5 56 6 35

b) 5 - 10 jt 3 33 1 6

c) 11 - 15 jt 1 11 10 59

(44)

32 Tampomas, Kecamatan Cimalaka sudah lama terbentuk yaitu ±15 tahun sehingga lebih berpengalaman dalam beternak dibandingkan Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera, Kecamatan Paseh yang baru terbentuk ±4 tahun. Selain itu juga, petani di Kecamatan Cimalaka sudah mendapatkan pendidikan non formal yang lebih banyak, sehingga pengetahuan petani di Kecamatan Cimalaka lebih luas wawasannya dibandingkan petani di Kecamatan Paseh.

Pendapatan petani dari usaha lain/tahun pada kedua kecamatan bervariasi. Namun petani di Kecamatan Cimalaka pendapatan usaha lain lebih rendah dibandingkan petani di Kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan mata pencaharian utama petani di Kecamatan Cimalaka adalah petani, sedangkan petani di Kecamatan Paseh memiliki mata pencaharian utama beragam yakni sebagai petani, pengrajin

furniture dan kuli galian pasir, sedangkan usaha peternakan hanya dijadikan sebagai usaha sambilan dan hobi karena mereka belum terlalu paham bahwa usaha peternakan berpotensi untuk dikembangkan. Uraian pendapatan petani di kedua kecamatan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pendapatan Petani di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh Klasifikasi Mata Pencaharian Kecamatan Cimalaka Kecamatan Paseh

Pendapatan Rata-Rata/Tahun

Tabel 7 menunjukkan bahwa pendapatan tertinggi baik pada penghasilkan utama maupun sambilan petani di Kecamatan Cimalaka adalah beternak. Hal ini menunjukkan bahwa petani di Kecamatan Cimalaka sudah menjadikan beternak sebagai usaha utama bukan sambilan lagi, sedangkan petani di Kecamatan Paseh masih menjadikan usaha beternak sebagai usaha sambilan karena pendapatan beternaknya lebih rendah dibandingkan usaha utamanya yaitu bertani, pengrajin

(45)

33 digunakan berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar menggunakan tenaga kerja dari keluarga sendiri dan sebagian kecil tenaga kerja menggunakan dari luar keluarga (tetangga).

Jumlah Ternak

Ternak di Kecamatan Cimalaka didominasi oleh domba dan kambing. Populasi domba sebanyak 5.596 ekor sedangkan populasi kambing sebanyak 3.441 ekor. Populasi ternak di Kecamatan Paseh yang paling banyak adalah domba dengan jumlah populasi sebanyak 3.142 ekor dan sapi potong peringkat kedua dengan jumlah populasi sebanyak 1.382 ekor (UPTD Pusat Pelayanan Peternakan dan Perikanan Kabupaten Sumedang, 2011). Data jumlah kambing di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh berdasarkan umur dan jenis kelamin serta jumlah ternak yang dijual dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Jumlah Ternak Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Cimalaka dan

(46)

34 jumlah penduduk yang ada, hanya 0,05% penduduk di Kecamatan Paseh dan 0,03% penduduk di Kecamatan Cimalaka yang beternak kambing PE.

Bila dipandang dari segi lainnya, yakni dari segi kepemilikkan ternak kambing dapat diketahui bahwa rataan kepemilikkan ternak kambing di Kecamatan Cimalaka sebanyak 40 ekor/peternak yang meliputi: 23 ekor ternak dewasa, 5 ekor ternak muda 12 ekor ternak anak, sedangkan kepemilikan ternak kambing di Kecamatan Paseh sebanyak 14 ekor/peternak yang meliputi: 6 ekor ternak dewasa, 4 ekor ternak muda 4 ekor ternak anak. Perbedaan jumlah ternak yang dipelihara cukup jauh berbeda antar kedua kecamatan tersebut. Hal tersebut disebabkan petani yang berada di Kecamatan Cimalaka awalnya dengan sistem maro (bagi hasil) antar peternak dan baru sedikit petani yang beternak serta belum ada bantuan dari pemerintah. Namun setelah terbentuk kelompok, pemerintah setempat memberi bantuan baik berupa kambing, konsentrat maupun pendidikan non formal berupa penyuluhan dan pelatihan. Melihat perkembangan serta potensi yang ada pada “Kelompok Peternak Simpay Tampomas”, pemerintah berinisiatif memberi sejumlah ternak untuk dikembangkan oleh petani di Kelompok Ternak Hutan Tampomas Sejahtera. Pemerintah setempat tidak hanya memberi bantuan kambing tetapi pemerintah juga memfasilitasi petani dengan memberi pendidikan non formal dari Dinas Peternakan berupa penyuluhan yang diadakan setiap dua minggu sekali.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah kambing yang dijual di Kecamatan Cimalaka lebih banyak dibandingkan kambing di Kecamatan Paseh. Hal ini dikarenakan ternak di Kecamatan Paseh belum berproduksi banyak. Tabel 7 juga menunjukkan bahwa kambing di Kecamatan Cimalaka yang dijual lebih banyak ternak betina dibandingkan jantan. Hal ini disebabkan banyak induk yang sudah afkir dan cempe yang lahir untuk dijadikan sebagai bibit.

