1
I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai
potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat
pada tahun 2010 terhadap produksi perikanan Indonesia yang mencapai 30 persen
dari total produksi ikan yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 1,5 juta ton1. Produksi
ikan di Jawa barat masih didominasi oleh sektor budidaya air tawar yang
mencapai 620.000 ton sedangkan sisanya dari ikan tangkapan perairan umum
maupun laut. Sentra produksi budidaya ikan air tawar di Jawa barat diantaranya
adalah kota Sukabumi, Garut, Cianjur dan Bogor. Produksi yang dihasilkan kota
Sukabumi untuk sektor budidaya mencapai 3.094 ton, kota Garut mencapai
26.170 ton, kota Cianjur mencapai 68.746 ton, dan kota Bogor mencapai 24.558
ton (Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2008).
Komoditi ikan yang dibudidayakan di Provinsi Jawa Barat ada beberapa
jenis, diantaranya adalah ikan nila, mas, lele, patin, dan gurame. Adapun produksi
budidaya air tawar berdasarkan kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat pada
tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar Berdasarkan Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009
Kota/Kabupaten Produksi (ton)
Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2010 (diolah)
1
2 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap kota yang berada di Jawa Barat
mempunyai keunggulan dalam komoditi tertentu. Kota Tasikmaya, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Purwakarta yang merupakan
sentra produksi ikan nila yang mencapai 1.771 ton sampai 23.831 ton per
tahunnya. Komoditi ikan mas dihasilkan oleh Kabupaten Cianjur dan Kabupaten
Purwakarta, untuk sentra produksi ikan lele yang mencapai 18.313 ton
pertahunnya dihasilkan oleh Kabupaten Bogor. Untuk ikan patin mayoritas
dihasilkan oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Purwakarta. Sedangkan untuk
sentra gurame di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor.
Kota Bogor dan Kabupaten Bogor mempunyai produksi yang cukup merata untuk
setiap komoditi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sangat
mendukung untuk melakukan usaha di bidang perikanan.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah Jawa Barat yang
masyarakatnya cukup aktif dan turun temurun melakukan usaha di bidang
perikanan air tawar. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan produksi
budidaya perikanan air tawar di Bogor dari tahun 2007 sampai 2010 yang
Total 23.578,00 25.021,00 28.692,43 36.007,73 15,42
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)
Jika dilihat pada Tabel 2 , budidaya di kolam air tenang meningkat cukup
signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 sampai 2008 budidaya kolam air
3 sampai 2010 budidaya kolam air tenang mengalami peningkatan sebesar 29,47
persen.
Budidaya kolam air deras mengalami penurunan dari tahun 2007 sampai
2009, walaupun terjadi peningkatan pada tahun 2010, tetapi peningkatan tersebut
tidak signifikan. hal ini disebabkan air sungai yang digunakan untuk budidaya
kolam air deras sudah mulai tercemar sehingga sudah tidak mendukung untuk
budidaya ikan air tawar. Untuk budidaya karamba mempunyai peningkatan yang
lebih kecil dibandingkan dengan jenis budidaya lainnya, pada tahun 2007 sampai
tahun 2008 budidaya karamba mengalami peningkatan hanya sebesar 4 persen,
sedangkan pada tahun 2009 sampai tahun 2010 budidaya karamba mengalami
peningkatan sebesar 8 persen.
Ada beberapa jenis ikan yang dibudidayakan di Kota Bogor, yaitu ikan
lele, mas, gurame,bawal, dan patin. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Bogor, ada komoditi yang mengalami penurunan produksi
dan ada juga yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Adapun
perkembangan produksi ikan konsumsi kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkembangan Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Bogor Tahun
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ikan Lele, Gurame dan Bawal
mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan dengan komoditi
yang lainnya, sedangkan untuk komoditi ikan nilem mengalami penurunan setiap
tahunnya, hingga pada tahun 2010 produksi ikan Nilem sudah tidak
4 adalah ikan patin. Pada tahun 2007 sampai 2008, patin mengalami penurunan
yang cukup signifikan dari 1.020 ton menjadi 571,76 ton pertahunnya, tetapi pada
tahun 2008 sampai 2010, produksi ikan patin mengalami peningkatan sebesar 13,2
persen. Hal ini dikarenakan permintaan ikan patin yang mulai meningkat di pasar
domestik maupun mancanegara2.
Ikan patin mempunyai prospek yang cukup baik untuk saat ini. Hal ini
dilihat dari produksi ikan patin di Jawa Barat pada 2011 diperkirakan naik sebesar
65,56% menjadi 64.900 ton dibandingkan tahun 2010, yaitu 39.200 ton3. Ikan
patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai rasa daging yang
lezat, enak, dan tidak berduri. Hal tersebut yang menyebabkan ikan patin
mempunyai kelebihan dan keunggulan yang khas bila dibandingkan dengan jenis
ikan air tawar lainnya. Ikan patin sebagai sumber protein hewani dengan
kandungan protein yang cukup tinggi dan dinilai lebih aman dari pada ternak jenis
lainnya, karena kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Kandungan kalori ikan
patin sekitar 120 kalori setiap 3,5 ons sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga
kesehatan4. Jenis ikan patin yang cukup dikenal oleh masyarakat terdiri dari
beberapa jenis, yaitu patin jambal, patin siam, dan patin pasupati. Untuk saat ini
patin yang dibudidayakan di Kabupaten Bogor adalah patin siam.
Patin siam (Pangasius hypopthalmus) dari Bangkok (Thailand) masuk ke
Indonesia pada tahun 1972. Alasan diintroduksikannya ikan patin siam ke
Indonesia karena patin siam dianggap memiliki prospek yang baik karena
pertumbuhannya tergolong pesat, mudah beradaptasi dengan lingkungan,
memiliki respon yang positif terhadap pemberian pakan tambahan, dan fekunditas
telurnya tinggi, dapat mencapai ukuran individu yang sangat besar serta dapat
dipelihara secara intensif (Susanto, 2009). Berbeda dengan patin siam, patin
jambal mempunyai fekunditas telur yang rendah serta pertumbuhannya lambat
sehingga pembudidaya kurang tertarik untuk membudidayakan jenis patin ini.
Jenis ikan patin yang terakhir adalah pasupati, ikan ini merupakan persilangan
antara pati jambal asli Indonesia dengan patin siam. Patin pasupati memiliki
2
www.bisnisjabar.com (diakses tanggal 30 april 2011)
3
www.bisnisjabar.produksi ikan patin jabar diprediksi naik 65,56 %( diakses tanggal 30 April 2011)
4
5 beberapa keunggulan diantaranya kualitas benihnya cenderung lebih baik
dibandingkan induknya, kualitas benih mudah dikontrol, kadar lemak yang
rendah, dan pertumbuhan relatif lebih cepat. Tetapi untuk sekarang, jenis patin ini
kurang diminati oleh para pembudidaya karena harga induk yang relatif mahal
dikarenakan jumlahnya yang masih terbatas (Susanto, 2009)
Meningkatnya permintaan ikan konsumsi, khususnya ikan patin pada
tahun 2008 sampai 2010, tentunya berbanding lurus dengan kegiatan pembenihan
itu tersendiri. Kegiatan pembenihan mempunyai peran yang cukup besar dalam
sistem budidaya patin siam. Oleh karena itu salah satu tantangan besar dalam
kegiatan budidaya patin siam adalah bagaimana menghasilkan benih yang
meningkat setiap tahunnya agar kebutuhan konsumsi ikan patin siam dapat
terpenuhi. Apalagi dari tahun 2010 sampai 2011, Provinsi Kalimantan Selatan,
Jawa Timur, Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan
Timur, dan Jawa Tengah mengembangkan ikan patin dengan benih yang berasal
dari daerah- daerah Jawa Barat seperti Bandung dan Bogor5. Berdasarkan data
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, pada tahun 2008 sampai 2009
benih patin yang dihasilkan mengalami penurunan yang cukup signifikan, hal ini
dikarenakan banyak pembudidaya patin yang mengalami kerugian sehingga harus
menutup usahanya. Pada tahun 2009 sampai 2010 terjadi peningkatan produksi
benih patin siam sebesar 21,58 persen, hal tersebut dikarenakan para pembudidaya
patin sudah mengetahui cara untuk melakukan pembenihan patin secara lebih baik
dari pada tahun sebelumnya. Adapun perkembangan benih dari tahun 2007-2010
di Kabupaten Bogor, disajikan pada Tabel 4.
