• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Risiko Produksi Pembenihan Patin Siam (Pangasius hyphothalmus) pada Darmaga Fish Culture, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Risiko Produksi Pembenihan Patin Siam (Pangasius hyphothalmus) pada Darmaga Fish Culture, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor"

Copied!
216
0
0

Teks penuh

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai

potensi perikanan cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kontribusi Jawa Barat

pada tahun 2010 terhadap produksi perikanan Indonesia yang mencapai 30 persen

dari total produksi ikan yang ada di Indonesia, yaitu sekitar 1,5 juta ton1. Produksi

ikan di Jawa barat masih didominasi oleh sektor budidaya air tawar yang

mencapai 620.000 ton sedangkan sisanya dari ikan tangkapan perairan umum

maupun laut. Sentra produksi budidaya ikan air tawar di Jawa barat diantaranya

adalah kota Sukabumi, Garut, Cianjur dan Bogor. Produksi yang dihasilkan kota

Sukabumi untuk sektor budidaya mencapai 3.094 ton, kota Garut mencapai

26.170 ton, kota Cianjur mencapai 68.746 ton, dan kota Bogor mencapai 24.558

ton (Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2008).

Komoditi ikan yang dibudidayakan di Provinsi Jawa Barat ada beberapa

jenis, diantaranya adalah ikan nila, mas, lele, patin, dan gurame. Adapun produksi

budidaya air tawar berdasarkan kota dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat pada

tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Produksi Perikanan Budidaya Air Tawar Berdasarkan Kota dan Kabupaten di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009

Kota/Kabupaten Produksi (ton)

Sumber : Dinas Perikanan Provinsi Jawa Barat, 2010 (diolah)

1

(2)

2 Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa setiap kota yang berada di Jawa Barat

mempunyai keunggulan dalam komoditi tertentu. Kota Tasikmaya, Kabupaten

Cianjur, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Purwakarta yang merupakan

sentra produksi ikan nila yang mencapai 1.771 ton sampai 23.831 ton per

tahunnya. Komoditi ikan mas dihasilkan oleh Kabupaten Cianjur dan Kabupaten

Purwakarta, untuk sentra produksi ikan lele yang mencapai 18.313 ton

pertahunnya dihasilkan oleh Kabupaten Bogor. Untuk ikan patin mayoritas

dihasilkan oleh Kabupaten Bandung, Kabupaten Purwakarta. Sedangkan untuk

sentra gurame di Jawa Barat adalah Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bogor.

Kota Bogor dan Kabupaten Bogor mempunyai produksi yang cukup merata untuk

setiap komoditi yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sangat

mendukung untuk melakukan usaha di bidang perikanan.

Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah Jawa Barat yang

masyarakatnya cukup aktif dan turun temurun melakukan usaha di bidang

perikanan air tawar. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan produksi

budidaya perikanan air tawar di Bogor dari tahun 2007 sampai 2010 yang

Total 23.578,00 25.021,00 28.692,43 36.007,73 15,42

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Jika dilihat pada Tabel 2 , budidaya di kolam air tenang meningkat cukup

signifikan setiap tahunnya. Pada tahun 2007 sampai 2008 budidaya kolam air

(3)

3 sampai 2010 budidaya kolam air tenang mengalami peningkatan sebesar 29,47

persen.

Budidaya kolam air deras mengalami penurunan dari tahun 2007 sampai

2009, walaupun terjadi peningkatan pada tahun 2010, tetapi peningkatan tersebut

tidak signifikan. hal ini disebabkan air sungai yang digunakan untuk budidaya

kolam air deras sudah mulai tercemar sehingga sudah tidak mendukung untuk

budidaya ikan air tawar. Untuk budidaya karamba mempunyai peningkatan yang

lebih kecil dibandingkan dengan jenis budidaya lainnya, pada tahun 2007 sampai

tahun 2008 budidaya karamba mengalami peningkatan hanya sebesar 4 persen,

sedangkan pada tahun 2009 sampai tahun 2010 budidaya karamba mengalami

peningkatan sebesar 8 persen.

Ada beberapa jenis ikan yang dibudidayakan di Kota Bogor, yaitu ikan

lele, mas, gurame,bawal, dan patin. Berdasarkan data Dinas Peternakan dan

Perikanan Kabupaten Bogor, ada komoditi yang mengalami penurunan produksi

dan ada juga yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Adapun

perkembangan produksi ikan konsumsi kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Perkembangan Produksi Ikan Konsumsi di Kabupaten Bogor Tahun

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa ikan Lele, Gurame dan Bawal

mengalami perkembangan yang signifikan dibandingkan dengan dengan komoditi

yang lainnya, sedangkan untuk komoditi ikan nilem mengalami penurunan setiap

tahunnya, hingga pada tahun 2010 produksi ikan Nilem sudah tidak

(4)

4 adalah ikan patin. Pada tahun 2007 sampai 2008, patin mengalami penurunan

yang cukup signifikan dari 1.020 ton menjadi 571,76 ton pertahunnya, tetapi pada

tahun 2008 sampai 2010, produksi ikan patin mengalami peningkatan sebesar 13,2

persen. Hal ini dikarenakan permintaan ikan patin yang mulai meningkat di pasar

domestik maupun mancanegara2.

Ikan patin mempunyai prospek yang cukup baik untuk saat ini. Hal ini

dilihat dari produksi ikan patin di Jawa Barat pada 2011 diperkirakan naik sebesar

65,56% menjadi 64.900 ton dibandingkan tahun 2010, yaitu 39.200 ton3. Ikan

patin merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang mempunyai rasa daging yang

lezat, enak, dan tidak berduri. Hal tersebut yang menyebabkan ikan patin

mempunyai kelebihan dan keunggulan yang khas bila dibandingkan dengan jenis

ikan air tawar lainnya. Ikan patin sebagai sumber protein hewani dengan

kandungan protein yang cukup tinggi dan dinilai lebih aman dari pada ternak jenis

lainnya, karena kadar kolesterolnya relatif lebih rendah. Kandungan kalori ikan

patin sekitar 120 kalori setiap 3,5 ons sehingga ikan ini sangat baik untuk menjaga

kesehatan4. Jenis ikan patin yang cukup dikenal oleh masyarakat terdiri dari

beberapa jenis, yaitu patin jambal, patin siam, dan patin pasupati. Untuk saat ini

patin yang dibudidayakan di Kabupaten Bogor adalah patin siam.

Patin siam (Pangasius hypopthalmus) dari Bangkok (Thailand) masuk ke

Indonesia pada tahun 1972. Alasan diintroduksikannya ikan patin siam ke

Indonesia karena patin siam dianggap memiliki prospek yang baik karena

pertumbuhannya tergolong pesat, mudah beradaptasi dengan lingkungan,

memiliki respon yang positif terhadap pemberian pakan tambahan, dan fekunditas

telurnya tinggi, dapat mencapai ukuran individu yang sangat besar serta dapat

dipelihara secara intensif (Susanto, 2009). Berbeda dengan patin siam, patin

jambal mempunyai fekunditas telur yang rendah serta pertumbuhannya lambat

sehingga pembudidaya kurang tertarik untuk membudidayakan jenis patin ini.

Jenis ikan patin yang terakhir adalah pasupati, ikan ini merupakan persilangan

antara pati jambal asli Indonesia dengan patin siam. Patin pasupati memiliki

2

www.bisnisjabar.com (diakses tanggal 30 april 2011)

3

www.bisnisjabar.produksi ikan patin jabar diprediksi naik 65,56 %( diakses tanggal 30 April 2011)

4

(5)

5 beberapa keunggulan diantaranya kualitas benihnya cenderung lebih baik

dibandingkan induknya, kualitas benih mudah dikontrol, kadar lemak yang

rendah, dan pertumbuhan relatif lebih cepat. Tetapi untuk sekarang, jenis patin ini

kurang diminati oleh para pembudidaya karena harga induk yang relatif mahal

dikarenakan jumlahnya yang masih terbatas (Susanto, 2009)

Meningkatnya permintaan ikan konsumsi, khususnya ikan patin pada

tahun 2008 sampai 2010, tentunya berbanding lurus dengan kegiatan pembenihan

itu tersendiri. Kegiatan pembenihan mempunyai peran yang cukup besar dalam

sistem budidaya patin siam. Oleh karena itu salah satu tantangan besar dalam

kegiatan budidaya patin siam adalah bagaimana menghasilkan benih yang

meningkat setiap tahunnya agar kebutuhan konsumsi ikan patin siam dapat

terpenuhi. Apalagi dari tahun 2010 sampai 2011, Provinsi Kalimantan Selatan,

Jawa Timur, Riau, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan

Timur, dan Jawa Tengah mengembangkan ikan patin dengan benih yang berasal

dari daerah- daerah Jawa Barat seperti Bandung dan Bogor5. Berdasarkan data

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, pada tahun 2008 sampai 2009

benih patin yang dihasilkan mengalami penurunan yang cukup signifikan, hal ini

dikarenakan banyak pembudidaya patin yang mengalami kerugian sehingga harus

menutup usahanya. Pada tahun 2009 sampai 2010 terjadi peningkatan produksi

benih patin siam sebesar 21,58 persen, hal tersebut dikarenakan para pembudidaya

patin sudah mengetahui cara untuk melakukan pembenihan patin secara lebih baik

dari pada tahun sebelumnya. Adapun perkembangan benih dari tahun 2007-2010

di Kabupaten Bogor, disajikan pada Tabel 4.

