• Tidak ada hasil yang ditemukan

The effect of Transformational Leadership and Quality Of Work Life on Organizational Citizenship Behavior at Universitas Terbuka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The effect of Transformational Leadership and Quality Of Work Life on Organizational Citizenship Behavior at Universitas Terbuka"

Copied!
316
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN

KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP PERILAKU

EKSTRA PERAN KARYAWAN UNIVERSITAS TERBUKA

HELMIATIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Perilaku Ekstra Peran Karyawan Universitas Terbuka” adalah karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dari bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Helmiatin

(3)

ABSTRACT

HELMIATIN. The effect of Transformational Leadership and Quality OfWork Life on

Organizational Citizenship Behavior at Universitas Terbuka Under direction of AJI HERMAWAN, and SUKISWO DIRDJOSUPARTO

In achieving the aim of organization, a leader needs to be able to create a pleasant working environment for the employees. Through transformational leadership, a leader is able to create positive transformation for its employees. The result could be seen from their satisfaction resulted from their Quality of Work Life (QWL) or the work life. If they have a good quality of work, they are expected to have citizenship behavior. This research focuses on the effect of transformational leadership and quality of work life towards citizenship behavior of the administration employees at Universitas Terbuka.There were 220 respondents who contributed for this research. The data were collected by using survey technique. The data were analyzed using SEM PLS. The results of this study show that transformational leadership has a positive effect on citizenship behavior; there is a significant and positive effect between transformational leadership and quality of work life. Whereas, between quality of work life and citizenship has a positive and significant effect.

Key Words : Transformational Leadership, Quality of work life, and Organizational citizenship behavior, SEM PLS

(4)

RINGKASAN

HELMIATIN.“Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Perilaku Ekstra Peran Karyawan Universitas Terbuka” Dibimbing oleh AJI HERMAWAN, dan SUKISWO DIRDJOSUPARTO

Saat ini baik perusahaan maupun organisasi pendidikan menyadari pentingnya SDM. SDM tidak menjadi alat semata, namun telah menjadi mitra strategis yang bersama manajemen akan mencapai tujuan organisasi. Agar karyawan dapat bekerja melebihi perannya dengan baik, dibutuhkan peran dari pemimpin. Salah satu model kepemimpinan adalah kepemimpinan transformasional. Dengan kepemimpinan transformasional, karyawan bersama dengan pimpinan akan berusaha mencapai visi dan misi organisasi.

Untuk dapat mencapai kerja yang baik diperlukan perhatian dari pimpinan. Namun perhatian kepada karyawan tidak saja ditunjukkan dengan bentuk kepemimpinan yang baik saja, namun juga dari sisi karyawan dapat menunjukkan produktifitas yang baik dan hasil akhirnya adalah peningkatan kinerja mereka. Bentuk dari peningkatan kinerja tersebut salah satunya ditandai dengan kepuasan atas faktor-faktor dari penerapan Quality of Work Life (QWL) atau kualitas kehidupan kerja.

Universitas Terbuka sebagai organisasi pendidikan menerapkan sistem pembelajaran terbuka dan jarak jauh (open distance learning system). Dengan keunikan tersebut menjadikan tugas dan tanggung jawab karyawan, khususnya dalam bidang administrasi sangat banyak dan beragam karena banyak unit-unit yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan kemahasiswaan dan administrasi. Tanggung jawab pimpinan pun sangat beragam karena UT memiliki Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) yang tersebar di seluruh ibukota provinsi di Indonesia. Sehingga dibutuhkan peran pemimpin melalui proses kepemimpinan yang baik dan mampu mendorong SDM menuju pencapaian visi dan misi organisasi.

Konteks penelitian ini adalah pada organisasi publik khususnya bidang pendidikan jarak jauh (Universitas Terbuka). Universitas Terbuka masih sangat berkembang, sesuai dengan visi bahwa pada tahun 2021 UT menjadi Perguruan Tinggi Jarak Jauh (PTJJ ) berkualitas dunia dalam menghasilkan produk pendidikan tinggi dan dalam penyelenggaraan, pengembangan dan penyebaran informasi PTJJ. Kepemimpinan transformasional diharapkan berkontribusi dalam pengembangan UT ke depannya. Kepemimpinan transformasional tidaklah terbatas pada subyek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih holistic lagi karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama (Sandra, 2010). Selain itu, kondisi kerja yang baik menyangkut pula masalah kualitas kehidupan kerja yang baik.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H1 : Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan terhadap

perilaku ekstra peran

H2 : Kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh signifikan terhadap

kualitas kehidupan kerja

H3: Kualitas kehidupan kerja mempunyai pengaruh signifikan terhadap

(5)

Pengambilan data dilakukan di Tangerang pada bulan Februari sampai November 2011. Populasi penelitian ini adalah karyawan administrasi di Universitas Terbuka kantor pusat. Penarikan sampel probabilitas dengan teknik pengambilan secara proportional random sampel yaitu penarikan sampel secara bertingkat. Teknik ini digunakan karena sampel diambil dengan pengelompokan berdasarkan golongan sehingga tiap-tiap golongan terwakili dalam sampel. Jumlah contoh untuk penelitian sebanyak 220 responden. Data primer dikumpulkan menggunakan metode survei dengan menggunakan kuesioner kepada staf administrasi.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis structural equation modeling (SEM) PLS. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui karakteristik responden berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan terakhir, dan golongan. Analisis ini dilakukan dengan cara menabulasi hasil kuesioner, selanjutnya diolah menggunakan software SPSS versi 17. Analisis SEM PLS digunakan untuk menganalisis hubungan dan pengaruh antar variabel. Software yang digunakan dalam penelitian ini adalah SEM PLS versi 2.

Survei yang dilakukan terhadap profil resonden yang meliputi jenis kelamin, usia, masa kerja, tingkat pendidikan dan golongan. Hasil suvei menunjukkan bahwa komposisi responden berdasar jenis kelamin lebih banyak pria (57%). Berdasar usia, responden didominasi oleh rentang usia 40-49 tahun (45%). Tingkat pendidikan responden sebagian besar Diploma dengan presentase 34%. Profil responden berdasar golongan yang terbanyak adalah golongan III yaitu sebesar (62%). Adapun berdasar pada masa kerja, kelompok yang berada pada >20 tahun adalah yang terbanyak dengan presentase (50%).

Hasil analisis kelayakan model menunjukkan bahwa secara umum model yang diajukan dalam penelitian ini mampu merefleksikan variabel first order dan second order serta indikatornya. Hasil ouput SEM PLS memberikan bukti hipotesis yang telah diajukan.

Kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku ekstra peran. Hal ini dapat dilihat dari nilai T Statistik (T hitung) sebesar

1.2022 lebih kecil dari ttabel ( 1.96) pada selang kepecayaan 95%. Hal ini

mengindikasikan bahwa ada perilaku ekstra peran dipengaruhi oleh faktor lain yang lebih dominan selain kepemimpinan transformasional.

Kepemimpinan transformasional berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas kehidupan kerja. Pengujian hipotesis kedua diterima karena pada hasil analisis diperoleh bahwa thitung = 11.0152 lebih besar dibanding ttabel = 1.96. Temuan

ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai kepemimpinan transformasional, maka kualitas kehidupan kerja juga akan naik.

Kualitas kehidupan kerja berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku ekstra peran dengan hasil analisis diperoleh bahwa thitung = 2.2617  lebih besar

dibanding ttabel = 1.96. Semakin tinggi persepsi karyawan atas kualitas kehidupan

kerja, maka perilaku ekstra peran akan meningkat. Makna QWL dalam hal ini jika nilai QWL di organisasi tinggi, maka karyawan akan termotivasi sehingga akhirnya perilaku mereka di luar perannya turut meningkat (Riady, 2007).

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN

KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP PERILAKU

EKSTRA PERAN KARYAWAN UNIVERSITAS TERBUKA

HELMIATIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Manajemen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Kepemimpinan Transformasional dan Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Perilaku Ekstra Peran pada Karyawan Universitas Terbuka“ ini dengan baik. Tesis merupakan syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Manajemen, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih disertai penghargaan kepada:

1. Komisi Pembimbing Dr. Ir. Aji Hermawan, MM dan Dr. Sukiswo

Dirdjosuparto selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan, arahan, saran, sekaligus perhatian yang berharga kepada penulis selama menyusun dan menyelesaikan studi ini.

2. Dr.Ir. Muhammad Syamsun M.Sc selaku penguji Tesis, atas saran dan kritik yang bermanfaat demi kesempurnaan tesis ini.

3. Staf dosen dan staf akademik Departemen Ekonomi dan Manajemen atas ilmu yang bermanfaat, arahan, dan pelayanan yang baik selama penulis melakukan studi di IPB.