5
6 Tabel 4. Perkembangan Produksi Benih Ikan Tawar di Kabupaten Bogor Tahun
2007-2010
Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)
Kegiatan pembenihan ikan patin siam di Kabupaten Bogor dilakukan
secara perseorangan maupun dalam kelompok. Salah satu daerah pembenihan
ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Dramaga. Petani pembenihan di Dramaga
salah satunya yaitu Darmaga Fish Culture (DFC). Alasan utama DFC memilih
untuk fokus pada sektor pembenihan ikan patin siam dikarenakan perputaran uang
pada sektor tersebut lebih cepat, sehingga kebutuhan modal untuk pelaksanaan
kegiatan produksi selanjutnya relatif lebih dapat direncanakan serta profit yang dihasilkan relatif besar pada sektor pembenihan.
Permintaan benih patin siam yang banyak dari luar Jawa, khususnya dari
daerah Sumatera dan Kalimantan adalah salah satu alasan yang menyebabkan
DFC masih terus bertahan sampai saat ini. Dalam menjalankan usaha tentunya
tidak dapat dipisahkan dari sebuah risiko yang jenis dan karakteristiknya berbeda
antara setiap kegiatan. Adapun risiko yang mempunyai pengaruh paling besar
dalam pembenihan ikan patin siam di Darmaga Fish Culture adalah risiko
produksi. Hal tersebut dikarenakan pembenihan merupakan tahap yang rentan dan
mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi dibandingkan dengan usaha
7 tersebut, dikarenakan apabila terus dibiarkan akan menimbulkan risiko yang lebih
besar lagi serta akan mengancam keberlangsungan usaha tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Darmaga Fish Culture merupakan salah satu usaha yang bergerak dibidang
pembenihan ikan patin siam. DFC didirikan pada tahun 2000, komoditi pertama
yang diusahakan adalah penjualan ikan konsumsi. Pada tahun 2004, DFC
mengganti komoditi usahanya menjadi ikan hias, hal ini disebabkan karena
permintaan ikan hias lebih prospektif dibandingkan dengan penjualan ikan
konsumsi pada saat itu. Selanjutnya pada tahun 2008, DFC mengganti
komoditinya kembali dengan pembenihan ikan patin. Hal tersebut dikarenakan
pemilik DFC melihat bahwa potensi ikan patin sangat bagus untuk beberapa tahun
ke depan.
Pada tahun 2008 sampai 2011, benih patin yang dihasilkan oleh DFC
selalu berfluktuatif6. Benih patin yang dihasilkan sekitar 50.000 sampai 350.000
ribu setiap periodenya, dengan ukuran ¾ inchi. Hal tersebut tidak berbanding
positif dengan adanya teknologi modern serta sarana produksi yang sangat
memadai di Darmaga Fish Culture, sedangkan untuk kondisi harga benih patin
yang di hasilkan DFC terbilang stabil, dimana pada tahun 2008 sampai sekarang,
harga jual benih patin berkisar antara 60-70 rupiah per ekornya. Pemasaran ikan
patin DFC sebagian besar ke daerah luar Pulau Jawa, seperti Pulau Sumatera dan
Pulau Kalimantan. Konsumen patin DFC berharap pasokan patin yang disalurkan
dapat kontinu dari sisi kuantitas. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui
bahwa produksi merupakan risiko yang paling utama yang dihadapi oleh DFC,
karena untuk harga tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan
usaha di DFC serta untuk pasar patin DFC tidak menjadi kendala karena berapa
pun jumlah benih yang dihasilkan oleh DFC akan diserap oleh pasar. Beberapa
faktor yang diindikasikan sebagai sumber risiko produksi diantaranya adalah
perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya dalam melakukan
seleksi induk, musim kemarau, dan penyakit. Faktor-faktor tersebut dapat memicu
6
8 kematian benih, kegagalan telur menetas, dan penurunan produktivitas induk patin
siam dalam menghasilkan telur.
Pada musim kemarau induk patin akan sulit untuk memijah. Hal ini
menyebabkan telur yang dihasilkan induk patin akan sedikit, tetapi apabila telur
telah menetas menjadi larva maka tingkat kematian larva sampai ukuran ¾ inchi
akan relatif kecil, yaitu sekitar 20-30%, sedangkan pada musim hujan induk patin
akan menghasilkan telur yang lebih banyak daripada musim kemarau, tetapi pada
musim hujan tingkat kematian larva sampai ukuran panen yaitu ukuran ¾ inchi
relatif lebih besar, yaitu sekitar 40-50%. Pada peralihan musim hujan ke musim
kemarau atau lebih dikenal dengan musim pancaroba, kematian larva sampai
benih ukuran siap panen sangat tinggi, dikarenakan perubahan suhu air yang
ekstrim yang membuat benih patin tidak mampu untuk menyesuaikan. Salah satu
indikasi adanya risiko produksi dalam usaha pembenihan ikan patin di DFC
adalah produktivitas jumlah benih ikan patin yang dihasilkan. Adapun jumlah
induk yang dipijahkan, benih yang dihasilkan, dan produktivitas di DFC dari
Januari 2010-April 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jumlah Induk, Benih yang Dihasilkan, dan Produktivitas Patin Bulan Januari 2010-April 2011 di Darmaga Fish Culture
Bulan
9 Pada Tabel 5 terlihat bahwa setiap bulannya produktivitas benih yang
dihasilkan oleh DFC bervariasi, dari bulan Januari 2010-April 2011 produktivitas
benih yang dihasilkan 3.333 ekor/kg sampai 23.333 ekor/kg setiap bulannya. DFC
memijahkan sebanyak 15 kg induk setiap bulannya. Bobot induk yang ada di DFC
bervariasi beratnya yaitu 2-5 kg, tetapi rata-rata induk yang ada di DFC
mempunyai berat 3 kg. Jumlah induk yang dipijahkan sebanyak 5 ekor dengan
asumsi seluruh berat induk patin mempunyai berat 3 kg. Hal ini dikarenakan berat
induk 2 kg, 4 kg dan 5 kg hanya sedikit jumlahnya sekitar 15 ekor dari jumlah
induk yang ada di DFC, yaitu 70 ekor. Sehingga setiap ekor induk yang
dipijahkan di DFC dengan berat 3 kg memberikan hasil yang berbeda untuk
menghasilkan benih patin.
Pada Bulan Oktober terlihat produktivitas benih patin sangat rendah
dibandingkan dengan bulan lainnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada
bulan tersebut terjadi serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas Sp yang menyebabkan kematian benih patin dalam jumlah banyak. Sumber-sumber risiko produksi berdasarkan keterangan yang diperoleh dari proses
identifikasi awal pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture tentu
belum dapat dipastikan akan menggambarkan keseluruhan faktor-faktor yang
menjadi sumber risiko produksi. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan
penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi
lainnya yang benar-benar terdapat di Darmaga Fish Culture serta dapat
menghasilkan alternatif strategi dalam mengendalikan sumber-sumber yang
menyebabkan risiko.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan penelitian, yaitu :
1. Sumber-sumber risiko produksi apa saja yang terdapat pada usaha
pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture?
2. Bagaimana probabilitas dan dampak risiko dari sumber-sumber risiko
produksi pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture?
3. Bagaimana strategi penanganan risiko yang dapat dilakukan oleh Darmaga
Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam
10 1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi yang terdapat pada usaha
pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture.
2. Menganalisis probabilitas dan dampak risiko yang disebabkan oleh
sumber-sumber risiko produksi pada kegiatan pembenihan ikan patin di
Darmaga Fish Culture.
3. Menganalisis strategi penanganan yang dapat dilakukan oleh Darmaga
Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam
kegiatan pembenihan ikan patin.