Karakteristik Reproduksi Kambing PE

(47)

35 Tabel 9. Karakteristik Reproduksi Kambing PE di Lahan Bekas Tambang Pasir

Kabupaten Sumedang

Parameter Kec. Cimalaka Kec. Paseh

Rata-Rata

Umur pertama berahi (bulan) 10,06±1,65 12,89±3,86 Umur pertama kawin (bulan) 10,56±1,55 13,26±3,93

Umur pertama beranak (bulan) 15.44±1,50 19.47±0,61

Lama bunting (bulan) 5,13±0,34 5,53±0,51

Kidding interval (bulan) 7,75±0,58 7,17±1,11

Jumlah anak perkelahiran/litter size (ekor) 2,13±0,5 1,75±0,62

Bobot anak lahir (kg) 3,25 -

Umur disapih (bulan) 3,5±0,73 4,85±1,68

Seks ratio 1:3 1:5

Keterangan: (-) tidak timbang

(48)

36 Sistem perkawinan ternak kambing di kedua kecamatan masih secara alamiah, ternak yang sedang birahi dikeluarkan dari kandang kemudian dikawinkan dengan pejantan unggul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seks rasio pada ternak di Kecamatan Cimalaka 1:3, sedangkan seks rasio pada ternak di Kecamatan Paseh 1:5. Seks rasio perkawinan kambing di kedua kecamatan ini terlihat kurang efisien karena menurut Atabany (2001) melaporkan perbandingan antara jantan dan betina dewasa (induk laktasi, induk kering, dara bunting, dan dara siap kawin) pada peternakan kambing PE adalah 1:14 dan pada peternakan kambing Saanen perbandingannya 1:3. Menurut Blakely dan Bade (1991), seekor jantan sehat dapat mengawini betina sebanyak 30 ekor. Devendra dan Burn (1994) berpendapat bahwa seekor kambing jantan dewasa dapat mengawini 25 ekor betina. Sistem perkawinan pada ternak di Kecamatan Cimalaka ditentukan oleh peternaknya sendiri dengan pejantan dan induk milik sendiri sedangkan perkawinan pada ternak di Kecamatan Paseh diatur oleh kelompok karena masing-masing peternak belum mempunyai pejantan sendiri oleh karena itu, ketua kelompok berinisiatif untuk meminjamkan pejantannya untuk dikawinkan ke betina-betina yang sedang birahi. Sistem pembagian pejantannya yaitu setiap lima betina dikawinkan dengan satu pejantan.

Data pada Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata umur kambing pertama kali kawin di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh masing-masing 10,56±1,55 bulan dan 13,26±3,39 bulan. Hal ini disebabkan petani di Kecamatan Cimalaka umur tersebut sudah bisa untuk dikawinkan sehingga dikawinkan pada umur yang lebih muda dibandingkan ternak di Kecamatan Paseh. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sukendar (2004), bahwa umur pertama kali ternak kambing kawin 7,50±2,50 bulan, sedangkan Atabany (2001) memperoleh umur kawin pertama kambing di Peternakan Barokah tercapai ketika umur 403,32 hari atau 13,44 bulan untuk kambing betina. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga produktivitas kambing betina nantinya tetap tinggi, maka perkawinan sebaiknya dilakukan ketika kambing mendekati dewasa tubuh karena untuk menghindari kebuntingan pada masa pertumbuhan. Menurut Budi (2005), waktu mengawinkan ternak yang kurang tepat akan mengakibatkan ternak yang dikawinkan tidak bunting.

(49)

37 ternak kambing ditemukan agak konstan pada 146 hari. Lama kebuntingan kambing berkisar dari 147 hingga 155 hari. Induk harus dipelihara pada kondisi yang baik selama bunting untuk perkembangan normal anak yang dikandungnya (Blakely dan Bade, 1991). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama kebuntingan ternak kambing PE antara 150-180 hari (5-6 bulan), hasil ini masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil penelitian Atabany (2001), bahwa rataan lama kebuntingan kambing PE di peternakan Barokah yaitu 148,87 hari dan laporan penelitian Sutama dan Budiarsana (1997) bahwa lama kebuntingan 144-156 hari (rataan 149 hari) dan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor, tergantung umur dan paritas induk.