4. Teman satu angkatan di Ilmu Manajemen IPB, Etty Susanty, Ami Pujiwati, Indah, Putri Andika, Ana, Putri Mulya, Nuning, Dewi, Puspa, Yuldhas, Ginting, Pak Ikhwan, Ridwan, Erfin, Nofie, Rahma, dan Pak Ismail atas kebersamaannya selama kuliah dan segala bantuan selama penulis studi hingga menyelesaikan tesis ini.

5. Suami Anto Hidayat atas perhatian, motivasi dan kesabarannya untuk

menemani penulis dalam suka dan duka.

Dalam penyusunan tesis ini, penulis sadar bahwa masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, masukan dan kritik yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan bagi penulis dalam memperkaya khasanah keilmuan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Amin, terima kasih.

Bogor, Februari 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Magetan pada tanggal 26 April 1978 sebagai putri dari

Bapak Supardi Haryanto dan Ibu Wiwing Winarsih.

Penulis menyelesaikan pendidikan TK dan SD, di Kabupaten Magetan dan Jakarta, SLTP di Tangerang. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMUN 47 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswi Fakultas Manajemen, Universitas Pancasila, Jakarta. Penulis

menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1 pada tahun 2001. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan Strata-2 di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Manajemen, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Bogor, Februari 2012

Helmiatin

(12)

DAFTAR ISI

2.1.1 Pengertian Kepemimpinan ………... 9

2.1.2 Sejarah Konsep Kepemimpinan Transformasional ………. 10

2.1.3 Hakikat Kepemimpinan transformasional ……….. 12

2.1.4 Perbandingan Model Teori Kepemimpinan ……….... 17

2.1.5 Keuntungan Kepemimpinan Transformasional ……..………….... 20

2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja (Quality of Work Life ) ………. . 24

2.1.7 Definisi dan Sejarah Perilaku Ekstra Peran (Organizational Citizenship Behavior) ……….. 30 2.1.8 Dimensi-dimensi OCB ………... 32

2.1.9 Konsep dan Dimensi Perilaku sebagai Warga Organisasi (OCB) …. 34 BAB III METODE PENELITIAN 37 3.1 Kerangka Pemikiran ……… 37

3.2 Perumusan Hipotesis ………... 40

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian ……….. 41

3.4 Data dan Sumber Data ………. 41

3.5 Metode Pengumpulan Data ………. 41

3.6 Metode Pengolahan dan Analisis Data………...………. 44

3.6.1 Analisis Deskriptif 44 3.6.2 Analisis SEM dengan PLS ……… 45

3.6.3 Model Spesifikasi dengan PLS ……… 45

(13)

5.2.1 Kepemimpinan Transformasional ……….. 66

5.2.2 Kualitas Kehidupan Kerja (quality of work life)………. 68

5.2.3 Perilaku Ekstra Peran (organizational citizenship behavior) …….. 71

5.3 Karakteristik Responden ………... 73

5.3.1 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin ……… 74

5.3.2 Karakteristik responden berdasarkan usia……… ………… 75

5.3.3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan ………… 76

5.3.4 Karakteristik responden berdasarkan golongan…..…… ………… 76

5.3.5 Karakteristik responden berdasarkan masa kerja.……… ………… 77

5.4 Hasil Analisis PLS ………. 77

5.4.1 Evaluasi Outer model-Reflektif ……… 80

5.4.1.1 Convergent validity ………. 82

5.4.1.2 Discriminant validity ……… 83

5.4.1.3 Composite reliability……… … 83

5.4.2 Evaluasi Model Struktural ……… 83

5.4.2.1 Evaluasi Inner model first order dengan second order ……. 84

5.4.2.2 Evaluasi Inner model antar second order ………. 85

5.5 Pembahasan Hasil Penelitian ……… 87

5.6 Implikasi Manajerial ………. 93

5.7 Implikasi Kebijakan ………. 95

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 97 6.1 Kesimpulan ……….. 97

6.2 Saran ………. ………. 97

DAFTAR PUSTAKA ………. 99

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Berbagai Model Teori Kepemimpinan ………. 18

Tabel 2 Jenis dan Sumber Data ………..……….. 41

Tabel 3 Skor Skala Likert ……….…………. 43

Tabel 4 Variabel dan Indikator Kepemimpinan Transformasional, Quality of Work Life (QWL), dan Perilaku Ekstra Peran………. 48 Tabel 5 Penerapan Kualitas Kehidupan kerja ……… 63

Tabel 6 Hasil uji reliabilitas... ... 66

Tabel 7 Respon Kepemimpinan Transformasional... 67

Tabel 8 Respon Kualitas Kehidupan Kerja ... 69

Tabel 9 Respon Perilaku Ekstra Peran ... 72

Tabel 10 Indikator yang didrop ………. 75 Tabel 11 Nilai Refleksi Interelasi Indikator

terhadap konstruk. First Order ………

82

Tabel 12 R-Square kepemimpinan transformasional,

kualitas kehidupan kerja dan perilaku ekstra peran ………..

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Multifactor Leadership Questionnaire

Actual Vs Ought Feedback Report ……….……

17

Gambar 2 Quality of Work Life….……….. 27

Gambar 3 Kerangka Pemikiran……..……….……… 40

Gambar 4 Langkah-langkah Analisis PLS ………. 49

Gambar 5 Model Struktural………. 50

Gambar 6 Bagan Struktur Organisasi UT ……….. 59

Gambar 7 Jumlah Karyawan ………. 61

Gambar 8 Komposisi Tingkat Pendidikan staf Administrasi …………. 64

Gambar 9 Komposisi Responden berdasarkan Karakteristik ……… 74 Gambar 10 Model Hubungan Antar variabel ……… 79

Gambar 11 Model Hubungan Antar variabel

setelah di drop .………

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian ………. 105

Lampiran 2 Pelatihan dan Pengembangan Karyawan..….……… 113

Lampiran 3 Hasil Validitas ……… 115

Lampiran 4 Distribusi Frekuensi ……… 118

Lampiran 5 Rekapitulasi Karakteristik Responden ……… 138

Lampiran 6 Analisis Varian (Anova) Kepemimpinan Transformasional dan Kualitas Kehidupan Kerja Berdasarkan Karakteristik Responden ……… 139 Lampiran 7 Analisis Deskriptif Kepemimpinan Transformasional dan Kualitas Kehidupan Kerja Berdasarkan Karakteristik Responden ……… 141 Lampiran 8 Overview PLS ………..……… 142

Lampiran 9 Nilai Loading .……… 143

Lampiran 10 Analisis Path Coefficient ……… 145 Lampiran 11 Nilai Korelasi Indikator terhadap Konstruk

First Order ……….

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap organisasi baik organisasi nirlaba atau yang berorientasi laba, berkepentingan untuk memajukan organisasi terutama dalam era globalisasi saat ini dimana persaingan semakin tajam. Bagaimana sebuah organisasi menjadi pemenang tentunya ditentukan oleh kekuatan yang dimilikinya serta menciptakan keunggulan bersaing. Sebagai salah satu unsur penting dalam menciptakan keunggulan bersaing,

peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi hal yang mutlak dilakukan oleh organisasi. Sumber daya manusia menjadi unsur yang menggerakkan organisasi dalam pencapaian visi dan misi tentunya diharapkan dapat memiliki kompetensi yang berkualitas.

Sumber daya yang berperan penting dalam pencapaian tujuan organisasi

adalah pemimpin. Jatuh bangunnya sebuah organisasi karena kepemimpinan seorang pemimpin. Kepemimpinan merupakan satu konsep penting dalam mencapai, mempertahankan, dan meningkatkan kinerja organisasi (Pareke, 2004).

Alasan lain mengapa perlu kepemimpinan ialah bahwa manusia makhluk yang tidak bisa hidup menyendiri. Selalu membutuhkan orang lain untuk saling tukar

pikiran, tolong menolong, bahu membahu dalam menghadapi masalah, tantangan, harapan dan upaya mengatasinya untuk kehidupan yang lebih baik. Maka manusia disebut sebagai makhluk sosial (Meirawan, 2010).

Dalam konteks perilaku keorganisasian, penelitian yang ditulis oleh Kaihatu (2007) mengacu pada peran guru dimana seorang guru dihadapkan oleh sejumlah tuntutan akan peran profesinya, dan dilain pihak adanya keterbatasan yang dimiliki

(18)

dari profesinya, sangat berkaitan dengan salah satu dari tiga peran penting dari seorang karyawan dalam sebuah organisasi, khususnya perilaku ekstra peran atau perilaku baik warga organisasi yang populer dikenal sebagai organizational citizenship behavior (OCB).