5

(6)

6 Tabel 4. Perkembangan Produksi Benih Ikan Tawar di Kabupaten Bogor Tahun

2007-2010

Sumber : Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (2011)

Kegiatan pembenihan ikan patin siam di Kabupaten Bogor dilakukan

secara perseorangan maupun dalam kelompok. Salah satu daerah pembenihan

ikan patin di Kabupaten Bogor yaitu Dramaga. Petani pembenihan di Dramaga

salah satunya yaitu Darmaga Fish Culture (DFC). Alasan utama DFC memilih

untuk fokus pada sektor pembenihan ikan patin siam dikarenakan perputaran uang

pada sektor tersebut lebih cepat, sehingga kebutuhan modal untuk pelaksanaan

kegiatan produksi selanjutnya relatif lebih dapat direncanakan serta profit yang dihasilkan relatif besar pada sektor pembenihan.

Permintaan benih patin siam yang banyak dari luar Jawa, khususnya dari

daerah Sumatera dan Kalimantan adalah salah satu alasan yang menyebabkan

DFC masih terus bertahan sampai saat ini. Dalam menjalankan usaha tentunya

tidak dapat dipisahkan dari sebuah risiko yang jenis dan karakteristiknya berbeda

antara setiap kegiatan. Adapun risiko yang mempunyai pengaruh paling besar

dalam pembenihan ikan patin siam di Darmaga Fish Culture adalah risiko

produksi. Hal tersebut dikarenakan pembenihan merupakan tahap yang rentan dan

mempunyai tingkat kegagalan yang tinggi dibandingkan dengan usaha

(7)

7 tersebut, dikarenakan apabila terus dibiarkan akan menimbulkan risiko yang lebih

besar lagi serta akan mengancam keberlangsungan usaha tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Darmaga Fish Culture merupakan salah satu usaha yang bergerak dibidang

pembenihan ikan patin siam. DFC didirikan pada tahun 2000, komoditi pertama

yang diusahakan adalah penjualan ikan konsumsi. Pada tahun 2004, DFC

mengganti komoditi usahanya menjadi ikan hias, hal ini disebabkan karena

permintaan ikan hias lebih prospektif dibandingkan dengan penjualan ikan

konsumsi pada saat itu. Selanjutnya pada tahun 2008, DFC mengganti

komoditinya kembali dengan pembenihan ikan patin. Hal tersebut dikarenakan

pemilik DFC melihat bahwa potensi ikan patin sangat bagus untuk beberapa tahun

ke depan.

Pada tahun 2008 sampai 2011, benih patin yang dihasilkan oleh DFC

selalu berfluktuatif6. Benih patin yang dihasilkan sekitar 50.000 sampai 350.000

ribu setiap periodenya, dengan ukuran ¾ inchi. Hal tersebut tidak berbanding

positif dengan adanya teknologi modern serta sarana produksi yang sangat

memadai di Darmaga Fish Culture, sedangkan untuk kondisi harga benih patin

yang di hasilkan DFC terbilang stabil, dimana pada tahun 2008 sampai sekarang,

harga jual benih patin berkisar antara 60-70 rupiah per ekornya. Pemasaran ikan

patin DFC sebagian besar ke daerah luar Pulau Jawa, seperti Pulau Sumatera dan

Pulau Kalimantan. Konsumen patin DFC berharap pasokan patin yang disalurkan

dapat kontinu dari sisi kuantitas. Berdasarkan kondisi tersebut dapat diketahui

bahwa produksi merupakan risiko yang paling utama yang dihadapi oleh DFC,

karena untuk harga tidak terlalu berpengaruh signifikan terhadap keberlangsungan

usaha di DFC serta untuk pasar patin DFC tidak menjadi kendala karena berapa

pun jumlah benih yang dihasilkan oleh DFC akan diserap oleh pasar. Beberapa

faktor yang diindikasikan sebagai sumber risiko produksi diantaranya adalah

perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya dalam melakukan

seleksi induk, musim kemarau, dan penyakit. Faktor-faktor tersebut dapat memicu

6

(8)

8 kematian benih, kegagalan telur menetas, dan penurunan produktivitas induk patin

siam dalam menghasilkan telur.

Pada musim kemarau induk patin akan sulit untuk memijah. Hal ini

menyebabkan telur yang dihasilkan induk patin akan sedikit, tetapi apabila telur

telah menetas menjadi larva maka tingkat kematian larva sampai ukuran ¾ inchi

akan relatif kecil, yaitu sekitar 20-30%, sedangkan pada musim hujan induk patin

akan menghasilkan telur yang lebih banyak daripada musim kemarau, tetapi pada

musim hujan tingkat kematian larva sampai ukuran panen yaitu ukuran ¾ inchi

relatif lebih besar, yaitu sekitar 40-50%. Pada peralihan musim hujan ke musim

kemarau atau lebih dikenal dengan musim pancaroba, kematian larva sampai

benih ukuran siap panen sangat tinggi, dikarenakan perubahan suhu air yang

ekstrim yang membuat benih patin tidak mampu untuk menyesuaikan. Salah satu

indikasi adanya risiko produksi dalam usaha pembenihan ikan patin di DFC

adalah produktivitas jumlah benih ikan patin yang dihasilkan. Adapun jumlah

induk yang dipijahkan, benih yang dihasilkan, dan produktivitas di DFC dari

Januari 2010-April 2011 dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Induk, Benih yang Dihasilkan, dan Produktivitas Patin Bulan Januari 2010-April 2011 di Darmaga Fish Culture

Bulan

(9)

9 Pada Tabel 5 terlihat bahwa setiap bulannya produktivitas benih yang

dihasilkan oleh DFC bervariasi, dari bulan Januari 2010-April 2011 produktivitas

benih yang dihasilkan 3.333 ekor/kg sampai 23.333 ekor/kg setiap bulannya. DFC

memijahkan sebanyak 15 kg induk setiap bulannya. Bobot induk yang ada di DFC

bervariasi beratnya yaitu 2-5 kg, tetapi rata-rata induk yang ada di DFC

mempunyai berat 3 kg. Jumlah induk yang dipijahkan sebanyak 5 ekor dengan

asumsi seluruh berat induk patin mempunyai berat 3 kg. Hal ini dikarenakan berat

induk 2 kg, 4 kg dan 5 kg hanya sedikit jumlahnya sekitar 15 ekor dari jumlah

induk yang ada di DFC, yaitu 70 ekor. Sehingga setiap ekor induk yang

dipijahkan di DFC dengan berat 3 kg memberikan hasil yang berbeda untuk

menghasilkan benih patin.

Pada Bulan Oktober terlihat produktivitas benih patin sangat rendah

dibandingkan dengan bulan lainnya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada

bulan tersebut terjadi serangan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas Sp yang menyebabkan kematian benih patin dalam jumlah banyak. Sumber-sumber risiko produksi berdasarkan keterangan yang diperoleh dari proses

identifikasi awal pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture tentu

belum dapat dipastikan akan menggambarkan keseluruhan faktor-faktor yang

menjadi sumber risiko produksi. Oleh karena itu, menarik untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi

lainnya yang benar-benar terdapat di Darmaga Fish Culture serta dapat

menghasilkan alternatif strategi dalam mengendalikan sumber-sumber yang

menyebabkan risiko.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan penelitian, yaitu :

1. Sumber-sumber risiko produksi apa saja yang terdapat pada usaha

pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture?

2. Bagaimana probabilitas dan dampak risiko dari sumber-sumber risiko

produksi pada usaha pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture?

3. Bagaimana strategi penanganan risiko yang dapat dilakukan oleh Darmaga

Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam

(10)

10 1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan

penelitian ini adalah untuk :

1. Mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi yang terdapat pada usaha

pembenihan ikan patin di Darmaga Fish Culture.

2. Menganalisis probabilitas dan dampak risiko yang disebabkan oleh

sumber-sumber risiko produksi pada kegiatan pembenihan ikan patin di

Darmaga Fish Culture.

3. Menganalisis strategi penanganan yang dapat dilakukan oleh Darmaga

Fish Culture untuk mengendalikan sumber-sumber risiko produksi dalam

kegiatan pembenihan ikan patin.