1.4. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
kegunaan penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan bagi tempat usaha budidaya untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam meminimalisasi risiko yang dihadapi.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang membutuhkan serta sebagai
literature bagi penelitian selanjutnya.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian
Produk yang dikaji pada penelitian ini adalah benih ikan patin yang
dibudidayakan di Darmaga Fish Culture dan difokuskan mengenai risiko produksi
11
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Deskripsi Ikan Patin Siam
Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang
berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan ini bukan
ikan lokal tetapi berasal dari Thailand. Pertama kali didatangkan ke Indonesia
pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Ikan patin
dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang
tinggi dan kandungan protein hewani yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan
ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk
membudidayakannya. Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan patin memiliki
beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar. Pada
pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40
cm. ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan
yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti mas, tawes, dan
lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung dapat digunakan
untuk memelihara ikan patin (Susanto, 2009).
Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan patin. Jenis yang banyak
ditangkap dan berukuran besar serta sudah banyak diteliti adalah Pangasius pangasius atau patin jambal. Ada pula jenis patin yang lain, yaitu patin siam (Pangasius hyphothalmus) dan ikan patin hibrida dengan nama pasupati (patin
super harapan pertiwi) yang merupakan persilangan antara patin jambal asli
Indonesia dengan patin yang diintroduksi tahun 1972. Kerabat patin di Indonesia
cukup banyak, diantaranya adalah ikan juaro (Pangasius polyuranodo), ikan rios,
riu, lancang (Pangasius macronema), ikan pedado (Pangasius nasutus), ikan
lawang (Pangasius nieuwrnhuisii). Ada beberapa perbedaan antara jenis patin
jambal, patin siam dan patin pasupati, diantaranya adalah patin jambal memiliki
pertumbuhan yang lambat, fekunditas telurnya rendah, warna dagingnya putih,
serta tidak terlalu popular di masyarakat. Sedangkan patin siam memiliki
pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya merah,
popular dikalangan masyarakat. Untuk pasupati memiliki pertumbuhan yang
cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya putih, dan sedikit popular di
12 Untuk saat ini, jenis patin yang berkembang adalah Pangasius hyphothalmus atau patin siam. Ikan patin siam merupakan salah satu jenis ikan yang cukup populer di masyarakat karena sudah cukup lama di Indonesia dan
memiliki berbagai kelebihan dibandingkan ikan jenis lainnya, diantaranya mudah
beradaptasi dengan lingkungan, memiliki respon positif terhadap pemberian pakan
tambahan, fekunditas telurnya tinggi, dan beratnya cukup menjanjikan
menyebabkan patin siam termasuk ikan yang mudah diterima masyarakat dan
sudah menyebar hampir ke seluruh pelosok tanah air7. Akan tetapi, dengan adanya
jenis-jenis ikan patin tersebut akan memberikan alternative yang beragam bagi
pembudidaya untuk memilih jenis ikan patin yang dianggap paling sesuai dan
yang berhasil memanipulasi lingkungan untuk merangsang patin agar mau
memijah secara alami. Ikan patin siam memiliki kebiasaan memijah sekali
setahun. Pemijahan alami biasanya terjadi pada musim hujan (bulan
November-Maret). Musim pemijahan ini juga dipengaruhi oleh iklim sesuatu daerah sehingga
masing-masing daerah memiliki masa atau waktu pemijahan yang berbeda-beda.
Untuk memijahkan induk patin siam secara buatan, bisa dilakukan dengan
dua macam perangsang, yaitu penyuntikan dengan ovaprim atau dengan
perangsang alami dari kelenjar hipofisa. Tetapi umumnya, pembudidaya lebih
suka memijahkan patin siam dengan menggunakan obat perangsang ovaprim
karena lebih praktis dan efisien. Induk yang akan disuntik hormon umumnya
harus di seleksi dan melalui tahap pengecekan terlebih dahulu. Pengecekan induk
betina dilakukan dengan cara kanulasi, bila diameter telur sudah mencapai 1,72
mm, induk siap dipijahkan. Jika diameter kurang dari 1,72 mm penyuntikan bisa
dilakukan dengan menggunakan hormon HCG dengan dosis 500 IU/kg dan
diamati selama 1 x 48 jam, untuk merangsang perkembangan diameter.
7
13 Pengamatan inti telur dengan cara merendam telur dalam larutan sera (alkohol
99,5%: Formaldehyde 40%:Asam Asetat = 6:3:1). Bila inti telur tersebut sudah
menepi, berarti induk sudah siap dipijahkan. Pada induk jantan, seleksi dilakukan
dengan melihat alat kelamin yang agak menonjol dan bila diurut ke arah genital
akan mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Perbandingan induk betina dan
jantan adalah 1: 2.
Induk betina disuntik dua kali ovaprim dengan selang waktu 9 jam.
Penyuntikan I sebanyak 1/3 dosis total, sedangkan penyuntikan II sebanyak 2/3
nya. Sedangkan Pengambilan sperma dilakukan dengan melakukan pengurutan ke
arah lubang genital, dari beberapa induk jantan kemudian sperma disedot dengan
spuit 25 cc yang telah diisi dengan larutan NaCl 0,9% dengan perbandingan 4 cc
Na Cl dan 1 cc sperma.
Selanjutnya telur yang keluar ditampung dalam wadah berupa baskom
kecil. Pembuahan dimulai dengan mencampurkan telur dan sperma. Campuran
tersebut diaduk secara perlahan-lahan menggunakan bulu ayam selama lebih
kurang 3 menit. Setelah itu ditambahkan air bersih ke dalam campuran telur dan
sperma, terus diaduk perlahan menggunakan bulu ayam selama 3 menit kemudian
dicuci dengan air bersih. Pada proses pengeluaran telur dan sperma, induk betina
dan jantan dibius untuk memudahkan penanganan dan mengurangi stres. Inkubasi
telur menggunakan corong penetasan. Sebelum telur dimasukkan terlebih dahulu
dilakukan pencucian menggunakan larutan tanah merah guna menghilangkan daya
rekat telur. Larutan tanah merah dicampurkan ke dalam telur yang telah dibuahi,
diaduk perlahan-lahan sampai daya rekat hilang. Terakhir telur dicuci dengan air
bersih, kemudian dimasukkan kedalam corong penetasan dengan kepadatan
500-750 cc/corong suhu 280C- 290C. Telur akan menetas setelah 28 – 36 jam.
Panen Larva dilakukan setelah telur dianggap selesai menetas paling
lambat 6 jam setelah menetas (sebelum telur yang tidak menetas hancur dan
membusuk). Panen dilakukan dengan menyerok larva menggunakan skopnet
halus. Larva patin siam yang baru menetas mempunyai panjang 0,4 cm dan berat
rata-rata 2,3 mg, berwarna hitam dan bergerak sangat aktif yaitu berenang
mendekati aerasi dan ke permukaan air. Larva dipelihara di akuarium/fiber glass
14 Artemia sp dengan frekuensi pemberian 5 kali/hari yaitu pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00 dan 23.00 WIB . Setelah 6 hari kepadatan diturunkan menjadi 5
ekor/liter dan pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex sp hidup. Agar kualitas
air tetap baik maka dilakukan penyiponan kotoran setiap hari sebelum dilakukan
pemberian pakan pertama pada pagi hari. Penggantian air dilakukan pada hari ke
4, 6, 8, 10, 12, 14 dan 16. (Susanto, 2009).
2.3. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian yang
dilakukan, diantaranya adalah mengenai sumber-sumber risiko agribisnis, metode
analisis risiko dan strategi pengelolaan risiko.
2.3.1. Sumber-Sumber Risiko Agribisnis
Sumber-sumber penyebab risiko pada usaha perikanan sebagian besar
disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan suhu, hama dan penyakit,
penggunaan input serta kesalahan teknis (human error) dari tenaga kerja. Pada
umumnya risiko tersebut dapat diminimalisasi dengan menggunakan berbagai
cara seperti penggunaan teknologi terbaru, penanganan yang intensif, dan
pengadaan input yang berkualitas.