Konovsky dan Pugh (1994), mengidentifikasi 3 (tiga) kategori perilaku

pekerja, yaitu (i) individu terikat dan berada dalam suatu organisasi, dan (ii) harus menyelesaikan peran khusus dalam suatu pekerjaan, serta (iii) harus terikat pada aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya”. Kategori ketiga tersebut sering disebut sebagai organizational citizenship behavior, atau the extra-role behavior”.

Istilah organizational citizenship behavior diterjemahkan sebagai extra role behavior, “prosocial behavior”, atau juga diartikan sebagai “kewarganegaraan yang baik” (Robins, 2003). Apapun artinya, OCB ini secara umum diartikan sebagai perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tetapi juga bekerja tidak semata sesuai dengan kontrak kerja.

Avolio dan Bass (1995) mengistilahkan kepemimpinan transformasional

sebagai “Fours I’s”, yang meliputi “pengaruh individual (individualized influence),

motivasi inspiratif (inspirational motivation), stimulasi intelektual (intellectual stimulation), dan pertimbangan individual (individualized consideration)”.

Selain kedua hal tersebut, masih ada aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri. Seseorang yang merasa puas akan

pekerjaannya tentunya dapat diandalkan oleh organisasi dapat bekerja dengan baik. Penelitian empiris terdahulu di bidang perilaku karyawan banyak dihubungkan dengan berbagai bentuk perilaku kerja, yaitu perilaku-perilaku pemimpin transformasional, motivasi kerja, kepuasan kerja, komitmen organisasional,

organizational citizenship behavior (OCB).

Komitmen organisasional menyangkut di dalamnya bagaimana individu

(19)

karyawan, pengembangan karir, penyelesaian konflik, komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja, keamanan kerja, kompensasi yang layak, dan kebanggaan.

Universitas Terbuka sebagai organisasi pendidikan menerapkan sistem pembelajaran terbuka dan jarak jauh (open distance learning system). Dengan keunikan tersebut menjadikan tugas dan tanggung jawab karyawan, khususnya dalam

bidang administrasi sangat banyak dan beragam karena banyak unit-unit yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan kemahasiswaan dan administrasi. Tanggung jawab pimpinan pun sangat beragam karena UT memiliki Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) yang tersebar di seluruh ibukota provinsi di Indonesia. Sehingga dapat dipastikan bahwa pemimpin akan memiliki jadwal yang sangat padat. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan apakah pemimpin masih

memiliki perhatian kepada karyawannya.

Perhatian kepada karyawan tidak saja ditunjukkan dengan bentuk kepemimpinan yang baik saja, namun juga dari sisi karyawan dapat menunjukkan produktifitas yang baik dan hasil akhirnya adalah peningkatan kinerja mereka. Bentuk dari peningkatan kinerja tersebut salah satunya ditandai dengan kepuasan atas

faktor-faktor dari penerapan Quality of Work Life (QWL) atau kualitas kehidupan kerja. Di dalam QWL tercantum faktor-faktor yang tidak saja membuat pekerja menjadi lebih baik, melainkan juga bagaimana pekerja dapat menyebabkan pekerjaannya menjadi lebih baik. Unsur QWL yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan karyawan adalah melalui tingkat partisipasi karyawan, pengembangan karir, penyelesaian

konflik, komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja, lingkungan yang aman, kompensasi yang layak, serta faktor kebanggaan terhadap organisasi (Cascio, 2003).

Pada staf administrasi yang memiliki pekerjaan padat dan bervariasi tentu membutuhkan motivasi agar dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Bila karyawan dapat termotivasi maka akan meningkatkan kinerja karyawan. Meningkatnya kinerja karyawan dapat disebabkan oleh peningkatan motivasi

(20)

QWL yang dapat diterapkan, diharapkan keinginan dan motivasi bekerja karyawan akan lebih diarahkan untuk berkinerja baik dan unggul.

Pola kerja karyawan di UT sangat menarik untuk dikaji, karena karyawan memiliki keunikan yang membedakannya dengan karyawan organisasi lain, yaitu organisasi yg memiliki beragam latarbelakang pendidikan, keahlihan yg bervariasi,

dan karakteristik pekerjaan yg berbeda, ketelitian, melek teknologi, serta skill yg bervariasi.

Dari beragamnya latar belakang tersebut masing-masing memainkan peran yang berbeda pula. Bila karyawan berperan sesuai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawab mereka, maka disebut dengan in role behavior. Namun adakalanya pekerjaan di UT tidak dapat diselesaikan pada satu unit saja, dan dibutuhkan kerja

sama lintas unit. Sebagai contoh unit di LPBAUSI (Lembaga Pengembangan Bahan Ajar, Ujian, dan Sistem Informasi) stafnya dapat saling membantu kelancaran pekerjaan karena keterbatasan SDM dan tuntutan untuk taat jadwal, Bahkan mereka bisa saja mengerjakan pekerjaan di luar tugas mereka. melebihi persepsi perannya.

Perilaku ini yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior, atau the extra-role behavior”. Salah satu dimensi OCB adalah altruism. Di UT para karyawan telah terbiasa saling membantu rekan kerja, namun penelitian ini ingin mengetahui apakah unsur lain sudah dilaksanakan karyawan sepenuhnya.

Konteks penelitian ini adalah pada organisasi publik khususnya bidang pendidikan jarak jauh (Universitas Terbuka). Universitas Terbuka masih sangat

berkembang, sesuai dengan visi bahwa pada tahun 2021 UT menjadi PTJJ berkualitas dunia dalam menghasilkan produk pendidikan tinggi dan dalam penyelenggaraan, pengembangan dan penyebaran informasi PTJJ. Kepemimpinan transformasional diharapkan berkontribusi dalam pengembangan UT ke depannya. Kepemimpinan transformasional tidaklah terbatas pada subyek orang, melainkan kepemimpinan yang lebih holistic lagi karena terkait dengan tujuan yang ingin dicapai bersama (Sandra, 2010).

(21)

kehidupan kerja (quality of working life) terhadap perilaku ekstra peran

(organizational citizenship behavior). Oleh karena itu penelitian ini berjudul “PENGARUH KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL DAN KUALITAS KEHIDUPAN KERJA TERHADAP PERILAKU EKSTRA PERAN KARYAWAN UNIVERSITAS TERBUKA".

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, jelas bahwa Rektor sebagai pimpinan tertinggi di universitas dituntut untuk dapat memberikan tuntunan

kepada para karyawan melalui pola kepemimpinannya dalam mengelola organisasi dalam rangka mencapai tujuan bersama dengan efektif dan efisien. Kepemimpinan transformasional menjadi salah satu alternatif untuk memberikan jawaban atas tantangan tersebut. Mengapa bentuk kepemimpinan transformasional ini penting? Jawabannya adalah karena dengan implementasi kepemimpinan transformasional

seorang pemimpin akan bersikap aspiratif dalam menghadapi perubahan dan pembaharuan dalam mencapai visi dan misi organisasi. Selain itu, kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada penciptaan QWL. Kepemimpinan yang hebat menciptakan lingkungan kerja yang mendukung, kerja yang menantang, pengakuan dan penghargaan (respect) (Yukl, 2006).

Dalam operasional perusahaan atau organisasi, SDM tidak menjadi alat

(22)

seperti kepemimpinan tranformasional, karena kepemimpinan yang efektif diharapkan akan mendorong pada peningkatan kualitas kehidupan kerja (Kaihatu, 2007).

Sementara itu, hubungan antara pemimpin dan anggota tim lainnya akan menimbulkan saling pengertian dan membawa pada peran karyawan dalam mencapai

tujuan organisasi Kepemimpinan Transformasional lebih berarti, yang menjadikan keberadaan pemimpin harus terus menjadi inspirasi. Pemimpin memimpin dengan teladan dan bertanggung jawab untuk memotivasi orang lain. Kepemimpinan transformasional dikenal juga dengan teori hubungan yang memfokuskan pada hubungan yang dibentuk antara pemimpin dan pengikut. Pemimpin transformasional memberi motivasi dan menginspirasi orang dengan menolong anggota

grup/kelompok untuk bersama melihat kepentingan bersama. Sikap menolong itu ditunjukkan dengan perilaku karyawan yang saling membantu karyawan lain melalui perilaku ekstra peran (extra role behavior).

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Apakah terdapat pengaruh signifikan penerapan kepemimpinan transformasional terhadap perilaku ekstra peran karyawan (organizational citizenship behavior)? 2. Apakah terdapat pengaruh signifikan kepemimpinan transformasional terhadap

kualitas kehidupan kerja?

3. Apakah terdapat pengaruh ignifikan kualitas kehidupan kerja terhadap perilaku

ekstra peran?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

2. Menganalisis dan membuktikan pengaruh kepemimpinan transformasional

terhadap perilaku ekstra peran karyawan (organizational citizenship behavior).