1.4. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka

kegunaan penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan bagi tempat usaha budidaya untuk menjadi bahan

pertimbangan dalam meminimalisasi risiko yang dihadapi.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang membutuhkan serta sebagai

literature bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Produk yang dikaji pada penelitian ini adalah benih ikan patin yang

dibudidayakan di Darmaga Fish Culture dan difokuskan mengenai risiko produksi

(11)

11

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Ikan Patin Siam

Ikan patin merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, berbadan panjang

berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Ikan ini bukan

ikan lokal tetapi berasal dari Thailand. Pertama kali didatangkan ke Indonesia

pada tahun 1972 oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Ikan patin

dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah, karena memiliki harga jual yang

tinggi dan kandungan protein hewani yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan

ikan patin mendapat perhatian dan diminati oleh para pengusaha untuk

membudidayakannya. Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan patin memiliki

beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar. Pada

pembudidayaan, dalam usia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35-40

cm. ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan

yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti mas, tawes, dan

lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung dapat digunakan

untuk memelihara ikan patin (Susanto, 2009).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis ikan patin. Jenis yang banyak

ditangkap dan berukuran besar serta sudah banyak diteliti adalah Pangasius pangasius atau patin jambal. Ada pula jenis patin yang lain, yaitu patin siam (Pangasius hyphothalmus) dan ikan patin hibrida dengan nama pasupati (patin

super harapan pertiwi) yang merupakan persilangan antara patin jambal asli

Indonesia dengan patin yang diintroduksi tahun 1972. Kerabat patin di Indonesia

cukup banyak, diantaranya adalah ikan juaro (Pangasius polyuranodo), ikan rios,

riu, lancang (Pangasius macronema), ikan pedado (Pangasius nasutus), ikan

lawang (Pangasius nieuwrnhuisii). Ada beberapa perbedaan antara jenis patin

jambal, patin siam dan patin pasupati, diantaranya adalah patin jambal memiliki

pertumbuhan yang lambat, fekunditas telurnya rendah, warna dagingnya putih,

serta tidak terlalu popular di masyarakat. Sedangkan patin siam memiliki

pertumbuhan yang cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya merah,

popular dikalangan masyarakat. Untuk pasupati memiliki pertumbuhan yang

cepat, fekunditas telurnya tinggi, warna dagingnya putih, dan sedikit popular di

(12)

12 Untuk saat ini, jenis patin yang berkembang adalah Pangasius hyphothalmus atau patin siam. Ikan patin siam merupakan salah satu jenis ikan yang cukup populer di masyarakat karena sudah cukup lama di Indonesia dan

memiliki berbagai kelebihan dibandingkan ikan jenis lainnya, diantaranya mudah

beradaptasi dengan lingkungan, memiliki respon positif terhadap pemberian pakan

tambahan, fekunditas telurnya tinggi, dan beratnya cukup menjanjikan

menyebabkan patin siam termasuk ikan yang mudah diterima masyarakat dan

sudah menyebar hampir ke seluruh pelosok tanah air7. Akan tetapi, dengan adanya

jenis-jenis ikan patin tersebut akan memberikan alternative yang beragam bagi

pembudidaya untuk memilih jenis ikan patin yang dianggap paling sesuai dan

yang berhasil memanipulasi lingkungan untuk merangsang patin agar mau

memijah secara alami. Ikan patin siam memiliki kebiasaan memijah sekali

setahun. Pemijahan alami biasanya terjadi pada musim hujan (bulan

November-Maret). Musim pemijahan ini juga dipengaruhi oleh iklim sesuatu daerah sehingga

masing-masing daerah memiliki masa atau waktu pemijahan yang berbeda-beda.

Untuk memijahkan induk patin siam secara buatan, bisa dilakukan dengan

dua macam perangsang, yaitu penyuntikan dengan ovaprim atau dengan

perangsang alami dari kelenjar hipofisa. Tetapi umumnya, pembudidaya lebih

suka memijahkan patin siam dengan menggunakan obat perangsang ovaprim

karena lebih praktis dan efisien. Induk yang akan disuntik hormon umumnya

harus di seleksi dan melalui tahap pengecekan terlebih dahulu. Pengecekan induk

betina dilakukan dengan cara kanulasi, bila diameter telur sudah mencapai 1,72

mm, induk siap dipijahkan. Jika diameter kurang dari 1,72 mm penyuntikan bisa

dilakukan dengan menggunakan hormon HCG dengan dosis 500 IU/kg dan

diamati selama 1 x 48 jam, untuk merangsang perkembangan diameter.

7

(13)

13 Pengamatan inti telur dengan cara merendam telur dalam larutan sera (alkohol

99,5%: Formaldehyde 40%:Asam Asetat = 6:3:1). Bila inti telur tersebut sudah

menepi, berarti induk sudah siap dipijahkan. Pada induk jantan, seleksi dilakukan

dengan melihat alat kelamin yang agak menonjol dan bila diurut ke arah genital

akan mengeluarkan cairan berwarna putih susu. Perbandingan induk betina dan

jantan adalah 1: 2.

Induk betina disuntik dua kali ovaprim dengan selang waktu 9 jam.

Penyuntikan I sebanyak 1/3 dosis total, sedangkan penyuntikan II sebanyak 2/3

nya. Sedangkan Pengambilan sperma dilakukan dengan melakukan pengurutan ke

arah lubang genital, dari beberapa induk jantan kemudian sperma disedot dengan

spuit 25 cc yang telah diisi dengan larutan NaCl 0,9% dengan perbandingan 4 cc

Na Cl dan 1 cc sperma.

Selanjutnya telur yang keluar ditampung dalam wadah berupa baskom

kecil. Pembuahan dimulai dengan mencampurkan telur dan sperma. Campuran

tersebut diaduk secara perlahan-lahan menggunakan bulu ayam selama lebih

kurang 3 menit. Setelah itu ditambahkan air bersih ke dalam campuran telur dan

sperma, terus diaduk perlahan menggunakan bulu ayam selama 3 menit kemudian

dicuci dengan air bersih. Pada proses pengeluaran telur dan sperma, induk betina

dan jantan dibius untuk memudahkan penanganan dan mengurangi stres. Inkubasi

telur menggunakan corong penetasan. Sebelum telur dimasukkan terlebih dahulu

dilakukan pencucian menggunakan larutan tanah merah guna menghilangkan daya

rekat telur. Larutan tanah merah dicampurkan ke dalam telur yang telah dibuahi,

diaduk perlahan-lahan sampai daya rekat hilang. Terakhir telur dicuci dengan air

bersih, kemudian dimasukkan kedalam corong penetasan dengan kepadatan

500-750 cc/corong suhu 280C- 290C. Telur akan menetas setelah 28 – 36 jam.

Panen Larva dilakukan setelah telur dianggap selesai menetas paling

lambat 6 jam setelah menetas (sebelum telur yang tidak menetas hancur dan

membusuk). Panen dilakukan dengan menyerok larva menggunakan skopnet

halus. Larva patin siam yang baru menetas mempunyai panjang 0,4 cm dan berat

rata-rata 2,3 mg, berwarna hitam dan bergerak sangat aktif yaitu berenang

mendekati aerasi dan ke permukaan air. Larva dipelihara di akuarium/fiber glass

(14)

14 Artemia sp dengan frekuensi pemberian 5 kali/hari yaitu pukul 07.00, 11.00, 15.00, 19.00 dan 23.00 WIB . Setelah 6 hari kepadatan diturunkan menjadi 5

ekor/liter dan pakan yang diberikan berupa cacing Tubifex sp hidup. Agar kualitas

air tetap baik maka dilakukan penyiponan kotoran setiap hari sebelum dilakukan

pemberian pakan pertama pada pagi hari. Penggantian air dilakukan pada hari ke

4, 6, 8, 10, 12, 14 dan 16. (Susanto, 2009).

2.3. Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian yang

dilakukan, diantaranya adalah mengenai sumber-sumber risiko agribisnis, metode

analisis risiko dan strategi pengelolaan risiko.

2.3.1. Sumber-Sumber Risiko Agribisnis

Sumber-sumber penyebab risiko pada usaha perikanan sebagian besar

disebabkan oleh faktor-faktor seperti perubahan suhu, hama dan penyakit,

penggunaan input serta kesalahan teknis (human error) dari tenaga kerja. Pada

umumnya risiko tersebut dapat diminimalisasi dengan menggunakan berbagai

cara seperti penggunaan teknologi terbaru, penanganan yang intensif, dan

pengadaan input yang berkualitas.

Penelitian Sahar (2010) menemukan bahwa sumber-sumber risiko pada

pembenihan larva ikan bawal air tawar di Ben’s Farm Bogor adalah risiko

produksi dan risiko pasar. Risiko produksi dalam penelitian Sahar (2010) terdapat

beberapa sumber risiko diantaranya adalah penyakit yang menyerang induk dan

larva ikan bawal air tawar, faktor cuaca, dan faktor manusia serta kerusakan

peralatan teknis di perusahaan. Sedangkan untuk risiko pasar terdapat beberapa

sumber risiko yang sangat mempengaruhi keberlangsungan perusahaan,

diantaranya fluktuasi harga input dan fluktuasi harga benih. Pada penelitian

tersebut, peneliti menggunakan peta risiko untuk mengklasifikasi sumber-sumber

risiko yang ada, hal tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam mencari

alternatif penanganan risiko yang harus dilakukan oleh perusahaan.

