• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat (Kasus pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat (Kasus pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan)"

Copied!
628
0
0

Teks penuh

(1)

i

(Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung

Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan)

ADI RIYANTO SUPRAYITNO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan) adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada Perguruan Tinggi manapun. Bahan rujukan atau sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan ataupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

(3)

iii

ADI RIYANTO SUPRAYITNO. Participation Improvement Model of Farmer who Live Around the Forest in Managing The Community Candlenut Forest (The Case of Candlenut Forest Management in Bulusaraung Mountainrange in Maros District of South Sulawesi Province). Advisory Committee: SUMARDJO (as a chairman), DARWIS S. GANI and BASITA GINTING SUGIHEN (as members). Candlenut forest in Maros District has a function as a buffer zone for the surrounding environment. Farmers who live around the candlenut forest in Maros District have been participating in planting, managing and utilizing that forest since 1826. The existence of candlenut forest is an evidence of successful farmers’ participation. Nowadays, however, the quality of candlenut forest is decreasing much. This phenomenon is presumed because of the declining of farmers’ participation in managing the forest.The objectives of this research were: (1) to analyze the determinant factors that can increase the farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest, (2) to analyze the impact of farmers’ participation toward candlenut forest function sustainability, (3) to formulate an effective model to increase farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest. The data were collected on January-March 2010 by using some methods: questionnare list, interview, observation, and reviewing existing documents. Units of analizing were 204 heads of farmer households. The data were analyzed using: (1) descriptive statistics, and (2) inferensial statistics based on SEM using LISREL 8.70 software programming. The conclusion of the study are: (1) The level of farmers’ participation in managing and utilizing candlenut forest is low. This condition is influenced by farmers’ ability and motivation. Farmers’ ability and motivation are in moderate level. The factors which influence farmers’ ability are farmers’ characteristics, farmers’ cosmopolite, intensity of forestry extention agents roles, and social cultural environment support. While, the factors which influence farmers’ motivation are farmers’ ability and provision of opportunity, (2) Farmers’ participation bring about positive impact to candlenut forest function sustainability, and (3) The effective participation improvement model is increasing farmers’ participation by increasing four critical aspects, namely: intensity of forestry extention agent roles, farmers’ ability, farmers’ motivation, and provision of opportunity to participate.

(4)

iv

ADI RIYANTO SUPRAYITNO. Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat (Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan). Komisi Pembimbing: SUMARDJO (Ketua), DARWIS S. GANI dan BASITA GINTING SUGIHEN (masing-masing sebagai anggota).

Hutan kemiri rakyat di Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan bagi lingkungan sekitarnya. Hutan kemiri rakyat yang terjaga kuantitas dan kualitasnya akan dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki lahan yang labil dan tidak produktif, serta dapat mengendalikan dan mengurangi erosi, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan debit air pada sumber-sumber mata air sungai Walanae. Pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri rakyat di Kabupaten Maros sesungguhnya sejak lama telah dilakukan oleh petani sekitar kawasan hutan secara turun temurun. Selama berpuluh-puluh tahun dari generasi ke generasi petani sekitar hutan telah mengelola tanaman kemiri untuk dimanfaatkan buahnya. Pada saat ini hutan kemiri rakyat kawasan pegunungan Bulusaraung mengalami penurunan kualitas, ditunjukkan oleh komposisi tegakan kemiri yang didominasi oleh tegakan berusia tua (56 tahun) dan tidak produktif. Kondisi ini berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar, khususnya sistem tata air yang sangat penting bagi sektor pertanian serta aspek kehidupan lainnya. Fenomena ini diduga karena partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat yang telah berjalan selama ratusan tahun, pada saat ini, sedang mengalami degradasi.

Tujuan penelitian adalah untuk: (1) menganalisis faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, (2) menganalisis dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, dan (3) merumuskan model efektif dalam upaya meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.

Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan Maret 2010 pada petani sekitar hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros, dengan pertimbangan bahwa hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung merupakan areal hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan. Desain penelitian adalah ex post facto (causal-comparatif). Unit analisis adalah rumah tangga petani. Jumlah populasi 10.091 kepala keluarga. Jumlah sampel penelitian 204 kepala rumah tangga. Pengambilan sampel dilakukan dengan multistage cluster sampling, dengan jumlah sampel tidak proporsional. Analisis data menggunakan: (1) statistik deskriptif, (2) statistik inferensial menggunakan SEM dengan bantuan software LISREL 8.70.

(5)

v

dan memanfaatkan hutan kemiri, yang ditandainya dengan rendahnya aspek kemampuan manajerial petani. Belum optimalnya kemampuan petani sekitar hutan kemiri sangat dipengaruhi oleh rendahnya intensitas peran penyuluh kehutanan, baik peran sebagai fasilitator maupun sebagai pendidik, dan (b) belum optimalnya tingkat motivasi petani sekitar hutan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri karena masih berada dalam kategori sedang. Belum optimalnya motivasi petani dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan manajerial petani sekitar hutan dan rendahnya ketersediaan kesempatan/peluang terutama dukungan pemerintah; (2) partisipasi petani sekitar hutan kemiri berdampak positif terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri, (3) Model peningkatan partisipasi yang efektif adalah peningkatan partisipasi petani melalui (1) dukungan motivasi petani dalam hal motivasi untuk meningkatkan pendapatan, motivasi untuk mendapat pengakuan atas kemampuan mengelola hutan dan motivasi untuk melestarikan hutan; dan (2) dukungan kemampuan petani dalam hal kemampuan teknis, kemampuan manajerial dan kemampuan sosial.

Strategi peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam pengelolaan hutan kemiri rakyat adalah: : (1) strategi peningkatan motivasi petani sekitar hutan agar tetap berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri, dengan langkah-langkah strategis: (a) menata dan menyesuaikan kembali antara perencanaan pembangunan kehutanan nasional dan pengembangan wilayah kabupaten (b) memberikan peluang pada petani untuk mengelola hutan kemiri dalam bentuk pemberian kewenangan/kepastian hak kelola kepada petani sekitar hutan untuk mengelola hutan kemiri, (c) merumuskan dan menetapkan peraturan daerah yang mendukung pengelolaan hutan kemiri oleh petani sekitar hutan, (d) melakukan peremajaan tanaman kemiri yang tidak produktif, (e) mendorong dan mengembangkan terciptanya industri rumah tangga; (2) strategi peningkatan kemampuan petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri, dengan langkah-langkah strategis: (a) meningkatkan dan memperkuat kemampuan teknis, kemampuan sosial dan kemampuan manjerial petani dalam mengelola hutan kemiri, (b) mengembangkan dan meningkatkan intensitas peran penyuluh kehutanan terutama peran fasilitator dan peran pendidik, sebagai faktor penting yang berpengaruh pada peningkatan kemampuan petani.

(6)

vi

(1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan wajar IPB.

(7)

vii

(Kasus Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung

Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan)

OLEH :

ADI RIYANTO SUPRAYITNO

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

Penguji Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A (Fakultas Kehutanan IPB)

2. Prof (Ris). Dr. Ign Djoko Susanto, SKM, APU (Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, M.M (Kementerian Kehutanan RI) 2. Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc

(9)

ix

Pengelolaan Hutan Kemiri Kawasan Pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan)

Nama : Adi Riyanto Suprayitno

NIM : I.361070141

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A Anggota

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, M.A Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc

Tanggal Ujian: 21 Maret 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

x

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil disusun. Pada saat ini keberadaan hutan di Indonesia mengalami deforestasi. Salah satu faktor yang menentukan terjaganya eksistensi dan kualitas hutan adalah partisipasi petani yang tinggal di sekitar hutan untuk mengelola hutan secara lestari. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tema yang dipilih untuk disertasi ini berkaitan dengan partisipasi masyarakat dengan judul Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat.

Banyak pihak yang telah membantu mulai dari awal penulis menjadi mahasiswa S3 Institut Pertanian Bogor (IPB) sampai dengan tersusunnya disertasi ini, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S, Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, M.A, dan Dr. Ir.