3. Menganalisis dan membuktikan pengaruh kepemimpinan transformasional

(23)

4. Menganalisis dan membuktikan pengaruh kualitas kehidupan kerja (quality of work life) terhadap perilaku ekstra peran karyawan (organizational citizenship behavior).

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi praktisi, hasil penelitian ini bermanfaat sebagai bahan pertimbangan mengenai strategi kepemimpinan transformasional yang dapat diterapkan di organisasi.

2. Bagi kepentingan organisasi, memberikan masukan atau pertimbangan dalam penerapan pola kepemimpinan yang tepat, serta mengevaluasi penerapan kualitas kehidupan kerja dalam lingkungan kerja sehingga perilaku ekstra peran karyawan

dapat lebih ditingkatkan.

3. Bagi kalangan akademisi, memberikan kontribusi dalam khasanah ilmu dan hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai referensi dan pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya mengenai praktek kepemimpinan transformasional dalam kaitannya dengan kualitas kehidupan kerja dan perilaku

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pengertian Kepemimpinan

Sebelum mengupas tentang kepemimpinan transformasional, kita lihat secara umum tentang teori kepemimpinan. Menurut Robbins (2001), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Setiap organisasi mempunyai tujuan yang telah ditetapkan dan berdasarkan tujuan

tersebut pemimpin melakukan berbagai macam cara untuk memengaruhi kelompok-kelompok dalam organisasi guna pencapaian tujuannya. Tidak semua pemimpin memiliki kemampuan yang sama, karena memiliki berbagai macam sifat dan ciri di dalamnya.

Kepemimpinan merupakan inti dari tugas organisasi pembelajaran yang didasarkan pada Lima Disiplin (The Fifth Discipline) dari Senge (2002). Di dalam teori Lima Disiplin, terjadi perubahan paradigma kepemimpinan, bahwa pemimpin

harus melakukan perubahan peran (role), keterampilan (skills), sarana dan prasarana kerja (tools). Prinsip pentingnya adalah pemimpian adalah perencana (planner),

pelayanan (steward) dan guru (teacher) dengan cara mengarahkan dan

mengembangkan bawahan secara terus menerus meningkatkan kapasitasnya untuk bekerja.

Nawawi dan Hadari (1995) menyatakan bahwa kepemimpinan memiliki tiga pola dasar, yaitu kepemimpinan yang berpola mementingkan tugas, mementingkan pelaksanaan kerjasama dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Pola dasar terhadap kepemimpinan yang lebih mementingkan pelaksanaan tugas oleh bawahannya, menuntut penyelesaian tugas yang dibebankan padanya sesuai

(25)

kepemimpinan, dewasa ini banyak dikaji tipe kepemimpinan partisipasif, situasional, trasformasional, dan visioner (Meirawan, 2010).

Berikut ini tipe-tipe kepemimpinan yang diterapkan oleh organisasi:

A. Kepemimpinan berdasarkan gelombang emosional yang dipancarkan kepada

bawahan, masyarakat dan audiensnya, dua tipe kepemimpinan yaitu;

kepemimpinan resonansi dan kepemimpinan disonansi.

B. Kepemimpinan berdasarkan pendekatan karaktet dan perilaku pemimpin, ada enam tipe, yaitu; kepemimpinan visioner, kepemimpinan pelatihan dan pembimbingan, kepemimpinan afiliatif, kepemimpinan demokratis, kepemimpinan komamdo, dan kepemimpinan ”pacesiting”.

C. Kepemimpinan berdasarkan cara memecahkan persoalan organisasi, ada lima

tipe yaitu; kepemimpinan yang terfokus, kepemimpinan yang komunikatif, kepemimpinan yang dipercayai, kepemimpinan yang dihormati, dan kepemimpinan resiko.

D. Kepemimpinan berdasarkan aspek kebutuhan kekuasaan, ada tiga tipe yaitu; kepemimpinan transaksional, kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan

transformasional (Mangkuprawira, 2003).

2.1.2 Sejarah Konsep Kepemimpinan Transformasional

Konsep kepemimpinan transformasional memiliki sejarah yang panjang, sebagaimana ditulis oleh Avolio & Bass, (1995). Istilah kepemimpinan transformasional pertama kali diciptakan oleh JV Downton di Rebel. Namun yang pertama kali mengenalkan konsep ini adalah James MacGregor Burns yang dituangkan dalam bukunya Kepemimpinan pada tahun 1978, selama penelitian

tentang kepemimpinan politik, tetapi istilah ini sekarang digunakan dalam psikologi organisasi. Konsep ini diGambarkan bukan sebagai seperangkat perilaku tertentu, melainkan proses yang berkelanjutan di mana para pemimpin dan pengikut mengangkat tingkat moralitas dan motivasi satu sama lain lebih tinggi.

Pemimpin Transformasional menawarkan tujuan yang melampaui tujuan

(26)

mengakui bahwa orang memiliki berbagai kebutuhan, dan sejauh mana mereka akan tampil efektif di tempat kerja akan dipengaruhi oleh sejauh mana kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi. Kepemimpinan Transformasional cocok dikelompokkan pada tingkat yang paling tinggi, karena membutuhkan tingkat harga diri tinggi dan aktualisasi diri untuk berhasil menjadi pemimpin transformasional yang otentik.

Burns adalah salah satu sarjana pertama yang menyatakan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya menciptakan perubahan dan mencapai tujuan dalam lingkungan, tetapi mengubah orang yang terlibat dalam tindakan yang diperlukan untuk menjadi lebih baik: bagi pengikut dan pemimpin. Burns menjadi terkenal di kalangan sarjana kepemimpinan alternatif karena model kepemimpinan transformasional mencakup dimensi/etika moral yang, sebelum 1978,

belum dimasukkan ke dalam setiap teori kepemimpinan.  

Selanjutnya murid Burns yang bernama Bernard Bass, mendefinisikan

kepemimpinan transformasional dalam hal bagaimana pemimpin mempengaruhi pengikut, yang dimaksudkan untuk mempercayai, mengagumi dan menghormati pemimpin transformasional. Dia mengidentifikasi tiga cara di mana para pemimpin dapat mengubah pengikut:

1) Meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya tugas dan nilai.

2) Mendapatkan mereka untuk fokus pertama pada tujuan tim atau organisasi, bukan kepentingan mereka sendiri.

3) Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi.

Namun berbeda dengan Burns, yang melihat kepemimpinan transformasional sebagai terkait erat dengan nilai-nilai orde tinggi, Bass melihatnya sebagai tidak

berhubungan dengan moral, dan oleh karena itu timbul pertanyaan moralitas dan etika komponen kepemimpinan transformasional. Menurut Burns, perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional adalah apa yang ditawarkan oleh pemimpin dan pengikut satu sama lain.

Berikut ini perbedaan yang dimaksud: Kepemimpinan transaksional terjadi ketika seseorang berhubungan dengan orang lain untuk tujuan tertentu dengan

(27)

terjadi ketika satu orang atau lebih berhubungan dengan orang lain dengan cara dimana pemimpin dan pengikut saling meningkatkan motivasi dan moralnya (Bass et al, 2006).

2.1.3 Hakikat Kepemimpinan Transformasional

Seorang pemimpin yang efektif harus melihat dan mencocokkan gaya kepemimpinannya dengan situasi yang meliputi gaya kerja karyawan, sifat-sifat pribadi, serta hakikat dari tugas kelompoknya. Kepemimpinan sebagai perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk

mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.

Harsiwi (2001) mengidentifikasi implikasi dari definisi di atas, yaitu;

1. Kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.menerima

arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.

2. Seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan.

3. Kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain (communication) dalam membangun organisasi.

Walaupun kepemimpinan (leadership) seringkali disamakan dengan

manajemen (management), kedua konsep tersebut berbeda. Pemimpin

(28)

4. Di dalam hasil penelitian tentang hubungan kepemimpinan transformasional dan karakteristik personal pemimpin oleh (Harsiwi, 2000), dikemukakan bahwa teori kepemimpinan transformasional merupakan pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini.

5. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan

sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan

anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi.

6. Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap

sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif,

dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya.

Yukl dan Gary (2010) mengungkapkan keberadaan dua teori kepemimpinan tersebut yaitu kepemimpinan karismatik dan transformasional. Kepemimpinan transformasional terinspirasi oleh James McGregor Burns, yang menulis buku kepemimpinan dalam bidang politik. Namun penelitian secara empiris baru dilakukan oleh Bass pada tahun 1985 dan 1996.

(29)

aspek tersebut. Teori kepemimpinan transformasional seringkali dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, walaupun keduanya berbeda, seperti diungkapkan oleh Stephen P.Robbins.