Dalam peta risiko sumber risiko yang berada pada kuadran satu dan

kuadran empat tidak teridentifikasi sumber risikonya. Untuk sumber risiko yang

berada di kuadran dua adalah risiko produksi yaitu cuaca dan risiko harga yaitu

(15)

15 adalah risiko produksi, yaitu penyakit yang menyerang indukan, penyakit white spot yang menyerang larva,kerusakan peralatan teknis dan faktor manusia, sedangkan untuk sumber risiko pasar di kuadran tiga adalah fluktuasi harga input.

Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitan Lestari (2009), sumber-sumber risiko

dalam usaha pembenihan udang vannamei dengan mengambil studi kasus di PT

Suri Tani Pemuka Serang, Banten. Pada penelitiaan tersebut terdapat sumber

risiko pasar yang dihadapi, yaitu fluktuasi harga input. Untuk sumber Risiko

operasional diantaranya adalah pengadaan induk udang vannamei yang

didatangkan dari Hawai, Amerika Serikat dengan tingkat risiko sekitar tiga

persen. Hal ini disebabkan induk yang didatangkan oleh perusahaan harus

melewati proses karantina terlebih dahulu sehingga meminimumkan risiko. Selain

itu sering ditemukan kasus induk udang vannamei yang mengalami stress

dikarenakan proses distribusi yang memakan waktu dan juga adanya perbedaan

suhu yang relatif besar. Adapun sumber operasional lainnya adalah faktor

penyakit, cuaca, mortalitas dan kerusakan pada peralatan teknis.

Berbeda dengan Siregar (2010) dan Silaban (2011) dalam penelitiannya

tentang analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo pada Family Jaya 1 Kota

Depok dan analisis risiko produksi ikan hias pada PT Taufan Fish Farm di Kota

Bogor, sumber-sumber risiko hanya terdapat dalam risiko produksi. Sumber risiko

tersebut diantaranya adalah kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca,

perubahan suhu air, kualitas pakan, hama dan penyakit. Sedangkan untuk sumber

risiko pasar hampir tidak ada pada perusahaan mereka, hal tersebut dilihat dari

harga benih dan harga input yang cenderung stabil setiap tahunnya.

Berdasarkan penelitian terdahulu diperoleh variabel-variabel yang menjadi

sumber risiko pasar yaitu fluktuasi harga pakan, fluktuasi harga benih, dan

fluktuasi harga induk. Sedangkan untuk sumber risiko produksi, yaitu cuaca, hama

dan penyakit, kerusakan teknis, kesalahan dalam melakukan seleksi induk, cuaca,

perubahan suhu air, dan kualitas pakan. Variabel-variabel tersebut dapat

digunakan sebagai dasar untuk menelusuri dan memeriksa hal-hal yang berpotensi

(16)

16 2.3.2. Metode Analisis Risiko

Pengukuran risiko dapat dilakukan dengan menggunakan metode analisis

seperti standard deviation, variance, dan coefficient variation. Pada penelitian Sahar (2010) tentang manajemen risiko pembenihan larva ikan bawal

menggunakan analisis deskriptif untuk menentukan sumber-sumber risiko yang

ada dalam perusahaan. Untuk menentukan nilai risiko Sahar (2010) menggunakan

alat analisis coefficient variation, analisis Z-score dan Value at Risk (VaR). Hal tersebut tidak berbeda dengan penelitian Lestari (2009) tentang manajemen risiko

dalam usaha pembenihan udang vannamei dan Siregar (2010) tentang analisis

risiko produksi pembenihan lele dumbo. Lestari (2009) dan Siregar (2010)

menggunakan alat analisis deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga dalam penelitiannya.

Metode nilai Z-Score ini untuk mengetahui kemungkinan terjadinya

kerugian atau risiko akibat hasil yang diperoleh menyimpang dari hasil standar

sedangkan alat analisis Value at Risk (VaR) untuk menganalisis dampak terjadinya risiko pada usaha yang sedang diteliti. VaR adalah kerugian terbesar

dalam rentang waktu atau periode yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan

tertentu. Konsep VaR berdiri atas data-data historis sebelumnya. Pengukuran

dampak dilakukan untuk mengukur dampak dari risiko pada kegiatan produksi

dan penerimaan. Penggunaan alat analisis ini tentunya bertujuan untuk

memperkaya kajian dari penelitian yang dilakukan tidak hanya sekedar

menghitung besarnya probabilitas terjadinya risiko pada suatu usaha, tetapi juga

mengukur dampak yang ditimbulkan risiko tersebut bagi perusahaan.

Berbeda dengan penelitian Silaban (2011) tentang analisis risiko produksi

ikan hias pada PT Taufan Fish Farm yang hanya menggunakan variance, standard

deviation, dan coefficient variation. Silaban (2011) juga mencoba melihat pengaruh diversifikasi (portofolio) untuk mengendalikan risiko dalam perusahaan

yang dikajinya.

Berdasarkan hasil tinjauan terhadap penelitian terdahulu mengenai metode

analisis, terlihat bahwa metode analisis yang ada tidak lagi sekedar digunakan

untuk mengukur besaran risiko, tetapi juga digunakan untuk mengukur peluang

(17)

17 dijalankannya. Terdapat persamaan dalam penelitian ini dengan penelitian

terdahulu. Metode analisis risiko yang dipergunakan pada penelitian Lestari

(2009), Siregar (2010), dan Sahar (2010) dengan menggunakan alat analisis

deskriptif, coefficient variation, Z-score dan Value at Risk (VaR) juga digunakan dalam penelitian ini.

2.3.3. Strategi Penanganan Risiko

Strategi penanganan risiko dalam pertanian ada dua (Kountur, 2008), yaitu

strategi preventif dan mitigasi. Menurut Lestari (2009), Sahar (2010) dan Siregar

(2010) pada penelitiannya tentang manajemen risiko dalam usaha pembenihan

udang vannamei dan analisis risiko produksi pembenihan lele dumbo strategi

penanganan risiko yang tepat adalah strategi preventif dan strategi mitigasi.

Strategi preventif digunakan untuk mencegah kematian benih udang vannamei

yang disebabkan oleh cuaca dan kerusakan peralatan teknis. Adapun strategi

preventif yang digunakan oleh Lestari diantaranya adalah persiapan bak

pemeliharaan, pemeliharaan induk, pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air,

pengelolaan pakan serta pelatihan sumber daya manusia. Strategi mitigasi

digunakan oleh Lestari untuk mengurangi kematian benih yang disebabkan

penyakit serta induk udang yang stress karena baru didatangkan dari Hawai.

Adapun strategi mitigasi yang digunakan oleh Lestari adalah kegiatan

pengendalian penyakit dan pengadaan dan perlakuan induk yang tepat. Berbeda

strategi dengan penelitian Siregar (2010), strategi preventif yang dilakukan oleh

Siregar, yaitu pengendalian perubahan suhu yang ekstrim dan pengendalian

serangan hama. Untuk strategi mitigasi yang dilakukan adalah mengatasi musim

kemarau yang menyebabkan penurunan produksi telur yang dihasilkan.

Berbeda dengan Silaban (2011) dalam penelitiannya, bahwa strategi

preventif tidak efektif digunakan dalam mengelola risiko. Pada penelitian Silaban

(2010) tentang analisis risiko produksi ikan hias yang hanya menggunakan

strategi mitigasi saja. Strategi mistigasi yang dilakukan Silaban (2011) adalah

dengan menggunakan diversifikasi (portofolio) pada usaha yang ada. Adanya

diversifikasi akan dapat meminimisasi risiko tetapi tidak dapat dihilangkan

seluruhnya menjadi nol. Alternatif strategi yang disarankan oleh Silaban adalah

(18)

18 Hal tersebut berfungsi apabila salah satu kegiatan pembenihan satu jenis ikan hias

gagal, dapat ditutupi dengan kegiatan pembenihan ikan hias lainnya.

Pemetaan risiko adalah proses yang harus dilakukan sebelum dapat

menangani risiko sehingga menjadi bagian yang penting dalam penelitian

mengenai risiko. Peta risiko menggambarkan tentang kemungkinan terjadinya dan

dampak yang dapat ditimbulkan oleh suatu risiko. Berdasarkan hasil pemetaan

risiko tersebut, maka selanjutnya perusahaan menetapkan strategi penanganan

risiko yang tepat. Strategi penanganan risiko secara garis besar terbagi atas dua,

yaitu penghindaran risiko dan mitigasi risiko. (Lestari, 2009; Siregar, 2010)

menggunaan metode tersebut untuk menetapkan strategi yang tepat untuk

menangani risiko yang dihadapi oleh perusahaan yang menjadi objek penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu terlihat adanya perbedaan strategi

penanganan risiko antara penelitian Siregar (2010) dan Silaban (2011). Strategi

preventif dan strategi mitigasi dijadikan alternatif strategi oleh Siregar. Tetapi

menurut Silaban (2010) alternatif strategi preventif kurang efektif bila dilakukan

sehingga alternatif yang paling tepat adalah strategi mitigasi saja. Perbedaan

tersebut dikarenakan kondisi tempat yang berbeda sehingga alternatif strategi

yang diberikan juga tentunya akan berbeda. Tetapi dengan hasil penelitian

terdahulu akan memberikan landasan terhadap penelitian ini dalam

mengeksplorasi keadaan dilokasi penelitian.