Penelitian Sahar (2010) menemukan bahwa sumber-sumber risiko pada
pembenihan larva ikan bawal air tawar di Ben’s Farm Bogor adalah risiko
produksi dan risiko pasar. Risiko produksi dalam penelitian Sahar (2010) terdapat
beberapa sumber risiko diantaranya adalah penyakit yang menyerang induk dan
larva ikan bawal air tawar, faktor cuaca, dan faktor manusia serta kerusakan
peralatan teknis di perusahaan. Sedangkan untuk risiko pasar terdapat beberapa
sumber risiko yang sangat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan,
diantaranya fluktuasi harga input dan fluktuasi harga benih. Pada penelitian
tersebut, peneliti menggunakan peta risiko untuk mengklasifikasi sumber-sumber
risiko yang ada, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam mencari
alternatif penanganan risiko yang harus dilakukan oleh perusahaan.
Dalam peta risiko sumber risiko yang berada pada kuadran satu dan
kuadran empat tidak teridentifikasi sumber risikonya. Untuk sumber risiko yang
berada di kuadran dua adalah risiko produksi yaitu cuaca dan risiko harga yaitu
15 adalah risiko produksi, yaitu penyakit yang menyerang indukan, penyakit white spot yang menyerang larva,kerusakan peralatan teknis dan faktor manusia, sedangkan untuk sumber risiko pasar di kuadran tiga adalah fluktuasi harga input.
Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitan Lestari (2009), sumber-sumber risiko
dalam usaha pembenihan udang vannamei dengan mengambil studi kasus di PT
Suri Tani Pemuka Serang, Banten. Pada penelitiaan tersebut terdapat sumber
risiko pasar yang dihadapi, yaitu fluktuasi harga input. Untuk sumber Risiko
operasional diantaranya adalah pengadaan induk udang vannamei yang
didatangkan dari Hawai, Amerika Serikat dengan tingkat risiko sekitar tiga
persen. Hal ini disebabkan induk yang didatangkan oleh perusahaan harus
melewati proses karantina terlebih dahulu sehingga meminimumkan risiko. Selain
itu sering ditemukan kasus induk udang vannamei yang mengalami stress
dikarenakan proses distribusi yang memakan waktu dan juga adanya perbedaan
suhu yang relatif besar. Adapun sumber operasional lainnya adalah faktor
penyakit, cuaca, mortalitas dan kerusakan pada peralatan teknis.
Berbeda dengan Siregar (2010) dan Silaban (2011) dalam penelitiannya
tentang analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo pada Family Jaya 1 Kota
Depok dan analisis risiko produksi ikan hias pada PT Taufan Fish Farm di Kota
Bogor, sumber-sumber risiko hanya terdapat dalam risiko produksi. Sumber risiko
tersebut diantaranya adalah kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca,
perubahan suhu air, kualitas pakan, hama dan penyakit. Sedangkan untuk sumber
risiko pasar hampir tidak ada pada perusahaan mereka, hal tersebut dilihat dari
harga benih dan harga input yang cenderung stabil setiap tahunnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh variabel-variabel yang menjadi
sumber risiko pasar yaitu fluktuasi harga pakan, fluktuasi harga benih, dan
fluktuasi harga induk. Sedangkan untuk sumber risiko produksi, yaitu cuaca, hama
dan penyakit, kerusakan teknis, kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca,
perubahan suhu air, dan kualitas pakan. Variabel-variabel tersebut dapat
digunakan sebagai dasar untuk menelusuri dan memeriksa hal-hal yang berpotensi
16 2.3.2. Metode Analisis Risiko
Pengukuran risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis
seperti standard deviation, variance, dan coefficient variation. Pada penelitian Sahar (2010) tentang manajemen risiko pembenihan larva ikan bawal
menggunakan analisis deskriptif untuk menentukan sumber-sumber risiko yang
ada dalam perusahaan. Untuk menentukan nilai risiko Sahar (2010) menggunakan
alat analisis coefficient variation, analisis Z-score dan Value at Risk (VaR). Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitian Lestari (2009) tentang manajemen risiko
dalam usaha pembenihan udang vannamei dan Siregar (2010) tentang analisis
risiko produksi pembenihan lele dumbo. Lestari (2009) dan Siregar (2010)
menggunakan alat analisis deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga dalam penelitiannya.
Metode nilai Z-Score ini untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
kerugian atau risiko akibat hasil yang diperoleh menyimpang dari hasil standar
sedangkan alat analisis Value at Risk (VaR) untuk menganalisis dampak terjadinya risiko pada usaha yang sedang diteliti. VaR adalah kerugian terbesar
dalam rentang waktu atau periode yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan
tertentu. Konsep VaR berdiri atas data-data historis sebelumnya. Pengukuran
dampak dilakukan untuk mengukur dampak dari risiko pada kegiatan produksi
dan penerimaan. Penggunaan alat analisis ini tentunya bertujuan untuk
memperkaya kajian dari penelitian yang dilakukan tidak hanya sekedar
menghitung besarnya probabilitas terjadinya risiko pada suatu usaha, tetapi juga
mengukur dampak yang ditimbulkan risiko tersebut bagi perusahaan.
Berbeda dengan penelitian Silaban (2011) tentang analisis risiko produksi
ikan hias pada PT Taufan Fish Farm yang hanya menggunakan variance, standard
deviation, dan coefficient variation. Silaban (2011) juga mencoba melihat pengaruh diversifikasi (portofolio) untuk mengendalikan risiko dalam perusahaan
yang dikajinya.
Berdasarkan hasil tinjauan terhadap penelitian terdahulu mengenai metode
analisis, terlihat bahwa metode analisis yang ada tidak lagi sekedar digunakan
untuk mengukur besaran risiko, tetapi juga digunakan untuk mengukur peluang
17 dijalankannya. Terdapat persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian
terdahulu. Metode analisis risiko yang dipergunakan pada penelitian Lestari
(2009), Siregar (2010), dan Sahar (2010) dengan menggunakan alat analisis
deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga digunakan dalam penelitian ini.
2.3.3. Strategi Penanganan Risiko
Strategi penanganan risiko dalam pertanian ada dua (Kountur, 2008), yaitu
strategi preventif dan mitigasi. Menurut Lestari (2009), Sahar (2010) dan Siregar
(2010) pada penelitiannya tentang manajemen risiko dalam usaha pembenihan
udang vannamei dan analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo strategi
penanganan risiko yang tepat adalah strategi preventif dan strategi mitigasi.
Strategi preventif digunakan untuk mencegah kematian benih udang vannamei
yang disebabkan oleh cuaca dan kerusakan peralatan teknis. Adapun strategi
preventif yang digunakan oleh Lestari diantaranya adalah persiapan bak
pemeliharaan, pemeliharaan induk, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air,
pengelolaan pakan serta pelatihan sumber daya manusia. Strategi mitigasi
digunakan oleh Lestari untuk mengurangi kematian benih yang disebabkan
penyakit serta induk udang yang stress karena baru didatangkan dari Hawai.
Adapun strategi mitigasi yang digunakan oleh Lestari adalah kegiatan
pengendalian penyakit dan pengadaan dan perlakuan induk yang tepat. Berbeda
strategi dengan penelitian Siregar (2010), strategi preventif yang dilakukan oleh
Siregar, yaitu pengendalian perubahan suhu yang ekstrim dan pengendalian
serangan hama. Untuk strategi mitigasi yang dilakukan adalah mengatasi musim
kemarau yang menyebabkan penurunan produksi telur yang dihasilkan.
Berbeda dengan Silaban (2011) dalam penelitiannya, bahwa strategi
preventif tidak efektif digunakan dalam mengelola risiko. Pada penelitian Silaban
(2010) tentang analisis risiko produksi ikan hias yang hanya menggunakan
strategi mitigasi saja. Strategi mistigasi yang dilakukan Silaban (2011) adalah
dengan menggunakan diversifikasi (portofolio) pada usaha yang ada. Adanya
diversifikasi akan dapat meminimisasi risiko tetapi tidak dapat dihilangkan
seluruhnya menjadi nol. Alternatif strategi yang disarankan oleh Silaban adalah
18 Hal tersebut berfungsi apabila salah satu kegiatan pembenihan satu jenis ikan hias
gagal, dapat ditutupi dengan kegiatan pembenihan ikan hias lainnya.