”Transformational are leader who inspire followers to transcend their own self-interests and who are capable of having a profound and extraordinary effect on followers, while transactional leaders are leaders who guide or motivate their followers in the direction of established goals by clarifying role and task requirements” (Robbins, 2001).

Dari definisi tersebut, kedua pendekatan kepemimpinan tersebut tidak berbeda dalam hal bagaimana penyelesaian pekerjaan. Keduanya saling melengkapi. Dengan kepemimpinan transformasional pengikut, dalam hal ini karyawan akan merasa memiliki trust atau kepercayaan, admiration, kesetiaan, dan hormat kepada pimpinan, dan mereka termotivasi untuk melakukan atau memberikan lebih dari kewajiban mereka. Menurut Yukl (2010), seorang pemimpin dapat mentransformasi dan memotivasi karyawan atau pengikut dengan: (1). Membuat mereka lebih waspada atau aware dengan hasil pekerjaan atau tugasnya, (2). Mengingatkan karyawan bahawa mereka memiliki interest pribadi untuk digunakan di dalam kerja tim di

organisasi, (3). Mengaktifkan kebutuhan tingkat tinggi karyawan.

Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya. Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses perubahan

(management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi.

Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif,

(30)

mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Harsiwi, 2001).

Sebuah penelitian yang berjudul Transformational Leadership Style and its Relationship with Satisfaction yang dilakukan oleh Nawaz et al (2010) menjelaskan tentang gaya kepemimpinan transformasional. Teori kepemimpinan transformasional

-transaksional merupakan suatu paradigma yang dapat membantu untuk dapat memahami kepemimpinan dalam konteks yang lebih luas dan di tingkat dan fungsi organisasi yang berbeda. Tema dasar dari penelitian ini adalah untuk menguraikan gaya kepemimpinan transformasional dan hubungannya dengan kepuasan. Penelitian

ini menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara gaya kepemimpinan dan kepuasan.

Implikasi dari penelitian ini dapat dijadikan landasan kebijakan, dimana pemimpin juga harus setuju pendapat para pengikut ketika mereka memiliki logika dan penalaran yang sehat sehingga mereka dapat merasa percaya diri dan berubah

menjadi pemimpin masa depan.

Ada lima faktor yang mengGambarkan kepemimpinan (satu sampai tiga diterapkan pada kepemimpinan transformasional, empat dan lima untuk kepemimpinan transaksional), yaitu

1. Karisma, pemimpin mampu menginspirasi dengan nilai, rasa hormat,

kebanggaan dan memperjelas visi.

2. Perhatian individu, seorang pemimpin memberikan perhatian lebih pada kebutuhan pengikutnya dan memberikan proyek yang berarti, sehingga pengikutnya dapat berkembang secara personal

3. Memotivasi secara intelektual. Seorang pemimpin membantu pengikutnya untuk berpikir secara rasional sehingga dapat berpikir kreatif.

4. Penghargaan ketergantungan. Pemimpin memberikan informasi kepada

(31)

5. Management by exception. Pemimpin memberi ijin kepada pengikut untuk bekerja sesuai bidangnya dan tidak ikut campur tangan, kecuali tujuan tidak tercapai (Ivancevich 1999).

Karisma merupakan hal terpenting dalam kepemimpinan trasformasional. Untuk meningkatkan karisma, pemimpin membutuhkan keahlian penilaian,

kemampuan berkomunikasi yang baik, dan sensitif atau peka terhadap orang lain. Mereka harus mampu untuk menjelaskan visi dan harus peka atas kekurangan keahlian dari pengikutnya. Satu dimensi lagi yaitu menginspirasi bawahan dengan pemberian motivasi (Robbins, 2001).

Karakteristik kepemimpinan transformasional juga seringkali dinyatakan dengan The 4 I’s of Transformational Leadership, yaitu:

1) Idealized Influence (I.I.): (Developing the Vision). Pemimpin menekankan pentingnya memiliki rasa kolektif misi dan meyakinkan orang lain bahwa hambatan akan bisa diatasi. Mereka bersedia mengambil resiko, mereka konsisten, dapat diandalkan untuk melakukan hal yang benar, dan menunjukkan standar tinggi etika dan moral.

2) Inspirational Motivation (I.M.): (Selling the Vision). Pemimpin mengartikulasikan visi masa depan, berbicara optimis tentang masa depan dan antusias tentang apa yang harus dicapai.

3) Intellectual Stimulation (I.S.): (Finding the way forwards). Pemimpin merangsang upaya orang lain untuk menjadi inovatif dan kreatif dengan

asumsi mempertanyakan, mendapatkan orang lain untuk melihat masalah dari berbagai sudut. Mendorong pemikiran non-tradisional. Ide-ide baru dan solusi kreatif dikumpulkan.

4) Individualized Consideration (I.C.): (Leading the Charge). Pemimpin mengajar menghabiskan waktu dan pembinaan dan membantu orang lain

(32)

Gambar 1 berikut menunjukkan peta posisi kepemimpinan transformasional dibandingkan dengan pola kepemimpinan transaksional.

Gambar 1. Multifactor Leadership Questionnaire Actual Vs Ought Feedback Report

Sumber: http://www.mlq.com.au

Seorang pemimpin transformasional lebih efektif karena tidak saja mereka kreatif, namun juga mendukung mereka yang mengikutinya. Di dalam organisasi atau perusahaan dengan pemimpin transformasional, terdapat desentralisasi tanggungjawab yang lebih besar, manajer lebih memiliki kecenderungan untuk mengambil risiko. Pemimpin transformasional juga meningkatkan kinerja dengan membangun konsensus diantara anggota grup (Robbins 2001).

2.1.4 Perbandingan Model Teori Kepemimpinan

Konsep dan pemikiran teori kepemimpinan telah menarik banyak minat peneliti sejak awal abad ke dua puluh. Teori awal kepemimpinan berfokus pada

(33)

berikutnya memandang variabel lain seperti faktor situasional dan tingkat keterampilan.1

Eric Yaverbaum dan Erik Sherman (2008) membagi model kepemimpinan menjadi Great man, Trait, Behavioral Contingency, Transactional, dan Transformational. Namun ada yang menambahkan participative theory, management theory, dan relationship theory. Kepemimpinan transaksional dan transfomasional termasuk ke dalam teori ini. Teori relationship lebih fokus pada hubungan yang

terbentuk antara pimpinan dan karyawan. Teori ini juga disebut sebagai kepemimpinan transformasional.2

Tabel 1 berikut memberikan ringkasan gambaran dari berbagai model teori kepemimpinan yang populer saat ini.

Tabel 1. Berbagai Model Teori Kepemimpinan

No Model Kepemimpinan Penjelasan

1 Great Man theory Teori ini mengasumsikan bahwa seorang pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk. Contohnya Raja, komandan militer dsbnya. Teori ini hanya relevan untuk kepemimpinan seorang pria dan saat ini tidak banyak lagi diterapkan.

2 Trait theory Teori ini mengasumsikan bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin dengan penilaian personality

atau kepribadiannya seperti; jujur, kompeten, cerdas, berpikiran terbuka, supportive, perhatian, berani, independen dll. Kritik atas teori ini adalah tidak semua pemimpin dapat memenuhi kualifikasi ini.

3 Contingency theory Teori kepemimpinan Contingency Fokus pada variabel tertentu yang berkaitan dengan lingkungan yang mungkin menentukan gaya kepemimpinan paling cocok untuk situasi tertentu. Menurut teori

(34)

Lanjutan Tabel 1.

No Model Kepemimpinan Penjelasan

ini, tidak ada gaya kepemimpinan yang terbaik dalam semua situasi. Sukses tergantung pada sejumlah variabel, termasuk gaya kepemimpinan, kualitas dari aspek pengikut dan situasi. Konsep ini lebih fleksibel dan realistis.

4 Situational theory Teori Situasional mengusulkan bahwa para pemimpin memilih tindakan yang terbaik berdasarkan variabel situasional. Gaya kepemimpinan yang berbeda mungkin lebih sesuai untuk jenis pengambilan keputusan tertentu.

5 Behavioral theory Teori ini mengasumsikan bahwa pemimpin itu tidak dilahirkan tapi dibentuk. Fokus teori ini pada tindakan pemimpin bukan pada kualitas mental semata. Seseorang dapat belajar menjadi pemimpin melalui observasi dan pengajaran.