(19)

19

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Definisi dan Konsep Risiko

Kata risiko banyak digunakan dalam berbagai pengertian dan sudah biasa

dipakai dalam percakapan sehari-hari oleh kebanyakan orang. Dalam kegiatan

usaha, pengertian risiko yang dimaksud berbeda dengan risiko dalam kehidupan

sehari-hari. Risiko dalam bidang usaha memiliki berbagai kejadian yang

kompleks dengan pertimbangan variabel yang berpengaruh terhadap keputusan

bagi kelangsungan suatu usaha.

Definisi risiko (risk) menurut Robinson dan Barry (1987) adalah peluang

terjadinya suatu kejadian (merugikan) yang dapat diukur oleh pengambil

keputusan. Pada umumnya peluang pada suatu kejadian dapat ditentukan oleh

pembuat keputusan berdasarkan pengalaman dalam mengelola suatu usaha.

Sementara itu, menurut Darmawi (2005), risiko dihubungkan dengan

kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian ) yang tidak diinginkan atau tidak

terduga. Penggunaan kata “kemungkinan” tersebut sudah menunjukan adanya

ketidakpastian. Ketidakpastian itu merupakan kondisi yang menyebabkan

tumbuhnya risiko, sedangkan kondisi yang tidak pasti tersebut timbul karena

berbagai hal, antara lain:

1. Jarak waktu dimulai perencanaan atas kegiatan sampai kegiatan itu

berakhir, makin panjang jarak waktu makin besar ketidakpastiannya.

2. Keterbatasan tersedianya informasi yang diperlukan.

3. Keterbatasan pengetahuan atau keterampilan mengambil keputusan.

Risiko sangat erat kaitannya dengan ketidakpastian, tetapi kedua hal

tersebut memiliki makna yang berbeda. Ketidakpastian (uncertainty) menurut

Robinson dan Barry (1987) adalah peluang suatu kejadian yang tidak dapat diukur

oleh pengambilan keputusan. Adanya ketidakpastian dapat menimbulkan risiko.

Menurut Kountur (2008), ada tiga unsur penting dari suatu kejadian yang

dianggap sebagai risiko, yaitu : (1) Merupakan suatu kejadian. (2) kejadian

tersebut masih merupakan kemungkinan, jadi bisa terjadi dan bisa tidak. (3) Jika

(20)

20 3.1.2. Klasifikasi Risiko

Menurut Harword et al (1999) terdapat beberapa sumber risiko yang dapat

dihadapi oleh petani,yaitu :

1. Risiko Produksi

Sumber risiko yang berasal dari risiko produksi diantaranya adalah gagal

panen,rendahnya produktivitas, kerusakan barang yang ditimbulkan oleh

serangan hama dan penyakit, perbedaan iklim, kesalahan sumberdaya manusia

dan lain-lain.

2. Risiko Pasar atau Harga

Risiko yang ditimbulkan oleh pasar diantaranya adalah barang tidak dapat

dijual yang diakibatkan ketidakpastian mutu, permintaan rendah,

ketidakpastian harga output, inflasi, daya beli masyarakat, persaingan dan

lain-lain. Sementara itu, risiko yang ditimbulkan oleh harga karena inflasi.

3. Risiko Kelembagaan

Risiko yang ditimbulkan dari kelembagaan antara lain adanya aturan

tertentu yang membuat anggota suatu organisasi menjadi kesulitan untuk

memasarkan ataupun meingkatkan hasil produksinya.

4. Risiko Kebijakan

Risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan antara lain adanya suatu kebijakan

tertentu yang dapat menghambat kemajuan suatu usaha, misalnya kebijakan

tarif ekspor.

5. Risiko Finansial

Risiko yang ditimbulkan oleh risiko finansial antara lain adalah adanya

piutang tak tertagih,likuiditas yang rendah sehingga perputaran usaha

terhambat, perputaran barang rendah, laba yang menurun karena krisis

ekonomi dan lain-lain.

Berdasarkan beberapa klasifikasi sumber risiko menurut Harword et al (1999), maka sumber risiko yang secara umum dihadapi oleh Darmaga Fish

Culture adalah risiko produksi. Risiko produksi yang dihadapi diantaranya

(21)

21 Risiko juga dapat diklasifikasikan dari sudut pandang penyebab timbulnya

risiko, akibat yang ditimbulkannya, aktivitas yang dilakukan, dan sudut pandang

kejadian yang terjadi (Kountur, 2008) :

1. Risiko dari Sudut Pandang Penyebabnya

Risiko jika diklasifikasikan dalam sudut pandang penyebab kejadian dapat

dibedakan ke dalam risiko keuangan dan risiko operasional. Risiko keuangan

disebabkan oleh faktor-faktor keuanagan seperti perubahan harga, tingkat bunga

dan mata uang asing, sedangkan risiko operasional merupakan risiko yang

disebabkan oleh faktor-faktor non keuangan seperti manusia,teknologi dan alam.

2. Risiko dari Sudut Pandang Akibat

Risiko dari sudut pandang akibat terbagi atas dua, yaitu risiko murni dan

risiko spekulatif. Risiko murni adalah risiko yang akibat yang ditimbulkannya

hanya berupa sesuatu yang merugikan dan tidak memungkinkan adanya

keuntungan, sedangkan risiko spekulatif, yaitu risiko yang memungkinkan untuk

menimbulkan kerugian atau menimbulkan suatu keuntungan.

3. Risiko dari Sudut Pandang Aktivitas

Aktivitas dapat menimbulkan berbagai macam risiko, misalnya aktivitas

pemberian kredit oleh bank yang risikonya dikenal dengan risiko kredit.

Banyaknya risiko dari sudut pandang penyebab adalah sebanyak jumlah aktivitas

yang ada.

4. Risiko dari Sudut Pandang Kejadian

Risiko dari sudut pandang kejadian menyatakan suatu risiko berdasarkan

kejadiannya. Misalnya jika terjadi kebakaran, maka risiko yang terjadi adalah

risiko kebakaran. Perlu diketahui bahwa dalam suatu aktivitas pada umumnya

terdapat beberapa kejadian, sehingga kejadian adalah salah satu bagian dari

aktivitas.

3.1.3. Manajemen Risiko

Manajemen risiko dapat didefinisikan sebagai langkah-langkah yang

berfungsi untuk membantu perusahaan dalam memahami dan mengatur

ketidakpastian atau risiko yang mungkin timbul selama proses usaha (Pressman

2001). Manajemen risiko berfungsi untuk mengenali risiko yang sering muncul,

(22)

22 risiko dan menyiapkan rencana penanggulangan dan respon terhadap risiko.

Sementara itu, definisi manajemen risiko menurut Darmawi (2005) adalah suatu

usaha untuk mengetahui, menganalisis, serta mengendalikan risiko pada setiap

kegiatan perusahaan dengan tujuan untuk memperoleh efektivitas dan efisiensi.

Manajemen risiko perusahaan adalah cara bagaimana menangani semua

risiko yang ada dalam perusahaan dalam usaha mencapai tujuan. Penanganan

risiko dapat dianggap sebagai salah satu fungsi dari manajemen (Kountur, 2008).

Sasaran utama dari manajemen risiko perusahaan adalah untuk menghindari

risiko. Manajemen risiko merupakan suatu proses dan struktur yang diarahkan

untuk merealisasikan peluang potensial sekaligus mengelola dampak yang

merugikan.

Pentingnya manajemen risiko diantaranya adalah untuk menerapkan tata

kelola usaha yang baik, menghadapi kondisi lingkungan usaha yang cepat

berubah, mengukur risiko usaha, pengelolaan risiko yang sistematis serta untuk

memaksimumkan laba. Konsep manajemen risiko yang penting untuk penilaian

suatu risiko diantaranya tingkat maksimum kerusakan yang akan dialami

perusahaan jika terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan risiko atau yang disebut

dengan eksposur, besarnya kemungkinan suatu peristiwa yang berisiko, besarnya

kerusakan yang akan dialami oleh perusahaan, waktu yang dibutuhkan untuk

terekspos dalam risiko (Lam, 2007).

Proses manajemen risiko dimulai dengan mengidentifikasi sumber risiko

krusial apa saja yang terjadi diperusahaan. Sumber risiko ini dapat terbagi menjadi

tiga bagian, yaitu risiko lingkungan,risiko proses, dan risiko informasi. Tahap ini

akan menghasilkan output berupa daftar risiko yang kemudian akan dilakukan

pengukuran risiko. Pengukuran risiko ini terdiri dari tahap pengukuran dampak

dan kemungkinan terjadinya risiko yang kemudian akan menunjukan status risiko

dalam perusahaan. Pengukuran status risiko ini akan dibantu dengan pemetaan

risiko yang akan menunjukan posisi risiko. Posisi risiko ini yang nantinya akan

membantu membentuk perumusan manajemen risiko yang tepat untuk

pengelolaan risiko yang terjadi (Kountur, 2008).