Pemetaan risiko adalah proses yang harus dilakukan sebelum dapat
menangani risiko sehingga menjadi bagian yang penting dalam penelitian
mengenai risiko. Peta risiko menggambarkan tentang kemungkinan terjadinya dan
dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu risiko. Berdasarkan hasil pemetaan
risiko tersebut, maka selanjutnya perusahaan menetapkan strategi penanganan
risiko yang tepat. Strategi penanganan risiko secara garis besar terbagi atas dua,
yaitu penghindaran risiko dan mitigasi risiko. (Lestari, 2009; Siregar, 2010)
menggunaan metode tersebut untuk menetapkan strategi yang tepat untuk
menangani risiko yang dihadapi oleh perusahaan yang menjadi objek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terlihat adanya perbedaan strategi
penanganan risiko antara penelitian Siregar (2010) dan Silaban (2011). Strategi
preventif dan strategi mitigasi dijadikan alternatif strategi oleh Siregar. Tetapi
menurut Silaban (2010) alternatif strategi preventif kurang efektif bila dilakukan
sehingga alternatif yang paling tepat adalah strategi mitigasi saja. Perbedaan
tersebut dikarenakan kondisi tempat yang berbeda sehingga alternatif strategi
yang diberikan juga tentunya akan berbeda. Tetapi dengan hasil penelitian
terdahulu akan memberikan landasan terhadap penelitian ini dalam
mengeksplorasi keadaan dilokasi penelitian.
19
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Definisi dan Konsep Risiko
Kata risiko banyak digunakan dalam berbagai pengertian dan sudah biasa
dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Dalam kegiatan
usaha, pengertian risiko yang dimaksud berbeda dengan risiko dalam kehidupan
sehari-hari. Risiko dalam bidang usaha memiliki berbagai kejadian yang
kompleks dengan pertimbangan variabel yang berpengaruh terhadap keputusan
bagi kelangsungan suatu usaha.
Definisi risiko (risk) menurut Robinson dan Barry (1987) adalah peluang
terjadinya suatu kejadian (merugikan) yang dapat diukur oleh pengambil
keputusan. Pada umumnya peluang pada suatu kejadian dapat ditentukan oleh
pembuat keputusan berdasarkan pengalaman dalam mengelola suatu usaha.
Sementara itu, menurut Darmawi (2005), risiko dihubungkan dengan
kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian ) yang tidak diinginkan atau tidak
terduga. Penggunaan kata “kemungkinan” tersebut sudah menunjukan adanya
ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan
tumbuhnya risiko, sedangkan kondisi yang tidak pasti tersebut timbul karena
berbagai hal, antara lain:
1. Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu
berakhir, makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.
2. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.
3. Keterbatasan pengetahuan atau keterampilan mengambil keputusan.
Risiko sangat erat kaitannya dengan ketidakpastian, tetapi kedua hal
tersebut memiliki makna yang berbeda. Ketidakpastian (uncertainty) menurut
Robinson dan Barry (1987) adalah peluang suatu kejadian yang tidak dapat diukur
oleh pengambilan keputusan. Adanya ketidakpastian dapat menimbulkan risiko.
Menurut Kountur (2008), ada tiga unsur penting dari suatu kejadian yang
dianggap sebagai risiko, yaitu : (1) Merupakan suatu kejadian. (2) kejadian
tersebut masih merupakan kemungkinan, jadi bisa terjadi dan bisa tidak. (3) Jika
20 3.1.2. Klasifikasi Risiko
Menurut Harword et al (1999) terdapat beberapa sumber risiko yang dapat
dihadapi oleh petani,yaitu :
1. Risiko Produksi
Sumber risiko yang berasal dari risiko produksi diantaranya adalah gagal
panen,rendahnya produktivitas, kerusakan barang yang ditimbulkan oleh
serangan hama dan penyakit, perbedaan iklim, kesalahan sumberdaya manusia
dan lain-lain.
2. Risiko Pasar atau Harga
Risiko yang ditimbulkan oleh pasar diantaranya adalah barang tidak dapat
dijual yang diakibatkan ketidakpastian mutu, permintaan rendah,
ketidakpastian harga output, inflasi, daya beli masyarakat, persaingan dan
lain-lain. Sementara itu, risiko yang ditimbulkan oleh harga karena inflasi.
3. Risiko Kelembagaan
Risiko yang ditimbulkan dari kelembagaan antara lain adanya aturan
tertentu yang membuat anggota suatu organisasi menjadi kesulitan untuk
memasarkan ataupun meingkatkan hasil produksinya.
4. Risiko Kebijakan
Risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan antara lain adanya suatu kebijakan
tertentu yang dapat menghambat kemajuan suatu usaha, misalnya kebijakan
tarif ekspor.
5. Risiko Finansial
Risiko yang ditimbulkan oleh risiko finansial antara lain adalah adanya
piutang tak tertagih,likuiditas yang rendah sehingga perputaran usaha
terhambat, perputaran barang rendah, laba yang menurun karena krisis
ekonomi dan lain-lain.
Berdasarkan beberapa klasifikasi sumber risiko menurut Harword et al (1999), maka sumber risiko yang secara umum dihadapi oleh Darmaga Fish
Culture adalah risiko produksi. Risiko produksi yang dihadapi diantaranya
21 Risiko juga dapat diklasifikasikan dari sudut pandang penyebab timbulnya
risiko, akibat yang ditimbulkannya, aktivitas yang dilakukan, dan sudut pandang
kejadian yang terjadi (Kountur, 2008) :
1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebabnya
Risiko jika diklasifikasikan dalam sudut pandang penyebab kejadian dapat
dibedakan ke dalam risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan
disebabkan oleh faktor-faktor keuanagan seperti perubahan harga, tingkat bunga
dan mata uang asing, sedangkan risiko operasional merupakan risiko yang
disebabkan oleh faktor-faktor non keuangan seperti manusia,teknologi dan alam.
2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat
Risiko dari sudut pandang akibat terbagi atas dua, yaitu risiko murni dan
risiko spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang akibat yang ditimbulkannya
hanya berupa sesuatu yang merugikan dan tidak memungkinkan adanya
keuntungan, sedangkan risiko spekulatif, yaitu risiko yang memungkinkan untuk
menimbulkan kerugian atau menimbulkan suatu keuntungan.
3. Risiko dari Sudut Pandang Aktivitas
Aktivitas dapat menimbulkan berbagai macam risiko, misalnya aktivitas
pemberian kredit oleh bank yang risikonya dikenal dengan risiko kredit.
Banyaknya risiko dari sudut pandang penyebab adalah sebanyak jumlah aktivitas
yang ada.
4. Risiko dari Sudut Pandang Kejadian
Risiko dari sudut pandang kejadian menyatakan suatu risiko berdasarkan
kejadiannya. Misalnya jika terjadi kebakaran, maka risiko yang terjadi adalah
risiko kebakaran. Perlu diketahui bahwa dalam suatu aktivitas pada umumnya
terdapat beberapa kejadian, sehingga kejadian adalah salah satu bagian dari
aktivitas.
3.1.3. Manajemen Risiko
Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah yang
berfungsi untuk membantu perusahaan dalam memahami dan mengatur
ketidakpastian atau risiko yang mungkin timbul selama proses usaha (Pressman
2001). Manajemen risiko berfungsi untuk mengenali risiko yang sering muncul,
22 risiko dan menyiapkan rencana penanggulangan dan respon terhadap risiko.
Sementara itu, definisi manajemen risiko menurut Darmawi (2005) adalah suatu
usaha untuk mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko pada setiap
kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektivitas dan efisiensi.
Manajemen risiko perusahaan adalah cara bagaimana menangani semua
risiko yang ada dalam perusahaan dalam usaha mencapai tujuan. Penanganan
risiko dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari manajemen (Kountur, 2008).
Sasaran utama dari manajemen risiko perusahaan adalah untuk menghindari
risiko. Manajemen risiko merupakan suatu proses dan struktur yang diarahkan
untuk merealisasikan peluang potensial sekaligus mengelola dampak yang
merugikan.
Pentingnya manajemen risiko diantaranya adalah untuk menerapkan tata
kelola usaha yang baik, menghadapi kondisi lingkungan usaha yang cepat
berubah, mengukur risiko usaha, pengelolaan risiko yang sistematis serta untuk
memaksimumkan laba. Konsep manajemen risiko yang penting untuk penilaian
suatu risiko diantaranya tingkat maksimum kerusakan yang akan dialami
perusahaan jika terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan risiko atau yang disebut
dengan eksposur, besarnya kemungkinan suatu peristiwa yang berisiko, besarnya
kerusakan yang akan dialami oleh perusahaan, waktu yang dibutuhkan untuk
terekspos dalam risiko (Lam, 2007).