6 Transactional theory atau Management theory

Model kepemimpinan transaksional memperlakukan proses memimpin sebagai lintas antara transaksi sosial dan bisnis. Fokus pada pengawasan peran, organisasi dan kinerja kelompok. Dasar teori kepemimpinan ini adalah sistem imbalan dan hukuman. Kesulitan dalam kepemimpinan transaksional adalah bahwa konsep tersebut tidak berlaku baik untuk segala kondisi atau budaya

7 Transformational teory atau Relationship theory

Teori kepemimpinan ini fokus pada hubungan yang terbentuk antara para pemimpin dan pengikut. Pemimpin transformasional memotivasi dan menginspirasi orang dengan membantu anggota kelompok untuk melihat pentingnya sebuah tugas. Pemimpin ini fokus pada kinerja anggota kelompok, tapi juga ingin setiap orang untuk memenuhi potensi dirinya. Pemimpin dengan gaya ini sering memiliki standar etika dan moral yang tinggi.

(35)

Lanjutan Tabel 1.

8 Spiritual Leadership theory Kepemimpinan spiritual menyediakan konsensus pada nilai-nilai, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk kesejahteraan rohani, dan, kesehatan positif manusia, kesejahteraan psikologis, kehidupan kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas, keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas seorang pemimpin yang diperlukan dalam model ini yaitu memiliki visi, kasih sayang, dan harapan atau faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan perilaku yang menjadi panutan para karyawan. kepuasan, komitmen organisasi dan produktivitas, keberlanjutan dan kinerja keuangan. Kualitas seorang pemimpin yang diperlukan dalam model ini yaitu memiliki visi, kasih saying, dan harapan atau

faith. Kritik dari model kepemimpinan ini yaitu belum sepenuhnya pemimpin mampu menunjukkan perilaku yang menjadi panutan para karyawan,

Dari uraian di atas, beberapa model kepemimpinan memiliki kelebihan masing-masing, namun implementasinya memerlukan analisa lebih lanjut yang disesuaikan dengan lingkungan organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah populer saat ini. Hal ini didasarkan pada visi. Seorang pemimpin adalah sosok inspirasi yang bekerja dengan pengikut untuk mencapai tujuan. Dalam proses ini,

semua orang membantu satu sama lain untuk mencapai tingkat prestasi yang lebih besar. Kepercayaan adalah ikatan penting, dan orang-orang yang mengikuti secara sukarela untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan transformasional telah menjadi alat fundamental, terutama dalam konsep mendapatkan orang lain untuk tertarik pada pencapaian perubahan yang diperlukan di tempat kerja.

2.1.5 Keuntungan Kepemimpinan Transformasional

(36)

Range of Leadership (FRL). Berikut ini beberapa keuntungan dari praktek kepemimpinan transformasional.

1) Komitmen/Loyalitas serta Kepuasan Pengikut. Pemimpin transformasional mampu membangun komitmen dan loyalitas pengikut yang kuat dengan membangun kepercayaan dan mempromosikan diri mereka dan efektifitas diri.

2) Efektivitas. Penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan transformasional mengarah pada kinerja yang melebihi harapan dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional dan membantu mengembangkan pengikutnya untuk menjadi kontributor yang lebih baik untuk kelompok usaha dengan menjadi lebih kreatif, lebih tahan terhadap stres, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap merubah dan lebih kemungkinan untuk menjadi pemimpin transformasional sendiri.

3) Stres. Kepemimpinan yang efektif berhubungan dengan stres adalah

kepemimpinan yang menghasilkan keputusan kualitas rasional; penggunaan informasi yang tersedia dengan tepat, keterampilan dan sumber daya, dan kinerja yang tinggi dari pengikut dalam mencapai tujuan meskipun ancaman dan rintangan. Stimulasi Intelektual dapat menghentikan krisis dengan

mempertanyakan asumsi dan mengungkapkan peluang, pembinaan tidak terdidik, dan menghilangkan fiksasi pada cara lama dalam melakukan sesuatu. Pemimpin yang inspirasional menginspirasi keberanian dan merangsang minat.

4) Perencanaan Strategis. Kepemimpinan transformasional dapat berkontribusi untuk perbaikan dalam perencanaan strategis, citra perusahaan, seleksi

perekrutan dan transfer karyawan. Hal ini juga memiliki implikasi untuk pekerjaan dan desain organisasi serta untuk pengambilan keputusan dan pengembangan organisasi

Pemimpin Transformasional tahu bahwa mereka harus terlebih dahulu mengubah diri jika mereka berharap untuk sukses pada mentransformasi orang lain. Sebuah unsur dasar dalam pengembangan kepemimpinan transformasional terdiri

(37)

di berbagai dimensi kepemimpinan. Seringkali terjadi dua bias dalam menilai kepemimpinan transformasional, sebagaimana diungkapkan oleh Lievens (1997).

Pertama, ketika pengikut menilai kekuatan dan kelemahan dari para pemimpin mereka, mereka mungkin memiliki kesulitan dalam membedakan antara berbagai perilaku kepemimpinan transformasional dan transaksional. Hal ini ditemukan dan ini

hanya berlaku untuk atribut kepemimpinan transformasional karena keempat dimensi kepemimpinan transformasional diukur dengan MLQ berkorelasi tinggi dan dikelompokkan dalam satu faktor. Peringkat MLQ pada tiga dimensi kepemimpinan transaksional yang ternyata tidak saling berhubungan dan menunjukkan bukti untuk tiga faktor yang berbeda: contingency reward, manajemen-aktif by exception, dan kepemimpinan pasif. Kedua, keinginan sosial nampaknya tidak menjadi faktor bias

yang kuat, walaupun skala kepemimpinan transformasional secara sosial lebih diinginkan.

Beberapa penelitian mengenai kepemimpinan transformasional juga dikaitkan dengan variabel lain, yaitu kualitas kehidupan kerja (quality of work life), seperti penelitian Riady (2009), serta Kaihatu dan Rini (2007). Penelitian pertama menyoroti

pengaruh kepemimpinan transformasional dan QWL pada Bank BUMN. Di dalam hasil tulisannya diungkapkan adanya kepemimpinan yang berorientasi pada QWL. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi, memotivasi, dan memungkinkan orang lain memberikan sumbangsih bagi keefektifan organisasi. Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada penciptaan

QWL. Penelitian kedua menyoroti pengaruh kepemimpinan transformasional pada bidang pendidikan, yaitu studi pada guru-guru SMU di Surabaya. Secara signifikan, ditemukan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dari kepala sekolah akan meningkatkan kepuasan kualitas kehidupan kerja dan perilaku ekstra peran dari para guru.

Senada dengan penelitian di atas, Tesis yang ditulis oleh Karim (2009)

(38)

dengan didasarkan pada empat komponen pengukuran perilaku kepemimpinan transformasional perspektif Bass yaitu Idealized Influence, Inspirational Motivation, Intellectual Stimulation, Individual Consideration. Penelitian kualitatif ini menghasilkan satu kesimpulan yaitu berdasarkan temuan-temuan pada masing-masing empat komponen perilaku kepemimpinan transformasional, perilaku

kepemimpinan di UIN MALIKI merupakan tipe kepemimpinan transformasional. Perilaku transformasional tersebut telah terbukti berkontribusi besar terhadap pengembangan UIN MALIKI.

Dengan metode eksploratori, Davis (2007) dan Mills (2007), meneliti

kepemimpinan transformasional. Disertasi pertama meneliti tentang karakteristik kepemimpinan transformasional dari enam pemimpin wanita di Amerika Serikat.

Karakteristik kepemimpinan yang paling penting dari pemimpin transformasional yaitu kepercayaan diri, visioner, memiliki kemampuan untuk menginspirasi para pengikut, fokus pada misi, menjadi pembangun tim, pengikut yang tumbuh dan bernilai, memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi potensi kepemimpinan di pengikut, serta memiliki kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan, mendengar

dan menerima masukan dari pengikut. Hal lain yang dapat menjadi pengetahuan mengenai karakteristik pemimpin adalah adanya hambatan yaitu sedikit peluang bagi wanita untuk menduduki posisi tertinggi di suatu perusahaan.

Sedangkan penelitian Mills (2007) mencoba menggali dari keempat faktor kepemimpinan transformasional yang paling berhubungan/bertanggung jawab

terhadap retensi karyawan dalam organisasi. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa tidak ada salah satu dari empat faktor kepemimpinan transformasional secara statistik lebih signifikan dari yang lain, mereka secara statistik sama dalam mempromosikan retensi. Persepsi kepemimpinan transformasional kedua penelitian tersebut diukur dengan menggunakan Multifactor LeadershipQuestionnaire (MLQ).

(39)

menunjang dan berkontribusi pada kemajuan organisasi. Dimensi-dimensi yang dijabarkan memiliki kesamaan karena mengacu pada Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) yang dikembangkan oleh Bernard Bass.