Menurut Kountur (2008), ada begitu banyak risiko dan tidak mungkin kita

(23)

23 sebanyak-banyaknya, maka kita akan kehabisan waktu, energi, dan biaya. Oleh

karena itu, dapat digunakan aplikasi dari hukum pareto pada risiko, yaitu bahwa

80 persen kerugian perusahaan disebabkan oleh hanya 20 persen risiko yang

krusial. Jika kita dapat menangani 20 persen risiko krusial tersebut, maka kita

sudah dapat menghindari 80 persen kerugian dan itu merupakan jumlah yang

sangat besar. Namun jika salah menangani risiko, dimana yang ditangani justru

bukan risiko yang krusial, tetapi justru yang tidak penting bukan tidak mungkin

kita menangani 80 persen risiko yang sebenarnya hanya memberikan kontribusi

20 persen saja, sehingga sangat penting untuk dapat mengetahui mana

risiko-risiko yang krusial. Jadi tidak semua risiko-risiko perlu untuk diidentifikasi, tetapi cukup

pada risiko-risiko yang krusial.

3.1.4. Pengukuran Risiko

Menurut Darmawi (2005), sesudah risiko diidentifikasi, maka selanjutnya

risiko itu harus diukur untuk menentukan derajat kepentingannya dan untuk

memperoleh informasi yang akan menolong untuk menetapkan kombinasi

peralatan manajemen risiko yang cocok untuk menanganinya. Informasi yang

diperlukan berkenaan dengan dua dimensi risiko yang perlu diukur, yaitu : (a)

frekuensi atau jumlah kerugian yang akan terjadi; (b) keparahan dari kerugian.

Sementara itu, paling sedikit untuk masing-masing dimensi itu yang ingin

diketahui ialah : (a) Rata-rata nilainya dalam periode anggaran; (b) Variasi nilai

dari suatu periode ke periode anggaran sebelumnya dan berikutnya; (c) Dampak

keseluruhan dari kerugian-kerugian itu jika seandainya kerugian itu ditanggung

sendiri.

Menurut Batuparan (2001) , pengukuran risiko dibutuhkan sebagai dasar

untuk memahami signifikansi dari akibat (kerugian) yang akan ditimbulkan oleh

terealisasinya suatu risiko, baik secara individual maupun portofolio terhadap

tingkat kesehatan dan kelangsungan usaha. Pemahaman signifikansi yang akurat

lebih lanjut akan menjadi dasar bagi pengelolaan risiko yang terarah dan berhasil

guna. Signifikansi suatu risiko maupun portofolio risiko dapat diketahui dengan

melakukan pengukuran terhadap dimensi risiko, yaitu : (a) kuantitas risiko, yaitu

jumlah kerugian yang mungkin muncul dari terjadinya risiko,(2) kualitas risiko,

(24)

24 terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat risikonya dan semakin tinggi

dampak yang ditimbulkan dari terjadinya risiko maka semakin besar pula tingkat

risikonyaa.

Menurut Kountur (2008) maksud dari pengukuran risiko adalah untuk

menghasilkan apa yang disebut dengan status risiko dan peta risiko. Status risiko

adalah ukuran yang menunjukan tingkatan risiko, sehingga dapat diketahui mana

risiko yang lebih krusial dari risiko lainnya, sedangkan peta risiko adalah

gambaran sebaran risiko dalam suatu peta sehingga kita bisa mengetahui dimana

posisi risiko terhadap peta. Berdasarkan peta risiko dan status risiko kemudian

manajemen dapat melakukan penanganan risiko sesuai dengan posisi risiko yang

telah terpetakan dalam peta risiko, sehingga proses penanganan risiko dapat

dilakukan dengan lebih tepat sesuai dengan status risikonya (Kountur, 2008).

3.1.5. Konsep Penanganan Risiko

Menurut Kountur (2008), berdasarkan peta risiko dapat diketahui cara

penanganan risiko yang tepat untuk dilaksanakan. Ada dua strategi penanganan

risiko, yaitu :

1. Preventif

Preventif dilakukan untuk menghindari terjadinya risiko. Strategi ini

dilakukan apabila probabilitas risiko besar. Strategi preventif dapat dilakukan

dengan beberapa cara, diantaranya : (1) membuat atau memperbaiki system, (2)

mengembangkan sumberdaya manusia, dan (3) memasang atau memperbaiki

fasilitas fisik.

2. Mitigasi

Mitigasi adalah strategi penanganan risiko yang dimaksudkan untuk

memperkecil dampak yang ditimbulkan oleh risiko. Strategi mitigasi dilakukan

untuk menangani risiko yang memiliki dampak yang sangat besar. Adapun

beberapa cara yang termasuk ke dalam strategi mitigasi adalah :

a. Diversifikasi

Diversifikasi merupakan cara menempatkan asset di beberapa tempat

sehingga jika salah satu tempat terkena musibah tidak akan menghabiskan

(25)

25 b. Penggabungan

Penggabungan atau yang lebih dikenal dengan istilah merger menekankan pola penanganan risiko pada kegiatan penggabungan dengan pihak

perusahaan lain. Contoh strategi ini adalah dengan melakukan merger atau

dengan melakukan akuisisi.

c. Pengalihan Risiko

Pengalihan risiko merupakan cara penanganan risiko dengan mengalihkan

dampak dari risiko ke pihak lain. Cara ini bermaksud jika terjadi kerugian

pada perusahaan maka yang menanggung kerugian tersebut adalah pihak

lain. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengalihkan risiko ke

pihak lain, diantaranya melalui asuransi, leasing,outsourching, dan hedging.

Asuransi dilakukan dengan cara mengasuransikan harta perusahaan yang

dampak risikonya besar, sehingga mengurangi dampak kerugian dari risiko

tersebut karena sudah dialihkan kepada pihak asuransi. Leasing adalah cara

dimana suatu aset digunakan, tetapi kepemilikannya ada pada pihak lain. Jika

terjadi sesuatu pada aset tersebut, maka pemiliknya yang akan menanggung

kerugian atas aset tersebut.

Outsourcing adalah cara dimana pekerjaan diberikan kepada pihak lain, sehingga kita tidak menanggung kerugian seandainya pekerjaan yang dilakukan

gagal. Sementara itu, Hedging adalah cara pengurangan dampak risiko dengan cara mengalihkan risiko melalui transaksi penjualan dan pembelian. Beberapa

cara melakukan Hedging diantaranya adalah forward contract, future contract, option, dan swap.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Darmaga Fish Culture memiliki lahan 3.600 m2 yang digunakan untuk

memproduksi benih ikan patin. Benih patin tersebut dipelihara dalam akuarium

dan bak fiber yang berada didalam ruangan Hatchery. Darmaga Fish Culture dalam menjalankan bisnisnya menghadapi kendala,yaitu risiko produsi. Risiko

produksi tersebut salah satunya diindikasikan dari adanya fluktuasi produktrivitas

benih yang dihasilkan. Sementara itu, sumber utama yang menjadi indikasi faktor

(26)

26 (pangasius hyphothalmus) diantaranya adalah faktor cuaca, tingkat keterampilan

yang dimiliki perusahaan yang belum memadai dalam melaksanakan kegiatan

proses produksi, dan penyakit. Kerugian akibat risiko produksi yang dialami

antara lain adalah jumlah produksi benih yang rendah. Rendahnya jumlah

produksi benih patin yang dihasilkan berdampak terhadap pendapatan yang

diterima oleh Darmaga Fish Culture. Adanya kendala di Darmaga Fish Culture

yang telah dijelaskan diatas, tentunya perlu ada upaya untuk mengatasi kendala

tersebut.

Dalam penelitian ini akan dilakukan proses identifikasi sumber-sumber

risiko produksi apa saja yang dihadapi oleh perusahaan tersebut. Selanjutnya,

mengidentifikasi upaya penanganan risiko produksi yang dilakukan oleh Darmaga

Fish Culture. Analisis ini dilakukan dengan metode analisis deskriptif melalui

observasi, wawancara,dan diskusi dengan pengelola Darmaga Fish Culture.

Analisis selanjutnya yang dilakukan adalah analisis probabilitas dan dampak

risiko produksi benih patin akibat adanya sumber-sumber risiko. Pengukuran

probabilitas atau kemungkinan terjadinya kerugian dilakukan dengan analisis nilai

standar atau dikenal dengan analisis z-score, sedangkan pengukuran dampak

risiko dilakukan dengan menggunakan analisis Value at Risk (VAR). Analisis dilakukan menggunakan data produksi benih patin di DFC dari bulan Januari 2010

sampai April 2011. Hasil analisis ini akan menunjukkan status risiko, sehingga

dapat diketahui risiko produksi mana yang lebih krusial dibandingkan dengan

risiko-risiko produksi lainnya yang ada di DFC.