Basita Ginting Sugihen, M.A selaku komisi pembimbing yang dengan ikhlas dan sabar telah meluangkan waktu memberikan arahan, bimbingan, dan masukan serta membagikan pengetahuannya sehingga penulis dapat menyusun disertasi ini.

2. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa S3 Sekolah Pascasarjana IPB.

3. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB beserta staf yang dengan ikhlas telah memberikan pelayanan administrasi, dan seluruh staf dosen pada Program Studi/Mayor PPN yang telah memberikan berbagai kontribusi dalam bentuk fasilitasi dan pelayanan kuliah selama penulis menjalani proses belajar.

4. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, M.A dan Prof (Ris). Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, M.M dan Dr. Ir. Leti Sudawati, M.Sc selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka.

5. Prof. Dr. Ir. Daud Malammasam, M.Agr, Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Musrizal Muin, M.Sc dari Universitas Hasanuddin yang telah

(11)

xi

6. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan cq Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan dan membiayai penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB.

7. Kepala Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan (BDK) Makassar beserta staf yang telah memberikan dorongan moril kepada penulis selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.

8. Ayah dan (Alm) Ibu tercinta yang telah memelihara, merawat, menjaga dan membesarkan penulis dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh, serta tiada henti-hentinya berdoa bagi keberhasilan penulis.

9. Adik-adik tersayang serta Bapak dan Ibu mertua dan saudara-saudara ipar yang telah mendoakan dan memberikan dorongan moril selama penulis mengikuti pendidikan di IPB.

10. Rekan-rekan seperjuangan PPN angkatan 2007 serta semua pihak yang telah banyak membantu dan mendorong mulai dari awal sampai terselesainya disertasi ini.

11. Bapak Darwis Masing, S.Hut, Bapak Mursalim, Bapak Usman, Bapak Asso, Ibu Karnia, Bapak Sangkala selaku enumerator yang telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data lapangan, serta Bapak Azis dan keluarga yang dengan ikhlas telah memberikan tempat bernaung bagi penulis ketika penulis melaksanakan penelitian.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istri dan kedua putera tercinta atas doa, ketabahan, kesabaran, dan dengan penuh pengertian serta keikhlasan telah mendampingi penulis selama penulis mengikuti pendidikan S3.

Semoga amal baik mereka mendapat pahala dari Allah SWT. Akhirul kata semoga disertasi ini dapat membawa manfaat kepada semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, April 2011

Adi Riyanto Suprayitno

(12)

xii

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1968 dari Ayah Soewarno (purnawirawan TNI AD) dan Ibu (Alm) Soepiyati, sebagai anak pertama dari enam bersaudara.

Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SD Negeri Abepura di Jayapura, kemudian pada tahun 1978 pindah ke SD Negeri 07 Pagi Tanjung Duren Jakarta Barat hingga lulus pada tahun 1981. Tahun 1984 lulus dari SMP Negeri Cibinong Bogor. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke SMA Negeri Cibinong Bogor, lulus pada tahun 1987. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan S1 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan MIPA, Program Studi Pendidikan Matematika di Universitas Cenderawasih Jayapura dan lulus pada tahun 1994. Sebelumnya pada tahun 1988-1989 penulis pernah menjadi mahasiswa di Akademi Teknik Pekerjaan Umum Jayapura (sekarang Universitas Sains dan Teknologi Jayapura).

Pada tahun 1995 penulis diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil lingkup Kementerian Kehutanan dan bekerja pada Sekolah Kehutanan Menengah Atas Ujung Pandang sebagai tenaga edukatif (guru matematika) sampai dengan tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan atas biaya dari Kementerian Kehutanan, lulus pada tahun 2004. Tahun 2004 penulis beralih tugas menjadi staf pada seksi penyelenggara pendidikan dan pelatihan di Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Makassar. Sejak tahun 2006 penulis diangkat menjadi Widyaiswara sampai dengan sekarang. Kesempatan mengikuti pendidikan S3 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Imu Penyuluhan Pembangunan penulis peroleh pada tahun 2007 atas biaya Kementerian Kehutanan.

Penulis menikah dengan Nurdiana pada tahun 1998 dan dianugerahi dua orang putera Yudhistira Panji Wicaksana dan Satria Wiratama Sangga Buana.

(13)

xiii

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN ………...………..……... Latar Belakang ……….…...………..….. Perumusan Masalah ……....………....……….... Tujuan Penelitian ... Kegunaan Penelitian…….……….….. TINJAUAN PUSTAKA...….... Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan... Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani dalam

Mengelola Hutan... Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan ... Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan... Faktor yang Mempengaruhi Motivasi, Kemampuan, dan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan...

Karakteristik Individu Petani ... Tingkat Kekosmopolitan Petani... Peran Penyuluh Kehutanan ... Lingkungan Sosial Budaya ... Kesempatan atau Peluang bagi Petani untuk Berpartisi

dalam Mengelola Hutan... Azas Keberlanjutan (sustainability) dalam Pengelolaan Hutan

Rakyat ... Model-Model Pengelolaan Hutan Partisipatif ... Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung ... Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Hutan Kemiri Rakyat Kawasan Pegunungan Bulusaraung ...

xxii xxiv xxv 1 1 7 8 8 10 10

20 21 27

34 35 38 40 44

46

49 53 59

60

(14)

xiv

Hipotesis Penelitian ...…... METODE PENELITIAN ... Desain Penelitian ...…... Lokasi dan Waktu Penelitian ... ... Populasi dan Sampel ... Teknik Pengumpulan Data ... Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... Pengolahan dan Analisis Data ... Konseptualisasi dan Definisi Operasional ... DESKRIPSI`UMUM LOKASI PENELITIAN ...

Gambaran Umum Hutan Kemiri Rakyat ... Deskripsi Peubah-Peubah Penelitian ... Karakteristik Individu Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat ... Tingkat Kekosmopolitan Petani Sekitar Hutan Kemiri Rakyat ... Intensitas Peran Penyuluh Kehutanan ... Dukungan Lingkungan Sosial Budaya ... Ketersediaan Kesempatan/ Peluang bagi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... Tingkat Motivasi Petani Sekitar Hutan untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... Tingkat Partisipasi Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri Rakyat ... ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU TINGKAT PARTISIPASI PETANI SEKITAR HUTAN DALAM MENGELOLA HUTAN KEMIRI RAKYAT ...

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ...

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemampuan Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ...

(15)

xv

Kemiri Rakyat ... Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... Dampak Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat terhadap Keberlanjutan Manfaat Hutan Kemiri

Rakyat ... Model dan Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ...

Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ...

Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui

Dukungan Motivasi untuk Berpartisipasi ... Model Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat melalui

Dukungan Kemampuan Petani ... Strategi Peningkatan Partisipasi Petani Sekitar Hutan dalam Mengelola Hutan Kemiri Rakyat ... KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

172

185

195

200

200

203

205

207 221 221 224 227 241

(16)

xvi

Halaman

1. Ciri-ciri partisipasi petani yang optimal dan belum optimal ... 2. Ciri-ciri petani yang mampu dan belum mampu dalam mengelola hutan kemiri secara lestari ... 3. Ciri-ciri petani yang termotivasi dan belum termotivasi untuk

berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri ... 4. Ciri-ciri faktor-faktor yang ideal dan belum ideal yang mempengaruhi partisipasi petani... 5. Ciri-ciri manfaat yang dapat dipetik dari pengelolaan hutan yang

berkelanjutan dan tidak berkelanjutan ... 6. Rincian Sampel Penelitian ... 7. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

karakteristik individu petani... 8. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

tingkat kekosmopolitan petani... 9. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

Intensitas peran penyuluh kehutanan ... 10. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

dukungan lingkungan sosial ... 11. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

kesempatan/peluang ... 12. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi... 13. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri... 14. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

tingkat partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri... 15. Indikator, definisi operasional, paramater dan kategori pengukuran

tingkat keberlanjutan fungsi hutan kemiri... 16. Jumlah penduduk di sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros .... 17. Jarak ibukota kecamatan dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi... 18. Sebaran karakteristik individu petani sekitar hutan kemiri rakyat ... 19. Sebaran tingkat kekosmopolitan petani sekitar hutan kemiri rakyat... 20. Sebaran intensitas peran penyuluh kehutanan ...