2.1.6 Kualitas Kehidupan kerja (Quality of Work Life)

Sejarahnya dimulai di Arden house pada tahun 1972 di AS. Pertemuan tersebut untuk mendiskusikan dua gerakan, yang pertama adalah gerakan politik di Eropa barat yang disebut “demokrasi industrial”. Gerakan ini bertujuan agar negara-negara di Eropa Barat mensahkan aturan partisipasi karyawan dalam pengambilan

keputusan korporat. Gerakan kedua, dilandasi oleh teori sosial tentang “humanizing the workplace”. Semakin tinggi qwl, maka akan semakin tinggi tingkat kepuasan dan produktifitas kerja karyawan (Idris et al 2006).

Para manajer dan pimpinan organisasi menghadapi tantangan besar saat ini. Hal ini disebabkan karena angkatan kerja dewasa ini lebih terdidik daripada masa

sebelumnya. Namun pengamat ekonomi meyakini bahwa mutu pekerjaan akan menurun senantiasa, sementara posisi-posisi yang lebih baru memberikan kepada karyawan lebih sedikit tantangan dan kepuasan ego, yang terdapat dalam pekerjaan-pekerjaan yang dihapuskan secara bertahap. Ada asumsi bahwa tingkat pekerjaan-pekerjaan yang lebih tinggi secara khusus disertai oleh tingkat harapan yang meningkat. Bila

pimpinan tidak mampu memenuhi harapan-harapan karyawan akan menyebabkan ketidakpuasan kerja dan melemahnya etika kerja (Kossen, 1993).

Pimpinan organisasi berusaha menemukan cara mengatasi kebosanan karyawan yang disebabkan oleh ketidakpuasan kerja tersebut, terutama menyangkut masalah kemerosotan mutu kehidupan kerja. Produktivitas organisasi dipengaruhi oleh mutu perlengkapan, alat-alat, dan faktor-faktor teknis dan material lain.

(40)

pelibatan pekerja (Wibowo, 2009). Mutu kehidupan kerja (quality of work life) juga mempengaruhi produktivitas (Kossen, 1993).

Hal ini dapat dilihat dari efektif atau tidaknya lingkungan pekerjaan memenuhi keperluan-keperluan pribadi dan nilai-nilai para karyawan. Menurut Stan kossen suatu faktor yang meningkatkan QWL seorang karyawan belum tentu

berpengaruh atau memiliki sedikit pengaruhnya pada QWL pekerja lain.

Wibowo (2009), mengungkapkan bahwa lingkungan dengan quality of work life tinggi ditandai oleh karakteristik berikut:

a. Pekerja berpeluang mempengaruhi keputusan. b. Pekerja berpartisipasi dalam pemecahan masalah.

c. Pekerja mendapatkan informasi lengkap tentang pengembangan dalam organisasi

d. Pekerja mendapatkan umpan balik bersifat konstruktif

e. Pekerja senang menjadi bagian dari tim dan meningkatkan kolaborasi f. Pekerja merasa bahwa pekerjaannya bermakna dan menantang g. Pekerja merasakan adanya keamanan kesempatan kerja

Sedangkan Kossen (1993) mengemukakan delapan kategori utama yang

bersama-sama merupakan QWL, yaitu:

1. Kompensasi yang memadai dan wajar. Karyawan dapat mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri berkaitan dengan hal ini, seperti adakah upah atau gaji sebanding dengan jumlah yang diterima orang-orang lain dalam posisi yang sama? Artinya imbalan yang diterima oleh karyawan harus sepadan dengan imbalan yang

diterima oleh orang lain yang melakukan pekerjaan yang sejenis.

2. Kondisi-kondisi lingkungan kerja yang aman dan sehat. Dapat dilihat lingkungan kerja yang relatif bebas dari risiko berlebihan yang dapat mengakibatkan cedera atau penyakit pada karyawan. Segi penting dari kondisi ini misalnya jam kerja yang memperhitungkan daya tahan manusia yang terbatas dalam melakukan

pekerjaan.

3. Kesempatan untuk mengembangkan dan menggunakan kapasitas manusia.

(41)

4. Kesempatan untuk tumbuh di masa depan. Adakah kesempatan untuk karyawan maju atau hanya pekerjaan itu yang memberikan jaminan kesejahteraan dan penghasilan? Artinya karyawan menyadari bahwa perubahan pasti terjadi di masa depan, maka ada jaminan bahwa pekerjaan dan penghasilan mereka tidak akan hilang.

5. Perasaan termasuk dalam suatu kelompok atau integrasi sosial perusahaan. Apakah karyawan merasa sebagai bagian dari suatu tim atau sebaliknya merasa terkucil dari kelompok? Adakah lingkungan kerja relatif bebas dari prasangka destruktif? Melalui penerapan QWL di dalam perusahaan tidak ada diskriminatif. Suasana keterbukaan ditumbuhkan dan dipelihara dan adanya iklim saling mendukung diantara karyawan.

6. Hak-hak karyawan. Jenis hak-hak apa yang dimiliki karyawan? Apakah ada standar mengenai privasi terhadap perbedaan pendapat? Artinya dengan QWL perusahaan menjamin tidak ada campur tangan dalam urusan pribadi seseorang. Karyawan bebas untuk mengemukakan pendapat dan bicara.

7. Kerja dan ruang kerja keseluruhan. Bagaimanakan pekerjaan mempengaruhi

peranan hidup pribadi, seperti hubungannya dengan keluarga?

8. Relevansi sosial kehidupan kerja. Apakah karyawan merasa bahwa organisasi bertanggung jawab sosial? Adakah organisasi menghasilkan suatu produk atau jasa yang menyumbangkan kebanggaan kepada karyawan?

Seluruh peningkatan produktivitas tersebut mengarah pada pengembangan

kualitas kehidupan kerja yang lebih baik. Salah satu caranya adalah memanusiawikan sumber daya manusia dalam hal ini karyawan, melalui pemerkayaan pekerjaan (job enrichment) dan sistem kerja sosio teknik yang diperkaya (enriched sosiotechnical work system) (Davis et al 1993).

(42)

“There are two ways of looking what quality of work life means. One way equates QWL with a set of objective organizational conditions and practices (e.g. promotion from whitin policies, democratic supervision, employee involvement, safe working conditions). The order way equates QWL with employes preceptions that they are safe, relatively well satisfied, and able to grow and develop as human beings. This way relates QWL to the degree to which the full range human need is met”.

Pada teori, QWL terlihat sederhana-hanya melibatkan karyawan tentang bagaimana melaksanakan pekerjaan, desain tempat kerja, dan apa yang dibutuhkan

untuk menghasilkan produk lebih efisien. QWL ini banyak dipraktekkan di industri makanan, elektronik, baja, dan industri berbasis kebutuhan konsumen (Cascio, 2003). Menurut Cascio (2003), terdapat Sembilan indikator dalam penerapan Quality of Work Life yaitu: partisipasi karyawan, pengembangan karir, penyelesaian konflik, komunikasi, kesehatan kerja, keselamatan kerja,keamanan kerja, kompensasi yang

(43)

Kerjasama karyawan dalam tim

Gambar 2. Quality of Work Life

Indikator-indikator yang diteliti dalam penelitian ini meliputi kompensasi yang layak, partisipasi karyawan, pengembangan karir, keamanan kerja, dan kesehatan kerja

Penelitian Husnawati (2006) memuat pemaparan terkait pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kinerja karyawan dengan komitmen dan kepuasan kerja sebagai variabel intervening. Hasil tesis ini memberikan bukti bahwa aplikasi

(44)

mempengaruhi kinerja karyawan. Semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap perusahaan, maka semakin baik pula kinerja ditunjukkan oleh karyawan. Responden penelitian ini adalah karyawan PERUM Pegadaian Kanwil Semarang.

Adanya pengaruh yang searah antara kualitas kehidupan kerja dengan kepuasan kerja artinya bahwa kualitas kehidupan kerja dan kepuasan kerja sangat

penting karena hal tersebut telah terlibat, berhubungan dengan hasil akhir positif organisasional yang lain. Sebagai contoh, pekerja yang puas dengan pekerjaan mereka memiliki tingkat absensi yang lebih rendah dan keinginan untuk pindah kerja yang kecil. Mereka juga lebih senang untuk menujukkan perilaku sebagai anggota organisasi tersebut dan puas dengan kualitas kehidupan kerja dalam organsiasi tersebut secara keseluruhan.

Penelitian tentang kualitas kehidupan kerja juga dilakukan dari sudut pandang karyawanTextile dan Engineering di District Coimbatore Tamil Nadu (Anjani,2010). Konstruk QWL yang dibahas meliputi kepuasan kerja, kompensasi, hubungan kerja, kondisi kerja, pengembangan kompetensi dan stress kerja. Temuan dari penelitian ini adalah bahwa faktor yang utama dari kualitas kehidupan kerja adalah pekerjaan itu sendiri. Suatu pekerjaan yang menarik, menantang dan memberikan status serta kebanggaan kepada karyawan memerlukan pelibatan karyawan sendiri di dalam

pekerjaan.