Proses manajemen risiko dimulai dengan mengidentifikasi sumber risiko
krusial apa saja yang terjadi diperusahaan. Sumber risiko ini dapat terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu risiko lingkungan,risiko proses, dan risiko informasi. Tahap ini
akan menghasilkan output berupa daftar risiko yang kemudian akan dilakukan
pengukuran risiko. Pengukuran risiko ini terdiri dari tahap pengukuran dampak
dan kemungkinan terjadinya risiko yang kemudian akan menunjukan status risiko
dalam perusahaan. Pengukuran status risiko ini akan dibantu dengan pemetaan
risiko yang akan menunjukan posisi risiko. Posisi risiko ini yang nantinya akan
membantu membentuk perumusan manajemen risiko yang tepat untuk
pengelolaan risiko yang terjadi (Kountur, 2008).
Menurut Kountur (2008), ada begitu banyak risiko dan tidak mungkin kita
23 sebanyak-banyaknya, maka kita akan kehabisan waktu, energi, dan biaya. Oleh
karena itu, dapat digunakan aplikasi dari hukum pareto pada risiko, yaitu bahwa
80 persen kerugian perusahaan disebabkan oleh hanya 20 persen risiko yang
krusial. Jika kita dapat menangani 20 persen risiko krusial tersebut, maka kita
sudah dapat menghindari 80 persen kerugian dan itu merupakan jumlah yang
sangat besar. Namun jika salah menangani risiko, dimana yang ditangani justru
bukan risiko yang krusial, tetapi justru yang tidak penting bukan tidak mungkin
kita menangani 80 persen risiko yang sebenarnya hanya memberikan kontribusi
20 persen saja, sehingga sangat penting untuk dapat mengetahui mana
risiko-risiko yang krusial. Jadi tidak semua risiko-risiko perlu untuk diidentifikasi, tetapi cukup
pada risiko-risiko yang krusial.
3.1.4. Pengukuran Risiko
Menurut Darmawi (2005), sesudah risiko diidentifikasi, maka selanjutnya
risiko itu harus diukur untuk menentukan derajat kepentingannya dan untuk
memperoleh informasi yang akan menolong untuk menetapkan kombinasi
peralatan manajemen risiko yang cocok untuk menanganinya. Informasi yang
diperlukan berkenaan dengan dua dimensi risiko yang perlu diukur, yaitu : (a)
frekuensi atau jumlah kerugian yang akan terjadi; (b) keparahan dari kerugian.
Sementara itu, paling sedikit untuk masing-masing dimensi itu yang ingin
diketahui ialah : (a) Rata-rata nilainya dalam periode anggaran; (b) Variasi nilai
dari suatu periode ke periode anggaran sebelumnya dan berikutnya; (c) Dampak
keseluruhan dari kerugian-kerugian itu jika seandainya kerugian itu ditanggung
sendiri.
Menurut Batuparan (2001) , pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar
untuk memahami signifikansi dari akibat (kerugian) yang akan ditimbulkan oleh
terealisasinya suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio terhadap
tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman signifikansi yang akurat
lebih lanjut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil
guna. Signifikansi suatu risiko maupun portofolio risiko dapat diketahui dengan
melakukan pengukuran terhadap dimensi risiko, yaitu : (a) kuantitas risiko, yaitu
jumlah kerugian yang mungkin muncul dari terjadinya risiko,(2) kualitas risiko,
24 terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat risikonya dan semakin tinggi
dampak yang ditimbulkan dari terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat
risikonyaa.
Menurut Kountur (2008) maksud dari pengukuran risiko adalah untuk
menghasilkan apa yang disebut dengan status risiko dan peta risiko. Status risiko
adalah ukuran yang menunjukan tingkatan risiko, sehingga dapat diketahui mana
risiko yang lebih krusial dari risiko lainnya, sedangkan peta risiko adalah
gambaran sebaran risiko dalam suatu peta sehingga kita bisa mengetahui dimana
posisi risiko terhadap peta. Berdasarkan peta risiko dan status risiko kemudian
manajemen dapat melakukan penanganan risiko sesuai dengan posisi risiko yang
telah terpetakan dalam peta risiko, sehingga proses penanganan risiko dapat
dilakukan dengan lebih tepat sesuai dengan status risikonya (Kountur, 2008).
3.1.5. Konsep Penanganan Risiko
Menurut Kountur (2008), berdasarkan peta risiko dapat diketahui cara
penanganan risiko yang tepat untuk dilaksanakan. Ada dua strategi penanganan
risiko, yaitu :
1. Preventif
Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini
dilakukan apabila probabilitas risiko besar. Strategi preventif dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya : (1) membuat atau memperbaiki system, (2)
mengembangkan sumberdaya manusia, dan (3) memasang atau memperbaiki
fasilitas fisik.
2. Mitigasi
Mitigasi adalah strategi penanganan risiko yang dimaksudkan untuk
memperkecil dampak yang ditimbulkan oleh risiko. Strategi mitigasi dilakukan
untuk menangani risiko yang memiliki dampak yang sangat besar. Adapun
beberapa cara yang termasuk ke dalam strategi mitigasi adalah :
a. Diversifikasi
Diversifikasi merupakan cara menempatkan asset di beberapa tempat
sehingga jika salah satu tempat terkena musibah tidak akan menghabiskan
25 b. Penggabungan
Penggabungan atau yang lebih dikenal dengan istilah merger menekankan pola penanganan risiko pada kegiatan penggabungan dengan pihak
perusahaan lain. Contoh strategi ini adalah dengan melakukan merger atau
dengan melakukan akuisisi.
c. Pengalihan Risiko
Pengalihan risiko merupakan cara penanganan risiko dengan mengalihkan
dampak dari risiko ke pihak lain. Cara ini bermaksud jika terjadi kerugian
pada perusahaan maka yang menanggung kerugian tersebut adalah pihak
lain. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengalihkan risiko ke
pihak lain, diantaranya melalui asuransi, leasing,outsourching, dan hedging.
Asuransi dilakukan dengan cara mengasuransikan harta perusahaan yang
dampak risikonya besar, sehingga mengurangi dampak kerugian dari risiko
tersebut karena sudah dialihkan kepada pihak asuransi. Leasing adalah cara
dimana suatu aset digunakan, tetapi kepemilikannya ada pada pihak lain. Jika
terjadi sesuatu pada aset tersebut, maka pemiliknya yang akan menanggung
kerugian atas aset tersebut.
Outsourcing adalah cara dimana pekerjaan diberikan kepada pihak lain, sehingga kita tidak menanggung kerugian seandainya pekerjaan yang dilakukan
gagal. Sementara itu, Hedging adalah cara pengurangan dampak risiko dengan cara mengalihkan risiko melalui transaksi penjualan dan pembelian. Beberapa
cara melakukan Hedging diantaranya adalah forward contract, future contract, option, dan swap.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Darmaga Fish Culture memiliki lahan 3.600 m2 yang digunakan untuk
memproduksi benih ikan patin. Benih patin tersebut dipelihara dalam akuarium
dan bak fiber yang berada didalam ruangan Hatchery. Darmaga Fish Culture dalam menjalankan bisnisnya menghadapi kendala,yaitu risiko produsi. Risiko
produksi tersebut salah satunya diindikasikan dari adanya fluktuasi produktrivitas
benih yang dihasilkan. Sementara itu, sumber utama yang menjadi indikasi faktor
26 (pangasius hyphothalmus) diantaranya adalah faktor cuaca, tingkat keterampilan
yang dimiliki perusahaan yang belum memadai dalam melaksanakan kegiatan
proses produksi, dan penyakit. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami
antara lain adalah jumlah produksi benih yang rendah. Rendahnya jumlah
produksi benih patin yang dihasilkan berdampak terhadap pendapatan yang
diterima oleh Darmaga Fish Culture. Adanya kendala di Darmaga Fish Culture
yang telah dijelaskan diatas, tentunya perlu ada upaya untuk mengatasi kendala
tersebut.