68

70

72

75

78 83

90

91

92

93

94

95

96

97

98 101 102 104 114 117

(17)

xvii

mengelola hutan kemiri rakyat ... 23. Sebaran tingkat kemampuan petani dalam mengelola hutan kemiri

rakyat ... 24. Aspek-aspek dalam kemampuan teknis petani sekitar hutan dalam

mengelola hutan kemiri rakyat ... 25. Aspek-aspek dalam kemampuan manajerial petani sekitar hutan dalam

mengelola hutan kemiri rakyat ... 26. Aspek-aspek dalam kemampuan sosial petani sekitar hutan dalam

mengelola hutan kemiri rakyat ... 27. Sebaran tingkat motivasi petani untuk berpartisipasi dalam mengelola

hutan kemiri rakyat ... 28. Sebaran tingkat partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan

kemiri rakyat... 29. Sebaran keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat yang dirasakan

petani sekitar hutan ... 30. Pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung antar peubah

penelitian ... 131

139

140

142

143

144

148

154

159

(18)

xviii

Halaman

1. Delapan tangga partisipasi (Arrnstein, 1969) ... 2. Kerangka konseptual peubah-peubah yang mempengaruhi partisipasi petani dalam mengelola hutan kemiri rakyat ... 3. Kerangka operasional penelitian peningkatan partisipasi petani sekitar

hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat ... 4. Diagram jalur model hipotetik persamaan struktural peningkatan

partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat .... 5. Model struktural/diagram lintasan Model Peningkatan Partisipasi

Petani Sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat

(standardized) ... 6. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan petani

dalam mengelola hutan kemiri rakyat... 7. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat motivasi

petani untuk berpartisipasi dalam mengelola hutan kemiri rakyat... 8. Jalur pemasaran produksi kemiri Kabupaten Maros ... 9. Diagram jalur faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi petani

dalam mengelolaa hutan kemiri rakyat... 10. Diagram jalur dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola

hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat hutan kemiri rakyat... 11. Model peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola hutan

kemiri rakyat ... 12. Alur strategi peningkatan partisipasi sekitar hutan dalam mengelola

hutan kemiri rakyat ... 15

73

79

86

158

160

173 182

185

195

202

220

(19)

xix

Halaman

1. Uji beda dengan analisis varians (ANAVA) berdasarkan metode Tuckey dan Benferroni menggunakan SPSS 16.0 ... 2. Tahapan analisis SEM menggunakan LISREL 8.70 ... 3. Hasil uji validitas dan reliabilitas instrument penelitian menggunakan

SPSS 16.0 ... 242 254

280

(20)

Latar Belakang

Hutan sebagai anugerah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan kekayaan yang sangat banyak manfaatnya bagi kelangsungan seluruh makhluk hidup. Hutan memiliki fungsi sebagai penyangga kehidupan, namun pada saat ini eksistensi hutan mengalami berbagai tekanan, terjadi deforestasi hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia.

Penurunan kuantitas dan kualitas hutan Indonesia telah banyak dikemukakan berbagai peneliti dari banyak lembaga penelitian, kalangan LSM, media massa, maupun pihak pemerintah. Pada tahun 1986, Bank Dunia telah memberikan peringatan atas kondisi hutan di Indonesia bahwa “dalam 40 tahun Indonesia akan menjadi tandus, dan faktor penyebab utamanya adalah praktek penebangan kayu tanpa perhatian” (Fuad dan Maskanah, 2000). MoF/FAO pada tahun 1991 menyebutkan, bahwa rata-rata laju deforestasi di Indonesia dalam rentang tahun 1982 sampai dengan 1990 adalah 1,3 juta ha per tahun. Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa pada tahun 30-an tercatat bahwa luas hutan di Indonesia adalah + 144 juta ha dan berkurang menjadi + 119,3 juta ha pada tahun 80-an. Hal ini berarti dalam rentang waktu selama 50 tahun terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 17,15% (24,7 juta ha) atau setara dengan 490.000 ha per tahun, bahkan menurut Hinrichs (2008) bahwa deforestasi hutan di Indonesia telah mencapai 1,8 juta hektar per tahun.

(21)

dengan harapan terjadi produksi hutan (kayu) melalui mekanisme fragmentasi kawasan hutan dan suntikan investasi oleh swasta. Pada tataran implementasi terjadi praktek marginalisasi pada masyarakat sekitar hutan, peran masyarakat yang tinggal di sekitar hutan lebih banyak dikesampingkan. Padahal menurut Awang (2003a) terdapat jutaan masyarakat pedesaan yang tinggal di sekitar hutan kehidupannya tergantung kepada produksi dan juga hasil hutan. Masyarakat sekitar hutan yang aktivitas hidupnya sangat bergantung pada keberadaan hutan pada umumnya hanya dijadikan penonton, tidak dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan tersebut, bahkan sering keberadaan masyarakat sekitar hutan dianggap sebagai ancaman. Penikmat utama dari keuntungan pengeksplotasian hutan hanya para pemilik modal besar (capital) tersebut.

Akibatnya, ketergantungan hidup masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang telah berjalan sejak lama, pada akhirnya terhalang oleh kebijakan pembangunan kehutanan tersebut. Sistem perekonomian rakyat yang bersifat subsisten, sistem jaringan keamanan sosial tradisonal, dan nilai-nilai kearifan lokal mulai memudar bahkan hilang. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan akhirnya terasing dan terpinggirkan dari arena pengelolaan hutan. Fakta menunjukkan bahwa pengelolaan hutan berbasis pemerintah dan privatisasi pengelolaan kawasan hutan dalam bentuk pemberian konsesi HPH kepada swasta atau pemilik modal besar ternyata memperlihatkan kegagalan pengelolaan hutan bahkan menimbulkan kerusakan hutan yang terjadi secara sistematis, karena adanya pengeksploitasian kayu yang tidak taat azas.

Pengalaman masa lalu tersebut menyadarkan pemerintah untuk menggeser paradigma lama pengelolaan hutan. Pemerintah menyadari bahwa masyarakat sekitar hutan merupakan ujung tombak bagi kelestarian hutan. Perilaku positip masyarakat dalam berinteraksi dengan hutan dapat menjaga eksistensi hutan. Pemerintah melalui Departemen Kehutanan (sekarang Kementerian Kehutanan) selanjutnya meletakkan paradigma baru pembangunan kehutanan yang bertumpu pada pendekatan ekosistem yang dikenal dengan resource based management yang berbasis pada forest community based development(Pusbinluhhut, 2002).

(22)

mempertimbangkan prakarsa dan kekhasan masyarakat setempat. Keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dianggap penting untuk dapat menjaga eksistensi dan merehabilitasi hutan yang pada saat ini kondisinya parah. Dengan terlibatnya masyarakat dalam pengelolaan hutan maka diharapkan akan kembali muncul rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Barber et al. (1999) bahwa diperlukan pengakuan terhadap pengelolaan pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dan dalam hutan sebagai pihak yang secara langsung berhubungan dengan hutan sehingga masyarakat lokal tersebut dapat menjaga kelestarian lingkungan dan tetap memberikan kebutuhan ekonomi bagi kehidupan mereka.

Salah satu strategi yang dilakukan pemerintah adalah mengembangkan hutan rakyat. Hutan rakyat memiliki peran yang sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sumber pendapatan petani, serta sumber kayu energi dan kayu pertukangan (Wollenberg dan Ingles, 1998). Selain memiliki manfaat langsung hutan rakyat juga memiliki peran yang sangat penting bagi perlidungan lingkungan (Darusman, 2002).

Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan di seluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3 dengan luas 1.568.415,64 ha, sedangkan data potensi hutan rakyat berdasarkan sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha (Darusman dan Hardjanto, 2006). Kegiatan hutan rakyat akan memberikan dampak positip bagi rumah tangga pedesaan, tenaga kerja, industri, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Berbagai bukti keberhasilan praktek pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di tanah air yang telah terdokumentasi antara lain repong damar di Krui Lampung, kebun karet di Jambi, Kebun rotan di Bentian, lembo di Kalimatan Timur dan kemenyan di Tapanuli Selatan ternyata mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial secara adil dan lestari.