Kambing yang ada di Kecamatan Cimalaka dan Kecamatan Paseh rata-rata umur pertama kali kambing PE beranak berturut-turut 15,44±1,50 bulan dan 19,47±0,61 bulan. Hal ini dikarenakan kambing di Kecamatan Cimalaka dikawinkan pada umur yang lebih muda dibandingkan kambing di Kecamatan Paseh, sehingga waktu beranaknya lebih cepat. Hasil penelitian ini lebih cepat daripada yang dilaporkan Atabany (2001), umur beranak pertama pada kambing PE 643,24 hari (21,44 bulan). Umur beranak pertama dipengaruhi oleh dewasa tubuh dan keberhasilan perkawinan. Kambing PE dapat beranak pertama pada umur 16–18 bulan, dalam 2 tahun dapat beranak 3 kali dengan masa produktif 5 tahun (Dinas Peternakan dan Perikanan Wonosobo, 2011). Selang beranak per induk di kedua kecamatan termasuk baik yaitu 7,75±0,58 dan 7,17±1,11bulan. Berdasarkan laporan penelitian Sutama et al. (1997), aktivitas seksual setelah beranak pada kambing PE terjadi relatif cepat (semasa ternak masih menyusui anaknya), sehingga interval beranak 7-8 bulan bisa terjadi. Menurut Mulyono (1999), untuk meningkatkan keuntungan dalam memperoleh bakalan sebaiknya dibuat pola produksi. Upaya yang harus dilakukan adalah mengatur interval (selang waktu) beranak. Keadaan organ reproduksi siap untuk bunting lagi setelah dua bulan beranak. Bakalan akan disapih pada umur tiga bulan, dengan demikian selang beranak dapat diperpendek sehingga induk dapat 3 kali beranak dalam 2 tahun.

(50)

38 Hasil ini masih lebih tinggi dari hasil yang diperoleh Devendra dan Burn (1994) sebesar 1,5 anak/kelahiran dan Budiarsana et al. (2003) diperoleh rataan litter size

kambing PE pada tiga tempat berbeda yaitu Desa Luwisari (agroekisistem dataran tinggi), Desa Panulisan Timur (agroekosistem dataran rendah), dan Desa Cariu (agroekosistem sedang) masing-masing sebesar 1,75±0,45, 1,29±0,46, dan 1,82±0,728. Sukendar (2004) melaporkan litter size kambing PE yang didapat di Desa Hegarmanah menunjukkan rataan 1,83 anak per kelahiran, sedangkan Atabany (2001) melaporkan litter sitze kambing PE di Peternakan Barokah sebesar 1,77 anak/kelahiran.

Rata-rata bobot lahir untuk ternak kambing PE di Kecamatan Cimalaka sebesar 3,25 kg, sedangkan ternak kambing PE di Kecamatan Paseh tidak dilakukan penimbangan. Hal ini disebabkan keterbatasan alat serta kurangnya pengetahuan tentang pentingnya mengetahui bobot lahir anak kambing pada kelompok ternak di Kecamatan Paseh. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Atabany et al., (2004) melaporkan bahwa rataan berat lahir anak kambing PE yang diamati 3,84 kg (kisaran 2,O-6,0 kg). Berat lahir anak jantan 3,97 kg dan anak betina 3,73 kg. Berat lahir anak tunggal 4,26 kg, kembar dua 4,08 kg, kembar tiga 3,17 kg, dan kembar empat 2,63 kg. Angka kelahiran anak jantan 51,96% dan anak betina 47,45%. Perbedaan antara data di dua lokasi dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan dan perkawinan serta ketersediaan pakan di lokasi terutama di Kecamatan Paseh.

(51)

39 Tabel 10. Angka Kematian Kambing PE Bulan Juli 2011

Parameter Kecamatan Cimalaka Kecamatan Paseh

Cempe mati (%) 17,53 77,78

Induk mati (%) 3,87 5,62

Gambar

Gambar 1. Kambing PE
Tabel 3. Komposisi Susu Kambing dari Beberapa Penelitian
Gambar 2. Lokasi Lahan Tambang Pasir di Kecamatan Cimalaka
Gambar 5. Lahan Galian Pasir yang Ditanami Buah Naga di Kecamatan Cimalaka
+7

Referensi

Dokumen terkait

Struktur navigasi user memperlihatkan halaman-halaman yang dapat diakses oleh seorang user atau pengguna biasa, serta keterkaitan antar halaman-halaman

Apabila prediksi mengenai hasil komunikasi terutama didasarkan pada analisis tingkat cultural dan sosiologis maka para komunikator terlibat dalam komunikasi non- antarpribadi.

merupakan hal yang sangat penting untuk memproduksi hidrogen..

Terdiri  dari  serangkaian  kegiatan  yang  merupakan  bentuk  respon  cepat  sebagai  bagian  dari  upaya  pemulihan  ( recovery )  sebelum  dilakukan  rehabilitasi 

Cagar Alam Gunung Celering, sekitar 50% dari luas total kawasan yang terganggu oleh aktivi- tas masyarakat dapat diubah fungsinya dengan cara direstorasi dan diperkaya dengan

Perkembangan kognitif pada anak usia 4 tahun dapat ditandai dengan kemampuan. untuk mengenali kata-kata dan suara yang serupa, sudah bisa berhitung minimal

Pematang Siantar adalah kota di Provinsi Sumatera Utara yang merupakan salah satu kota yang ikut serta dalam mengimplementa- sikan kebijakan otonomi

Oleh karena itu, jika mata uang Negara sedang naik saat kita menjualnya, kita akan mendapat keuntungan besar.. Jika mata uang tersebut turun, kita akan