Dalam penelitian ini akan dilakukan proses identifikasi sumber-sumber
risiko produksi apa saja yang dihadapi oleh perusahaan tersebut. Selanjutnya,
mengidentifikasi upaya penanganan risiko produksi yang dilakukan oleh Darmaga
Fish Culture. Analisis ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui
observasi, wawancara,dan diskusi dengan pengelola Darmaga Fish Culture.
Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis probabilitas dan dampak
risiko produksi benih patin akibat adanya sumber-sumber risiko. Pengukuran
probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian dilakukan dengan analisis nilai
standar atau dikenal dengan analisis z-score, sedangkan pengukuran dampak
risiko dilakukan dengan menggunakan analisis Value at Risk (VAR). Analisis dilakukan menggunakan data produksi benih patin di DFC dari bulan Januari 2010
sampai April 2011. Hasil analisis ini akan menunjukkan status risiko, sehingga
dapat diketahui risiko produksi mana yang lebih krusial dibandingkan dengan
risiko-risiko produksi lainnya yang ada di DFC.
Hasil analisis ini akan menunjukan status risiko dalam perusahaan dan
untuk mengetahui posisi risiko dalam perusahaan, maka dilakukan pemetaan
risiko. Setelah mengetahui posisi risiko maka selanjutnya dapat dibuat alternatif
strategi penanganan risiko yang tepat untuk mengendalikan sumber-sumber risiko
tersebut. Hasil analisis terhadap risiko produksi, selanjutnya akan
direkomendasikan kepada Darmaga Fish Culture. Alur kerangka pemikiran
27 Gambar 1.Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Fluktuasi produktivitas benih pada Usaha Pembenihan Ikan Patin di Darmaga Fish Culture
Identifikasi Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Analisis Deskriptif pada Aspek Produksi
Analisis Probabilitas dari Sumber-Sumber
Risiko Produksi Menggunakan Metode
Z- score
Alternatif Strategi Penanganan Risiko Produksi Analisis Dampak dari
Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Metode Value at Risk
(VaR)
28
IV METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Darmaga Fish Culture yang berlokasi di Selatan
Jalan Ciherang, Desa Ciherang Pentas, RT 002/RW 05, Kecamatan Dramaga,
Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni 2011. Pemilihan
lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan
bahwa DFC merupakan salah satu perusahaan pembenihan patin yang cukup besar
di daerah Bogor karena mempunyai sarana yang cukup lengkap seperti jumlah
akuarium sekitar 200 buah dan 2 buah ruangan hatchery untuk proses kegiatan pembenihan serta adanya sistem modern dalam proses produksinya.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer
merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek penelitian. Data
primer diantaranya diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi usaha
maupun dari proses wawancara dengan pengelola yaitu, bapak Gani dan Ibu Erni
serta karyawan DFC yaitu, Bapak Mumuh, Sarif dan Feri untuk mengetahui
keadaan umum lokasi usaha, proses produksi, penanganan induk, sumber risiko
produksi yang dihadapi dalam melakukan usaha pembenihan patin siam
(pangasius hyphothalmus).
Data sekunder yang digunakan diantaranya diperoleh dalam bentuk data
historis yang dimiliki oleh perusahaan berupa data produksi benih patin Darmaga
Fish Culture pada bulan Januari 2010 hingga April 2011, data statistik, buku,
jurnal, dan bahan pustaka lain yang relevan dengan topik dan komoditas
penelitian yang diantaranya bersumber dari Dinas Pertanian Kota Bogor,
perpustakan Pusat Kajian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan LSI IPB.
4.3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian yang dilaksanakan dilakukan
29 1. Melakukan observasi atau pengamatan, observasi dilakukan dengan
melihat dan mengamati secara langsung proses pembenihan ikan patin
siam (pangasius hypothalmus) yang dilakukan di Darmaga Fish Culture.
2. Melakukan wawancara dan diskusi dengan pengelola perusahaan yaitu,
Bapak Gani dan Ibu Erni serta karyawan di DFC yaitu, Sarif, Feri, dan
Bapak Mumuh untuk memperoleh keterangan yang sesuai dengan
kebutuhan penelitian, sehingga data yang akan digunakan
menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan, khususnya mengenai
hal-hal yang berpotensi menjadi sumber risiko produksi pada usaha
pembenihan ikan patin siam (pangasius hypothalmus).
3. Membaca dan melakukan pencatatan data-data yang dibutuhkan dalam
penelitian.
4.4. Metode Analisis Data
4.4.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status
kelompok manusia, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu
peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif dilakukan untuk
menganalisis faktor-faktor yang menjadi sumber risiko produksi dalam usaha
pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) yang dilaksanakan di
Darmaga Fish Culture. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses
identifikasi risiko diantaranya adalah dengan cara melakukan pendekatan dari
pengelola DFC serta kepada karyawan-karyawan DFC untuk mengetahui kejadian
merugikan apa saja yang sering dialami oleh perusahaan dalam melakukan
pembenihan patin siam. Kemudian menanyakan kegiatan-kegiatan apa saja yang
harus dilakukan untuk menghasilkan benih patin siam. Setelah mengetahui
kegiatan apa saja yang dilakukan untuk menghasilkan patin siam, selanjutnya
menanyakan kegiatan-kegiatan yang berisiko dari kegiatan-kegiatan yang ada
serta kejadian merugikan apa saja yang mungkin terjadi pada kegiatan berisiko
tersebut. Setelah mengetahui kejadian yang merugikan di DFC, selanjutnya
30 mengetahui sumber-sumber risiko yang ada di DFC. Setelah sumber-sumber
risiko teridentifikasi, langkah selanjutnya melakukan diskusi dengan pengelola
dan karyawan DFC untuk memastikan sumber-sumber risiko yang kita identifikasi
sesuai dengan keadaan yang dialami oleh perusahaan.
4.4.2. Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko
Risiko dapat diukur jika diketahui kemungkinan terjadinya risiko dan
besarnya dampak risiko terhadap perusahaan. Ukuran pertama dari risiko adalah
besarnya kemungkinan terjadinya yang mengacu pada seberapa besar probabilitas
risiko akan terjadi. Metode yang akan digunakan untuk mengetahui kemungkinan
terjadinya risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Metode ini dapat digunakan apabila ada data historis sebelumnya dan berbentuk kontinus (desimal).
Pada penelitian ini, yang akan dihitung adalah kemungkinan terjadinya risiko pada
kegiatan produksi benih patin di DFC. Data yang akan digunakan untuk
menghitung kemungkinan terjadinya risiko pada kegiatan produksi adalah data
produksi benih patin siam dari bulan Januari 2010 sampai April 2011. Menurut
Kountur (2008), langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan perhitungan
kemungkinan terjadinya risiko meggunakan metode ini dan aplikasinya pada
usaha pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) di Darmaga Fish
Culture adalah :
1. Menghitung rata-rata kejadian berisiko
Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata benih patin yang
diproduksi adalah :
= �
� �=1
�
Dimana :
= Nilai rata-rata dari kejadian berisiko
31
= −
�
2. Menghitung nilai standar deviasi dari kejadian berisiko
= ( � −
�
�=1 )2
� −1
Dimana :
S = Standar deviasi dari kejadian berisiko xi = Nilai per bulan dari kejadian berisiko = Nilai rata-rata dari kejadian berisiko
n = Jumlah data
3. Menghitung Z-score
Dimana :
z = nilai Z-score dari kejadian berisiko
y = Batas risiko yang dianggap masih dalam taraf normal = Nilai rata-rata kejadian berisiko
s = Standar deviasi dari kejadian berisiko
Jika, hasil Z-score yang diperoleh bernilai negatif, maka nilai tersebut
berada di sebelah kiri nilai rata-rata pada kurva distribusi normal dan sebaliknya
jika nila Z-score positif, maka nilai tersebut berada di sebelah kanan kurva
distribusi z (normal).