(23)

tersebar di sepanjang kawasan pegunungan Bantimurung Bulusaraung pada tiga wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Cenrana, Kecamatan Camba dan Kecamatan Mallawa, yang luasnya sekitar 9.341 Ha (Dishut Kab. Maros, 2009). Ketiga wilayah kecamatan tersebut merupakan areal hutan kemiri terluas di Sulawesi Selatan. Keberadaan hutan kemiri rakyat selain memberikan manfaat ekonomi bagi petani, juga memiliki fungsi perlindungan lingkungan yang sangat penting bagi kabupaten sekitarnya meliputi Kabupaten Bone, Kabupaten Soppeng, dan Kabupaten Wajo, karena 95% lokasinya terletak di bagian hulu DAS yang sangat kritis yaitu DAS Walanae. DAS Walanae juga merupakan salah satu sistem penyangga hidrologi Danau Tempe.

Pengembangan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros sangat bermanfaat bukan saja sebagai sumber pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tetapi juga bermanfaat dalam menunjang daya dukung lahan dan hutan. Dari aspek ekologi, keberadaan hutan kemiri rakyat ini sangat strategis dalam menjaga kualitas lingkungan karena letaknya di hulu daerah aliran sungai (DAS) Walanae yang merupakan daerah tangkapan air. Hutan kemiri yang terjaga kuantitas dan kualitasnya akan dapat memperbaiki struktur tanah, memperbaiki lahan yang labil dan tidak produktif, serta dapat mengendalikan dan mengurangi erosi, sehingga dapat meningkatkan kualitas dan debit air pada sumber-sumber mata air sungai Walanae. Selain itu tanaman kemiri juga dapat menjadi tanaman pelindung untuk lahan kritis dan lahan marjinal karena dapat menekan pertumbuhan alang-alang. Hal ini sejalan dengan Penelitian Subaktini et al. (2002) pada hutan rakyat Wonogiri yang menyebutkan bahwa pada awalnya, masyarakat mengalami kesulitan memperoleh air untuk memenuhi kebutuhan hidup, terutama pada musim kemarau. Setelah berkembangnya hutan rakyat maka kekurangan air tersebut dapat diatasi bahkan kualitas dan debit air meningkat. Selain dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar, sumber air tersebut dipergunakan pula oleh PDAM untuk pasokan bahan baku air minum.

(24)

wujud yang setara kualitasnya dengan hutan alam, bahkan antara tahun 1960-an sampai 1980 Kabupaten Maros dikenal sebagai penghasil kemiri terbesar dengan kualitas terbaik di Indonesia. Saat itu kemiri merupakan simbol status sosial dan menjadi primadona masyarakat karena menjadi sumber pendapatan utama yang menyejahterakan masyarakat (Yusran, 2005), dengan demikian bagi petani, hutan kemiri memiliki nilai psikologis, historis dan sosiologis, dan telah menjadi bagian dari aktivitas hidup mereka. Petani sekitar hutan secara sadar maupun tidak telah memfungsikan areal di mana tanaman kemiri ditanam sebagai kawasan penyangga.

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros memiliki perbedaan dibandingkan hutan rakyat lain terutama yang berada di Pulau Jawa. Pada hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros, pemanfaatannya ditekankan pada upaya memperoleh hasil hutan non kayu yaitu buah kemiri, walaupun pada saat ini kayu kemiri juga mulai dimanfaatkan karena adanya permintaan pasar meskipun tidak banyak. Hutan kemiri yang ada sekarang ini adalah peninggalan/harta pusaka atau warisan dari para orang tua mereka yang perlu dijaga eksistensinya. Masyarakat atau petani sekitar hutan kemiri menyebut hutan kemiri yang dikelolanya dengan sebutan dare’ ampiri (kebun kemiri). Dengan kata lain, petani sekitar hutan kemiri menganggapnya bukan sebagai hutan melainkan sebagai kebun (dare’), karena keberadaannya merupakan hasil budidaya dan pengelolaan yang sengaja dilakukan oleh pendahulu mereka dan masih dilanjutkan sampai dengan sekarang.

(25)

Buah kemiri merupakan salah satu komoditas unggulan Kabupaten Maros. Dari 26.928 ton produksi kemiri Sulawesi Selatan, 5.654,88 ton (21%) berasal dari Kabupaten Maros (Kabupaten Maros, 2002). Permintaan terbesar buah kemiri untuk kebutuhan dalam negeri berasal dari pulau Jawa. Pemasaran produksi kemiri yang berasal dari Sulawesi Selatan, termasuk yang berasal dari kawasan Pegunungan Bulusaraung, pertama-tama dikumpulkan di Surabaya sebelum didistribusikan ke daerah lainnya di Pulau Jawa. Permintaan kemiri sebagai bumbu masak lebih besar dibandingkan untuk peruntukan lainnya, terutama di daerah Jakarta (Paimin, 1997).

Pada saat ini, hutan kemiri rakyat kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros mengalami penurunan kualitas. Penurunan kualitas hutan kemiri rakyat ini berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar, khususnya sistem tata air yang sangat penting bagi sektor pertanian serta aspek kehidupan lainnya. Hasil pengukuran potensi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros yang dilakukan oleh Yusran (1999) menunjukkan bahwa komposisi tegakan kemiri tidak ideal yaitu 79% pohon kemiri termasuk kategori umur tua atau tidak produktif (> 35 tahun), hanya 19% umur produktif (10 – 35 tahun) dan 2% umur muda (< 10 tahun), dengan rata-rata umur adalah 45 tahun (umur tua/tidak produktif), dengan demikian pada saat ini usia rata-rata pohon kemiri telah mencapai 56 tahun. Hal ini menyebabkan rendahnya produksi kemiri. Apabila, penurunan kualitas hutan kemiri tidak segera ditangani maka akan semakin berakibat buruk bagi ekologi hutan dan akan berdampak pula bagi pendapatan atau ekonomi rumah tangga petani sekitar hutan. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penelitian Yusran berikutnya (2005) yang menyimpulkan bahwa kondisi hutan kemiri masih menunjukkan terjadinya penurunan produktivitas ekonomi dan ekologi dari tahun ke tahun.

(26)

memanfaatkan hutan kemiri yang telah berjalan sejak dulu, dengan demikian, pada saat ini dapat dikatakan sedang mengalami penurunan atau degradasi. Oleh karena itu diperlukan penelitian dalam rangka mengungkapkan dan menganalisis secara mendalam berbagai fakta empirik yang mempengaruhi partisipasi petani sekitar hutan kemiri Kabupaten Maros melalui analisis kuantitatif dan kualitatif, selanjutnya berdasarkan kajian tersebut akan disusun suatu model yang efektif untuk meningkatkan partisipasi petani sekitar kawasan hutan kemiri Kabupaten Maros.

Perumusan Masalah

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang pada umumnya berprofesi sebagai petani merupakan elemen krusial terdepan yang dapat menjadi pilar bagi terselenggaranya pengelolaan kawasan hutan yang lestari. Oleh karena itu, partisipasi mereka merupakan hal yang sangat penting dalam mewujudkan hutan yang lestari. Penguatan partisipasi masyarakat lokal menjadi sangat penting dalam pengelolaan hutan dalam rangka mencegah eksploitasi yang berlebihan pada kegiatan pemanfaatannya terkait dengan pemenuhan kebutuhan petani dan untuk memberikan dukungan pada kegiatan konservasi lingkungan yang simultan dan sinergi. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka diharapkan akan terbangun rasa memiliki dan tanggung jawab dalam diri setiap anggota masyarakat terhadap keberlangsungan eksistensi hutan.

(27)

Penurunan tingkat partisipasi petani sekitar hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros merupakan akibat dari interaksi berbagai faktor. Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar, yaitu mengapa partisipasi petani yang selama ini telah berjalan mengalami degradasi?

Berdasarkan argumen tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Sejauh mana terdapat faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros?

2. Sejauh mana dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros?

3. Bagaimana model yang efektif dalam upaya meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros?

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis faktor-faktor penentu peningkatan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.