Hasil analisis ini akan menunjukan status risiko dalam perusahaan dan

untuk mengetahui posisi risiko dalam perusahaan, maka dilakukan pemetaan

risiko. Setelah mengetahui posisi risiko maka selanjutnya dapat dibuat alternatif

strategi penanganan risiko yang tepat untuk mengendalikan sumber-sumber risiko

tersebut. Hasil analisis terhadap risiko produksi, selanjutnya akan

direkomendasikan kepada Darmaga Fish Culture. Alur kerangka pemikiran

(27)

27 Gambar 1.Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian

Fluktuasi produktivitas benih pada Usaha Pembenihan Ikan Patin di Darmaga Fish Culture

Identifikasi Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Analisis Deskriptif pada Aspek Produksi

Analisis Probabilitas dari Sumber-Sumber

Risiko Produksi Menggunakan Metode

Z- score

Alternatif Strategi Penanganan Risiko Produksi Analisis Dampak dari

Sumber-Sumber Risiko Produksi Menggunakan Metode Value at Risk

(VaR)

(28)

28

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Darmaga Fish Culture yang berlokasi di Selatan

Jalan Ciherang, Desa Ciherang Pentas, RT 002/RW 05, Kecamatan Dramaga,

Jawa Barat. Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juni 2011. Pemilihan

lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan mempertimbangkan

bahwa DFC merupakan salah satu perusahaan pembenihan patin yang cukup besar

di daerah Bogor karena mempunyai sarana yang cukup lengkap seperti jumlah

akuarium sekitar 200 buah dan 2 buah ruangan hatchery untuk proses kegiatan pembenihan serta adanya sistem modern dalam proses produksinya.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer

merupakan data yang diperoleh langsung dari sumber atau objek penelitian. Data

primer diantaranya diperoleh melalui pengamatan langsung di lokasi usaha

maupun dari proses wawancara dengan pengelola yaitu, bapak Gani dan Ibu Erni

serta karyawan DFC yaitu, Bapak Mumuh, Sarif dan Feri untuk mengetahui

keadaan umum lokasi usaha, proses produksi, penanganan induk, sumber risiko

produksi yang dihadapi dalam melakukan usaha pembenihan patin siam

(pangasius hyphothalmus).

Data sekunder yang digunakan diantaranya diperoleh dalam bentuk data

historis yang dimiliki oleh perusahaan berupa data produksi benih patin Darmaga

Fish Culture pada bulan Januari 2010 hingga April 2011, data statistik, buku,

jurnal, dan bahan pustaka lain yang relevan dengan topik dan komoditas

penelitian yang diantaranya bersumber dari Dinas Pertanian Kota Bogor,

perpustakan Pusat Kajian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, dan LSI IPB.

4.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data pada penelitian yang dilaksanakan dilakukan

(29)

29 1. Melakukan observasi atau pengamatan, observasi dilakukan dengan

melihat dan mengamati secara langsung proses pembenihan ikan patin

siam (pangasius hypothalmus) yang dilakukan di Darmaga Fish Culture.

2. Melakukan wawancara dan diskusi dengan pengelola perusahaan yaitu,

Bapak Gani dan Ibu Erni serta karyawan di DFC yaitu, Sarif, Feri, dan

Bapak Mumuh untuk memperoleh keterangan yang sesuai dengan

kebutuhan penelitian, sehingga data yang akan digunakan

menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan, khususnya mengenai

hal-hal yang berpotensi menjadi sumber risiko produksi pada usaha

pembenihan ikan patin siam (pangasius hypothalmus).

3. Membaca dan melakukan pencatatan data-data yang dibutuhkan dalam

penelitian.

4.4. Metode Analisis Data

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti status

kelompok manusia, suatu sel kondisi, suatu sistem pemikiran maupun suatu

peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah untuk membuat deskripsi,

gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat serta

hubungan antar fenomena yang diselidiki. Analisis deskriptif dilakukan untuk

menganalisis faktor-faktor yang menjadi sumber risiko produksi dalam usaha

pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) yang dilaksanakan di

Darmaga Fish Culture. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses

identifikasi risiko diantaranya adalah dengan cara melakukan pendekatan dari

pengelola DFC serta kepada karyawan-karyawan DFC untuk mengetahui kejadian

merugikan apa saja yang sering dialami oleh perusahaan dalam melakukan

pembenihan patin siam. Kemudian menanyakan kegiatan-kegiatan apa saja yang

harus dilakukan untuk menghasilkan benih patin siam. Setelah mengetahui

kegiatan apa saja yang dilakukan untuk menghasilkan patin siam, selanjutnya

menanyakan kegiatan-kegiatan yang berisiko dari kegiatan-kegiatan yang ada

serta kejadian merugikan apa saja yang mungkin terjadi pada kegiatan berisiko

tersebut. Setelah mengetahui kejadian yang merugikan di DFC, selanjutnya

(30)

30 mengetahui sumber-sumber risiko yang ada di DFC. Setelah sumber-sumber

risiko teridentifikasi, langkah selanjutnya melakukan diskusi dengan pengelola

dan karyawan DFC untuk memastikan sumber-sumber risiko yang kita identifikasi

sesuai dengan keadaan yang dialami oleh perusahaan.

4.4.2. Analisis Kemungkinan Terjadinya Risiko

Risiko dapat diukur jika diketahui kemungkinan terjadinya risiko dan

besarnya dampak risiko terhadap perusahaan. Ukuran pertama dari risiko adalah

besarnya kemungkinan terjadinya yang mengacu pada seberapa besar probabilitas

risiko akan terjadi. Metode yang akan digunakan untuk mengetahui kemungkinan

terjadinya risiko adalah metode nilai standar atau z-score. Metode ini dapat digunakan apabila ada data historis sebelumnya dan berbentuk kontinus (desimal).

Pada penelitian ini, yang akan dihitung adalah kemungkinan terjadinya risiko pada

kegiatan produksi benih patin di DFC. Data yang akan digunakan untuk

menghitung kemungkinan terjadinya risiko pada kegiatan produksi adalah data

produksi benih patin siam dari bulan Januari 2010 sampai April 2011. Menurut

Kountur (2008), langkah yang perlu dilakukan untuk melakukan perhitungan

kemungkinan terjadinya risiko meggunakan metode ini dan aplikasinya pada

usaha pembenihan ikan patin siam (pangasius hyphothalmus) di Darmaga Fish

Culture adalah :

1. Menghitung rata-rata kejadian berisiko

Rumus yang digunakan untuk menghitung rata-rata benih patin yang

diproduksi adalah :

= �

� �=1

Dimana :

= Nilai rata-rata dari kejadian berisiko

(31)

31

= −

2. Menghitung nilai standar deviasi dari kejadian berisiko

= ( � −

�=1 )2

� −1

Dimana :

S = Standar deviasi dari kejadian berisiko xi = Nilai per bulan dari kejadian berisiko = Nilai rata-rata dari kejadian berisiko

n = Jumlah data

3. Menghitung Z-score

Dimana :

z = nilai Z-score dari kejadian berisiko

y = Batas risiko yang dianggap masih dalam taraf normal = Nilai rata-rata kejadian berisiko

s = Standar deviasi dari kejadian berisiko

Jika, hasil Z-score yang diperoleh bernilai negatif, maka nilai tersebut

berada di sebelah kiri nilai rata-rata pada kurva distribusi normal dan sebaliknya

jika nila Z-score positif, maka nilai tersebut berada di sebelah kanan kurva

distribusi z (normal).

4. Mencari probabilitas terjadinya risiko produksi

Setelah nilai Z-score dari produksi benih patin di Darmaga Fish Culture

diketahui, maka selanjutnya dapat dicari probabilitas terjadinya risiko

produksi yang diperoleh dari tabel distribusi Z (normal) sehingga dapat

diketahui berapa persen kemungkinan terjadinya keadaan dimana produksi

(32)

32 4.4.3. Analisis Dampak Risiko

Metode yang paling efektif digunakan dalam mengukur dampak risiko

adalah VaR (Value at Risk). VaR adalah kerugian terbesar yang mungkin terjadi

dalam rentang waktu tertentu yang diprediksikan dengan tingkat kepercayaan

tertentu. Penggunaan VaR dalam mengukur dampak risiko hanya dapat dilakukan

apabila terdapat data historis sebelumnya. Analisis ini dilakukan untuk mengukur

dampak dari risiko pada kegiatan produksi benih patin di Darmaga Fish Culture.

Kejadian yang dianggap merugikan berupa penurunan produksi sebagai akibat

dari terjadinya sumber-sumber risiko. Menurut Kountur (2008), VaR dapat

dihitung dengan rumus berikut.