Penelitian mengenai kualitas kehidupan kerja atau quality of work life telah banyak dilakukan dan merupakan penelitian dengan pendekatan empiris, baik pada perusahaan maupun institusi pendidikan. Pada umumnya perusahaan yang diteliti adalah pada sektor jasa, seperti penelitian yang dilakukan oleh Cheung et al (2009) serta Yan Ma et al (2010). Obyek penelitian ini adalah karyawan hotel. Pada penelitian pertama, QWL bertindak sebagai mediator antara Emotional Labor dan

(45)

Sedangkan penelitian Yan Ma et al (2010) menyoroti QWL dan pengaruhnya terhadap outcome karyawan yang direfleksikan dengan Organizational Citizenship Behavior (OCB). Latar belakang dari penelitian ini yaitu adanya perbedaan pendapat diantara pimpinan (manager) tentang pentingnya QWL bagi perusahaan khususnya bidang jasa perhotelan. Sebagian pimpinan mengadaptasi QWL dari Barat dan

melakukan pengukuran QWL kepada karyawan, namun pimpinan yang lain menganggap pelaksanaan QWL tidak berkaitan dengan outcome karyawan dan hanya menghabiskan dana perusahaan. Originalitas penelitian ini terletak pada kasus yang nyata di dalam jasa hotel khususnya di China. Perbedaan kedua penelitian ini hanya pada posisi QWL, pada penelitian pertama QWL memediasi Emotional Labor dan

Work Family Interference, sedangkan pada penelitian kedua QWL menjadi variabel dependen. Namun implikasi dari praktek QWL di perusahaan sangat penting untuk diukur mengingat praktek QWL bertujuan untuk pengembangan lingkungan kerja yang baik bagi karyawan dan juga produksi (Davis, et al 1994).

Penelitian mengenai QWL biasanya hanya mengukur kepuasan kerja, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Idris et al (2006) mencoba mengaitkan antara QWL dimensi-dimensi karir pada sektor industri manufaktur di Malaysia. Penelitian dengan metode survei ini bukan replika dari penelitian lain, maka kuesioner dikembangkan berdasarkan tinjauan literatur dan melakukan penyesuaian dengan konteks lokal. Temuan penting dari penelitian ini yaitu bahwa keluarga secara signifikan berhubungan dengan level/tingkat QWL karyawan di perusahaan. Selain

itu kunci penting peningkatan karir karyawan ada di dalam dimensi QWL salah satunya adalah keseimbangan kehidupan kerja dan keluarga.

Bila implementasi QWL dibandingkan antara bisnis jasa hotel dan perbankan dapat dilihat bahwa telah terjadi pergeseran paradigma terkait peranan sumber daya manusia. nilai-nilai keunggulan SDM yang awalnya tangible assets berubah menjadi pengelolaan strategi berbasis-pengetahuan yang menampilkan intangible assets

(46)

utama yang ditemukan oleh peneliti yaitu penerapan QWL yang belum baik pada Bank BUMN dibandingkan dengan Bank Swasta bila dikaitkan dengan komitmen karyawan. Dari studi ini diperoleh Gambaran bahwa secara umum QWL dan komitmen karyawan tergolong sedang/biasa. Namun penelitian ini juga ada kesamaan dengan penelitian Yan Ma et al (2010), yaitu bahwa peluang karir dapat tercipta dengan berorientasi pada QWL. Artinya pekerjaan merupakan penghubung antara organisasi dan SDM nya, maka agar keduanya dapat memperoleh keuntungan bersama, pekerjaan harus memberikan QWL yang baik melalui perancangan pekerjaan.

Kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa penelitian di atas yaitu bahwa kepuasan atas kualitas kehidupan kerja (QWL) akan memberikan banyak keuntungan

bagi karyawan dan perusahaan. Bagi karyawan sendiri, kepuasan atas kehidupan kerjanya tentu dapat ditunjukkan melalui komitmen untuk bekerja sebaik-baiknya. Perusahaan harus mengakomodasi berbagai kebutuhan dan hak karyawan bila ingin meningkatkan kinerja mereka. Variabel-variabel QWL yang digunakan di dalam beberapa penelitian di atas pada umumnya mengadopsi dari Cassio.

2.1.7 Definisi dan Sejarah Perilaku Ekstra Peran (Organizational Citizenship Behavior)

Istilah atau tipe prestasi kerja yang disebut dengan Perilaku ekstra peran atau

Organizational Citizenship Behavior pertama kali diajukan oleh Dennis. W. Organ. Organ mengusulkan bahwa OCB dapat mewakili bentuk yang lebih luas dari kinerja pekerjaan yang bisa lebih cenderung berhubungan dengan anteseden seperti perilaku

pekerjaan dan tipe kepribadian (Podsakofet al 2000).

Dari deskripsi awal tersebut, OCB telah menjadi salah satu variabel yang lebih banyak diteliti dalam literatur perilaku organisasi. Penelitian mengenai perilaku ekstra peran (OCB) lebih banyak dilakukan di Amerika Serikat dan dalam konteks global belum banyak dilakukan. Hanya pada tahun-tahun lalu dilakukan penelitian OCB di Cina, Singapura, Taiwan, Australia, Jepang dan Hong Kong. Penelitian

(47)

Menurut Utomo (2002) perilaku kerja the extra role sering diistilahkan sebagai “organizational citizenship behavior atau sering juga disebut prosocial behavior, namun dari berbagai istilah tersebut memiliki suatu pengertian yang sama, yaitu suatu perilaku kerja karyawan yang bekerja tidak hanya pada tugasnya (in-role), tapi juga bekerja tidak secara kontrak mendapatkan kompensasi berdasarkan sistem

penghargaan atau sistem penggajian formal (beyond the job)”.

Karyawan memainkan peran yang berkontribusi kepada sesama karyawan. Kontribusi tersebut seperti perilaku menolong sesama yang lain, kerelaan melakukan pekerjaan tambahan, menjunjung prosedur dan aturan kerja tanpa menghiraukan permasalahan pribadi merupakan satu bentuk dari prosocial behavior, sebagai perilaku social yang positif, konstruktif, dan suka memberi pertolongan.

Berikut ini definisi organizational citizenship behavior (OCB) menurut Organ dan Clay (1982) performa yang mendukung lingkungan sosial dan psikologi dimana tanggung jawab berada di lingkungan tersebut. Secara harfiah definisi tersebut menyebutkan adanya dukungan kepada lingkungan sekitar organisasi baik secara sosial maupun secara psikologi. Hal ini akan meningkatkan fungsi efektif dari

organisasi.

Organ juga menjelaskan bahwa OCB ditemukan sebagai alternatif penjelasan pada hipotesis “kepuasan berdasarkan performance”. Berikut ini penjelasan tentang OCB:

Sifat mementingkan kepentingan orang lain, seperti memberikan pertolongan pada kawan sekerja yang baru, dan menyediakan waktu untuk orang lain (Altruism)

adalah ditunjukkan secara langsung pada individu-individu lainnya, akan tetapi kontribusi terhadap efisiensi didasarkan pada peningkatan kinerja secara individual. Sifat kehati-hatian, seperti efisiensi menggunakan waktu, tingkat kehadiran tinggi

(Conscientiousness) adalah kontribusi terhadap efisiensi baik berdasarkan individu maupun kelompok. Sifat sportif dan positif, seperti menghindari complain dan

Gambar

Gambar 1 berikut menunjukkan peta posisi  kepemimpinan   transformasional
Tabel 1. Berbagai Model Teori Kepemimpinan
Gambar 2. Quality of Work Life
Gambar 3. Konsep Kerangka Pemikiran konseptual Transformasional Transformasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkaya literatur tentang pengaruh keselamatan dan kesehatan kerja, kepemimpinan transformasional, dan budaya

Pengaruh langsung dan tidak langsung gaya kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja terhadap kinerja melalui komitmen organisasi dengan menggunakan analisis

A good quality of work life will produce comfortable conditions for employees so that extra individual behavior will be created, which is not directly contained in the

2019, hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 kualitas hidup tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja SDM; 2 Kualitas kehidupan kerja berpengaruh signifikan terhadap perilaku

Based on the above explanation, this research aims to examine the effect of Transformational Leadership and Learning Organizations through Organizational Culture as moderation on

Conclusions Based on research findings above mentioned it can be concluded that Job Satisfaction, Transformational Leadership and Interpersonal Communication had positive direct and

Uji Signifikansi Koefisien Korelasi Parsial Variabel Kepemimpinan Transformasional, Etos Kerja, Komitmen Organisasional Dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Guru Korelasi parsial

PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran organizational citizenship bevaviour dalam memediasi transformational leadership Dinas Kesehatan Kota