2. Menganalisis dampak partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat terhadap keberlanjutan manfaat/fungsi hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.

3. Merumuskan model efektif yang dapat meningkatkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri rakyat Kabupaten Maros.

Kegunaan Penelitian

(28)

perspektif ilmu penyuluhan pembangunan yang bercirikan spesifik lokal dalam rangka meningkatkan dan mengembangkan partisipasi petani sekitar hutan dalam mengelola hutan kemiri di Kabupaten Maros.

(29)

Partisipasi Petani dalam Mengelola Hutan

Partisipasi telah menjadi lintasan sejarah yang panjang bagi berbagai pembangunan di berbagai negara di dunia (Pretty, 1995). Hal ini berarti pemerintah berbagai negara telah menyadari pentingnya keterlibatan rakyat atau masyarakat dalam kegiatan pembangunan negaranya. Menurut Pretty terdapat dua pendapat yang berbeda namun saling melengkapi dalam memandang partisipasi. Pertama, partisipasi dipandang sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pembangunan. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa jika rakyat dilibatkan, maka besar peluangnya mereka akan sepakat dan memberikan dukungan serta dorongan pada kegiatan pembangunan tersebut. Pandangan kedua, partisipasi dilihat sebagai hak rakyat. Tujuannya adalah untuk menginisiasi mobilisasi menuju terciptanya aksi bersama, pemberdayaan, dan pembangunan serta penguatan kelembagaan.

Secara etimologis partisipasi berasal dari kata bahasa Inggris participation yang berarti take part in (ambil bagian), dengan demikian partisipasi dalam pembangunan berarti ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dalam suatu proses atau kegiatan pembangunan. Agak berbeda dengan makna etimologis tersebut, Davis (1967) memberikan pengertian partisipasi sebagai keterlibatan mental dan emosional individu dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan kelompok dan saling berbagi tanggung jawab di antara anggota-anggota kelompok. Dengan kata lain, Davis melihat partisipasi dari situasi kelompok, dimana paling tidak terdapat tiga hal pokok, yaitu:

1. Partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosi

2. Partisipasi menghendaki adanya kontribusi terhadap kepentingan atau tujuan kelompok.

3. Partisipasi merupakan tangung jawab terhadap kelompok.

(30)

Kesediaan berarti adanya unsur kerelaan yang melibatkan aspek emosional dan mental dari orang yang terlibat. Unsur kemampuan sebagaimana yang dinyatakan oleh Mubyarto lebih ditekankan untuk menghargai adanya perbedaan individu. Artinya, setiap orang akan berbeda-beda bentuk partisipasinya disesuaikan dengan kemampuan dan kepentingan masing-masing orang tersebut.

Ditinjau dari perannya, partisipasi memiliki fungsi ganda yaitu sebagai alat dan sekaligus tujuan pembangunan masyarakat (Cary, 1970). Sebagai alat pembangunan, partisipasi berperan sebagai penggerak dan pengarah proses perubahan sosial yang dikehendaki, demokratisasi kehidupan sosial ekonomi serta berasaskan kepada pemerataan dan keadilan sosial, pemerataan hasil pembangunan yang bertumpu pada kepercayaan kemampuan masyarakat sendiri. Sebagai tujuan pembangunan, partisipasi merupakan bentuk nyata kehidupan mayarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Oleh karena itu untuk menjamin kesinambungan pembangunan, maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dan harus tetap diperhatikan dan dikembangkan. Isworo (2001) mengemukakan alasan tentang pentingnya melibatkan masyarakat dalam pembangunan adalah: 1. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, sehingga

partisipasi merupakan dalil logis.

2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting.

3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik bagi arus informasi tentang sikap, aspirasi dan kebutuhan serta kondisi daerah. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya suatu pembangunan.

4. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.

5. Partisipasi memperluas zona (kawasan) penerimaan proyek pembangunan. 6. Partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada

masyarakat.

7. Partisipasi menopang pembangunan

(31)

9. Partisipasi merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan masyarakat agar mampu mengelola program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah.

10. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokrasi individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri.

Partisipasi dalam pembangunan sebenarnya menyangkut dua tipe yang pada prinsipnya berbeda (Koentjaraningrat, 1992), yaitu:

1. Partisipasi dalam aktivitas bersama dalam proyek pembangunan khusus. 2. Partisipasi sebagai individu di luar aktivitas bersama dalam pembangunan. Pada tipe partisipasi pertama, masyarakat diajak, dipersuasi, diperintahkan atau dipaksa oleh penguasa untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tenaga atau hartanya kepada proyek pembangunan yang khusus, biasanya bersifat fisik. Bila masyarakat ikut serta berdasarkan keyakinannya bahwa proyek akan bermanfaat baginya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat dan spontanitas yang besar, tanpa mengharap upah yang tinggi. Sebaliknya, jika masyarakat diperintah atau dipaksa oleh penguasa untuk ikut menyumbangkan tenaga dan harta kepada proyeknya, maka mereka akan berpartisipasi dengan semangat kerja rodi. Tipe partisipasi yang kedua tidak ada proyek aktivitas bersama yang khusus, tetapi terdapat proyek pembangunan, biasanya yang tidak bersifat fisik dan yang memerlukan partisipasi tidak atas perintah atau paksaaan dari orang lain, tetapi atas dasar kemauan mereka sendiri

Upaya menumbuhkan partisipasi masyarakat terkait dengan pembangunan pedesaan, pada awalnya, bukan pekerjaan yang mudah karena menyangkut perubahan sikap mental dan budaya yang kemungkinan sudah melembaga dalam masyarakat bersangkutan (Khairudin 1992). Menyangkut hal tersebut, pendapat Ife (1995) dapat digunakan sebagai titik tolak untuk menggerakkan partisipasi masyarakat. Menurut Ife agar masyarakat terdorong untuk berpartisipasi perlu diperhatikan dan dipertimbangkan beberapa persyaratan (condition) berikut: 1. Anggota-anggota masyarakat akan berpartisipasi apabila isu atau kegiatan

(32)

2. Kegiatan yang ditawarkan kepada masyarakat, oleh setiap anggota masyarakat dirasakan akan memberikan perbedaan yang nyata bagi kehidupannya atau membawa perubahan yang lebih baik.

3. Apapun bentuk partisipasi dari setiap anggota masyarakat harus dihargai dan diberi nilai tinggi.

4. Tersedia peluang atau kesempatan bagi setiap angota masyarakat untuk berpartisipasi dan apapun bentuk patisipasi tersebut harus didukung.

5. Struktur dan proses kegiatan bukan merupakan sesuatu yang asing bagi anggota-anggota masyarakat. Artinya harus kompatibilitas dengan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.

Pendapat lain dinyatakan oleh Hartoyo (1996) bahwa kegiatan atau program pembangunan yang memerlukan partisipasi masyarakat harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Adanya kegiatan yang dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat.

2. Kegiatan tersebut harus memiliki tujuan, yaitu menciptakan tingkat kehidupan yang lebih baik jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.

3. Kegiatan tersebut sangat diperlukan adanya partisipasi nyata dari seluruh anggota masyarakat.

(33)

PRA terhadap pembangunan adalah bahwa program-program pembangunan selalu diturunkan dari atas (top down) dan masyarakat tinggal melaksanakan. Proses perencanaan program tidak melalui suatu penjajagan kebutuhan (need assesment) masyarakat, tetapi seringkali dilaksanakan hanya berdasarkan asumsi, survei, studi atau penelitian formal yang dilakukan oleh petugas atau lembaga ahli-ahli penelitian. Dengan PRA, yakni dengan partisipasi masyarakat keadaan itu diperbaiki dan juga keterampilan-keterampilan analitis dan perencanaan dapat dialihkan kepada masyarakat. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan pada pihak luar akan berkurang dan pengambilan prakarsa dan perumusan program bisa berasal dari aspirasi masyarakat (bottom up).