� = + �

Dimana :

VaR = Dampak kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian berisiko = Nilai rata-rata kerugian akibat kejadian berisiko

z = Nilai Z yang diambil dari tabel distribusi normal dengan alfa 5%. s = Standar deviasi kerugian akibat kejadian berisiko

n = Banyaknya kejadian berisiko

4.4.4. Pemetaan risiko

Menurut Kountur (2008), sebelum dapat menangani risiko, hal yang

terlebih dahulu dilakukan adalah membuat peta risiko. Peta risiko adalah

gambaran mengenai posisi risiko pada suatu peta dari dua sumbu, yaitu sumbu

vertikal yang menggambarkan probabilitas dan sumbu horizontal yang

(33)

33 Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar Gambar 2. Peta Risiko

Sumber : Kountur (2008)

Probabilitas atau kemungkinan terjadinya risiko dibagi menjadi dua

bagian, yaitu besar dan kecil. Dampak risiko juga dibagi menjadi dua bagian,

yaitu besar dan kecil. Batas antara probabilitas atau kemungkinan besar dan kecil

ditentukan oleh manajemen, tetapi pada umumnya risiko yang probabilitasnya 20

persen atau lebih dianggap sebagai kemungkinan besar, sedangkan dibawah 20

persen dianggap sebagai kemungkinan kecil (Kountur, 2008). Sementara itu,

berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola, ditetapkan nilai standar yang

membatasi kemungkinan besar dan kecil adalah sebesar 28 persen.

4.4.5. Penanganan Risiko

Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada peta risiko , maka selanjutnya

dapat ditetapkan strategi penanganan risiko yang sesuai. Terdapat dua strategi

yang dapat dilakukan untuk menangani risiko,yaitu :

1. Penghindaran Risiko (Preventif)

Strategi preventif dilakukan untuk risiko yang tergolong dalam

probabilitas risiko yang besar. Strategi preventif akan menangani risiko yang

berada pada kuadran 1 dan 2. Penanganan risiko dengan menggunakan strategi

preventif, maka risiko yang ada pada kuadran 1 akan bergeser ke kuadran 3 dan

risiko yang berada pada kuadran 2 akan bergeser kekuadran 4 (Kountur, 2008).

Penanganan risiko menggunakan strategi preventif dapat dilihat pada Gambar 3.

Kuadran 1 Kuadran 2

(34)

34 Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar

Gambar 3. Preventif Risiko

2. Mitigasi Risiko

Strategi mitigasi digunakan untuk meminimalkan dampak risiko yang

terjadi. Risiko yang berada pada kuadan dengan dampak yang besar diusahakan

dengan menggunakan strategi mitigasi dapat bergeser ke kuadran yang memiliki

dampak risiko yang kecil. Strategi mitigasi akan menangani risiko sedemikian

rupa sehingga risiko yang berada pada kuadran 2 bergeser ke kuadran 1 dan risiko

yang berada pada kuadran 4 akan bergeser ke kuadran 3. Strategi mitigasi dapat

dilakukan dengan metode diversifikasi, penggabungan dan pengalihan risiko

(Kountur, 2008). Mitigasi risiko dapat dilihat pada Gambar 4.

Probabilitas (%)

Besar

Kecil

Dampak (Rp) Kecil Besar

Gambar 4. Mitigasi Risiko

Kuadran 1 Kuadran 2

Kuadran 3 Kuadran 4

Kuadran 1 Kuadran 2

(35)

35 4.5. Indikator Penentuan Jenis Sumber Risiko Pada Setiap Kejadian

Darmaga Fish Culture menghadapi risiko produksi dalam melaksanakan

kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius hyphothalmus), dimana

beberapa faktor yang diindikasikan sebagai sumber dari risiko produksi tersebut

diantaranya adalah perubahan suhu air yang ekstrim, kesalahan pembudidaya

dalam melakukan seleksi induk, musim kemarau, dan serangan penyakit. Oleh

karena itu, perlu ditetapkan indikator untuk menggolongkan atau

mengkategorikan jenis sumber risiko pada setiap kejadian yang berisiko yang

terjadi pada pelaksanaan kegiatan pembenihan ikan patin siam (Pangasius

hyphothalmus). Tujuan dari penetapan indikator tersebut adalah untuk menghindari kesalahan penggolongan dari setiap kejadian berisiko yang dapat

mengakibatkan proses analisis yang dilakukan tidak menggambarkan kondisi

yang sebenarnya terjadi dilokasi penelitian.

Sumber risiko produksi perubahan suhu air yang ekstrim diindikasikan

oleh kejadian berisiko dalam bentuk kematian benih yang sedang dipelihara

secara mendadak dan bersamaan pada akuarium dan bak fiber akibat terjadinya perubahan suhu air yang signifikan pada akuarium dan bak fibers pasca terjadinya

peralihan cuaca dari panas kepada hujan ataupun sebaliknya. Meskipun

pemeliharan benih patin berada pada ruang hatchery dan menggunakan kompor untuk menjaga suhu air tetap terjaga, kenyataannya suhu air menjadi sumber

risiko bagi perusahaan. Sementara itu, indikator untuk sumber risiko produksi

kesalahan pembudidaya dalam melakukan seleksi induk adalah apabila kejadian

berisiko yang terjadi mengakibatkan banyak telur yang tidak menetas atau derajat

penetasannya rendah. Hal tersebut dikarenakan induk patin yang dipijahkan

pembudidaya sebenarnya tidak memenuhi kriteria yang seharusnya dimiliki oleh

induk patin yang akan dipijahkan, meliputi kecukupan umur, berat, kondisi

genetis, kondisi fisik, serta kematangan telur yang dikandung oleh induk betina.

Induk patin yang tidak memenuhi semua kriteria untuk dipijahkan tersebut tetap

dapat menghasilkan telur, tetapi telur yang dihasilkan memiliki derajat penetasan

yang rendah atau banyak yang gagal menetas sehingga banyak potensi benih patin

(36)

36 Sumber risiko produksi musim kemarau diindikasikan oleh kejadian

berisiko yang mengakibatkan penurunan produktivitas telur yang dihasilkan oleh

induk patin betina dalam jumlah yang signifikan sehingga menyebabkan

penurunan benih patin siam yang dihasilkan dalam jumlah banyak di perusahaan.

Penurunan produksi telur tersebut terjadi akibat kondisi musim kemarau yang

biasanya terjadi sekitar bulanApril sampai bulan Oktober.

Sumber risiko produksi yang terakhir yaitu penyakit yang menyerang

benih patin, diindikasikan oleh suatu kejadian berisiko yang mengakibatkan benih

yang dipelihara pada akuarium dan bak fiber mengalami kematian dalam waktu

yang hampir bersamaan pasca menunjukan tanda-tanda bahwa benih tersebut telah

terinfeksi oleh suatu penyakit. Penyakit yang umumnya menyerang benih patin

biasanya diakibatkan oleh white spot dan bakteri Aeromonas yang berasal dari pakan cacing sutera yang tercemar ataupun dalam kondisi mati serta air dalam

akuarium yang terkontaminasi oleh air hujan. Tanda-tanda benih patin yang telah

terinfeksi bakteri tersebut adalah benih sering terlihat mengambang dipermukaan

akuarium dan bak fiber, lemas, dan kehilangan nafsu makan. Berdasarkan

penjelasan diatas, diperkirakan kejadian yang merugikan untuk sumber risiko

produksi di DFC adalah kematian benih patin siam, penurunan benih patin siam

Gambar

Tabel 4.  Perkembangan Produksi Benih Ikan Tawar di Kabupaten Bogor Tahun 2007-2010
Tabel 5.  Jumlah Induk, Benih yang Dihasilkan, dan Produktivitas Patin Bulan
Gambar 1.Kerangka Pemikiran Operasional Penelitian
Gambar 2. Peta Risiko
+7

Referensi

Dokumen terkait

pada pertemuan hari itu. Setiap kelompok diminta mengeluarkan ikan yang telah ditugaskan pada pertemuan sebelumnya. Setiap kelompok mengidentifikasi ikan yang telah dibawanya

Hal ini mengindikasikan beberapa hal, diantaranya adalah bahwa: Penyerahan tampuk kepe- mimpinan (suksesi) perusahaan keluarga menjadi berita utama karena disajikan di halaman 1

The research question of this study is “ what are the teachers’ views toward the use of literature in English teaching?” As a matter of fact, the advantages, problems and

Dalam penelitian ini, yang akan diteliti adalah hubungan terpaan film “KING” dengan motif berprestasi atlet bulutangkis junior PB.. Suryanaga

Perhatian sangatlah penting dalam mengikuti kegiatan dengan baik, dan hal ini akan berpengaruh pula terhadap minat siswa dalam belajar. Menurut Sumadi Suryabrata

temuan data yang diperoleh dengan menggunakan suatu metode tertentu. Moleong, Metodologi Penelitian… , hal. Moleong, Metodologi Penelitian… , hal.. kepercayaan penemuan hasil

Senyawa-senyawa yang berasal dari spesies Sonneratia caseolaris telah banyak dilaporkan memiliki senyawa yang bersifat bioaktivitas, seperti antidiabetes dan

Untuk indikator kinerja persentase program studi S1 dan D4/D3/D2 yang melaksanakan kerja sama dengan mitra yang ditargetkan 20%, ISBI Aceh berhasil