4. Mencari probabilitas terjadinya risiko produksi
Setelah nilai Z-score dari produksi benih patin di Darmaga Fish Culture
diketahui, maka selanjutnya dapat dicari probabilitas terjadinya risiko
produksi yang diperoleh dari tabel distribusi Z (normal) sehingga dapat
diketahui berapa persen kemungkinan terjadinya keadaan dimana produksi
32 4.4.3. Analisis Dampak Risiko
Metode yang paling efektif digunakan dalam mengukur dampak risiko
adalah VaR (Value at Risk). VaR adalah kerugian terbesar yang mungkin terjadi
dalam rentang waktu tertentu yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan
tertentu. Penggunaan VaR dalam mengukur dampak risiko hanya dapat dilakukan
apabila terdapat data historis sebelumnya. Analisis ini dilakukan untuk mengukur
dampak dari risiko pada kegiatan produksi benih patin di Darmaga Fish Culture.
Kejadian yang dianggap merugikan berupa penurunan produksi sebagai akibat
dari terjadinya sumber-sumber risiko. Menurut Kountur (2008), VaR dapat
dihitung dengan rumus berikut.
� = + �
�
Dimana :
VaR = Dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian berisiko = Nilai rata-rata kerugian akibat kejadian berisiko
z = Nilai Z yang diambil dari tabel distribusi normal dengan alfa 5%. s = Standar deviasi kerugian akibat kejadian berisiko
n = Banyaknya kejadian berisiko
4.4.4. Pemetaan risiko
Menurut Kountur (2008), sebelum dapat menangani risiko, hal yang
terlebih dahulu dilakukan adalah membuat peta risiko. Peta risiko adalah
gambaran mengenai posisi risiko pada suatu peta dari dua sumbu, yaitu sumbu
vertikal yang menggambarkan probabilitas dan sumbu horizontal yang
33 Probabilitas (%)
Besar
Kecil
Dampak (Rp) Kecil Besar Gambar 2. Peta Risiko
Sumber : Kountur (2008)
Probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko dibagi menjadi dua
bagian, yaitu besar dan kecil. Dampak risiko juga dibagi menjadi dua bagian,
yaitu besar dan kecil. Batas antara probabilitas atau kemungkinan besar dan kecil
ditentukan oleh manajemen, tetapi pada umumnya risiko yang probabilitasnya 20
persen atau lebih dianggap sebagai kemungkinan besar, sedangkan dibawah 20
persen dianggap sebagai kemungkinan kecil (Kountur, 2008). Sementara itu,
berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, ditetapkan nilai standar yang
membatasi kemungkinan besar dan kecil adalah sebesar 28 persen.
4.4.5. Penanganan Risiko
Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada peta risiko , maka selanjutnya
dapat ditetapkan strategi penanganan risiko yang sesuai. Terdapat dua strategi
yang dapat dilakukan untuk menangani risiko,yaitu :
1. Penghindaran Risiko (Preventif)
Strategi preventif dilakukan untuk risiko yang tergolong dalam
probabilitas risiko yang besar. Strategi preventif akan menangani risiko yang
berada pada kuadran 1 dan 2. Penanganan risiko dengan menggunakan strategi
preventif, maka risiko yang ada pada kuadran 1 akan bergeser ke kuadran 3 dan
risiko yang berada pada kuadran 2 akan bergeser kekuadran 4 (Kountur, 2008).
Penanganan risiko menggunakan strategi preventif dapat dilihat pada Gambar 3.
Kuadran 1 Kuadran 2
34 Probabilitas (%)
Besar
Kecil
Dampak (Rp) Kecil Besar
Gambar 3. Preventif Risiko
2. Mitigasi Risiko
Strategi mitigasi digunakan untuk meminimalkan dampak risiko yang
terjadi. Risiko yang berada pada kuadan dengan dampak yang besar diusahakan
dengan menggunakan strategi mitigasi dapat bergeser ke kuadran yang memiliki
dampak risiko yang kecil. Strategi mitigasi akan menangani risiko sedemikian
rupa sehingga risiko yang berada pada kuadran 2 bergeser ke kuadran 1 dan risiko
yang berada pada kuadran 4 akan bergeser ke kuadran 3. Strategi mitigasi dapat
dilakukan dengan metode diversifikasi, penggabungan dan pengalihan risiko
(Kountur, 2008). Mitigasi risiko dapat dilihat pada Gambar 4.
Probabilitas (%)
Besar
Kecil
Dampak (Rp) Kecil Besar
Gambar 4. Mitigasi Risiko
Kuadran 1 Kuadran 2
Kuadran 3 Kuadran 4
Kuadran 1 Kuadran 2
35 4.5. Indikator Penentuan Jenis Sumber Risiko Pada Setiap Kejadian
Darmaga Fish Culture menghadapi risiko produksi dalam melaksanakan
kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius hyphothalmus), dimana
beberapa faktor yang diindikasikan sebagai sumber dari risiko produksi tersebut
diantaranya adalah perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya
dalam melakukan seleksi induk, musim kemarau, dan serangan penyakit. Oleh
karena itu, perlu ditetapkan indikator untuk menggolongkan atau
mengkategorikan jenis sumber risiko pada setiap kejadian yang berisiko yang
terjadi pada pelaksanaan kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius
hyphothalmus). Tujuan dari penetapan indikator tersebut adalah untuk menghindari kesalahan penggolongan dari setiap kejadian berisiko yang dapat
mengakibatkan proses analisis yang dilakukan tidak menggambarkan kondisi
yang sebenarnya terjadi dilokasi penelitian.
Sumber risiko produksi perubahan suhu air yang ekstrim diindikasikan
oleh kejadian berisiko dalam bentuk kematian benih yang sedang dipelihara
secara mendadak dan bersamaan pada akuarium dan bak fiber akibat terjadinya perubahan suhu air yang signifikan pada akuarium dan bak fibers pasca terjadinya
peralihan cuaca dari panas kepada hujan ataupun sebaliknya. Meskipun
pemeliharan benih patin berada pada ruang hatchery dan menggunakan kompor untuk menjaga suhu air tetap terjaga, kenyataannya suhu air menjadi sumber
risiko bagi perusahaan. Sementara itu, indikator untuk sumber risiko produksi
kesalahan pembudidaya dalam melakukan seleksi induk adalah apabila kejadian
berisiko yang terjadi mengakibatkan banyak telur yang tidak menetas atau derajat
penetasannya rendah. Hal tersebut dikarenakan induk patin yang dipijahkan
pembudidaya sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang seharusnya dimiliki oleh
induk patin yang akan dipijahkan, meliputi kecukupan umur, berat, kondisi
genetis, kondisi fisik, serta kematangan telur yang dikandung oleh induk betina.
Induk patin yang tidak memenuhi semua kriteria untuk dipijahkan tersebut tetap
dapat menghasilkan telur, tetapi telur yang dihasilkan memiliki derajat penetasan
yang rendah atau banyak yang gagal menetas sehingga banyak potensi benih patin
36 Sumber risiko produksi musim kemarau diindikasikan oleh kejadian
berisiko yang mengakibatkan penurunan produktivitas telur yang dihasilkan oleh
induk patin betina dalam jumlah yang signifikan sehingga menyebabkan
penurunan benih patin siam yang dihasilkan dalam jumlah banyak di perusahaan.
Penurunan produksi telur tersebut terjadi akibat kondisi musim kemarau yang
biasanya terjadi sekitar bulanApril sampai bulan Oktober.
Sumber risiko produksi yang terakhir yaitu penyakit yang menyerang
benih patin, diindikasikan oleh suatu kejadian berisiko yang mengakibatkan benih
yang dipelihara pada akuarium dan bak fiber mengalami kematian dalam waktu
yang hampir bersamaan pasca menunjukan tanda-tanda bahwa benih tersebut telah
terinfeksi oleh suatu penyakit. Penyakit yang umumnya menyerang benih patin
biasanya diakibatkan oleh white spot dan bakteri Aeromonas yang berasal dari pakan cacing sutera yang tercemar ataupun dalam kondisi mati serta air dalam
akuarium yang terkontaminasi oleh air hujan. Tanda-tanda benih patin yang telah
terinfeksi bakteri tersebut adalah benih sering terlihat mengambang dipermukaan
akuarium dan bak fiber, lemas, dan kehilangan nafsu makan. Berdasarkan
penjelasan diatas, diperkirakan kejadian yang merugikan untuk sumber risiko
produksi di DFC adalah kematian benih patin siam, penurunan benih patin siam