Pemikiran Chambers sejalan dengan pendapat Arnstein (1969) yang walaupun lawas namun sampai sekarang masih dapat diimplementasikan bahwa partisipasi masyarakat adalah bentuk dari kekuatan rakyat (citizen partisipation is citizen power). Menurut Arnstein partisipasi harus dipandang sebagai proses pembagian kekuatan/ kekuasaan (power) yang memungkinkan masyarakat yang tidak berpunya (the have-not citizens) yang terpinggirkan dari proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam perubahan sosial. Partisipasi masyarakat terkait dengan bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam perubahan sosial yang memungkinkan mereka mendapatkan bagian keuntungan dari kelompok yang berpengaruh.

(34)
[image:34.612.126.468.84.421.2]

Gambar 1: Delapan Tangga Partisipasi (Arnstein, 1969)

Dua tangga terbawah diklasifikasikan sebagai non-partisipasi. Sasaran yang sesungguhnya dari kedua tangga ini adalah untuk mendidik dan mengobati masyarakat sehingga dapat memperoleh dukungan. Sementara itu, anak tangga ketiga sampai kelima dikategorikan sebagai partisipasi bersifat tokenisme, yaitu suatu tingkat partisipasi di mana masyarakat didengar dan diperkenankan berpendapat, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Oleh karena itu, partisipasi boleh dikatakan dimulai pada anak tangga ketiga di mana masyarakat sudah memiliki suara, namun pengambilan keputusan masih berada di tangan pemegang kekuasaan, dengan kata lain masyarakat belum memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan. Partisipasi demikian tergolong ke dalam kategori partisipasi semu. Dengan demikian, apabila partisipasi hanya dibatasi pada tingkatan ini maka upaya perubahan masyarakat menuju keadaan yang lebih baik kecil kemungkinan akan terjadi.

Pendelegasian Kekuasaaan Pengawasan Masyarakat

Kemitraan

Penentraman

Konsultasi

Penginformasian

Terapi

Manipulasi 8

7

6

5

4

3

2

1

Kekuasaan Masyarakat

Tokenisme

(35)

Anak tangga keenam hingga kedelapan dikelompokkan sebagai partisipasi berdasarkan kekuatan warga masyarakat (citizen power). Partisipasi riil dimulai pada anak tangga keenam yang ditandai dengan proses negosiasi. Masyarakat dalam tingkatan ini memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. Pada anak tangga ketujuh dan kedelapan, masyarakat mendapatkan peluang secara mayoritas dalam pengambilan keputusan bahkan sangat mungkin memiliki kewenangan penuh mengelola suatu objek kebijaksanaan tertentu yang sekaligus mengarahkan mereka kepada pemberdayaan.

Sedangkan, menurut Pretty (1995), berdasarkan pada derajat keterlibatan atau sejauhmana masyarakat terlibat dalam kegiatan atau aktivitas pembangunan, partisipasi dibagi ke dalam tujuh tipologi, yaitu:

1. Partisipasi pasif, di mana masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Partisipasi pasif, dengan demikian, merupakan tindakan sepihak dari pihak administratur atau manajemen proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat. Sumber informasi yang dihargai oleh pemerintah adalah pendapat para profesional.

2. Partisipasi memberikan informasi, di mana masyarakat memberikan jawaban yang diajukan oleh pihak luar baik melalui kuesioner atau pendekatan lain yang sejenis. Masyarakat tidak memiliki peluang untuk mempengaruhi hasil atau laporan kerja, karena temuan atau kesimpulan/keputusan yang dihasilkan tidak diinformasikan kembali kepada masyarakat untuk mendapatkan ketepatannya.

3. Partisipasi konsultatif, di mana masyarakat dimintai tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; dan pihak luar itu pada dasarnya tidak berkompeten untuk “mewakili” pandangan masyarakat.

(36)

namun tidak terlibat dalam proses eksperimentasi dan proses pembelajaran. Proses seperti ini yang selalu dianggap sebagai partisipasi, sehingga masyarakat tidak memiliki pijakan untuk melanjutkan kegiatannya ketika imbalan dihentikan.

5. Partisipasi fungsional, di mana masyarakat membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat kemungkinan bisa bersifat interaktif dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, tetapi cenderung terjadi setelah keputusan pokoknya telah dibuat oleh pihak luar, dengan demikian kelembagaan ini cenderung bergantung pada inisiatif pihak luar dan/atau fasilitator, namun demikian bisa diarahkan pada terciptanya “sef-dependent”.

6. Partisipasi interaktif, di mana terjadi proses analisis bersama (joint analysis) dalam rangka pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan institusi lokal atau penguatan terhadap institusi lokal yang telah ada. Proses ini melibatkan melibatkan metodelogi yang multidisiplin yang membutuhkan perspektif yang majemuk serta membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan-keputusan lokal, dengan demikian masyarakat memiliki wewenang yang jelas untuk memelihara struktur dan kegiatannya.

7. Partisipasi swakarsa, di mana masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi tetap memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Mobilisasi inisiatif swakarsa dan kegiatan bersama seperti ini kemungkinan tidak akan mengganggu atau menantang distribusi ketidasetaraan kesejahteraan dan kekuasaan yang ada, atau mungkin juga malah sebaliknya.

Bentuk partisipasi yang lebih sederhana dikemukakan oleh Hoofsteede (Khairuddin, 1992), sebagai berikut:

(37)

mengenai suatu proyek, yang nantinya proyek tersebut merupakan kebutuhan masyarakat.

2. Partisipasi Legitimasi adalah partisipasi pada tingkat pembicaraan atau pembuatan keputusan tentang proyek tersebut.

3. Partisipasi eksekusi adalah partisipasi pada tingkat pelaksanaan.

Dari ketiga tahapan partisipasi di atas, partisipasi inisiasi mempunyai kadar yang lebih tinggi dibandingkan partisipasi legitimasi atau eksekusi. Di sini masyarakat tidak lagi menjadi obyek pembangunan, tetapi sudah dapat menentukan dan mengusulkan segala sesuatu sesuai rencana yang akan dilaksanakan. Apabila masyarakat ikut hanya dalam tahap pembicaraan saja, padahal proyek yang dibangun sudah jelas wujudnya, maka masyarakat hanya berpartisipasi pada tingkat legitimasi saja. Sedangkan partisipasi eksekusi merupakan bentuk partisipasi yang terendah dari semua tingkatan partisipasi di atas. Pada bentuk partisipasi ini, masyarakat hanya turut serta dalam pelaksanaan proyek, tanpa ikut serta menentukan dan membicarakana proyek tersebut.

Uphoff dan Cohen (Ndraha, 1990) memberikan empat tahapan partisipasi, yaitu: (1) partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pembuatan keputusan, (2) partisipasi dalam melaksanakan operasional pembangunan, (3) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, dan (4) partisipasi dalam menilai pembangunan. Apabila partisipasi tidak melibatkan semua tahapan tersebut, maka dikatakan bahwa partisipasi hanya bersifat parsial, dengan demikian partisipasi yang sesungguhnya harus meliputi keempat tahapan tersebut. Slamet (2003) meninjau partisipasi dari bentuk kegiatan dan membaginya menjadi lima bentuk, yaitu:

1. Ikut memberi input dalam proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya.

2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya.

3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung.

(38)

Agar pembangunan dapat efektif diperlukan partisipasi dari seluruh warga masyarakat (Khairuddin, 1992), yang hendaknya meliputi:

1. Partisipasi dalam pemikiran, misalnya dalam pengidentifikasian masalah. 2. Partisipasi dalam penghimpunan dana, misalnya memberikan sumbangan uang

dan bahan-bahan guna kepentingan pembangunan masyarakat.

3. Partisipasi dalam penyelesaian tenaga, misalnya turut serta dalam kegiatan kerja bakti melaksanakan pembangunan.

4. Partisipasi menikmati hasil pembangunan, misalnya memanfaatkan DAM yang telah dibangun oleh pemerintah.

Indikator keberhasilan pembangunan bisa diukur dengan melihat ada atau tidaknya partisipasi masyarakat. Agar tumbuh partisipasi, paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi (Slamet, 2003), yaitu: (1) adanya kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan, (2) adanya kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan kesempatan tersebut, dan (3) adanya kemauan dari masyarakat untuk berpartisipasi.

Dari berbagai pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa keterlibatan atau partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam kegiatan pengelolaan hutan secara lestari sangat diperlukan, demikian pula dengan dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros. Pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung Kabupaten Maros telah dipraktekkan oleh petani sekitar hutan dalam kurun waktu yang sangat panjang dari generasi ke generas sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan telah menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari, dengan kata lain partisipasi petani yang selama ini telah berjalan merupakan partisipasi swakarsa karena inisiatif pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan kemiri berasal dari masyarakat dengan berlandaskan pada pengetahuan lokal yang dimiliki.

(39)

atau tingkatan partisipasi masyarakat berbeda-beda satu dengan lainnya, demikian pula dengan partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri berada dalam suatu rentang tingkatan partisipasi. Derajat partisipasi petani bergantung pada kesadaran dan seberapa besar manfaat yang dirasakan akan diperoleh dari partisipasinya dalam mengelola hutan kemiri.

Mencermati dan mempertimbangkan bahwa keterlibatan petani sekitar hutan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri telah berlangsung sejak lama, maka dalam penelitian ini dapat dikemukakan bahwa partisipasi petani dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan bulusaraung merupakan upaya petani sekitar hutan, yang melibatkan upaya mental maupun emosional, dalam mengelola dan memanfaatkan hutan kemiri baik perseorangan maupun kelompok mulai dari merencanakan kegiatan pengelolaan hutan, melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan, memanfaatkan, serta melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap jalannya proses dan hasil dari kegiatan pengelolaan hutan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Petani

dalam Mengelola Hutan

(40)

dikemukakan oleh Blau (Ndraha, 1990) bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu, semakin kuat pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.

Namun demikian, untuk menggerakkan dan mendorong petani agar mau berpartisipasi serta mempertahankan partisipasi yang selama ini telah berjalan bukan pekerjaan mudah. Hal ini dapat disadari karena adanya berbagai faktor atau variabel yang mungkin membuat petani tidak terdorong/tergerak atau tidak mau berpartisipasi, demikian pula ada keterlibatan banyak faktor atau variabel yang memungkinkan para petani tetap konsisten dan antusias, mau dan mampu mempertahankan serta meningkatkan partisipasinya dalam pengelolaan hutan kemiri kawasan pegunungan Bulusaraung yang selama ini telah berlangsung. Faktor-faktor yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

Motivasi Petani untuk Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan

Salah satu syarat untuk tumbuhnya partisipasi masyarakat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Slamet (2003) adalah adanya kemauan dari masyarakat. Kemauan atau keinginan dalam bahasa Inggris identik dengan kata wish/will/ want. Konsep keinginan/kemauan berkaitan erat dengan konsep motivasi,

sebagaimana yang dinyatakan oleh Thoha (1999) dan Handoko (1997) bahwa terkadang istilah motivasi dipakai silih berganti dengan istilah kebutuhan (need), keinginan (want/wish/will), dorongan (drive), desakan (urge) atau impuls.

Kemauan atau keinginan akan menjadi pendorong dan pengarah anggota-anggota masyarakat untuk mengerahkan kemampuannya untuk berpartisipasi. Hal ini berarti membahas kemauan/keinginan seseorang untuk bertindak sama dengan membahas motivasinya. Dengan kemauan atau keinginan yang kuat, masyarakat akan berupaya mengerahkan segenap kemampuannya untuk teribat dalam suatu kegiatan tertentu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Terry (Hasibuan, 1999) bahwa motivasi adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang merangsangnya untuk melakukan tindakan-tindakan. Motivasi terlihat dalam dua segi yang berbeda:

(41)

manusia, agar secara produktif berhasil mencapai dan mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

2. Dilihat dari segi pasif/statis, motivasi dipandang sebagai kebutuhan sekaligus juga sebagai perangsang untuk dapat menggerakkan, mengerahkan, dan mengarahkan potensi serta daya kerja manusia ke arah yang dinginkan

Menurut Dahama dan Bhatnagar (1980), kemauan (want) pada suatu saat akan berfungsi sebagai kebutuhan sehingga manusia tidak akan (belum) puas apabila kebutuhan tersebut belum terpenuhi. Kondisi ini yang mendorong manusia untuk bertindak. Pace dan Faules (2001) menyatakan bahwa motivasi merujuk kepada kondisi dasar yang mendorong tindakan. Kondisi dasar adalah kebutuhan dan/atau keinginan yang ada dalam diri individu.

Terdapat berbagai kebutuhan dan/atau keinginan yang memotivasi individu untuk bertindak dalam rangka memenuhi atau memuaskan kebutuhan dan/atau keinginan tersebut. Seseorang akan termotivasi selama kebutuhan dan keinginan tersebut belum terpenuhi (Kohler et al.,1976). Motivasi memberikan penjelasan bagaimana manusia melakukan sesuatu tanpa dipaksa. Secara esensial terdapat dua aspek yang memotivasi seseorang untuk bertindak, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan yang ada pada manusia, dan (2) adanya upaya-upaya yang dilakukan untuk memenuhi atau memuaskan kebutuhan tersebut. Implikasinya bahwa membahas tentang kemauan masyarakat untuk berpartisipasi sama dengan membahas motivasi masyarakat untuk berpartisipasi (Leagens dan Loomis, 1971).

(42)

hidup seseorang sangat berpengaruh terhadap berbagai macam kebutuhan tersebut.

Motivasi mempersoalkan bagaimana individu terdorong untuk mau bekerja keras dengan memberikan semua kemampuan dan keterampilannya untuk mewujudkan tujuan hidupnya demikian dikemukakan oleh Hasibuan (1999). Individu yang mempunyai motivasi akan bersedia mencurahkan energi fisik dan mentalnya untuk melakukan pekerjaan. Bila dikaitkan dengan pengelolaan hutan secara lestari maka motivasi petani untuk terlibat dalam pengelolaan hutan merupakan hal yang penting karena dengan adanya motivasi diharapkan setiap petani sekitar hutan mau berpartisipasi dalam arti mau bekerja keras dan antusias untuk mengelola hutan sehingga tercapai produktivitas yang tinggi dengan mengedepankan kelestarian hutan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Thoha (1999) bahwa selain terletak pada kemampuannya, orang bekerja juga bergantung pada keinginannya untuk bekerja atau bergantung pada motivasi dan kekuatan yang dikandung oleh motivasi tersebut. Dorongan atau keinginan tersebut yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan seseorang berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan, dan yang menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut. Hal ini berarti bahwa individu yang sangat termotivasi akan melaksanakan upaya substansial, guna mendukung tujuan-tujuan produksinya. Individu yang tidak termotivasi, hanya memberikan upaya minimum dalam hal bekerja. Konsep motivasi merupakan sebuah konsep penting dalam studi tentang kinerja individual, dengan demikian termasuk di dalammnya kinerja partisipasi dalam pengelolaan hutan kemiri.

(43)

pekerjaan adalah untuk memenuhi kebutuhan individu seperti mengembangkan kreativitas, untuk berprestasi, untuk melibatkan diri, membimbing orang lain dan mengatur organisasi. Motivasi ekstrinsik timbul jika yang mendorong individu untuk bertindak adalah hal-hal yang berasal dari luar individu, seperti: gaji, kondisi lingkungan kerja, pekerjaan, kebijaksanaan/peraturan tempat bekerja.

Sardiman (2000) menjelaskan kata motif (motive) diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai daya penggerak untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Berawal dari kata motif, maka motivasi (motivation) dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif. Motif menjadi aktif pada saat-saat tertentu, terutama bila kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat dirasakan/mendesak. Terdapat dua macam motivasi, yaitu :

1. Motivasi instrinsik

Motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena di dalam setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu.

2. Motivasi ekstrinsik

Motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Lebih lanjut, Sardiman (2000) mengemukakan bahwa terdapat tiga fungsi motivasi terhadap perilaku seseorang yaitu:

1. Mendorong manusia untuk berbuat

Motivasi dianggap sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.

2. Menentukan arah perbuatan

Motivasi dapat mengarahkan perilaku kepada tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3. Menyeleksi perbuatan

(44)

Chung dan Megginson (1981) merumuskan motivasi sebagai perilaku yang mengarah pada tujuan. Motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan, dengan demikian orang yang termotivasi adalah mereka yang mengetahui bahwa apa yang dilakukannya akan membantu dalam pencapaian tujuan mereka. Sejalan dengan pendapat Chung dan Megginson, Handoko (1997) mengartikan motivasi sebagai keadaan dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan. Motivasi yang ada pada seseorang merupakan kekuatan pendorong yang akan mewujudkan suatu perilaku guna mencapai tujuan kepuasan dirinya. Menurut Gomez (1995) motivasi setiap individu akan saling berbeda, sesuai dengan tingkat pendidikan dan kondisi ekonominya. Orang yang semakin terdidik dan semakin independen secara ekonomi, maka sumber motivasinyapun akan berbeda, tidak lagi semata-mata ditentukan oleh sarana motivasi tradisional, seperti formal authorithy dan financial incentives, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kebutuhan akan growthdan achievement.

Dari berbagai pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa kebutuhan dan/atau keingingan berhubungan dengan kekurangan-kekurangan yang dirasakan dan dialami individu pada titik waktu tertentu. Kekurangan-kekurangan tersebut dapat bersifat fisiologi (misalnya sandang, pangan), psikologi (misalnya kebutuhan akan penghargaan diri) atau sosiologi (kebutuhan untuk dapat berinteraksi secara sosial). Kebutuhan dan/atau keinginan dapat menjadi alat untuk mengenergi, atau pemicu-pemicu yang menyebabkan timbulnya reaksi-reaksi perilaku. Kebutuhan dan/atau keinginan akan mendorong orang untuk mau bekerja. Masing-masing kebutuhan dan/atau keinginan tidak sama kekuatan tuntutan pemenuhannya, Tumbuhnya kekuatan itu satu sama lain juga berbeda-beda waktunya. Seluruh kebutuhan dan/atau keinginan tidak timbul dalam waktu yang bersamaan, walaupun terkadang beberapa kebutuhan dan/atau keinginan dapat muncul sekaligus, sehingga orang harus menentukan pilihannya yang mana yang harus dipenuhinya terlebih dahulu.

(45)

1. Takut/terpaksa 2. Ikut-ikutan 3. Kesadaran

Partisipasi yang dilakukan dengan terpaksa atau takut biasanya merupakan akibat dari adanya perintah yang kaku dari pemegang kekuasaan, sehingga masyarakat seakan-akan terpaksa untuk melaksanakan rencana yang telah ditentukan. Partisipasi dengan ikut-ikutan, hanya didorong oleh rasa solidaritas, rasa tidak enak, sungkan yang tinggi di antara sesama masyarakat. Keikutsertaan mereka bukan karena dorongan hati nurani sendiri, tetapi merupakan wujud kebersamaan saja.

Motivasi partisipasi yang ketiga adalah kesadaran, yaitu partisipasi yang timbul karena kehendak dari pribadi anggota anggota masyarakat. Hal ini dilandasi oleh dorongan yang timbul dari hati nurani sendiri. Dalam hal ini, masyarakat menerima pembangunan karena mereka sadar bahwa pembangunan tersebut semata-mata untuk kepentingan mereka juga.

Dari berbagai pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa motivasi petani untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan merupakan refleksi kesadaran dan kemauan atau keinginan yang ada pada diri anggota masyarakat. Keinginan atau kemauan tersebut yang mendorong petani sekitar hutan untuk terlibat aktif dalam kegiatan pengelolaan hutan, dengan kata lain pentingnya motivasi dalam kegiatan pengelolaan hutan adalah karena motivasi merupakan hal yang menyebabkan, menyalurkan, dan mendukung perilaku masyarakat, supaya mau bekerja giat dan antusias dalam mencapai hasil yang optimal demi peningkatan kesejahteraan dan kelestarian hutan, yang meliputi motivasi petani dalam bentuk keinginan untuk meningkatkan pendapatan, motivasi petani dalam bentuk keinginan untuk mendapatkan pengakuan atas kemampuan dalam mengelola hutan kemiri, dan motivasi dalam bentuk keinginan untuk melestarikan hutan.

(46)

keluarganya ingin meningkatkan produksi dalam usaha taninya untuk mendapatkan income yang sebesar-besarnya, mereka ingin hidup sejahtera

Masyarakat sekitar hutan yang kebanyakan petani telah menetap di sekitar hutan dan berinteraksi dengan hutan dalam kurun waktu yang sangat lama sehingga, walaupun dianggap tradisional, memiliki kemampuan yang memadai dalam mengelola hutan, sebagaimana telah terbukti di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek pengelolaan hutan yang berhasil dengan baik dilakukan oleh masyarakat tani yang tinggal di sekitar hutan, antara lain pengelolaan repong damar di Krui Lampung, parak di Koto Malintang Agam Sumatera Barat, dan masih banyak lainnya. Keberadaan kemampuan dalam mengelola hutan menjadi salah satu unsur yang mendasari masyarakat sekitar hutan untuk tetap mengelola hutan yang telah menjadi bagian dari aktivitas hidup mereka.

Suporahardjo (2000) menyatakan di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek atau perilaku positip masyarakat sekitar hutan dalam mengelola hutan yang dilandasi oleh kearifan yang dimiliki, di mana pengelolaan hutan dilakukan secara produktif dan lestari. Pengetahuan dan kearifan yang dimiliki telah mendorong dan mengarahkan mereka untuk selalu berusaha menjaga eksistensi dan kelestarian hutan. Keinginan melestarikan hutan kemiri selain akibat dari pengaruh pengetahuan dan kearifan yang dimiliki, juga disebabkan oleh kebiasaan petani memberikan dan meninggalkan warisan pada keturunannya. Petani seperti ini memiliki keinginan untuk menjaga dan terus melestarikan hutan, sebagaimana dinyatakan oleh Tadjuddin (2000) bahwa di beberapa daerah di Indonesia terdapat praktek pengelolaan hutan yang mengedepankan prinsip kelestarian hutan.

Kemampuan Petani dalam Mengelola Hutan

(47)

Gambar

Gambar 1: Delapan Tangga Partisipasi (Arnstein, 1969)
Tabel 1: Ciri-Ciri Partisipasi Petani yang Optimal dan Belum Optimal.
Tabel 2: Ciri-Ciri Petani yang Mampu dan Belum Mampu dalam Mengelola                   Hutan Kemiri secara Lestari
Tabel 3. Ciri-Ciri Petani yang Termotivasi dan Belum Termotivasi untuk                     Berpartisipasi dalam Mengelola Hutan Kemiri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dideskripsikan di atas dapat diungkapkan bahwa, kegiatan ekstrakurikuler kepramukaan di SMK Negeri 1 Bukateja dapat

Berdasarkan hasil uji t dijelaskan nilai signifikan dari tabel Coefficients disimpulkan bahwa variabel Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (X) berpengaruh terhadap

Hasil uji aktivitas xilanase (Gambar 3) menunjukkan bahwa isolat ESW-D4 mempunyai nilai aktivitas xilanase tertinggi (2.66 U/ml) pada media jerami padi dengan

Hasil uji ANOVA menunjukkan perbedaan jenis dan konsentrasi adsorben memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar asam lemak bebas minyak ikan hasil samping

Esensi pendapat di atas, memiliki kompleksitas permasalahan yang memerlukan perhatian sangat besar dari seorang guru dalam membuat konsep pembelajaran. Maka guru

Dengan adanya fasilitas olahraga di bidang otomotif seperti sirkuit balap bertaraf internasional menjadi nilai tambah, dilihat dari keberadaan negara tetangga kita yang sama

Perancangan dari objek ini mempunyai fungsi untul merancang sebuah sirkuit balap bertaraf Internasional dengan lisensi grade 1 agar dapat digunakan untuk menggelar

Sampel tanah yang digunakan adalah tanah timbunan biasa, terdiri dari enam sampel untuk pengujian CBR metode tumbukan dan delapanbelas sampel untuk pengujian